Sie sind auf Seite 1von 13

Perbandingan karakteristik Filsafat

Sejarah Barat dan Timur

Pada umumnya filsafat terbagi menjadi 2 garis besar yaitu filsafat


Barat (occidental) dan Timur (oriental). Filsafat barat dan filsafat Timur tentu sangat
berbeda karakteristinya karena berkembang di daerah yang berbeda dengan
kebudayaan serta peradaban yang berbeda pula. Banyaknya ilmuwan dari Barat yang
selalu menciptakan inovasi baru untuk kemajuan dunia membuat filsafat Timur
kurang mendapat perhatian. Filsafat Timur memang terkenal dengan sifatnya yang
religius, mistis-magis sehingga kurang bis diterima secara rasional. Filsafat Timur
berkembang di daerah China, India, Jepang yang banyak memunculkan pemikiran-
pemikiran dan digunakan pedoman oleh masyarakat bagian timur. Di wilayah Timur
juga terkenal sebagai wilayah yang mempunyai peradaban besar didunia dan sumber
agama serta pandangan tentang manusia dan dunia. Banyak orang yang mencari
ketenangan di daerah Timur karena dianggap memiliki suatu keadaan yang
mendamaikan dan mententramkan jiwa. Cara pandang filsafat Timur lebih pada
realita yang terjadi di sekitarnya, lebih memikirkan tentang dunia dan sesamanya.

Secara geografis wilayah Barat dan Timur memiliki banyak perbedaan, hal ini juga
tetntu mempengaruhi cara berfikir mereka. Perbedaan paham antara Barat dan Timur
yaitu jika di dunia belahan Timur mempunyai banyak negara dan banyak penduduk
dengan jumlah yang besar serta angka kelahiran yang sangat tinggi. Mereka juga
masih tergolong sebagai golongan menengah kebawah, sedangkan di dunia bagian
barat sudah mengembangkan kemajuan teknologi sejak lama. Manusia di bagian barat
juga tergolong aktif sedangkan di Timur tergolong pasif. Hal ini sesuai dengan
keyakinan dan ajaran pokok mereka seperti Konfusianisme, Taoisme, Budhisme, dan
lain-lain (Kebung, 2011: 8).

Didunia belahan Timur mereka lebih menekankan pada intuisi dan juga pada
batiniah, spiritual, dan mistis. Berdasarkan hal inilah maka orang Timur mempercayai
bahwa dengan memiliki jiwa yang baik maka mereka akan mencapai kebijaksanaan
dan kebaikan hidup. Jika di bagian barat mereka lebih condong pada keadaan
masyarakat sekitar serta pada ilmu pengetahuan. Didunia barat yang mereka lihat
adalah objek dan kerja lapangan jadi manusia harus menguasai alam untuk
kepentingannya. Jika didaerah timur manusia merupakan bagian dari alam.orang
Barat berpedoman “to do is more important than to be” (berbuat lebih penting
daripada sekedar ada), jika orang timur lebih kepada “to be is more important than to
do” (kehadiran lebih penting daripada seseorang perbuat), jadi orang timur kurang
suka denganpertentangan dan konflik (Kebung, 2011: 8).

Cara berfikir orang timur lebih pada cara mereka melihat dunianya, bagaimana
mereka melihat diri sendiri dan sesama, dan bagaimana mereka menggantungkan diri
pada Sang Pencipta. Persprektif filsafat orang timur lebih pada human dan religius.
Paham tentang religius dan kosmis mereka melekat dan menguasai tata kehidupan
orang timur. Pendekatan mereka lebih pada emosional-spiritual daripada rasional-
teoritis. Jadi paham-paham falsafah yang berkembang seperti Hinduisme, Budhisme,
Konfusius dll. Dari perbedaan paham antara timur dan barat sudah berbeda jadi dapat
disimpulkan bahwa cara pandang dan berfalsafah antara orang barat dan timur ada
perbedaan, meskipun ada perbedaan tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi
kesamaan tergantung dari sudut mana mereka melihatnya (Kebung, 2011: 11).

Pandangan filosofis orang timur dengan melihat berbagai macam sosiokultur dan
keadaan masyarakat yang dianut oleh manusia di daerah bagian Timur jadi
bagaimana cara mereka berfikir, menilai dunia dan hidup mereka jadi pandangan
orang Timur dalam melihat kosmologi. Orang Timur memandang kosmos sebagai
sesuatu yang tercipta dari Tuhan dan diberikan kepada manusia. Pandangan falsafah
orang Timur kosmos adalah dunia dengan sesuatu yang tercipta dan diberi dari sang
kuasa. Kosmos selalu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat ilahi, kosmos bersifat
suci dan kudus sehingga di anggap sebagai wujud yang menguasai manusia dan
manusia harus memberi hormat dan sembah (Kebung, 2011: 14).

Tuntutan dasar dari kosmis ini bersifat religius dan harus di buktikan dengan moral-
etis jadi bagaimana manusia bersikap baik terhadap dirinya sendiri, orang lain dan
dunia. Hal ini diperlihatkan dengan cara bagaimana mencintai sesama dan mencintai
alam. Mereka juga percaya bahwa roh-roh yang diyakini itu memiliki tempat yang
aman dan tentram dan tidak boleh diganggu (Kebung, 2011: 15). Filsafat Timur
masih dianggap belum memenuhi kriteria disebut sebagai filsafat karena masih
berbau mistis dan religius.
Jika filsafat barat memang lebih menekankan pada rasional, misalnya pada zaman
Yunani Kuno, filusuf yang terkenal Plato, Aristoteles, Socrates dalam pemikirannya
masih spekulatif tetapi pada dasarnya mereka berspekulasi dengan keadaan yang
dilihat tanpa mencampurkan unsur religiusnya secara mendalam. Filsafat barat lebih
menekankan pada pola pikir yang rasional dan manusia sebagai pusatnya. Memang
ada gagasan di filsafat barat mengenai religius yaitu pada abad pertengahan dimana
pemikiran St. Agustinus mencampurkan dengan religius dengan berpedoman pada
Alkitab karena pada saat itu agama Kristen merupakan agama yang mutlak untuk
dianut sehingga pemikiran-pemikiran pada abad pertengahan disesuaikan dengan
doktrin gereja.

Arah gerak filsafat Barat muncul karena pemikiran rasional dari para filusuf.
Misalnya Karl Marx yang mempunyai pemikiran tentang historis matrealisme. Karl
Marx berfikiran secara rasional karena saat itu kapitalisme sedang genjar dan juga
kaum borjuis telah menindas kaum buruh sehingga kaum buruh harus sengsara
dibawah majikannya. Marx menginginkan masyarakat tanpa kelas sehingga dia ingin
memperjuangkan hak kelas dalam masyarakat. Karl Marx akhirnya mengeluarkan
teori konflik yang tujuannya ingin masyarakat menjadi sama rata dan sama rasa.

Arah gerak filsafat Timur lebih kepada intuisi, intelegensi dan akal budi. Tujuan dari
Filsafat Timur lebih mengedepankan ilmu pengetahuan yang didasari moralitas
tujuannya agar manusia menjadi bijaksana dalam menjalani hidup. Misalnya filsafat
Konfusius yang lebih mengedepankan moral dan kebajikan. Konfusius melihat bahwa
rakyat Tiongkok yang sedang mengalami krisis dalam bermoral. Akhirnya Konfusius
memutuskan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai moral serta kebajikan
yang diajarkan pada murid-muridnya.

Dalam filsafat barat yang dijadikan subjek adalah manusia dan alam dijadikan objek,
jadi mereka memanfaatkan alam untuk kepentingan mereka sedangkan di filsafat
timur alam dan manusia lebih menyatu. Mereka menganggap bahwa alam merupakan
bagian dari manusia yang harus dipelihara. Pandangan Filsafat Barat terhadap cita-
cita hidup diisi dengan bekerja dan bersikap aktif sebagai kebaikan tertinggi. Dengan
sifat yang rasional filsafat barat lebih memandang dengan bekerja keras maka segala
kebutuhan akan terpenuhi. Sedangkan pandangan filsafat Timur mengenai cita-
cita hidup yaitu lebih kepada harmonisan, ketenangan.Mereka berprinsip bahwa
kehidupan dijalankan dengan sederhana dan menyesuaikan dengan alam.
Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran filosofis yang berasal dari
dunia Timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang, Filsafat
Islam, Filsafat Buddhisme, dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat merupakan
suatu sistem-sistem pemikiran yang luas dan plural.[1] Misalnya saja, filsafat India dapat
terbagi menjadi filsafat Hindu dan filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat Cina dapat
terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme.[2] Belum lagi, banyak terjadi pertemuan
dan percampuran antara sistem filsafat yang satu dengan yang lain, misalnya
Buddhisme berakar dari Hinduisme, namun kemudian menjadi lebih berpengaruh di
Tiongkok ketimbang di India.[2] Di sisi lain, filsafat Islam malah lebih banyak bertemu
dengan filsafat Barat.[1] Akan tetapi, secara umum dikenal empat jenis filsafat Timur yang
terkenal dengan sebutan "Empat Tradisi Besar" yaitu Hinduisme, Buddhisme, Taoisme,
dan Konfusianisme.[3]
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana ciri-ciri
agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai
dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat.[2][4] Di dalam studi post-
kolonial bahkan ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap lebih rendah ketimbang sistem
pemikiran Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat menurut filsafat Barat, misalnya
karena dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik.[5] Akan tetapi, sekalipun di
antara filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat perbedaan-perbedaan, namun tidak
dapat dinilai mana yang lebih baik, sebab masing-masing memiliki keunikannya
sendiri.[2][6] Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling melengkapi khazanah filsafat
secara luas.[2]
Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat Posted on November 26, 2009 by teosophy
Oleh: Bandeh Khudo
Yang dibahas disini terutama filsafat Barat, karena misalnya filsafat India dan filsafat
Cina lebih bersifat mengajar bagaimana manusia mencapai “keselamatan” (“moksa”),
atau bagaimana manusia harus bertindak supaya diperoleh keseimbangan antara dunia
dan akhirat. Tak dapat diungkiri di dalamnya juga ada unsur akal, tetapi bukan produk
dari refleksi yang sifatnya kritis rasional.
Ada empat periode besar dalam filsafat Barat:

Zaman Yunani (600 sM – 400 M);


Zaman Patristik dan Skolastik (300 M – 1500 M);
Zaman Modern (1500 M – 1800 M);
Zaman sekarang (setelah 1800 M).

Patut dicatat bahwa tiap zaman memiliki ciri dan nuansa refleksi yang berbeda. Dalam
zaman Yunani diletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas Barat. Zaman Patristik dan
Skolastik ditandai oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan
akal, karena iman di hati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia
absurdum = “aku percaya justru karena tidak masuk akal” Tertulianus, 160-223 M.
Dalam Zaman Modern direfleksikan berbagai hal tentang rasio, manusia dan dunia.
Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.
1. Zaman Yunani
1.1. Filsafat pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu
(“arche” = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada
satu asas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles:
api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir (“panta rei” =
selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali
tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam
bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu?
Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan
hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis
untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode
reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar.
1.2. Puncak zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM), Plato
(428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM).
1.2.1. Sokrates menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat.
Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak Sokrates (sebagai
sang bidan) untuk “melahirkan” pengetahuan akan kebenaran yang dikandung dalam
batin orang itu. Dengan demikian Sokrates meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif.
— Pemikiran Sokrates dibukukan oleh Plato, muridnya.
Hidup pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai “sophis”
(“yang bijaksana dan berapengetahuan”), Sokrates lebih berminat pada masalah
manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada kekuatan-kekuatan yang
ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh
Cicero kemudian, Sokrates “menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-
kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah”. Karena itu dia didakwa “memperkenalkan
dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda” dan dibawa ke pengadilan kota Athena.
Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat
menyelamatkan nyawanya dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati
nuraninya ia memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk
mengakhiri hidupnya.
1.2.2. Plato menyumbangkan ajaran tentang “idea”. Menurut Plato, hanya idea-lah
realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya (idea) yang
kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda, nun disana di dunia idea.
Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan keberadaannya
terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul semua kuda yang kasat-mata.
Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung, … bisa berubah dan berakhir, tetapi idea
bunga, pohon, burung, … kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang
Banyak.
Plato ada pada pendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif,
bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya telah diketahuinya dari
dunia idea, — konon sebelum manusia itu masuk dalam dunia inderawi ini. Menurut
Plato, tanpa melalui pengalaman (pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam
hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki
sejumlah gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran, keadilan,
dan sebagainya.
Plato mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana mudah
dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh Plato adalah
keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi, yaitu tubuh. Itu persoalan
ada (“being”) dan mengada (menjadi, “becoming”).
1.2.3. Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia
setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu “berubah” (menjadi besar dan tegap,
misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa
bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep yang dibentuk
manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak
memiliki eksistensinya sendiri: idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-
kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut Plato,
realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang menurut Aristoteles
realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indra-mata kita. Aristoteles tidak
menyangkal bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan
sekadar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya.
Namun justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari
makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia mengalami
sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi
memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode rasional-deduktif dan
metode empiris-induktif. Dalam metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan
yang benar, dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-
unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam
logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika
dibentuk dari kata logikoz, dan logoz berarti sesuatu yang diutarakan. Daripadanya
logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan
dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya partikular
dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai
pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles
menolak dualisme tentang manusia dan memilih “hylemorfisme”: apa saja yang dijumpai
di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan material (“hyle”) sana-sini dari
bentuk (“morphe”) yang sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi)
dalam individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan (“dynamis”,
Latin: “potentia”) untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu
dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda dalam jenis
yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan
kesatuan dasar antara kedua gejala yang “tetap” dan yang “berubah”.
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada pandangan bahwa wanita
adalah “pria yang belum lengkap”. Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif,
sedang pria aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak potensial
terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah “ladang”, yang menerima dan
menumbuhkan benih, sementara pria adalah “yang menanam”. Dalam bahasa filsafat
Aristoteles, pria menyediakan “bentuk”, sedang wanita menyumbangkan “substansi”.
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi nama “jiwa”
(“psyche”, Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia memiliki sifat istimewa: berkat
jiwanya, manusia dapat “mengamati” dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup
“mengerti” dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan “nous” (Latin: “ratio”
atau “intellectus”) yang membuat manusia mampu mengucapkan dan menerima “logoz”.
Itu membuat manusia memiliki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya.
Pengaruhnya terasa sampai kini, — itu berkat kekuatan sintesis dan konsistensi
argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal pada pengamatan dan
pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan
(melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil membangun kekaisaran
dalam wilayah yang sangat besar dari Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan
itu, Helenisme (Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan
pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah Timur Tengah juga. — (Catatan kecil saja
dari FSP: Maka jangan terkejut jika pandangan berat-sebelah tentang pria-wanita sangat
dominan sampai kini. Legitimasi filsafati agaknya telah diberikan oleh Arsitoteles atas
praktik yanh umum di dalam masyarakat Timur Tengah, Eropa abad pertengahan dan
dimana saja. Gereja Katolik pun selama berabad-abad mengikuti pendirian yang sama,
sekalipun landasan biblisnya sama sekali tidak ada. Yesus, sebagaimana tampak dalam
Injil, memiliki pandangan yang sama sekali tidak berat-sebelah tentang gender.)
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari
realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran, berperan sebagai
organon (“alat”) untuk sampai kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk
selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles mengawali,
atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu
empiris seperti botani, zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah
yang nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya), dengan
Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton), serta Experiments on
Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan
The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk
refleksi para pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-
masing.
1.3. Zaman Yunani pasca-aristoteles ditandai oleh tiga aliran pemikiran filsafat, yaitu
Stoisisme, Epikurisme dan Neo-platonisme. Stoisisme (Zeno, 333-262 sM) terkenal
karena etikanya: manusia berbahagia jika ia bertindak rasional. Epikurisme (Epikuros,
341-270 sM) juga terkenal dalam etika: “kita harus memiliki kesenangan, tetapi
kesenangan tidak boleh memiliki kita”.
Neo-platonisme (Plotinos, 205-270 M). Idea kebaikan (idea tertinggi dalam Plato) disebut
oleh Plotinos to en = “to hen”, yang esa, “the one”. Yang esa adalah awal, yang pertama,
yang paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenal oleh
manusia karena tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang
esa adalah pusat daya, — seluruh realitas berasal dari pusat itu lewat proses pancaran
(emanasi), bagai matahari yang memancarkan sinarnya. Kendati proses emanasi, yang
esa tak berkurang atau terpengaruh sama sekali.
Dari to en mengalir nouz = “nous”, budi, akal, bahkan roh (?). “Nous” merupakan
“bayang-bayang” dari “to hen”. Dari “nous” mengalir ynch = “psykhe”, jiwa, yang
merupakan perbatasan “nous” dengan mh ou = “me on”, materi, yang merupakan
kemungkinan atau potensi bagi keberadaan suatu bentuk, yang pada manusia adalah
tubuh. “Psykhe” merupakan penghubung antara “nous” yang terang, yang berlawanan
dengan materi yang gelap, yang rohani berlawanan dengan yang jasmani. — Menurut
neo-platonisme, perlawanan itu merupakan penyimpangan dari kebenaran. Untuk
mencapai kebenaran, manusia harus kembali kepada “to hen”, dan itulah tujuan hidup
manusia. “To hen” kiranya identik dengan konsep “Sang Sangkan Paraning Dumadi”
dalam tradisi Jawa.
Kesatuan mistis dengan “to hen” merupakan kebenaran sejati. Manusia harus
berkontemplasi untuk mengatasi hal-hal yang inderawi, yang merupakan penghambat
besar bagi pembebasannya dari hidup dalam dimensi materi yang bersifat gelap (dan
berakhir kepada kematian) menuju kepada hidup dalam dimensi roh yang membawa
kepada terang (serta awal dari kekekalan).
Jejak pemikiran neoplatonisme dapat diamati dalam pengalaman mistik, yaitu
pengalaman menyatu dengan Tuhan atau “jiwa kosmik”. Banyak agama menekankan
keterpisahan antara Tuhan dan Ciptaan, tetapi para ahli mistik tidak menemui
pemisahan seperti itu. Mereka jutru mengalami rasa “penyatuan dengan Tuhan”. Ketika
penyatuan itu terjadi, ahli mistik merasa dia “kehilangan dirinya”, dia lenyap ke dalam diri
Tuhan atau hilang dalam diri Tuhan, sebagaimana setitik atau sepercik air kehilangan
dirinya ketika telah menyatu dalam samudera raya.
Tetapi pengalaman mistik itu tidak selalu datang sendiri. Ahli mistik harus mencari jalan
“pencucian dan pencerahan” untuk bisa bertemu dengan Tuhan, melalui hidup
sederhana dan berbagai teknik meditasi. Kecenderungan mistik tu diketemukan dalam
semua agama besar di dunia. Dalam “agama” Jawa dikenallah konsep “manunggaling
kawula lan Gusti”, yang jejaknya dalam sastra suluk Jawa digali dan diungkapkan bagi
generasi masa kini dalam konteks filsafat dan pandangan keagamaan oleh Zoetmulder.
(Zoetmulder SJ almarhum adalah Guru Besar di Fakultas Sastra UGM).
2. Zaman Patristik (Para Bapa Gereja)
Pemikiran filsafati para Bapa Gereja Katolik mengandung unsur neo-platonisme. Para
Bapa Gereja berusaha keras untuk menyoroti pokok-pokok iman kristiani dari sudut
pengertian dan akalbudi, memberinya infrastruktur rasional, dan dengan cara itu
membuat pembelaan yang nalar atas aneka serangan. Pada dasarnya Allah menjadi
pokok bahasan utama. Hakikat manusia Yesus Kristus dan manusia pada umumnya
dijelaskan berdasarkan pembahasan tentang Allah. Ditegaskan, terutama oleh Agustinus
(354-430 M) bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang
(“lumens”) dari Allah. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah tertanam benih
kebenaran (yang adalah pantulan Allah sendiri). Benih itu memungkinkannya menguak
kebenaran. Sebagai ciptaan, manusia merupakan jejak Allah yang istimewa = “imago
Dei” (citra Allah), dalam arti itu manusia sungguh memantulkan siapa Allah itu dengan
cara lebih jelas daripada segala ciptaan lainnya.
“Tuhan, engkau lebih tinggi daripada yang paling tinggi dalam diriku, dan lebih dalam
daripada yang paling dalam dalam batinku” — itu ungkapan Agustinus tentang
pengalaman manusia mengenai transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumusan.
Dalam zaman ini pokok-pokok iman Kristiani dinyatakan dalam syahadat iman rasuli
(teks “Aku Percaya” yang panjang). Didalamnya dituangkan rumusan ketat pokok-pokok
iman, termasuk tentang trinitas — tentu saja dalam katagori pemikiran filsafati pada
waktu itu dan dengan bahan dari Alkitab.
Agustinus menerima penafsiran metaforis atau figuratif atas kitab Kejadian, yang
menyatakan bahwa alam semesta dicipta creatio ex nihilo dalam 6 hari, dan pada hari
ketujuh Allah beristirahat, sesudah melihat semua itu baik adanya. “Allah tidak ingin
mengajarkan kepada manusia hal-hal yang tidak relevan bagi keselamatan mereka”.
Penciptaan bukanlah suatu peristiwa dalam waktu, namun waktu diciptakan bersama
dengan dunia. Penciptaan adalah tindakan tanpa-dimensi-waktu yang melaluinya waktu
menjadi ada, dan tindakan kontinu yang melaluinya Allah memelihara dunia. Istilah ex
nihilo tidak berarti bahwa tiada itu merupakan semacam materi, seperti patung dibuat
dari perunggu, namun hanya berarti “tidak terjadi dari sesuatu yang sudah ada”. Hakikat
alam ciptaan ialah menerima seluruh Adanya dari yang lain, yaitu Sang Khalik. Alam
ciptaan adalah ketergantungan dunia kepada Tuhan.
Disini tidak disinggung persoalan, apakah penciptaan itu terjadi dalam waktu, atau terjadi
pada suatu ketika atau sudah ada sejak zaman kelanggengan. Para ahli filsafat pada
umumnya sependapat bahwa a priori kita tidak dapat memastikan mana yang terjadi. —
Menciptakan, sebagai tindakan aktif, dipandang dari sudut Tuhan, merupakan cetusan
kehendakNya yang bersifat langgeng, karena segala sesuatu dalam Tuhan adalah
langgeng. Tetapi dipandang dari sudut ciptaan, secara pasif, ketergantungan dari Tuhan,
terciptanya itu dapat terjadi dalam arus waktu, atau di luarnya, sejak zaman
kelanggengan. Jadi kelirulah jika dibayangkan bahwa Tuhan suatu ketika menciptakan
alam dunia lalu mengundurkan Diri. Andaikata Tuhan seolah-olah beristirahat, maka
buah ciptaan runtuh kembali ke nihilum, ke ketiadaan. Dunia terus menerus tergantung
pada Tuhan (creatio dan sekaligus conservatio).
Ketika ditanya mengenai apa yang dilakukan Allah sebelum menciptakan dunia,
Agustinus menjawab tidak ada artinya bertanya mengenai itu, karena tidak ada waktu
sebelum penciptaan tersebut.
3. Zaman Skolastik
Saya membagi zaman skolastik dalam 2 tahapan (1) zaman skolastik timur, yang
diwarnai situasi dalam komunitas Islam di Timur Tengah, abad 8 s/d 12 M, dan (2)
zaman skolastik barat, abad 12 s/d 15 M, yang diwarnai oleh perkembangan di Eropa
(termasuk jazirah Spanyol).
Secara sederhana, dalam zaman Patristik, “filsafat teologi”, dengan tanda dapat dibaca
sebagai “identik dengan”, “sama sebangun dengan”, “praktis tidak berbeda dengan”.
Sementara dalam periode skolastik timur, terdapat berbagai interpretasi atas simbul
dalam rumusan “filsafat teologi”, dalam periode skolastik barat tidak ada keraguan
tentang makna simbul dalam rumusan “filsafat teologi”.
3.1. Periode skolastik timur
Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa
dari utara. Pemikiran filsafati praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur Tengah. Sejak
hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada
perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal
abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam
untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin
muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal pada
penggunaan akal dan asas-asas rasional, dan menyelamatkan Islam.
3.1.1. Mazhab Mu’tazila (725 – 850 – 1025 M) meminjam konsep-konsep pemikiran
Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber
pengetahuan (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat,
martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia
mampu membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus
mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari
perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa,
dan hak asasi (kemauan bebas) manusia. Pandangan ini cocok dengan Al Qur’an
(Surah 3 ayat 110): “amr bil-a’ruf wa’l nahy an’al-munkar”.
Mazhab Mu’tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur’an tercipta, artinya “dirumuskan
oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus”. Maka para
Mu’tazila membaca Al Qur’an dengan kacamata rasionalis.
3.1.2. Mazhab falsafah pertama (830 – 1037 M), berhaluan neoplatonis dan aristoteles.
Kata “falsafah” dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab,
ahli fikirnya disebut “faylasuf” (“falasifa – jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870
M), al-Razi (865 – 925 M), al-Farabi (872 – 950 M) dan Ibn-Sina (980 – 1037 M).
Menggumuli masalah klasik “perbedaan antara dhat dan wujud” (“distinctio realis inter
essentiam et existentiam”). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping
iman. Al-Razi menolak ijazu’l Qur’an. Tulis al-Razi: “Tuhan memberi kepada manusia
akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang
bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita
mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita
mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia. Akal itu menghakimi segala-galanya, dan
tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal
semata-mata”.
3.1.3. Mazhab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Ash’ari, berpusat di Bagdad, dan
bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan
bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para
tokohnya: al-Ash’ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).
Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam
dan perbuatan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung
dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak
ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq, “tiada yang tersembunyi
daripadaNya seberat dharahpun” (Al-Qur’an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas
deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. “Kami menyangkal
bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang”. Yang ada hanya monokausalitas
mutlak illahi. Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu,
karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap kegiatan
insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja.
Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. “Bila manusia
bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu
dikehendaki Allah sesuai keadilanNya”.
Dalam “Al-Tahafut al-filasifah” al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20
dalil dan membuat kajian dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20
dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui sebab-sebabnya
dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat “al-aql laysa lahu
fi’l-shar’ majal” — untuk akal tiada tempat dalam agama.
3.1.4. Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di kawasan yang dikenal
sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol
sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat.
Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? – 1185), dan Ibn Rushd (“Averroes”) (1126-1198
M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 – 1195 M) ini.
Ciri para filsuf ini pada umumnya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah
menegaskan adalah tugas seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan
merenungkan kenyataan rohani sampai akhir hayat. Akal adalah hal yang paling
berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.
Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman filsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi
asrar al -himah al-mashiriyyah.
Ibn Rushd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis
(tentang karya-karya filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela
Islam dari ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-
Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa
ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita
menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai
nyata dengan akal. Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara langsung
oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa’ith), seluruh dunia
dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu
bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur’an, yang melukiskan dunia
sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana.
Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup
filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam
teologi. Rushd melihat filsafat sebagai “sahabat al-shari’at w’ahat al-ruzdat”, teman
teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur’an, agar manusia dapat
memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7
ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17) . Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai
studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.
Pengaruh Ibn Rushd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya
mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan “sekeranjang buku
seberat sosok mayatnya”. Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di lingkungan
kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang
dijuluki “Sang Filsuf” diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rushd yang oleh
karena itu mendapat julukan “Sang Komentator”. Sebagai akibatnya, obor perenungan
filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf
muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf
Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia. Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim
dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan
realitas di sekelilingnya.
3.2. Perioda skolastik Barat
Awal abad 13 ditandai dengan 3 hal penting: (1) berdirinya universitas-universitas, (2)
munculnya ordo-ordo kebiaraan baru (Fransiskan dan Dominikan), dan (3)
diketemukannya filsafat Yunani, melalui komentar Ibn Rushd, yang dipelajari dan dikritik
dan diteliti dengan cermat oleh Thomas Aquinas (1225 – 1274 M). Tema filsafat perioda
ini adalah hubungan akal budi dan iman, adanya dan hakikat Tuhan, antropologi, etika
dan politik.
Otonomi filsafat yang bertumpu pada akal, yang merupakan salah satu kodrat manusia,
dipertahankan. Menurut Thomas Aquinas, akal memampukan manusia mengenali
kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sebaliknya teologi memerlukan wahyu
adikodrati. Berkat wahyu adikodrati itu teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat
misteri dalam arti ketat (misalnya misteri tentang trinitas, inkarnasi, sakramen). Karena
itu teologi memerlukan iman, karena hanya dapat dijelaskan dan diterima dalam iman.
Dengan iman yang merupakan sikap penerimaan total manusia atas wibawa Allah,
manusia mampu mencapai pengetahuan yang mengatasi akal. Meski misteri ini
mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan akal. Meski akal tidak dapat menemukan
(menguak) misteri, akal dapat meratakan jalan menuju misteri (“prae-ambulum fidei”).
Dengan ini Thomas Aquinas menegaskan adanya dua pengetahuan yang tidak perlu
bertentangan, atau dipertentangkan, tetapi berdiri sendiri berdampingan: pengetahuan
alamiah (yang berpangkal pada akal budi) dan pengetahuan iman (yang bersumber
pada kitab suci dan tradisi keagamaan). Adalah Wihelm Dilthey (1839-1911) yang
akhirnya membedakan dengan tegas “Geisteswissenschaften” = “human sciences” dari
“Naturwisensshaften” = “natural sciences”, sementara Max Weber membedakan
“erklaeren” sebagai ciri-ciri ilmu alam dari “verstehen” yang merupakan ciri khas ilmu-
ilmu kemanusiaan.

Daftar isi
[sembunyikan]
 1Perbedaan dengan Filsafat Barat
o 1.1Pengetahuan
o 1.2Sikap Terhadap Alam
o 1.3Cita-cita Hidup
o 1.4Status Manusia
 2Lihat Juga
 3Referensi
 4Pranala luar

Perbedaan dengan Filsafat Barat[sunting | sunting sumber]


Filsafat Barat dan Filsafat Timur tampak amat berbeda sebab berkembang di dalam
budaya yang amat berbeda, dan sepanjang sejarah tidak terlalu banyak pertemuan di
antara keduanya, kecuali di dalam filsafat Islam.[1] Meskipun demikian, bukan berarti
tidak ada persamaan di antara keduanya.[1]

Pengetahuan[sunting | sunting sumber]


Filsafat Barat sejak masa Yunani telah menekankan akal budi dan pemikiran yang
rasional sebagai pusat kodrat manusia.[6] Filsafat Timur lebih menekankan hati daripada
akal budi, sebab hati dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan akal budi dan
intuisi, serta intelegensi dan perasaan.[6] Tujuan utama berfilsafat adalah menjadi
bijaksana dan menghayati kehidupan, dan untuk itu pengetahuan harus disertai dengan
moralitas.[6]

Sikap Terhadap Alam[sunting | sunting sumber]


Filsafat Barat menjadikan manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek sehingga
menghasilkan eksploitasi berlebihan atas alam.[6] Sementara itu, filsafat Timur
menjadikan harmoni antara manusia dengan alam sebagai kunci.[6] Manusia berasal
alam namun sekaligus menyadari keunikannya di tengah alam.[6]

Cita-cita Hidup[sunting | sunting sumber]


Jikalau filsafat Barat menganggap mengisi hidup dengan bekerja dan bersikap aktif
sebagai kebaikan tertinggi, cita-cita filsafat Timur adalah harmoni, ketenangan, dan
kedamaian hati.[6] Kehidupan hendaknya dijalani dengan sederhana, tenang, dan
menyelaraskan diri dengan lingkungan.[6]

Status Manusia[sunting | sunting sumber]


Filsafat Barat amat menekankan status manusia sebagai individu dengan segala
kebebasan yang ia miliki, dan masyarakat tidak bisa menghilangkan status seorang
manusia dengan kebebasannya.[6] Filsafat Timur menekankan martabat manusia tetapi
dengan penekanan yang berbeda, sehingga manusia ada bukan untuk dirinya melainkan
ada di dalam solidaritas dengan sesamanya.[6]

Das könnte Ihnen auch gefallen