Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Refraksi
Refraksi adalah suatu fenomena fisika berupa penyerapan sinar yang
melalui media transparan yang berbeda. Sebagai suatu contoh proses refraksi saat
sebuah pensil diletakkan di dalam gelas yang berisi air, maka akan tampak
gambaran pensil di udara tidak lurus dengan yang tampak pada air.
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata.
Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya
bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media
penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut
sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya
pada keadaan mata yang tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh. 4
Analisis statistik distribusi anomali/ kelainan refraksi yang terjadi di
masyarakat dalam populasi penelitian menunjukkan adanya korelasi yang
signifikan antara jari-jari kurvatura kornea, kedalaman bilik mata depan, kekuatan
refraksi dari lensa, panjang sumbu bola mata dengan anomali/ kelainan refraksi.
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Punctum
Proksimum merupakan titik terdekat di mana seseorang masih dapat melihat
dengan jelas. Punctum Remotum adalah titik terjauh di mana seseorang masih
dapat melihat dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang
berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat. 5
4
dari sumber cahaya yang terletak lebih dari 6 meter (20 kaki) dianggap sejajar saat
mencapai mata. 2
Untuk kekuatan refraktif mata tertentu, sumber cahaya dekat memerlukan
jarak yang lebih besar di belakang lensa agar dapat memfokuskan daripada sumber cahaya
jauh, karena berkas dari sumber cahaya dekat masih berdivergensi sewaktu
mencapai mata. Untuk mata tertentu, jarak antara lensa dan retina selalu sama.
Untuk membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina (dalam
jarak yang sama), harus dipergunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kekuatan
lensa dapat disesuaikan melalui proses akomodasi. 3
2.3.3 Akomodasi
Pada keadaan normal cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina,
demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi
benda dapat difokuskan pada retina atau makula lutea. Dengan berakomodasi,
maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada retina. Akomodasi
adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot
siliar. Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa bertambah kuat. Kekuatan
akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin
kuat mata harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh
refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan
pada waktu konvergensi atau melihat dekat. 5
Dikenal beberapa teori akomodasi, seperti:
Teori akomodasi Hemholtz: di mana zonula Zinn kendor akibat kontraksi otot
siliar sirkuler, mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung dan diameter
menjadi kecil. 5
Teori akomodasi Thsernig: dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak dapat
berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuka adalah bagian lensa yang
superfisial atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada
zonula Zinn sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian depan nukleus akan
mencembung. 5
Mata akan berakomodasi bila bayangan difokuskan di belakang retina.
Bila sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan
7
adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar
normal tidak dapat jatuh ke makula. Keadaan ini disebut ametropia/ anomali
refraksi yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma. Kelainan
lain pada mata normal adalah gangguan perubahan kencembungan lensa yang
dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga erjadi gangguan
akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat
keadaan yang disebut presbiopia. 5
2.3.5 Ametropia
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran
depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai
daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang
peranan membiaskan sinar terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda dekat. 5
Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan
sinar oleh kornea (mendatar atau mencembung) atau adanya perubahan panjang
(lebih panjang atau lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak akan
terfokus pada makula. Keadaan ini disebut ametropia (anomali refraksi) yang
dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisme. Kelainan system refraksi
(pembiasan cahaya) pada mata, menyebabkan sinar-sinar sejajar yang masuk ke
dalam mata tidak difokuskan pada retina saat mata tersebut dalam keadaan
istirahat. 5
2.4 Definisi Astigmatisme
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan
garis pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi
lebih dari satu titik. 3
2.5 Epidemiologi
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai
2,3milyar. Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama
pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di
Indonesia hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa. 3,4
9
Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam hal umur,
negara, jenis kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan faktor lainnya.
Prevalensi miopia bervariasi berdasarkan negara dan kelompok etnis, hingga mencapai 70-
90% di beberapa negara. Sedangkan menurut Maths Abrahamsson dan Johan
Sjostrandtahun 2003, angka kejadian astigmatmatisme bervariasi antara 30%-
70%.
2.6 Etiologi
Etiologi kelainan astigmatisma adalah sebagai berikut: 4,13
i. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur.
Media refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling
besar adalah kornea, yaitu mencapai 80% s/d 90% dari astigmatismus,
sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin. Kesalahan
pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung kornea
dengan tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior
bolamata. Perubahan lengkung permukaan kornea ini terjadi karena
kelainan kongenital, kecelakaan, luka atau parut di kornea, peradangan
kornea serta akibat pembedahan kornea.
ii. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa.
Semakin bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa
kristalin juga semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan
mengalami kekeruhan yang dapat menyebabkan astigmatismus
iii. Tumor dan penyakit mata lainnya yg dapat menekan bola mata.
2.7 Klasifikasi
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisme dibagi sebagai
berikut: 4
1. Astigmatisme Reguler, dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata
karena adanya dua bidang yang saling tegak lurus pada bidang yang lain
sehingga pada salah satu bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari
pada bidang yang lain. Astigmatisme jenis ini, jika mendapat koreksi lensa
cylindris yang tepat, akan bisa menghasilkan tajam penglihatan normal.
Tentunya jika tidak disertai dengan adanya kelainan penglihatan yang lain.
10
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisme regular
ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
i. Astigmatisme With the Rule, bila pada bidang vertikal mempunyai daya
bias yang lebih kuat dari pada bidang horizontal.
ii. Astigmatisme Against the Rule, bila pada bidang horizontal mempunyai
daya bias yang lebih kuat dari pada bidang vertikal.
Jika ditinjau dari arah axis lensa koreksinya, astigmatisme regular ini juga
dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Astigmatisme Simetris.
Astigmatisme ini, kedua bolamata memiliki meredian utama yang deviasinya
simetris terhadap garis medial. Ciri yang mudah dikenali adalah axis cylindris
mata kanan dan kiri yang bila dijumlahkan akan bernilai 180° (toleransi sampai
15°), misalnya kanan Cyl -0,50X45° dan kiri Cyl -0,75X135°.
2. Astigmatisme Asimetris.
Jenis astigmatisme ini meredian utama kedua bolamatanya tidak memiliki
hubungan yang simetris terhadap garis medial. Contohnya, kanan Cyl -
0,50X45° dan kiri Cyl -0,75X100°.
3. Astigmatisme Oblique.
Adalah astigmatisme yang meredian utama kedua bolamatanya cenderung
searah dan sama - sama memiliki deviasi lebih dari 20° terhadap meredian
horisontal atau vertikal. Misalnya, kanan Cyl -0,50X55° dan kiri Cyl -
0,75X55°.
2. Astigmatisme Irreguler Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.
Bentuk astigmatisme ini, meredian - meredian utama bolamatanya
tidak saling tegak lurus. Astigmatisme yang demikian bisa disebabkan
oleh ketidakberaturan kontur permukaan kornea atau pun lensa mata, juga
bisa disebabkan oleh adanya kekeruhan tidak merata pada bagian dalam
bolamata atau pun lensa mata (misalnya pada kasus katarak stadium awal).
Astigmatisme jenis ini sulit untuk dikoreksi dengan lensa kacamata atau
lensa kontak lunak (softlens). Meskipun bisa, biasanya tidak akan
memberikan hasil akhir yang setara dengan tajam penglihatan normal. Jika
11
2. Astigmatismus Sedang
Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri s/d 2,75
Dioptri. Pada astigmatismus ini pasien sangat mutlak diberikan
kacamata koreksi.
3. Astigmatismus Tinggi
Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri. Astigmatismus ini
sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.
2.8 Tanda Dan Gejala
Pada umunya, seseorang yang menderita astigmatismus tinggi menyebabkan
gejala-gejala sebagai berikut :
- Memiringkan kepala atau disebut dengan “titling his head”, pada umunya
keluhan ini sering terjadi pada penderita astigmatismus oblique yang tinggi.
- Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.
- Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan
untuk mendapatkan efek pin hole atau stenopaic slite. Penderita
astigmatismus juga menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti
membaca.
- Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan
mendekati mata, seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan
untuk memperbesar bayangan, meskipun bayangan di retina tampak
buram.
Sedangkan pada penderita astigmatismus rendah, biasa ditandai dengan
gejala-gejala sebagai berikut :
- Sakit kepala pada bagian frontal.
- Ada pengaburan sementara / sesaat pada penglihatan dekat,
biasanya penderita akan mengurangi pengaburan itu dengan menutup atau
mengucek-ucek mata.
2.9 Patofisiologi Astigmatisma
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur
akan memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan
sinar tidak difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan
15
tidak sama pada semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu
titik fokus pembiasan. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan
retina sedang sebagian sinar lain difokuskan di belakang retina.
2.10 Diagnosis
1. Pemeriksaan pin hole
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah
berkurangnya tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau
kelainan pada media penglihatan, atau kelainan retina lainnya. Bila
ketajaman penglihatan bertambah setelah dilakukan pin hole berarti pada
pasien tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Bila
ketajaman penglihatan berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan
media penglihatan ataupun retina yang menggangu penglihatan. 5
2. Uji refraksi.
i. Subjektif
Optotipe dari Snellen & Trial lens
Metode yang digunakan adalah dengan Metoda “trial and
error” Jarak pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki. Digunakan
kartu Snellen yang diletakkan setinggi mata penderita, Mata
diperiksa satu persatu dibiasakan mata kanan terlebih dahulu
Ditentukan visus / tajam penglihatan masing-masing mata. Bila
visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif, bila dengan
lensa sferis positif tajam penglihatan membaik atau mencapai 5/5,
6/6, atau 20/20 maka pasien dikatakan menderita hipermetropia,
apabila dengan pemberian lensa sferis positif menambah kabur
penglihatan kemudian diganti dengan lensa sferis negatif
memberikan tajam penglihatan 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien
menderita miopia. Bila setelah pemeriksaan tersebut diatas tetap
tidak tercapai tajam penglihatan maksimal mungkin pasien
mempunyai kelainan refraksi astigmat. Pada keadaan ini lakukan
uji pengaburan(fogging technique). 5,6
ii. Objektif
16
Autorefraktometer
Autorefraktometer yaitu menentukan myopia atau besarnya
kelainan refraksi dengan menggunakan komputer. Penderita duduk di
depan autorefractor,cahaya dihasilkan oleh alat dan respon mata
terhadap cahaya diukur. Alat ini mengukur berapa besar kelainan
refraksi yang harus dikoreksi dan pengukurannya hanya memerlukan
waktu beberapa detik.
Keratometri
Keratometri adalah pemeriksaan mata yang bertujuan untuk
11
mengukur radius kelengkungan kornea. Keratometer dipakai
klinis secara luas dan sangat berharga namun mempunyai
keterbatasan. 7
3. Uji pengaburan
Setelah pasien dikoreksi untuk myopia yang ada, maka
tajam penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga
tajam penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan
menambah lensa spheris positif 3. Pasien diminta melihat kisi-kisi juring
astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Bila
garis juring pada 90° yang jelas, maka tegak lurus padanya ditentukan
sumbu lensa silinder, atau lensa silinder ditempatkan dengan sumbu 180°.
Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder negatif ini dinaikkan sampai
garis juring kisi-kisi astigmat vertikal sama tegasnya atau kaburnya
dengan juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat
dengan lensa silinder ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien
diminta melihat kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negatif
sampai pasien melihat jelas.
17
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Despopoulos A. and Silbernagi S, Color Atlas of Physiology 3 Rd
Edition.London: Thieme, 2003; 344-346.
2. Olver J and Cassidy L, Basic Optics and Refraction. In Olver J and
Cassidy L,Ophtalmology at a Glance. New York: Blackwell Science,
2005; 22-23.
3. James B, Chew C and Bron A, Lecture Notes on Ophtalmology. New
York:Blackwell Publishing, 2003; 20-26.
4. Whitcher J P and Eva P R, Low Vision. In Whitcher J P and Eva P
R,Vaughan & Asbury”s General Ophtalmology. New York: Mc Graw
Hill,2007.
5. Ilyas S, Mailangkay H, Taim H, Saman R dan Simarmata M, 2003. Ilmu
Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan mahasiswa Kedokteran Edisi Ke-2.
Jakarta.
6. A. K. Khurana, Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and
Refraction, New Age International (P) limited Publishers, 12: 36-38, 2007.
7. Gerhard K. Lang, Ophthalmology A Short Textbook :Optics and
Refractive Errors, Thieme, p. 127-136, 2000.
8. Deborah, Pavan-Langston,Manual of Ocular Diagnosis and Therapy,
6th Edition:Refractive Surgery, Lippincott Williams and Wilkins, 5:73-
100,2008.9.
9. Roque M., 2009. Astigmatism, PRK. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1220845overview#a0101 [Diakses
tanggal 3 mei 2012]
10. Harvey M.E., 2009. Development and Treatment of Astigmatism
RelatedAmblyopia.Optom Vis Sci 86(6): 634-639. Diunduh
dari:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2706277/pdf/nihms11
4434.pdf??tool=pmcentrez [Diakses tanggal 3 mei 2012].
11. Choi H. Y., Jung J. H. and Kim. M. N., 2010. The Effect of EpiblepharonSurgery
on Visual Acuity and With-the-Rule Astigmatism in Children. KoreanJ
Ophthalmol 2010; 24(6) : 325-330. Diunduh dari:
23
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3016080/pdf/1545-
6110_v108_p077.pdf??tool=pmcentrez
12. American Academy of Opthalmology, Clinical Optics, in Basic and
Clinical Science Course, section 3, 2005-2006,pp 116-120
13. Jaya Putra, Adrianus dkk. Miopia Astigmatisma Kompositus ODS. Karya
Ilmiah. FK Unsri. 2010.
14. Hamzah, Ferdriva. 2011 http://matalasik.wordpress.com/tag/lasik/ diakses
tanggal 7 Mei 2012.
15. Peary, Robert E, 2005. The North Pole: Its Discovery in 1909, 1910. New
York: Frederick A. Stokes Co.U.S. Naval Observatory, Nautical Almanac
Office. Air Almanac,. Department of the Navy.