Sie sind auf Seite 1von 20

WHAT IS PHILOSOPHY?

An Introduction
(Alistair J. Sinclair Ph.D.)

1.5 Eighteenth Century Philosophy ok


(Berkeley – The Scottish Enlightenment – Hume – Smith – Reid – Kant – The French
Enlightenment)

The passion for philosophy, like that for religion, seems liable to this inconvenience,
that, though it aims at the correction of our manners, and the extirpation of our vices, it may
only serve, by imprudent management, to push the mind, with more determined resolution,
towards that side which already draws too much, by the bias of the natural temper.
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (1772).

The eighteenth century is famed for the great Enlightenment movement in philosophy which
transformed the political landscape of Western Europe and beyond. The term
‘Enlightenment’ (Aufklärung) was first used by Kant in 1784, but the movement originates
in seventeenth-century England with philosophers such as Bacon, Hobbes, Shaftesbury,
Locke, Berkeley and Mandeville. ‘Enlightenment’ means creating the conditions for
people to think for themselves – sapere aude! (dare to know!), as Kant put it In practice, it
means championing human rights, freedom of speech, open mindedness and the questioning
of authority. The Enlightenment progressed also because of a series of philosophers who
challenged each other concerning the truth of their various assertions. Thus, we begin with
the challenge made by Berkeley to Locke’s empiricist excesses in making too much of the
notion of ‘idea’.

(ABAD KE-18 mengagungkan gerakan Pencerahan dalam filsafat yang mentransformasikan


lanskap politik di Eropa barat dan yang lain. Term Pencerahan digunakan pertama kali
Immanuel Kant tetapi gerakan aslinya berasal dari Abad 17 Inggris dengan fislafat sepereti
seperti Bacon, Thomas Hobbes, Shaftesbury, Locke, Berkeley, dan Maandeville. Pencerahan
berarti menciptakan situasi bagi diri mereka—beranilah untuk mengetahui, sebagaimana
Kant meletakkan dalam praktik, Pencerahan memenangkan hak asasi manusia,, kebebasan
berbicara, pemikiran yang terbuka dan usaha mempertanyakan otoritas. Pencerahan
berkembang juga karena sejumlah filsuf yang memnantang satu sama lain yang berkaitatn
dengan kebenaran dari penegasan. Untuk itu, kita mulai dengan tantangan yang dibuat oleh
ekses empirisisme dari Berkeley sampai Locke dalam begitu banyak gagasan mengenai “ide”

George Berkeley (1685–1753)


Berkeley found a fatal flaw in Locke’s ‘way of ideas’ and produced an idealist, non-
empiricist philosophy in answer to it. He realised that if our knowledge of the world is based
on ideas then nothing really exists except these ideas. These ideas may enter our minds but
there is no way of proving that these ideas refer to anything ‘out there’. When we look at a
building, we have the idea that it is a building but the idea itself is not enough for us to be
absolutely sure that it is the building it appears to be. It may be, for example, a film-maker’s
cardboard replica, a dream or a hallucination. But Berkeley goes even further to argue that
even if we satisfy ourselves beyond reasonable doubt that the building exists ‘out there’, it is
still only a matter of our ideas. These ideas can’t prove the independent existence of anything
outside our thinking about them.

(Berkeley menemukan cacat fatal dalam “cara berpikir” Locke dan memproduksikan satu
filsafat non-empiris dan idealis untuk menjawabnya. Berkeley sadar bahwa jika pengetahuan
kita mengenai dunia didasarkan pad ide-ide kemudian tidak ada yang sungguh ada/ eksis
kecuaali ide-ide ini. Ide-ide ini mungin masuk pikiran kita tetapi tidak ada cara membuktikan
ide-ide ini yang menunjuk pada segala segala sesuatu “di luar sana”. Saat kita melihat
bangunan, kita memiliki ide bahwa itu adalah bangunan tetapi ide itu sendiri tidak cukup
bagi kita untuk yakin bahwa bangunan itu muncul. Itu mungkin, sebagai contoh, bangunan
kardus seorang pembuat film, satu mimpi atau halusinasi. Tetapi Berkeley melangkah jauh
untuk berargumentasi bahkan jika kita menyenangkan diri kita melewati keraguan yang
masuk akal bahwa bagunan eksis di “luar sana”, ini tetap hanya satu persoalan tentang ide-ide
kita. Ide-ide ini tidak dapat membuktikan eksistensi idenpendenn dari segala sesuatu di luar
pemikiran kita mengenai ide-ide tersebut.)

Berkeley was the first person to argue at length that everything is in the mind and nothing
really exists outside our minds. Our ideas dont refer to the things themselves, there fore there
can be no material world independent of these ideas and everything is happening in our
minds. Our ideas of external objects are simply stronger and more vivid than those of our
dreams or imagination. In support of that view, Berkeley disputed the existence of abstract,
general ideas. For their existence would imply that some ideas are more real than others.
Thus, he said that we can never have a general idea of a triangle but only of a particular one
which is similar to other triangles. He asks how can there be a triangle ‘which is neither
oblique, nor rectangle, equilateral, equicrural, nor scalenon, but all and none of these at
once?’ We can only have the idea of a particular triangle and not one that has all the features
of triangles. But this is to misunderstand the nature of abstract concepts which are signs or
symbols of things like numbers. Against Berkeley, it can be argued that these concepts exist
only ‘in the mind’ but are used to make sense in an interactive way of what is independent of
our minds.

(Berkeley adalah orang pertama yang berargumentasi bahwa segala sesuatu ada di pikiran
dan tidak ada sesuatu yang sungguh eksis dalam pikiran kita. Ide-ide kita tidak mennjuk pada
hal-hal itu senddiri,, karena itu tidak mungkin ada dunia materi yang tidak bergantung pad
ide-ide ini dan segala sesuatu terjadi dalam pikiran kita. Ide-ide kita tentang objek eksternal
sederhananya lebih kuat dan lebih hidup daripada dalam impian atau imajinasi kita. Sebab
eksistensi mereka mengimplikasikan bahwa sejumlah ide lebih riil daripada yang lain. Untuk
itu, dia mengatakan bahwa kita tidak pernah memiliki ide umum tentang segitiga tetapi hanya
satu yang particular yang sama dengan segitiga lain. Dia menanyakan bagaimana bias ada
satu segitiga ‘yang tidak miring, tidak berbentuk persegi panjang, tidak berbentuk sama sisi,
bukan sama kaki, tidak sama panjang tetapi semua dan tidak satu pun tentang ini yang
sekaligus? Kita hanya dapat memiliki ide tentang satu segitiga terrtentu bukannya satu yang
memiliki semua bentuk itu. Tetapi ini, akhirnya keliru memahami konsep dasar yang adalah
tanda dan symbol hal-hal seperti angka-angka. Bertentangan dengan Berkeley, dapat
dikatakan bahwa konsep-konsep ini hanya dalam pikiran tetapi digunakan untuk membuat
bermakna dalam cara interaktif dari apa yang tidak bergantung pada pikiran.

Nevertheless, Berkeley reduced all ideas to the same level of reality to make an ideality, that
is to say, a uniform, non-material existence which God is pleased to convey into our minds.
He takes his argument to its logical conclusion by saying that nothing exists unless it is
perceived. To him ‘the absolute existence of unthinking things’ without their being perceived,
‘seems perfectly unintelligible. Their esse is percipi (The reciprocity argument Closely
related to the esse est percipi argument is the contention that subject and object are
reciprocally dependent upon each other. It is impossible to conceive of a subject without an
object, since the essential meaning of being a subject is being aware of an object and that of
being an object is being an object to a subject, that relation being absolutely and universally
reciprocal. Consequently, every complete reality is always a unity of subject and object—i.e.,
an immaterial ideality, a concrete universal), nor is it possible they should have any
existence, out of the minds or thinking things which perceive them.’ ‘Consequently, so long
as they are not actually perceived by me, or do not exist in my mind or that of any other
created spirit, they must either have no existence at all, or else subsist in the mind of some
Eternal Spirit.’ Hence, the two well-known limericks concerning the tree in the quad being
observed by ‘yours faithfully, God’ when there is no else around to see them.

[Kendati pun demikian, Berkeley mereduksikan semua ide pada level realitas yang sama
untuk membuat idealitas, bahwa untuk mengatakan satu seragam, eksistensi bukan material
yang mana Tuhan memasuki pikiran kita. Dia menarik argumennya pada konklusi logis
dengan mengatakan bahwa tidak ada yang eksis kendati hal itu dilihat. Untuk Berkeley,
“eksistensi absolut dari hal-hal yang tidak terpikirkan tanpa dilihat, tampak (adalah) tidak
terpikirkan. Prinsip “esse is percipi” (prinsip ini kurang lebih berpendapat bahwa subjek dan
objek secara timbal balik bergantung satu sama lain. Adalah tidak mungkin memahami
subjek tanpa objek sejak arti esensial adanya subjek adalah sadar akan objek dan bahwa
menjadi objek selalu berarti menjadi objek terhadap subjek dan bahwa relasi antara keduanya
adalah resiprokal. Jadi, setiap realitas selalu kesatuan antara subjek dan objek) demikian pun
tidak mungkin juga mereka bereksistensi di luar pikiran kita. Konsekuensinya, sejauh hal-hal
itu (dalam realitas, maksudnya) mereka tidak secara actual dilihat/ dicandari oleh kita atau
tidak eksis dalam pikiran, mereka tidak bereksistensi sama sekali atau hnya hidup dalam jiwa
abadi.]

Berkeley also disputed Newton’s view of absolute time and space. To that extent, he presaged
the theory of relativity. In his justly celebrated Dialogues (1713), he argues at great length
that he is no sceptic and that he ‘endeavours to vindicate common sense’. His views never
inspired a great following and his philosophy is generally regarded as an interesting curiosity
which graphically shows the consequences of taking idealism to its logical conclusion. Later
idealists such as Hegel strove hard not to be accused of Berkeleian idealism. Berkeley’s
philosophy was therefore important in that it forced later philosophers to be clearer about
what ideas are and how our minds may or may not relate to external reality.

(Berkeley juga menentang pandangan Newton tentang waktu dan ruang. Secara luas, dia
meramal teori relativitas. Dalam Dialogues (1713), dia berargumentasi bahwa dia tidak
skeptis dan dia ‘tidak berani membela aka sehat’. Pandangannya tidak pernah
menginspirasikan pengikut yang hebat dan filsafatnya umumnya dianggap sebagai satu
keingintahuan menarik yang secara grafis menunjukan konsekuensi mengambil idealisme
untuk kesimpulan logisnya. Kaum idealis berikut seperti Hegel berusaha keras untuk tidak
idealisme Berkeley. Filsafat Berkeley karena itu penting dalam arti bahwa filsafat Berkeley
memaksa filsuf-filsuf untuk lebih jelas tentang apa itu ide dan bagaimana pikiran kita
mungkin atau tidak mungkin berhubungan dengan realitas eksternal.

The Scottish Enlightenment


The Scottish Enlightenment added to the achievements of the English Enlightenment by
working out the conditions for a civil society in which freedom is uppermost. It began after
the union of the parliaments in 1707 when the Scots made a concerted effort to reach the
cultural standards of the English. They established clubs and societies which were unique to
Scotland in being exclusively dedicated to self-improvement in their behaviour, conversation
and literary skills. These clubs were strictly disciplined with the use of rules and laws to
ensure attendance and good behaviour. For example, the Easy Club was founded in 1712 by
the poet Allan Ramsay (1685–1758, not his son, Allan Ramsay the artist). This club
discussed and produced literature and poetry. Here is its eighth law:
‘’The Design of the Society being a Mutual Improvement of Minds by Conversation it is
enacted that there be no gaming in the club or forcing one another to drink both being
diverting from our great design and of times provoking to an undue exercise of the passions
which is contrary to and inconsistent with our Commendable Easiness’’

(Pencerahan Skotlandia menambahkan pencapaian tradisi Pencerahan Inggris menyelesaikan


syarat-syarat untuk masyarakat warga dalam mana kebebasan paling penting. Itu dimulai
setelah penyatuan parlemen dalam 1707 saat Skotlandia membuat usaha bersama untuk
mencapai standard-standar cultural Inggris. Mereka membangugn klub-klub dan masyarakat
yang adalahh unik untuk Skotlandia dalam berdedikasi untuk pembuktian diri dalam tingkah
laku mereka, perccakapan dan skil literal. Klub-klub ini secara keras didisiplinkan dengan
penggunaan aturan dan hokum untuk memastikan kehadiran dan tingkah laku yang baik.
Contohnya, EASY CLUB dibentuk di 1712 dengan seorang puitikus Allan Ramsey—1685-
1758, bukan anaknya Allan Ramsay, sang artis itu). Klub ini mendiskusikan dan
memproduksikan literature dan puisi. Di sini adalah hukum kedelapan,

‘’The Design of the Society being a Mutual Improvement of Minds by Conversation


mengundangkan bahwa tidak ada permainan dalam klub atau memaksa satu sama lain untuk
mengalihkan dari desain besar kita dan untuk beberapa kali memprovokasi yang mana
bertentangan dan tidak konsisten dengan COMMENDABLE EASINESS

These clubs and societies generated a general interest in philosophy and fostered writing of
the highest quality and later made the Scottish writers very influential throughout Europe.
Remarkably, the members of these early clubs were all in their teens and early twenties.
Thus, the Fair Intellectual Club (1717), one of the few women’s literary clubs that we know
of, was restricted to ladies aged sixteen to twenty. Intellectual improvement was ‘cool’
among these young people and they created the hothouse atmosphere for the next generation
which included such geniuses as David Hume, Adam Smith, James Hutton, Robert Adam and
Tobias Smollett. The subsequent popularity of philosophy in Scotland is exemplified by the
following passage:
‘’It is well known that between 1723 and 1740, nothing was in more request with the
Edinburgh literati, clerical and laical, than metaphysical disquisitions. These they regarded
as more pleasant themes than either theological or political controversies, of which, by that
time, people were surfeited. The writings of Locke and Clarke, of Butler and Berkeley,
presented a wide and interesting field of inquiry, in which they could exercise their
intellectual powers without endangering their own quiet and safety’’.

(klub-klub dan masyarakat ini melahirkan satu ketertarikan akan filsafat dan membantu
perkembangan penulisan berkualitas tertinggi dan kemudian membuat penulis Skotlandia
sangat berpengaruh di Eropa. Sungguh, para anggotanya pada saat itu semuanya berumuran
belasan tahun dan awal dua puluhan. Karena itu, , the Fair Intellectual Club (1717), satu dari
sedikit kaum perempuan terpelajar hanya terbatas pada anggota yang berumuran 17-an
sampai 20-an. Pencapaian intelektual mereka sangat keren bagi orang muda dan mereka
sanggup menciptakan atmosfer yang sangat baik bagi orang-orang muda tersebut termasuk di
antaranya para jenius seperti David Hume, Adam Smith, James Hutton, Robert Adam and
Tobias Smollett.
Thus, the movement known as the Scottish Enlightenment was only possible because of the
widespread popularity of philosophy and literature among educated people in Scotland during
the eighteenth century.

(Dengan demikian, gerakan yang dikenal sebagai Pencerahan Skotlandia hanya mungkin
karena meluasnya popularitas filsafat dan sastra di antara orang-orang berpendidikan di
Skotlandia selama abad kedelapan belas.)

David Hume (1711–1776)


Hume is particularly famous because of the scale of his influence on subsequent philosophers.
His writings influenced, for example, Thomas Reid’s common sense philosophy, Kant’s
critical philosophy, Jeremy Bentham’s utilitarianism and Adam Smith’s ethics and
economics. This is due to the rigour and depth of Hume’s arguments which make him very
much a philosopher’s philosopher. He attempted to create a science of human nature using
Locke’s empirical principles. He began assuming that all our perceptions ‘resolve themselves
into two distinct kinds’ called impressions and ideas: ‘Impressions: All our lively and
forceful sensations, passions and emotions. Ideas: Faint images of impressions in thinking
and reasoning.’
(Hume terkenal karena skala pengaruhnya terhadap para filsuf sesudahnya. Tulisan-tulisan
Hume memengaruhi filsafat Thomas Reid, Filsafat kritis Kant, Utilitarianisme Jeremy
Bentham dan Etika serta Ekonomi Adam Smith. Ini karena ketat dan dalamnya argument
Hume, yang membuatnya menjadi filsufnya para filsuf. Dia mencoba menciptaakan ilmu
pengetahuan tentang ala menggunakan prinsip empiris Locke. Dia mulai engasumsikan
bahwa semua persepsi kita memecahkan diri mereka dalam dua jenis, yakni impresi dan ide:
‘impresi ialah semua sensasi, keinginan/ nafsu, dan emosi. Sementara ide ialah gambaran-
gambaran redup atas impresi dalam berpikir dan mempertimbangkan.)

He then argues at length that any knowledge which cannot be traced back to impressions and
ideas rooted in the senses must be doubtful if not false. This form of empirical reductionism
was later challenged by Kant and the German idealists such as Hegel. It is arguable that the
concept of chair transcends the perceptual appearances from which we build up that concept.
It is more than just an amalgam of legs, colours, shapes or other parts of which it is
composed. If it were not so then we could not use the concept to apply to objects that have
none of the usual features of chairs. A chair’s function is to be sat upon, and this is not a
perceivable aspect of it. A pile of cushions on the floor can be sat upon and fulfil the chair’s
function but they don’t look like one. The concept of a chair can therefore be extended to
cushions without violating our usual image of a chair.
Hume kemudian berpendapat panjang lebar bahwa setiap pengetahuan yang tidak dapat
ditelusuri kembali ke impresi/ kesan-kesan dan ide-ide yang berakar pada indra harus
diragukan, jika tidak salah. Bentuk reduksionisme empiris ini kemudian ditantang oleh Kant
dan para idealis Jerman seperti Hegel. Dapat diperdebatkan bahwa konsep kursi melampaui
penampilan perseptual dari mana kita membangun konsep itu. Kursi lebih dari sekadar
campuran kaki, warna, bentuk, atau bagian lain yang menyusunnya. Jika tidak demikian
maka kita tidak bisa menggunakan konsep untuk diterapkan pada benda-benda yang tidak
memiliki fitur biasa dari kursi. Fungsi kursi harus ditegakkan, dan ini bukan aspek yang bisa
dipahami. Tumpukan bantal di lantai dapat disusun dan memenuhi fungsi kursi tetapi mereka
tidak terlihat seperti kursi. Konsep kursi karenanya dapat diperluas ke bantal tanpa melanggar
gambar kursi kita yang biasanya.

Hume failed to appreciate that our concepts of things are more than perceptual images and
that conception is not the same as imagination. This major flaw in his system of thought made
him unduly sceptical of our reasoning powers, and it ensured that Humean empiricism cannot
be reconciled with rationalism as it has the following extreme and mistaken consequences

(Hume gagal untuk menghargai bahwa konsep kita tentang benda lebih dari gambar
perseptual dan konsepsi itu tidak sama dengan imajinasi. Sikap utama dalam sistem
pemikirannya ini membuatnya sangat skeptis terhadap kekuatan penalaran kita, dan hal ini
memastikan betapa empirisme Humean tidak dapat didamaikan dengan rasionalisme karena
ia memiliki konsekuensi ekstrem dan keliru berikut ini):

1. It leads to the well-known ‘Hume’s Fork’ which weeds out all reasoning unless it is
strictly ‘abstract’ or strictly ‘experimental’:
If we take in our hand any volume; of divinity or school metaphysics, for instance; let
us ask, Does it contain any abstract reasoning concerning quantity or number? No.
Does it contain any experimental reasoning concerning matter of fact and existence?
No. Commit it then to the flames: for it can contain nothing but sophistry and illusion.
Hume was probably well aware that this ‘fork’ singles out his own philosophical works
for burning. This unduly Draconian way of repudiating metaphysics was taken up
enthusiastically by logical positivists in the twentieth century, though metaphysics is still
very much alive and well.
(1. Ini mengarah ke 'Hume's Fork' terkenal yang menyaring semua alasan kecuali itu
benar-benar 'abstrak' atau benar-benar 'eksperimental':
Jika kita mengambil di tangan kita semua volume; keilahian atau metafisika sekolah,
misalnya; mari kita tanyakan, Apakah itu mengandung penalaran abstrak mengenai
kuantitas atau nomor? Tidak. Apakah itu mengandung penalaran eksperimental
mengenai masalah fakta dan eksistensi? Tidak. Komitlah hal itu pada fluktuasi: karena ia
tidak dapat memuat apa pun kecuali sofisme dan ilusi.
Hume mungkin sadar betul bahwa 'garpu' ini memilih karya filosofisnya sendiri untuk
dibakar. Cara Draconian yang terlalu keras untuk menolak metafisika ini diambil secara
antusias oleh para positivis logis pada abad ke-20, meskipun metafisika masih sangat
hidup dan baik.)
CAT: Garpu Hume = "garpu dua cabang di mana dua cabang itu (rasionalisme dan
empirisme) tidak pernah menyentuh; atau garpu di jalan yang tidak pernah menyeberang.
"Kant" melintasi garpu Hume "dengan menggabungkan istilah dari masing-masing
cabang (khususnya dengan membuktikan keberadaan sintetis, yang diperlukan, penilaian
/ pernyataan apriori). Atau dengan lebih ringkas, kurang lebih begini, Kaka ganteng:
Istilah ini umumnya diterapkan pada perbedaan antara 'hubungan ide' dan 'masalah fakta',
perbedaan yang menjadi pusat epistemologi Hume dan yang ia gunakan dan punya efek
argumentatif yang besar. Istilah ini kadang-kadang merujuk dilema bahwa tindakan-
tindakan kita ditentukan, dalam hal mana kita tidak bertanggung jawab atas mereka, atau
mereka adalah hasil dari peristiwa acak, yang dalam hal ini kita juga tidak bertanggung
jawab atas mereka.

2. The idea of the self vanishes when all our personal experiences are reduced to an endless
succession of perceptions:
When I enter most intimately into what I call myself, I always stumble upon some
particular perception or other, or heat or cold, light or shade, love or hatred, pain or
pleasure. I can never catch myself at any time without a perception, and never can
observe anything but the perception.
Again we can counter this empiricist view by pointing out that we can have a concept of
ourselves which is more than just a sum of successive perceptions. But Kant and the
German idealists went to the other extreme and attributed the self or ego with
transcendental powers which are more mysterious than elucidatory.
(2. Gagasan kita tentang diri menghilang ketika semua pengalaman pribadi kita direduksi
menjadi serangkaian persepsi yang tak ada habisnya:
Ketika saya masuk paling dekat ke dalam apa/ bagaimana saya menyebut diri saya
sendiri, saya selalu menemukan beberapa persepsi tertentu atau lainnya, atau panas atau
dingin, cahaya atau bayangan, cinta atau kebencian, rasa sakit atau kesenangan. Saya
tidak pernah dapat menangkap diri saya tanpa suatu persepsi, dan tidak pernah dapat
mengamati apa pun kecuali persepsi.
Sekali lagi kita dapat melawan pandangan empiris ini dengan menunjukkan bahwa kita
dapat memiliki konsep diri yang lebih dari sekadar jumlah persepsi yang berurutan.
Tetapi Kant dan para idealis Jerman lebih ekstrem lagi dan menghubungkan diri atau ego
dengan kekuatan transendental yang lebih misterius daripada penjelasan.)

3. Our reliance on inductive reasoning is put in doubt. We can never be sure that the sun
will rise tomorrow as presently unknown events may prevent it from doing so. We can
only say that it is highly probable that the sun will rise tomorrow. But our deductive
reasoning is just as doubtful and uncertain as our inductive reasoning. The uncertainty of
logic and mathematics was shown in the twentieth century by Russell’s Paradox and
Gödel’s Undecidability Theorem. What matters is not that our reasoning powers are
limited and uncertain but that we know their limitations and use them strictly within their
reliable limits, usually on a trial-and-error basis, which is how rocket science works.
(3. Ketergantungan kita pada penalaran induktif, seturut gagasan Hume, dipertanyakan. Kita
tidak pernah bisa yakin bahwa matahari akan terbit besok karena boleh jadi kejadian yang
tidak diketahui saat ini dapat mencegah hal itu terjadi. Kita hanya bisa katakan bahwa sangat
mungkin matahari akan terbit besok. Tetapi penalaran deduktif kita sama ragunya dan tidak
pasti sebagaimana penalaran induktif kita. Ketidakpastian logika dan matematika ditunjukkan
pada abad kedua puluh oleh Russell's Paradox dan Gödel's Undecidability Theorem. Yang
penting bukanlah bahwa kekuatan penalaran kita terbatas dan tidak pasti tetapi kita tahu
keterbatasan penalaran dan menggunakannya secara ketat dalam batas yang dapat diandalkan,
biasanya berdasarkan uji coba dan kesalahan, yang merupakan cara kerja sains roket.)

4. According to Hume, our reasoning results from the connection or association of ideas.
Thus, when one event is caused by another, we associate the ideas of the events because
we have always done so in the past. This ‘constant conjunction’ between events explains
the causal connection so that it is not necessarily real at all. In fact, it is not the case ‘that
the customary conjunction of objects determines their causation’. When we assign causes
to events we do so not out of habit but because we have reason to believe that a causal
connection may be made. We have to think that a connection can be made and have a
true or false reason such as a guess, evidence, theory or motive which explains the
connection. The events remain isolated and singular occurrences in our minds unless our
mental activity systematically connects the events in accordance with our conjectures,
theories, laws or other explanations concerning about what is going on.
(4. Menurut Hume, pertimmbangan rasional kita berasal dari koneksi atau asosiasi ide.
Jadi, ketika satu peristiwa disebabkan oleh peristiwa lain, kita mengasosiasikan ide-ide
peristiwa karena kita selalu melakukannya di masa lalu. 'Konjungsi konstan' antara
kejadian ini menjelaskan hubungan kausal sehingga tidak selalu nyata sama sekali.
Faktanya, tidak demikian halnya 'bahwa konjungsi objek menurut kebiasaan menentukan
penyebabnya'. Ketika kita menetapkan penyebab untuk kejadian yang kita lakukan bukan
karena kebiasaan tetapi karena kita memiliki alasan untuk percaya bahwa hubungan
kausal dapat dibuat. Kita harus berpikir bahwa koneksi dapat dibuat dan memiliki alasan
yang benar atau salah seperti tebakan, bukti, teori atau motif yang menjelaskan
hubungannya. Peristiwa-peristiwa itu tetap terisolasi dan kejadian-kejadian tunggal di
dalam pikiran kita kecuali aktivitas mental kita secara sistematis menghubungkan
peristiwa-peristiwa itu sesuai dengan dugaan, teori, hukum, atau penjelasan kita tentang
apa yang sedang terjadi.)

5. Hume’s scepticism of our reasoning powers is carried into his ethical views. Thus, he
famously said: ‘Reason is, and ought only to be the slave of the passions, and can never
pretend to any other offi ce than to serve and obey them.’ But our reasoning powers are
often needed to subdue our passions as when we stop being angry with someone when
we realise that they are undeserving of our anger. Obeying the dictates of our emotions
all the time is not only immoral but also impractical. Hume simply has too narrow a
view of reason as being deductive, logical, syllogistic reasoning which, as Locke pointed
out, is far from being all there is to our reasoning powers.
(5. Keragu-raguan Hume terhadap kekuatan penalaran kita dibawa ke pandangan etisnya.
Dengan demikian, dia terkenal mengatakan: 'Alasannya, dan seharusnya hanya menjadi
budak nafsu, dan tidak pernah bisa berpura-pura ke jabatan lain selain melayani dan
menaatinya.' Tetapi kekuatan penalaran kita sering diperlukan untuk menundukkan nafsu
kita seperti ketika kita berhenti marah pada seseorang ketika kita menyadari bahwa
mereka tidak layak atas kemarahan kita. Mematuhi perintah emosi kita sepanjang waktu
bukan hanya tidak bermoral tetapi juga tidak praktis. Hume hanya memiliki pandangan
yang terlalu sempit tentang penalaran sebagai penalaran deduktif, logis, silogistik yang,
seperti ditolak Locke, jauh dari semua yang ada pada kekuatan penalaran kita.)
Hume devotes the whole of Book II of the Treatise (1739) to the ‘passions’. This is an
important but largely neglected part of the Treatise, in which he clearly outlines a
dualistic account of how our passions or emotions oscillate from one extreme to another.
In successive chapters he contrasts pride and humility, love and hatred, pleasure and
pain, pity and envy and so on. However, Hume failed to make as much as he might have
of the dualism implicit in this account of the passions. If he had developed this dualism
instead of taking his empirical views to their logical conclusion, we might have been
spared the subsequent polarisation of empiricism and rationalism which has characterised
philosophy ever since.
(Hume mendedikasikan seluruh buku II TREATISE (1739) ke ‘nafsu’. Ini adalah bagian
yang penting tetapi sebagian besar diabaikan dari TREATISE, di mana ia dengan jelas
menguraikan akun dualistik tentang bagaimana gairah atau emosi kita terombang-ambing
dari satu ekstrem ke yang lain. Dalam bab-bab yang berturut-turut dia membedakan
kebanggaan dan kerendahan hati, cinta dan kebencian, kesenangan dan kesakitan, belas
kasihan dan iri hati dan sebagainya. Namun, Hume gagal membuat sebanyak mungkin
dualisme yang tersirat dalam kisah nafsu ini. Jika dia telah mengembangkan dualisme ini
daripada mengambil pandangan empirisnya ke kesimpulan logis mereka, kita mungkin
telah terhindar dari polarisasi empirisme dan rasionalisme yang telah mencirikan filsafat
sejak saat itu.)

Adam Smith (1723–1790)


Smith began as a disciple of Francis Hutcheson (1694–1746) and Shaftesbury (the third Earl,
1671–1713), and he was later influenced by his friendship with Hume. His ethics was part of
the Enlightenment programme of showing that religious moral codes are not sufficient to
produce mature and responsible persons taking their place in society. His main idea in ethics
concerned the role of sympathy in our social interactions. He points out that we cannot
approve or disapprove of our own behaviour unless and until we have learnt to approve or
disapprove of the behaviour of other people. On the other hand, we judge others morally
because we have learnt to compare our behaviour with theirs. We sympathise or fail to
sympathise with other people’s behaviour when we compare it with our own.
(Smith meniti hidupnya sebagai murid Francis Hutcheson (1694–1746) dan Shaftesbury (Earl
ketiga, 1671–1713), dan dia kemudian dipengaruhi oleh persahabatannya dengan Hume.
Etikanya adalah bagian dari program Pencerahan yang menunjukkan bahwa kode moral
agama tidak cukup untuk menghasilkan orang dewasa dan bertanggung jawab yang
mengambil tempat mereka di masyarakat. Ide utamanya dalam etika berkaitan dengan peran
simpati dalam interaksi sosial kita. Dia menunjukkan bahwa kita tidak dapat menyetujui atau
menolak perilaku kita sendiri kecuali dan sampai kita telah belajar untuk menyetujui atau
tidak menyetujui perilaku orang lain. Di sisi lain, kita menilai orang lain secara moral karena
kita telah belajar membandingkan perilaku kita dengan perilaku mereka. Kita bersimpati atau
gagal bersimpati dengan perilaku orang lain ketika kita membandingkannya dengan perilaku
orang lain)

Thus, our moral judgments cannot develop properly until we see ourselves as others see us:
We can never survey our own sentiments and motives, we can never form any judgment
concerning them, unless we remove ourselves, as it were, from our own natural station, and
endeavour to view them as at a certain distance from us. But we can do this in no other way
than by endeavouring to view them with the eyes of other people, or as other people are likely
to view them.
(Jadi, penilaian moral kita tidak dapat berkembang dengan baik sampai kita melihat diri kita
seperti orang lain melihat kita:
Kita tidak pernah dapat meneliti sentimen dan motif kita sendiri, kita tidak pernah dapat
membuat penilaian apa pun mengenai mereka, kecuali jika kita menyingkirkan diri kita
sendiri, sebagaimana adanya, dari stasiun alami kita sendiri, dan berusaha untuk memandang
mereka pada jarak tertentu dari kita. Tetapi kita dapat melakukan ini dengan cara lain selain
dengan berusaha untuk melihatnya dengan mata orang lain, atau karena orang lain cenderung
melihatnya.)
Singkatnya, kita mesti “mengambil jarak dari diri kita sendiri dan dengan begitu, kita dapat
memandang diri kita dari perspektif orang lain tentang kita untuk selanjutnya dapat menilai
entahkah misalnya kita sudah dewasa atau malah hanya sekedar ber-umur.

Our growing self-knowledge involves making ourselves aware of how others see us. We can
do so interactively by dividing ourselves into
(1) a ‘fair and impartial spectator’ judging our own conduct and
(2) an agent whose actions are being judged impartially.
Unfortunately, Smith does not work out this dualistic view consistently as a metaphysical
principle. Smith’s ethics at least improves on the religious view that we should submit
ourselves entirely to the will of God regardless of the thoughts and feelings of our fellow
beings. However, it can be taken to hypocritical extremes when we ‘keep up appearances’ so
that we look better to others than we really are.
(Pengetahuan diri kita yang berkembang melibatkan membuat kita sadar bagaimana orang
lain melihat kita. Kita bisa melakukannya secara interaktif dengan membagi diri menjadi
(1) 'penonton adil dan tidak memihak' menilai perilaku kita sendiri dan
(2) agen yang tindakannya sedang dinilai tidak memihak.
Sayangnya, Smith tidak mengembangkan pandangan dualistik ini secara konsisten sebagai
prinsip metafisik. Etika Smith setidaknya meningkat pada pandangan agama bahwa kita harus
menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan terlepas dari pikiran dan perasaan
sesama kita. Namun, hal itu dapat dilakukan terhadap keadaan ekstrem yang munafik ketika
kita 'menjaga penampilan' agar kita terlihat lebih baik bagi orang lain daripada kita
sebenarnya.

His ethics also fosters individual self-development on a ‘live and let live’ basis. We cannot
develop ‘self-command’ or become good and dutiful citizens unless we work out for
ourselves the best way to live. We must take responsibility for our own lives and not allow
others to tell us how to live. A pursuit of self-interest, riches and the good things in life has
unintended consequences in shaping society. Indeed, it benefi ts society as an ‘invisible hand’
which organises the distribution of available resources more evenly than otherwise:
The rich . . . are led by an invisible hand to make nearly the same distribution of the
necessaries of life which could have been made had the earth been divided into equal
portions among all its inhabitants; and thus, without intending it, without knowing it,
advance the interest of society, and afford means to the multiplication of the species.

Etikanya juga mendorong pengembangan diri individu dengan prinsip imperative: 'hidup dan
biarkan hidup'.) Kita tidak dapat mengembangkan ‘self-command’ atau menjadi warga
negara yang baik dan berbakti kecuali kita sendiri mencari cara terbaik untuk hidup. Kita
harus bertanggung jawab atas hidup kita sendiri dan tidak membiarkan orang lain memberi
tahu kita bagaimana cara hidup. Mengejar kepentingan pribadi, kekayaan, dan hal-hal baik
dalam hidup memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan dalam membentuk masyarakat.
Memang, itu menguntungkan masyarakat sebagai 'tangan tak terlihat' (Istilah ini dalam
perkembangan membuat Smith dipandang sebagai salah satu penggagas awal kapitalisme
pasar bebas. K’Jimmy bisa baca uraian ringkasnya di sini:
http://indonesiasatu.co/detail/adam-smith--pasra--dan-kita) yang mengatur distribusi sumber
daya yang tersedia lebih merata daripada jika tidak:
Kaya . . . dipimpin oleh tangan yang tak terlihat untuk membuat distribusi yang hampir sama
dari kebutuhan hidup yang bisa dibuat jika bumi dibagi menjadi bagian yang sama di antara
semua penghuninya; dan dengan demikian, tanpa bermaksud, tanpa mengetahuinya,
memajukan kepentingan masyarakat, dan memberikan sarana bagi perbanyakan spesies.
In later economic theory, the effect of such spending is known as ‘the multiplier effect’
whereby investment in buildings and manufactured goods stimulates the activity of the whole
economy by increasing employment and the effi cient use of resources. Thus, Smith’s ethics
is closely linked with the economic theory which he developed in his later Wealth of Nations
book (1776) wherein the ‘invisible hand’ also appears:
as every individual . . . . neither intends to promote the public interest, nor knows how much
he is promoting it. By preferring the support of domestic to that of foreign industry, he
intends only his own security; and by directing that industry in such as manner as its produce
may be of the greatest value, he intends only his own gain, and he is in this, as in many other
cases, led by an invisible hand to promote an end which was no part of his intention. By
pursuing his own interest he frequently promotes that of the society more effectually than
when he really intends to promote it.
(Dalam teori ekonomi kemudian, pengaruh pengeluaran tersebut dikenal sebagai 'efek
pengali' dimana investasi dalam bangunan dan barang-barang manufaktur merangsang
aktivitas ekonomi secara keseluruhan dengan meningkatkan lapangan kerja dan penggunaan
sumber daya secara efisien. Dengan demikian, etika Smith terkait erat dengan teori ekonomi
yang ia kembangkan dalam bukunya Wealth of Nations book (1776) di mana 'tangan tak
terlihat' juga muncul:
sebagai setiap individu. . . . tidak bermaksud untuk mempromosikan kepentingan publik, atau
tahu berapa banyak dia mempromosikannya. Dengan lebih memilih dukungan domestik
untuk industri asing, ia hanya menginginkan keamanannya sendiri; dan dengan
mengarahkan industri itu dalam cara seperti hasil produknya mungkin merupakan nilai
terbesar, ia hanya menginginkan keuntungannya sendiri, dan ia ada dalam hal ini, seperti
dalam banyak kasus lain, yang dipimpin oleh tangan tak terlihat untuk mempromosikan suatu
akhir yang tidak ada bagian dari niatnya. Dengan mengejar kepentingannya sendiri, dia
sering mempromosikan bahwa masyarakat lebih efektif daripada ketika dia benar-benar
bermaksud untuk mempromosikannya.)

Previously, land and agriculture were thought to be the chief sources of a country’s wealth,
but Smith’s book proved beyond doubt that its sources lie in industry, trade and commerce.
He begins by showing the importance of specialisation or the division of labour, illustrated by
the famous pin factory. Whereas one man by himself may make 1–20 pins a day, a factory
with 10 skilled employees performing 18 distinct tasks could produce at least 48,000 pins per
day. He shows how the factors of production: capital, labour and land make industry work.
But it is wrong to categorise Smith as a mere capitalist thinker. He put forward the labour
theory of value which emphasised the value of the worker’s contribution to an organisation’s
success. This theory was later used by Marx in his book on Capital. Smith also argued in
favour of high wages:
The liberal reward of labour, as it encourages the propagation, so it increases the industry of
the common people. The wages of labour are the encouragement of industry, which, like
every other human quality, improves in proportion to the encouragement it receives.

Sebelumnya, lahan dan pertanian dianggap sebagai sumber utama kekayaan suatu negara,
tetapi buku Smith membuktikan tanpa keraguan bahwa sumbernya terletak pada industri,
perdagangan, dan perdagangan. Dia mulai dengan menunjukkan pentingnya spesialisasi atau
pembagian kerja, diilustrasikan oleh pabrik pin yang terkenal. Sedangkan satu orang sendiri
dapat membuat 1–20 pin sehari, sebuah pabrik dengan 10 karyawan terampil yang melakukan
18 tugas yang berbeda dapat menghasilkan setidaknya 48.000 pin per hari. Dia menunjukkan
bagaimana faktor-faktor produksi: modal, tenaga kerja dan lahan membuat industri bekerja.
Tetapi salah jika mengkategorikan Smith sebagai pemikir kapitalis belaka. Dia
mengedepankan teori nilai kerja yang menekankan nilai kontribusi pekerja terhadap
kesuksesan organisasi. Teori ini kemudian digunakan oleh Marx dalam bukunya Das Capital.
Smith juga berpendapat mendukung upah tinggi:
Imbalan tenaga kerja liberal, karena mendorong propagasi, sehingga meningkatkan industri
rakyat jelata. Upah tenaga kerja adalah dorongan industri, yang, seperti setiap kualitas
manusia lainnya, meningkat sebanding dengan dorongan yang diterimanya.

He also draws attention to the importance of cost-cutting economies not only in increasing a
company’s efficiency and profi tability but also in reducing the drudgery of working
conditions:
In the fi rst steam-engines, a boy was constantly employed to open and shut alternately the
communication between the boiler and the cylinder, according as the piston either ascended
or descended. One of those boys, who loved to play with his companions, observed that, by
tying a string from the handle of the valve which opened this communication to another part
of the machine, the valve would open and shut without his assistance, and leave him at liberty
to divert himself with his play-fellows. One of the greatest improvements that has been made
upon this machine, since it was fi rst invented, was in this manner the discovery of a boy who
wanted to save his own labour.

Dia juga menarik perhatian pada pentingnya ekonomi pemotongan biaya tidak hanya dalam
meningkatkan efisiensi dan profitabilitas perusahaan tetapi juga dalam mengurangi kejenuhan
kondisi kerja:
Dalam mesin uap pertama, seorang anak laki-laki terus-menerus digunakan untuk membuka
dan menutup secara bergantian komunikasi antara boiler dan silinder, sesuai dengan apakah
piston naik atau turun. Salah satu anak laki-laki, yang suka bermain dengan teman-
temannya, mengamati bahwa, dengan mengikat tali dari pegangan katup yang membuka
komunikasi ini ke bagian lain dari mesin, katup akan terbuka dan menutup tanpa
bantuannya, dan meninggalkannya bebas untuk mengalihkan dirinya dengan teman-
temannya. Salah satu perbaikan terbesar yang telah dilakukan pada mesin ini, sejak pertama
kali ditemukan, adalah dengan cara ini menemukan seorang anak lelaki yang ingin
menyelamatkan kerjanya sendiri.

In short, Smith laid foundations for the science of economics, sound business practices and a
political agenda, all of which brought about the Industrial Revolution without which the
comforts of modern life would have been impossible. Undoubtedly, the careless application
of his ideas created exploitation and bad working conditions. Also, his overemphasis on self-
interest led to extreme individualism, the consequences of which are all too evident today.
But the extremes to which philosopher’s ideas are taken, are to be corrected by succeeding
generations and not simply blamed on philosophers who are only doing their best with the
ideas available to them.

Singkatnya, Smith meletakkan dasar bagi ilmu ekonomi, praktik bisnis yang sehat dan agenda
politik, yang semuanya membawa pada Revolusi Industri yang tanpanya kenyamanan
kehidupan modern tidak mungkin terjadi. Harus diakui pula bahwa penerapan ide-idenya
yang ceroboh menciptakan eksploitasi dan kondisi kerja yang buruk. Juga, penekanannya
pada kepentingan diri sendiri menyebabkan individualisme ekstrim, konsekuensi yang
semuanya terlalu jelas hari ini. Tetapi pemikiran ekstrem yang dibawa oleh para filsuf, harus
dikoreksi oleh generasi-generasi berikutnya dan tidak hanya disalahkan pada para filsuf yang
hanya melakukan yang terbaik dengan ide-ide yang tersedia bagi mereka.

Thomas Reid (1710–1796)


It would be agreeable to fl y to the moon, and to make a visit to Jupiter and Saturn; but when
I know that Nature has bound me down by the law of gravitation to this planet which I
inhabit, I rest contented, and quietly suffer myself to be carried along in its orbit.
(Akan menyenangkan terbang ke bulan, dan melakukan kunjungan ke Jupiter dan Saturnus;
tetapi ketika saya tahu bahwa Alam telah mengikat saya oleh hukum gravitasi ke planet yang
saya tinggali ini, saya beristirahat puas, dan diam-diam menderita karena diri saya terbawa
dalam orbitnya.)

Reid began as a minister of the Kirk and eventually took Adam Smith’s post at Glasgow
University in1764. He was the founder of the Scottish common sense movement which
answered Hume’s scepticism by working out what ‘common sense’ tells us by self-evidence
and necessary reasoning. However, he never provided an all-inclusive system of thought and
the failure of his attack on Hume meant that his philosophy was eclipsed by that of Kant who
did produce a comprehensive system of thought. However, in many respects, Reid’s more
modest approach provided a better way forward than Kant’s which led to an idealistic dead-
end.
(Reid pernah menjadi menteri Kirk dan akhirnya mengambil posisi Adam Smith di
Universitas Glasgow pada 1764. Dia adalah pendiri gerakan akal sehat Skotlandia yang
menjawab skeptisisme Hume dengan mencari tahu apa 'akal sehat' memberitahu kita dengan
bukti diri dan penalaran yang diperlukan. Namun, ia tidak pernah menyediakan sistem
pemikiran menyeluruh dan kegagalan serangannya pada Hume berarti bahwa filsafatnya
dikalahkan oleh Kant yang menghasilkan sistem pemikiran yang komprehensif. Namun,
dalam banyak hal, pendekatan Reid yang lebih sederhana memberikan jalan yang lebih baik
daripada Kant's yang mengarah pada jalan buntu idealis.)

Reid’s first book, An Inquiry into the Mind on the Principles of Common Sense (1764), deals
with common sense in the original Aristotelian sense of communis sensus – the five senses of
seeing, hearing, smelling, touching and tasting. Reid’s answer to scepticism about our senses
is to show how the five senses actually work in precise detail, thus laying the foundations for
modern empirical psychology. These senses form the basis of our common sense view of the
world which also gives rise to fundamental principles determined by our nature:
If there are certain principles, as I think there are, which the constitution of our nature leads
us to believe, and which we are under necessity to take for granted in the common concerns
of life, without being able to give a reason for them – these are what we call the principles of
common sense; and what is manifestly contrary to them, is what we call absurd.

Buku pertama Reid, An Enquiry into the Mind on the Principles of Common Sense (1764),
berurusan dengan akal sehat dalam pengertian citarasa komunis (communis yang dimaksud
adalah masyarakat) yang berasal dari gagasan Aristoteles—lima indera untuk melihat,
mendengar, mencium, menyentuh dan merasakan. Jawaban Reid terhadap skeptisisme
tentang indra kita adalah untuk menunjukkan bagaimana kelima indra bekerja dengan sangat
rinci, sehingga meletakkan dasar bagi psikologi empiris modern. Indera-indera ini
membentuk dasar pandangan akal sehat kita tentang dunia yang juga melahirkan prinsip-
prinsip dasar yang ditentukan oleh sifat kita:

Jika ada prinsip-prinsip tertentu, seperti yang saya kira ada, yang mana konstitusi dari sifat
kita membuat kita percaya, dan yang mana kita berada di bawah kebutuhan untuk menerima
begitu saja dalam masalah-masalah kehidupan bersama, tanpa bisa memberikan
pertimbangan rasionaal atas masalah-masalah itu—ini kita sebut prinsip akal sehat; dan apa
yang secara nyata bertentangan dengan itu, kita sebut sebagai absurd.

But it is arguable that these common sense principles take too much for granted and kill off
metaphysical speculation in which we should take nothing for granted. In his later book,
Essays on the Intellectual Powers of Man (1785), Reid gives us a long list of principles, the fi
rst of which is as follows: ‘I shall take for granted, that I THINK, that I REMEMBER, that I
REASON, and, in general, that I really perform all those operations of mind of which I am
conscious.’ Reid argues that this principle is ‘self-evident’ and that therefore it is ‘absurd’
and against common sense to deny it. But this invites us to give up thinking altogether if we
are to be as commonsensical as that. To this day, it is a puzzle just what consciousness is. We
get nowhere if we take it for granted that consciousness consists only in being aware of our
thinking, reasoning, remembering and performing operations of the mind. A lot more is
involved in doing these things, but just what, is the big question. However, the common sense
view is useful and persuasive in drawing attention to the immediacy of our experiences which
do not involve reasoning about things. Our habits allow us to react automatically to everyday
situations and this aspect of Reid’s philosophy was later taken up by the pragmatist
philosophers.

(Tetapi dapat diperdebatkan bahwa prinsip-prinsip akal sehat ini terlalu banyak diterima
begitu saja dan mematikan spekulasi metafisis di mana kita seharusnya tidak menerima
begitu saja. Dalam bukunya yang kemudian, Essays on the Intellectual Powers of Man
(1785), Reid memberi kita daftar panjang prinsip-prinsip, yang pertama adalah sebagai
berikut: 'Saya akan menerima begitu saja, bahwa saya BERPIKIR, bahwa saya INGAT,
bahwa saya MEMPERTIMBANGKAN, dan, secara umum, bahwa saya benar-benar
melakukan semua operasi pikiran yang saya sadari. 'Reid berpendapat bahwa prinsip ini'
terbukti dengan sendirinya (jelas dengan sendirinya) 'dan karena itu' tidak masuk akal 'dan
bertentangan dengan akal sehat jika menolaknya. Tetapi ini mengundang kita untuk
menyerah berpikir sama sekali jika kita harus bersikap sewajar seperti itu. Sampai hari ini, itu
adalah teka-teki hanya tentang kesadaran. Kita tidak mendapatkan apa-apa jika kita menerima
begitu saja bahwa kesadaran hanya terdiri dari kesadaran akan pemikiran kita, penalaran,
mengingat, dan menerapkan operasi pikiran. Lebih banyak yang terlibat dalam melakukan
hal-hal ini, tetapi ini tetap menjadi pertanyaan besar. Kendati demikian, pandangan akal sehat
berguna dan tetap menarik perhatian kita pada kedekatan pengalaman kita yang tidak
melibatkan penalaran tentang berbagai hal. Kebiasaan kita memungkinkan kita untuk
bereaksi secara otomatis terhadap situasi sehari-hari dan aspek filosofi Reid ini kemudian
diambil oleh para filsuf pragmatis.)

Perhaps Reid’s philosophy is strongest in its comprehensive view of perception which


attempts to incorporate the empiricist and rationalist views of perception:
If we attend to that act of our mind which we call the perception of an external object of
sense, we shall fi nd in it these three things:- First, Some conception or notion of the object
perceived; Secondly, A strong and irresistible conviction and belief of its present existence;
and, Thirdly, That this conviction and belief are immediate, and not the effect of reasoning.

Barangkali filosofi Reid paling kuat ialah pandangan komprehensifnya tentang persepsi yang
mencoba menggabungkan pandangan-pandangan empiris dan rasionalis tentang persepsi:
Jika kita memperhatikan tindakan pikiran kita yang kita sebut persepsi objek eksternal
indera, kita akan menemukan ketiga hal ini: - Pertama, beberapa konsepsi atau gagasan
tentang objek yang dirasakan; Kedua, keyakinan dan kepercayaan yang kuat dan tak
tertahankan dari keberadaannya saat ini; dan Ketiga, bahwa keyakinan dan kepercayaan ini
bersifat segera, dan bukan efek penalaran

Here Reid includes acts of conception in the perceptual process, unlike the empiricists who
thought of perception as being an immediate experience of percepts, images and thoughts.
Reid was the first to confine the word ‘perception’ to the organs of sense. Previously,
philosophers such as Locke and Hume referred to ‘perceiving’ thoughts and images. Reid
also clarified the distinction between sensation and perception in a definitive way that is still
with us today: ‘I feel a pain; I see a tree: the first denoteth a sensation, the last a perception.’
Though the same grammar is used, the objects referred to are quite different. A pain doesn’t
exist apart from the feeling which accompanies it. It has no object and means nothing more
than ‘being pained’. But perception is quite different:
Perception, as we here understand it, hath always an object distinct from the act by which it
is perceived; an object which may exist whether it be perceived or not. I perceive a tree that
grows before my window; there is here an object which is perceived, and an act of the mind
by which it is perceived; and these two are not only distinguishable, but they are extremely
unlike in their natures. The object is made up of a trunk, branches, and leaves; but the act of
the mind, by which it is perceived, hath neither trunk, branches, nor leaves. I am conscious of
this act of mind, and I can refl ect upon it; but it is too simple to admit of an analysis, and I
cannot fi nd proper words to describe it.
Perception can therefore be seen as an interaction between our mental acts and the input from
our sensory organs. Our perception of objects is constantly reinforced and corrected by this
interaction. This interactive view of perception is better developed than Kant’s rationalist
account of perception that undervalues its role, so that Reid is superior to Kant at least in that
respect.

(Di sini Reid memasukkan tindakan konsepsi dalam proses perseptual, tidak seperti kaum
empirisis yang menganggap persepsi sebagai pengalaman langsung dari persepsi, gambar dan
pikiran. Reid adalah orang pertama yang menegaskan kata 'persepsi' ke organ-organ indra.
Sebelumnya, para filsuf seperti Locke dan Hume merujuk pada ‘memahami” pikiran dan
gambar. Reid juga mengklarifikasi perbedaan antara sensasi dan persepsi dengan cara
definitif yang masih kita pakai hingga saat ini: 'Saya merasakan sakit; Saya melihat sebuah
pohon: yang pertama menunjukkan suatu sensasi, yang terakhir adalah persepsi. 'Meskipun
tata bahasa yang sama digunakan, objek-objek yang dirujuk sangat berbeda. Rasa sakit tidak
pernah eksis terlepas dari perasaan yang menyertainya. Rasa sakit tidak memiliki objek dan
tidak berarti apa-apa selain 'kesakitan'. Tapi persepsinya sangat berbeda:
Persepsi, seperti yang kita pahami di sini, selalu menjadi objek yang berbeda dari tindakan
yang dirasakan; sebuah objek eksis entahkah objek itu dirasakan atau tidak. Saya melihat
pohon yang tumbuh di depan jendela saya; ada di sini objek yang dirasakan, dan tindakan
pikiran yang dengannya itu dirasakan; dan keduanya tidak hanya dapat dibedakan, tetapi
mereka sangat berbeda dalam kodratnya. Objek terdiri dari batang, dahan, dan daun; tetapi
tindakan pikiran, yang dirasakannya, tidak memiliki batang, dahan, atau daun. Saya sadar
akan tindakan pikiran ini, dan saya dapat merenungkannya; tetapi terlalu sederhana untuk
mengakui suatu analisis, dan saya tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk
menggambarkannya.
Persepsi karenanya dapat dilihat sebagai interaksi antara tindakan mental kita dan input dari
organ indera kita. Persepsi kita tentang objek terus diperkuat dan dikoreksi oleh interaksi ini.
Pandangan interaktif tentang persepsi ini lebih baik dikembangkan daripada pandangan
rasionalis Kant tentang persepsi yang meremehkan perannya, sehingga Reid lebih unggul
daripada Kant setidaknya dalam hal itu.)

Immanuel Kant (1724–1804)


Even today, Kant is regarded by many people as being the greatest philosopher of all time.
Certainly he is one of the most influential thinkers of all time. Kant’s series of ‘critiques’ laid
the foundations for the critical kind of society in which we now live. His fi rst ‘critique’ is the
Critique of Pure Reason (1787) which counters Hume’s scepticism about our reasoning
powers by working out the limits of these powers. Kant reacted to that scepticism by saying
that it was ‘scandal’ to philosophy that we cannot account for the existence of external
objects. He believed that his ‘architectonic’ philosophy gave the ultimate answer to such
doubts. It involved establishing the conditions which make our experience possible. He
argued that pure reason by itself leads us astray by the antinomies and paradoxes to which it
gives rise. The Critique is divided into two parts: the Analytic in which he lays down the
basis of our reasoning powers and the Dialectic in which he shows the limits to pure reason.

Tentu saja Kant adalah salah satu pemikir yang paling berpengaruh sepanjang masa.
Serangkaian "kritik" Kant meletakkan fondasi untuk jenis kritis masyarakat saat ini. "Kritik"
pertamanya adalah Critique of Pure Reason (1787) yang menangkis skeptisisme Hume
tentang kekuatan penalaran kita dengan bekerja di luar batas kekuatan ini. Kant bereaksi
terhadap skeptisisme itu dengan mengatakan bahwa skeptisisme itu adalah 'skandal' terhadap
filsafat di mana kita tidak dapat memperhitungkan keberadaan benda-benda di luar diri kita.
Dia percaya bahwa filosofi ‘architectonic'-nya memberikan jawaban akhir atas keraguan
tersebut. Filsafat Kant ini menetapkan kondisi yang memungkinkan pengalaman kita. Dia
berpendapat bahwa pertimbangan rasional yang murni (bahasa teknisnya, KRITIK AKAL
BUDI MURNI) dengan sendirinya menuntun kita tersesat oleh antinomi dan paradoks yang
ditimbulkannya. The Critique dibagi menjadi dua bagian: Analitik di mana ia meletakkan
dasar kekuatan penalaran kita dan Dialektika di mana ia menunjukkan batas-batas untuk
alasan murni.

The analytic/synthetic distinction


Kant begins by making an important distinction between the analytic and synthetic. An
analytic proposition is true by definition – all bachelors are unmarried, whereas a synthetic
proposition is derived from outwith the defi nition – all bachelors are looking for a good time.
A big question for Kant is whether or not there can be synthetic a priori propositions. In other
words, how can I get to know the world only by thinking about it, or how is rocket science so
precise and reliable? Empiricism implies that only analytic a priori propositions can give us
access to the world. But Kant thought that mathematics gives us synthetic and not analytic
truths. Twentieth-century logicians such as Bertrand Russell disagreed and argued that
mathematics is analytical and therefore is founded on logic. This problem is still puzzling
philosophers today.

(Kant mulai dengan membuat pembedaan penting antara analitik dan sintetik. Sebuah
proposisi analitik benar karena definisinya - semua bujangan tidak menikah, sedangkan
proposisi sintetik berasal dari luar dengan definisi - semua bujangan mencari waktu yang
baik. Pertanyaan besar untuk Kant adalah apakah ada proposisi apriori sintetis atau tidak.
Dengan kata lain, bagaimana saya bisa mengenal dunia hanya dengan memikirkannya, atau
bagaimana ilmu roket begitu tepat dan dapat diandalkan? Empirisme menyiratkan bahwa
hanya proposisi analitik a priori yang dapat memberi kita akses ke dunia. Tetapi Kant
berpikir bahwa matematika memberi kita kebenaran sintetis dan bukan analitik. Ahli logika
abad ke duapuluh seperti Bertrand Russell tidak setuju dan berpendapat bahwa matematika
itu analitis dan karena itu didasarkan pada logika. Masalah ini masih membingungkan para
filsuf saat ini.)
Other unresolved problems raised by Kant in the Critique of Pure Reason include the
paralogisms and antinomies of pure reason which show us the limits of our reasoning powers
since they lead to absurdities. The paralogisms are fallacious syllogisms which concern such
matters as whether the soul or thinking ‘I’ is a substance or identifi able thing. The
antinomies are irresolvable illusions of which much can be said for both sides and no ultimate
conclusions are possible. These include whether or not the world has or has not a beginning
in time, whether or not substances are made up of simple parts, or whether or not everything
is caused and there is no possibility of freedom.

(Masalah-masalah lain yang belum terselesaikan yang diangkat oleh Kant dalam Critique of
Pure Reason termasuk paralogisme dan antinomi akal budi murni yang menunjukkan kepada
kita batas-batas kekuatan penalaran kita karena mereka mengarah pada absurditas.
Paralogisme adalah silogisme yang menyesatkan yang menyangkut hal-hal seperti apakah
jiwa atau pemikiran 'Aku' adalah substansi atau hal yang dapat diidentifikasi. Antinomi
adalah ilusi-ilusi yang tidak dapat dilepaskan dari mana banyak hal dapat dikatakan untuk
kedua pihak dan tidak ada kesimpulan akhir yang mungkin, termasuk entahkah dunia
memiliki atau tidak memiliki permulaan waktu, apakah zat tersusun dari bagian-bagian yang
sederhana, atau apakah semuanya disebabkan dan tidak ada kemungkinan kebebasan)

It is necessary to understand the technical terms that Kant uses. When these are understood
then what he is saying is quite intelligible:
In the analytical part of the Transcendental Logic we have shown that pure categories, and
among them that of substance, have in themselves no objective meaning, save in so far as
they rest upon an intuition [perception], and are applied to the manifold of this intuition, as
functions of synthetic unity.
Kant is saying here that our abstract concepts, such as substance, have no meaning in
practice unless they are linked to objects of perception which are being perceived as a whole
– a synthetic unity. In other words, ‘Thoughts without content are empty, intuitions
[perceptions] without concepts are blind.’

Penting untuk memahami istilah-istilah teknis yang digunakan Kant. Ketika ini
dipahami, maka apa yang dikatakannya cukup masuk akal:
Dalam bagian analitis Logika Transendental, kita telah menunjukkan bahwa kategori-
kategori akal budi murni, dan di antara mereka, salah satunya yakni substansi, tidak memiliki
makna objektif dalam dirinya, kecuali sejauh mereka bersandar pada intuisi [persepsi], dan
diterapkan pada pellbagai bentuk intuisi sebagai fungsi kesatuan sintetis.
Kant mengatakan di sini bahwa konsep abstrak kita, seperti substansi, tidak memiliki
makna dalam praktik kecuali mereka terkait dengan objek persepsi yang dianggap sebagai
keseluruhan - kesatuan sintetis. Dengan kata lain, 'Pemikiran tanpa konten adalah kosong dan
intuisi [persepsi] tanpa konsep itu buta. "

Transcendental idealism
Kant is a ‘rationalist’ in that he thought that the conditions for empirical experience
are not discovered in experience but are reasoned out by us. We impose these conditions on
our experience of reality. He called his idealism ‘transcendental’ because the conditions he
was looking for transcend any experience. The transcending ego constructs knowledge by
imposing universal concepts called categories on sense impressions. Objects are given to us
within the intuitions of space and time, and they are conditioned by the categories (or
‘concepts of the understanding’) such as unity, plurality and causality. The resulting objects
transcend experience in the way that trees are more than just a sum of their leaves, branches
and trunk.
(Kant dikenal sebagai seorang "rasionalis" karena ia berpikir bahwa kondisi untuk
pengalaman empiris tidak ditemukan dalam pengalaman tetapi dipikirkan oleh kita. Kita
memaksakan kondisi ini pada pengalaman kami tentang realitas. Dia menyebut idealismenya
'transendental' persis karena kondisi (syarat-syarat) yang dia cari untuk melampaui
pengalaman apa pun. Ego transedental itu membangun pengetahuan dengan menerapkan
konsep universal yang disebut kategori pada kesan indera. Objek diberikan kepada kita dalam
intuisi ruang dan waktu, dan objek-objek itu dikondisikan oleh kategori (atau 'konsep
pemahaman') seperti persatuan, kemajemukan dan kausalitas. Objek yang dihasilkan
melampaui pengalaman dengan cara, pohon lebih dari sekadar jumlah daun, cabang dan
batang.)
Transcendental idealism contrasts with what Kant called the ‘sceptical idealism’ of
Descartes, who claimed that the existence of matter can be doubted, and with the ‘dogmatic
idealism’35 of Berkeley, who denied the existence of matter altogether. Kant believed that
ideas, the raw matter of knowledge, must refer to realities existing independently of the
human mind. But these realities are things-in-themselves (noumena) which must remain
forever unknown. Human knowledge cannot reach them because knowledge can only arise
by synthesising the ideas of sense into the objects that we perceive or think about it
(phenomena). Transcendentalism idealism means that we don’t have direct contact with
‘things in themselves’ but only with representations of things. The thing in itself thus stands
for an unrealisable ideal of context-free knowledge. This view ensured that his successors
became idealists as they all strove to make more or less of the thing of itself than Kant
dictated.
Idealisme transendental berbeda dengan apa yang disebut Kant sebagai 'idealisme
skeptis' Descartes, yang mengklaim bahwa keberadaan materi dapat diragukan, dan dengan
'idealisme dogmatis' 35 (saya yakin ini catatan kaki, Kaka) dari Berkeley, yang menolak
keberadaan materi sama sekali. Kant percaya bahwa ide-ide, pengetahuan mentah, harus
mengacu pada realitas yang ada secara independen dari pikiran manusia. Tetapi kenyataan-
kenyataan ini (realitas, maksudnya) adalah hal-dalam-diri (noumena, maksudnya benda
dalam dirinya. Dalam filsafatnya, Kaka ganteng, Immanuel Kant bedakan benda
berdasarkan dua bentuk. Pertama, benda dalam dirinya sendiri—apa yang tidak akan
pernah dapat kita ketahui—dan benda sebagai fenomena; yakni benda yang kita tahu
berdasarkan kategori-kategori pengetahuan yang ada dalam kepala kita) yang harus tetap
tidak diketahui selamanya. Pengetahuan manusia tidak dapat menjangkau mereka karena
pengetahuan hanya dapat muncul dengan mensintesis gagasan-gagasan indra ke dalam objek-
objek yang kita rasakan atau pikirkan tentangnya (fenomena). Idealisme transendentalisme
berarti bahwa kita tidak memiliki kontak langsung dengan benda dalam dirinya sendiri' tetapi
hanya dengan representasi benda-benda itu. Hal itu sendiri dengan demikian berarti ideal
yang bebas dari konteks pengetahuan bebas. Pandangan ini memastikan bahwa para
penerusnya menjadi idealis karena mereka semua berusaha untuk membuat lebih atau kurang
dari hal itu sendiri daripada yang didiktekan Kant.

Against the run of his own arguments, Kant claimed to be both a transcendental
idealist and an empirical realist. Both involve objectifying the world to make sense of it by
the use of the intuitions of time and space and the concepts of the understanding to interact
with the world. But the first involves a subjective point of view and the second an objective
point of view. Instead of acknowledging the inevitable dualistic interaction implied by this
distinction, Kant’s idealism tended to predominate over his empiricist pretensions:
The transcendental idealist, on the other hand, may be an empirical realist or, as he is called,
a dualist; that is, he may admit the existence of matter without going outside his moral self-
consciousness, or assuming anything more than the certainty of his representations, that is,
the cogito, ergo sum. For he considers this matter and even its inner possibility to be
appearance merely; and appearance, if separated from our sensibility, is nothing . . . . From
the start, we have declared ourselves in favour of this transcendental idealism.
(Terhadap argumennya sendiri, Kant mengaku diri sebagai seorang idealis transendental dan
realis empiris. Keduanya melibatkan tindakan mengobjetivikasi dunia untuk memahaminya
dengan menggunakan intuisi atas waktu dan ruang serta konsep-konsep pemahaman untuk
berinteraksi dengan dunia. Tetapi yang pertama melibatkan sudut pandang subjektif dan yang
kedua adalah sudut pandang obyektif. Alih-alih mengakui interaksi dualistik yang tak
terelakkan yang ditunjukkan oleh perbedaan ini, idealisme Kant cenderung mendominasi
pretik empirisnya:
Idealis transendental, di sisi lain, mungkin seorang realis empiris atau, sebagaimana ia
disebut, seorang dualis; yaitu, ia mungkin mengakui keberadaan materi tanpa pergi ke luar
kesadaran-diri moralnya, atau mengasumsikan sesuatu yang lebih dari kepastian
representasi-nya, yaitu, cogito, ergo sum. Karena dia menganggap hal ini dan bahkan
kemungkinan batinnya hanya sebagai penampilan; dan penampilan, jika terpisah dari
kepekaan kita, tidak ada apa-apanya. . . . Sejak awal, kami telah menyatakan diri kami
mendukung idealisme transendental ini.)

Here Kant explicitly acknowledges the dualism at the heart of his philosophy but he
fails to develop it because he favours one side, namely, transcendental idealism. If he were a
consistent dualist he would say that we have direct access to things in themselves because of
how we interact with our sensations and with the objects of perception, as was suggested by
Reid. Because he did not specify what things in themselves really are, the idealist
philosophers subsequently developed their own views in no uncertain terms, as we shall see.
(Di sini Kant secara eksplisit mengakui dualisme di jantung filsafatnya tetapi ia gagal
mengembangkannya karena ia lebih menyukai satu sisi, yaitu idealisme transendental. Jika
dia seorang dualis yang konsisten, dia akan mengatakan bahwa kita memiliki akses langsung
ke benda dalam dirinya sendiri karena bagaimana kita berinteraksi dengan sensasi kita dan
dengan objek persepsi, seperti yang disarankan oleh Reid. Karena dia tidak menentukan apa
yang sebenarnya ada dalam diri mereka, para filsuf idealis kemudian mengembangkan
pandangan mereka sendiri tanpa keraguan, seperti yang akan kita lihat.)

The categorical imperative


Perhaps the most readable of Kant’s books is the Groundwork of the Metaphysics of Morals
(1785) which states his ethical views more straightforwardly than in his Critique of Practical
Reason (1788). He regards us as being governed by a moral law which we freely use to
regulate and make sense of our behaviour. This law is based on the categorical imperative
which he distinguished from the hypothetical imperative which is more ‘iffy’:
All imperatives command either hypothetically or categorically. Hypothetical imperatives
declare a possible action to be practically necessary as a means to the attainment of
something else that one wills (or that one may will). A categorical imperative would be one
which represented an action as objectively necessary in itself apart from its relation to a
further end.
When I conceive a hypothetical imperative in general, I do not know beforehand what it will
contain – until its condition is given. But if I conceive a categorical imperative, I know at
once what it contains. For since besides the law this imperative contains only the necessity
that our maxim should conform to this law, while the law, as we have seen, contains no
condition to limit it, there remains nothing over to which the maxim has to conform except
the universality of a law as such; and it is this conformity alone that the imperative properly
asserts to be necessary.
There is therefore only a single categorical imperative and it is this: ‘Act only on that maxim
through which your will can at the same time will that it should become a universal law.’

(Mungkin buku-buku Kant yang paling dapat dibaca dari adalah Groundwork of the
Metaphysics of Morals (1785); buku tentang pandangan etikanya, yang dibahas secara lebih
lugas daripada dalam Critique of Practical Reason (1788). Dia menganggap kita diatur oleh
hukum moral yang kita gunakan secara bebas untuk mengatur dan memahami perilaku kita.
Hukum ini didasarkan pada imperatif kategoris yang ia bedakan dari imperatif hipotetis yang
lebih 'rapuh':
Semua perintah bersifat hipotetis atau kategoris. Hipotesis imperatif menyatakan
kemungkinan tindakan praktis diperlukan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang lain
yang seseorang kehendak (atau yang mungkin akan). Sebuah imperatif kategoris akan
menjadi salah satu yang mewakili tindakan yang secara obyektif diperlukan dalam dirinya
sendiri terlepas dari hubungannya dengan tujuan yang lebih jauh.
Ketika saya membayangkan suatu keharusan hipotetis secara umum, saya tidak tahu
sebelumnya apa yang akan dikandungnya - sampai kondisinya diberikan. Tetapi jika saya
membayangkan suatu imperatif kategoris, saya langsung tahu apa yang dikandungnya.
Karena selain hukum itu, imperatif ini hanya berisi kebutuhan bahwa maksim kita harus
sesuai dengan hukum ini, sementara hukum, seperti yang telah kita lihat, tidak mengandung
syarat untuk membatasinya, tidak ada lagi yang harus dipaksakan oleh maksim kecuali
keuniversalan. sebuah undang-undang seperti itu; dan hanya kesesuaian ini saja yang perlu
ditegaskan oleh imperatif.
Oleh karena itu hanya ada satu imperatif kategoris dan ini adalah: 'Bertindaklah hanya pada
pepatah yang melaluinya kemauan Anda dapat pada saat yang bersamaan akan menjadi
hukum universal. ")

The categorical imperative says that we must do only what we believe that everyone else
should do in the same circumstances. It is a formal expression of the Golden Rule: ‘Do to
others what you would have them do to you.’ Kant linked it with the need to do one’s duty in
all circumstances. This had a profound effect on the Victorian mentality which was often
obsessed with doing its duty for duty’s sake and not for any other reason. The notion of a
moral law is incompatible with our current toleration of differences, which cannot be
universally applied. If someone regards other people’s sexual behaviour as being morally
reprehensible then they should regard their view as a universal law and make vociferous
objections to that form of behaviour. But we are not allowed to voice such objections
nowadays. The universal law is one of universal toleration which itself is contradictory and
unenforceable. It means that being intolerant of our behaviour is intolerable wheen people
object to our intolerance of objectionable behaviour.

(Imperatif kategoris mengatakan bahwa kita harus melakukan hanya apa yang kita yakini
yang seharusnya dilakukan orang lain dalam situasi yang sama. Ini adalah ekspresi formal
dari GOLDEN RULE (Aturan Emas): ‘Lakukan pada orang lain apa yang Anda ingin mereka
lakukan pada Anda.’ Kant menghubungkannya dengan kebutuhan untuk melakukan tugas
seseorang dalam semua keadaan. Ini memiliki efek mendalam pada mentalitas Victorian yang
sering terobsesi dengan melakukan tugasnya demi tugas dan bukan karena alasan lain.
Gagasan tentang hukum moral tidak sesuai dengan toleransi kami saat ini terhadap
perbedaan, yang tidak dapat diterapkan secara universal. Jika seseorang menganggap perilaku
seksual orang lain sebagai sesuatu yang tercela secara moral maka mereka harus menganggap
pandangan mereka sebagai hukum universal dan membuat penolakan keras terhadap bentuk
perilaku tersebut. Tetapi kita tidak diizinkan untuk menyuarakan keberatan seperti sekarang
ini. Hukum universal adalah salah satu toleransi universal yang sendiri bertentangan dan
tidak dapat dilaksanakan. Ini berarti bahwa tidak toleran terhadap perilaku kita tidak dapat
ditolerir ketika orang-orang keberatan dengan intoleransi kita terhadap perilaku yang tidak
pantas.)

THE FRENCH ENLIGHTENMENT


The French Enlightenment followed the Scottish and English Enlightenments but differed
from these in some important respects. Voltaire reputedly wrote: ‘We look to Scotland for all
our ideas on civilisation.’ (Nous nous tournons vers l’Écosse pour trouver toutes nos idées
sur la civilisation.) Unfortunately, French Revolutionaries such as Robespierre paid more
attention to Rousseau than to Hume, Smith and Reid in implementing their revolution. Jean-
Jacques Rousseau (1712–1778) argued in The Social Contract (1762) that our freedom must
be ‘alienated’ to the community as a whole. This formula, namely, ‘Each of us puts his
person and all his power in common under the supreme direction of the general will’ (ch. VI,
para. 15) has been cheerfully used ever since by every tyrant and authoritarian regime to
subjugate people. It is regrettable that postmodern philosophers focus on this aspect of the
Enlightenment rather than on the achievements of the Enlightenment in general.

Pencerahan Perancis mengikuti Pencerahan Skotlandia dan Inggris tetapi berbeda dari ini
dalam beberapa hal penting. Voltaire konon menulis: "Kami belajar dari Skotlandia untuk
semua ide kami tentang peradaban." (Nous nous tournences vers l'Écosse pour trouver toute
nos idées sur la civilization.) Sayangnya, Revolusioner Prancis seperti Robespierre lebih
memperhatikan Rousseau daripada Hume, Smith dan Reid dalam melaksanakan revolusi
mereka. Jean-Jacques Rousseau (1712–1778) berpendapat dalam The Social Contract (1762)
bahwa kebebasan kita harus 'terasing' bagi masyarakat secara keseluruhan. Formula ini, yaitu,
'Kita masing-masing menempatkan orangnya dan semua kekuatannya yang sama di bawah
arahan tertinggi kehendak umum' (bab VI, paragraf 15) telah begitu banyak dimanfaatkan
sejak itu oleh setiap rezim tirani dan otoriter untuk menundukkan rakyat. Sangat disesalkan
bahwa para filsuf postmodern fokus pada aspek Pencerahan ini daripada pada pencapaian
Pencerahan secara umum.

Simon Blackburn puts it this way:


The West, it is sadly said, has lost confi dence in the Enlightenment. It is quite
common to see intellectuals state as a fact that the Enlightenment project has been
tried and failed. This is a lie. There never was one single Enlightenment project, and
of the Enlightenment projects that there were, many have succeeded beyond the
wildest hopes of their proponents. The Enlightenment provided the matrix I have
talked of, in which scientifi c enterprises could fl ourish. Now, our understanding of
the world is better because of physical science. Our understanding of ourselves is
better because of biological science. We live longer, and we feed ourselves better, and
‘we’ here includes not only people in fi rst world countries, but countless people in the
third world. We look after the environment better, and in time we will manage our
own numbers better. Outside the theocracies of the east more people have more
freedoms and enjoy more education, more opportunities and may even have more
rights than ever before. We owe this progress entirely to the culture forged, in the
west, by Bacon and Locke, Hume and Voltaire, Newton and Darwin. Humanism is
the belief that humanity need not be ashamed of itself, and these are its great
examples. They show us that we need not regard knowledge as impious, or ignorance
as desirable, and we need not see blind faith as anything other than blind.

(orang Barat, harus dikatakan dengan sedih, telah kehilangan keyakinan dalam
Pencerahan. Sangat lazim untuk melihat para intelektual menyatakan bahwa proyek
Pencerahan telah dicoba dan gagal. Ini bohong. Tidak pernah ada satu proyek
Pencerahan tunggal, dan dari berbagai proyek Pencerahan yang ada, banyak yang
berhasil melampaui harapan paling liar dari para pendukung mereka. Pencerahan
menyediakan matriks yang telah saya bicarakan, di mana perusahaan ilmiah bisa
berkembang cepat. Sekarang, pemahaman kita tentang dunia menjadi lebih baik
karena ilmu pengetahuan. Pemahaman kita tentang diri kita lebih baik karena ilmu
biologi. Kita hidup lebih lama, dan kita memberi makan diri kita lebih baik, dan 'kita'
di sini tidak hanya mencakup orang-orang di negara-negara dunia pertama, tetapi tak
terhitung orang di dunia ketiga. Kita menjaga lingkungan lebih baik, dan pada
waktunya kita akan mengelola milik kita sendiri dengan lebih baik. Di luar
theocracies of east (paham ketuhanan), lebih banyak orang yang hidup lebih bebas
dan menikmati lebih banyak pendidikan, lebih banyak kesempatan dan bahkan
mungkin memiliki lebih banyak hak daripada sebelumnya. Kita berutang kemajuan
ini sepenuhnya pada budaya yang ditempa, di barat, oleh Bacon dan Locke, Hume dan
Voltaire, Newton dan Darwin. Humanisme adalah keyakinan bahwa manusia tidak
perlu malu pada dirinya sendiri, dan ini adalah contohnya yang luar biasa. Mereka
menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak perlu menganggap pengetahuan sebagai
tidak senonoh, atau ketidaktahuan yang diinginkan, dan kita tidak perlu melihat
keyakinan buta sebagai sesuatu yang lain, selain buta.)

Das könnte Ihnen auch gefallen