Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
ASY’ARIYAH
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK IV
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirahim...
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Rahmat - Nya sehingga
makalah yang berjudul “ASY’ARIYAH” ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa pula
kami mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi,tenaga maupun pikirannya.
Muncul dari keinginan bersama lalu digerakkan,dimulai hingga diselesaikan oleh dua
mahasiswa/i yang masih jauh pengalamannya dibawah mahasiswa/i lainnya dalam kelompok
ini. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca mengenai Ilmu Kalam khususnya tentang Asy’ariyah. Untuk kedepannya
kami harp kami dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah ini agar menjadi
lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
KELOMPOK IV
ii
iii
DAFTAR ISI
ASY’ARIYAH ...............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................ iii
BAB I ........................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1
II.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................................................... 1
II.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................................. 1
II.3 Tujuan ................................................................................................................................................ 1
BAB II .......................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 2
II.1 Sejarah Timbulnya Asy’Ariyah ......................................................................................................... 2
II.2 Tokoh-Tokoh Utama Asy’Ariyah dan Ajaran Pokoknya .................................................................. 3
1) Abu Hasan al-Asy’ari ................................................................................................................... 3
2) Al-Baqillani .................................................................................................................................. 5
3) Al-Juwaini .................................................................................................................................... 7
4) Al-Gazali ...................................................................................................................................... 8
II.3 Perkembangan dan Pengaruh Asy’Ariyah di Dunia Islam .............................................................. 10
BAB III ....................................................................................................................................................... 12
PENUTUP .................................................................................................................................................. 12
III.1 Kesimpulan..................................................................................................................................... 12
III.2 Saran ............................................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................. 14
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
II.3 Tujuan
1. Mengetahui sejarah timbulnya Asy’Ariyah
2. Mengetahui tokoh-tokoh utama Asy’ariyah dan ajara pokoknya
3. Mengetahui perkembangan danpengaruh Asy’Ariyah di Dunia Islam
1
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada masa kecilnya Al-Asy’Ary berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal yaitu
Al-Jubba’i. anAl-Asy’ary menjadi pengikut Mu’tazilah sampai umur 40 tahun2 (Sitepu,
2011). Sebab Al Asy’ari meninggalkan pahamnya karena pada suatu malam ia bermimpi
bertemu Rasulullah SAW yang mengatakan kepadanya bahwa madzab ahli Hadits lah yg
benar, dan madzab Mu’tazilah salah. Sebab lain adalah karena perdebatan antara al-
Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’i, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat.Menurut
al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak
kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ary
bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku;
sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan
oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa
jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi
kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa
mukallaf”. al-Asy’ary bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau
mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil,
maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di
sinilah al-Jubba’i terpaksa diam. Perdebatan ini menjadi salah satu faktor Al-Asy’ary
memutuskan meninggalkan Mu’tazilah. Ia sangat mengkhawatirkan Al-Qur’an dan
Hadist menjadi korban faham-faham Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat
dibenarkan3.
2
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32
3
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32
2
3
Setelah al-Asy’ari mengasingkan diri di rumahnya selama lima belas hari untuk
merenung, kemudian ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basroh bahwa dirinya
telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya
Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H (873 M) dan wafat di
Baqdad pada tahun 324 H (935 M). Sejak kecil ia berguru kepada seorang pengikut aliran
Mu’tazilah terkenal yaitu al-Jub’ai, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya
terus sampai usia 40 tahun. Setelah ia belajar berbagai ilmu di kota Bashrah, maka ia pergi ke
kota Baqdad, ibukota khalifah Islamiyyah saat itu, dan meneruskan belajar disana. Ia belajar
ilmu Kalam menurut paham Mu’tazilah, maka beliau termasuk pendukung dan orang
mu’tazilah yang tangguh. Jadi Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah sudah belajar dari
masa kecilnya tentang aliran Mu’tazilah
Pemikiran Al-Asy’ari
Awal mula proses pemikiran ajaran al-Asy’ari, dilakukan dengan berdiam dirinya
al-Asy’ari di rumah dengan berusaha mencari dasar pemikiran untuk mencoba
4
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32
4
membandingkan dalil-dalil antara kelompoknya dan Mu’tazilah. Hal itu ia lakukan dalam
rangka menjawab pemikiran kaum Mu’tazilah
1) Wajibul Wujud, bahwa setiap orang Islam wajib beriman kepada Tuhan yang mempunyai
sifat-sifat yang Qadim. Oleh karena kaum Asy’ariah adalah kaum Sifatiyah Jadi Allah
mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan sifat kuasa, sifat-sifat Allah adalah al-‘Ilmu
(Maha mengetahui),Allah bukanlah pengetahuan seperti yang dikatakan Mu’tazilah,
melainkan Allah itu adalah Yang Maha Mengetahui5. Sifat lainnya diantaranya al-Qudrah
(Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup) dan lain-lain. Semua ini adalah sifat-sifat Azali
(eternal) dan abadi dan hal ini pula menunjukkan kemutlakan kekuatan Tuhan untuk
berbuat atau tidak berbuat.
2) Keadilan Tuhan, Asy`ariyah bertentangan dengan Mu’tazilah, karena al-Asy’ari
memakai pendekatan Kemahakuasaan Tuhan secara mutlak.Jadi Tuhan bertindak
semaunya terhadap ciptaannya atas dasar kemahakuasaannya. Jadi tidak bisa dikatakan
salah jika seandainya Tuhan memasukkan orang kafir kedalam surga atau sebaliknya,
semua tergantung dari Tuhan.
3) Al-Qur’an, bahwasanya Qur’an itu sepenuhnya bukan makhluk termasuk suara dan
hurufnya, hanya perwujudan dalam bentuk suara dan huruf adalah makhluk, dan yang
bersifat Qadim hanya esensi al-Qur’an itu sendiri. Menyangkut tentang Akal dan Wahyu,
menurut Asy’ariah, akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan.
Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu, wahyulah yang mengatakan
dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan
manusia harus menerima kebenaran itu. Dengan demikian al-Asy’ari memberikan posisi
wahyu lebih tinggi tingkatannya dibanding akal.
4) Kemudian mengenai Iman bagi al-Asy’ari adalah Tasdiq dan Ikrar, ‘Amal bukanlah
kategori Iman tapi perwujudan dari pada Tasdiq. Jadi al-Asy’ari berpendirian bahwa
5
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.33
5
Iman adalah keyakinan bathin (Inner belief) baik iman secara lisan atau secara praktis
(perbuatan) keduanya merupakan cabang Iman. Dengan demikian siapa saja yang
beriman pada hatinya (mengakui ke-Esaan Allah dan Rasulnya serta dengan ikhlas
mempercayai segala apa yang mereka terima darinya). Iman orang seperti ini sah, jika dia
mati ia akan selamat dari neraka. Tidak ada sesuatu apapun yang membuat orang tidak
beriman (hilang Imannya) kecuali kalau menolak salah satu (keduanya) dari kebenaran-
kebenaran yang dua itu. Jadi siapa saja yang beriman dalam hatinya maka jika ia mati
maka akan selamat dari neraka. Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin,
karena imannya masih ada6. Jadi Al-Asy’ari tidak setuju dengan adanya golongan
pertengahan, yakni golongan yang tidak dapat dikatakan mu’min dan golongan yang
tidak dapat dikatakan kafir karena melakukan suatu dosa besar. Dengan demikian kata
al-Asy’ari siapa saja yang melakukan dosa besar lalu mati sebelum bertobat dari dosa itu,
maka keputusannya (apakah ia masuk surga atau neraka) ada ditangan Allah SWT.
5) Melihat Tuhan: ia berpendapat bahwa setiap yang ada dapat dilihat, Allah juga ada maka
dengan demikian dia dapat dilihat, ini dapat diketahui dari wahyunya bahwa kaum
Mukmin akan melihatnya dihari akhir nanti, sebagaimana Allah katakan “Dihari itu
wajah mereka (yang beriman) akan berseri-seri melihat Tuhan mereka (Q.S. al-
Qiyamah/75: 22)[12]. Akan tetapi penglihatan kita terhadap Tuhan tidak memerlukan
ruang, tempat, arah atau bentuk dan saling tatap muka (seperti kita), sebab itu mustahil.
Al-Asy’ari juga dikenal karena doktrin Kasyab (perolehan) kaitannya dengan perbuatan
manusia.Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung jari
adalah ciptaan Tuhan, namun hal itu diperoleh manusia untuk
dipertanggungjawabkan[13]. Doktrin ini sarana untuk menggambarkan kebebasan
kehendak manusia, sehingga manusia harus mempertanggungjawabkannya. Juga
sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya dan kekuatan Tuhan semata
2) Al-Baqillani
Al-Qadi Abu Bakr Muhammad Ibn al-Tayyib Ibn Muhammad Ibn al-Qasim Abu Bakr al-
Baqillani adalah nama lengkap dari al-Baqillani yang diduga lahir di Bashrah. Itulah nama
lengkap yang orang lain kenal sebagai al-Baqillani. Kalau Al-Asy’ari merupakan pemuka
yang pertama membentuk Asy’ariyah yang kemudian memakai namanya,maka pemuka-
pemuka yang memperkembangkan aliran itu adalah pengikut-pengikutnya. Tetapi Al-
baqilani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Al-Asy’ari. Dalam beberapa hal, Al-
baqillani tidak sefaham dengan Al-Asy’ari. Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi
6
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.34
6
Al-baqillani bukanlah sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah,
sungguh pun pada awalnya ia berpendapat sebaliknya. Kemudian mengenai faham perbuatan
manusia, berbeda dengan Al-Asy’ari yang menatakan bahwa perbuatan manusia adalah
diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut Al-baqillani manusia mempunyai sumbangan yang
efektif dalam perbuatannya7.
Al- Baqillani berpendapat bahwa akal tetap berperan terhadap masalah-masalah yang
tidak berkaitan dengan pahala dan siksa. Misalnya, walaupun akal tidak dapat mengetahui
secara spontan mana makanan yang sehat dan mana yang mengandung racun, tetapi akal
dapat mengetahuinya melalui eksperimen. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami
bahwa fungsi akal dan wahyu dalam perspektif al-Baqillani agak berbeda dengan al-Asy’ari,
tetapi juga tidak sama dengan Mu’tazilah. Akal hanya mampu mengetahui baik dan buruk
yang berada di luar bingkai syar’I, sedang baik dan buruk yang berkenaan dengan pahala dan
dosa, wahyulah yang menentukan.
2) Tentang Sifat-sifat Tuhan Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi Al-baqillani
bukanlah sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah, sungguh
pun pada awalnya ia berpendapat sebaliknya.
3) Perbuatan Manusia
7
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.35
7
3) Al-Juwaini
Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin
Abdullah bin Hayawi al-Juwaini. Nama al-Juwaini dinisbahkan pada kota tempat
kelahirannya, Juwaini termasuk wilayah Naisabur, Khurasan. Juga dikenal dengan gelaran
Abu al-Ma’ali, yang menunjukkan keutamaan yang dimilikinya sebagai ilmuwan,
agamawan, dan pemuka masyarakat. Di samping itu ia lebih masyhur dengan Imam al-
Haramain, gelar yang diberikan setelah mengajar selama empat tahun di dua kota suci.
Mekkah dan Madinah (447-451).
Al-Juwaini pertama mempelajari agama dari ayahnya, Syekh Abu Bakr Muhammad.
Ayahnya adalah ahli dalam bidang fiqh dan usul al-fiqh, nahwu dan sastra. Kemudian dia
berguru kepada Abu al-Qasim al-Iskafiy al-Isfiray di Madrasah al-Baihaqi. Dan ketika
pertentangan antara aliran Asy’ariyah dengan aliran Mu’tazilah memuncak, dia pergi ke
Baghdad dan disana dia belajar pada beberapa orang ulama besar. Dia berdiskusi serta
berguru kepada mereka sehingga nama al-Juwaini populer dikalangan mereka. Al-Juwaini
mengikuti jejak al-Baqillani dalam menjunjung tinggi argumentasi akal, bahkan pergi lebih
jauh dari al-Baqillani8.
8
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.35
8
atau hukum Tuhan sebelum turunnya wahyu. Semua hal tersebut hanya bisa didapat
melalui perantaraan wahyu Tuhan. Namun demikian, al-Juwaini tidak selamanya
sependapat dengan al-Asy’ari, dia berpendapat bahwa baik dan buruk yang tidak
berhubungan dengan pahala dan dosa dapat dijangkau oleh akal[21]. Dengan demikian,
fungsi akal bagi al-Juwaini tidak selamanya bersifat konfirmatif atas informasi yang
didatangkan wahyu, tetapi juga bersifat informatif. Sebaliknya wahyu juga tidak
selamanya berfungsi informatif, tetapi terkadang bersifat konfirmatif.
2) Perbuatan Manusia
Bagi al-Juwaini, manusia bebas dalam menetukan kehendak dan perbuatannya.
Daya yang ada pada manusia menurutnya mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa
dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan bergantung pada
daya yang ada pada manusia. Wujud daya itu bergantung pula pada sebab lain, dan wujud
sebab itu bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikian seterusnya sehingga sampai
kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.Jadi menurut al-Juwaini, manusia punya
andil dalam mewujudkan perbuatannya, sebab daya yang ada pada manusia mempunyai
efek saat terjadi perbuatan. Sehingga perbuatan yang dilakukan oleh manusia bukanlah
perbuatan Tuhan, tetapi perbuatan manusia sendiri.
3) Sifat-sifat Tuhan
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua kelompok, yakni :
a) Sifat nafsiyah. Yakni sifat isbat bagi zat yang selalu ada selama zat itu ada, tanpa
disebabkan oleh sesuatu yang ada pada zat yaitu sifat: qidam, baqa, qiyamuhu
binafsihi, mukhalafah li al-hawadis dan wahdaniyah.
b) Sifat ma’nawiyah, ialah sifat yang timbul (ada) karena sesuatu illat yang ada pada
zat, seperti: qadir, murid, dan sebagainya.
Adapun wujud Tuhan menurut al-Juwaini tidak termasuk sifat tetapi merupakan zat
Tuhan sendiri.
4) Al-Gazali
Al-Gazali lahir di Gazalah, sebuah kota kecil yang terletak didekat Tus (wilayah
Kurasan) pada tahun 450 H / 1058 M dan wafat pada tahun 505 H / 19 Desember 1111
M. Nama lengkapnya Muhammad bin Muhammad al-Tawus Abu Hamid Imam al-
Gazali, digelari hujjat al-Islam. Al-Gazali dinisbahkan kepada ayahnya sebagai gazal –
pemintal kain.Abu Hamid Al-Ghazali (1058- 1111 M) adalah pengikut Asy’ari yang
terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahlu Sunnah wal
9
jama’ah9. Hujjat al-Islam adalah penghargaan yang pantas disandangnya. Sebab, selain
sebagai representasi kaum sunni, juga karena kecermatan dan kecemerlangan tiap
argumentasi yang mendasari pemikirannya. Berlainan dengan gurunya Al-baqillani dan
Al-juwaini,faham teologi yang dimajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan
faham Al-Asy’ari, seperti Al-Asy’ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
qadim yan tidak identik dengan zat Tuhan yang mempunyai wujud di luar zat10. Begitu
juga mengenai Al-Qur’an dan Perbuatan manusia, tidak jauh berbeda dengan ajaran Al-
Asy’ari.
Akal dalam pandangan al-Gazali bisa menjangkau wujud Tuhan melalui pemikiran
tentang alam yang bersifat dijadikan. Hal ini diperkuat oleh keterangan al-Gazali selanjutnya,
bahwa objek pengetahuan terbagi tiga: yang dapat diketahui dengan akal saja, yang dapat
diketahui dengan wahyu saja, dan yang dapat diketahui dengan akal dan wahyu. Wujud
Tuhan dimasukkan dalam kategori pertama, yaitu kategori yang dapat diketahui dengan akal
tanpa wahyu. Oleh karena akal dan wahyu saling menunjang satu sama lain.
Akan tetapi akal tidak bisa menjangkau adanya kewajiban-kewajiban bagi manusia,
kewajiban hanya bisa ditentukan oleh wahyu. Juga akal tidak bisa mengetahui baik dan
buruk. Baik dan buruk hanya bisa ditentukan oleh wahyu. Demikian pula dengan pahala dan
dosa, akal sama sekali tidak punya kemampuan untuk mencapainya. Pahala dan dosa hanya
bisa diperoleh melalui wahyu.
2) Perbuatan Manusia
Dalam menjelaskan mengenai perbuatan manusia ini, al-Gazali menyatakan bahwa perbuatan
adalah bagian dari gerak yang bila dihubungkan dengan manusia, maka ada gerak yang tidak
disadari (al-tabi’iyah) dan gerak yang disadari (al-iradiyah). Perbuatan-perbuatan yang
disadari terjadinya, melalui proses tertentu dalam jiwa manusia yang disebut dengan ikhtiar.
9
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.35
10
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.36
10
Dan perbuatan semacam ini melalui tiga tahap dalam diri manusia, yaitu pengetahuan (al-
ilm),kemauan (al-iradah), dan kemampuan (al-qudrah). Jadi perbuatan yang dilakukan
manusia itu, berdasarkan pandangan al-Gazali diatas pada hakekatnya adalah perbuatan
Tuhan dan manusia hanya melakukan secara majaz, bukan sesungguhnya.
3) Sifat-sifat Tuhan
Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia. Di Indonesia misalnya NU secara formal
konstitusional menganut ideologi, demikian pula Muhammadiyah secara tidak langsung
mengakui ideologi ini seperti yang terlihat adalah salah satu keputusan majlis tarjih yang
menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal
Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya juga menyatakan berhak menyandang sebutan Ahlu
Sunnah ialah Persatuan Islam (persis). Kenyataan ini menunjukkan betapa aliran Ahlu
Sunnah itu diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat.
12
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Asy`ariyah adalah sebuah paham yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-
Asy`ary. Nama lengkapnya ialah Abdul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin
Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-
Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Al-Asy’ary lahir pada tahun 260 H/873 M dan
wafat pada 324 H/935 M. Pada masa kecilnya Al-Asy’Ary berguru pada seorang
Mu’tazilah terkenal yaitu Al-Jubba’i. anAl-Asy’ary menjadi pengikut Mu’tazilah sampai
umur 40 tahun11 (Sitepu, 2011). Sebab Al Asy’ari meninggalkan pahamnya karena pada
suatu malam ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW yang mengatakan kepadanya bahwa
madzab ahli Hadits lah yg benar, dan madzab Mu’tazilah salah. Sebab lain adalah karena
perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’i, tentang tempat untuk anak kecil
di akhirat. Setelah al-Asy’ari mengasingkan diri di rumahnya selama lima belas hari
untuk merenung, kemudian ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Basroh bahwa
dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-
keburukannya.
Dari pembahasan makalah ini, ditarik suatu kesimpulan, bahwa secara histories
timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya keinginan untuk kembali
pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam
pemikirannya al-Asy’ari masih menggunakan metode yang digunakan oleh kaum
Mu’tazilah, yaitu menggunakan kemampuan akal menganalisis nas-nas al-Qur’an.
11
Abdi Zulkarnain Sitepu, Materi Kuliah Ilmu Kalam, hlm.32
12
13
III.2 Saran
Makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan , tentu masih banyak
kekurangan yang tanpa sengaja, untuk itu kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan
saran yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan makalah ini.
14
DAFTAR PUSTAKA
https://tomymuhlisin.blogspot.com/2016/05/contoh-makalah-ilmu-kalam-asyariyah.html?m=1
diakses pada Sabtu, 06 Oktober pukul 20:23 WIB
http://mpi2umi.blogspot.com/2015/05/tugas-makalah-pemikiran-aliran-asyariyah.html?m=1
diakses pada Sabtu, 06 Oktober pukul 20:46 WIB
http://mpirill.blogspot.com/2016/12/makalah-iain-aliran-pemikiran-kalam.html?m=1diakses
pada Sabtu, 06 Oktober pukul 20:55 WIB
http://nandhadhyzilianz.blogspot.com/2013/01/makalah-ilmu-kalam-tentang-
asyariyah.html?m=1 diakses pada Sabtu, 06 Oktober pukul 21:43 WIB