Sie sind auf Seite 1von 10

Akurasi Diagnostik dari PCR Dibandingkan dengan Tes Antigen Urin untuk

Mendeteksi Legionnela spp.: Systematic Review

Diagnosis penyakit Legionnaires didasarkan pada isolasi Legionella


spp., peningkatan 4x lipat antibodi, antigen urin positif, atau tes
imunoflouresensi langsung. PCR tidak diterima sebagai alat diagnosis untuk
ppenyakit Legionnares. Tinjauan sistematik ini menilai akurasi diagnosis
PCR dalam berbagai sample klinis dan dibandingkan langsung dengan
antigen urin. Studi ini termasuk kedalam studi kohort prospektfif atau
retrospektif dan studi case control. Studi dimasukan jika menggunakan
konsensus CDC-P dalam kriteria definisi dari penyakit Legionnares atau yang
serupa, hanya menilai pasien dari klinis pneumonia, dan melaporkan data
untuk semua hasil positif, positif palsu, negatif, dan negatif palsu. Dua
pengulas telah membuat ringkasan secara independen. Risiko bias dinilai
menggunakan Quadas-2. Ringkasan dari nilai sensitiviitas dan spesifisitas
dapat diperkirakan menggunakan model bivariat dan dilaporkan dengan
menggunakan interval kepercayaan 95% (CI95%). 38 Studi dimasukkan.
Sebanyak 653 pasien telah terkomfirmasi terkena penyakit Legionnares, dan
3.593 pasien menderita pneumonia karena patogen lainnya. Kualitas
metodologi dari suatu studi yang dinilai dengan alat Quadas-2 berupa poor
sampai fair. Ringkasan nilai sensitivitas dan spesifisitas pada penyakit
Legionnares pada respiratory sample sebesar 97,4% (CI95%, 91,1% sampai
99,2%) dan 98,6% (CI95%, 97,4% sampai 99,3%). Hasil ini tidak berubah
oleh uji kovariat lain dan analisis subkelompok. Hasil diagnostik PCR
dengan respiratory sample (terutama pada sampel sputum dan swab) lebih
baik daripada tes antigen urin. Dibandingkan antigen urin, PCR dengan
respiratory sample (terutama pada sampel sputum dan swab) menunjukan
keuntungan yang signifikan dalam sensitivitas dan diagnosis tambahan 18%
sampai 30% dari kasus penyakit Legionnare. Hasil diagnostik PCR dalam
respiratory sample sangat baik dan lebih baik daripada UA (antigen urin).
Hasilnya independen pada kovariat yang diuji. PCR dalam sampel pernafasan
harus diperhatikan sebagai alat yang valid untuk diagnosis LD (Legionnares
Disease).
Pneumonia disebabkan oleh Legionella spp. (penyakit Legionnaires) adalah
infeksi paru yang mengancam jiwa. Spesies yang paling umum menyebabkan
penyakit klinis pada manusia adalah Legionella pneumophilia. Selain
Legionella pneumophilia, 19 spesies didokumentasikan sebagai patogen pada
manusia yang dipatkan dari isolasi spesimen klinis. LD dapat mempengaruhi
kelompok masyarakat, dan di rumah sakit yang nantinya akan terjadi wabah.
Insiden LD sulit dinilai, karena etiologi bakteri dari CAP (community-
acquired pneumonia) umumnya tidak didokumentasikan dalam praktek
klinis. LD tidak dapat dibedakan secara klinis maupun radiografi dari CAP
akibat bakteri patogen lainnya. Seperti bakteri Legionella spp. merupakan
bakteri obligat intraseluler yang mana tidak berefek dengan antibiotik beta
laktam dan membutuhkan pengobatan khusus dengan makrolid atau kuinolon
dosis tinggi. Pengobatan dengan menyiapkan cakupan melawan Legionella
spp terbukti meningkatkan keberhasilan klinis. Dengan demikian, diagnosis
awal penyakit Legionnnaires sangat penting dan berpengaruh pada kesehatan
masyarakat dan manajemen di rumah sakit.
Metode konvensional untuk diagnosis LD terdiri dari kultur, deteksi
antigen dalam urin, uji serologi, dan pewarnaan fluoresensi antibodi langsung
atau imunohistokimia. Metode berbasis PCR untuk diagnosis dari
Legionnaires spp biasanya didasarkan atas conversed regions dari sekuens
rRNA untuk amplifikasi. these regions are not specific, dan karenanya, dapat
digunakan metode PCR untuk mendeteksi beberapa subspesies Legionella.
Disisi lain, seringnya, gen MIP (macrophage infectivity potentiator ) sebagai
target untuk mendeteksi L. pneumophilia secara spesifik, karenanya hanya
digunakan sebagai deteksi dari L. Pneumophilia saja. PCR memungkinkan
amplifikasi spesifik dari jumlah DNA Legionella per menit, memberikan
hasil dalam jangka waktu yang singkat, dan memiliki kemampuan untuk
mendeteksi infeksi yang disebabkan karena Legionella spp. Kami meninjau
secara sistematis semua studi yang menilai PCR pada sampel klinis untuk
diagnosis LD. Kami juga membandingkan dan menilai kemampuan PCR
dibandingan dengan antigen urin dan PCR dikombinasikan dengan antigen
urin.
BAHAN DAN METODE
Kriteria inklusi. Kami memasukan studi kohort prospektif atau
retrospektif dan studi case control. Partisipan (baik kasus dan kontrol)
merupakan pasien pneumonia, CAP, atau HAP yang mana didefinisikan
dengan adanya tanda dan gejala klinis maupun tanda pada hasil radiologi.
Pada studi Case control, dimana kontrol merupakan orang sehat yang
dianalisis secara terpisah.
Test indeks PCR untuk Legionella spp dilakukan pada setiap sampel
klinis (sampel sputum, sampel bronkoalveolar lavage, serum, dan urin).
Analisis dilakukan secara terpisah untuk setiap klinisnya. Setiap tes PCR
dapat diterima, termasuk PCR standar atau realtime, nested, multiplex atau
PCR lainnya, dan tes tersebut dapat menargetkan gen Legionella spp apapun.
Kami mengutamakan menggunakan sampel yang diambil pada waktu yang
paling dekat dengaan onset infeksi. Jika data yang tersedia lebih dari satu tes
pada studi ini, semua hasil akan diekstraksi. Kami juga mengekstraksi data
dari antigen urin pada studi ini dan melaporkan kedua tes secara terpisaaah
dan bersama dengan PCR. Target kondisi ini adalah pneumonia naik CAP
maupun HAP.
Kami menganggap bahwa kultur positif pada Legionella spp bila
terjadi 4x lipat peningkatan serum antibodi yang diambil dalam 4-6 minggu
setelah episode klinis atau ketika infeksi antigen urin positif. Diagnosis
dengan pewarnaan antigen pada sekresi jaringan paru-paru atau pada cairan
pleura dengan pewarnaan DFA atau imunohistokimia dianggap sebagai
suspek infeksi. Kami menganggap bahwa semua kasus lain tidak memiliki
bukti untuk infeksi Legionella. Pertimbangan ini sama dengan CDC untuk
lebih menggunakan tes diagnostik sebagai definisi infeksi Legionella.
Pencarian elektronik. Kami telah mencari database dari MEDLINE, LILACS,
dan KoreaMed tanpa meretriksi waktu dan bahasa, dari awal Oktober 2014,
menggunakan istilah berikut dan judul subjek medis[MESH] (disesuaikan
untuk setiap database): (PCR atau real time atau RT-PCR atau reverse-
transcrioption atau nested-PCR atau PCR) dan (legionell* atau legionair*
atau legionella [MESH] atau Legionnnaires ‘Disease [MESH]). Sebagai
tambahan, kami mencari Konferensi Eropa dari Mikrobiologi Klinik dan
Penyakit Infeksi dan Konferensi Antarsains tentang Agen Antimikroba dan
Kemoterapi antara tahun 2010 dan 2014 hanya dengan menggunakan kata
kunci untuk Legionella atau Legionnaires dan PCR. Kami memindai referensi
dari semua studi yang dimasukan dan mengutip ulasan pada studi tersebut.
Pengumpulan data dan penilaian risiko bias. Dua pengulas secara
independen memilih studi untuk dimasukan dan mengekstraksi semua data
dari studi ini. Penilaian risiko bias dilakukan dengan menggunakan alat
Quadas-2.
Analisis statistik dan sintesis data. Kami mencatat jumlah positif dan negatif
yang benar, dan positif dan negatif palsu setiap studi, spesimen, test indeks,
gen primer yang digunakan untuk PCR, dan standar referensi. Kami
menghitung nilai sensitivitas dan spesifisitas dan Diagnostic Odds ratio
(DOR). Kami menggunakan moodel bivariat untuk mendapatkan hasilnya.
Parameter perkiraan dari model ini digunakan untuk memperoleh ringkasan
hirarkis kurva operasi penerima, dengan interval kepercayaan 95% (CI95%),
dan 95% wilayah prediksi. Kami menilai efek dari hasil kovariat melalui
analisis subkelompok; Metode PCR, desain penelitian, primer gen yang
digunakan untuk PCR, jumlah kasus LD, dan domain Quadas-2. Kita
membandingkan kinerja tes UA dan PCR dengan UA saja pada kasus LD
yang tidak didiagnosis oleh UA saja, dibandingkan dengan situasi dimana
salahsatunya, PCR atau UA menunjukan hasil positif. Hanya perbandingan
tes langsung dilakukan. Studi hanya dimasukkan satu kali dalam analisis.
Analisis dilakukan menggunakan Stata 12 dan RevMan 5.3.
HASIL
Referensi penelitian ini 804 referensi, dimana 77 diantaranya adalah full text
review (Lihat Gambar S1 di bahan tambahan). 39 studi dieksklusi. Sebanyak
38 studi telah diterbitkan antara tahun 1993 sampai 2013 dimasukkan. Tujuh
studi melaporkan hasil PCR pada serum atau darah, 4 uji coba melaporkan
PCR dalam urin, 29 uji coba melaporkan PRR dalam BAL, 3 uji coba
melaporkan PCR dalam faring, dan 3 uji coba melaporkan PCR dalam
spesimen jaringan paru. Lima studi melakukan PCR dalam beberapa jenis
sampel. Tiga belas studi melaporkan hasil antigen urin secara terpisah dengan
hasil PCR. Tujuh belas studi merupakan studi case control, 3 studi merupakan
kohort retrospektif, dan 18 studi sisanya merupakan studi kohort prospektif.
Secara keseluruhan, 653 pasien yang terkonfirmasi LD, 8 pasien dengan
kemungkinan terdapat LD, 3593 pasien dengan pneumonia yang disebabkan
oleh patogen selain Legionella spp, dan 296 pasien sehat sebagai kontrol
dimasukkan.

Data dari kohort retrospektif (tidak semua pasien menjalani tes


antigen urin dan atau kultur) menunjukan bahwa kultur positif pada 164 dari
2.562 pasien dengan pneumonia (6,4%; 95% CI, 1,4% hingga 15,7%), hasil
antigen urin positif (7.82%; 95% CI, 2.2% to 15.2%) pada 113 pasien dari
1,445 dengan pneumonia, dan PCR positif pada 309 pasien dari 3.463 pasien
dengan pneumonia (8.9%; 95% CI, 4.5% to 20.2%). Mortalitas telah
dilaporkan dalam 4 studi (weighted mean, 5.6%; range, 9.1% to 50%).
Karakteristik studi lainnya disajika pada Tabel 1.

Risiko Penilaian bias. Penilaian risiko bias dengan Quadas-2 dan kriteria
penerapannya ditunjukan pada tabel 1. Hanya 12 dari 38 studi memiliki risiko
bias rendah terkait pemilihan pasien; 17 dari 13 studi memiliki risiko tinggi
(semua ini merupakan studi case control retrospektif). Sisanya, 9 dari 38 studi
risiko biasnya tidak jelas; diantaranya 3 studi juga berisiko bias tinggi
mengenai penerapannya pada populasi yang dipilih untuk review ini.
Kekhawatiran tentang penerapan test indeks ada pada 15 dari 38 studi dan
ketidakjelasan dalam 16 dari 38 studi lainnya. Risiko bias tinggi mengenai
alur diagram, waktu tes indeks, dan memastikan bahwa semua pasien
menerima tes yang sama ada dalam 5 studi, tidak jelas dalam 24 studi, dan
risiko bias rendah dalam 9 studi. Empat dari 38 studi berasal dari negara
berkembang. Dalam 9 studi, definisi pneumonia berdasarkan klinis dan
radiologi telah dipresentasikan.

Teknik PCR. Rincian teknik PCR disajikan pada Tabel 2. PCR standar
digunakan pada 12 studi; Real Time PCR pada 16 studi; RT PCR dengan
multiplex PCR dalam 4 studi; dan nested PCR dalam 16 studi. Delapan studi
menggunakan primer yang menargetkan gen MIP, 7 studi menggunakan 5s
rRNA dan gen MIP, 6 studi menggunakan 16S rRNA dan gen MIP, 7 studi
menggunakan primer gen 16S rRNA, dan 4 studi menggunakan gen lainnya
(multiple gen digunakan dalam 4 studi). Primer mentargetkan secara khusus
untuk L. Pneumophilia dalam 25 dari 38 studi. Ekstraksi DNA dilakukan
dengan menggunakan kit QIAamp (n=10), kit isolasi MagNA Pure LC DNA
(n=5), dan komersial kit lainnya (n=10), dan protokal phenol-chloroform
(n=13). Kontrol internal/inhibisi dijelaskan pada 27 dari 38 studi, dan kontrol
kontaminasi dijelaskan pada 19 dari 38 studi.

Kinerja PCR. Rincian sensitivitas dan spesifisitas PCR untuk mendiagnosis


LD ditampilkan pada Tabel 3. Spesifisitas sangat tinggi tanpa memperhatikan
sampel; namun, sensitivitas sampel urin dan serum sangat rendah (49,7% [CI
95%, 26,5% sampai 73,0%] dan 48,9% [CI 95%, 38,4 sampai 59,5%] untuk
masing-masing). Respiratory sample memiliki sensitivitas tinggi untuk
mendeteksi Legionella spp oleh PCR. Hasil nilai sensitivitas dan spesifisitas
dari model bivariat untuk semua respiratory sample (cairan BAL, sputum,
swab faring, dan biopsi jaringan) masing-masing adalah 97,4% (CI 95%
91,1% sampai 99,2%) dan 98,6% (CI 95%, 97,4% sampai 99,3%). Pada DOR
adaah 2,826 (CI 95%, 738 hingga 10,815).

Tidak ada perbedaan kinerja yang signifikan secara statistik dari tipe RT PCR,
nested, dan jenis PCR lainnya. Penggunaan kontrol inhibisi atau kontrol
kontaminasi tidak mempengaruhi secara signifikan pada kinerja PCR.
Penggunaan gen khusus untuk L. Pneumophilia dikaitkan dengan
peningkatan sensitivitas dibandingkan dengan primer dari gen yang
menargetkan berbagai Legionella spp. (Tabel 3).

Perbandingan PCR dengan Antigen Urin. Detail perbandingan langsung


dari PCR dengan UA diuraikan pada tabel 4. Hasil nilai sensitivitas dan
spesifisitas dari model bivariat untuk antigen urin dalam semua studi masing-
masing adalah 77,0 (CI 95%, 55% sampai 90,0%) dan 100% (menurut
definisi). Pada DOR adalah 7,540 (CI 95%, 289 sampai 19,652). Secara
langsung perbandingan PCR dalam sekresi pernafasan dibanding
menggunakan antigen urin, PCR memiliki sensitivitas lebih tinggi (P=0,001).

Analisis subkelompok kasus LD, saat sebuah ‘priori’ dieksklusikan pada


semua LD yang didiagnosis melalui antigen urin saja, didapatkan hasil nilai
sensitivitas 92,1% (CI95% 63,9% sampai 99,0%) untuk PCR dan 51,8% (CI
95%, 33,1% sampai 69,1%) untuk antigen urin.

Pertimbangan UA mudah dilakukan dan tersedia untuk setiap pasien,


sementara pengambilan cairan BAL bersifat invasif, mengandung risiko
tertentu, dan tidak selalu tersedia di semua pengaturan, kami memeriksa
kinerja UA dalam sampel sputum dan atau swab faring saja. Hasil sensitivitas
dan spesifisitas PCR dalam sputum masing-masing adalah 97,1% (CI 95%,
59,6% sampai 99,8%) dan 99,7% (CI 95%, 91,4% sampai 99,9%). Sementara
UA masing-masing 52,9% (CI 95%, 30,8 sampai 73,9%) dan 100% (menurut
definisi). Baik dari UA atau PCR masing-masing adalah 99,9% (CI 95%,
99,9& sampai 99,9%) dan 99,7% (CI 95%, 90,2% sampai 99,9% dalam 5
studi.

Secara absolut, 11 dari 61 pasien (18%) dengan LD memiliki UA negatif dan


sputum PCR positif dan akan salah diagnosis dengan metode konvensional.

DISKUSI

Kami memeriksa keakuratan PCR saja dan membandingkannya dengan UA


dalam berbagai sampel klinis untuk mendiagnosis LD diantara pasien dengan
pneumonia, dimana standar rujukannya LD terbukti atau mungkin sesuai
dengan kriteria yang disarankan oleh CDC. Kami telah menunjukan nikau
spesifisitas yang mendekati sempurna untuk semua jenis sampel dan nilai
sensitivitas yang sama tinggi untuk semua respiratory sample (terdiri dari
cairan BAL, sputum, swab faring, dan spesimen jaringan biopsi). Secara
keseluruhan, dalam 35 yang termasuk dalam studi ini yang menggunakan
respiratory sample apapun, hasil sensitivitas dan spesifisitasnya diperkirakan
sekitar 97,4% dan 98,6%. Dalam studi yang menggunakan sampel yang
mudah diperoleh seperti sputum dan swab faring, hasil sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing diperkirakan sekitar 94,5% dan 99,2%.
Sensitivitas PCR dalam sampel urin dan sampel darahrendah (kira-kira 50%)
sehingga sampel ini tidak dapat digunakan untuk praktek klinis. Kami
mengeksplorasi lebih lanjut terkait keakuratan PCR melalui analisis
subkelompok dan sensitivitas. Kami menemukan bahwa sensitivitas PCR
dalam respiratory sample tetap sangat tinggi setelah dipertimbangkan melalui
kualitas metodologi, desain studi/ penelitian, dan berbagai metode PCR.

Ketika kami membandingkan hasil PCR dalam respiratory sample dengan


UA, kami menunjukan peningkatan sensitivitas dengan spesifisitas yang
serupa, terlepas dari jenis sampel. Selanjutnya, saat kasus didiagnosis
menggunakan UA saja (tanpa kultur positif serologi, atau DFA) dan semua
kasus yang didiagnosis menggunakkan cairan BAL dieksklusi, mendapatkan
hasil perbandingan yang nyata dari PCR menggunakan swab faring dan atau
sputum dan UA, PCR cukup lebih sensitif dibanding UA dan mengakibatkan
reklasifikasi 18% dari pasien dengan pneumonia dan UA negatif untuk
diagnosis LD.

Ketika LD terdiagnosis, kombinasi terapi secara langsung meningkatkan


ketahanan hidupnya dari Legionella spp. Oleh karena itu, diagnosis LD
diantara pasien yang dirawat di rumah sakit dengan CAP, ketika berat, dapat
secara langsung mempengaruhi prognosisnya. Sementara pasien lainnya
dapat diobati dengan monoterapi dengan beta laktam. Diagnosis LD saat ini
berdasarkan pada beberapa metode konvensional. Kultur membutuhkan
media khusus, pemprosesan, keahlian teknik, dan hasilnya diminta positif
dalam waktu 3-5 hari. Uji serologis unutk Legionella memiliki sedikit
dampak pada praktik klinis seperti 20-30% pasien dengan LD tidak terdeteksi
antibodi jika uji dilakukan lebih dini. Metode paling umum yang saat ini
digunakan untuk mendiagnosis LD dalam klinis adalah deteksi UA L.
Pneumophilia serogrup 1. Di sebuah systematic review sebelumnya,
sensitivitas tes UA untuk mendeteksi L. Pneumophilia serogrup 1 adalah 74%
(CI 95%, 68% sampai 81%) dengan spesifisitas gabungan 99% (CI 95%, 98%
sampai 99%). Hasil kami sesuai dengan systematic review ini (gabungan
sensitivitas UA 77% dan spesifisitas mendekati 100%). Namun antigen
diekskresikan dalam urin selama beberapa minggu (dan hingga satu tahun)
setelag episode infeksi, yang melemahkan spesifisitasnya. Selanjutnya, L.
Pneumophilia serogrup 1 adalah Legionnela spp yang paling dominan yang
menyebabkan LD di Amerika Serikat dan Eropa tetapi tidak di Asia dan
Australia. LD dari spesies non-Legionella pneumophia lebih umum terjadi
pada pasien imunokompromise, dan L pneumophilia serogrup selain serogrup
1 dapat menyebabkan wabah LD nosokomial. Dalam kasus seperti iyu, UA
mungin dapat memberikan hasil negatif palsu. Pengaturan diagnosis LD
diantara imunokompromise dan nosokomial sangat penting dan PCR
mungkin meningkatkan diagnosis pada kasus-kasus ini secara signifikan.

Salahsatu kritik utama terhadap penggunaan PCR dalam diagnosis LD dan


salahsatu keterbatasan utama menganalisis PCR berbasis metode, adalah
kurangnya standarisasi kinerja dan pelaporan metode PCR. Kontaminasi dari
alat ekstraksi DNA komersial dapat menghasilkan hasil positif palsu dengan
kurangnya kontrol negatif.

Terjadinya positif palsu menunjukan perlunya protokol laboratorium standar


untuk persyaratan kualitas kontrol yang ketat yang dibutuhkan. Variabel
metode pengambilan sampel, ekstraksi, dan protokol amplifikasi digunakan
dalam studi termasuk dalam review ini. Kami tidak mengamati efek dari hasil
setiap parameter, kecuali untuk meningkatkan sensitivitas dengan membuat
primer dari sekuens L pneumophilia. Namun, jumlah studi yang dimasukan
dalam review ini terlalu sedikit, dan hasilnya tidak mencukupi untuk menilai
secara individu dan kombinasi sejumlah besar variabel yang berkaitan dengan
metode PCR. Selain itu, alat/ kit PCR mahal, PCR membutuhkan peralatan
laboratorium dan personil yang berdedikasi dan interpretasi PCR tidaklah
mudah, sedangkan UA relatif lebih murah (10 US dolar per tes) dan tidak
memerlukan peralatan khusus atau latihan.

Kesimpulannya, kami menunjukan nilai sensitivitas dan spesifisitas dari PCR


yang sangat baik untuk mendiagnosis LD pada setiap respiratory sample.
NPV memberitahukan bahwa prevalensi penyakit biasa adalah lebih dari 95%
terlepas dari subkelompok yang diperiksa. PPV juga menujukan di atas 95%,
sehingga membuat PCR sebagai alat yang sangat baik untuk memutuskan LD
atau bukan. Sensitivitas PCR dalam respiratory sample lebih unggul
dibanding UA dan mungkin menghasilkan diagnosis tambahan pasien dengan
LD L pneumophilia serogrup 1 dan mereka dengan spesies legionella non
pneumophilia atau LD non-serogrup 1. Kami menyarankan penggunan PCR
terutama ketika terinfeksi Legionella non-pneumophilia, jika memungkinkan.

Das könnte Ihnen auch gefallen