Sie sind auf Seite 1von 61

Last Updated: June 26th, 2007

KONSENSUS NASIONAL

Diagnosis dan Penatalaksanaan Paripurna


Infeksi pada Usia Lanjut

PERGEMI

PERHIMPUNAN GERONTOLOGI MEDIK INDONESIA (PERGEMI)


JAKARTA, MEI 2007
Bab 1. Pendahuluan

Latar Belakang
Infeksi merupakan masalah yang umum terjadi pada usia lanjut dan merupakan penyebab yang
signifikan terjadinya morbiditas dan mortalitas populasi kelompok usia tersebut. Pneumonia
dan influenza menempati urutan ke lima sementara sepsis menempati urutan ke sepuluh
penyebab kematian pada kelompok usia 65 tahun atau lebih. Infeksi juga merupakan alasan
utama perawatan di rumah sakit pada usia lanjut yang tinggal di komunitas dan merupakan
diagnosis yang paling sering menyebabkan seorang usia lanjut penghuni tempat perawatan
jangka-panjang (long-term care facilities) dipindahkan ke ruang perawatan akut di rumah
sakit.
Ada beberapa alasan mengapa seorang berusia lanjut berada pada risiko tinggi terjadinya
infeksi dengan komplikasi yang serius akibat infeksi. Perubahan fungsi organ terkait-usia,
seperti sirkulasi yang buruk dan menurunnya refleks batuk, juga adanya berbagai penyakit
komorbid berkontribusi secara bermakna terhadap timbulnya infeksi tertentu. Selain itu,
meningkatnya penggunaan peralatan dan tindakan invasif (seperti kateter intravena dan urin,
selang makanan [feeding tube], pacu jantung, dan defibrilator) di satu sisi banyak manfaatnya
namun di sisi lain juga meningkatkan risiko terjadinya infeksi tertentu. Penuaan sendiri
berkaitan dengan sejumlah perubahan fungsi imun –yang umumnya berupa penurunan–, baik
imunitas humoral dan seluler. Terakhir, mulai banyaknya populasi usia lanjut yang tinggal di
tempat perawatan jangka-panjang dan panti werdha, menimbulkan berbagai masalah khusus
terkait higiene lingkungan akibat tinggal di lingkungan tersebut.
Di sisi lain, berbagai penelitian dan pengalaman klinis menunjukkan bahwa menegakkan
diagnosis terjadinya infeksi pada usia lanjut tidak selalu mudah. Tampilan klinis yang tidak
khas disertai berbagai kemunduran status fungsional dan kognitif serta adanya penyakit-
penyakit komorbid kronik yang lain membuat munculnya infeksi pada usia lanjut sering tidak
dapat dideteksi pada tahap awal. Sementara pada sebagian besar kasus pemberian antibiotik
empirik yang cepat dan tepat, disertai terapi suportif yang adekuat, sangat mempengaruhi
perjalanan penyakit dan prognosis pasien usia lanjut yang mengalami infeksi. Keterlambatan
diagnosis akan mempengaruhi saat memulai terapi yang pada akhirnya meningkatkan
morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan infeksi.
Masalah lain adalah soal pemilihan antimikroba yang harus memperhatikan berbagai
penurunan fungsi organ pada usia lanjut serta jenis mikroorganisme penyebab yang seringkali
berbeda dari kelompok dewasa muda. Hal ini membutuhkan pertimbangan yang cukup dalam
hal pemilihan jenis dan penyesuaian dosis antimikroba yang harus diberikan. Yang tak kalah
penting adalah masalah tata laksana umum infeksi pada kelompok usia lanjut yang harus
bersifat paripurna, yaitu selain pemberian antimikroba juga harus memperhatikan segi cairan,
nutrisi, status fungsional dan mental, interaksi obat, dan upaya pencegahan infeksi.
Mengingat begitu besarnya masalah infeksi pada usia lanjut, maka dibutuhkan suatu
pemahaman yang cukup untuk mengidentifikasi faktor risiko, melakukan pendekatan
diagnosis, dan menatalaksana seorang usia lanjut yang diduga mengalami infeksi. Diagnosis
yang cepat dan tepat, dilanjutkan dengan penatalaksanaan yang paripurna dan terarah disertai
dengan upaya promotif dan preventif yang baik tentu akan menurunkan morbiditas dan
mortalitas terkait-infeksi pada populasi usia lanjut. Untuk itu Perhimpunan Gerontologi Medik
Indonesia (PERGEMI) merasa perlu membuat konsensus “Diagnosis dan Penatalaksanaan
Paripurna Infeksi pada Usia Lanjut” ini.

Tujuan
Umum
Memberikan panduan kepada dokter, dokter spesialis, dan tenaga kesehatan lain dalam
penanganan infeksi pada usia lanjut secara paripurna.

Khusus
Dokter, dokter spesialis, dan tenaga kesehatan di Indonesia, mampu:
• melakukan identifikasi faktor risiko;
• menegakkan diagnosis secara dini;
• melakukan penatalaksanaan yang cepat dan adekuat, termasuk pemilihan dan penggunaan
antibiotika empirik yang sesuai, dengan memperhatikan cairan, nutrisi, status fungsional,
dan status mental;
• melakukan upaya pencegahan terjadinya infeksi dan infeksi berulang,
terhadap masalah infeksi pada usia lanjut.
Bab 2. Pendekatan Paripurna pada Pasien Geriatri yang
Mengalami Infeksi

Pasien usia lanjut berbeda dibandingkan mereka yang berusia muda. Seorang berusia lanjut
telah mengalami penurunan berbagai fungsi tubuh secara fisiologis yang akan mempengaruhi
respons/tanggapan tubuh terhadap munculnya penyakit –termasuk penyakit infeksi– serta
mempengaruhi pula proses pemulihan dari suatu penyakit. Seorang berusia lanjut umumnya
juga telah mengalami berbagai penyakit kronik degeneratif (multipatologi) yang sudah
membuat hendaya (disabilitas) pada berbagai tingkatan, yang merupakan predisposisi
terjadinya infeksi tertentu. Pada beberapa keadaan, berbagai penyakit kronik tersebut juga
secara bermakna mempengaruhi tampilan klinis pasien usia lanjut yang mengalami infeksi dan
memperlambat proses pemulihannya. Hal ini tidak hanya terjadi pada mereka yang mengalami
infeksi saja, namun pada semua pasien usia lanjut yang sakit. Pada pasien geriatri yang sakit
seringkali masalah yang timbul tidak semata-mata terjadi pada kondisi fisik-medik saja,
namun sering pula disertai gangguan fungsi kognitif dan mental, status nutrisi yang buruk,
serta kondisi lingkungan dan psikososial yang tidak mendukung, yang pada akhirnya
menimbulkan hendaya yang mempengaruhi status fungsional.
Tampilan klinik infeksi pada usia lanjut sangat bervariasi dan tidak khas (atipikal),
sehingga diperlukan kewaspadaan baik dari pasien, keluarga/pengasuh, serta tenaga kesehatan
terhadap perubahan yang terjadi baik secara fisik, psikis, kesadaran, status fungsional, dan
kebiasaan sehari-hari. Bila terdapat perubahan terutama yang terjadi secara akut, harus
dipikirkan infeksi sebagai salah satu penyebabnya. Pengkajian yang lengkap perlu dilakukan
dengan segera untuk menegakkan diagnosis infeksi atau bukan infeksi, karena bila terlambat
ditata laksana infeksi pada usia lanjut mempunyai angka mortalitas dan morbiditas yang
tinggi.
Demam yang merupakan gejala utama adanya infeksi, sering tidak muncul pada usia
lanjut. Selain menyulitkan diagnosis, tidak adanya demam pada pasien usia lanjut yang
mengalami infeksi juga menunjukkan prognosis yang buruk, karena demam merupakan salah
satu mekanisme tubuh dalam melawan infeksi. Selain demam, anamnesis harus dilakukan
secara lengkap, bukan hanya keluhan utama atau keluhan yang berkaitan dengan penyakit
sekarang, tetapi juga riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat obat-obatan yang yang
digunakan, riwayat perjalanan atau lingkungannya, riwayat makan dan minum sebelumnya
dan riwayat kenapa sampai terjadinya infeksi ini. Yang tak kalah penting perlu ditanyakan
pemkaian protesa seperti katup jantung, protese sendi/kapsul sendi, lensa tanam, pacu jantung,
graft pembuluh darah, dan lain-lain. Sering terjadi interaksi antara benda-benda asing tersebut
dengan bakteri maupun antibodi pada pasien usia lanjut yang menimbulkan infeksi, seperti
pada endokarditis bakterial atau artritis infektif.
Pemeriksaan fisik lengkap perlu dilakukan pada organ-per-organ secara teliti, termasuk
keadaan gigi-geligi, higiene oral, hidung, telinga, tenggorokan, sampai colok dubur atau colok
vagina pada wanita. Pemeriksaan penunjang diagnostik standar harus dilakukan untuk
mendeteksi adanya infeksi tertentu, antara lain darah rutin, urinalisis, analisa feses, dan foto
toraks, serta pemeriksaan penunjang lain yang ditujukan untuk mengetahui etiologi infeksi
yang terjadi (serologi, kultur, pewarnaan Gram atau pewarnaan tahan asam). Di daerah
endemik tertentu maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit infeksi tertentu seperti
malaria, demam tifoid, hepatitis virus, dan sebagainya. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
untuk menilai adanya penyakit komorbid dan penurunan fungsi organ yang mungkin berkaitan
dengan munculnya penyakit atau berkaitan dengan pengobatan yang akan diberikan, seperti
gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrokardiografi, analisis gas darah, protein darah, dan
lain-lain yang dianggap perlu. Begitu diagnosis infeksi telah dibuat maka penatalaksanaan
harus segera diberikan, termasuk pemberian antibiotika empirik tanpa harus menunggu hasil
kultur (Rahayu, Bahar, 2006).
Mengingat bahwa pada pasien geriatri tidak hanya kondisi fisik-medik saja yang terlibat
dan perlu diberi perhatian, maka diperlukan suatu pendekatan khusus dalam menghadapi
seorang usia lanjut yang sakit, yang disebut sebagai pendekatan paripurna pada pasien geriatri
(P3G) atau comprehensive geriatric assessment (CGA). Pendekatan paripurna pada pasien
geriatri berbeda dengan pendekatan atau pengkajian pada pasien dewasa muda, karena pada
P3G selain kondisi fisik-medik juga dilakukan pengkajian terhadap fungsi kognitif dan mental,
psikososial, nutrisi, serta status fungsionalnya. Dalam pelaksanaannya P3G dilakukan oleh
suatu tim interdisiplin yang terdiri dari spesialis penyakit dalam konsultan geriatri, spesialis
psikiatri geriatri, spesialis rehabilitasi-medik geriatri, ahli gizi, farmasis, dan perawat gerontik.
Pada pasien geriatri yang mengalami infeksi akut, P3G mempunyai peranan yang sangat
penting. Evaluasi menyeluruh mengenai kondisi fisik medik baik dari anamnesis (termasuk
riwayat penyakit dan konsumsi obat-obatan), pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan
penunjang, disertai evaluasi status fungsional, cairan dan nutrisi, serta status kognitif dan
mental, akan mengarahkan dokter pada diagnosis yang tepat termasuk adanya hendaya yang
muncul, penatalaksanaan yang paripurna, serta upaya pencegahan yang optimal. Dengan
demikian keluaran (outcome) yang akan dihasilkan juga dapat lebih baik dibandingkan pada
pasien usia lanjut yang ditata laksana secara konvensional.
Pada suatu penelitian terhadap pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat akut RSCM
didapatkan bahwa penerapan P3G terbukti dapat mempersingkat masa (hari) rawat serta
meningkatkan status fungsional yang diukur dengan skor ADL (activities of daily living) dari
Barthel dan WHO-Unescap. Pasien yang dikelola dengan P3G mempunyai kualitas hidup
terkait kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan yang dirawat secara konvensional,
selain juga jumlah hari hidup terkait kualitas yang lebih tinggi, serta angka rehospitalisasi
yang secara bermakna berkurang. Walaupun dari segi komunikasi, hubungan interpersonal,
dan kenyamanan belum sepenuhnya memuaskan namun secara umum pasien-pasien geriatri
yang dikelola dengan P3G terbukti merasa lebih puas dibandingkan dengan yang dikelola
secara konvesional dan terbukti pula biaya yang dikeluarkan tidak lebih tinggi sehingga lebih
efektif dibandingkan dengan yang dirawat secara konvensional. (Soejono, 2007) Walaupun
penelitian ini tidak dikhususkan pada pasien geriatri yang mengalami infeksi, namun 42%-nya
adalah pasien dengan diagnosis pneumonia. Dengan demikian, penerapan P3G pada pasien
geriatri yang mengalami infeksi nampaknya juga akan memberikan manfaat seperti yang
sudah dibuktikan oleh penelitian tersebut.
Pada Tabel 1 dapat disimak butir-butir yang dievaluasi pada P3G, termasuk pada pasien
geriatri yang mengalami infeksi akut.

Tabel 1. Butir-butir yang Dievaluasi pada Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G)
Anamnesis
1. Keluhan utama
2. Riwayat penyakit sekarang (RPS)
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat perawatan sebelumnya
b. Riwayat operasi
4. Riwayat pemakaian obat-obatan
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Riwayat alergi
7. Riwayat nutrisi
8. Riwayat sosial
a. Kebiasaan
b. Finansial
c. Dukungan keluarga
9. Anamnesis sistem
Pemeriksaan fisik
1. Tanda vital
2. Pemeriksaan sistem organ
3. Pemeriksaan neurologik (N I-XII, sensorik, motorik)
4. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi
Pemeriksaan status fungsional
1. Memeriksa indeks ADL (activities of daily living) atau ICF (International Classification of Functioning)
2. Memeriksa IADL (instrumental ADL)
Memeriksa status mental
1. Memeriksa skor AMT (abbreviated mental test)
2. Melakukan penapisan depresi dengan Geriatric Depression Scale
Pemeriksaan penunjang
1. Sesuai hasil anamnesis dan pemeriksaan sebelumnya
2. Sesuai urutan prioritas
3. Sesuai asas cost-effectiveness
Pengkajian iatrogenesis
1. Mengidentifikasi adanya efek samping obat, baik langsung maupun interaksi obat
2. Mengidentifikasi adanya efek merugikan pada pasien akibat tindakan diagnostik tenaga kesehatan
3. Mengidentifikasi adanya efek merugikan pada pasien akibat tindakan medik/bedah
4. Mengidentifikasi adanya efek merugikan pada pasien akibat tindakan keperawatan
Pendekatan interdisiplin
1. Kunjungan oleh semua disiplin terkait, dua kali seminggu
2. Pembahasan pasien seminggu selaki oleh Tim Terpadu Geriatri
3. Prinsip merawat bersama
4. Komunikasi langsung
5. Rekam medik bersama
Bab 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi
pada Usia Lanjut

Infeksi yang terjadi pada usia lanjut, selain dipengaruhi adanya mikroorganisme penyebab
infeksi (faktor agen) dan faktor lingkungan juga sangat dipengaruhi perubahan mekanisme
respons imun yang menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh (host defense). Menurunnya
daya tahan tubuh sendiri, selain disebabkan perubahan sistem imun, juga dapat disebabkan
oleh kondisi malnutrisi dan banyaknya penyakit komorbid yang sering menyertai seorang
berusia lanjut.

Perubahan sistem imun dan respons imun


Seorang yang berusia lanjut akan mengalami penurunan kemampuan untuk melawan agen
penyebab infeksi (mikroorganisme), yang disebabkan oleh disfungsi sistem imun yang
berlangsung progresif (immunesenescence) baik pada sistem imunitas adaptif maupun alami
(non-adaptif). Produksi dan proliferasi limfosit-T akan menurun seiring meningkatnya usia,
menyebabkan berkurangnya kemampuan imunitas yang dimediasi-sel, sementara pada sel B
terjadi penurunan produksi antibodi terhadap antigen baru. Menipisnya kulit, membesarnya
prostat, menurunnya refleks batuk, serta perubahan anatomik maupun fisiologis yang terkait-
usia akan mengubah imunitas non adaptif yang menempatkan seorang usia lanjut rentan
terhadap terjadinya infeksi. Beberapa perubahan sistem imun yang spesifik akan dijelaskan
berikut ini (Murasko, 2003).

Sel-T
Sel-T memainkan peran sentral pada orkestrasi seluruh sistem imun dan juga berfungsi
sebagai efektor langsung reaksi imun. Salah satu perubahan fungsional respons imun terkait
sel-T ini adalah menurunnya respons hipersensitivitas tipe lambat. Dilaporkan bahwa 40
persen individu usia berusia lebih dari 70 tahun menunjukkan reaktivitas yang menurun
terhadap tes kulit, bagaimanapun status kesehatannya. Penurunan respons hipersensitivitas tipe
lambat ini akan berakibat perubahan aktivasi inisial pada sel-T, pergeseran produksi sitokin
oleh sel-sel yang teraktivasi, atau perubahan reaktivitas oleh makrofag.
Berkurangnya kemampuan sel-sel mononuklear untuk berproliferasi terhadap rangsangan
sel-T merupakan perubahan sistem imun terkait-usia yang paling konsisten terjadi. Faktor lain
yang menyebabkan penurunan fungsi imunitas sel-T adalah involusi timus seiring
meningkatnya usia. Jumlah sel-T yang berkurang, terutama pada sel CD4+ dan CD8+, juga
mempengaruhi menurunnya respons imun pada usia lanjut. Pergeseran produksi sitokin oleh
sel-T juga diamati pada berbagai studi mengenai perubahan sistem imun pada proses menua,
yaitu digantikannya predominasi profil sitokin oleh sel-T helper-1 (Th-1) seperti interleukin-2
(IL-2) dan interferon-gamma (INF-γ) oleh profil sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, dan IL-10.
Yang terakhir, perubahan pada sel-T seiring meningkatnya usia adalah perubahan aktivitas
limfosit-T sitotoksik (cytotoxic T-lymphocytes, CTL).

Sel B
Beberapa perubahan pada kompartemen sel-B yang terkait meningkatnya usia, adalah (1)
berkurangnya produksi antibodi terhadap vaksinasi atau infeksi; (2) berubahnya kelas dan
subkelas imunoglobulin seperti peningkatan kadar IgG dan/atau IgA; (3) berkurangnya afinitas
terhadap antibodi; (4) disregulasi jaringan antidiotipe; dan (5) meningkatnya autoantibodi.
Walaupun mekanisme berbagai perubahan tersebut belum dapat dipastikan, nampaknya bukan
karena penurunan jumlah sel-B. Jadi, walaupun kadar produksi antibodi pada seorang berusia
lanjut sama dengan individu berusia muda, namun antibodi tersebut tidak mampu menetralkan
antigen seefektif pada usia muda. Beberapa laporan dari penelitian eksperimental
menunjukkan bahwa antibodi pada seorang usia lanjut yang divaksinasi tidak melindungi
sebaik pada usia muda walaupun titer antibodinya sama.

Sel Natural Killer (NK)


Sel NK memainkan peran penting pada pengendalian infeksi virus dan eradikasi sel tumor.
Proporsi sel NK pada populasi usia lanjut didapatkan meningkat, namun fungsi basalnya
relatif tetap (tidak meningkat).

Fagosit
Beberapa penelitian yang mengevaluasi fungsi netrofil, monosit, dan makrofag pada populasi
usia lanjut masih terbatas. Namun yang sudah diamati adalah bahwa jumlah neutrofil dan
monosit/makrofag tetap konstan sementara kapasitas fagositik dan mekanisme bakterisidal
berkurang baik pada usia lanjut yang sehat maupun sakit. Berkurangnya fagositosis oleh
makrofag ini menghasilkan penurunan aktivitas presentasi antigen (antigen precenting cell,
APC) dan berkontribusi terhadap penurunan reaktivitas sel-T yang diamati pada usia lanjut.
Penyakit komorbid
Penyakit-penyakit kronik –seperti keganasan, aterosklerosis, diabetes melitus, demensia–
merupakan predisposisi terhadap terjadinya infeksi tertentu. Penggunaan obat-obatan seperti
sedatif, narkotika, antikolinergik, dan obat penekan asam lambung akan menekan mekanisme
daya tahan tubuh lebih jauh lagi.
Komorbiditas pada orang usia lanjut akan menyebabkan menurunnya imunitas alamiah
yang non-spesifik seperti integritas kulit, refleks batuk, bersihan mukosilier, maupun respons
imun yang dipicu oleh pengenalan terhadap produk mikroba. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) yang umumnya disebabkan oleh paparan jangka panjang terhadap rokok, mempunyai
prevalensi yang tinggi pada populasi usia lanjut. PPOK sering disertai gangguan bersihan
mukosilier, disfungsi alveolar makrofag, dan menurunnya mekanisme batuk yang
menyebabkan peningkatan risiko infeksi saluran napas bawah pada pasien usia lanjut.
Diabetes melitus (DM) yang prevalensinya cukup banyak terjadi pada populasi usia lanjut
merupakan salah satu kontributor mayor terjadinya infeksi pada usia lanjut. Perubahan sistem
imun yang terjadi seiring meningkatnya usia diperburuk dengan keadaan hiperglikemia
kronik. Telah diidentifikasi, pada pasien DM terjadi abnormalitas pada sel polimorfonuklear
(PMN), monosit, dan limfosit yang berpengaruh pada adhesi, kemotaksis, opsonisasi, ingesti
bakteri, dan penghancuran mikroorganisme di intraseluler. Kesemuanya ini membuat seorang
berusia lanjut dengan DM meningkat risikonya mengalami infeksi dan infeksi berat
(Rajagopalan, 2005).

Malnutrisi
Malnutrisi, sering dijumpai pada populasi usia lanjut baik di komunitas maupun yang tinggal
di panti werdha, berperan dalam menurunkan imunitas usia lanjut khususnya imunitas yang
dimediasi-sel. Seorang berusia lanjut rentan terhadap terjadinya malnutrisi yang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, baik fisiologis maupun psikologis, yang mempengaruhi
keinginan (nafsu) untuk makan dan berbagai halangan fisik maupun ekonomi terhadap
kebiasaan makan yang sehat. Malnutrisi sering dialami oleh mereka yang berusia sangat lanjut
(the oldest old), yang tinggal di tempat perawatan jangka panjang (termasuk panti werdha),
beberapa etnik minoritas, dan mereka dengan status sosial ekonomi rendah. Seorang usia
lanjut yang mengalami malnutrisi lebih mudah mengalami sakit dan mati dibandingkan yang
berstatus nutrisi baik, atau mudah mengalami luka tekan (ulkus dekubitus) serta penyembuhan
luka yang lambat selama perawatan akut di rumah sakit atau tempat perawatan lain.
Ada beberapa mekanisme perubahan respons imun akibat malnutrisi (Bell, 1997; High,
2001). Yang paling mudah terjadi, walaupun hanya terjadi defisiensi nutrisi ringan, adalah
penurunan respons hipersensitivitas tipe-lambat serta penurunan jumlah limfosit T total dan
matur. Fungsi neutrofil berkurang, sehingga kemampuan penghancuran bakteri yang telah
teringesti juga berkurang. Walaupun pada berbagai studi eksperimental restriksi kalori
dikatakan protektif terhadap berbagai proses penuaan, namun restriksi kalori yang berlebihan
mempunyai efek merugikan terhadap fungsi imunitas tubuh. Pengamatan klinis menunjukkan
terjadi atrofi jaringan limfoid, terutama lien dan timus, pada malnutrisi protein-kalori yang
berat. Imunitas yang dimediasi-sel merupakan komponen yang paling terpengaruh akibat
malnutrisi protein-kalori, namun fungsi neutrofil dan produksi komplemen juga terganggu.
Konsumsi berbagai asam amino yang tidak adekuat juga mempengaruhi berbagai
komponen status imun. Defisiensi arginin sudah dibuktikan mempengaruhi fungsi sel-T,
penyembuhan luka, dan sekresi berbagai hormon penstimulasi imun seperti prolaktin, insulin,
growth hormone, dan insulin-like growth hormone. Sementara glutamin dikenal sebagai
‘bahan bakar’ untuk menstimulasi limfosit dan makrofag, serta meningkatkan fungsi sel-T,
neutrofil, dan makrofag. Lemak memiliki efek yang ‘unik’ terhadap fungsi imun. Asam
linoleat, suatu asam lemak omega-6, bila dikonsumsi kurang dari 4% dari jumlah total kalori
akan menyebabkan respons antibodi tidak adekuat, sementara terjadi imunosupresi bila
dikonsumsi 15% dari total kalori.
Berbagai mikronutrien (vitamin dan mineral) juga mempunyai fungsi penting pada fungsi
imun. Vitamin yang mempunyai peran penting terhadap imunitas pada usia lanjut adalah
vitamin A, C, D, E, B6, dan B12, sementara mineral yang mempengaruhi sistem imun adalah
zinc dan besi. Vitamin A memainkan peranan penting pada imunitas nonspesifik dengan
mempertahankan integritas sel yang memproduksi mukus, selain meningkatkan fungsi sel-T,
produksi antibodi, dan menghambat pertumbuhan tumor. Vitamin C dapat menstimulasi fungsi
PMN, sementara vitamin D merupakan inhibitor poten respons limfosit Th-1. Vitamin E
plasma secara langsung berkaitan dengan hipersentivitas tipe-lambat, dan kadarnya yang
rendah berhubungan dengan meningkatnya jumlah infeksi.
Defisiensi vitamin B6 (piridoksin) menyebabkan atrofi pada jaringan limfoid serta
menurunnya pembentukan antibodi dan imunitas seluler. Vitamin B12 (sianokobalamin)
merupakan koenzim penting pada sintesis DNA. Pada mereka dengan kadar vitamin B12
rendah, terjadi gangguan sintesis imunoglobulin sebagai respons terhadap polisakarida
pneumokokal sehingga berisiko tinggi mengalami infeksi serius karena Streptococcus
pneumoniae. Padahal defisiensi vitamin B12 cenderung terjadi pada populasi usia lanjut
(diperkirakan sebanyak 7 sampai 15%) akibat berkurangnya produksi faktor intrinsik oleh sel
parietal, yang penting untuk absorpsi vitamin B12.
Defisiensi besi cukup sering terjadi pada populasi usia lanjut, berkisar 1% hingga 6%
pada mereka yang tinggal di komunitas. Defisiensi besi mempengaruhi baik imunitas seluler
dan humoral dan menurunkan produksi IL-1. Kadar feritin serum secara langsung berkaitan
dengan aktivitas sel natural killer (NK). Sementara defisiensi zinc secara langsung
mempengaruhi imunitas dengan mengurangi produksi timulin dan limfosit T, respons limfosit
T terhadap stimulus, aktivitas sel-NK, dan produksi IL-2. Namun satu penelitian mendapatkan
suplementasi zinc yang berlebihan malah akan menurunkan fungsi limfosit dan fagosit selain
juga respons antibodi.
Suatu penelitian pada pasien-pasien usia lanjut yang menjalani perawatan di rumah sakit,
menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan infeksi nosokomial mempunyai parameter-
parameter status nutrisi (asupan diet, parameter antropometri, dan albumin) yang lebih rendah
dibandingkan mereka tanpa infeksi nosokomial (Piallaud, 2005).

Gangguan fungsional
Gangguan fungsional (seperti imobilisasi, inkontinensia, disfagia) yang sering terjadi pada
usia lanjut dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi karena selain menimbulkan
berbagai komplikasi juga meningkatkan kebutuhan akan pemakaian kateter, selang makanan
(feeding tubes), dan peralatan invasif lain.

Faktor lingkungan
Faktor lingkungan cukup besar berperan terhadap meningkatnya insidens infeksi pada
kelompok usia lanjut. Populasi yang secara khusus rentan terhadap terjadinya infeksi adalah
penghuni panti-werdha, yang di Indonesia umumnya adalah mereka yang berasal dari
kelompok sosial ekonomi rendah yang tinggal di lingkungan panti-werdha dengan tingkat
higiene yang kurang memadai. Data di Indonesia mengenai besarnya masalah ini memang
belum didapatkan, namun berbagai penelitian epidemiologis yang dilakukan di luar negeri
menegaskan betapa besar masalah yang ditimbulkan akibat makin banyaknya jumlah usia
lanjut yang tinggal di panti-werdha atau tempat-tempat perawatan jangka panjang lain. Di
Amerika Serikat, angka kejadian infeksi yang terjadi di panti-panti werdha berkisar antara 3
sampai 7 per 100.000 penghuni-hari atau sekitar 1,6 sampai 3,8 juta infeksi pertahun. Tiga
jenis infeksi yang menjadi endemik pada penghuni panti-werdha adalah infeksi saluran kemih,
infeksi saluran napas bawah terutama pneumonia, dan berbagai jenis infeksi kulit dan jaringan
lunak. Selain itu ada pula infeksi-infeksi yang terjadi secara sporadis (mewabah) seperti
influenza dan gastroenteritis. Masalah yang kemudian timbul akibat peningkatan insidens
infeksi di panti-werdha adalah meluasnya resistensi terhadap berbagai antimikroba karena
tingginya mobilitas pasien dari panti-werdha ke rumah sakit.
Di Indonesia, faktor lingkungan ini masih berkutat pada masalah buruknya higiene,
padatnya penduduk di suatu wilayah, dan sarana kesehatan yang belum merata. Terbatasnya
ketersediaan air bersih, kondisi rumah/tempat tinggal dan lingkungan yang tidak memenuhi
syarat kesehatan minimal, lokasi dan jenis jamban yang tidak ideal, serta akses ke fasilitas
kesehatan yang terlalu jauh adalah contoh nyata kontribusi faktor lingkungan terhadap timbul
dan tidak tertanganinya infeksi. Kelompok usia lanjut dengan latar belakang ekonomi rendah
sebagai kelompok yang rentan, masih belum menjadi prioritas perhatian dari pemerintah
maupun masyarakat, sehingga insidens infeksi dan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan
infeksi tetap tinggi.
Bab 4. Diagnosis dan Penatalaksanaan Paripurna Infeksi
yang Sering Terjadi pada Usia Lanjut

4.1. Pneumonia
Epidemiologi
Pneumonia merupakan infeksi yang umum dan sering menjadi masalah serius pada populasi
usia lanjut. Insidens pneumonia komunitas yang membutuhkan perawatan pada orang usia
lanjut di atas 65 tahun di Amerika Serikat diperkirakan 962/100.000 orang. Pneumonia di
Amerika Serikat menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian tersering dengan
angka kematian pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit berkisar antara 2-30%
dengan rata-rata sekitar 14% (Bartlett, 2000). Antara tahun 1974 sampai 1994 angka kematian
akibat pneumonia komunitas meningkat 59% yang terutama disebabkan oleh bertambahnya
proporsi populasi yang berusia >65 tahun. (Pinner, 1996) Di Indonesia, infeksi saluran napas
bawah merupakan urutan ke-3 penyebab mortalitas dan morbiditas pada survei kesehatan
tahun 1995 (SKRT 1995). Dari data Subbagian Rekam Medik RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo pada tahun 2001 didapatkan 314 kasus pneumonia usia lanjut (dari 2718
kasus rawat inap) dengan angka kematian 97 kasus (30,9%). (Rekam Medik RSCM) Di Ruang
Rawat Inap Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 2001
terdapat 90 kasus pneumonia dari 146 kasus usia lanjut (umur lebih dari atau sama dengan 60
tahun) yang dirawat dengan angka kematian sebesar 32,9%, sedangkan pada tahun 2002
didapatkan 90 kasus pneumonia dari 132 pasien usia lanjut yang dirawat. Data pada tahun
2004-2006 menunjukkan proporsi pasien dengan pneumonia yang masuk perawatan di Ruang
Rawat Akut Geriatri RSCM berkisar 33,57% sampai 35,00%, namun jumlah pasien yang
dirawat menunjukkan peningkatan, dari 81 pasien pada tahun 2004 menjadi 112 pasien pada
tahun 2006 (Rekam Medik Divisi Geriatri).
Data di luar negeri menunjukkan bahwa kelompok usia lanjut yang rentan terhadap
timbulnya pneumonia adalah mereka yang tinggal di panti-werdha (nursing homes), yaitu 1,2
episode pneumonia setiap 1000 penghuni hari. Pneumonia merupakan penyebab utama
dipindahkannya penghuni panti-werdha ke rumah sakit. Di beberapa tempat, pneumonia yang
berasal dari panti-werdha/fasilitas perawatan jangka-panjang merupakan 10 sampai 18 persen
dari seluruh kasus pneumonia yang dirawat (Marrie, 2003).
Pneumonia bersama-sama dengan influenza merupakan penyebab kematian nomor enam
di Amerika Serikat, dengan 90 persen diantaranya terjadi pada kelompok usia 65 tahun atau
lebih. Di berbagai negara, lebih dari 60 persen pasien berusia >65 tahun yang masuk
perawatan rumah sakit adalah karena pneumonia. Perubahan pada cadangan fungsional paru,
menurunnya refleks batuk dan gerakan mukosilier, berkurangnya elastisitas alveoli disertai
penurunan ventilasi –secara sendiri-sendiri atau bersama-sama– akan menyebabkan seorang
usia lanjut rentan mengalami pneumonia.

Faktor risiko
Salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penatalaksanaan pneumonia pada usia lanjut
adalah faktor-faktor risikonya yang berbeda dengan kelompok usia muda. Beberapa kondisi
telah diidentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia pada usia lanjut, seperti
aspirasi, albumin serum yang rendah dan malnutrisi, gangguan fungsi menelan, status
fungsional yang rendah, pemakaian selang makanan (feeding tube), merokok, serta adanya
berbagai penyakit kronis (PPOK, gagal jantung, demensia, dan stroke). Selain itu ada pula
beberapa faktor risiko lain seperti oral higiene yang buruk, imobilisasi, dan penggunaan obat-
obatan jangka panjang memudahkan terjadinya pneumonia pada usia lanjut (Requielme, 1997;
Marrie, 2003). Penelitian di RS Cipto Mangunkusumo terhadap 106 pasien usia lanjut yang
dirawat mendapatkan bahwa usia >70 tahun, indeks massa tubuh kurang, hipoalbumin, dan
adanya penyakit penyerta merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia komunitas pada usia
lanjut (Jayantri, 2003).
Mengingat bahwa manifestasi klinis yang mungkin tidak khas pada seorang usia lanjut
yang mengalami pneumonia, perhatian terhadap faktor-faktor risiko di atas mungkin dapat
meningkatkan kewaspadaan terhadap terjadinya pneumonia sehingga diagnosis yang cepat dan
penatalaksanaan yang tepat tetap dapat dilakukan untuk menekan angka kematian penyakit ini
pada kelompok usia lanjut.

Etiologi
Lebih dari 100 mikroba (bakteri, virus, fungi, protozoa, dan parasit lain) yang dapat
menyebabkan pneumonia komunitas. Streptococcus pneumoniae adalah penyebab umum,
mencakup sekitar 50% kasus. Penyebab lain yang penting terjadinya pneumonia komunitas
pada usia lanjut dapat dilihat pada Tabel 2 (Marrie, 2003; Mandell, 2007).

Tabel 2. Penyebab Tersering Pneumonia Komunitas pada Usia Lanjut

Streptococcus pneumoniae Influenza B virus


Chlamydia pneumoniae Mycobacterium tuberculosis
Enterobacteriaceae Legionella species
Legionella pneumophila Mycoplasma pneumonia
Haemophilus influenzae Pneumocystis carinii
Moraxella catarrhalis Respiratory syncytial virus
Staphylococcus aureus Mikobakterium nontuberkulosis
Influenza A virus

Sementara pada pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia [HAP] dan


ventilator-associated pneumonia [HAP]) patogen yang mungkin menjadi penyebab terdiri atas
mikroorganisme yang tidak resisten terhadap banyak antibiotika (multi-drug resistant, MDR)
dan mikroorganisme yang berpotensi MDR (Tabel 3) (ATS guidelines, 2005).

Tabel 3. Mikroorganisme Penyebab pada HAP dan VAP

Tidak berpotensi resisten banyak-obat Berpotensi resisten banyak obat


Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenzae Klebsiella pneumoniae (ESBL+)
Methicillin-sensitive Staphylococcus aureus Acenitobacter spesies
Antibiotic-sensitive enteric gram-negative bacilli Methicillin-resistant Staphylococcus
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, aureus (MSRA)
Enterobacter species, Proteus species,
Serratia marcescens

Salah satu penyebab penting infeksi paru di Indonesia adalah Mycobacterium


tuberculosis, yang juga masih menjadi masalah kesehatan utama di negara kita. Faktor higiene
dan sanitasi lingkungan yang buruk serta status gizi yang buruk pada usia lanjut menjadi
faktor risiko utama timbulnya infeksi tuberkulosis ini. Faktor risiko lain diantaranya diabetes
melitus dan penghuni panti werdha.

Diagnosis
Diagnosis pneumonia pada usia lanjut secara umum sama seperti pada dewasa muda, meliputi
anamnesis mengenai keluhan-keluhan yang mengarah pada pneumonia, dilanjutkan
pemeriksaan fisik yang teliti, dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan radiologis dan penunjang.
Evaluasi diagnosis harus pula meliputi faktor-faktor risiko terjadinya pneumonia pada usia
lanjut yang sudah diuraikan di atas.

Gejala dan tanda


Gejala dan tanda pneumonia pada usia lanjut dapat muncul secara mendadak atau perlahan-
lahan. Batuk produktif, demam, dan sesak napas yang merupakan gejala khas pneumonia
sering tidak muncul pada usia lanjut, demikian pula tanda konsolidasi paru, leukositosis, dan
munculnya infiltrat pada foto ronsen terutama pada tahap-tahap awal infeksi. Meskipun
demikian hingga saat ini kriteria diagnosis yang masih dipergunakan untuk menegakkan
pneumonia masih berpatokan pada gejala khas, tanda-tanda, dan pemeriksaan penunjang
tersebut, namun harus tetap diingat bahwa pada usia lanjut mungkin saja tidak semua dapat
terpenuhi. Hal ini perlu diingat agar tidak terjadi keterlambatan diagnosis pneumonia pada
usia lanjut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ternyata gejala dan tanda ekstrapulmonal cukup
sering terjadi pada pasien usia lanjut yang mengalami pneumonia seperti perubahan status
mental, anoreksia, imobilisasi, dan jatuh. Pneumonia juga merupakan salah satu penyebab
tersering penurunan secara bertahap status kesehatan atau aktivitas, seperti terjadinya delirium
(confusion) dan jatuh, pada usia lanjut. Infeksi, termasuk pneumonia, harus dipertimbangkan
sebagai penyebab penurunan mendadak, atau pemulihan yang lambat, dari penyakit primer
pada pasien kelompok usia lanjut. Tabel 4 merangkum berbagai penelitian yang menunjukkan
beberapa gejala dan tanda yang sering muncul pada usia lanjut dengan pneumonia
(Requielme, 1997; Penafiel, 2003; Zalacain, 2003).

Tabel 4. Manifestasi Klinis yang Sering Muncul pada Pasien Usia Lanjut dengan Pneumonia
Gejala Frekuensi (%) Tanda Frekuensi (%)
Sesak napas 71 Krepitasi 65-79
Batuk 67-83 Ronki 12
Demam 40-76 Konsolidasi paru 11
Astenia 39-58
Sputum purulen 22-52
Perubahan status mental 26-45
Nyeri dada pleuritik 12-34

Pada suatu penelitian prospektif pada pasien-pasien usia dewasa dengan pneumonia yang
dirawat di rumah sakit pendidikan, didapatkan bahwa pasien-pasien berusia lanjut (>65 tahun)
lebih sedikit yang mengeluhkan demam, nyeri dada, dan menggigil dibandingkan kelompok
usia yang lebih muda; namun lebih banyak yang mengeluh sesak napas, penurunan kesadaran,
dan diduga mengalami aspirasi. Peningkatan denyut nadi lebih sedikit ditemukan sementara
peningkatan kadar ureum darah lebih banyak terjadi (Penafiel, 2003). Studi retrospektif yang
dilakukan pada pasien usia lanjut yang dirawat di RSCM menunjukkan gejala non-resipratorik
cukup banyak ditemukan, diantaranya imobilisasi (52,6%), penurunan status mental (36,3%),
dan inkontinensia urin (25,7%). Demam hanya ditemukan pada 29,2% pasien (Ridho, 2003).
Salah satu gejala yang sering muncul pada usia lanjut yang mengalami pneumonia,
namun acapkali terlewatkan baik oleh keluarga pasien maupun petugas kesehatan, adalah
terjadinya berbagai perubahan tingkat kesadaran yang sering disebut delirium atau acute
confusional state. Sekitar 13% sampai 45% pasien usia lanjut dengan pneumonia mengalami
delirium (Hazzard, 2003; Requielme, 1997; Ridho, 2003) dan berdasarkan kriteria dari British
Thoracic Society (BTS) dan penelitian kohort Pneumonia-PORT (Patient Outcomes Research
Team) adanya delirium atau perubahan status mental merupakan salah satu tanda terjadinya
pneumonia berat pada kelompok usia >65 tahun dan prediktor prognosis yang buruk (BTS
guidelines, 2001; Fine, 1997). Delirium pada usia lanjut muncul secara mendadak, umumnya
dalam hitungan jam dan hari, dengan perjalanan klinis yang fluktuatif disertai adanya
gangguan pada pemusatan perhatian, disorganisasi proses pikir, menurunnya kesadaran pada
berbagai tingkatan, defisit fungsi kognitif global atau multipel, gangguan persepsi, perubahan
siklus tidur, serta gangguan emosi dan psikomotor (Inouye, 2006). Bila seorang usia lanjut
dengan pneumonia mengalami delirium, maka evaluasi dan penatalaksanaan yang lebih
agresif harus dilakukan.

Pemeriksaan radiologis dan penunjang


Pemeriksaan radiologis foto toraks posterioranterior (PA) dan lateral standar masih merupakan
pemeriksaan yang banyak memberikan informasi pada pasien yang mengalami gejala dan
tanda mengarah pada pneumonia, termasuk pada usia lanjut. Pemeriksaan foto toraks dapat
bermanfaat untuk membedakan pneumonia dengan kondisi lain yang menyerupainya, serta
dapat menuntun pada etiologi dan kondisi tertentu seperti tuberkulosis, PPOK, efusi pleura,
atau abses paru. Pada pasien usia lanjut, terutama pada tahap-tahap awal timbulnya
pneumonia, gambaran radiologis foto toraksnya tidak selalu memberikan gambaran yang khas.
Pemeriksaan radiologis pasien-pasien pneumonia dengan etiologi yang berbeda juga
menunjukkan gambaran yang tidak sama. Perselubungan yang homogen lebih jarang muncul
pada pneumonia yang disebabkan mikoplasma dibandingkan sebab lain. Keterlibatan
multilobus pada saat awal lebih mengarahkan pada penyebab pneumonia bakterial
dibandingkan penyebab non-bakterial dan legionela, demikian pula timbulnya efusi pleura.
Staphylococcus aureus sebagai etiologi pneumonia sering memberikan gambaran
perselubungan multilobus, kavitas, pneumatokel, dan pneumotoraks spontan. Klebsiella
pneumoniae dilaporkan sering memberikan gambaran perubahan pada foto toraks dengan
predileksi di lobus atas (khususnya di kanan), pelebaran fisura interlobus, dan pembentukan
abses dengan kavitas.
CT-scan toraks mempunyai sensitivitas yang lebih baik dalam mendiagnosis pneumonia
dibanding foto toraks biasa, terutama pada pneumonia yang disebabkan mikoplasma. CT-scan
toraks dapat bermanfaat bila diagnosis pneumonia masih diragukan, tapi secara umum peran
CT-scan kecil dalam pemeriksaan rutin untuk diagnosis pneumonia (IDSA guidelines, 2007;
BTS guidelines, 2001).
Pemeriksaan laboratorium, khususnya petanda infeksi, dapat memberikan petunjuk
adanya infeksi akut pada pasien-pasien usia lanjut yang diduga mengalami pneumonia. Dari
berbagai penelitian, peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) masih terjadi pada sebagian
besar pasien usia lanjut dengan pneumonia; walaupun dikatakan respons peningkatan leukosit
saat terjadinya infeksi akut pada usia lanjut tidak setinggi pada kelompok usia muda. Bila
jumlah leukosit normal, peningkatan persentasi netrofil segmen mungkin dapat menjadi
petunjuk adanya infeksi akut bakterial. Laju endap darah (LED) kurang spesifik dan kurang
nilainya sebagai pemeriksaan penunjang pada pneumonia. Pemeriksaan laboratorium lain yang
sering digunakan untuk menunjang diagnosis serta dapat menentukan beratnya infeksi
pneumonia yang terjadi adalah C-reactive protein (CRP) (Almirall, 2004; Smith, 1995;
Vasquez, 2003).
Pemeriksaan laboratorium terpenting pada pasien dengan pneumonia adalah identifikasi
mikroorganisme penyebab untuk mengarahkan pemberian antibiotika yang sesuai.
Meningkatnya mortalitas dan meningkatnya risiko perburukan klinis, umum dijumpai pada
terapi antibiotika yang tidak sesuai. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk identifikasi
etiologi diantaranya adalah pewarnaan Gram dari sputum, kultur dan resistensi sputum dan
darah, serta pemeriksaan antigen. Walaupun banyak yang meragukan hasilnya, namun bila
spesimen dengan kualitas baik dapat diambil dengan cara yang tepat, transpornya cepat, dan
pengolahan dilakukan dengan baik, serta antibiotika belum diberikan, maka hasil dari
pemeriksaan pewarnaan Gram dapat dijadikan pegangan terapi antibiotika sebelum hasil
kultur didapat. Ada dua keuntungan bila pemeriksaan pewarnaan Gram dapat dilakukan dan
memberikan hasil dengan baik: (1) akan memperluas terapi antibiotika empirik pada etiologi
yang jarang, seperti S. aureus dan bakteri Gram-negatif, dan (2) dapat dipakai memvalidasi
hasil pemeriksaan kultur yang didapat kemudian.
Hasil dari pemeriksaan kultur sputum yang dilakukan dengan kualitas yang baik,
merupakan petunjuk penting untuk mengubah atau meneruskan terapi antibiotika empirik yang
diberikan. Sayangnya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa identifikasi etiologi melalui
kultur sputum hanya positif pada sekitar 30% kasus; walaupun ada satu penelitian pada kasus
penumonia akinat pneumokok yang mendapat antibiotika tidak lebih dari 24 jam kultur, dapat
positif pada 93% kasus. Pemeriksaan kultur sputum harus dilakukan dengan ekstensif pada
pasien dengan pneumonia berat atau pasien dalam intubasi/ventilator, seperti dengan
melakukan aspirasi endotrakeal, sampling dengan bronkoskopi, atau aspirasi jarum
transtorakal. Pemeriksaan kultur darah lebih sedikit lagi yang memberikan hasil positif,
berkisar 5 sampai 14%. Oleh karena itu pemeriksaan kultur darah tidak rutin dilakukan, hanya
pada pasien-pasien tertentu seperti pasien di ICU, adanya kavitas, leukopenia, pasien dengan
penyakit hati kronis, asplenia, dan efusi pleura (IDSA guidelines, 2007).

Penilaian beratnya penyakit


Pada setiap pasien dengan pneumonia atau dugaan pneumonia, penilaian beratnya penyakit
harus dilakukan di saat awal yang berguna baik untuk menentukan apakah pasien perlu
dirawat atau cukup rawat-jalan, menentukan di mana pasien harus dirawat (ruang-rawat akut,
ICU), perlu-tidaknya ventilasi mekanik, serta pemilihan antibiotika empirik. Hingga saat ini
ada 2 sistem penilaian (scoring) yang sering digunakan dan telah divalidasi oleh berbagai
penelitian, yaitu Pneumonia Severity Index (PSI) dan kriteria dari British Thoracic Society
(BTS) (IDSA/ATS guidelines, 2007). PSI menstratifikasi pasien pneumonia menjadi 5 kelas
risiko, berdasarkan faktor demografik, penyakit penyerta, temuan pada pemeriksaan fisis, serta
gambaran laboratorium dan radiologis (Tabel 5) (Fine dkk, 1997). Sementara BTS
menetapkan 5 kriteria untuk menyatakan beratnya suatu pneumonia, yaitu adanya perubahan
kesadaran (confusion), kadar ureum (BUN) yang meningkat, frekuensi napas yang cepat,
tekanan darah sistolik atau diastolik yang rendah, serta usia di atas 65 tahun Tabel 6. Adanya 2
atau lebih dari kriteria di atas digolongkan sebagai pneumonia berat, dengan mortalitas yang
meningkat hingga 21 kali lipat (BTS guidelines, 2003).

Tabel 5. Faktor Prediktor untuk Stratifikasi Risiko Kematian pada Pneumonia

Karakteristik pasien Nilai


Faktor demografik:
Usia
Laki-laki Umur (tahun)
Perempuan Umur (tahun) – 10
Penghuni panti werdha +10
Penyakit komorbid:
Neoplasma +30
Penyakit hati +20
Gagal jantung kongestif +10
Penyakit serebrovaskular +10
Penyakit ginjal +10
Temuan pemeriksaan fisis:
Perubahan status mental +20
Frekuensi pernapasan >30 kali/menit +20
Tekanan darah sistolik <90 mmHg +20
Suhu <35oC atau >40oC +15
Frekuensi nadi >125 kali/menit +10
Hasil laboratorium dan radiologis:
AGD: pH <7,35 +30
Blood Urea Nitrogen >30 mg/dL +20
Natrium <130 mmol/L +20
Glukosa >250 mg/dL +10
Hematokrit <30% +10
AGD: PaO2 <60 mmHg +10
Efusi pleura +10
Keterangan: Pasien dengan skor <70, 71-90, 91-130, dan >130 mortalitasnya
masing-masing 0,6%, 0,9%, 9,3%, dan 27,0%.

Tabel 6. Sistem Skoring BTS (Skor CURB-65) sebagai Prediktor Kematian pada Pasien Pneumonia

Confusion Perubahan kesadaran yang baru terjadi, yang dinilai dengan Abbreviated Mental Test
(AMT) dengan skor 8 atau kurang
Urea Peningkatan ureum darah >7 mmol/l atau >42 mg/dl
Respiratory Peningkatan frekuensi napas >30/menit
Blood Pressure Tekanan darah yang rendah (sistolik <90 mmHg dan/atau diastolik <60 mmHg)
65 Usia lebih dari atau sama dengan 65 tahun
Penatalaksanaan
Umum dan suportif
Penatalaksanaan pasien usia lanjut dengan pneumonia harus dimulai dengan terapi suportif
yang meliputi hidrasi dan nutrisi adekuat, mempertahankan dan memperbaiki fungsi
kardiovaskular dan ginjal, serta mempertahankan oksigenasi. Status hidrasi penting
diperhatikan, karena adanya demam dan kehilangan cairan dari paru-paru akibat pernapasan
yang cepat sering menimbulkan dehidrasi sehingga cairan intravena sering diperlukan.
Hipoksia juga sering ditemui sehingga suplementasi oksigen perlu diberikan pada beberapa
situasi. Antipiretik sebaiknya tidak diberikan, kecuali suhu >39oC atau pasien merasa tidak
nyaman dengan peningkatan suhu. Pengukuran suhu sebaiknya dilakukan minimal 2 kali
dalam 1 hari, yang bermanfaat untuk menilai respons terhadap terapi yang diberikan.
Intubasi dan ventilasi mekanik sedapat mungkin dihindari karena akan meningkatkan
risiko terjadinya pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia, HAP) 6 sampai 21
kali lipat. Pada pneumonia berat, terutama yang muncul akibat aksaserbasi akut penyakit paru
obstruktif kronis, lebih dianjurkan penggunaan noninvasive positive-pressure ventilation
dibandingkan ventilator mekanik untuk oksigenasi yang adekuat (BTS guidelines, 2001).

Latihan napas dan fisioterapi dada


Latihan napas dan relaksasi dibutuhkan pada pasien yang cemas akan keadaan sesak napasnya,
dan kecemasan itu akan menambah sesak napasnya. Pursed lip breathing dan nafas
diagfragmatis dapat diajarkan kepada pasien; kedua latihan ini dapat membantu tanpa
memerlukan peralatan tambahan. Mintalah pasien untuk inspirasi dalam dan perlahan melalui
hidung, kemudian dalam keadaan bibir setengah tertutup (posisi kedua bibir seperti bersiul)
keluarkan seluruh udara napas melalui mulut secara perlahan. Ekspirasi harusnya lebih lama
dari pada inspirasi. Pada latihan napas diagfragmatis (nafas abdominal), mintalah pasien untuk
meletakkan kedua tangannya di perut ketika bernapas (inspirasi dan ekspirasi) perlahan-lahan
dengan menggunakan otot dinding perut. Tangan pasien yang bergerak seirama dengan
pernafasan akan menjadi indikator bagi pasien sendiri tentang pernapasannya.
Fisioterapi dada dan drainase postural diperlukan jika ada gangguan pengeluaran dahak
yang melekat pada dinding lumen saluran napas di area paru-paru tertentu. Pasien diposisikan
yang sesuai kemudian petugas meletakkan kedua telapak tangannya dalam keadaan sedikit
menutup (cups) lalu ditepuk-tepukkan secara bergantian ke punggung pada area yang sesuai.
Tujuannya adalah meluruhkan dahak sehingga dapat dibatukkan pasien. Pada pasien yang
amat lemah tentu akan ditemui kesulitan terutama dalam memposisikan dan membatukkan
dahak yang luruh. Fraktur iga, hemoptisis, tuberkulosis aktif, dan kecurigaan aspirasi
merupakan kontraindikasi.

Antibiotika
Terapi antibiotika pada pneumonia komunitas, sesuai dengan berbagai rekomendasi, prinsip
utama adalah harus dapat mencakup infeksi Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenzae serta penyebab atipikal. Amoksisilin-asam klavulanat dan sefalosporin generasi
kedua dapat diberikan sebagai monoterapi pada infeksi yang ringan. Terapi kombinasi
antibiotika β-laktam dengan doksisiklin dan makrolid generasi baru, atau fluorokuinolon saja
sebagai monoterapi, dianjurkan pada infeksi yang diduga ada keterlibatan kuman-kuman
atipikal. Pada pasien usia lanjut yang dirawat dengan pneumonia komunitas sefalosporin
generasi ketiga atau fluorokuinolon dilaporkan memberi hasil yang efektif. Prinsipnya, terapi
antibiotika pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas didasarkan pada berat-
ringannya infeksi dan kemungkinan mikroorganisme penyebab (Tabel 7) (IDSA guidelines,
2007).
Tabel 7. Terapi Antibiotika Empirik pada Pneumonia Komunitas (CAP)

Pasien rawat-jalan
Pasien yang sebelumnya sehat, tanpa penggunaan antibiotik dalam 3 bulan sebelumnya
Makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
Doksisiklin
Terdapat komorbiditas
Fluorokuinolon respiratori (levofloksasin, moksifloksasin, gemifloksasin)
Antibiotika beta-laktam (amoksisilin-klavulanat) ditambah makrolid
Pasien rawat inap
Non-ICU
Fluorokuinolon respiratori
Beta-laktam ditambah makrolid
Perawatan ICU
Beta-laktam (cefotaksim, ceftriakson, ampisilin-sulbaktam) ditambah azitromisin atau flurokuinolon
respiratori (bila pasien alergi penisilin yang direkomendasikan adalah fluorokuinolan dan aztreonam)
Bila diduga infeksi Pseudomonas
Beta-laktam antipneumokokal dan antipseudomonas (piperacilin/tazobaktam, cefepim, imipenem,
atau meropenem) ditambah ciprofloksasin atau levofloksasin, atau
Beta-laktam di atas ditambah aminoglikosida dan azitromisin, atau
Beta-laktam di atas ditambah aminoglikosida dan fluorokuinolon
(bila pasien alergi penisilin, ganti beta-laktam di atas dengan aztreonam)
Pada pneumonia yang lebih berat atau pneumonia yang muncul saat perawatan di rumah
sakit (hospital-acquired pneumonia, HAP) dan yang muncul saat pemakaian ventilator
(ventilator-associated pneumonia, VAP) antibiotika dengan spektrum luas dengan cakupan
gram-positif, gram-negatif (termasuk Pseudomonas aeruginosa), dan kuman anaerob harus
segera diberikan sebagai terapi empirik sambil menunggu hasil resistensi terhadap kuman
yang tumbuh. Antibiotika empirik yang direkomendasikan pada kasus-kasus VAP dan HAP
yang berisiko mengalami resistensi banyak-obat dapat dilihat pada Tabel 8 (ATS guidelines,
2005).

Tabel 8. Terapi Antibiotika Empirik untuk HAP dan VAP pada Pasien dengan Risiko Mengalami
Resistensi Banyak-Obat
Patogen potensial Terapi antibiotika kombinasi
Streptococcus pneumoniae Beta-laktam/beta-laktam inhibitor
Haemophilus influenzae (Piperacillin/tazobaktam)
Methicillin-sensitive Staphylococcus aureus
atau
Antibiotic-sensitive enteric gram-negative bacilli
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Sefalosporin antipseudomonas
Enterobacter species, Proteus species, Serratia (Cefepim atau ceftazidim)
marcescens atau
Patogen MDR
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae Karbapenem antipseudomonas
(ESBL+), Acenitobacter spesies (Imipenem atau meropenem)
ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonas
(Ciprofloksasin atau levofloksasin)
atau
Aminoglikosida
(Amikasin, gentamisin, tobramisin)

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Linezolid atau vancomisin

Suatu penelitian kohort-observasional pada 156 pasien ICU berusia rerata 62 tahun yang
diduga secara klinis mengalami VAP, menunjukkan bahwa terapi antibiotika empirik dengan
penicilin antipseudomonas plus β-laktamase inhibitor (piperacilin-tazobaktam) menunjukkan
angka kematian di rumah sakit terendah (hazard ratio [HR] 0,41; IK95% 0,21 sampai 0,80;
P=0,009). Aminoglikosida juga menunjukkan kecenderungan penurunan mortalitas, walaupun
tidak mencapai kemaknaan statistik (HR 0,43; IK95% 0,16 sampai 1,11; P=0,08). Hasil dari
penelitian ini mengindikasikan bahwa terapi antibiotika empirik dengan piperacilin-
tazobaktam, dan mungkin aminoglikosida, harus dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan
VAP, termasuk pada pasien usia lanjut (Fowler dkk, 2003).

Pencegahan
Beberapa cara pencegahan dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya pneumonia
pada usia lanjut, diantaranya (ATS guidelines, 2005; Marrie, 2003; Cochrane, 2007):
1. Vaksinasi pneumokokal. Saat ini tersedia vaksin polisakarida kapsular 23-valen untuk
dewasa; yang merupakan tipe polisakarida kapsular dari S. pneumoniae yang sering
menyebabkan pneumonia bakterial. Efektivitas vaksinasi pneumokokal untuk mencegah
terjadinya pneumonia pada usia lanjut masih kontroversi. Suatu tinjauan pustaka
terhadap berbagai penelitian mengenai efektivitas vaksinasi pneumokokal mendapatkan
bahwa walaupun tidak terdapat penurunan insidens pneumonia maupun kematian pada
orang dewasa yang menerima vaksin pneumokokal, termasuk pada kelompok usia tua,
namun vaksinasi dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi berat (invasive diasease)
akibat pneumokokus.
2. Vaksinasi influenza yang dilakukan setiap tahun akan mengurangi jumlah perawatan di
rumah sakit baik untuk pneumonia maupun gagal jantung kongestif. Efektivitas
vaksinasi influenza untuk mencegah pneumonia dibahas pada bagian lain tulisan ini.
3. Berhenti merokok bagi yang saat ini masih merokok. Merokok diketahui meningkatkan
risiko pneumonia pneumokokal, sehingga dengan berhenti merokok diharapkan dapat
mengurangi insidens pneumonia.
4. Pencegahan aspirasi. Karena pneumonia pada usia lanjut sering diakibatkan kejadian
aspirasi, maka upaya pencegahan aspirasi menjadi penting dalam mencegah terjadinya
pneumonia. Lebih lanjut mengenai pneumonia aspirasi serta pencegahannya dibahas
pada bagian lain dari tulisan ini.
5. Pada kasus HAP dan VAP, pencegahan yang dapat dilakukan adalah melakukan
modifikasi terhadap faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya pneumonia pada
pasien-pasien yang dirawat atau menggunakan ventilator.
a. Melakukan pengendalian infeksi yang efektif, dengan cara: edukasi kepada tenaga
kesehatan di ruang rawat, mencuci tangan dengan disinfektan, mengisolasi kasus-
kasus yang berpotensial menyebabkan infeksi-silang kuman patogen yang resisten
banyak-obat.
b. Menghindari melakukan intubasi dan penggunaan ventilator mekanik bila
memungkinkan. Penggunaan ventilator tekanan-positif non-invasif merupakan
alternatif yang dapat digunakan pada pasien-pasien yang mengalami gagal napas,
terutama pada pasien PPOK.
c. Pencegahan aspirasi, dengan melakukan memosisikan pasien pada posisi setengah
duduk (semi-recumbent) dan penggunaan selang makanan (enteral feeding) secara
hati-hati. Lebih lanjut mengenai pencegahan aspirasi dibahas pada bagian lain dari
tulisan ini.
d. Memodulasi kolonisasi di rongga orofaring, baik dengan oral antiseptik dan
antibiotika.
e. Pencegahan perdarahan lambung (stress ulcer) dengan antagonis H2, penghambat
pompa proton, dan sukralfat harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada pasien
yang berisiko mengalami aspirasi dari cairan lambung karena akan mengubah flora
cairan lambung menjadi lebih patogen.

4.2. Infeksi Saluran Kemih


Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu infeksi yang umum terjadi pada populasi
usia lanjut, umumnya berupa ISK yang asimtomatik. Walaupun mortalitas langsung akibat
ISK dikatakan cukup jarang, namun insidensnya yang tinggi (baik di komunitas maupun di
tempat perawatan jangka-panjang) menimbulkan masalah baru berupa penggunaan antibiotika
secara berlebihan yang meningkatkan laju resistensi kuman terhadap berbagai jenis
antibiotika. Selain itu pendekatan dan penatalaksanaan pada populasi usia lanjut yang diduga
mengalami ISK harus dibedakan berdasarkan pada populasi mana pasien itu berada. Penyebab
dan penatalaksanaan ISK berbeda antara laki-laki dan perempuan, demikian pula pada
populasi usia lanjut di komunitas dan di tempat perawatan jangka-panjang dan panti-werdha.
Ada pula pertimbangan khusus penatalaksanaan ISK pada kelompok usia lanjut yang
menggunakan kateter menetap/jangka-panjang.

Epidemiologi dan faktor risiko


Bakteriuria asimtomatik meningkat tajam prevalensinya seiring meningkatnya usia. Pada
wanita berusia muda prevalensinya berkisar 2 sampai 3 persen, sementara pada wanita berusia
tua (lebih dari 65 tahun) prevalensinya dapat mencapai 10 persen. Sementara pada pria,
adanya bakteriuria umumnya dihubungkan dengan kelainan anatomis seperti hipertrofi prostat
yang sering timbul pada pria usia lanjut. Prevalensi bakteriuria asimtomatik meningkat tajam
pada populasi usia lanjut yang berada di tempat perawatan jangka-panjang dan panti-werdha.
Penelitian di luar negeri pada populasi usia lanjut yang tinggal di rumah-rumah perawatan
mendapatkan prevalensi bakteriuria asimtomatis yang sangat tinggi yaitu berkisar 25 sampai
50% pada wanita dan 15 hingga 40% pada pria (Nicolle, 2003). Penelitian khusus mengenai
bakteriuria asimtomatik pada usia lanjut di Indonesia, baik di komunitas maupun di panti-
werdha, sampai saat ini belum dilakukan.
Sementara bakteriuria simtomatik ditemukan sebanyak 13 per 100 orang-tahun, yaitu 10,9
pada pria dan 14 pada wanita. Suatu pengamatan tindak-lanjut selama 6 bulan pada perempuan
usia lanjut dengan bakteriuria asimtomatik, insidens gejala ISK didapatkan 0,9 per 1000 hari.
Insidens ISK yang simtomatik pada penghuni tempat perawatan jangka-panjang berkisar
antara 1,0 sampai 2,4 per 1000 penghuni-hari. Infeksi saluran kemih dengan bentuk berat,
pielonefritis, menyebabkan 10 sampai 15 per 10.000 populasi usia lanjut berusia diatas usia 70
tahun harus dirawat rumah sakit pertahunnya (Nicolle, 2003). Data di Indonesia (RS Cipto
Mangunkusumo) menunjukkan prevalens ISK adalah 35,6% dari populasi usia lanjut yang
datang ke rumah sakit tersebut (baik rawat inap maupun rawat jalan), dengan prevalens pada
perempuan 42,1% dan laki-laki 27,7%. (Wahyudi, 2004)
Morbiditas akibat bakteriuria simtomatik yang dapat diukur adalah keluhan tidak nyaman
yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari, menurunnya status fungsional, atau kejadian
hospitalisasi. Bakteriuria asimtomatik dilaporkan tidak berhubungan dengan terjadinya
penurunan fungsi ginjal atau hipertensi, walaupun satu studi pada tahun 1970 melaporkan
adanya hubungan antara bakteriuria asimtomatik dengan berkurangnya sintasan baik pada
laki-laki maupun perempuan usia lanjut. Jarang dilaporkan adanya mortalitas yang disebabkan
oleh bakteriuria asimtomatik.
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi bakterial yang paling sering timbul dan
sumber utama bakteremia pada usia lanjut. Faktor yang mempredisposisi seorang usia lanjut
mengalami ISK adalah penggunaan kateter (baik folley maupun kondom), dan neurogenic
bladder dengan peningkatan volume residu urin. Faktor yang secara spesifik turut pula
berperan adalah hipertrofi prostat pada pria, serta meningkatnya pH vagina dan terjadinya
atrofi vagina sehubungan dengan deplesi estrogen postmenopause dan pengosongan kandung
kemih yang tidak sempurna pada wanita. Faktor-faktor tersebut memberikan kesempatan bagi
bakteri untuk berkolonisasi dan meningkatkan risiko terjadinya bakteriuria asimptomatik dan
ISK pada usia lanjut (Nicolle, 2003).

Diagnosis
Sama seperti pada infeksi lain, manifestasi klinis ISK pada usia lanjut sering tidak khas –
bahkan asimptomatik– sehingga diagnosis dan pengobatannya masih menjadi tantangan bagi
para dokter. Beberapa gejala yang sama seperti pada dewasa muda mungkin terjadi pada
seorang usia lanjut yang mengalami ISK (Tabel 9). Tantangan bagi para dokter dan petugas
kesehatan dalam mendiagnosis ISK pada usia lanjut adalah adanya berbagai gangguan
komunikasi baik karena penurunan fungsi kognitif dan mental atau gangguan pendengaran,
serta adanya gejala-gejala kronik yang sebelumnya ada seperti pembesaran prostat, overactive
bladder, maupun inkontinensia urin tipe lain. Inkontinensia dan delirium terkadang menjadi
keluhan utama pasien yang mengalami ISK, walau tanpa demam dan sepsis. Hematuria
kadang-kadang dapat menjadi petunjuk adanya infeksi bakterial di saluran kemih, walaupun
biasanya berhubungan dengan adanya predisposisi lain seperti batu kandung kemih, tumor,
atau trauma berkaitan dengan pemakaian kateter (Nicolle, 2003).

Tabel 9. Tampilan Klinis Infeksi Saluran Kemih Simtomatik pada Populasi Usia Lanjut

Kemungkinan infeksi saluran kemih


Gejala iritatif akut saluran kemih bagian bawah (frekuensi, disuria, urgensi, memberatnya inkontinensia)
Pielonefritis akut (demam, nyeri pinggang, dan nyeri ketok)
Demam dengan retensi urin atau obstruksi saluran kemih
Demam pada pengguna kateter urin menetap
Kurang diduga disebabkan infeksi saluran kemih
Demam tanpa gejala dan tanda urogenital yang terlokalisir
Gross-hematuria
Gejala nonspesifik terjadinya kemunduran klinis
Tidak disebabkan oleh infeksi saluran kemih
Inkontinensia kronik
Gejala kronik lain dari sistem urogenital
Suatu penelitian retrospektif terhadap 104 pasien berusia 50 tahun atau lebih yang dari
hasil kultur terbukti menderita ISK, menunjukkan bahwa kelompok usia yang lebih tua (>70
tahun) dengan ISK lebih sering didiagnosis sebagai infeksi paru pada saat awal perawatan
dibandingkan kelompok usia yang lebih muda (50-70 tahun). Pasien berusia lanjut lebih
mengeluhkan gejala respiratorik seperti sesak napas, batu, atau nyeri dada; yang setelah
dievaluasi lebih lanjut ternyata merupakan gejala-gejala akibat penyakit komorbidnya
(misalnya PPOK). Kelompok usia yang lebih lanjut (>70 tahun) juga lebih banyak mengalami
delirium dan lebih sedikit yang demam. Akibatnya, sebagian besar pasien usia lanjut dengan
ISK diterapi dengan amoksisilin atau eritromisin (terapi pilihan pada infeksi paru). Hasil dari
penelitian ini mengisyaratkan bahwa ISK harus benar-benar dieksklusi sebagai penyebab
infeksi akut, terutama pada mereka yang berusia lebih lanjut (Barkham, 1996).
Pada pasien rawat jalan, seorang usia lanjut yang diduga mengalami ISK harus dilakukan
urinalisis dan pemeriksaan untuk mengkonfirmasi adanya bakteri di urin. Selain merupakan
tes penyaring terhadap adanya bakteriuria, urinalisis dapat memperkirakan adanya piuria, yang
mempunyai nilai prediksi negatif (negative predictive value) yang tinggi terhadap tidak
adanya bakteri pada pasien dengan hitung sel darah putihn rendah atau tidak ada. Pemeriksaan
tes celup (dipstick test) terhadap esterase leukosit juga dapat digunakan untuk menentukan
adanya neutofil pada urin. Adanya bakteriuria juga dapat diperiksa dengan tes nitrit, namun
sensitivitasnya hanya 65% dan tidak dapat mendeteksi enterokokus, stafikokokus, dan
Pseudomonas. Kultur urin merupakan pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada
semua pasien usia lanjut yang diduga menderita ISK untuk menentukan jenis mikroorganisme
penyebab. Cara mengumpulkan spesimen untuk pemeriksaan urinalisis dan kultur harus
dilakukan dengan cara yang benar, yaitu mengambil urin porsi-tengah (midstream urine
specimen), untuk menghindari kontaminasi bakteri atau mikroorganisme lain yang ada di
muara uretra (Nicolle, 2003). Beberapa penulis mencoba membuat suatu kriteria diagnosis
ISK pada pasien usia lanjut berdasarkan manifestasi klinis dan laboratoris (Tabel 10)
(Midthun, 2004).
Tabel 10. Gabungan Kriteria untuk Diagnosis Infeksi Saluran Kemih

1. Bakteriuria >105 colony forming unit (cfu) per ml dari patogen tunggal
2. Piuria >10 sel darah putih per lapang pandang besar (LPB)
3. Gejala:
• Nyeri berkemih, frekuensi, atau urgensi yang baru muncul atau meningkat
• Perubahan karakter urin: keruh, berdarah, atau berbau
• Suhu tubuh meningkat
• Menggigil
• Nyeri baru atau memberat di suprapubik, pinggang, atau kostovertebral
• Inkontinensia yang baru muncul atau memberat
• Penurunan status mental atau fungsional

Pada pasien-pasien usia lanjut yang memerlukan perawatan di rumah sakit, selain
urinalisis dan kultur urin, kultur darah juga harus dilakukan. Pasien yang dirawat dan terdapat
infeksi yang complicated (saluran kemih bagian atas, berulang, atau terkait-kateter)
memerlukan pengkajian fungsi ginjal (ureum, kreatinin) juga evaluasi terhadap anatomi
saluran kemih (ultrasonografi, pielografi intravena) dan fungsi kandung kemih (volume residu
urin). Beberapa pasien memerlukan pemeriksaan sistoskopi, sementara pada pasien laki-laki
diperlukan pemeriksaan yang teliti terhadap kelenjar prostat untuk menyingkirkan prostatitis
bakterial kronik dan hiperplasi prostat. Pada tempat perawatan jangka-panjang (long-term care
facilities), termasuk panti werdha, urinalisis dan kultur urin cukup untuk evaluasi awal pasien
dengan ISK. Pengumpulan spesimen urin pada laki-laki cukup dilakukan dengan kateter
eksternal (kateter kondom), sementara pada pasien perempuan yang mengalami inkontinensia
urin spesimen sebaiknya diambil dengan kateter yang dipakai sementara. Pada mereka yang
memakai kateter menetap, sebaiknya dilakukan penggantian kateter dahulu sebelum spesimen
urin diambil (Yoshikawa, 2003).

Penatalaksanaan
Bakteria asimptomatik pada usia lanjut seharusnya tidak diterapi karena terbukti tidak
mengurangi morbiditas dan mortalitas, bahkan akan meningkatkan resistensi terhadap
antibiotik, meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat yang umum terjadi pada usia
lanjut, serta meningkatkan biaya. Terapi pada ISK yang simtomatik memerlukan kultur urin
untuk diagnosis yang optimal, pemilihan antibiotika yang sesuai, serta lamanya terapi yang
memadai. Spesimen urin untuk kultur harus diambil sebelum terapi dimulai (Nicolle, 2003).
Pemilihan antibiotik untuk pengobatan ISK pada usia lanjut sama dengan dewasa muda.
Terapi empirik yang direkomendasikan pada pasien ISK rawat jalan adalah dengan
trimetoprim-sulfametoksazol. Antibiotika β-laktam (ampisilin, amoksisilin-klavulanat,
sefalosporin) sebelumnya juga sering digunakan sebagai terapi awal untuk ISK, namun
penggunaannya yang berlebihan menimbulkan peningkatan resistensi terhadap antibiotika
tersebut. Fluorokuinolon oral saat ini dianjurkan sebagai alternatif terapi ISK pada pasien yang
intoleran terhadap trimetoprim-sulfametoksazol atau yang gagal dengan terapi tersebut. Lama
terapi umumnya 7 hari, atau pada kasus yang complicated dapat dilanjutkan sampai 14 hari.
Pada laki-laki usia lanjut lama terapi antibiotika yang dianjurkan adalah 14 hari. Pemeriksaan
kultur urin ulang sebaiknya dilakukan setelah 7 sampai 10 hari setelah terapi selesai.
Pasien usia lanjut yang memerlukan perawatan rumah sakit akibat ISK umumnya diterapi
dengan antibiotika parenteral sampai terdapat perbaikan klinis (bebas demam selama paling
kurang 24 jam; perbaikan tanda-tanda vital; mampu makan dan minum), setelah itu dapat
dialih terapi ke oral sesuai data kultur dan sensitivitas. Antibiotika parenteral yang dianjurkan
digunakan sebagai terapi empirik ISK pada usia lanjut yang dirawat adalah fluorokuinolon,
sefalosporin spektrum-luas, beta-laktam dan anti beta-laktamase, dan aminoglikosida (Tabel
11). Walaupun antibiotika golongan aminoglikosida merupakan pilihan pada pasien usia lanjut
dengan ISK yang dirawat di rumah sakit, namun perlu diperhatikan efek samping nefrotoksik
dan ototoksik yang mungkin terjadi. Pada perawatan di rumah sakit, lama terapi umumnya
sekitar 10 sampai 14 hari. Evaluasi ulang kultur harus dilakukan setelah 7 sampai 10 hari
setelah selesainya pemberian antibiotika (Yoshikawa, 2003; Nicolle; 2003).

Tabel 11. Regimen Antibiotika Parenteral untuk Pengobatan Infeksi Saluran Kemih (ISK) Komplikata

Antibiotika Dosis

Ciprofloksasin 200-400 mg tiap 12 jam


Ceftriakson 1-2 g tiap 24 jam
Cefazolin 1-2 g tiap 8 jam
Cefotaksim 1-2 g tiap 8 jam
Ceftazidim 0,5-2 g tiap 8 jam
Ampisilin 1 g tiap 4-6 jam
Piperacilin/tazobaktam 4,5 g tiap 8 jam
Gentamisin 1-1,5 mg/kg tiap 8 jam atau 4-5 mg/kg
tiap 24 jam
Amikasin 5 mg/kg tiap 8 jam atau 15 mg/kg tiap
24 jam
Imipenem/cilastatin 500 mg tiap 6 jam
Suatu uji klinis terkontrol acak tersamar-ganda dilakukan untuk membandingkan
pemberian antibiotika ciprofloksasin 250 mg dua kali sehari selama 3 hari dan ciprofloksasin
250 mg dua kali sehari selama 7 hari, pada pasien perempuan usia lanjut (>65 tahun) rawat
jalan maupun rawat inap akut dengan ISK yang tidak berkomplikasi. Hasilnya adalah kedua
durasi terapi tersebut tidak memberikan perbedaan bermakna baik pada eradikasi bakteri,
perbaikan gejala, maupun reinfeksi dan kekambuhan, namun durasi terapi 7 hari akan
meningkatkan kejadian efek samping obat (ESO) dibandingkan durasi terapi 3 hari (Vogel
2004).
Suatu uji klinis pada 237 pasien dengan rerata usia hampir 60 tahun yang mengalami
pielonefritis akut atau ISK komplikata, menunjukkan bahwa terapi dengan antibiotika
piperacilin-tazobaktam sama efektifnya dengan imipenem-cilastatin dalam hal keberhasilan
klinis (83,0% vs. 79,9%, tidak berbeda secara statistik). Respons mikrobiologis lebih baik
pada piperacilin-tazobaktam (57,8%) bila dibandingkan imipenem-cilastatin (48,6%), dengan
efektivitas piperazilin-tazobaktam yang lebih baik terhadap E. coli, Enterobacter cloacae, dan
P. aeruginosa. Kedua obat cukup aman dan dapat ditoleransi dengan baik (kejadian efek
samping obat, masing-masing 9,6 dan 9,9%) (Naber dkk., 2002).

Pencegahan
Peningkatan frekuensi infeksi saluran kemih pada populasi usia lanjut yang diakibatkan
perubahan terkait-usia dan adanya komorbiditas, memerlukan upaya-upaya pencegahan agar
tidak menimbulkan dampak yang makin menurunkan status fungsional seorang yang sudah
berusia lanjut. Tentu yang harus pertama-tama dilakukan adalah memodifikasi faktor-faktor
risiko dan faktor predisposisi terjadinya ISK pada usia lanjut. Terapi terhadap berbagai
kelainan anatomis baik di saluran kemih (mulai dari ginjal sampai uretra) serta hipertrofi
prostat pada pria harus dilakukan, untuk mencegah kolonisasi kuman di saluran kemih. Pada
pasien dengan inkontinensia urin sedapat mungkin menghindari pemakaian kateter jangka-
panjang, dan bila memang harus menggunakan menggunakannya upaya-upaya untuk
memelihara kebersihan menjadi sangat penting.
Beberapa cara intervensi telah dievaluasi untuk mencegah ISK pada populasi usia lanjut.
Konsumsi cranberry juice merupakan cara yang cukup populer di luar negeri untuk mencegah
terjadinya ISK pada berbagai populasi termasuk populasi perempuan usia lanjut yang tinggal
di fasilitas pelayanan jangka-panjang. Efek antiseptik urin dari cranberry juice diduga melalui
terganggunya penempelan bakteri di saluran kemih atau karena adanya konsentrasi tinggi
asam hipurat. Intervensi lain yang digunakan adalah pemberian antibiotika dosis-rendah,
terutama pada perempuan usia lanjut yang mengalami episode kekambuhan sistitis akut yang
sering (Tabel 12) (Nicolle, 2003). Terapi profilaksis ini diberikan pada waktu menjelang tidur,
dan diteruskan selama 6 bulan sampai 1 tahun. Terapi antimikroba profilaksis juga
diindikasikan pada mereka yang akan dilakukan prosedur invasif yang mungkin akan
membuat trauma pada mukosa saluran kemih.

Tabel 12. Antibiotika Profilaksis pada ISK Simtomatik Akut yang Berulang

Antibiotika Dosis
Yang dianjurkan
Nitrofurantoin 50-100 mg perhari
Trimetoprim-sulfametoksazol 80/400 mg perhari atau 3 kali perminggu
Trimetoprim 100 mg perhari
Alternatif
Cefaleksin 125 mg perhari
Norfloksasin 200 mg perhari atau tiga kali perminggu
Ciprofloksasin 125 mg perhari

4.3. Influenza
Influenza merupakan infeksi yang umum terjadi di seluruh dunia dan memiliki dampak besar
terhadap morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut. Pada semua kematian yang diakibatkan
influenza, 80 hingga 90 persennya terjadi pada usia lanjut. Seorang berusia lanjut cenderung
untuk menjadi berat dan potensial mengalami komplikasi fatal akibat penyakit ini karena
adanya penyakit komorbid dan melemahnya imunitas, sehingga orang usia lanjut banyak
mendapat manfaat bila dapat dilakukan vaksinasi, deteksi dini, dan penatalaksanaan yang
agresif.

Epidemiologi dan perjalanan penyakit


Influenza adalah penyakit demam akut, yang umumnya dapat sembuh spontan (self-limited),
yang disebabkan infeksi virus influenza tipe A atau B, sering terjadi sebagai wabah pada
musim dingin dengan berbagai tingkat beratnya penyakit. Laju serangan (attack rate) selama
wabah dapat mencapai 10% sampai 40% selama periode 5 sampai 6 minggu. Dua gambaran
yang paling penting pada influenza adalah perjalanan penyakitnya yang epidemik serta
mortalitas yang diakibatkan oleh komplikasi paru (Treanor, 2005).
Rata-rata, 20.000 sampai 40.000 penduduk Amerika meninggal setiap tahunnya karena
influenza dan komplikasinya. Seperti telah disebutkan di atas, morbiditas dan mortalitas
influenza paling tinggi pada kelompok usia lebih dari 65 tahun, mencapai lebih dari 90%
kematian. Pada evaluasi terdadap kematian terkait influenza dari 19 epidemi yang terjadi
antara tahun 1972 hingga 1995, laju kematian terkait influenza pada kelompok usia >65 tahun
berkisar antara 30 sampai lebih dari 150 per 100.000 individu.
Masa inkubasi infeksi influenza berkisar antara 1 sampai 4 hari, dengan rerata 48 jam.
Gejala dan tanda yang dialami seorang berusia lanjut sama dengan yang dialami seorang muda
yang mengalami influenza, namun sekali lagi, kadang-kadang gejala dan tanda yang khas
tidak muncul. Gejala klasik influenza adalah demam akut, batuk, sakit kepala, nyeri otot
(mialgia), dan malaise. Gejala lain yang lebih jarang adalah coryza, sumbatan hidung, dan
sakit tenggorok yang mungkin menyertai gejala klasik. Demam yang terjadi umumnya cukup
tinggi (>38oC) menyebabkan gangguan pada aktivitas sehari-hari dan pasien cenderung untuk
berbaring saja. Demam akan turun setelah hari ke 3 atau ke 4, sementara batuk dan malaise
dapat terjadi sampai 7 hari. Pada suatu laporan seri kasus, demam akibat influenza terjadi
hanya pada separuh dari seluruh pasien berusia lanjut; bahkan pada beberapa kasus terjadi
hipotermia. Gejala batuk pada usia lanjut dengan influenza merupakan gejala yang paling
spesifik. Batuk biasanya non-produktif dan dapat menetap sampai beberapa minggu. Gejala
lain yang juga sering terjadi adalah menurunnya kesadaran pada berbagai tingkatan dan
wandering. Sebagian besar pasien akan sembuh total setelah 1 minggu, tetapi pasien usia
lanjut dapat terus merasa lemah sampai beberapa minggu (Biedenbender, 2003; Treanor,
2005)
Bronkus dan saluran napas kecil yang reaktif pada saat infeksi influenza sering
menginduksi asma, yang akan menetap hingga beberapa minggu. Pneumonia viral, yang
jarang terjadi, bila terjadi muncul pada awal-awal perjalanan penyakit influenza dan progresif
terjadi bilateral dan difus yang menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS),
hipoksia, bahkan kematian. Superinfeksi dengan bakteri terjadi pada hari ke 5 sampai ke 7
setelah awitan gejala. Penyakit paru yang telah ada merupakan predisposisi terjadinya
eksaserbasi akut dari bronkitis kronik atau penyakit paru obstruktif kronik, yang sering
memerlukan perawatan rumah sakit. Pneumonia harus dicurigai bila terjadi perburukan gejala
batuk dan sesak napas, disertai peningkatan produksi sputum yang purulen. Bakteri patogen
penyebab pneumonia pada usia lanjut yang mengalami influenza umumnya adalah Streptococ-
cus pneumoniae, Staphylococcus species, dan Haemophilus influenzae (Biedenbender, 2003).

Diagnosis
Diagnosis influenza sulit ditegakkan semata-mata dari manifestasi klinis saja, karena penyakit
virus lain (parainfluenza, respiratory synctial virus, dll) serta infeksi bakteri atipikal
(Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dll) memberikan gambaran klinis yang
hampir sama sehingga sulit disingkirkan. Padahal, pemberian obat antivirus hanya akan efektif
bila diberikan dalam 48 jam setelah awitan gejala. Walaupun infuenza merupakan self-limited
disease, pada mereka yang cenderung mengalami komplikasi berat akibat influenza –seperti
kelompok usia lanjut– pemberian antiviral sedini sangat penting untuk mengurangi risiko
komplikasi serius.
Diagnosis influenza dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologi (rapid-diagnostic test),
dan pada beberapa pasien mungkin perlu dilakukan isolasi virus untuk mengetahui informasi
spesifik mengenai subtipe dan strain virus. Meski demikian, karena infeksi influenza
merupakan penyakit yang self-limited dan pemeriksaannya yang masih terbatas, di Indonesia
diagnosis influenza secara serologis dan virologis masih belum menjadi pemeriksaan rutin.
(Beidenbender, 2003; Treanor, 2005)

Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap influenza pada usia lanjut dimulai dengan pengobatan simptomatis dan
menjaga kondisi umumnya, baik dengan istirahat cukup serta nutrisi dan cairan (minum) yang
adekuat. Pemberian obat-obat antiviral seperti amantadin, rimantadin, zanamivir, dan
oseltamivir dilaporkan dapat membatasi perkembangan penyakit dan mencegah komplikasi.
Namun antiviral akan efektif bila diberikan dalam 48 jam setelah gejala muncul. Sekali lagi, di
Indonesia pemberian antiviral pada influenza juga belum menjadi hal yang rutin baik karena
harganya yang masih mahal juga umumnya pasien datang ke dokter lebih dari 48 jam setelah
gejala muncul (Beidenbender, 2003).
Pencegahan
Pencegahan terhadap influenza dengan vaksinasi merupakan upaya yang paling efektif dalam
mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat influenza. Vaksinasi akan menurunkan
perawatan di rumah sakit akibat influenza, angka kejadian pneumonia, dan kematian. Pusat
pengendalian penyakit di Amerika Serikat (CDC) merekomendasikan vaksinasi influenza pada
semua usia lanjut penghuni fasilitas perawatan jangka-panjang dan stafnya, dan cakupan
vaksinasi minimal 80% akan mencapai herd immunity, yang akan mencegah penyebaran
penyakit di populasi tersebut. Vaksin influenza efektif mencegah perawatan di rumah sakit
atau pneumonia hingga 50-60% dan efektif mencegah kematian penghuni fasilitas perawatan
jangka-panjang hingga 30-80% (Beidenbender, 2003). Suatu evaluasi terhadap hampir
300.000 individu berusia 65 tahun atau lebih yang hampir 60%nya divaksinansi influenza
pada dua musim influenza (1998-1999, 1999-2000), membuktikan bahwa vaksinasi influenza
pada usia lanjut menurunkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular, penyakit
serebrovaskular, pneumonia, influenza, serta kematian secara bermakna. Hasil dari penelitian
tersebut menekankan manfaat vaksinasi influenza dan mendorong penggunaan vaksin
influenza yang luas pada individu berusia lanjut (Nichol, 2003).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa vaksinasi influenza pada usia lanjut tidak seefektif
dewasa muda dalam mencegah munculnya penyakit dan komplikasinya. Beberapa faktor yang
dianggap berpengaruh terhadap efektivitas vaksinasi influenza pada usia lanjut, antara lain
perubahan respons imun pada usia lanjut (immune senescence), imunogenisitas vaksin yang
lemah, serta terjadinya antigenic shift and drift. Walaupun titer antibodi yang terbentuk pada
usia lanjut lebih rendah dibanding dewasa muda, vaksinasi influenza pada kelompok usia
lanjut tetap memberikan manfaat mengurangi beratnya penyakit yang terjadi, sehingga
perawatan di rumah sakit, pneumonia, dan kematian dapat dicegah (Beidenbender, 2003).
Vaksin influenza diberikan setahun sekali, dan akan optimal bila diberikan sebelum
terjadinya sirkulasi influenza tahunan. Pada populasi usia lanjut, diperlukan 4 hingga 6
minggu sebelum titer antibodi yang optimal terbentuk. Di belahan bumi utara, vaksinasi
diberikan pada bulan Oktober dan November sementara di belahan bumi selatan pada bulan
Maret sampai Mei sesuai dengan jadwal datangnya musim dingin (WHO, 2000). Di Indonesia,
yang terletak di wilayah khatulistiwa dan terdiri dari hanya 2 musim, vaksinasi influenza
mungkin akan efektif bila diberikan pada awal musim hujan yaitu sekitar bulan Oktober atau
November.
Upaya lain pencegahan influenza beserta komplikasinya adalah dengan kemoprofilaksis
menggunakan obat-obat antiviral. Saat ini ada 2 golongan antivirus yang selain digunakan
sebagai terapi juga sebagai profilaksis, yaitu golongan inhibitor M2, yaitu amantadin dan
rimantadin hanya efektif pada virus influenza A, serta golongan inhibitor neuraminidase
(zanamivir dan oseltamivir) yang efektif baik pada virus influenza A maupun B. Obat-obat
antiviral ini seharusnya tidak menggantikan peran vaksinasi sebagai upaya pencegahan
influenza namun pada beberapa keadaan dapat direkomendasikan sebagai tambahan terhadap
vaksinasi. Sebagai contoh, amantadin dan rimantadin menunjukkan dapat mencegah
penyebaran virus influenza A di suatu tempat perawatan usia lanjut bila diberikan pada
seluruh penghuni setelah munculnya kasus pertama. Obat antiviral ini juga direkomendasikan
penggunaannya pada individu yang ada kontraindikasi vaksinasi influenza karena alergi
terhadap protein telur (WHO, 2000).

4.4. Sepsis
Sepsis adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan pasien dengan bakteremia
yang simtomatik dengan atau tanpa disfungsi organ. Sepsis merupakan penyebab mortalitas
tertinggi pada kelompok penyakit infeksi, serta merupakan penyebab tersering dan terpenting
dari morbiditas dan mortalitas terkait-infeksi pada kelompok usia lanjut. Diperkirakan hampir
60% pasien dengan sepsis berusia di atas 65 tahun, dan angka ini akan terus bertambah seiring
meningkatnya proporsi penduduk yang berusia lanjut. Dampaknya adalah tempat-tempat
perawatan intensif harus makin menyediakan tempat untuk perawatan pasien usia lanjut, yang
tentunya harus dapat memenuhi kebutuhan perawatan yang khusus untuk usia lanjut yang
berbeda dengan pasien dewasa muda.

Epidemiologi
Suatu analisis terhadap data pasien yang keluar (discharge data) dari seluruh rumah sakit di
Amerika Serikat (AS) menunjukkan antara tahun 1979 sampai dengan 2000 insidens sepsis
meningkat rata-rata 13,7% pertahun, dan rerata usia pasien yang mengalami pasien meningkat
dari 57,4 tahun pada periode 1979-1984 menjadi 60,8 tahun pada periode 1995-2000 (Martin,
2003). Pada suatu penelitian kohort observasional terhadap insidens sepsis berat (yaitu sepsis
dengan disfungsi organ) didapatkan secara keseluruhan insidens sepsis berat adalah 3 per 1000
populasi, namun pada kelompok usia lanjut insidensnya meningkat tajam mencapai 26,2 per
1000 populasi. Angka kematian juga semakin meningkat pada kelompok usia yang lebih tua,
dengan puncaknya pada pasien >85 tahun yang mencapai 38,4% (Angus, 2001). Pada studi
observasional retrospektif terhadap data Medical Provider Analysis and Review (MedPAR)
yang khusus melayani populasi usia lanjut di AS menunjukkan terjadi peningkatan jumlah
perawatan di rumah sakit akibat sepsis yaitu dari 90.965 perawatan (3,42 perawatan per 1000
peserta MedPAR) pada tahun 1987 menjadi 219.350 perawatan (7,85 perawatan per 1000
peserta MedPAR). Diantara kelompok usia lanjut (>65 tahun) tersebut, kelompok berusia >85
tahun mempunyai insidens perawatan akibat sepsis yang tertinggi dibandingkan kelompok
usia di bawahnya (65-74 tahun dan 75-84 tahun) (McBean, 2000). Infeksi yang paling sering
menyebabkan terjadinya sepsis pada usia lanjut diantaranya infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas bawah, infeksi intra-abdomen, serta infeksi kulit dan jaringan lunak, termasuk
ulkus dekubitus (McBean, 2000; Podnos, 2002).

Patogenesis
Sepsis merupakan suatu rangkaian (kaskade) respons inflamasi dengan sitokin-sitokin
proinflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan tumor necrosis factor (TNF) memainkan
peranan sentral di dalamnya. Dari berbagai penelitian mengenai kaskade inflamasi pada
sepsis, saat ini telah diketahui bahwa sindrom sepsis disebabkan oleh ketidakseimbangan pada
respons inflamasi dan koagulasi normal pada pasien. Ketidakseimbangan respons inflamasi
terjadi baik pada sistem imun alami maupun didapat. Pada sistem imun alami, ketidak-
seimbangan respons ini berupa terikatnya toll-like receptors (TLR) pada epitop mikroor-
ganisme penyebab sepsis yang kemudian akan menstimulasi intracelluler signaling yang akan
mengaktifkan sitokin-sitokin proinflamasi maupun anti-inflamasi. Sementara gangguan pada
keseimbangan antikoagulan-prokoagulan akan mengaktifkan faktor jaringan (tissue factor)
dan meningkatkan sintesis plasminogen-activator inhibitor-1 (PAI-1) yang kemudian akan
menyebabkan iskemia (renjatan) dan hipoksia (Russel, 2006; Destarac, 2002; Bochud, 2003).

Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya sepsis pada usia lanjut antara lain usia yang lanjut itu sendiri,
performance status, fungsi imun yang menurun, penggunaan obat-obatan, status nutrisi yang
buruk, dan perubahan lingkungan. Perubahan akibat proses penuaan yang mempengaruhi
performance status seperti atrofi otot akibat imobilisasi, sarkopenia, perubahan respons
terhadap hormon trofik (growth hormone, androgen, dan estrogen), perubahan neurologik,
perubahan regulasi sitokin, serta perubahan metabolisme protein merupakan prediktor
independen terhadap mortalitas akibat sepsis (Destarac, 2002). Penyakit-penyakit komorbid
yang sering menyertai pasien usia lanjut yang mengalami sepsis diantaranya diabetes melitus,
gagal jantung kongestif, hipertensi, dan penyakit paru kronik. Diabetes melitus merupakan
salah satu faktor risiko kuat terjadinya infeksi berat pada usia lanjut, termasuk sepsis. Hal ini
disebabkan defisit sistem imun yang terjadi merupakan kombinasi akibat efek penuaan pada
sistem imun (immunesenescense) dan perubahan respons imun akibat hiperglikemia
(Rajagopalan, 2005).

Diagnosis
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya tanda-tanda sindrom respons inflamasi
sistemik (systemic inflammatory responsse syndrome, SIRS) yang disebabkan infeksi yang
cukup berat. Respons demam pada sepsis sering tidak muncul pada usia lanjut. Pada dua studi
yang dikutip Girard dkk, demam tidak terjadi pada 13% pasien usia lanjut dengan sepsis dan
separuh pasien respons demamnya menumpul (<38,3oC), bahkan ada seperempat diantaranya
yang mengalami hipotermia. Gejala yang paling sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan
bakteremia dan sepsis adalah delirium, selain kelemahan umum, malaise, inkontinensia urin,
dan jatuh. Kewaspadaan terhadap timbulnya gejala-gejala yang tidak khas tersebut dapat
menghindari kegagalan dalam mengenali sepsis pada usia lanjut. (Girard, 2005)
Selain pengenalan terhadap gejala sepsis, tantangan lain adalah mengenali tanda dan
gejala infeksi yang diduga sebagai penyebab sepsis. Seperti telah dijelaskan pada bagian
terdahulu, mengenali gejala dan tanda infeksi tertentu memerlukan pengetahuan terhadap
faktor risiko dan kriteria diagnosis tertentu yang terkadang berbeda dengan dewasa muda.
Ditambah lagi, mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan kultur baik dari sputum, urin,
maupun darah merupakan tantangan tersendiri pada pasien-pasien usia lanjut dengan
gangguan kognitif, dehidrasi, lemah, dan delirium.(Girard, 2005) Namun upaya-upaya untuk
mengenali sepsis secara dini serta memastikan sumber infeksi dan mikroorganisme penyebab
harus dilakukan semaksimal mungkin untuk menurunkan morbiditas dan mortalitasnya.
Penatalaksanaan
Pada tahun 2004, para ahli di bidang penyakit infeksi dan perawatan intensif sedunia,
mengeluarkan panduan penatalaksanaan paripurna pada pasien dengan sepsis berat dan syok
sepsis. Panduan tersebut disusun berdasarkan bukti-bukti ilmiah mutakhir yang ada dengan
mengkategorikan berbagai strategi penatalaksanaan sepsis dalam berbagai tingkatan. Karena
panduan tersebut tidak secara khusus membahas penatalaksanaan sepsis pada usia lanjut, maka
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi strategi-strategi pada panduan
tersebut untuk kelompok usia lanjut yang mengalami sepsis berat atau syok sepsis (Dellinger,
2004).
Kontrol terhadap sumber infeksi dan pemberian antibiotik. Upaya diagnostik untuk
identifikasi sumber infeksi dan kontrol terhadap sumber infeksi bila diindikasikan harus
dilakukan secepat mungkin. Antibiotika empirik harus diberikan dalam 1 jam setelah
diagnosis sepsis tegak, setelah spesimen kultur diambil dari tempat dugaan infeksi. Antibiotika
yang diberikan haruslah yang berspektrum luas, yang dapat bekerja pada semua patogen
penyebab yang diduga. Walaupun pemilihan antibiotika pada usia lanjut umumnya tidak
berbeda dari usia muda, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika
empirik untuk penatalaksanaan sepsis pada usia lanjut:
1. Seorang usia lanjut mempunyai kecenderungan terpapar pada berbagai antibiotika
sebelumnya, sehingga risiko resistensi terhadap berbagai jenis mikroorganisme lebih tinggi
dibanding pasien yang lebih muda, yang terkadang membutuhkan antibiotika berspektrum
luas;
2. Perubahan pada berbagai fungsi tubuh terkait-usia akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya efek samping akibat penggunaan antibiotika tertentu;
3. Perubahan parameter hemodinamik dan metabolik dapat terjadi sedemikian cepat pada
sepsis, menyebabkan penyesuaian dosis yang rumit serta pemantauan respons dan efek
samping obat yang ketat pada pasien usia lanjut dengan sepsis berat.
Resusitasi yang agresif. Resusitasi awal harus dilakukan sedini mungkin, dengan tujuan
mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat yang dipantau melalui tekanan darah, tekanan
vena sentral, produksi urin, dan lain-lain. Pemberian cairan intravena dengan jumlah yang
liberal, serta terapi dengan vasopresor atau inotropik (dobutamin) dapat dipergunakan untuk
resusitasi pada pasien sepsis. Walaupun kelebihan cairan harus dihindari pada pasien usia
lanjut, namun terlalu hati-hati dalam pemberian cairan sering menyebabkan
underresuscitation, karena pada sepsis berat terjadi peningkatan kapasitas vaskuler. Pada suatu
studi intervensi pada pasien dengan rerata usia 67,1 tahun, terapi resusitasi awal yang agresif
meningkatkan kesintasan pada kelompok pasien yang diintervensi (Rivers, 2001).
Activated protein C (drotrecogin alfa [activated]). Pemberian activated protein C
(dritrecogin alfa [activated]) direkomendasikan pada pasien yang berisiko tinggi mengalami
kematian akibat sepsis berat, namun dikontraindiksikan pada mereka dengan perdarahan aktif,
yang menggunakan obat antikoagulan lain, hitung trombosit <30.000/mL, juga pada pasien
yang dengan risiko perdarahan yang sulit dikontrol. Recombinant human activated protein C
(rhAPC) menurunkan risiko kematian pada pasien dengan sepsis berat (penurunan risiko
absolut [ARR] 6,1% dibandingkan plasebo) pada suatu randomized, placebo-controlled trial
yang multisenter. (Bernard, 2001) Analisis lanjutan pada kelompok usia >75 tahun dari
penelitian tersebut menunjukkan penurunan risiko mortalitas dalam 28 hari sebesar 15,5%
pada pasien yang mendapatkan rhAPC, dan setelah dilakukan follow-up selama 2 tahun
kesintasan pasien yang mendapatkan rhAPC secara bermakna lebih baik dibandingkan plasebo
(P=0,02). Risiko perdarahan sebagai efek samping rhAPC tidak menunjukkan perbedaan
diantara kelompok usia (Ely, 2003).
Beberapa rekomendasi lain dari panduan penatalaksanaan sepsis berat dan syok sepsis,
antara lain:
1. Penggunaan steroid hanya direkomendasikan pada pasien dengan syok yang refrakter
dengan dosis 200-300 mg/hari hidrokortison intravena selama 7 hari; dosis hidrokortison
melebihi 300 mg/hari tidak boleh diberikan.
2. Pemberian transfusi sel darah merah hanya diberikan bila kadar hemoglobin turun
mencapai <7,0 g/dL (dengan target 7,0-9,0 g/dL), kecuali terdapat perdarahan aktif,
penyakit jantung koroner yang signifikan, dan tanda-tanda hipoperfusi jaringan.
Rekomendasi ini harus hati-hati bila diterapkan pada kelompok usia lanjut karena
tingginya prevalens penyakit jantung koroner. Suatu penelitian pada sekitar 88.000 pasien
usia lanjut dengan infark miokard, kesintasan lebih baik pada pasien yang kadar
hemoglobinnya dipertahankan antara 10-11 g/dL.
3. Penggunaan ventilator mekanik diindikasikan pada pasien sepsis berat yang mengalami
acute lung injury (ALI) atau acute respiratory distress syndrome (ARDS), dengan strategi
ventilasi berupa volume tidal yang rendah (6 mL/kgBB). Pada penelitian dengan pasien
berusia >70 tahun, ventilasi dengan volume tidal yang rendah menunjukkan penurunan
risiko absolut kematian dalam 28 hari sebanyak 9,9%.
4. Pencegahan trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) harus diberikan pada
pasien dengan sepsis berat dengan mempergunakan unfractionated heparin dosis rendah
atau low molecular weight heparin (LMWH) yang tidak memiliki kontraindikasi
pemberian antikoagulan.
5. Pencegahan stress ulcer direkomendasikan pada pasien sepsis berat. Mengingat antagonis
reseptor H2 sering menimbulkan efek samping delirium pada pasien usia lanjut,
penghambat pompa-proton lebih dianjurkan daripada antagonis reseptor H2 pada pasien
usia lanjut dengan sepsis berat.
6. Pengendalian gula darah yang ketat untuk mempertahankan gula darah <150 mg/dL.
Hiperglikemia sering terjadi pada pasien sepsis berat, bahkan pada mereka yang
sebelumnya tidak didiagnosis diabetes melitus. Hiperglikemia akan menyebabkan
gangguan mekanisme pertahanan tubuh terhadap mikroba dan memperburuk koagulopati
pada sepsis. Terapi insulin intensif yang mempertahankan kadar gula darah 80-100 mg/dL
menunjukkan perbaikan kesintasan pada suatu uji klinis pada pasien-pasien pasca-
pembedahan.
7. End-of-life planning. Dalam menatalaksana pasien usia lanjut dengan sepsis berat, dokter
harus dipersiapkan dan dibekali pengetahuan untuk memberikan pelayanan yang optimal
pada kondisi-kondisi terminal. Pada beberapa kasus, merupakan hal yang sulit untuk
memutuskan apakah pasien harus meneruskan atau menghentikan perawatan, terutama
melepas alat-alat bantuan hidup. Komunikasi antar anggota tim medis dengan keluarga
pasien harus dilakukan, yang didasarkan pada kepentingan pasien .
Bab 5. Beberapa Masalah Khusus Terkait Infeksi pada
Populasi Usia Lanjut

5.1. Disfagia dan Pneumonia Aspirasi


Aspirasi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pneumonia pada populasi usia lanjut
yang agak berbeda bila dibandingkan usia dewasa muda. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa disfagia yang menyebabkan aspirasi merupakan faktor risiko yang cukup signifikan
terhadap terjadinya pneumonia (baik di komunitas, di fasilitas perawatan jangka-panjang,
maupun di rumah sakit). Loeb (1999) dkk. mendapatkan bahwa kesulitan menelan merupakan
salah satu faktor risiko terpenting terjadinya pneumonia pada populasi usia lanjut yang berada
di fasilitas perawatan jangka-panjang (odds ratio [OR] 2,0; interval kepercayaan [IK] 95% 1,2
sampai 3,3). Penelitian lain pada populasi yang sama menunjukkan bahwa aspirasi dan
penggunaan obat sedatif (yang mengganggu refleks batuk dan fungsi menelan) adalah faktor
risiko terpenting terjadinya pneumonia. (Vergis, 2001) Sementara pada kelompok usia lanjut
di komunitas, evaluasi dengan pencitraan indium chloride menunjukkan bahwa “silent
aspiration” terjadi pada 71% pasien yang mengalami pneumonia komunitas dibandingkan
hanya 10% pada subyek kontrol yang dipilih secara matching. (Kikuchi, 1994)

Disfagia dan penyebab lain aspirasi pada pasien usia lanjut


Disfagia pada usia lanjut dapat terjadi akibat perubahan kemampuan menelan akibat proses
penuaan maupun akibat gangguan neurologis akibat strok atau proses degeneratif di otak
(penyakit Alzheimer, amyotropic lateral sclerosis, dan penyakit Parkinson). Akibat proses
penuaan, terjadi kelemahan pada otot lidah dan otot menelan yang mengakibatkan gangguan
pada kontrol mengunyah dan menelan. Umumnya seorang usia lanjut melakukan gerakan yang
lebih banyak baik pada fase oral saat mengunyah makanan maupun pada fase faringeal saat
menelan makanan yang merupakan predisposisi terjadinya aspirasi makanan ke saluran napas.
Terjadi pula peningkatan pembentukan jaringan ikat di sfingter esofagus bagian atas, yang
memperlambat turunnya makanan dari faring. Gerakan peristaltis esofagus juga terganggu,
walaupun minimal, karena proses penuaan yang menyebabkan perlambatan masa pengo-
songan makanan di esofagus dan meningkatkan residu di daerah faring. Kesemua hal tersebut,
baik sendiri maupun bersama-sama, meningkatkan risiko terjadinya aspirasi pada populasi
usia lanjut, bahkan pada mereka yang dianggap “sehat”. Risiko terjadinya aspirasi lebih tinggi
lagi pada mereka dengan gangguan neurologi yang mendasarinya (Kikawada, 2005).
Selain adanya disfagia, beberapa hal lain juga dapat menyebabkan terjadinya aspirasi
pada usia lanjut. Kolonisasi orofaring, akibat higiene oral yang buruk maupun mekanisme
bersihan saliva yang tidak adekuat, merupakan faktor risiko mayor terjadinya kolonisasi
orofaring. Bakteri patogen yang sering ditemukan pada kolonisasi orofaring antara lain
Staphylococcus aureus, dan bakteri aerob Gram-negatif (seperti Klebsiella pneumoniae dan
Escherichia coli). Menurunnya imunitas dan perubahan anatomi maupun fisiologi saluran
napas dan paru-paru merupakan predisposisi terjadinya aspirasi pada usia lanjut. Gerakan
mukosilier yang tidak efektif, berkurangnya refleks batuk, menurunnya elastisitas paru,
menurunnya kekuatan otot-otot pernapasan, serta menurunnya kapasitas residu fungsional
adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada paru dan saluran napas seorang berusia lanjut
dan mempermudah terjadinya aspirasi (Marik, 2003).

Evaluasi pasien dengan disfagia


Disfagia harus dicurigai sebagai penyebab terjadinya pneumonia, pada pasien yang sudah
sangat tua, mengalami gangguan neurologis baik stroke maupun penyakit neurologis
degeneratif, atau pada mereka yang sering mengalami pneumonia berulang. Evaluasi adanya
disfagia secara klinis dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap gerakan oral
dan menelan dengan berbagai konsistensi makanan. Pengamatan dilakukan berturut-turut
pada: kontrol oral, aktivitas lingual, residu oral, inisiasi elevasi laringeal, ekskursi laringeal,
kualitas suara, dan ada/tidaknya batuk setelah makanan ditelan. Lebih lanjut, pemeriksaan
dengan videofluoroskopi atau fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES) dapat
juga dilakukan untuk mengidentifikasi dan menilai proses menelan pasien serta menentukan
strategi penatalaksanaan. Adanya aspirasi makanan atau air yang didapatkan pada kedua
pemeriksaan tersebut sensitif dan menyediakan informasi berguna mengenai adanya masalah
menelan. Sayangnya kedua pemeriksaan tersebut hanya dapat dilakukan oleh tenaga terlatih
dan dengan peralatan yang lengkap. Cara lain untuk menilai adanya disfagia adalah dengan
gag reflex, walaupun dikatakan kurang cukup bermanfaat dalam evaluasi disfagia. Terjadinya
desaturasi oksigen selama proses menelan juga dapat dipakai sebagai cara menduga adanya
disfagia (Kikawada, 2005; Marik, 2003).
Pencegahan dan penatalaksanaan pneumonia aspirasi akibat disfagia
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi pada usia lanjut
yang mengalami disfagia. (Kikawada, 2005; Marik, 2003)
Obat-obatan untuk memperbaiki fungsi menelan. Diketahui bahwa ada suatu neuro-
transmiter di saraf perifer, yang disebut substansi P, yang kadarnya sangat rendah pada
seorang usia lanjut dengan gangguan menelan dan menurunnya refleks batuk, dan
berhubungan dengan meningkatnya risiko aspirasi. Ada beberapa zat yang disebut-sebut dapat
meningkatkan kadar substansi P ini, yaitu capsaicin dan levodopa. Obat-obat golongan ACE-
inhibitors disebutkan juga dapat meningkatkan konsentrasi substansi P di sputum dan saluran
napas atas, selain efeknya berupa batuk kering. Kadar homosistein yang tinggi dalam darah
(hiperhomosisteinemia) ternyata berhubungan dengan peningkatan terjadinya aspirasi
berulang, dan defisiensi folat disebutkan menginduksi gangguan metabolisme dopamin di
susunan saraf pusat yang mengganggu fungsi menelan. Pemberian suplementasi asam folat
pada satu penelitian ternyata dapat meningkatkan refleks menelan secara bermakna.
Selang makanan (feeding tube) untuk mencegah aspirasi. Seorang berusia lanjut dengan
disfagia neurogenik akibat penyakit serebrovaskular dan demensia berat sering mengalami
kesulitan makan dan menyebabkan malnutrisi. Pasien-pasien ini umumnya mendapatkan
asupan nutrisinya melalui selang makanan, baik nasogastric tube (NGT) atau percutaneus
endoscopic gastrostomy (PEG) tube untuk mencegah pneumonia aspirasi dan malnutrisi,
meningkatkan kesintasan serta status fungsional, mencegah ulkus dekubitus dan infeksi lain.
Sebenarnya, selang makanan sendiri tidak akan mencegah aspirasi dari kolonisasi orofaringeal
atau isi lambung. Pemakaian selang makanan jangka-pendek diindikasikan pada pasien usia
lanjut dengan disfagia berat dan aspirasi yang perbaikan fungsi menelannya diperkirakan
dapat pulih kembali.
Perawatan oral. Pasien-pasien usia lanjut dengan status fungsional buruk cenderung memiliki
higiene oral yang buruk dan jarang mendapat penanganan dari dokter gigi atau perawat gigi.
Upaya agresif perawatan oral akan mengurangi kolonisasi organisme patogen yang juga akan
menurunkan risiko pneumonia. Suatu penelitian, yang dikutip Marik, menunjukkan bahwa
perawatan oral yang agresif setiap hari pada pasien usia lanjut yang tinggal di rumah
perawatan menghasilkan penurunan masa laten menelan yang bermakna dan peningkatan
substansi P di saliva dibandingkan pasien kontrol.
Vaksinasi. Vaksinasi terhadap influenza dan pneumokokus dapat mencegah terjadinya
pneumonia, termasuk pada pasien usia lanjut dengan gangguan menelan.
Modifikasi diet. Umumnya pasien dengan disfagia sering menemui kesulitan ketika harus
menelan air atau makanan yang berbentuk cair. Pada pasien-pasien seperti ini, modifikasi diet
merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko aspirasi. Beberapa cara yang
dapat dilakukan adalah memodifikasi tekstur makanan atau kekentalan makanan cair yang
diberikan. Hal ini harus dilakukan individual.
Posisi dan teknik menelan. Posisi berbaring terlentang meningkatkan risiko pneumonia bila
dibandingkan posisi setengah duduk, pada pasien dengan gangguan kesadaran dan kesulitan
menelan. Pemberian diet pada pasien usia lanjut dengan disfagia harus dilakukan pada posisi
duduk atau setengah duduk, pada saat makan dan setelahnya, untuk mencegah aspirasi akibat
refluks gastroesofagus. Teknik menelan kompensasi (yaitu head turning dan chin tucking saat
makan, atau menelan berulang-ulang) merupakan teknik rehabilitasi menelan yang dapat
dipergunakan. Bersama-sama dengan modifikasi diet, teknik ini dapat mengurangi risiko
aspirasi atau meningkatkan bersihan faring pada pasien dengan disfagia.
Terapi antibiotika. Pasien yang diduga mengalami aspirasi dari isi lambung tidak boleh
mendapatkan antibiotika profilaksis. Terapi antibiotika hanya dibatasi pada mereka dengan
pneumonitis aspirasi yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 48 jam setelah terjadinya
aspirasi. Sementara pasien dengan pneumonia aspirasi harus mendapatkan terapi antibiotika.
Kokus Gram-positif (seperti S. aureus dan Streptococcus pneumoniae), basil Gram-negatif
(seperti Haemophilus influenzae, Pseudomonas aeruginosa, dan Enterobacteriaceae)
merupakan kuman yang paling sering diisolasi dari pasien dengan pneumonia aspirasi.
Organisme anaerob jarang didapatkan, kecuali terdapat komplikasi seperti abses paru,
necrotising pneumonia, dan empiema. Pada pneumonia aspirasi yang terjadi di komunitas
dengan kuman yang predominan S. aureus, S. pneumonia, dan H. influenzae, antibiotika yang
direkomendasikan adalah levofloksasin dan ceftriakson. Sementara, pada aspirasi yang terjadi
di rumah sakit dengan kuman patogen predominan adalah bakteri Gram-negatif, antibiotika
yang direkomendasikan adalah levofloksasin, piperacilin-tazobaktam, dan ceftazidim. Pada
pasien-pasien dengan kelainan periodontal berat, sputum yang purulen, necrotising pneumonia
atau abses paru, dengan kuman predominan yang anaerob maka piperacilin-tazobaktam atau
imipenem, atau kombinasi dua obat (levofloksasin atau ciprofloksasin atau ceftriakson
ditambah klindamisin atau metronidazol) merupakan pilihan yang dapat diberikan.

5.2. Penggunaan Antibiotika pada Usia Lanjut


Seorang berusia lanjut cenderung akan mengkonsumsi obat-obatan dalam jumlah yang lebih
banyak dibanding dewasa muda, termasuk antibiotika. Ada beberapa aspek khusus dalam
penggunaan antibiotika untuk usia lanjut menyebabkan peresepannya lebih rumit, terlebih lagi
pemantauan efeknya. Perubahan fisiologis seiring meningkatnya usia akan menyebabkan
perubahan farmakokinetik, disertai sulitnya membuat perkiraan yang tepat mengenai fungsi
ginjal menyebabkan penyesuaian dosis antibiotika pada usia lanjut menjadi tantangan
tersendiri. Tingginya prevalensi penyakit komorbid pada seorang berusia lanjut akan
meningkatkan kemungkinan polifarmasi yang menyebabkan risiko efek samping dan interaksi
obat akan meningkat. Pengkajian terhadap dampak penggunaan obat (efek samping dan
interaksi obat) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendekatan paripurna pada pasien
geriatri (P3G).

Prinsip umum pemberian antibiotika pada usia lanjut


Suatu panduan penggunaan antibiotika untuk usia lanjut, terutama di fasilitas perawatan
jangka-panjang, menekankan memulai terapi antibiotika hanya pada keadaan terdapat potensi
keuntungan klinis yang jelas dan menghindari pemakaian antibiotika yang memicu resistensi.
Antibiotika empiris yang berspektrum-luas harus ‘disempitkan’ jika patogen penyebab telah
diidentifikasi. Penggunaan antibiotika yang sesuai dengan kondisi klinik akan mengurangi
kemungkinan resistensi dan membatasi terjadinya efek samping yang tidak diinginkan. Jika
ada suatu patokan “start low, go slow” yang sering diterapkan pada penggunaan obat untuk
seorang berusia lanjut, maka khusus untuk antibiotika patokan tersebut sering tidak berlaku.
Terapi antibiotika pada seorang usia lanjut tidak hanya dipengaruhi perubahan fisiologis
yang terkait farmakokinetik obat saja, namun juga oleh berbagai penyebab meningkatnya
risiko seorang berusia lanjut mengalami infeksi dan infeksi berat yang telah dijelaskan pada
bagian awal tulisan ini. Akibatnya bila hanya berpatokan pada perubahan farmakokinetik obat
seiring meningkatnya usia saja, seorang berusia lanjut cenderung mendapatkan efek terapi
yang suboptimal. Pedoman “start low, go slow” harus diseimbangkan dengan upaya penentu-
an dosis yang agresif untuk mencapai farmakodinamik yang optimal dan meningkatkan
keluaran klinis yang optimal pada pasien usia lanjut yang telah mengalami immuno-
senescence, mempunyai komorbid yang banyak, dan cadangan fungsional yang terbatas.

Pertimbangan farmakokinetik pada individu berusia lanjut


Perubahan fisiologis yang terjadi pada penuaan mempengaruhi parameter farmakokinetik
berbagai obat, termasuk antibiotika. Besarnya perubahan dan efek yang terjadi, bervariasi
diantara individu. Tabel 13 merinci berbagai perubahan fisiologis yang terjadi dan efek
farmakokinetik yang terjadi pada seorang berusia lanjut.

Tabel 13. Perubahan Fisiologis Terkait Peningkatan Usia dan Efeknya pada Farmakokinetik Antibiotika

Perubahan fisiologis Potensi efek farmakokinetik


Absorpsi
pH lambung meningkat Absorpsi antibiotika yang pH-dependent menurun dan absorpsi
antibiotika yang acid-labile meningkat
Luas permukaan usus kecil berkurang Absorpsi menurun
Aliran darah ke usus kecil menurun Absorpsi menurun
Pengosongan lambung dan motilitas saluran Absorpsi menurun atau melambat
cerna menurun
Distribusi
Rasio jaringan lemak terhadap jaringan otot Waktu-paruh antibiotika yang larut-lemak bertambah panjang
meningkat
Jumlah cairan tubuh berkurang Konsentrasi antibiotika yang larut-air meningkat
Kadar albumin plasma menurun Kadar bebas plasma beberapa antibiotika (mis. penisilin,
ceftriakson, sulfonamid, dan klindamisin) meningkat
Kadar α1-acid glycoprotein meningkat Kadar bebas plasma beberapa antibiotika (mis. makrolid)
berkurang
Metabolisme
Aktivitas fase 1 enzimatik (sitokrom P-450) Waktu paruh antibiotika yang dimetabolisme melalui fase 1
menurun bertambah panjang
Aliran darah ke hepar berkurang Metabolisme jalur-pertama berkurang
Eliminasi
Aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi Meningkatnya waktu-paruh antibiotika yang dieliminasi di ginjal
glomerulus menurun

Dampak polifarmasi terhadap efek samping dan interaksi obat


Polifarmasi umumnya didefinisikan sebagai penggunaan 5 atau lebih obat pada satu saat.
Berdasarkan definisi ini, polifarmasi didapatkan rata-rata pada 39% pasien berusia lanjut di
komunitas. Data tahun 1999 menunjukkan di Poliklinik Geriatri Departemen Ilmu Penyakit
Dalam RSUPNCM 32,3% pasien menggunakan lebih dari lima obat dalam satu saat, walaupun
angka tersebut semakin menurun pada tahun-tahun selanjutnya. Sampai batas tertentu,
polifarmasi dapat dianggap sebagai konsekuensi adanya penyakit komorbid yang banyak
(multipatologi) pada kelompok usia lanjut, dan datang ke banyak dokter sesuai penyakit yang
dideritanya. Sehingga, tidaklah mengherankan bahwa seorang berusia lanjut cenderung
mengalami polifarmasi dibandingkan usia yang lebih muda.
Konsekuensi polifarmasi adalah meningkatnya kemungkinan terjadinya efek samping
obat (ESO). Sekitar 10% dari seluruh kunjungan ke rumah sakit pada pasien-pasien berusia
>65 tahun berhubungan dengan kejadian ESO. Kejadian ESO lebih sering terjadi pada mereka
yang menggunakan 5 macam obat atau lebih. Golongan antibiotika merupakan termasuk
kelompok obat yang paling banyak menyebabkan kejadian ESO, pada beberapa literatur
disebutkan dapat mencapai 25% dari seluruh kejadian dibandingkan golongan obat lain,
termasuk antipsikosis dan antidepresan. Kejadian ESO sebagai akibat dari interaksi obat pada
polifarmasi bukan hal yang jarang terjadi. Sebagai contoh, kejadian kematian jantung men-
dadak (sudden cardiac death) risikonya lima kali lebih tinggi pada pasien yang menerima obat
eritromisin yang dikonsumsi bersamaan dengan verapamil atau diltiazem. Kejadian ESO yang
dapat terjadi pada penggunaan berbagai antibiotika pada orang tua ada pada Tabel 14,
sementara Tabel 15 menunjukkan interaksi yang umum terjadi antara antibiotika dan obat lain.
Tabel 14. Kejadian Efek Samping Antibiotika yang Umum Terjadi pada Usia Lanjut

Jenis/kelas antibiotika Efek samping


Aminoglikosida Nefrotoksik dan ototoksik
Anti-tuberkulosis Hepatotoksik
Isoniazid Neuropati perifer
Rifampisin Urin, air mata, dan keringat menjadi berwarna oranye; interaksi obat
Beta-laktam Diare, demam obat, nefritis interstisialis, rash, trombositopenia, anemia, dan
neutropenia
Karbapenem Kejang
Klindamisin Diare dan kolitis terkait-Clostridium difficile
Fluorokuinolon Mual, muntah, efek SSP, ambang kejang menurun, dan perpanjangan QT
Linezolid Trombositopenia dan anemia
Makrolid dan azalid Intoleransi saluran cerna, perpanjangan interval QT, dan ototoksik
Eritomisin dan klaritromisin Hepatitis kolestasis dan interaksi obat
Amantadin dan rimantadin Efek SSP
Tetrasiklin Fotosensitif
Minosiklin Vertigo
Antijamur trazol
Itrakonazol dan vorikonazol Intoleransi saluran cerna, hepatotoksik, dan interaksi obat
Vorikonazol Fotosensitifitas dan gangguan visual
Trimetoprim-sulfametoksazol Diskrasia darah, demam obat, hiperkalemia, dan rash
Tabel 15. Interaksi antara Antibiotika dan Obat lain pada Pasien Usia Lanjut

Jenis/kelas antibiotika Obat yang potensi berinteraksi Efek klinis yang potensial terjadi
Aminoglikosida Amfoterisin B, siklosporin, cisplatin, loop diuretik, Memperberat nefrotiksisitas
takrolimus, vankomisin
Amoksisilin dan ampisilin Alopurinol Rash
Fluorokuinolon Obat yang mengandung alumunium, besi, Absorpsi fkuorokuinolon menurun
magnesium, atau zinc; antasida; dan sukralfat
Antiaritmia Aritmia ventrikular
Ciprofloksasin Suplemen kalsium Absorpsi ciprofloksasin menurun
Teofilin Kadar teofilin meningkat
Warfarin Efek antikoagulan meningkat
Linezolid Obat-obat serotonergik (SSRI, antidepresan Sindrom serotonin
trisiklik, MAOI)
Makrolid
Azitromisin Obat mengandung alumunium atau magnesium Absorpsi azitromisin menurun
Klaritromisin atau Antagonis kalsium, statin, siklosporin, digoksin, Kadar obat-obat yang berinteraksi
eritromisin teofilin, dan warfarin meningkat; kadar makrolid
meningkat (antagonis kalsium)
Metronidazol Warfarin Efek antikoagulan meningkat
Alkohol (termasuk obat-obat yang mengandung Reaksi seperti disulfiram
alkohol)
Rifampisin Antasid Absorpsi rifampisin menurun
Antiaritmia, benzodiazepin, antagonis kalsium, Kadar atau efek obat-obat yang
kortikosteroid, digoksin, enalapril, estrogen berinteraksi menurun
dan/atau progestin, metadon, fenitoin, tamoksi-
fen, teofilin, valproat, vorikonazol, dan warfarin
Tetrasiklin Obat yang mengandung alumunium, besi, Absorpsi tetrasiklin menurun
magnesium, atau kalsium; antasida; dan bismut
subsalisilat
Digoksin Toksisitas digoksin
Antijamur triazol Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, dan Konsentrasi antijamur menurun
rifampisin
Antiaritmia, benzodiazepin, antagonis kalsium, Kadar atau efek obat yang
kortikosteroid, digoksin, statin, sulfonilurea, dan berinteraksi meningkat
warfarin
Itrakonazol, Antasid, antagonis reseptor H2, penghambat Absorpsi antijamur menurun
ketokonazol pompa-proton
Vorikonazol Fenitoin dan penghambat pompa- proton Kadar atau efek obat yang
berinteraksi meningkat
Trimetoprim- Fenitoin Kadar fenitoin meningkat
sulfametoksazol
Sulfonilurea Hipoglikemia
Warfarin Efek antikoagulan meningkat

Dosis obat yang tidak disesuaikan dengan fungsi ginjal merupakan penyebab paling
signifikan terhadap kejadian ESO pada penggunaan antibiotika, terutama pada sefalosporin
generasi-ketiga dan aminoglikosida. Sehingga, evaluasi yang teliti terhadap fungsi ginjal pada
pasien usia lanjut harus dilakukan untuk mengurangi risiko kejadian ESO.
Fluorokuinolon umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien usia lanjut, walaupun
pada beberapa kasus dapat terjadi keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare.
Kejadian ESO yang bermakna umumnya dialami pada pasien berusia >80 tahun, berupa
dizzines dan halusinasi. Beberapa penulis melaporkan adanya efek hiperglikemia atau
hipoglikemia yang terjadi terutama pada pasien-pasien usia lanjut dengan penurunan fungsi
ginjal. Bila memungkinkan pemantauan kadar glukosa secara berkala dilakukan pada pasien-
pasien yang mendapat terapi fluorokuinolon, terutama pada pasien dengan masalah toleransi
glukosa dan gangguan fungsi ginjal. Efek samping obat lain yang dapat terjadi, walaupun
jarang, adalah torsades-de-pointes pada pasien usia lanjut yang mendapat terapi
fluorokuinolon. Faktor predisposisi kejadian ini adalah hipokalemia, hipomagnesemia,
penyakit jantung yang telah ada, penggunaan bersama-sama dengan obat antiaritmia yang
memperpanjang interval QT, serta insufisiensi ginjal.
Usia yang lanjut berhubungan dengan peningkatan risiko hepatotoksisitas selama
pengobatan dengan obat antituberkulosis, baik oleh rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid.
Sementara streptomisin berhubungan dengan peningkatan nefrotoksik dan ototoksik.
Penggunaan antibiotika golongan aminoglikosida lain, seperti gentamisin dan amikasin, juga
berkaitan dengan peningkatan risiko kejadian nefrotoksik dan ototoksik pada usia lanjut.
Seorang usia lanjut dengan kadar kreatinin serum yang normalpun sering membutuhkan
penyesuaian interval pemberian aminoglikosida, terutama pada mereka berusia >80 tahun.
Bab 6. Penutup

Infeksi masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi pada pasien geriatri
terutama yang dirawat di rumah sakit. Angka kematian akibat pneumonia masih berkisar
antara 29,0%-33,7% bahkan setelah mendapatkan pengobatan dengan antibiotika generasi
terbaru. Daya cadangan faali dan status fungsional yang menurun serta status gizi yang kurang
merupakan faktor yang turut berperan. Tenaga kesehatan menjadi dituntut untuk mampu
mendiagnosis sedini mungkin agar penatalaksanaan yang tepat dapat segera diberikan.
Deteksi dini infeksi pada pasien geriatri menjadi penting karena gejala klinis yang sering
menyimpang. Tampilan klinis khas infeksi pada sistem organ tertentu atau sepsis sekalipun
sering tidak muncul pada pasien geriatri. Berbagai gejala dan tanda seperti kurangnya nafsu
makan, perubahan asupan nutrisi, perubahan perilaku, penurunan status fungsional, perubahan
kondisi mental, perubahan kesadaran, adanya instabilitas postural atau jatuh, dan perubahan
pola berkemih harus mengarahkan pemikiran tenaga kesehatan pada masalah infeksi sebagai
salah satu penyebabnya. Pengenalan berbagai faktor risiko seperti adanya gangguan proses
menelan, disfagia, penggunaan selang nasogastrik, serta penggunaan selang infus maupun
kateter urin merupakan langkah awal yang harus diperhatikan juga.
Pengelolaan pasien geriatri dengan infeksi tetap mengacu pada prinsip keparipurnaan
dengan pendekatan interdisiplin. Penatalaksanaan terhadap status fungsional, rehabilitasi paru-
paru, program untuk masalah inkontinensia, pengelolaan nutrisi, dan asuhan psiko-sosial sama
pentingnya dengan pemberian antibiotika dan pengobatan simtomatik. Antimikroba empirik
dapat diberikan sesuai pengalaman klinis dan pola kuman serta resistensi setempat. Efikasi
dan potensi efek samping, interaksi, serta toksisitas harus menjadi landasan pertimbangan pula
dalam pemilihan obat. Perubahan komposisi tubuh pada usia lanjut, kemampuan faal ginjal
dan hati serta profil farmakokinetik obat juga harus dipahami. Prinsip keparipurnaan yang
tidak boleh dilupakan adalah perlunya tindakan pencegahan terhadap infeksi itu sendiri;
imunisasi pada usia lanjut dapat diberikan dengan keamanan dan efektivitas yang memadai.
Penatalaksaan paripurna terhadap infeksi pada geriatri ini diharapkan dapat memper-
singkat masa rawat, mempercepat masa pemulihan, dan meningkatkan status fungsional
sehingga kualitas hidup pasien yang terkait kesehatan dapat terpelihara.
Daftar Pustaka

1. Almirall J, Bolibar I, Toran P, Pera G, Boquet X, Balanzo X, Sauca G, for The


Community-Acquired Pneumonia Maresme Study Group. Contribution of C-reactive
protein to the diagnosis and assessment of severity of community-acquired pneumonia.
Chest. 2004;125:1335-42.
2. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermonte G, Carcillo J, Pinsky MR.
Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence, outcome, and
associated costs of care. Crit Care Med 2001;29:1303-10.
3. Barkham TMS, Martin FC, Eykyn SJ. Delay in the diagnosis of bacteremic urinary tract
infection in elderly patients. Age and Ageing. 1996;25:130-2.
4. Bartlett JG, Dowell SF, Mandell LA, File TM, Musher DM, Fine MJ. Practice guideline
for the management of community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis.
2000;31:347-82.
5. Beidenbender R, Vij S, Gravenstein S. Influenza. Dalam: Hazard WR, Blass JP, Halter JB,
Ouslander JG, Tinetti ME, editor. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. Edisi
ke-5. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 2003. hal 1139-47.
6. Bell RA, High KP. Alteration of immune defense mechanisms in the elderly: the role of
nutrition. Infect Med. 1997;14(5):415-24.
7. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, dkk. Efficacy and safety of recombinant human
activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med. 2001;344:699-709.
8. Bochud P-Y, Calandra T. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implication for future
treatment. BMJ. 2003;326:262-6.
9. BTS Guidelines for the Management of Community Acquired Pneumonia in Adults.
Thorax. 2001;56(Suppl 4):iv1-64.
10. Crossley KB, Peterson PK. Infection in the elderly. Dalam: Mandell GL, Bennet JE, Dolin
R, editor. Principles and Practice of Infectious Disease. Edisi ke-6. Philadelphia: Churcill-
Livingstone, 2005. hal. 3517-24.
11. Data Subbagian Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta 2001-2002.
12. Data Subbagian Rekam Medis RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta 2001.
13. Dear KB G, Andrews RR, Holden J, Tatham DP. Vaccine for preventing pneumococcal
invection in adults. The Cochrane Database of Systematic Reviews. 2007. Abstract.
14. Dellinger RP, Carlet JM, MAsur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J, dkk. Surviving
Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care
Med. 2004;32(3):858-73.
15. Destarac LA, Ely EW. Sepsis in older patients: An emerging concern in critical care.
Advances in Sepsis. 2002;2(1):15-22.
16. Ely EW, Angus DC, Williams MD, Bates B, Qualy R, Bernard GR. Drotrecogin alfa
(activated) treatment of older patients with severe sepsis. Clin Infect Dis. 2003;37:187-95.
17. Faulkner CM, Cox HL, Williamson JC. Unique aspects of antimicrobial use in older
adults. Clin Infect Dis. 2005;40:997-1004.
18. Fine MJ, Auble TE, Yealy DM, Hanusa BH, Weissfeld LA, Singer DE, dkk. A prediction
rule to identify low-risk patients with community-acquired pneumonia. N Engl J Med.
1997;336:243-50.
19. Fowler RA, Flavin KE, Barr J, Weinacker AB, Parsonnet J, Gould MK. Variability in
antibiotic prescribing patterns and outcomes in patients with clinically suspected
ventilator-associated pneumonia. Chest. 2003;123:835-44.
20. Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated,
and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2005;171:388-416.
21. High KP, Loeb M. Infection in the elderly. Dalam: Hazard WR, Blass JP, Halter JB,
Ouslander JG, Tinetti ME, editor. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. Edisi
ke-5. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 2003. hal. 1071-81.
22. High KP. Nutritional strategies to boost immunity and prevent infection in elderly
individuals. Clin Infect Dis. 2001;33:1892-900.
23. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006;354:1157-65.
24. Jayantri GI. Faktor risiko pneumonia komunitas pada pasien usia lanjut. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2003. Tesis.
25. Kikawada M, Iwamoto T, Takasaki M. Aspiration and infection in the elderly:
Epidemiology, diagnosis, dan management. Drugs Aging. 2005;22(2):115-130.
26. Kikuchi R, Watabe N. Konno T, dkk. High incidence of silent aspiration in elderly patients
with community-acquired pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 1994;150: 251-3.
27. Loeb M, McGreer A, McArthur M, dkk. Risk factors for pneumonia and other lower
respiratory tract infection in elderly residents of long-term care facilities. Arch Intern Med.
1999;159:2058-64.
28. Lokakarya Survei Kesehatan Rumah Tangga, Cisarua. Badan Litbang Depkes RI 1995.
29. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell DG, Dean NC, dkk.
Infectious Disease Society of America/American Thoracic Society Consensus Guidelines
on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clin Infect Dis.
2007;44:S27-72.
30. Marcus E-L, Clarfield AM, Moses AE. Ethical issues relating to the use of antimicrobial
therapy in older adults. Clin Infect Dis. 2001;33:1697-705.
31. Marik PE, Kaplan D. Aspiration pneumonia and dysphagia in the elderly. Chest.
2003;124:328-36.
32. Marrie TJ. Pneumonia. Dalam: Hazard WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JG, Tinetti
ME, editor. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. Edisi ke-5. USA: McGraw-
Hill Companies, Inc., 2003. hal 1083-97.
33. Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The epidemiology of sepsis in the United
States from 1979 through 2000. N Engl J Med. 2003348:1546-54.
34. McBean M, Rajamani S. Increasing rates of hospitalization due to Septicemia in the US
elderly population, 1986-1997. J Infect Dis. 2001;183:596-603.
35. Midthun SJ. Criteria for urinary tract infecition in the elderly: Variables that challenge
nursing assessment. Urol Nurs. 2004;24(3):157-62.
36. Murasko DM, Gardner EM. Immunology of aging. Dalam: Hazard WR, Blass JP, Halter
JB, Ouslander JG, Tinetti ME, editor. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology.
Edisi ke-5. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 2003. hal 35-52.
37. Naber KG, Savov O, Salmen HC. Piperacillin 2 g/tazobactam 0.5 g is as effective as
imipenem 0.5 g/cilastatin 0.5 g for the treatment of acute uncomplicated pyelonephritis
and complicated urinary tract infection. Int J Antimicrob Agents. 2002;19:95-103.
38. Nichol KL, Nordin J, Mullooly J, Lask R, Fillbrandt K, Iwane M. Influenza vaccination
and reduction in hospitalizations for cardiac disease and stroke among the elderly. N Engl
J Med. 2003;348:1322-32.
39. Nicolle LE. Urinary tract infections in the elderly. Dalam: Hazard WR, Blass JP, Halter
JB, Ouslander JG, Tinetti ME, editor. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology.
Edisi ke-5. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 2003. hal 1107-16.
40. Paillaud E, Herbaud S, Caillet P, Lejonc JL, Campillo B, Bories PN. Relation between
undernutrition and nosocomial infection in elderly patients. Age and Ageing 2005;34:619-
25.
41. Penafiel FS, Solar AO, Gollerino AG, Gontupil GF, Fuenzalida AD. Community-acquired
pneumonia requiring hospitalization in immunocompetent elderly patients: Clinical
features, prognostic factors and treatment. Arch Bronchoneumol. 2003; 39(8):333-40.
42. Pinner RW, Teutsch SM, Simonsen L, Klug LA, Graber JM, Clarke MJ, dkk. Trends in
infectious diseases mortality in the United States. JAMA. 1996;275:189-93.
43. Podnos YD, Jimenes JC, Wilson SE. Intra-abdominal sepsis in elderly persons. Clin Infect
Dis. 2002;35:62-8.
44. Rahayu RA, Bahar A. Penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut secara menyeluruh. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
hal. 1415-20.
45. Rajagopalan S. Serious infection in elderly patients with diabetes mellitus. Clin Infect Dis.
2005;40:990-6.
46. Ridho S. Gambaran klinis pasien pneumonia komunitas usia lanjut yang dirawat di
RSUPN-CM tahun 2001 dan hubungannya dengan kematian. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2003. Tesis.
47. Riquelme R, Torres A, El-Ebiary M, Mensa J, Estruch R, Ruiz M, dkk. Community-
acquired pneumonia in the elderly: Clinical and nutritional aspects. Am J Respir Crit Care
Med. 1997;156:1908-14.
48. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, dkk. Early goal-directed therapy in the treatment of severe
sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2001;345:1368-77.
49. Russel JA. Management of sepsis. N Engl J Med. 2006;355:1699-713.
50. Smith RP, Lipworth BJ, Cree IA, Spiers EM, Winter JH. C-reactive protein: a clinical
marker in community-acquired pneumonia. Chest. 1995;108:1288-91.
51. Soejono CH. Pengaruh ”Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri” terhadap Efektivitas dan
Biaya (CEA) Perawatan Pasien Geriatri di Ruang Rawat Inap Akut. Disertasi. Universitas
Indonesia, Jakarta 2007.
52. Treanor JJ. Influenza virus. Dalam: Mandell GL, Bennet JE, Dolin R, editor. Principles
and Practice of Infectious Disease. Edisi ke-6. Philadelphia: Churcill-Livingstone, 2005.
hal. 2061-85.
53. Vasquez EG, Martinez JA, Mensa J, Sanchez F, Marcos MA, de Roux A, dkk. C-reactive
protein levels in community-acquired pneumonia. Eur Respir J. 2003; 21: 702–5.
54. Vergis EN, Brennen C, Wagener M, dkk. Pneumonia in long-term care: a prospective
case-control study of risk factors and impact on survival. Arch Intern Med.
2001;161:2378-81.
55. Wahyudi ER. Prevalensi infeksi saluran kemih dan sebaran faktor risiko pada pasien usia
lanjut di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2004. Tesis.
56. World Health Organization. Weekly Epidemiological Report, 1 September 2003; No.
35(75):281-8. Available from: http://www.who.int/wer, diakses tanggal: 25 Maret 2007.
57. Yoshikawa TT. Infectious disease. Dalam: Cassel CK, Leipzig RM, Cohen HJ, dkk.,
editor. Geriatric Medicine: An Evidence-Based Approach. Edisi keempat. New York:
Springer Verlag, 2003. hal. 801-19.
58. Zalacain R, Torres A, Celis R, Blanquer J, Aspa J, Esteban R, dkk., on behalf of the
“Pneumonia in The Elderly” working group. Community-acquired pneumonia in the
elderly: Spanish multicenter study. Eur Respir J. 2003;21:294-302.
Lampiran

RINGKASAN KONSENSUS
“DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN PARIPURNA INFEKSI PADA USIA LANJUT”
Jenis Infeksi Faktor risiko Evaluasi Diagnosis Penatalaksanaan Pencegahan
Infeksi umum • Perubahan/penurunan • Anamnesis terhadap gejala • Hidrasi cukup, sesuai • Modifikasi faktor risiko
fungsi imun seiring ° infeksi umum: demam, status cairan serta fungsi • Edukasi
meningkatnya usia letargi, anoreksia jantung dan ginjal
• Malnutrisi ° gejala tidak khas: • Kebutuhan nutrisi cukup
• Diabetes melitus delirium, jatuh • Mobilisasi dini
• Higiene lingkungan dan • Pemeriksaan fisis, meliputi: • Antibiotika empirik sesuai
personal yang buruk PF umum, neurologis, tanda indikasi, dosis dan lama
dehidrasi, tanda sepsis pemberian adekuat,
• Evaluasi khusus (P3G): sesuaikan dengan fungsi
° status fungsional, status ginjal/hati, hindari
mental, status nutrisi polifarmasi
° evaluasi ES dan interaksi • Pencegahan komplikasi
obat, pengkajian • Pendekatan interdisiplin
iatrogenesis
Pneumonia • Aspirasi • Anamnesis terhadap: • Umum (lihat atas) • Modifikasi faktor risiko
• Disfagia ° gejala spesifik: batuk • Khusus: • Vaksinasi pneumokok
• Albumin serum rendah produktif, sesak napas, ° Oksigenasi • Vaksinasi influenza
• Pemakaian NGT nyeri pleuritik ° Inhalasi atau suction • Pada pasien dengan
• Merokok ° gejala umum dan non- sputum (bila perlu) disfagia:
• Komorbid (PPOK, gagal spesifik (lihat atas) ° Fisioterapi dada: latihan ° ACE-inhibitor, asam folat,
jantung, demensia, stroke) ° adanya faktor risiko bernapas efektif, vibrasi, capsaicin
• Oral higiene buruk • Pemeriksaan fisis: tapping ° NGT jangka pendek
• Imobilisasi ° umum seperti di atas, ° Antibiotika: sesuai jenis ° Perawatan oral
° khusus: pola dan pneumonia (CAP, ° Modifikasi diet
frekuensi napas, tanda HAP/VAP), pilihan seperti ° Posisi dan teknik
konsolidasi paru, tanda pada Tabel 7 dan 8 menelan
obstruksi jalan napas
termasuk ada/tidak
retensi sputum
• Evaluasi khusus:
° status oral dan gigi geligi,
gangguan menelan,
kemampuan
ekspektoransi sputum
• Laboratorium/penunjang:
° Ronsen toraks PA-lateral,
CT-scan (kasus khusus),
leukosit dan hitung jenis,
LED, CRP, pewarnaan
Gram dan kultur-
resistensi sputum, kultur-
resistensi darah
• Penilaian beratnya
pneumonia (sesuai PSI dan
CURB-65) Tabel 5 & 6
Infeksi saluran • Higiene yang buruk • Anamnesis terhadap: • Umum (lihat atas) • Modifikasi faktor risiko (mis.
• Penggunaan kateter ° gejala spesifik: frekuensi, • Khusus: meminimalkan pemakaian
kemih • Neurogenic bladder disuria, urgensi, ° Higiene personal kateter, pengobatan thd
• BPH inkontinens baru atau ° Perawatan kateter urin BPH)
• Wanita pasca-menopause memberat, retensi urin, • Antibiotika: • Cranberry juice
nyeri penggang, ° ISK asimtomatik tidak • Estrogen topikal utk
suprapubik atau diterapi perempuan pasca-
kostovertebral, perubahan ° Kasus rawat jalan: menopause
karakter urin (keruh, kotrimoksazol, • Antibiotika profilaksis pada
berdarah, berbau) ciprofloksasin, ampisilin, ISK simtomatik akut
° gejala umum dan non- amoksisilin-klavulanat, berulang (lihat Tabel 11)
spesifik (lihat atas) sefalosporin
° adanya faktor risiko ° Kasus rawat inap (ISK
• Pemeriksaan fisis: komplikata dan
° umum (lihat atas) pielonefritis akut): lihat
° khusus: nyeri tekan Tabel 10
suprasimfisis, nyeri ketok
kostovertebra,
pemeriksaan prostat
(pada pria)
• Evaluasi khusus:
° gangguan berkemih
(inkontinensia dan
jenisnya, retensi urin)
• Laboratorium:
° urinalisis, kultur urin,
ureum/kreatinin, pada
kasus khusus: USG,
pielografi intravena,
sistoskopi, fungsi
kandung kemih
Influenza • Tinggal di tempat padat • Anamnesis, terhadap • Pengobatan simtomatis dan • Vaksinasi influenza
atau panti-werdha ° gejala klasik influenza: menjaga kondisi umum: • Kemoprofilaksis dengan
• Risiko timbulnya komplikasi demam akut, batuk, sakit istirahat, nutrisi, cairan antiviral pada saat endemi,
berat akibat influenza: kepala, mialgia, dan • Antiviral: amantadin, pada mereka yang
° usia yang lanjut (>65 malaise rimantadin, zanamivir, dan kontraindikasi vaksinasi
tahun) ° gejala komplikasi akibat oseltamivir (hanya efektif
° penyakit komorbid paru influenza: sesuai pada 48 jam pertama
dan jantung pneumonia setelah gejala muncul)
° tidak mendapat vaksinasi • Pemeriksaan fisis khusus:
influenza tidak ada
• Pemeriksaan
laboratorium/penunjang:
serologi (rapid-diagnostik
test), isolasi virus
Sepsis • Fungsi imum menurun • Tanda-tanda SIRS: • Kontrol terhadap sumber Modifikasi faktor risiko
• Usia yang lanjut ° takikardi, takipnu, demam infeksi dan pemberian
• Status performa atau hipotermia, antibiotika segera
• Penggunaan obat-obat leukositosis atau • Resusitasi agresif
imunosupresan leukopenia • Activated protein-C
• Status nutrisi buruk • Evaluasi diagnostik sesuai • Lain-lain:
• Penyakit komorbid (DM, dugaan infeksi penyebab ° steroid hanya pada syok
HT, PPOK, gagal jantung) • Kultur darah yang refrakter
° transfusi PRC hanya
pada Hb <7 g%, kecuali
pada pasien dengan PJK
° ventilator mekanik hanya
pada ARDS dan ALI
° pencegahan DVT
° pencegahan stress ulcer
° pengendalian GD ketat
(<150 mg/dL)
° end-of-life planning

Das könnte Ihnen auch gefallen