Sie sind auf Seite 1von 10

Diskusi Kasus

Anamnesa :

1. Perempuan, 53 tahun
2. Lemah anggota gerak kanan
3. Bibir mencong ke arah kanan
4. Tidak respon saat diajak berbicara

Pemeriksan Fisik :

1. Lemah anggota gerak kanan


a. Kekuatan otot di tangan kanan dan kaki kanan (0)
b. Tidak tampak atrofi
c. hypoasthesia
d. Refleks patologis (+)
2. Bibir mencong ke arah kanan
a. Sudut mulut jatuh ke arah kanan dan tertarik ke arah kiri.
b. Lipatan nasolabial menghilang
3. Tidak respon saat diajak berbicara
a. Afasia motorik (+)

Diagnosa Sementara

Hemiparesis dextra ec Stroke Non Hemorragic + Infark Serebri +DM tipe 2

Diferensial Diagnosa

Stroke hemorragic

TIA

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium :
- leukosit : 11.500/mm3
- Gula Darah Sewaktu : 215 mg/dl
Kesimpulan : dari hasil laboratorium (leukosit) menunjukkan ada infeksi , dan dari
hasil gula darah sewaktu menunjukkan keadaan pasien hiperglikemia

2. CT SCAN
- Tampak lesi hipodens di periventrikel kiri
- Tidak tampak pelebaran ventrikel

Kesimpulan : Infark di periventrikel kiri

Konsul ke dokter penyakit dalam untuk dilakukan pemeriksaan dan terapi lanjutan

Konsul ke bagian penyakit dalam untuk tata laksana diabetes melitus pasien tersebut.
Pasien diberikan insulin untuk menurunkan kadar gula darahnya.

Penatalaksanaan :

- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Citicolin/12 jam
- Inj. Mecobalamin 1 ampul/hari
- Inj. Neurobion 5000 1 ampul/hari
- inj lantus 1x6 iu (malam)

Pembahasan Diskusi :

 os memiliki riwayat hipertensi dan sudah berobat sebelumnya. Os meminum obat amlodipin
1x 10mg dan captopril 2x25mg sebagai obat untuk hipertensi

Inisiasi Terapi Hipertensi


Sebagaian besar guideline hipertensi merekomendasikan tatalaksana farmakologi pada pasien
dengan TD 140/90 mmHg yang belum mencapai target TD yang diinginkan dengan
modifikasi gaya hidup. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengobatan tekanan darah
>160/100 mmHg dapat menurunkan kejadian stroke, infrak jantung, gagal jantung dan
kematian. Terbukti bahwa terapi tekanan darah >140/90 mmHg khususnya pada pasien yang
berisiko tinggi sangat bermanfaat. Hal yang berbeda didapat pada JNC-8 yang menyatakan
bahwa batas inisiasi terapi adalah 140/90 mmHg untuk dewasa umur <60 tahun tetapi
merekomendasikan batasan yang lebih rendah yaitu pada usia >60 tahun.

Target terapi
Target ideal dari terapi tekanan darah tergantung dari populasi pasien, tetapi guideline harus
merekomendasikan terhadap populasi secara umum. Sampai saat ini target tekanan darah
adalah < 140/90 mmHg untuk hipertensi uncomplicated dan target yang lebih rendah <130/80
mmHg untuk mereka yang berisiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes, penyakit
kardiovaskuler atau serebrovaskuler dan penyakit ginjal kronik. Khusus untuk guideline JNC
VIII, usia <60 tahun target kendali TD adalah sama yaitu <140/90 mmHg dan usia 60 tahun
adalah <150/90 mmHg.

Pilihan Terapi Inisial


Terapi farmakologi hipertensi diawali dengan pemakaian obat tunggal. Tergantung level TD
awal, rata-rata monoterapi menurunkan TD sistole sekitar 7-13 mm Hg dan diastole sekitar 4-
8 mmHg Terdapat beberapa variasi dalam pemilihan terapi awal pada hipertensi primer.
Sebelumnya guideline JNC VII merekomendasikan thiazide dosis rendah. JNC VIII saat ini
merekomendasikan ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis rendah, atau CCB untuk
pasien yang bukan ras kulit hitam. Terapi awal untuk ras kulit hitam yang direkomendasikan
adalah diuretic thiazide dosis rendah atau CCB. Di lain pihak guideline Eropa terbaru
merekomendasikan 5 golongan obat sebagai terapi awal yaitu ACE-inhibitor, ARB, diuretic
thiazide dosis rendah, CCB atau -blocker berdasarkan indikasi khusus.
Guideline UK NICE memakai pendekatan berbeda, menekankan etnik dan ras
merupakan faktor determinan penting dalam menentukan pilihan obat awal pada hipertensi.
Hal ini selanjutnya diadaptasi oleh guideline JNC VIII. Rasionalisasi dari konsep ini adalah
RAAS bersifat lebih aktif pada usia muda jika dibandingkan pada usia tua dan ras kulit hitam.
Jadi guidelina UK. NICE merekomendasikan ACE-inhibitor atau ARB pada usia <55 tahun,
bukan ras kulit hitam sedangkan CCB untuk untuk usia >55 tahun (bukan ras kulit hitam) dan
ras kulit hitam dengan semua rentang usia. Batasan untuk rekomendasi ini adalah: (1)
diuretics thiazide lebih dipilih dibandingkan CCB untuk kondisi gagal jantung atau pasien
dengan risiko tinggi untuk mengalami gagal jantung; (2) ACE inhibitor atau ARB tidak
digunakan pada wanita hamil, dalam kondisi ini -blocker lebih dipilih.
Guideline UK. NICE dan JNC VIII membatasi pemakaian -blocker sebagai terapi
awal dengan pengecualian adanya indikasi spesifik seperti pasien gagal jantung kronik,
angina simtomatik, atau pasca infark miokard. Alasan dibatasinya pemakaian -blocker
sebagai terapi awal adalah: (1) Kurang efektif dalam menurunkan risiko stroke dan penyakit
jantung iskemik jika dibandingkan dengan golongan obat lain; (2) meningkatkan risiko
diabetes terutama jika dibandingkan dengan terapi diuretik; (3) lebih mahal dari segi
pembiayaan jika dipakai sebagai terapi awal.

Penelitian besar membuktikan bahwa obat-obat antihipertensi utama berasal dari


golongan : diuretik, ACE inhibitor, antagonis kalsium, angiotensin receptor blocker (ARB)
dan beta blocker (BB). Semua golongan obat antihipertensi di atas direkomendasikan sebagai
pengobatan awal hipertensi dan terbukti secara signifikan menurunkan TD. Tabel di bawah
ini menunjukkan jenis-jenis obat antihipertensi dan dosis yang disarankan.
Kombinasi Obat Antihipertensi
Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah untuk mencapai dan mempertahankan target TD.
Jika target TD tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan, maka dapat dilakukan
peningkatan dosis obat awal atau dengan menambahkan obat kedua dari salah satu kelas
(diuretik thiazide, CCB , ACEI , atau ARB ). Kombinasi dua obat dosis rendah
direkomendasikan untuk kondisi TD >20/10 mmHg di atas target dan tidak terkontrol dengan
monoterapi. Secara fisiologis konsep kombinasi 2 obat (dual therapy) cukup logis, karena
respon terhadap obat tunggal sering dibatasi oleh mekanisme counter aktivasi. Sebagai contoh
kehilangan air dan sodium oleh thiazide akan dikompensasi oleh RAAS sehingga akan
membatasi efektivitas thiazide dalam menurunkan tensi. Kombinasi 2 golongan obat dosis
rendah yang direkomendasikan adalah penghambat RAAS+diuretic dan penghambat
RAAS+CCB. Penting harus diingat jangan menggunakan kombinasi ACEI dan ARB pada 1
pasien yang sama. Jika target TD tidak bisa dicapai menggunakan 2 macam obat
antihipertensi dalam rekomendasi di atas atau karena kontra indikasi atau dibutuhkan lebih
dari 3 obat untuk mencapai target TD, obat antihipertensi dari kelas lain dapat digunakan.
Rujukan ke spesialis hipertensi dapat diindikasikan untuk pasien yang target TD tidak dapat
dicapai dengan menggunakan strategi di atas atau untuk pengelolaan pasien yang kompleks
yang memerlukan tambahan konsultasi. Guideline JNC VIII merekomendasikan kombinasi
ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB dan atau thiazid. Konsep ini sama dengan guideline
UK. yang pertama merekomendasikan kombinasi ACE-inhibitor atau ARB dengan CCB
(A+C).

Obat – obat Anti Hipertensi


 Pada kasus ini os tidak diberikan obat hipertensi untuk menurunkan tekanan darah

Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke akut berdasarkan Guideline Stroke Tahun 2011
perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia.

Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak di
anjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluaran neurologik. Pada sebagian besar
pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan
serangan stroke. Guideline stroke tahun 2011 merekomendasikan penurunan tekanan darah
yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa
kondisi dibawah ini :

1. Pada pasien stroke iskemia akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun
diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik > 220 mmHg
atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang diberi terapi
trombolitik (rTPA), tekanan darah sistolik diturunkan hingga < 185 mmHg dan tekanan darah
diastolik < 110 mmHg. Obat antihipertensi yang digunakan adalah Labetolol, Nitropruside,
Nikardipin atau Diltiazem intravena.

2. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik > 200 mmHg
atau mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu dengan pemantauan tekanan
darah setiap 5 menit.
3. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan intrakranial,
tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu
atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral > 60 mmHg.

4. Apabila tekanan darah sistole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai gejala dan
tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan
tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg.
Pada Studi INTERACT 2010, penurunan tekanan darah sistole hingga 140 mmHg masih
diperbolehkan.

5. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan
dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya
stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk mencegah terjadinya perdarahan
subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah
diturunkan hingga tekanan darah sistole 140 – 160 mmHg. Sedangkan tekanan darah sistole
160 – 180 mmHg sering digunakan sebagai target tekanan darah sistole dalam mencegah
resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien,
berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskuler.

 Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya,
misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan
ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15 – 25% pada jam
pertama dan tekanan darah sistolik 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.

 Pada Pasien ini memiliki kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia).

Hiperglikemia pada stroke dapat merupakan tanda diabetes melitus, tetapi dapat pula
merupakan tanda respon neuroendokrin terhadap stres. Pada awal iskemia, hiperglikemia
dapat bersifat neuroprotektif, yaitu mengurangi depolarisasi iskemik dengan cara
memperlambat kerusakan gradien ion transmembran melalui glikolisis anaerob. Bila iskemia
berlanjut, hiperglikemia menghasilkan asidosis selular karena substrat glukosa yang
berlebihan untuk glikolisis anaerob pada jaringan iskemik. Bila nilai batas asidosis tercapai,
kondisi hiperglikemia menjadi merugikan. Asidosis selular akan menyebabkan disfungsi
enzim, peningkatan produksi radikal bebas (lipid peroksidase) dan induksi endonuklease yang
mengawali programmed cell death dan edema selular.
Pada kondisi iskemia juga terjadi peningkatan konsentrasi neurotransmitter glutamat
dan aspartat (keduanya bersifat eksitatorik dan neurotoksik) di ekstra selular. Dalam kondisi
hiperglikemia dan hipoksia, konsentrasi ekstraselular kedua neurotransmitter tersebut makin
meningkat karena pelepasan yang berlebihan dan kegagalan ambilan sehingga terjadi
hiperstimulasi pada neuron post sinaptik dan menyebabkan kematian neuron. Kondisi
iskemia, hiperglikemia dan hiperstimulasi neuron juga menyebabkan peningkatan kalsium
intraselular yang menyebabkan kerusakan neuron.
Bruno et al. berpendapat bahwa hiperglikemia meningkatkan ukuran infark pada
jaringan otak iskemik yang mengalami reperfusi, tetapi tidak pada lesi tanpa reperfusi (infark
lakunar).(14) Pada lesi infark tanpa reperfusi, glukosa yang mencapai sel. kurang sehingga
tidak menambah akumulasi laktat dan asidosis. Jadi daerah iskemik dengan sirkulasi kolateral
lebih rentan terhadap efek hiperglikemia dari pada daerah distribusi end-artery (infark
lakunar). Pada perdarahan intraserebral, hiperglikemia juga memperburuk keadaan dengan
mekanisme yang sama yaitu produksi laktat berlebihan pada daerah iskemik disekitar lokasi
perdarahan.
Insulin diperlukan pada keadaan :
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
 Pada pasien ini diberikan terapi insulin lantus 1x6 iu untuk mengatasi hiperglikemia
Pasien diabetes melitus yang terkontrol dengan diet dan obat hipoglikemik oral, pada fase
akut stroke memerlukan terapi insulin. Demikian pula pada pasien diabetes melitus yang
biasanya mendapatkan terapi insulin akan memerlukan penambahan dosis insulin selama fase
akut stroke. Tujuannya adalah kadar glukosa darah tidak kurang dari 100 mg/dL dan tidak
lebih dari 200 mg/dL. Dosis insulin yang diberikan tergantung sensitivitas pasien terhadap
insulin. Pasien usia muda, kurus dan tidak stres lebih sensitif terhadap insulin sehingga
memerlukan dosis insulin lebih sedikit.

Das könnte Ihnen auch gefallen