Sie sind auf Seite 1von 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Post Partum
1. Pengertian
Post partum atau masa nifas adalah masa sesudahnya persalinan
terhitung dari saat selesai persalinan sampai pulihnya kembali alat kandungan
ke keadaan sebelum hamil dan lamanya masa nifas kurang lebih 6 minggu
(Rahayu, 2016). Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran
bayi, plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ
kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu
(Saleha dalam Pitriani, 2015).
Masa nifas (puerperium) menurut Bahiyatun (2009) adalah masa pulih
kembali, mulai dari persalinan selesai hingga alat-alat kandungan kembali
seperti prahamil. Lama masa nifas ini, yaitu 6-8 minggu. Nifas dibagi dalam 3
periode, yaitu :
a. Puerperium dini, yaitu kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan.
b. Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genital
c. Remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mengalami
komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna mungkin beberapa minggu,
bulan atau tahun.
2. Perubahan pikologis
Adaptasi psikologis ibu setelah melahirkan, akan mengalami fase- fase
sebagai berikut (Ambarwati dan Wulandari, 2009):
a. Fase Taking In
Periode ketergantungan yang berlangsung pada hari pertama sampai hari
kedua setelah melahirkan, pada saat itu fokus perhatian ibu terutama pada
dirinya sendiri.
b. Fase Taking Hold
Periode yang berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan, fase ini
baru merasa khawatir akan ketidakmampuannya dan rasa tanggung jawab
dalam merawat bayinya.
c. Fase Letting Go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya
yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah dapat
menyusuaikan diri, merawat diri dan bayinya.
3. Perubahan fisiologi
a. Sistem Reproduksi
1) Uterus
Involusi adalah proses kembalinya uterus pada keadaan semula
(sebelum hamil) setelah melahirkan (Reeder dalam Tetti dan Cecep,
2015). Uterus berinvolusi dengan cepat setelah ibu melahirkan dan
kembali ke ukuran normal dalam waktu 6-8 minggu. Perubahan uterus
setelah melahirkan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Tabel Involusi uterus pada masa post partum
Involusi Tinggi Fundus Berat Diameter Keadaan
uteri Uteri (TFU) Uterus Uterus Cervix
Setelah Setinggi pusat 1000 gram 12,5 cm Lembut
plasenta
lahir
1 minggu Pertengahan 500 gram 7,5 cm Dapat dilalui
pusat dan 2 jari
simpisis
2 minggu Tidak teraba 350 gram 5 cm Dapat
dimasuki 1
jari
6 minggu Normal 60 gram 2,5 cm normal
(Reeder dalam Tetti dan Cecep, 2015)
2) Lochea
Lochea adalah cairan ang dikeluarkan dari uterus melalui vagina dalam
masa nifas. Lochea ini berbau anyir dalam keadaan normal, tidak
berbau busuk. Menurut Padila (2014), Lochea terbagi menjadi empat
tahap, yaitu Lochea rubra, lochea sanguinolenta, lochea serosa, dan
lochea alba.
a) Lochea Rubra
Lochea yang berwarna merah terang terdiri dari darah, sel desidua,
verniks kaseosa, sisa meconium, lanugo yang keluar pada hari
pertama sampai hari ketiga.
b) Lochea Sanguinolenta
Lochea yang berwarna putih bercampur merah keluar mulai hari
ketiga sampai hari ketujuh.
c) Lochea Serosa
Lochea serosa berwarna kekuningan yang keluar dari hari ketujuh
sampai hari keempat belas.
d) Lochea Alba
Dua minggu paska persalinan, lochea menjadi cairan putih yang
lebih encer dan transaparan dan berlanjut sampai enam minggu.
3) Serviks
Kondisi serviks akan kembali pada bentuk semula setelah dua minggu
paska persalinan (Perry & Lowdermilk dalam Tetti dan Cecep, 2015).
4) Vagina dan Perineum
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang
sangat besar selama proses persalinan dan akan kembali secara
bertahap dalam 6-8 minggu postpartum. Penurunan hormon estrogen
pada masa postpartum berperan dalam penipisan mukosa vagina dan
hilangnya rugae. Rugae (lipatan pada dinding vagina) akan terlihat
kembali pada sekitar minggu ke 4 stelah melahirkan. Perubahan pada
perineum paska melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami
robekan. Menurut Littleton & Engebreston dalam Tetti dan Cecep
(2015), dalam penilaian REEDA untuk luka pada perineum adalah
sebagai berikut.
a) Pada minggu pertama post partum jumlah skor REEDA biasanya
dalam rentang 0-3
b) Pada minggu kedua post partum jumlah skor berada dalam rentang
0-1. Artinya luka perineum sudah tidak memiliki tanda kemerahan,
pembengkakan, kebiruan, pengeluaran dari luka yang tidak berupa
darah serta keadaan jahitan yang semakin menutup. Sedangkan,
menurut Manuaba dalam Tetti dan Cecep (2015), faktor-faktor
yang memengaruhi proses penyembukan luka perineum antara
lain; usia, nutrisi dan latihan kegel.
b. Endokrin
Hormone Estrogen dan progesterone mengalami penurunan, sedangkan
prolactin dan oksitosisn mengalami peningkatan yang dipengaruhi oleh
proses menyusui.
c. Urinarius
1) Diuresis pada awal periode post partum.
2) Penurunan sensasi kandung kemih
d. Sistem Pencernaan
1) Nafsu makan
Ibu post partum biasanya akan meningkat pesat nafsu makannya
dan akan mengonsumsi makanan dalam porsi besar setelah pulih dari
keletihan paska melahirkan dan juga dari pengaruh analgesia dan
anesthesia. Asupan nutrisi yang adekuat berguna untuk mempercepat
proses pemulihan setelah melahirkan serta untuk memproduksi ASI
yang cukup untuk kebutuhan dan kesehatan bayi, mengembalikan
tenaga ibu lebih cepat, dan ibu lebih mampu menghadapi infeksi
(Guiterrez dalam Tetti dan Cecep, 2015).
2) Eliminasi feses
Paska melahirkan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini
disebabkan oleh penurunan tonus otot usus dan motilitas usus dan
juga kurangnya asupan makanan dan dehidrasi selama persalinan dan
pelahiran (Susilo rini, 2016). Proses buang air besar biasanya dibantu
dengan pelunakan feses atau laksatif. Selain itu, nyeri perineum yang
dialami ibu posr partum karena hemorrhoid dapat memicu rasa nyeri
saat defekasi sehingga menghambat defekasi spontan (Reeder dalam
Tetty dan cecep, 2015). Pemulihan defekasi terjadi lambat dalam
waktu 1 minggu, karena penurunan motilitas usus dan gangguan
kenyamanan pada perineum (Bobak dalam Bahiyatun, 2009).
e. Sistem Kardiovaskuler
Pada persalinan pervaginam mengalami kehilangan darah sekitar 300-
400 cc, sedangkan pada persalinan dengan seksio sesarea mengalami
dua kali lipatnya. Ibu akan kehilangan volume plasma pada 72 jam pertama
post partum, peningkatan hematocrit pada hari ketujuh akan kembali pada
4-5 minggu post partum, terjadi peningkatan trombositosis, peningkatan
leukosit sampai dengan 12.000/mm2, dan cardiac ouput meningkat
sehingga sering terjadi bradikardi. (Padila, 2014).
f. Sistem Muskuloskeletal
Peregangan otot-otot pada dinding perut yaitu pada muskulus rektus
abdominis. Dinding perut menjadi lembek dan kendur dan akan kembali ±
6 minggu post partum. Dengan latihan, pengembalian otot ke keadaan
semula menjadi lebih cepat. Selain itu, pengamatan juga dilakukan pada
ekstremitas seperti tungkai untuk mendeteksi adanya tanda-tanda
tromboflebitis paska partum (Tetti dan cecep, 2015).
4. Tanda-tanda Bahaya Masa Nifas
a. Pengertian
Tanda-tanda bahaya masa nifas adalah suatu tanda yang abnormal yang
mengindikasikan adanya bahaya atau komplikasi yang dapat terjadi
selama masa nifas, apabila tidak dilaporkan atau tidak terdeteksi bisa
menyebabkan kematian ibu (Rosana, 2016)
b. Tanda bahaya masa nifas
1) Perdarahan post partum
a) Pengertian
Perdarahan pasca persalinan (post partum) adalah perdarahan
yang melebihi 500-600 ml setelah bayi lahir (Jannah, 2012).
Menurut waktu terjadinya dibagi atas 2 bagian :
(1) Perdarahan post partum primer (Early post partum
hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah bayi lahir.
Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa
plasenta dan robekan jalan lahir.
(2) Perdarahan post partum sekunder (Late post partum
hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam. Penyebab utamanya
adalah sub involusi, infeksi nifas dan sisa plasenta
b) Penyebab
Faktor-faktor penyebab perdarahan post partum menurut David Liu
(2008) adalah
(1) Paritas lebih dari 5
(2) Jarak persalinan pendek, kurang dari 2 tahun
(3) Persalinan yang lama khususnya setelah penggunaan
oksitoksik
(4) Trauma kelahiran, pembedahan dan inversi uterus
(5) Kesehatan ibu yang buruk
(6) Kontraksi/retraksi uterus yang buruk, contohnya pada grande
multipara, atau jika uterus terlalu mengembang (misalnya
kehamilan multipel)
(7) Episiotomy dapat turut berperan dalam kehilangan darah
sampai 150 ml. Episiotomi harus diperbaiki secara cepat untuk
mengurangi kehilangan darah
2) Lochea yang berbau busuk
a) Pengertian
Lochea adalah sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina
dalam masa nifas. Sedangkan lochea yang berbau busuk adalah
sekret yang berasal dari avum uteri dan vagina dalam masa nifas
yang berupa cairan seperti nanah yang berbau busuk (Jannah,
2016)
b) Penyebab
Ini terjadi karena infeksi dan komplikasi plasenta rest. Plasenta rest
merupakan bentuk perdarahan pasca partus berkepanjangan
sehingga pengeluaran lokia disertai darah lebih dari 7-10 hari.
Dapat terjadi perdarahan baru setelah pengeluaran lokia normal,
dan dapat berbau akibat infeksi plesenta rest. Pada evaluasi
pemeriksaan dalam terdapat pembukaan dan masih dapat diraba
sisa plasenta atau membrannya. Sub involusi uteri karena infeksi
dan menimbulkan perdarahan terlambat (David Liu, 2008).
3) Pengecilan rahim terganggu (Sub involusi uterus)
a) Pengertian
Involusi adalah keadaan uterus mengecil oleh kontraksi rahim
dimana berat rahim dari 1000 gram saat setelah bersalin menadi
40-60 gram 6 minggu kemudian. Bila pengecilan ini kurang baik
atau terganggu disebut sub involusi (Ambarwati, 2009)
Pada pemeriksaan bimanual ditemukan uterus lebih besar dan
lebih lembek dari seharusnya, fundus masih tinggi, lokia banyak
dan berbau, dan tidak jarang terdapat perdarahan (Rahayu, 2016).
b) Penyebab
Faktor penyebab sub involusi antara lain
(1) Sisa plasenta dalam uterus
(2) Endometritis
(3) Adanya mioma uteri
4) Perasaan sedih yang berkaitan dengan bayinya (post partum blues)
Ada kalanya ibu mengalami perasaan sedih yang berkaitan dengan
bayinya. Keadaan ini disebut post partum blues, yang disebabkan oleh
perubahan perasaan yang dialami ibu saat hamil sehingga sulit
menerima kehadiran bayinya. Perubahan perasaan ini merupakan
respon alami terhadap rasa lelah yang dirasakan, selain itu juga karena
perubahan fisik dan emosional selama beberapa bulan kehamilan
(Ambarwati, 2009). Gejala-gejala post partum blues antara lain :
a) Menangis
b) Mengalami perubahan perasaan
c) Cemas
d) Khawatir mengenai sang bayi
B. Post partum Blues
1. Pengertian
Post partum blues adalah gejala depresi yang biasanya dialami oleh
perempuan paska persalinan pada antara hari ke 7 hingga ke 14, yang terjadi
untuk sementara waktu dan akan hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan.
Blues ditandai dengan gejala-gejala yang mirip dengan kondisi depresi, antara
lain mudah menangis, mudah tersinggung, sedih dan adanya ketidakstabilan
emosi (pergantian emosi antara sedih, tersinggung, marah terjadi dalam waktu
singkat) (Sylvia, 2011).
Post partum blues merupakan kesedihan atau kemurungan setelah
melahirkan, biasanya hanya muncul sementara waktu, yakni sekitar dua hari
hingga dua minggu sejak kelahiran bayi. Tanda dan gejalanya antara lain
cemas tanpa sebab, menangis tanpa sebab, tidak sabar, tidak percaya diri,
sensitif atau mudah tersinggung, serta merasa kurang menyayangi bayinya
(Dahro, 2012).
2. Penyebab Post Partum Blues
Beberapa penyebab post partum blues (Saryono dan Ryan, 2010)
diantaranya:
a. Perubahan Hormon
b. Stress
c. Frustasi karena bayi tidak mau tidur, nangis dan gumoh
d. Kelelahan pasca melahirkan, dan sakitnya akibat operasi.
e. Suami yang tidak membantu, tidak mau mengerti perasaan istri maupun
persoalan lainnya dengan suami.
f. Takut untuk memulai hubungan suami istri, anak akan terganggu.
g. Problem dengan si Sulung.
3. Penanganan post partum blues
Cara mengatasi gangguan psikologi pada ibu nifas dengan postpartum blues
ada dua cara yaitu :
a. Dengan cara pendekatan komunikasi terapeutik :
1) Membantu pasien mampu untuk meredakan segala ketegangan
emosinya
2) Dapat memahami dirinya
3) Dapat mendukung tindakan support mental
b. Dengan cara peningkatan support mental:
Beberapa cara peningkatan support mental yang dapat dilakukan
keluarga diantaranya:
1) Suami dapat membantu istrinya untuk mengurus bayi bersama.
2) Suami seharusnya tahu permasalahan yang dihadapi istrinya dan
lebih perhatian terhadap istrinya.
3) Memperbanyak dukungan dari suami.
4) Suami mampu menggantikan peran istri ketika istrinya kelelahan.
5) Suami sering menemani istri dalam mengurus bayinya.

4. Mencegah post partum blues


Menurut Saryono dan Ryan (2010), kiat yang dapat mengurangi risiko post
partum blues antara lain :
a. Pelajari diri sendiri
b. Tidur dan makan yang cukup
c. Olahraga
d. Dukungan keluarga dan teman
e. Persiapkan diri dengan baik
f. Lakukan pekerjaan rumah tangga

C. Jenis persalinan
1. Pengertian persalinan
Persalinan sering disebut dengan nama partus. Persalinan dan kelahiran
normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup
bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentase belakang kepala
berlangsung dalam 18-24 jam tanpa komplikasi, baik pada ibu maupun pada
janin (Wiknjosastro, 2009). Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil
konsepsi (janin dan uri) yang dapat hidup ke dunia luar dari rahim melalui jalan
lahir atau dengan jalan lain (Tetti dan Cecep, 2015). Maka dapat disimpulkan
bahwa persalinan adalah pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan
cukup bulan lahir spontan dengan presentase belakang kepala dan siap hidup
di luar kandungan.
2. Jenis-jenis Persalinan
Jenis persalinan menurut Oktarina (2016) dinilai dari cara persalinan
dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Partus biasa (normal) adalah proses lahirnya
bayi pada Letak Belakang Kepala (LBK) dengan tenaga ibu sendiri, tanpa
bantuan alat dan tidak melukai ibu maupun bayi yang umumnya berlangsung
kurang dari 24 jam; 2) Partus luar biasa (abnormal) adalah persalinan
pervaginam dengan bantuan alat-alat atau melalui dinding perut dengan
operasi sectio sesarea.
a. Persalinan dengan tindakan adalah persalinan yang tidak dapat berjalan
normal secara spontan atau tidak berjalan sendiri, karena terdapat indikasi
adanya penyulit sehingga persalinan dilakukan dengan alat bantu
(Chamberlain dan Steer dalam Oktarina, 2016).
1) Persalinan tindakan pervaginam
Persalinan tindakan pervaginam meliputi : ekstraksi vakum dan forsep
untuk bayi yang masih hidup dan embriotomi untuk bayi yang sudah
meninggal.
a) Persalinan dengan Ekstraksi Vakum
Persalinan melalui vagina dengan bantuan alat ekstraksi vakum,
yaitu suatu cup yang terbuat dari baja atau sebuah plastik yang
fleksibel dan lentur (Ling & Duff dalam David Liu, 2008).
b) Persalinan dengan Forsep
Persalinan dengan forsep merupakan persalinan tindakan melalui
jalan lahir (vagina) menggunakan alat berbentuk bilah baja dobel
yang ditempatkan dalam vagina dan pada sisi lain terkunci sebagai
penjepit kepala bayi (David Liu, 2008). Persalinan dengan forsep
hanya dapat dilakukan jika pembukaan jalan lahir lengkap dan
kepala bayi dengan ukuran terbesar telah melewati pintu atas
panggul dan hampir sepenuhnya berputar, kulit kepala kelihatan
secara mudah, dan kandung kencing ibu harus kosong (David Liu,
2008)
2) Persalinan dengan Seksio Sesarea
a) Pengertian
Seksio sesarea merupakan proses persalinan bayi melalui
pembedahan dengan melakukan insisi pada abdomen dan uterus
ibu (David Liu, 2008). Sedangkan menurut Wiknjosastro (2009)
seksio sesarea merupakan suatu persalinan buatan, yaitu janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat Rahim dalam keadaan utuh serta bobot janin di atas
500 gram. Seksio sesarea menurut Bobak (2008) adalah cara
melahirkan janin dengan menggunakan insisi pada perut dan
uterus.
Dari semua pengertian, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan seksio sesarea adalah suatu proses persalinan
buatan yang dilakukan melalui pembedahan dengan cara
melakukan insisi pada dinding perut dan dinding rahim ibu, dengan
syarat rahim harus dalam keadaan utuh, serta janin memiliki bobot
badan di atas 500 gram.
b) Indikasi
Menurut David Liu (2008), Indikasi dilakukannya seksio
sesarea pada klien karena adanya keadaan sebagai berikut :
(1) Mengatasi Cephalo Pelvic Disproportion (CPD) dan aktivitas
uterus abnormal
(2) Mempercepat pelahiran untuk keselamatan ibu atau janin
(3) Mengurangi trauma janin (misalnya presentasi bokong
premature kecil) dan infeksi janin (misanya risik tertular HIV)
(4) Mengurangi risiko pada ibu (gangguan jantung, lesi intracranial
atau keganasan pada serviks)
(5) Memungkinkan ibu untuk menjalankan pilihan sesuai
keinginan.
c) Tipe
Menurut Bobak dalam Rahayu (2016), pada umumnya ada dua
tipe insisi pada pembedahan seksio sesarea, yaitu sebagai berikut:
(1) Seksio sesarea klasik
Insisi dibuat vertical pada kulit abdomen dan uterus
(2) Seksio sesarea segmen bawah (Lower-Segmen Cesarean
Birth). Ada 2 cara :
(a) Insisi dilakukan pada lower cervical dan dibuat secara
horizontal pada kulit abdomen, sedangkan pada uterus
dibuat vertical.
(b) Insisi dilakukan pada lower cervical dan dibuat secara
horizontal pada kulit abdomen dan uterus.
d) Dampak dari paska seksio sesarea
(1) Dampak fisik
Dampak fisik atau fisiologis yang sering muncul pada
pasien paska seksio sesarea, seperti : rasa yeri, kelemahan,
gangguan integritas kulit, ketidaknyamanan akibat perdarahan,
risiko infeksi dan sulit tidur (Duffet & Smith dalam Rukiyah,
2010).
Pada beberapa pertama, dampak fisik paska seksio
sesarea didominasi oleh nyeri di area insisi operasi, nyeri karena
ada gas di usus dan nyeri karena adanya kontraksi otot-otot
polos uterus (afterpain). Nyeri karena distensi abdomen paska
operasi disebabkan adanya gas pada usus halus. Upaya untuk
meringankan nyeri ini adalah dengan menganurkan klien untuk
ambulasi, serta menghindari makanan yang mengandung gas
dan minuman berkarbohidrat (Lowdermilk, Perry dalam Tetty
dan Cecep, 2015).
Nyeri yang dirasakan dapat mengganggu istirahat tidur
klien juga mengganggu aktivitas sehari-hari sehingga klien
membutuhkan bantuan, kesulitan untuk memberikan ASI pada
bayinya, dan dapat menyulitkan ibu untuk merawat bayinya
secara mandiri dengan segera (Rahayu, 2016). Intensitas nyeri
yang dialami oleh klien dengan tindakan seksio sesarea
biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan klien yang
melahirkan secara pervaginam. Selain itu, rasa nyeri yang
dialami oleh klien dengan tindakan seksio sesarea ini dilaporkan
terjadi lebih lama dibandingkan dengan wanita yang melahirkan
secara pervaginam (Childbirth Connection dalam Susilo Rini,
2016).
Rasa nyeri akan menimbulkan perasaan tidak nyaman, jika
hal ini tidak segera diatasi maka dapat menimbulkan efek
membahayakan yang akan mengganggu proses penyembuhan.
Hal ini terjadi karena rasa nyeri berkepanjangan dapat
menimbulkan beberapa gangguan, seperti tidak mampu
bernapas dengan dalam, gangguan mobilitas, menurunkan
nafsu makan sehingga akan menghambat proses
penyembuhan. Rasa nyeri yang tidak segera diatasi akan
berdampak pada masalah psikologis klien (Tetty dan Cecep,
2015).
(2) Dampak psikologis
Masalah psikologis sering muncul akibat dari rasa nyeri
yang dialami oleh klien paska operasi seksio sesarea. Sensasi
nyeri akut paska seksio sesarea dapat memengaruhi keadaan
psikologis klien dalam jangka waktu yang lama. Seperti
mengakibatkan ketakutan, mengganggu proses pengenalan
ibu dengan bayinya, dan membuat ibu merasa tertekan (Mai &
Mahlmeister dalam Sylvia, 2011).
Dampak psikologis yang sering terjadi pada klien paska
seksio sesarea adalah kecemasan. Kecemasan (anxiety)
adalah pengalaman manusia yang universal, suatu respons
emosional (afektif) yang tidak menyenangkan dan penuh
kekhawatiran, suatu rasa takut yang tidak terekspresikan dan
tidak terarah karena suatu ancaman atau pikiran tentang
sesuatu yang akan datang, tidak jelas, dan tidak
teridentifikasikan (Kaplan & Sudock dalam Rukiyah, 2010).
Adanya rasa cemas dan nyeri akibat luka paska seksio
sesarea menyebabkan klien tampak kelelahan, persepsi
terhadap waktu menurun, kurang percaya diri, ketakutan, serta
merasa kehilangan harga diri. Selain itu, klien menjadi kurang
yakin akan kemampuannya dalam mengontrol emosi, tidak
mampu merawat bayi, serta timbul perasaan takut akan rasa
nyeri di persalinan selanjutnya. Dengan demikian, apabila
masalah ini tidak segera diatasi, maka akan muncul masalah-
masalah baru, baik pada ibu maupun bayinya (Tetty dan
Cecep, 2015).

C. Konsep Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan menurut Plato, menyatakan pengetahuan sebagai
“Kepercayaan sejati yang dibenarkan (valid)” (justified true belief). Menurut
Notoatmodjo (2010), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012), pengetahuan adalah sesuatu yang
diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini
dipengaruhi berbagai faktor dari dalam, seperti motivasi dan faktor luar berupa
sarana informasi yang tersedia, serta keadaan sosial budaya.
Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah fakta dari
suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara
orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu
pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat
mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru
(Budiman dan Agus, 2013).
2. Jenis Pengetahuan
Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam konteks
kesehatan sangat beraneka ragam. Pengetahuan merupakan bagian perilaku
kesehatan. Jenis pengetahuan di antaranya sebagai berikut :
a. Pengetahuan implisit
Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam
bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat
nyata, seperti keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip. Pengetahuan
seseorang biasanya sulit untuk ditransfer ke orang lain baik secara tertulis
ataupun lisan. Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan
budaya bahkan bisa tidak disadari.
b. Pengetahuan eksplisit
Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasikan
atau disimpan dalam wujud nyata, bisa dalam wujud perilaku kesehatan.
Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakan-tindakan yang
berhubungan dengan kesehatan.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Pengetahuan dapat mempengaruhi prilaku dan sikap seseorang, namun
banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan itu sendiri. Adapun
menurut Notoatmodjo (2010) menjelaskan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan diantaranya sebagai berikut :
a. Pendidikan
Pendidikan dijelaskan sebagai suatu usaha untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah (baik formal
maupun nonformal), berlangsung seumur hidup. Pengetahuan sangat erat
kaitannya dengan pendidikan di mana diharapkan seseorang dengan
pendidikan tinggi, orang tersebut akan semakin luas pengetahuannya.
Dengan pendidikan tinggi, maka seseorang akan cenderung untuk
mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa.
Namun, perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak
berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.
b. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi
di masa lalu. Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri
maupun orang lain. Pengalaman yang telah diperoleh dapat memperluas
pengetahuan seseorang.
c. Informasi/media massa
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun nonformal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
Berkembangnya teknologi akan menyediakan bermacam-macam media
massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang
inovasi baru. Media massa juga membawa pesan-pesan yang berisi
sugesti yang memiliki pengaruh terhadap pembentukan opini dan
kepercayaan orang sehingga dapat mengarahkan opini seseorang.
Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan
kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.
d. Sosial, budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk, sehingga pengetahuan
seseorang akan bertambah walaupun tidak melakukannya. Status
ekonomi juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang
diperlukan untuk kegiatan tertentu sehingga status social ekonomi ini akan
memengaruhi pengetahuan seseorang.
e. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun social. Lingkungan berpengaruh
terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu, karena
adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspons sebagai
pengetahuan oleh setiap individu.
f. Usia
Usia memengaruhi daya tangkap dan pola piker seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola
pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.
4. Tingkatan Pengetahuan
Tingkatan pengetahuan menurut Benjamin S. Bloom (1956) dalam
Budiman dan Agus (2013) ada enam tahapan, yaitu sebagai berikut:
a. Tahu (know)
Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan,
definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dan
sebagainya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
tersebut secara benar
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi dan masih ada kaitanna satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis merujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
f. Evalusi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
5. Pengukuran tingkat pengetahuan
Menurut Skinner, bila seseorang mampu menjawab mengenai materi
tertentu baik secara lisan maupun tulisan, maka dikatakan seseorang tersebut
mengetahui bidang tersebut. Sekumpulan jawaban yang diberikan tersebut
dinamakan pengetahuan. Pengukuran bobot pengetahuan seseorang
ditetapkan menurut hal-hal sebagai berikut :
1) Bobot I : tahap tahu dan pemahaman
2) Bobot II : tahap tahu, pemahaman, aplikasi dan analisis
3) Bobot III : tahap tahu, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis
dan evaluasi.

Jadi, pengetahuan ibu tentang post partum blues adalah segala sesuatu yang
diketahui dan dipahami ibu yang sedang berada pada masa nifas, yaitu masa
sesudah bersalin sejak saat selesai persalinan sampai organ kandungan pulih ke
keadaan sebelum hamil kurang lebih selama 6 minggu berkaitan dengan
pengertian, penyebab, tanda gejala dan dampak dari masa nifas tersebut.

D. Hubungan antara Pengetahuan Ibu tentang Post partum blues dan Jenis
persalinan dengan kejadian Post partum blues

Dalam menghadapi kegiatan dan peran baru sebagai ibu, dibutuhkan


beberapa penyesuaian di minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah
melahirkan. Sebagian ibu dapat menyesuaikan diri dengan baik, namun sebagian
lainnya tidak berhasil dan mengalami gangguan psikologis yang disebut dengan
post partum blues. Post partum blues sendiri diduga dapat diakibatkan oleh
beberapa faktor, diantaranya faktor hormonal, faktor umur dan paritas, faktor
dukungan sosial suami, faktor pengetahuan ibu dan faktor jenis persalinan
(Saryono dan Ryan, 2010).
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah melakukan
pengindraan terhadap suatu objek sehingga pengetahuan merupakan faktor
penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoadmodjo, 2010).
Terbentuknya perilaku ini dapat mendorong ibu untuk mencari informasi yang
lebih jelas mengenai post partum blues. Sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan Hikmah (2010) bahwa informasi asuhan nifas memiliki hubungan yang
bermakna untuk mencegah terjadinya post partum blues. Ini menunjukkan bahwa
pentingnya informasi yang didapat oleh ibu post partum menurunkan tingkat
kecemasan dan stress yang dapat memicu terjadinya post partum blues.
Sedangkan, jenis persalinan yang mungkin dapat menjadi penyebab post
partum blues adalah persalinan normal dengan bantuan alat dan persalinan
dengan sectio caesarea. Persalinan dengan operasi sectio caesarea mungkin
dapat menimbulkan reaksi emosional yang tidak diharapkan. Gejala post partum
blues yang dipicu proses persalinan secara sectio caesarea dengan alasan medis
dapat menimbulkan konsekuensi beban finansial proses persalinan, luka operasi
yang membekas, terganggunya aktivitas keseharian karena luka operasi, luka
operasi membuat ibu tidak bisa melakukan upaya-upaya langsung untuk
menurunkan berat badannya (Andrew Umaya, 2014). Persalinan normal juga
diketahui dapat memicu munculnya gejala post partum blues, contohnya
persalinan yang lama. Pemicu post partum blues diduga karena lamanya
persalinan, serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan.
Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka
akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan
perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi pasca persalinan (Devi
dan Yetti, 2015).
E. Kerangka Teori

Jenis Persalinan :

a. Partus biasa
(normal)
Faktor penyebab partum
b. Partus luar biasa
blues :
(abnormal)
1. Jenis persalinan

2. Dukungan suami
Post partum
3. Perubahan hormone
blues
4. Faktor demografi (usia
Dipengaruhi oleh : dan paritas ibu)

a. Pendidikan
b. Pengalaman 5. Pengetahuan ibu
c. Informasi/media tentang Post partum
massa blues
d. Sosial, budaya
dan ekonomi
e. Lingkungan
f. Usia

Sumber : Notoatmodjo (2010), Padila (2014)

Keterangan :

: diteliti

: tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Das könnte Ihnen auch gefallen