Sie sind auf Seite 1von 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan
perlambatan (decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000)
mengatakan cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang
mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat
injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Sedangkan
menurut Satya (1998), cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan
otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah
serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tumpul maupun trauma
tembus.
2.2 ETIOLOGI
Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab
cedera kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2
faktor yaitu :
a) Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)
b) Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
c) Trauma akibat persalinan
d) Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan
pada saat olahraga.
e) Jatuh
f) Cedera akibat kekerasan.
2.3 PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen,
jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70
% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow
(CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 %
dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi
tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit
kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung
terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan
rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya,
kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi,
goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek
yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi,
kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum
dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan
padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat
ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam
rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul
masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia,
hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan
kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena
cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala
menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi
tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan
yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika
sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu
menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma
epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan
mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen
berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak,
karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada
kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan
steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul
rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya,
1998).
2.4 KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
Berdasarkan Mekanisme
a) Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja,
jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b) Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda
tajam/runcing.
1. Berdasarkan Beratnya Cidera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian
Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
 Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
b. Cedera kepala sedang
 GCS 9 – 12
 Saturasi oksigen > 90 %
 Tekanan darah systole > 100 mmHg
 Lama kejadian < 8 jam
 Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24
jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
 Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena
aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata
edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka
reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan
traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai
“T”.
2. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala
dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii
secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan
kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis
dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis
dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat
erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi
fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai
dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill
hematom, batle’s sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii
dan nviii (Kasan, 2000).
Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah
batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu
dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada bloody
otorrhea/otoliquorrhea.
3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi
yang sehat (Kasan : 2000).
a. Cedera Otak
1. Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan
karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi
pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan
tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan
pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian
cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya
korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera
(amnezia retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli
bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak
lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih
berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak
yang berkepanjangan.
2. Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan
rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara
yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau
N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada
lokalisasi kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai
dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang
mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya
suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan
tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
2) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter
akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya.
Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti
pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara
durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah
atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena
tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat
tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks.
Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya
tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
c) Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu
perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling
sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada
permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna
(pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya
pembuluh darah otak.
d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan
subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau
arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks.
Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter
bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.
3. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-
decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak
dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti
hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak,
komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ
tubuh yang lain.

2.5 MANIFESTASI KLINIK


1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
2.6 KOMPLIKASI
1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema serebral dan herniasi
2.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya
infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf) Dapat melihat perkembangan gelombang
yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial

11. Screen Toxicologi


Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
2.8 PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya
cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
4. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
5. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
6. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20
% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu
banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam
kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500
- 3000 TKTP).
f. Pembedahan bila ada indikasi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1 PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah,
pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB,
alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien,
pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi
sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan
kejang
 Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit menular.
 Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga
sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.
d. Pengkajian persistem
1. Keadaan umum
2. Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3. TTV
4. Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi,
nafas bunyi ronchi.
5. Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut
nadi bradikardi kemudian takikardi.
6. Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
7. Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami
perubahan selera
8. SistemMuskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9. Sistem Persarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan
pengecapan .
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan
sensasi sebagian tubuh.
a. Nervus cranial
 N.I : penurunan daya penciuman
 N.II :pada trauma frontalis terjadi penurunan
penglihatan
 N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya
menurun, perubahan ukuran pupil, bola mta tidak dapat
mengikuti perintah, anisokor.
 N.V : gangguan mengunyah
 N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya
rasa pada 2/3 anterior lidah
 N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
 N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan
b. Skala Koma glasgow (GCS)
NO KOMPONEN NILAI HASIL
1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak tepat/tidak nyambung
dengan pertanyaan
1 VERBAL
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5 Orientasi baik
1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
2 MOTORIK
6 Dengan perintah
1 Tidak berespon
2 Rangsang nyeri
3 Reaksi membuka
3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
mata (EYE)
4 Spontan
c. Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang
digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan
b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medula
oblongata
c. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hiposksia
d. Perubahan persepsi sensori b.d defisit neorologis.
e. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK.
f. Kerusakan mobilitas fisik b.d imobilitas.
g. Resti injury b.d kejang.
h. Resti infeksi b.d kontinuitas yang rusak
i. Resti gangguan intregritas fisik b.d imobilitas
j. Resti kekurangan volume cairan b.d mual-muntah
3.3 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO. TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
a. Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji kepatenen jalan - Ronki, mengi
keperawatan selama, napas menunjukan aktivitas
diharapkan klien dapat sekret yang dapat
mempertahanakan patensi menimbulkan
napas dengan kriteria hasil penggunaan otot-otot
: asesoris dan
a. Bunyi napas vesikuler meningkatkan kerja
b. Tidak ada spuntum pernapasan.
c. Masukan cairan
- Membantu
adekuat. 2. Beri posisi semifowler. memaksimalkan
ekspansi paru dan
menurunkan upaya
pernapasan.
- Pengisapan dan
3. Lakukan penghisapan membersihkan jalan
lendir dengan hati-hati napas dan akumulasi dari
selama 10-15 menit. Catat sekret. Dilakukan
sifat-sifat, warna dan bau dengan hati-hati untuk
sekret. Lakukan bila tidak menghindari terjadinya
ada retak pada tulang iritasi saluran dan reflek
basal dan robekan dural. vagal.
- Posisi semi prone dapat
4. Berikan posisi semi membantu keluarnya
pronelateral/miring atau sekret dan mencegah
terlentang setiap dua jam. aspirasi. Mengubah
posisi untuk merangsang
mobilisi sekret dari
saluran pernapasan.
- Membantu
mengencerkan sekret,
5. Pertahankan masukan meningkatkan
cairan sesuai kemampuan pengeluaran sekret.
klien.
- Meningkatkan ventilasi
dan membuang sekret
6. Berikan bronkodilator IV serta relaksasi otot
dan aerosol sesuai halus/spsponsne
indikasi. bronkus.
b. Setelah dilakukan asuhan 1. Pantau frekuensi, irama - Perubahan dapat
keperawatan selama , dan kedalaman menandakan awitan
diharapkan klien pernapasan. Catat komplikasi pulmo atau
mempunyai pola ketidakteraturan menandakan luasnya
pernapasan yang efektif pernapasan. keterlibatan otak.
dengan kriteria hasil: Pernapasan lambat,
a. Pola napas nomal (irama periode aprea dapat
teratur, RR = 16-24 menandakan perlunya
x/menit). ventilasi mekanis.
b. Tidak ada pernapasan
- Kemampuan mobilisasi
cuping hidung. 2. Catat kompetensi reflek penting untuk
c. Pergerakan dada GAG dan kemampuan pemeliharaaan jalan
simetris.
d. Nilai GDA normal. untuk melindungi jalan napas. Kehilangan reflek
PH darah = 7,35-7,45. napas sendiri. batuk menandakan
PaO2 = 80-100 mmHg. perlunya jalan napas
PaCO2 = 35-45 mmHg. buatan/intubasi.
HCO3- = 22-26 m.Eq/L
- Untuk memudahkan
3. Tinggikan kepala tempat ekspansi paru dan
tidur sesuai indikasi. menurunkan adanya
kemugkinan lidah jatuh
menutupi jalan napas.
- Mencegah atau
4. Anjurkan kllien untuk menurunkan atelektasis.
bernapas dalam dan batuk - Memaksimalkan O2
efektif. pada darah arteri dan
5. Beri terapi O2 tambahan. membantu dalam
mencegah hipoksia.
- Menentukan kecukupan
6. Pantau analisa gas darah, pernapasan,
tekanan oksimetri. keseimbangan asam
basa.
c. Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji status neurologis - Hasil dari pengkajian
keperawatan selama 3X24 yang berhubungan dapat diketahui secara
jam, diharapkan klien dengan tanda-tanda dini adanya tanda-tanda
mempunyai perfusi peningkatan TIK, peningkatan TIK
jaringan adekuat dengan terutama CGS. sehingga dapat
kriteria hasil: menentukn arah
a. Tingkat kesadaran tindakan selanjutnya
normal (composmetis). serta manfaat untuk
b. TTV Normal. menentukan lokasi,
(TD: 120/80 mmHg, suhu: perluasan dan
36,5-37,50C, Nadi: 80- perkembangan keruskan
100 x/menit, RR: 16-24 SSP.
x/m)
- Dapat mendeteksi secara
2. Monitor TTV; TD, denyut dini tanda-anda
nadi, suhu, minimal peningkatan TIK,
setiap jam sampai klien misalnya hilangnya
stabil. autoregulasidapat
mengikuti kerusakan
vaskularisasi selenral
lokal. Napas yang tidak
teratur dapat
menunjukkan lokasi
adanya gangguan
serebral.
- Posisi kepala dengan
3. Tingggikan posisi kepala sudut 15-45o dari kaki
dengan sudut 15-45o akan meningkatkan dan
memperlancar aliran
balik vena kepala
sehingga mengurangi
kongesti cerebrum, dan
mencegah penekanan
pada saraf medula
tanpa bantal dan posisi spinalis yang menambah
netral. TIK.
- Deman menandakan
adanya gangguan
hipotalamus:
peningkatan kebutuhan
metabolik akan
meningkatkan TIK.
- Mencegah kelibahan
cairan yang dapat
4. Monitor suhu dan atur menambah edema
suhu lingkungan sesuai serebri sehingga terjadi
indikasi. Batasi peningkatan TIK.
pemakaian selimut dan - Mengurangi hipokremia
kompres bila de mam. yang dapat
meningkatkan
vasoditoksi cerebri,
volume darah dan TIK.
5. Monitor asupan dan
keluaran setiap delapan - Manitol/gliserol
jam sekali. merupakan cairan
hipertonis yang berguna
untuk menarik cairan
dari intreseluler dan
ekstraseluler. Lasix
6. Berikan O2 tambahan
untuk meningkatkan
sesuai indikasi.
ekskresi natrium dan air
yang berguna untuk
mengurangi edema otak.

7. Berikan obat-obatan
antiedema seperti manito,
gliserol dan losix sesuai
indikasi.
d. Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji respon sensori - Informasi yang penting
keperawatan selama 3X24 terhadap panas atau untuk keamanan kllien ,
jam, diharapkan klien dingin, raba atau semua sistem sensori
mengalami perubahan sentuhan. Catat dapat terpengaruh
persepsi sensori dengan perubahan-perubahan dengan adanya
kriteria hasil: yang terjadi. perubahan yang
a. Tingkat kesadaran melibatkan kemampuan
normal. E4 M6V5. untuk menerima dan
b. Fungsi alat-alat indera berespon sesuai
baik. stimulus.
c. Klien kooperatif
- Hasil pengkajian dapat
kembali dan dapat
menginformasikan
berorientasi pada orang,
susunan fungsi otak yang
waktu dan tempat. 2. Kaji persepsi klien, baik terkena dan membantu
respon balik dan koneksi intervensi sempurna.
kemampuan klien
beroerientasi terhadap
orang, tempat dan waktu.
- Merangsang kembali
3. Berikan stimulus yang kemampuan persepsi-
berarti saat penurunan sensori.
kesadaran.
- Gangguan persepsi
4. Berikan keamanan klien sensori dan buruknya
dengan pengamanan sisi keseimbangan dapat
tempat tidur, bantu latihan meningkatkan resiko
jalan dan lindungi dari terjadinya injury.
cidera.

5. Rujuk pada ahli - Pendekatan antar


fisioterapi , terapi disiplin dapat
deuposi, wicara, terapi menciptakan rencana
kognitif. penatalaksanaan
terintregasi yang
berfokus pada
peningkatan evaluasi,
dan fungsi fisik, kognitif
dan ketrampilan
perseptual.
e. Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan riwayat nyeri, - Informasi akan
keperawatan selama 3X24 lokasi, intensitas, keluhan memberikan data dasar
jam, nyeri berkurang atau dan durasi. untuk membantu dalam
terkendali dengan kriteria menentukan
hasil: pilihan/keeferktifan
2. Monitor TTV.
a. Pelaporan nyeri intervensi.
terkontrol. - Perubahan TTV
b. Pasien tenang, tidak merupakan indikator
gelisah. 3. Buat posisi kepala lebih nyeri.
c. Pasien dapat cukup tinggi (15-45o).
- Meningkatkan dan
istirahat.
melancarkan aliran balik
darah vena dari kepala
sehingga dapat
mengurangi edema dan
4. Ajarkan latihan teknik TIK.
relaksasi seperti latihan - Latihan napas dapat
napas dalam. membantu pemasukan
O2 kebih banyak ,
terutama untuk
oksigenasi otot.
5. Kurangi stimulus yang
tidak menyenangkan dari - Respon yang tidak
luas dan berikan tindakan menyenangkan
yang menyenangkan menambah ketegagngan
seperti masase. saraf dan mamase akan
mengalihkan rengsang
terhadap nyeri.
f.. Setelah dilakukan asuhan 1. Periksa kembali - Mengidentifikasi
keperawatan selama 3X24 kemampuan dan keadaan kemungkinan kerusakan
jam, diharapkan klien secara fungsional pada yang terjadi secara
mampu melakukan kerusakan yang terjadi fungsional dan
aktifitas fisik dan ADL mempengaruhi pilihan
dengan kriteria hasil:
a. Klien mampu pulih intervensi yang akan
2. Kaji tingkat kemampuan
kembali pasca akut dilakukan
mobilitas dengan skala 0-
dalam mempertahankan
4 - Seseorang dalam setiap
fungsi gerak.
0: Klien tidak bergantung kategori mempunyai
b. Tidak terjadi komplikasi
orang lain. resiko kecelakaan,
, seperti dekubitus,
1: Klien butuh sedikit namun dengan kategori
bronkopnemonia
bantuan. nilai 2-4 menpunyai
tromboplebitis dan
2: Klien butuh bantuan resiko yang terbesar
kontraktur sendi.
sederhana. untuk terjadinya bahaya.
c. Mampu
3: Klien butuh bantuan
mempertahankan
atau peralatan yang
keseimbangan fungsi
banyak.
tubuh.
4: Klien butuh sangat
bergantung pada orang
lain.

3. Atur posisi klien dan ubah


posisi secara teratur tiap - Dapat meningkatkan
dua jam sekali bila tidak sirkulasi seluruh tubuh
ada kejang atau setelah dan mencegah adanya
empat jam pertama. tekanan pada organ yang
4. Bantu klien melakukan menonjol.
gerakan sendi secara
teratur. - Mempertahankan fungsi
sendi dan mencegah
5. Pertahankan linen tetap resiko tromboplebitis.
bersih dan bebas kerutan - Meningkatkan sirkulasi
dan meningkatkan
elastisitas kulit dan
menurunkan resiko
terjadinya ekskariasi
6. Bantu untuk melalukan kilit
latihan rentang gerak - Mempertahankan
aktif/pasif mobilisasi dan fungsi
sendi/posisi normal
ekstremitas dan
menurunkan terjadinya
7. Anjurkan klien untuk vena statis
tetap ikut serta dalam - Meningkatkan
pemenuhan kebutuhan kesembuhan dan
ADL sesuai kemampuan membentuk kekuatan
otot
g Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi tanda-tanda - Mengetahui saat
keperawatan selama 3X24 kejang, waktu terjadinya kejang untuk
jam, diharapkan klien tidak antisipasi
mengalami cedera dengan 2. Pertahankan penghalang - Menurunkan terjadinya
kriteria hasil: tempat tidur terpasang trauma
a. Pernyataan pemahaman 3. Jauhkan benda-benda - Menurunkan terjadinya
faktor yang trlibat dalam yang dapat melukai klien trauma
kemungkinan cedera. 4. Pertahankan agar lidah - Menurunkan terjadinya
tidak tergigit trauma
b. Menunjukkan perilaku , 5. Berikan obat sesuai - Mengendalikan kejang
gaya hidup untuk dengan indikasi, misal
menurunkan faktor antikonvulsan
resiko dan melindungi
dari cedera
c. Mengubah lingkungan
sesuai indikasi untuk
meningkatkatkan
keamanan

h Setelah dilakukan asuhan 1. Pertahankan teknik - Menurunkan resiko


keperawatan selama 3X24 aseptik dan teknik cuci terjadinya infeksi dan
jam, diharapkan klien tidak tangan yang tepat bagi kontaminasi silang
mengalami infeksi dengan pasien, pengunjung
kriteria hasil: maupun staf.
a. Tidak ada tanda-tanda 2. Pantau suhu secara teratur - Peningkatan suhu
infeksi, rubor, kalor, merupakan salah satu
dolor. indikator terjadinya
b. Suhu tubuh 36,5-37,5 oC infeksi
c. Mencapai penyembuhan 3. Ubah posisi klien dengan - Mencegah kerusakan
tepat waktu sering. Pertahankan linen kulit
d. Berpartisipasi dalam tetap kering dan bebas
intervensi dalam dari kerutan.
pencegahan infeksi 4. Batasi/hindari prosedur - Menurunkan resiko
invansif kontaminasi
5. Beri antibiotik sesuai - Mengidentifikasi infeksi
indikasi
i.. Setelah dilakukan asuhan 1. Inspeksi seluruh area - Kulit biasanya
keperawatan selama 3X24 kulit. Catat adanya cenderung rusak karena
jam, diharapkan klien tidak kemerahan perubahan sirkulasi
mengalami infeksi dengan perifer, tekanan
kriteria hasil: 2. Lakukan perubahan posisi - Meningkatkan sirkulasi
a. Mengidentifikasi faktor sesering mungkin pada kulit dan
resiko individual. mengurangi tekanan
b. Mengungkapkan pada daerah tulang yang
pemahaman tentang menonjol
kebutuhan tindakan 3. Pertahankan linen tetap - mengurangi/mencegah
c. Berpartisipasi pada kering, bersih dan bebas adanya iritasi kulit
tingkat kemampuan kerutan
untuk mencegah 4. Tinggikan ekstremitas - Meningkatkan arus balik
kerusakan kulit. bawah secara periodik vena,
mencegah/mengurangi
pembentukan edema
5. Masase penonjolan tulang - Meningkatkan sirkulasi
dengan lembut ke jaringan,
menggunakan krim/lotion meningkatkan tonus
vaskuler dan mengurangi
edema jaringan
j. Setelah dilakukan asuhan 1. Ukur haluaran dan BJ - Penurunan haluaran urin
keperawatan selama 3X24 urin. Catat dan BJ akan
jam, diharapkan klien tidak ketidakseimbangan input menyebabkan
mengalami infeksi dengan dan output. hipovolemia.
kriteria hasil: 2. Dorong masukan cairan - Memperbaiki kebutuhan
peroral sesuai toleransi cairan
a. TTV dalam batas 3. Pantau tekanan darah dan - Pengurangan dalam
normal denyut jantung sirkulasi volume cairan
TD 120/80 mmHg, nadi dapat mengurangi
60-100x/menit, suhu tekanan darah,
36,5-37,5 oC, RR 16- mekanisme kompensasi
24x/menit awal takikardi untuk
b. Nadi perifer teraba kuat meningkatkan curah
c. Haluaran urin adekuat jantung dan tekanan
darah sistemik
4. Palpasi denyut perifer - Denyut yang lemah,
mudah hilang dapat
menyebabkan
hipovolemi
5. Kaji membran mukosa, - Merupakan indikator
turgor kulit, dan rasa haus dari kekurangan volume
cairan dan sebagai
pedoman untuk
penatalaksaan rehidrasi
6. Berikan tambahan cairan - Memperbaiki kebutuhan
parenteral sesuai indikasi cairan
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Car. 2 nd
ed. Philadelpia : F.A. Davis Company.
Long; B and Phipps W. 1985. Essential of Medical Surgical Nursing : A
NursingProcess Approach. St. Louis : Cv. Mosby Company.
Asikin, Z. 1991. Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala.
Panatalaksanan Penderita dengan Alat Bantu Napas. Jakarta.
Harsono. 1993. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta : Gadjah Mada University
Press
Saanin, S dalam Neurosurgeon. mailto:%20saanin@padang.wasantara.net.id
Cecily, L & Linda A. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume II.
Jakarta: EGC.
Iskandar. 2004. Cedera Kepala. Jakarta Barat: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Suriadi & Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Jakarta:
CV Sagung Seto
Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC
Bajamal, A. 1999. Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. Surabaya.
Umar, K. 1998. Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala
Surabaya : Airlangga Univ. Press.
Umar, K. 2000. Penanganan Cidera Kepala Simposium. Tretes : IKABI.
Vincent, J. 1996. Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxi. Germany

Das könnte Ihnen auch gefallen