Sie sind auf Seite 1von 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut WHO (World Health Organization) Kesehatan adalah

suatu keadaan fisik, mental, dan sosial kesejahteraan dan bukan hanya tidak

adanya penyakit atau kelemahan. Pencapaian derajat kesehatan yang baik dan

setinggi-tingginya merupakan suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa

membedakan ras, agama, jenis kelamin, politik yang dianut, dan tingkat sosial

ekonominya. Sehat menurut DEPKES RI, sehat dan sakit sesungguhnya tidak

mutlak dan universal karena ada faktor -faktor lain di luar kenyataan klinis yang

mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Setiap pengertian saling

mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks

pengertian yang lain. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan

dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan

lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosial budaya.

Kebutuhan dasar manusia merupakan sesuatu yang harus dipenuhi untuk

meningkatkan derajat kesehatan. Menurut teori Maslow manusia mempunyai lima

kebutuhan dasar yang paling penting meliputi : kebutuhan fisiologis, kebutuhan

keselamatan dan keamanan, kebutuhan cinta dan rasa memiliki, kebutuhan rasa

berharga dan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri (Perry & Potter, 2006).

Kebutuhan yang bersifat fisiologis seperti: kebutuhan akan udara, makanan,

minuman dan sebagainya yang ditandai oleh kekurangan sesuatu dalam tubuh

1
2

orang yang bersangkutan. Teori Maslow dan Henderson menunjukkan bahwa

tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang penting dan harus

terpenuhi dalam keadaan sehat maupun sakit. Maka dari itu kecukupan tidur harus

terpenuhi ketika anak hospitalisasi.

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang

berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit

menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama

proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang

menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat

traumatik dan penuh stress (Supartini, 2004). Berbagai perasaan yang sering

muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong,

2000). Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan

belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan

kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya, dan sesuatu yang dirasakannya

menyakitkan. Apabila anak stress selama dalam perawatan, orang tua menjadi

stres pula, dan stres orang tua akan membuat tingkat stres anak semakin

meningkat (Supartini, 2000). Stressor yang mempengaruhi permasalahan di atas

timbul sebagai akibat dari dampak perpisahan, kehilangan kontrol (pembatasan

aktivitas), perlukaan tubuh dan nyeri, dimana stressor tersebut tidak bisa

diadaptasikan karena anak belum mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan

baru dengan segala rutinitas dan ketidakadekuatan mekanisme koping untuk

menyelesaikan masalah sehingga timbul prilaku maladaptif dari anak.


3

Reaksi nyeri sangat erat hubungannya dengan terganggunya pemenuhan

kebutuhan istirahat khususnya pada anak (Potter & Perry, 2005), Respon anak

dengan orang dewasa dalam menerima tindakan invasif berbeda. Pada anak

tindakan invasif dapat dipersepsikan sebagai suatu ancaman, ini terkait terhadap

rasa aman yang dapat menyebabkan terjadinya kecemasan. Ancaman ini

disebabkan karena menerima pengobatan yang membuat bertambah sakit atau

nyeri. Tindakan pemasangan infus yang membuat anak merasakan kecemasan,

ketakutan dan ketidaknyamanan merupakan stresor bagi gangguan pemenuhan

istirahat tidur (Warda, 2012). Rasa ketidaknyamanan anak pada tindakan invasif

yang dilakukan dirumah sakit dalam hal ini tindakan pemasangan infus. Sakit dan

dirawat di rumah sakit jauh dari menyenangkan bagi anak. Hal ini merupakan

suatu stresor karena anak tidak mengerti mengapa dia dirawat. Perpisahan dengan

orang – orang terdekat dari anak, penyesuaian dengan lingkungan yang asing bagi

anak, penyesuaian dengan banyak orang yang mengurus anak, dan kerap kali

harus berhubungan dan bergaul dengan anak-anak yang sakit serta pengalaman

mengikuti terapi yang menyakitkan (Ratna, 2012). Anak yang mengalami

prosedur invasif berupa pemasangan infus, selain akan menimbulkan gangguan

fisik seperti rasa nyeri, juga dapat mempengaruhi psikologisnya berupa stres,

agresif dan perasaan terkekang akibat imobilisasi area pemasangan infus, yang

pada anak-anak biasanya diberikan spalk dan fiksasi. Selain reaksi perilaku

negatif, aspek yang selama ini kurang mendapat perhatian adalah dampak dari

tindakan invasif dan menyakitkan tersebut terhadap pemenuhan kebutuhan tidur

anak terutama tidur di malam hari (Ratna. 2012).


4

Tidur pada anak sering terganggu misalnya meningkatnya frekuensi

terbangun di malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena seringnya

terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur total anak hampir sama

dengan dewasa muda. Ritmik sirkadian tidur-bangun anak juga sering terganggu.

Seringnya terbangun pada malam hari menyebabkan keletihan, mengantuk, dan

mudah jatuh tidur pada siang hari (Perry dan Potter, 2009). Kecukupan tidur pada

manusia bergantung pada tingkat perkembangan. Pada anak prasekolah umumnya

anak membutuhkan 11-12 jam/hari untuk tidur. Menurut Hurlock, secara teori

kecukupan tidur adalah jumlah kecukupan tidur manusia yang biasanya dijelaskan

dengan waktu yang dibutuhkan untuk menjalani aktivitas tidur dalam satu hari

untuk memulihkan kondisi individu tersebut (Febriana, 2011). Menurut Setiatava

(2011), tidur juga bertujuan untuk restorasi sel. Restorasi sel- sel tubuh

merupakan salah satu teori yang dikemukakan oleh para ilmuan untuk

menjelaskan sebab atau tujuan manusia harus tidur. Gangguan pemenuhan

kebutuhan tidur dapat terjadi karena adanya faktor situasional seperti perubahan

lingkungan, misalnya perawatan di rumah sakit, kebisingan, atau ketakutan serta

adanya kondisi patologis pada anak misalnya penyakit kronik, infeksi, gannguan

sirkulasi dan lain-lain. Lingkungan institusi Rumah Sakit atau fasilitas perawatan

jangka panjang dan aktivitas petugas pelayanan kesehatan dapat menyebabkan

sulit tidur. Besaran jumlah tidur anak, disesuaikan dengan tingkat umurnya.

(Tasya, 2011). Kecukupan tidur sangat penting bagi anak yang sedang sakit.

Apabila pemenuhan tidur tersebut tercukupi, maka jumlah energi yang diharapkan

untuk memulihkan status kesehatan dan mempertahankan metabolisme tubuh


5

terpenuhi (Aziz, 2012). Ganguan tidur pada anak jika tidak segera ditangani akan

berdampak serius dan akan menjadi gangguan tidur yang kronis secara fisiologis,

jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang cukup untuk mempertahankan

kesehatan tubuh dapat menurun.

Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang termasuk

kedalam kebutuhan fisiologis, tidur juga hal yang universal karena semua individu

dimanapun ia berada membutuhkan tidur (Kozier, 2000). Seseorang yang

memiliki beberapa kebutuhan yang belum terpenuhi akan lebih dulu memenuhi

kebutuhan fisiologisnya dibandingkan kebutuhan yang lain. Kebutuhan fisiologis

tersebut diantaranya adalah istirahat dan tidur (Mubarak & Chayatin, 2008).

Kemampuan akademik pada berbagai tingkatan usia juga dapat dipengaruhi oleh

gangguan tidur yang tidak terdeteksi. Meskipun dampak gangguan tidur yang

tidak disadari ini telah semakin jelas, namun masih sedikit penelitian yang telah

dilaporkan (Tanjung & Sekartini, 2004).

Menurut Supartini (2004) perawatan anak dirumah sakit merupakan

pengalaman yang penuh stress, baik bagi anak maupun orang tua. Lingkungan

rumah sakit itu sendiri merupakan penyebab stress dan kecemasan pada anak.

Pada saat anak yang dirawat dirumah sakit akan muncul tantangan-tantangan yang

harus dihadapinya seperti, mengatasi suatu perpisahan dan penyesuaian dengan

lingkungan yang asing baginya. Penyesuaian dengan banyak orang mengurusinya,

dan kerap kali berhubungan dan bergaul dengan anak-anak yang sakit serta

pengalaman mengikuti terapi yang menyakitkan. Pada anak usia pra sekolah

kecemasan yang paling besar dialami adalah ketika pertama kali mereka masuk
6

sekolah dengan kondisi sakit yang dialami anak. Apabila anak mengalami

kecemasan tinggi saat dirawat dirumah sakit maka besar sekali kemungkinan anak

akan mengalami disfungsi perkembangan. Anak akan mengalami gangguan

seperti : somatik, emosional, dan psikomotor (Nelson, Isranil, 2006). Reaksi

terhadap penyakit atau masalah diri yang dialami anak pra sekolah seperti :

perpisahan, tidak mengenal lingkungan, hilangnya kasih sayang, body image

maka akan bereaksi seperti : regresi yaitu hilangnya kontrol, agresi (menyangkal)

menarik diri tingkah laku protes, serta lebih peka dan pasif seperti menolak makan

dan lain-lain (Alimul, 2005). Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti

tentang hubungan hospitalisasi terhadap kecukupan tidur pada anak prasekolah.

Orang tua dan perawat harus mampu menciptakan rasa kenyamanan pada anak

saat dirawat dirumah sakit sehingga kebutuhan dasar manusia dalam hal ini

kecukupan tidur tetap terpenuhi.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumedang merupakan satu-satunya

Rumah Sakit Pemerintah yang ada di Kabupaten Sumedang. Dari ruang tanjung

yang merupakan salah satu ruang anak yang ada di Rumah Sakit Umum daerah

(RSUD) Sumedang di dapatkan jumlah kunjungan pasien anak usia prasekolah

yang hospitalisasi selama satu tahun terakhir yaitu pada tahun 2016 sebanyak 846

orang pasien anak, pada bulan januari sampai dengan bulan juni tahun 2018

tercatat sebanyak 446 orang pasien anak hospitalisasi, pada tiga bulan terakhir

yaitu pada bulan april sampai dengan juni 2018 tercatat sebanyak 215 orang

pasien anak , dan pada satu bulan terakhir yaitu bulan juni 2018 tercatat sebanyak

71 orang pasien anak hospitalisasi.


7

Dilihat dari data tersebut, maka dapat diketahui bahwa selamaa periode

satu tahun terakhir anak hospitalisasi di RSUD Sumedang mengalami

peningkatan, dan berdasarkan hasil survei pendahuluan pada tanggal 2 agustus

2018 di ruang tanjung RSUD Kabupaten Sumedang, dengan wawancara langsung

kepada keluarga pasien, dari 10 orang keluarga pasien hospitalisasi 6 keluarga

pasien anak prasekolah (3-6 tahun) mengatakan bahwa anak terkadang tidak

terlalu memperhatikan kecukupan tidurnya, susah untuk makan dan minum obat,

susah beraktivitas secara bebas karena terpasang infus. Peran perawat sebagai

pemberi asuhan keperawatan harus mampu memberikan asuhan yang tepat sesuai

dengan proses keperawatan terutama dalam memberikan pengetahuan tentang

kecukupan tidur dan manfaat hospitalisasi untuk mengatasi gangguan tidur dan

bisa juga menginterprestasikan berbagai informasi khususnya dalam mengatasi

stresor anak hospitalisasi sebagai peran advokat klien dan edukator. Serta sebagai

tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk

diberikan.

Pada penelitian Desita Febriana Mahasiswa Stikes Baptis Kediri (2011)

menyatakan bahwa Berdasarkan data dari Ruang Anak RS Baptis Kediri, jumlah

pasien anak usia 3 – 6 tahun selama bulan Januari 2011 sampai pada bulan Maret

2011 sebanyak 126 pasien. Data dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti

pada tanggal 1 – 11 April 2011 pada 15 anak yang sedang dirawat di ruang anak

RS Baptis Kediri, didapatkan anak 10 (6%) menunjukkan respon terhadap

hospitalisasi dengan menangis, takut, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan,

tidak mau makan dan selalu bertanya kepada ibunya kapan bisa pulang,
8

sedangkan anak 5 (3%) menunjukkan respon adaptif terhadap hospitalisasi, yaitu

dengan menunjukkan respon kooperatif dengan petugas kesehatan dan mau

minum obat. Desain yang digunakan adalah analitik cross sectional. Dalam

penelitian ini variabel sebab atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada

obyek penelitian diukur dan dikumpulkan secara stimultan, sesaat atau satu kali

saja dalam satu kali waktu atau dalam waktu yang bersamaan. Populasi dalam

penelitian ini adalah Orang tua yang mempunyai anak usia prasekolah yang

dirawat di Ruang Anak RS Baptis Kediri. Besar sampel dalam penelitian tidak

dihitung karena sampel yang digunakan adalah total sampling yaitu teknik

pengambilan sampel dengan cara mengambil seluruh populasi yang ada. Dari 30

responden yang dilakukan pada tanggal 23 Juni 2011 sampai dengan 14 Juli 2011

di Ruang Anak Rumah Sakit Baptis Kediri didapatkan : 1. 85% anak mengalami

stres hospitalisasi sedang pada anak di Ruang Anak Rumah Sakit Baptis Kediri. 2.

62% anak mengalami gangguan pola tidur pada anak usia prasekolah di Ruang

Anak Rumah Sakit Baptis Kediri.

Berdasarkan hal yang dikemukakan diatas, maka peneliti merasa tertarik

untuk mengetahui “Hubungan Hospitalisasi terhadap Kecukupan Tidur pada Anak

Prasekolah di RSUD Kabupaten Sumedang tahun 2018”

1.2 Rumusan Masalah

Hospitalisasi adalah suatu alasan yang berencana atau darurat,

mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan

sampai pemulangan kembali ke rumah. Anak yang mengalami pemasangan infus,


9

selain menimbulkan rasa nyeri, aspek yang selama ini kurang mendapat perhatian

adalah dampak dari tindakan invasif dan menyakitkan tersebut juga mengganggu

terhadap pemenuhan kecukupan tidur anak terutama tidur di malam hari.

Berdasarkan uraian data diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

“apa sajakah faktor-faktor yang berhubungan antara hospitalisasi dengan

kecukupan tidur pada anak prasekolah di RSUD Kabupaten Sumedang tahun

2018?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dampak

hospitalisasi terhadap kecukupan tidur pada anak prasekolah di RSUD

Kabupaten Sumedang Tahun 2018.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui gambarkan pengaruh hospitalisasi pada

anak prasekolah di RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2018.

1.3.2.2 Untuk mengetahui gambarkan kecukupan tidur pada anak

prasekolah di RSUD Kabupaten Sumedang Tahun 2018.

1.3.2.3 Untuk mengetahui 8 gambarkan hubungan hospitalisasi

dengan kecukupan tidur pada anak prasekolah di RSUD

Kabupaten Sumedang Tahun 2018.


10

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Perawat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

perawat khususnya perawat anak untuk mengetahui sejauh mana

hospitalisasi berpengaruh terhadap kecukupan tidur pada anak

prasekolah.

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

(STIKes) Sumedang dan meningkatkan wawasan mahasiswa tentang

pengembangan teori keperawatan, khususnya bagi mata kuliah Teori

Model Keperawatan.

1.4.3 Bagi Keluarga dan Pasien

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi keluarga pasien,

yaitu keluarga dapat mengetahui tentang hospitalisasi dengan

kecukupan tidur pada anak prasekolah yang baik dan benar.

1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya

Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti

selanjutnya. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat mengetahui

lebih dalam tentang hospitalisasi dengan kecukupan tidur pada anak

prasekolah.

Das könnte Ihnen auch gefallen