Sie sind auf Seite 1von 17

i

ASY’ARIYAH

MATA KULIAH : ILMU KALAM

DOSEN PENGAMPU : ABDI ZULKARNAIN SITEPU, S.Ag. M.Ag

KPI SEMESTER III

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK IV

1. DEVITA RAHMA DIANTI (1719240005)


2. DITA AMELIA (1719240015)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirahim...

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Rahmat - Nya sehingga
makalah yang berjudul “ASY’ARIYAH” ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa pula
kami mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi,tenaga maupun pikirannya.

Muncul dari keinginan bersama lalu digerakkan,dimulai hingga diselesaikan oleh dua
mahasiswa/i yang masih jauh pengalamannya dibawah mahasiswa/i lainnya dalam kelompok
ini. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca mengenai Ilmu Kalam khususnya tentang Asy’ariyah. Untuk kedepannya
kami harp kami dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah ini agar menjadi
lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, 06 Oktober 2018

KELOMPOK IV

ii
iii

DAFTAR ISI

ASY’ARIYAH ...............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................ iii
BAB I ........................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1
II.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................................................... 1
II.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................................. 1
II.3 Tujuan ................................................................................................................................................ 1
BAB II .......................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 2
II.1 Sejarah Timbulnya Asy’Ariyah ......................................................................................................... 2
II.2 Tokoh-Tokoh Utama Asy’Ariyah dan Ajaran Pokoknya .................................................................. 3
1) Abu Hasan al-Asy’ari ................................................................................................................... 3
2) Al-Baqillani .................................................................................................................................. 5
3) Al-Juwaini .................................................................................................................................... 7
4) Al-Gazali ...................................................................................................................................... 8
II.3 Perkembangan dan Pengaruh Asy’Ariyah di Dunia Islam .............................................................. 10
BAB III ....................................................................................................................................................... 12
PENUTUP .................................................................................................................................................. 12
III.1 Kesimpulan..................................................................................................................................... 12
III.2 Saran ............................................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................. 14

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

II.1 Latar Belakang Masalah


Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan al-
Asy`ary yang masih cucunya (keturunan) dari seorang sahabat Rasulullah SAW, Abi
Musa al-Asy’ary,yang dijadikan utusan perdamaian dalam peperangan antara Saiyidana
Ali dengan Muawiyah pada peristiwa tahkim. Al-Asy’ary yang semula mengikuti faham
Mu’tazilah kemudian berbalik arah dengan meninggalkan Mu’tazilah. ia sangat khawatir
Al-qur’an dan Hadist menjadi korban faham kaum Mu’tazilah yang menurutnya tidak
dapat dibenarkan, karena didasarkan pada pemujaan akal fikiran1.

Kelompok Asy’ariyah menisbatkan pada nama Al-Asy”ariy sehingga dengan


demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyahAliran ini merupakan salah satu aliran
yang muncul atas reaksi terhadap Mu’tazilah sebagai paham yang memprioritaskan akal
sebagai landasan dalam beragama. Ketidak sepakatan terhadap doktrin-doktrin
Mu’tazilah tersebut memunculkan aliran Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan
Al-Asy’ari. Doktrin-doktrin yang dikemukan beliau dan para pengikutnya merupakan
penengah diantara aliran-aliran yang ada pada saat itu.

II.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah timbulnya Asy’ariyah ?
2. Siapa tokoh-tokoh utama Asy’ariyah dan bagaimana ajaran pokoknya?
3. Bagaimana Perkembangan dan Pengaruh Asy’ariyah di Dunia Islam ?

II.3 Tujuan
1. Mengetahui sejarah timbulnya Asy’Ariyah
2. Mengetahui tokoh-tokoh utama Asy’ariyah dan ajara pokoknya
3. Mengetahui perkembangan danpengaruh Asy’Ariyah di Dunia Islam

1
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32

1
2

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Sejarah Timbulnya Asy’Ariyah


Asy`ariyah adalah sebuah paham yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-
Asy`ary. Nama lengkapnya ialah Abdul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin
Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-
Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Al-Asy’ary lahir pada tahun 260 H/873 M dan
wafat pada 324 H/935 M.

Pada masa kecilnya Al-Asy’Ary berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal yaitu
Al-Jubba’i. anAl-Asy’ary menjadi pengikut Mu’tazilah sampai umur 40 tahun2 (Sitepu,
2011). Sebab Al Asy’ari meninggalkan pahamnya karena pada suatu malam ia bermimpi
bertemu Rasulullah SAW yang mengatakan kepadanya bahwa madzab ahli Hadits lah yg
benar, dan madzab Mu’tazilah salah. Sebab lain adalah karena perdebatan antara al-
Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’i, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat.Menurut
al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak
kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ary
bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku;
sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan
oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa
jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi
kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa
mukallaf”. al-Asy’ary bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau
mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil,
maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di
sinilah al-Jubba’i terpaksa diam. Perdebatan ini menjadi salah satu faktor Al-Asy’ary
memutuskan meninggalkan Mu’tazilah. Ia sangat mengkhawatirkan Al-Qur’an dan
Hadist menjadi korban faham-faham Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat
dibenarkan3.

2
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32
3
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32

2
3

Setelah al-Asy’ari mengasingkan diri di rumahnya selama lima belas hari untuk
merenung, kemudian ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basroh bahwa dirinya
telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya

II.2 Tokoh-Tokoh Utama Asy’Ariyah dan Ajaran Pokoknya

1) Abu Hasan al-Asy’ari


Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah orang yang pertama mendirikan aliran Asy’ariyah. Nama
lengkap beliau adalah Ali Bin Ismail Bin Ishak Bin Salim Bin Ismail Bin Abdullah Bin Musa
Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Abu Musa al-Asy’ari. Beliau adalah putra Abu Musa al-
Asy’ari, salah seorang sahabat Nabi Saw yang menjadi mediator dalam sengketa antara Ali
dan Mu’awiyah.

Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H (873 M) dan wafat di
Baqdad pada tahun 324 H (935 M). Sejak kecil ia berguru kepada seorang pengikut aliran
Mu’tazilah terkenal yaitu al-Jub’ai, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya
terus sampai usia 40 tahun. Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah, maka ia pergi ke
kota Baqdad, ibukota khalifah Islamiyyah saat itu, dan meneruskan belajar disana. Ia belajar
ilmu Kalam menurut paham Mu’tazilah, maka beliau termasuk pendukung dan orang
mu’tazilah yang tangguh. Jadi Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah sudah belajar dari
masa kecilnya tentang aliran Mu’tazilah

Al-Asy’ary menjadi pengikut Mu’tazilah sampai umur 40 tahun 4. Sebab Al Asy’ari


meninggalkan pahamnya karena pada suatu malam ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW
yang mengatakan kepadanya bahwa madzab ahli Hadits lah yg benar, dan madzab
Mu’tazilah salah. Sebab lain adalah karena perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-
Jubba’i, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Setelah al-Asy’ari mengasingkan diri di
rumahnya selama lima belas hari untuk merenung, kemudian ia mengumumkan di hadapan
jama’ah masjid Basroh bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan
menunjukkan keburukan-keburukannya

Pemikiran Al-Asy’ari

Awal mula proses pemikiran ajaran al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya
al-Asy’ari di rumah dengan berusaha mencari dasar pemikiran untuk mencoba

4
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32
4

membandingkan dalil-dalil antara kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam
rangka menjawab pemikiran kaum Mu’tazilah

Perkembangan selanjutnya al-Asy`ari keluar menemui masyarakat dan


mengundang mereka untuk berkumpul di Mesjid pada hari Jum’at di Bashrah. Al-Asy’ari
berbicara, “saya pernah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Makhluk, bahwa Allah
tidak terlihat oleh indra penglihatan kelak pada hari qiamat. Dan perbuatan-perbuatan
saya yang tidak baik, maka saya sendirilah yang melakukannya, kini saya bertobat
dengan pendapat itu dan menolak ajaran tersebut “.

Kemudian pokok-pokok ajaran al-Asy’ari, yaitu:

1) Wajibul Wujud, bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang mempunyai
sifat-sifat yang Qadim. Oleh karena kaum Asy’ariah adalah kaum Sifatiyah Jadi Allah
mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah al-‘Ilmu
(Maha mengetahui),Allah bukanlah pengetahuan seperti yang dikatakan Mu’tazilah,
melainkan Allah itu adalah Yang Maha Mengetahui5. Sifat lainnya diantaranya al-Qudrah
(Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan lain-lain. Semua ini adalah sifat-sifat Azali
(eternal) dan abadi dan hal ini pula menunjukkan kemutlakan kekuatan Tuhan untuk
berbuat atau tidak berbuat.
2) Keadilan Tuhan, Asy`ariyah bertentangan dengan Mu’tazilah, karena al-Asy’ari
memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak.Jadi Tuhan bertindak
semaunya terhadap ciptaannya atas dasar kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan
salah jika seandainya Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya,
semua tergantung dari Tuhan.
3) Al-Qur’an, bahwasanya Qur’an itu sepenuhnya bukan makhluk termasuk suara dan
hurufnya, hanya perwujudan dalam bentuk suara dan huruf adalah makhluk, dan yang
bersifat Qadim hanya esensi al-Qur’an itu sendiri. Menyangkut tentang Akal dan Wahyu,
menurut Asy’ariah, akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan.
Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu, wahyulah yang mengatakan
dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan
manusia harus menerima kebenaran itu. Dengan demikian al-Asy’ari memberikan posisi
wahyu lebih tinggi tingkatannya dibanding akal.
4) Kemudian mengenai Iman bagi al-Asy’ari adalah Tasdiq dan Ikrar, ‘Amal bukanlah
kategori Iman tapi perwujudan dari pada Tasdiq. Jadi al-Asy’ari berpendirian bahwa

5
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.33
5

Iman adalah keyakinan bathin (Inner belief) baik iman secara lisan atau secara praktis
(perbuatan) keduanya merupakan cabang Iman. Dengan demikian siapa saja yang
beriman pada hatinya (mengakui ke-Esaan Allah dan Rasulnya serta dengan ikhlas
mempercayai segala apa yang mereka terima darinya). Iman orang seperti ini sah, jika dia
mati ia akan selamat dari neraka. Tidak ada sesuatu apapun yang membuat orang tidak
beriman (hilang Imannya) kecuali kalau menolak salah satu (keduanya) dari kebenaran-
kebenaran yang dua itu. Jadi siapa saja yang beriman dalam hatinya maka jika ia mati
maka akan selamat dari neraka. Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin,
karena imannya masih ada6. Jadi Al-Asy’ari tidak setuju dengan adanya golongan
pertengahan, yakni golongan yang tidak dapat dikatakan mu’min dan golongan yang
tidak dapat dikatakan kafir karena melakukan suatu dosa besar. Dengan demikian kata
al-Asy’ari siapa saja yang melakukan dosa besar lalu mati sebelum bertobat dari dosa itu,
maka keputusannya (apakah ia masuk surga atau neraka) ada ditangan Allah SWT.
5) Melihat Tuhan: ia berpendapat bahwa setiap yang ada dapat dilihat, Allah juga ada maka
dengan demikian dia dapat dilihat, ini dapat diketahui dari wahyunya bahwa kaum
Mukmin akan melihatnya dihari akhir nanti, sebagaimana Allah katakan “Dihari itu
wajah mereka (yang beriman) akan berseri-seri melihat Tuhan mereka (Q.S. al-
Qiyamah/75: 22)[12]. Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak memerlukan
ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil.
Al-Asy’ari juga dikenal karena doktrin Kasyab (perolehan) kaitannya dengan perbuatan
manusia.Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung jari
adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk
dipertanggungjawabkan[13]. Doktrin ini sarana untuk menggambarkan kebebasan
kehendak manusia, sehingga manusia harus mempertanggungjawabkannya. Juga
sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya dan kekuatan Tuhan semata

2) Al-Baqillani
Al-Qadi Abu Bakr Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Ibn al-Qasim Abu Bakr al-
Baqillani adalah nama lengkap dari al-Baqillani yang diduga lahir di Bashrah. Itulah nama
lengkap yang orang lain kenal sebagai al-Baqillani. Kalau Al-Asy’ari merupakan pemuka
yang pertama membentuk Asy’ariyah yang kemudian memakai namanya,maka pemuka-
pemuka yang memperkembangkan aliran itu adalah pengikut-pengikutnya. Tetapi Al-
baqilani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Al-Asy’ari. Dalam beberapa hal, Al-
baqillani tidak sefaham dengan Al-Asy’ari. Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi

6
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.34
6

Al-baqillani bukanlah sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah,
sungguh pun pada awalnya ia berpendapat sebaliknya. Kemudian mengenai faham perbuatan
manusia, berbeda dengan Al-Asy’ari yang menatakan bahwa perbuatan manusia adalah
diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut Al-baqillani manusia mempunyai sumbangan yang
efektif dalam perbuatannya7.

Pemikiran Kalam al-Baqillani

1) Fungsi Akal dan Wahyu

Dalam aliran Mu’tazilah memandang akal dapat mengetahui adanya kewajiban-


kewajiban dan mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu sekedar melengkapi temuan-
temuan dari akal tersebut. Dengan kata lain, fungsi akal bagi aliran Mu’tazilah bersifat
informatif, sedang wahyu bersifat konfirmatif. Aliran ini lebih mengutamakan akal dari pada
wahyu. Akal sebagai penemu dan wahyu adalah konfirmasi.

Berbeda dengan al-Asy’ari, fungsi akal dalam mengetahui kewajiban-kewajiban serta


baik dan buruk bersifat konfirmatif dari informasi yang dibawa wahyu. Akal manusia tidak
dapat mengetahui kewajiban-kewajiban sebelum turunnya wahyu. Semua kewajiban adalah
berdasarkan wahyu. Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Demikian pula
pemberian pahala bagi orang yang taat dan pemberian siksa bagi yang berbuat maksiat
adalah berdasarkan wahyu, bukan pada akal.

Al- Baqillani berpendapat bahwa akal tetap berperan terhadap masalah-masalah yang
tidak berkaitan dengan pahala dan siksa. Misalnya, walaupun akal tidak dapat mengetahui
secara spontan mana makanan yang sehat dan mana yang mengandung racun, tetapi akal
dapat mengetahuinya melalui eksperimen. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami
bahwa fungsi akal dan wahyu dalam perspektif al-Baqillani agak berbeda dengan al-Asy’ari,
tetapi juga tidak sama dengan Mu’tazilah. Akal hanya mampu mengetahui baik dan buruk
yang berada di luar bingkai syar’I, sedang baik dan buruk yang berkenaan dengan pahala dan
dosa, wahyulah yang menentukan.

2) Tentang Sifat-sifat Tuhan Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi Al-baqillani
bukanlah sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah, sungguh
pun pada awalnya ia berpendapat sebaliknya.
3) Perbuatan Manusia

7
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.35
7

Dalam pandangan al-Asy’ari, manusia tidak punya pilihan di dalam perbuatannya


sebab semua yang dilakukan manusia berdasarkan ketentuan Tuhan. Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan manusia, sehingga manusia sama sekali tidak
mempunyai kebebasan dalam melakukan perbuatannya. Tuhan pemegang semua
kekuasaan sehingga manusia tidak mempunyai daya untuk menentang.
Berbeda dengan al-Asy’ari, menurut al-Baqillani ada perbuatan yang terjadi
berdasarkan pilihan manusia, dan ada pula perbuatan yang manusia terpaksa
melakukannya. Menurutnya,manusia mampu berdiri, duduk, dan berbicara dengan
kehendaknya sendiri. Tetapi manusia tidak mampu bergerak ketika lumpuh dan sakit[20].
Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan kehendak dalam menentukan
perbuatannya sendiri.

3) Al-Juwaini
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin
Abdullah bin Hayawi al-Juwaini. Nama al-Juwaini dinisbahkan pada kota tempat
kelahirannya, Juwaini termasuk wilayah Naisabur, Khurasan. Juga dikenal dengan gelaran
Abu al-Ma’ali, yang menunjukkan keutamaan yang dimilikinya sebagai ilmuwan,
agamawan, dan pemuka masyarakat. Di samping itu ia lebih masyhur dengan Imam al-
Haramain, gelar yang diberikan setelah mengajar selama empat tahun di dua kota suci.
Mekkah dan Madinah (447-451).

Al-Juwaini pertama mempelajari agama dari ayahnya, Syekh Abu Bakr Muhammad.
Ayahnya adalah ahli dalam bidang fiqh dan usul al-fiqh, nahwu dan sastra. Kemudian dia
berguru kepada Abu al-Qasim al-Iskafiy al-Isfiray di Madrasah al-Baihaqi. Dan ketika
pertentangan antara aliran Asy’ariyah dengan aliran Mu’tazilah memuncak, dia pergi ke
Baghdad dan disana dia belajar pada beberapa orang ulama besar. Dia berdiskusi serta
berguru kepada mereka sehingga nama al-Juwaini populer dikalangan mereka. Al-Juwaini
mengikuti jejak al-Baqillani dalam menjunjung tinggi argumentasi akal, bahkan pergi lebih
jauh dari al-Baqillani8.

Pemikiran Kalam al-Juwaini

1) Fungsi Akal dan Wahyu


Tidak jauh berbeda dengan umumnya kaum Asy’ari. al-Juwaini memandang akal
tidak mampu menjangkau adanya kewajiban-kewajiban, baik dan buruk dalam syariat

8
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.35
8

atau hukum Tuhan sebelum turunnya wahyu. Semua hal tersebut hanya bisa didapat
melalui perantaraan wahyu Tuhan. Namun demikian, al-Juwaini tidak selamanya
sependapat dengan al-Asy’ari, dia berpendapat bahwa baik dan buruk yang tidak
berhubungan dengan pahala dan dosa dapat dijangkau oleh akal[21]. Dengan demikian,
fungsi akal bagi al-Juwaini tidak selamanya bersifat konfirmatif atas informasi yang
didatangkan wahyu, tetapi juga bersifat informatif. Sebaliknya wahyu juga tidak
selamanya berfungsi informatif, tetapi terkadang bersifat konfirmatif.
2) Perbuatan Manusia
Bagi al-Juwaini, manusia bebas dalam menetukan kehendak dan perbuatannya.
Daya yang ada pada manusia menurutnya mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa
dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan bergantung pada
daya yang ada pada manusia. Wujud daya itu bergantung pula pada sebab lain, dan wujud
sebab itu bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikian seterusnya sehingga sampai
kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.Jadi menurut al-Juwaini, manusia punya
andil dalam mewujudkan perbuatannya, sebab daya yang ada pada manusia mempunyai
efek saat terjadi perbuatan. Sehingga perbuatan yang dilakukan oleh manusia bukanlah
perbuatan Tuhan, tetapi perbuatan manusia sendiri.
3) Sifat-sifat Tuhan
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua kelompok, yakni :
a) Sifat nafsiyah. Yakni sifat isbat bagi zat yang selalu ada selama zat itu ada, tanpa
disebabkan oleh sesuatu yang ada pada zat yaitu sifat: qidam, baqa, qiyamuhu
binafsihi, mukhalafah li al-hawadis dan wahdaniyah.
b) Sifat ma’nawiyah, ialah sifat yang timbul (ada) karena sesuatu illat yang ada pada
zat, seperti: qadir, murid, dan sebagainya.

Adapun wujud Tuhan menurut al-Juwaini tidak termasuk sifat tetapi merupakan zat
Tuhan sendiri.

4) Al-Gazali
Al-Gazali lahir di Gazalah, sebuah kota kecil yang terletak didekat Tus (wilayah
Kurasan) pada tahun 450 H / 1058 M dan wafat pada tahun 505 H / 19 Desember 1111
M. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad al-Tawus Abu Hamid Imam al-
Gazali, digelari hujjat al-Islam. Al-Gazali dinisbahkan kepada ayahnya sebagai gazal –
pemintal kain.Abu Hamid Al-Ghazali (1058- 1111 M) adalah pengikut Asy’ari yang
terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahlu Sunnah wal
9

jama’ah9. Hujjat al-Islam adalah penghargaan yang pantas disandangnya. Sebab, selain
sebagai representasi kaum sunni, juga karena kecermatan dan kecemerlangan tiap
argumentasi yang mendasari pemikirannya. Berlainan dengan gurunya Al-baqillani dan
Al-juwaini,faham teologi yang dimajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan
faham Al-Asy’ari, seperti Al-Asy’ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
qadim yan tidak identik dengan zat Tuhan yang mempunyai wujud di luar zat10. Begitu
juga mengenai Al-Qur’an dan Perbuatan manusia, tidak jauh berbeda dengan ajaran Al-
Asy’ari.

Pemikiran Kalam Al-Gazali

1) Fungsi Akal dan Wahyu

Akal dalam pandangan al-Gazali bisa menjangkau wujud Tuhan melalui pemikiran
tentang alam yang bersifat dijadikan. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Gazali selanjutnya,
bahwa objek pengetahuan terbagi tiga: yang dapat diketahui dengan akal saja, yang dapat
diketahui dengan wahyu saja, dan yang dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud
Tuhan dimasukkan dalam kategori pertama, yaitu kategori yang dapat diketahui dengan akal
tanpa wahyu. Oleh karena akal dan wahyu saling menunjang satu sama lain.

Akan tetapi akal tidak bisa menjangkau adanya kewajiban-kewajiban bagi manusia,
kewajiban hanya bisa ditentukan oleh wahyu. Juga akal tidak bisa mengetahui baik dan
buruk. Baik dan buruk hanya bisa ditentukan oleh wahyu. Demikian pula dengan pahala dan
dosa, akal sama sekali tidak punya kemampuan untuk mencapainya. Pahala dan dosa hanya
bisa diperoleh melalui wahyu.

2) Perbuatan Manusia

Mengenai perbuatan manusia, al-Gazali berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan


daya dan perbuatan. Daya yang terdapat dalam diri manusia tidak efektif dalam mewujudkan
perbuatan, tetapi lebih bersifat impotensi. Dengan demikian, manusia tidak punya kebebasan
dalam mewujudkan perbuatannya, ia sangat bergantung pada daya yang diciptakan Tuhan.

Dalam menjelaskan mengenai perbuatan manusia ini, al-Gazali menyatakan bahwa perbuatan
adalah bagian dari gerak yang bila dihubungkan dengan manusia, maka ada gerak yang tidak
disadari (al-tabi’iyah) dan gerak yang disadari (al-iradiyah). Perbuatan-perbuatan yang
disadari terjadinya, melalui proses tertentu dalam jiwa manusia yang disebut dengan ikhtiar.
9
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.35
10
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.36
10

Dan perbuatan semacam ini melalui tiga tahap dalam diri manusia, yaitu pengetahuan (al-
ilm),kemauan (al-iradah), dan kemampuan (al-qudrah). Jadi perbuatan yang dilakukan
manusia itu, berdasarkan pandangan al-Gazali diatas pada hakekatnya adalah perbuatan
Tuhan dan manusia hanya melakukan secara majaz, bukan sesungguhnya.

3) Sifat-sifat Tuhan

Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan, al-Gazali berbeda dengan gurunya al-Juwaini,


dan lebih sejalan dengan pandangan al-Asy’ari. Ia menyatakan bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan sifat-sifat itu mempunyai wujud
diluar zat-Nya.

II.3 Perkembangan dan Pengaruh Asy’Ariyah di Dunia Islam


Perkembangan Aliran Asy’ariah (Ahlu Sunnah wal jama’ah) Sebagaimana telah
diuraikan sebelumya bahwa dalam perkembanganya aliran al Asy’ari kemudian diidentikkan
dengan paham Ahlu Sunnah wal jama’ah maka untuk membahas perkembangannya dan
pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya tidak terlepas dari peranan tokoh-tokohnya
sendiri. Pengaruh Asy’ariah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) jika diperhatikan perjalanan
sejarah tokoh-tokoh Asy’ariah dalam perkembanganya dengan klaim Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, maka dapat dikatakan bahwasanya pengaruh ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak
terlepas dari beberapa hal:

1) Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam al-Asy’ari dan keahliannya dalam


perdebatan dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu ia adalah seseorang
yang shaleh dan taqwa sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan
memperoleh kepercayaan dari mereka.
2) Asy’ariah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan birokrasi (penguasa)
yang sangat membantu penyebaran paham ini. Para tokoh-tokoh tersebut tidak hanya
ahli dalam bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam
mengembangkan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah melalui perdebatan namun juga
melahirkan karya-karya ilmiah yang menjadi referensi hingga saat ini. Karya tersebut
antara lain: Maqalat al-Islamiyyah, al-Ibanah an Ushuluddianah, al Luma’Ketiganya
oleh Asy’ari, al-Tamhid oleh al Baqillani, al-Irsyad oleh al Juwaini, al-Qawaidul
Aqa’id dan Ihya Ulumuddin oleh al Ghazali, Aqidatu Ahlut Tauhid oleh al Sanusi,
Risalatut Tauhid oleh Muhammad Abduh dan karya-karya lainnya.
11

Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di Indonesia misalnya NU secara formal
konstitusional menganut ideologi, demikian pula Muhammadiyah secara tidak langsung
mengakui ideologi ini seperti yang terlihat adalah salah satu keputusan majlis tarjih yang
menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal
Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya juga menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu
Sunnah ialah Persatuan Islam (persis). Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran Ahlu
Sunnah itu diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.
12

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Asy`ariyah adalah sebuah paham yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-
Asy`ary. Nama lengkapnya ialah Abdul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin
Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-
Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Al-Asy’ary lahir pada tahun 260 H/873 M dan
wafat pada 324 H/935 M. Pada masa kecilnya Al-Asy’Ary berguru pada seorang
Mu’tazilah terkenal yaitu Al-Jubba’i. anAl-Asy’ary menjadi pengikut Mu’tazilah sampai
umur 40 tahun11 (Sitepu, 2011). Sebab Al Asy’ari meninggalkan pahamnya karena pada
suatu malam ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW yang mengatakan kepadanya bahwa
madzab ahli Hadits lah yg benar, dan madzab Mu’tazilah salah. Sebab lain adalah karena
perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’i, tentang tempat untuk anak kecil
di akhirat. Setelah al-Asy’ari mengasingkan diri di rumahnya selama lima belas hari
untuk merenung, kemudian ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basroh bahwa
dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-
keburukannya.

Dari pembahasan makalah ini, ditarik suatu kesimpulan, bahwa secara histories
timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya keinginan untuk kembali
pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam
pemikirannya al-Asy’ari masih menggunakan metode yang digunakan oleh kaum
Mu’tazilah, yaitu menggunakan kemampuan akal menganalisis nas-nas al-Qur’an.

Kaum Mu’tazilah selalu mengedepankan akal pikiran untuk memahami wahyu,


berangkat dari akal kemudia wahyu.Tapi al-Asy’ari sebaliknya mengedepankan wahyu
disbanding akal, menggunakan akal seperlunya saja.Sehingga tidak heran al-Asy’ari
dalam pemikirannya selalu mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljammah
dengan kaum rasionalis tersebut.Hal tersebut dapat dilihat pada setiap pokok-pokok
pemikirannya

11
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32

12
13

III.2 Saran
Makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan , tentu masih banyak
kekurangan yang tanpa sengaja, untuk itu kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan
saran yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan makalah ini.
14

DAFTAR PUSTAKA

Sitepu, Abdi Zulkarnain. (2011). Materi Kuliah Ilmu Kalam. Bengkulu.

https://tomymuhlisin.blogspot.com/2016/05/contoh-makalah-ilmu-kalam-asyariyah.html?m=1
diakses pada Sabtu, 06 Oktober pukul 20:23 WIB

http://mpi2umi.blogspot.com/2015/05/tugas-makalah-pemikiran-aliran-asyariyah.html?m=1
diakses pada Sabtu, 06 Oktober pukul 20:46 WIB

http://mpirill.blogspot.com/2016/12/makalah-iain-aliran-pemikiran-kalam.html?m=1diakses
pada Sabtu, 06 Oktober pukul 20:55 WIB

http://nandhadhyzilianz.blogspot.com/2013/01/makalah-ilmu-kalam-tentang-
asyariyah.html?m=1 diakses pada Sabtu, 06 Oktober pukul 21:43 WIB

Das könnte Ihnen auch gefallen