Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas struktur mata kuliah Tauhid dengan Dosen Pengampu oleh
Bapak Dr. Buhori Muslim, M. Ag
Kelompok 11
JURUSAN AGROTEKNOLOGI/V-A
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2017 M/1439 H
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4
1. Ikhlas ...................................................................................................14
2. Tawakal ...............................................................................................16
3. Sabar ....................................................................................................18
4. Syukur..................................................................................................19
5. Ridha ...................................................................................................20
A. Kesimpulan .............................................................................................21
B. Saran .......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
2. lihat penjelasan Ibrahim Muhammad ibn Abdullah AI-Buraikan. Pengantar Studi Aqidah Islam.
diterjemahkan oleh Muhammad Anis Matta. (Jakarta: Litbang Pusat Studi Islam AI-Manar. tth).
him. 4.
3. Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 11
BAB II
PEMBAHASAN
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku, maka mengabdilah
pada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”. (Q.S. Thaha : 14).
Dari ayat-ayat kauniyah, kita dapati keyakinan adanya Allah melalui apa-
apa yang ada di alam semesta dan juga pada diri kita sendiri. (lihat Q.S. Adz
Dzariyat : 21-22 dan Q.S. Fushshilat : 53). Misalnya adalah yang ada pada telapak
tangan kita. Ruas-ruas tulang jari (tapak tangan maupun telapak kaki) kita
terkandung jejak-jejak nama Allah, Tuhan yang sebenar pencipta alam semesta ini.
Perhatikan salah satu tapak tangan kita (bisa kanan bisa kiri). Perhatikan lagi
dengan seksama:
Jari kelingking = membentuk huruf alif
Jari manis, tengah dan jari telunjuk = membentuk huruf lam (double)
Jari jempol (ibu jari) = membentuk huruf ha
Jadi jika digabung, maka bagi Anda yang mengerti huruf Arab akan
mendapati bentuk tapak tangan itu bisa dibaca sebagai Allah (dalam bahasa Arab).
Garis utama kedua telapak tangan kita, bertuliskan dalam angka Arab yaitu
: IɅ pada telapak tangan kanan, artinya : 18; dan ɅI pada telapak tangan kiri,
artinya : 81. Jika kedua angka ini dijumlahkan, 18+81 = 99, 99 adalah jumlah
nama/sifat Allah, Asmaul Husna yang terdapat dalam Al-Quran.
Mengenai sidik jari, polisi dapat mengidentifikasi kejahatan berdasarkan
sidik jari yang ditinggalkan oleh pelaku di tubuh korban. Hal ini disebabkan
struktur sidik jari setiap orang berbeda satu dengan lainnya. Bila kelak penjahat itu
telah ditemukan maka untuk membuktikan kejahatannya sidik jarinya akan
dicocokkan dengan sidik jari yang ada dalam tubuh korban. Maka si penjahat tidak
dapat memungkiri perbuatannya di hadapan polisi. Keistimewaan pada jari jemari
manusia menunjukkan kebenaran firman Allah yang menyatakan bahwa segala
sesuatu ada bekasnya. Allah tidak akan menyia-nyiakan bekas-bekas ini untuk
dituntut di yaumil akhir nanti.
ِاناِنحنِنحيِالموتيِونكتبِماِقدِموِاوءاِثرِهمِوكلِشيءِاحصينهِفئِاماِمبين
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang
telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu
Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Yaasin:12).
Adapun mengenai mu’jizat yang Allah berikan kepada para rasul dan nabi-Nya,
telah cukup memperkuat eksistensi Allah. Mu’jizat terbesar yang hingga kini masih ada
adalah Al Qur’an. Berikut adalah beberapa contoh mu’jizat yang terdapat dalam Al
Qur’an.
- Asal mula alam raya :
“Kemudian Dia menuju pada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan kabut,
lalu Dia berkata, “Datanglah kepada-Ku baik dengan suka maupun terpaksa”.
Keduanya berkata, “Kami datang dengan suka hati.” (QS. Fushshilat : 11).
Tak seorangpun ahli sains mengira bahwa langit, bintang dan planet-planet itu
dasarnya adalah kabut (dukhan) setelah alat-alat ilmiah berkembang pesat. Para peneliti
menyaksikan sisa-sisa kabut yang hingga kini selalu membentuk bintang-gemintang.
- Bulan dan mentari :
“Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam,
kami jadikan tanda siang itu terang”. (QS. Al Isra: 12).
Para pakar ilmu astronomi pada saat ini telah menemukan bahwa rembulan
dulunya menyala kemudian padam dan sinarnya sirna. Cahaya yang keluar dari
rembulan di malam hari hanyalah pantulan dari lampu (siraj) lain yaitu matahari.
“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang Dia juga
menjadikan padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” (QS.Al Furqan: 61).
Di sini Allah menyatakan bahwa matahari bersinar, sehingga dikatakannya
“pelita/lampu”. Jika bulan bersinar pula, tentu Allah akan berkata “dua lampu” (as
sirajain).
- Kurangnya oksigen di langit :
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Dia menjadikan dadanya
sesak lagi sempit seolah-olah sedang mendaki ke langit”. (QS. Al An’am: 125).
Dahulu orang-orang beranggapan bahwa orang yang naik ke atas merasa sesak
napas karena udara buruk yang tidak sehat. Tetapi manakala manusia berhasil membuat
pesawat ruang angkasa super canggih dan ia mampu naik ke langit, diketahuilah bahwa
orang yang naik ke langit dadanya terasa sesak, bahkan amat sesak, dikarenakan udara
(oksigen) berkurang dan bahkan hampa. Karena itu para astronot harus memakai tabung
oksigen ketika mengangkasa.
Setelah mengkaji beberapa contoh hubungan kitabullah dengan sains modern,
pahamlah kita bahwa Al Qur’an benar-benar suatu mukjizat yang tiada bandingnya.
Mereka yang memiliki hati nurani akan merasa takjub dengan keangungan-Nya.
Sungguh benar firman Allah :
ِولقدِجئنهمِبكتبِفصلنهِعلئِعلمِهدئِورِحمتهِلقومِيؤِمنون
“Sesungguhnya telah Kami datangkan kepada kamu suatu kitab yang telah Kami
jelaskan berdasarkan ilmu (dari kami), sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.” (QS. Al A’raf: 52).
Manusia yang beriman dan berakal lurus akan merasakan keberadaan Allah dan
membenarkan keimanannya kepada Allah (tashdiqul mu’min ilallah). Sehingga rukun
iman yang enam perkara yang selalu kita hapalkan itu, bukan hanya keimanan dalam
lafadz semata, tapi juga telah tertashdiq (dibenarkan) dalam hati dan pola tingkah kita
sehari-hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
ما كذب الفؤا د ما رائ
”Hatinya tidak mendustai apa yang telah dilihatnya”. (QS. An-Najm: 11)
2. Mahabbah Fillah (cinta karena Allah), yaitu rasa cinta terhadap sesuatu yang muncul
pada diri seseorang disebabkan kecintaannya kepada Allah atau karena sesuatu itu
dicintai oleh Allah. Sesuatu tersebut bisa berupa manusia, seperti para nabi dan rasul,
wali-wali Allah, orang-orang saleh, syuhada, dan sebagainya; bisa berupa amalan,
seperti shalat, puasa, zakat, haji, berbakti pada kedua orang tua, menuntut ilmu,
membaca Al-Quran, dll; bisa berupa tempat, seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi,
Masjidil Aqsha, dll; atau berupa waktu, seperti sepertiga malam yang akhir, setelah
selesai shalat, waktu berbuka puasa, dll.
Segala jenis kecintaan tersebut merupakan kesempurnaan dari kecintaan
seseorang kepada Allah. Oleh karenanya, jenis mahabbah yang kedua ini
mengikut mahabbah yang pertama. Artinya, mahabbah ini bernilai ibadah yang sangat
agung bukan karena semata-mata kecintaan seseorang kepada sesuatu tersebut,
melainkan karena kecintaan tersebut merupakan tuntutan kecintaan kepada Allah.
Seandainya seseorang mencintai Rasulullah semata-mata karena beliau seorang lelaki
yang gagah perkasa, bukan karena beliau adalah utusan Allah, niscaya itu tidak
termasuk ibadah. Demikian pula kecintaan seseorang kepada Masjidil Haram semata-
mata karena keindahan bangunannya, itu bukan ibadah, dan masuk dalam
kategori mahabbah thabi’iyyah yang mubah.
Rasulullah bersabda,
َِاسِِأ َجْ َمعلين َ ََلِيُؤْ لم ُنِأ َ َحدُكُ ْمِ َحتَّىِأَكُونَ ِأ َ َحبَّ ِ لإلَ ْيهلِم ْلن
َ ِولَ لدهلِ َو َوا لل لده
لِوالنَِّ ل
“Salah seorang dari kalian belum beriman hingga diriku lebih dia cintai daripada
anaknya, bapaknya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Imam Muslim dari hadits Anas bin
Malik)
“Dijadikan indah pada (selera) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, berupa
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di
sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Namun, apabila kecintaan ini mendorong kecintaan kepada Allah dan ketaatan
kepada-Nya, teranggap sebagai ibadah dan masuk dalam kategori mahabbah fillah.
Sebaliknya, apabila kecintaan ini mengalahkan kecintaan kepada Allah, menghalangi
dari ketaatan kepada-Nya, dan menjadi sarana melakukan hal-hal yang dibenci oleh
Allah, teranggap sebagai kemaksiatan.
Allah berfirman,
َ َٰ ِو َم
ُِ س لك
ِن َ سا ِدَهَا َ ِٱقت ََر ۡفت ُ ُِموهَا
َ َة ِت َۡخش َۡونَ ِكٞ ِوتل َٰ َج َر ۡ ِوأَمۡ َٰ َِو ٌل َ ِۡليرت ُ ُكم
َِ عش َ ِو َ ِۡوأ َ ۡز َٰ َو ُج ُكم َ ِۡوأ َ ۡبنَا ٓ ُؤ ُكم
َ ِۡو لإ ۡخ َٰ َونُ ُكم َ ۡقُ ۡل ِ لإن ِ َكانَ ِ َءابَا ٓ ُؤ ُكم
٢٤ِ َِٱل َٰفَ لسقلين
ۡ ليِٱلقَ ۡوم
ۡ ٱِلُ ََِلَِِيهۡ د ۡ
َ َّ ِو َ حتَّ َٰىِ َيأت َليِٱ َِّلُِ لبأ َ ۡم لر هلۦه
َِ ِْصوا ُ س لبي لل لهۦِفَِت ََرَِّب
َ ِۦِو لج َه ٖادِفلي َ سو لل له ُ ِو َر ض ۡونَ َهآِأ َ َحبَّ ِ لإلَ ۡيكُمِ ّملنَ َّ ل
َ ِٱِل َ ت َۡر
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, dan kaum
keluarga kalian, serta harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian
khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah
lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya,
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidaklah memberi
petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at-Taubah: 24)
1. Ikhlas
Ikhlas dalam menuntu ilmu seperti di kalangan penuntut ilmu, terutama di
fakultas dan lembaga pendidikan, tersebar ungkapan: ilmu sirna bersama pemiliknya,
dan sesungguhnya tidak ada lagi seseorang yang belajar di lembaga pendidikan kecuali
untuk mendapatkan syahadah (ijazah) dan dunia. Bagaimanakah menjawab tuduhan ini?
Apakah hukumnya bila terkumpul niat dunia dan ijazah di sertai niat menuntut ilmu
untuk diri dan masyarakatnya? Jawaban dalam ungkapan ini tidak benar dan tidak
sepantasnya diungkapkan kata-kata ini dan semisalnya. Dan barangsiapa yang berkata:
“Manusia telah binasa maka dia adalah yang paling binasa dari mereka."(H.R.
Muslim No. 2623)
Akan tetapi semestinya memberikan semangat dan dorongan untuk menuntut
ilmu, mencurahkan tenaga dan pikiran, teguh dan sabar untuk hal itu, berprasangka baik
terhadap penuntut ilmu, kecuali orang yang sudah diketahui menyalahi hal itu. Tatkala
Mu'azd RA sakaratul maut, ia berpesan kepada orang yang ada di sekitarnya agar
menuntut ilmu, dan berkata: “Sesungguhnya ilmu dan iman berada di tempatnya,
barangsiapa menginginkan keduanya niscaya ia mendapatkannya.” Maksudnya:
tempatnya ada di dalam kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Sesungguhnya seorang alim
diambil (wafat) dengan ilmunya, maka ilmu diambil dengan wafatnya para ulama. Akan
tetapi –alhamdulillah tetap ada golongan yang berada di atas kebenaran. Karena inilah,
Nabi SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah swt tidak mengambil ilmu secara langsung dari hamba, akan
tetapi Dia mengambil ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga bila tidak ada lagi
ulama, manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh, maka mereka ditanya lalu
berfatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan." (H.R Al-Bukhari
100)
Inilah yang dikhawatirkan, khawatir munculnya orang-orang jahil memberi
fatwa, maka mereka sesat lagi menyesatkan. Inilah ungkapan yang dikatakan: ilmu telah
hilang. Tidak ada lagi selain seperti ini dan seperti itu. Dikhawatirkan menurunkan
semangat sebagian orang, sekalipun hal itu tidak melunturkan semangat orang yang
teguh dan cerdas, bahkan mendorongnya untuk terus menuntut ilmu sehingga bisa
menutup celah yang terbuka. Orang yang paham lagi ikhlas, cerdas lagi mengerti
terhadap ucapan seperti ini tidak melunturkan semangatnya. Bahkan ia terus maju dan
bersungguh-sungguh, tetap ulet, belajar dan bersegera karena kebutuhan terhadap ilmu
untuk menutupi celah yang disangka orang-orang yang mengatakan: 'sesungguhnya
tidak ada lagi seseorang...' dan sebagian besar ulama telah pergi. Maka sesungguhnya
tetap ada golongan yang menang, yang berada di atas kebenaran, seperti yang
disabdakan Nabi Muhammad SAW:
2. Tawakal
Tawakal dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan, keduanya adalah satu
kesatuan, di mana usaha adalah bagian dari tawakal. Dikatakan bahwa tawakal dan
usaha adalah wajah dari dua sisi keimanan, karena tawakal adalah menyerahkan hasil
usaha kepada Allah SWT, sedangkan usaha adalah syarat dari tawakal. Ulama
mengatakan,“Tawakal tanpa usaha adalah cacat dalam akal, sedangkan usaha tanpa
tawakal kepada Allah merupakan sebuah kesyirikan.”. Tawakal adalah menyerahkan
hasil usaha seorang hamba kepada Allah SWT setelah mengoptimalkan segala
potensinya, dan ridha dengan keputusan Allah SWT, serta berhusnuzhan kepada Allah
bahwa Allah pasti lebih tahu apa yang bermaslahat untuk hamba-Nya. Hal ini seperti
yang termaktub dalam doa shalat Istikharah yang diajarkan kepada Rasulullah yang
artinya “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada Engkau untuk dipilihkan dengan
ilmu-Mu, dan mohon kemampuan dengan kemampuan-Mu, aku mohon dari karunia-Mu
yang agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau
mengetahui dan aku tidak mengetahui, Engkau Maha Mengetahui yang gaib. Ya Allah,
jika Engkau mengetahui perkara ini (disebutkan jenis masalahnya) baik buatku dalam
dinku, duniaku, akhir perkaraku atau kondisi sekarang dari perkaraku atau nantinya,
maka takdirkanlah hal itu untukku, dan mudahkanlah untukku, kemudian berkahilah
aku di dalamnya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku dalam
agamaku, kehidupanku, dan akhir perkaraku atau perkaraku yang cepat atau yang
nantinya, maka palingkan perkara itu dariku, dan palingkan aku darinya. Dan
takdirkanlah kebaikan untukku dari arah mana saja, kemudian ridhailah aku.”
Sebagaimana orang yang beristikharah tidak memastikan yang terjadi adalah apa
yang diinginkan, tapi menyerahkan keputusannya kepada apa yang baik di sisi Allah.
Demikian juga seorang hamba yang bertawakal minta tolong kepada Allah, dan
menyerahkan urusannya kepada Allah serta pasrah totalitas terhadap Allah, dengan
keyakinan bahwa Allah tidak akan menelantarkan hamba-Nya yang bertawakal kepada-
Nya. Ketika sudah berusaha kemudian sering didapatkan orang-orang salihin sudah
maksimal dalam usaha dan sudah maksimal dalam doa tetapi masih saja menemui
kegagalan. In adalah realita yang tidak terbantahkan, yang kemungkinan bagi yang tidak
memahami secara benar akan menyalahkan tawakal bahkan menyalahkan Allah SWT.
Yang harus diyakini dalam memahami masalah ini, bahwa manusia adalah
hamba Allah dalam segala kondisi, beribadah kepada Allah dalam segala hal, termasuk
dalam masalah tawakal dan usaha. Allah Rabb segala sesuatu, termasuk Rabb dalam
menentukan berhasil dan tidaknya segala usaha, Dialah yang berhak
menentukan segala sesuatu dan tidak ada pilihan bagi manusia kecuali yang Allah
berikan pilihan bagi mereka. Allah berfirman:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak
ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka
persekutukan (dengan Dia).” (QS. al-Qashas: 68)
Manusia harus senang hati menerima apa yang diputuskan oleh Allah tentang
tercapainya dan tidaknya apa yang diusahakannya. Jika tercapai, ia tetap berdoa agar
Allah memberikan taufik, keberkahan serta sebab kesuksesan akhirat. Sedangkan jika
tidak tercapai, ia berhusnuzhan kepada Allah, bahwa di balik itu semua, ada hal yang
lebih baik untuknya, atau agar dia lebih banyak berdoa kepada Allah, dan pasrah
menerima keputusan Allah. Jadi kesuksesan sebenarnya tercapai bagi orang yang
bertawakal baik terealisasikan apa yang diinginkan dari dunia atau tidak, sebab apapun
hasilnya ia mendapat ridha dan rahmat Allah, dan itu lebih baik dari apa yang
didapatkan dari dunia. Allah berfirman:
“Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan
Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka
kumpulkan.” (QS. Ali-Imran: 157)
Sebenarnya, ukuran keinginan dan apapun yang sudah dicapai adalah relatif,
untuk tiap-tiap ingin memiliki uang untuk membeli mobil kemudian berhasil membeli
mobil, apakah mobil yang dibeli pasti membawa kepada kebaikan? Belum tentu. Untuk
itu perlu tawakal dan berdoa agar mobil yang didapatkan membawa keberkahan hidup,
dan kalau tidak berhasil membeli mobil, asalkan ia tawakal tetap juga ia sukses karena
ia akan tetap berhusnuzhan bahwa ketika Allah belum atau tidak menakdirkan hal itu
barangkali itu lebih baik untuknya, siapa tahu kalau ia beli mobil, malah mobilnya
menjadi sebab kecelakaan untuknya. Sikap husnuzhan kepada Allah dan ridha, serta
tetap berusaha dengan jalan halal sambil berdoa kepada Allah, sungguh pahala di balik
itu jauh lebih baik daripada keberhasilan dunia, kalau manusia mengetahui apa yang
Allah janjikan. ‘Ala kulli haal orang yang demikian akan tenang pikiran dan hatinya.
Dan itu sendiri menjadi sebab kebahagiaan yang luar bisa.
3. Sabar
Sabar berasal dari bahasa Arab shobaru-yashbiru yang berarti “Menahan”.
Sedangkan sabar menurut istilah adalah menahan diri dari berbagai kesusahan dan
menyikapinya menggunakan akal dan syariat, menjaga lisan dari menggunjing serta
menahan semua anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Setalah
mengetahui secara ringkas mengenai pengertian sabar, maka penting rasanya untuk
mengetahui macam-macam sejarah. Menurut islam, sabar itu ada beberapa macam yang
diantaranya adalah:
a. Sabar dalam melaksanakan perintah Allah SWT
Sabar dalam hal ini adalah dimaksudkan untuk menahan diri kita agar selalu
istiqomah menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Sebagai
seorang muslim yang beriman, sudah semestinya untuk sabar dan ikhlas dalam
menjalankan segala perintahh-Nya.
b. Sabar dalam menjauhi semua larangan Allah SWT
Jenis sabar yang kedua ini memang dirasa cukup sulit. Seorang muslim yang
rajin beribadah dengan sabarpun belum tentu bias menjauhi segala larangan Allah
SWT. Karena memang Allah menciptakan hawa nafsu dan syaithan untuk selalu
menggoda manusia agar melakukan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT.
c. Sabar dengan apa yang telah dituliskan Allah SWT untuk kita
Sabar yang ini bisa jadi lebih berat dari yang sebelumnya. Seseorang bisa saja
mempu untuk bersabar dalam ta’at menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya, namun belum tentu ia akan tabah menghadapi takdir Allah yang jauh
dari harapannya.
Sabar dapa mengundang manfaat yang besar bagi orang yang memilikinya
ketika tertimpa musibah atau kesusahan yang amat berat. Salah satunya disebutkan
dalam Q.S. Ali Imran aya 146: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
sabar”. Betapa indahnya kita sebagai orang muslim yang menjaga sabar karena dengan
begitu mampu mendapatkan cinta dari Allah SWT.
4. Syukur
Kata Syukur atau dalam bahasa Arab dari kata Syukuran, Syakara, Wa
Syukuran, Wa Syakara yang memiliki arti berterima kasih kepada Allah (dalam konteks
islam) atas segala nikmat yang telah kita terima. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Edisi III), syukur artinya rasa terima kasih kepada Allah SWT atau
pernyataan lega, senang, dan sebagainya.
Refleksi dari syukur merupakan bagian dari kegiatan yang menunjukkan sikap
tawakkal dan mengandung arti “Sebuah hal yang menunjukkan penyebaran dari sebuah
kebaikan”. Para ulama mendefinisikan syukur sebagai kalimat aplikatif, yaitu
menggunakan dengan baik segala sesuatu yang Allah anugrahkan dengan tujuan
penciptaan anugrah tersebut. Dan oleh karena itu syukur terbagi ke dalam tiga bagian,
diantaranya adalah syukur i’tiqadi (bersyukur dalam bentuk keyakinan), syukur kauli
(bersyukur dalam bentuk ucapan) dan syukur ‘amali (bersyukur dalam bentuk perbuatan
dan perilaku). Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
5. Ridha
Kata Ridha berasal dari bahasa Arab, radiya yang artinya senang hati (rela).
Ridha menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas apa yang diberikan
Allah SWT, baik yang berupa hukum maupun keentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh-Nya, dan baik ketika menerima nikmat maupun ketika ditimpa musibah. Sering
kali sebagai manusia yang belum menanamkan ridla di dalam hatinya, ia akan merasa
sangat gelisah ketika mendapatkan ujian seperti kehilangan barang, pangkat, jabatan,
kehilangan anggota keluarga karena meninggal.
Namun ridha terhadap takdir bukan berarti menyerah dan pasrah tanpa berusaha
dan mencari jalan keluar dari musibah yang menimpanya, hal tersebut hanya akan
menambah kerugian kita karena tidak ingin bangkit dari keterpurukan. Hal tersebut
(musibah) hanyalah ujian dari Allah SWT dalam menguji keimanan dan ikhtiar hamba-
Nya. Sebagaimana firman Allah :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar (15). (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"(QS. Al-
Baqarah :155-156)
Ayat di atas mengajarkan kita untuk kembali mengingat segala apa yang kita
miliki, bahwa semuanya adalah titipan dan pemilik sejatinya adalah Allah SWT dan
akan kembali kepada-Nya. Ayat di atas merupakan kalimat istirja’ (Pernyataan kembali
kepada Allah) dan disunnahkan bagi kita untuk mengucapkannya ketika ditimpa
musibah baik yang besar maupun musibah yang ringan atau kecil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang artinya
pengetahuan atau pengalaman. Untuk itu manusia harus mengenal Allah terlebih dahulu
ketika upaya akan dan sedang menemukan sesuatu ilmu pengetahuan. Melalui 2 jalan
yaitu, jalan dilalui bukan atas dasar petunjuk Islam dan jalan yang dilalui berdasarkan
petunjuk Islam. Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu,-mahabbatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam. Macam-macam mahabbah ada 3
diantaranya, mahabbatul’ ibadah, mahabbah fillah dan mahabbah thabi’iyyah.
Ikhlas berarti bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Tawakal dalam usaha
pengembangan ilmu pengetahuan, keduanya adalah satu kesatuan. Dikatakan bahwa
tawakal dan usaha adalah wajah dari dua sisi keimanan. Sabar berasal dari bahasa Arab
shobaru-yashbiru berarti “Menahan”. Sabar adalah menahan diri dari berbagai
kesusahan dan menyikapinya menggunakan akal dan syariat, menjaga lisan dari
menggunjing serta menahan semua anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang oleh
Allah SWT. Syukur atau dalam bahasa Arab dari kata Syukuran, Syakara, Wa
Syukuran, Wa Syakara yang artinya berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat
yang telah kita terima. Kata Ridha berasal dari bahasa Arab, radiya yang artinya senang
hati (rela).
B. Saran
Demikianlah makalah tentang Aktualisasi dan Implementasi dalam Pengembangan
Ilmu Pengetahuan yang kami buat. Adapun saran dari kami yaitu:
Pengembangan ilmu pengetahuan sains dan teknologi dalam Islam sebaiknya
sesuai dengan syariat Islam yang ada.
Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam diharapkan mampu menopang
kemajuan kehidupan umat islam.
Ada bagusnya jika seseorang yang memiliki intelektual yang tinggi
memanfaatkan itu dengan sebaik-baiknya sesuai dengan syariat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Maraji’, Cahayadi T dkk. 2003. Syahadat dan Makrifatullah. Era Intermedia: Solo
Muh. Mu’inudinillah Basri. 2008. Indahnya Tawakal. Indiva Media Kreasi: Solo
Sayyid Quthb. 2004. Tafsir fi zhilalil Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an. Gema
Insani Pers: Jakarta
Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. 2015. Ikhlas Dalam Menuntut Ilmu.
Terjemah: Muhammad Iqbal A. Gazali. Majalah Buhuth Ilmiyah 47 hal 157-
160.
Tafsir, Ahmad. 2000. “Asumsi Filosofis Tauhid dan Pembaruan Sistem
Pendidikan", dalam Hendar Riyadi (ed.) Tauhid ilmu dan Implementasinya
dalam Pendidikan. Penerbit Nuansa: Bandung