Sie sind auf Seite 1von 23

“AKTUALISASI DAN IMPLEMENTASI TAUHID DALAM

PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


(SAINS DAN TEKNOLOGI)”

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas struktur mata kuliah Tauhid dengan Dosen Pengampu oleh
Bapak Dr. Buhori Muslim, M. Ag

Kelompok 11

Adi Auf Saiful M 1157060026

Dewi Winianingsih 1157060016

Diki Prasetia 1157060017

Hana Fitriani 1157060032

JURUSAN AGROTEKNOLOGI/V-A
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2017 M/1439 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhana Wa


Ta’ala yang telah memberikan hidayah-Nya serta inayah-Nya, sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu tugas struktur mata kuliah Tauhid yang
berjudul “Aktualisasi dan Implementasi Tauhid, dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan (Sains) dan Teknologi”. Makalah ini tiada lain tujuannya adalah untuk
meningkatkan pendidikan dan dalam rangka thalibul 'ilmi.
Kami ucapkan banyak terimakasih kepada bapak dosen yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk membuat makalah ini sehingga kami mengetahui
tentang upaya penerapan makrifat dan mahabbah IPTEK dalam Tauhid.
Selanjutnya dengan segala kerendahan hati kami mengharap tegur sapa dan
pengoreksian dari bapak dosen dan para pembaca sehingga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami dan bagi umat Islam khususnya. Serta apabila terdapat
kekeliruan, kami selaku manusia biasa memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Bandung, 23 September 2017


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 6

A. Ilmu Pengetahuan dan Makrifat ................................................................ 6

B. Ilmu Pengetahuan dan Mahabbah ............................................................11

C. Ikhlas, Tawakal, Sabar, Syukur dan Ridha dalam Pengembangan Ilmu


Pengetahuan....................................................................................................14

1. Ikhlas ...................................................................................................14

2. Tawakal ...............................................................................................16

3. Sabar ....................................................................................................18

4. Syukur..................................................................................................19

5. Ridha ...................................................................................................20

BAB III PENUTUP ............................................................................................21

A. Kesimpulan .............................................................................................21

B. Saran .......................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang selalu berkembang mengikuti


perkembangan zaman. Sedari dahulu kala, perkembangan ilmu pengetahuan terus
terjadi dari berbagai penemuan, ide, pendapat, rumus, teknologi dan berbagai karya-
karya ilmiah lainnya, ditemukan oleh berbagai ilmuwan besar di dunia. Persoalan besar
dalam pendidikan menyangkut konsep ilmu yaitu dikhotomi bangunan keilmuan yang
satu sama lain berpisah dan membangun jarak, sehingga jadilah ilmu agama dengan
pertumbuhannya sendiri dan ilmu umum berkembang jauh dari agama. Konsekuensi
dari keterpilahan ini, adalah produk pendidikan membentuk dua kelompok ilmuwan
yaitu kelompok saintis dan islamis. Kelompok saintis menjadikan alam sebagai objek
yang dipahami dan melahirkan modernisasi yang tumbuh dalam komunitas ilmuan barat
yang cenderung berbudaya sekuler-liberalis dengan dukungan mobilitas sosial yang
lahir dari pengembangan teknologi, sedangkan kelompok islamis melakukan penelitian
terhadap wahyu dengan berbagai ragam metodologi dan penafsiran menyebabkan
wacana keagamaan dan berbagai teori pemahaman menjadi terdepan.
Munculnya pemahaman yang beragam terhadap teks-teks keagamaan
merupakan keniscayaan, karena esensi dan studi keagamaan yaitu teks keagamaan (Al-
Quran dan Sunnah) bisa dipahami secara akurat dan tidak dianggap sesuatu yang sakral.
Hal inilah yang diungkapkan Fazlur Rahman bahwa pada episode masuknya dunia
lsIam dalam situasi jumud, studi lsIam berubah menjadi tradisi sakral. Akibamya,
sumber teks Islam gagal dipahami secara autentik1. Usaha untuk keluar dari kemelut
tersebut, saat ini studi agama dikembangkan dan telah menjadi trend serta cukup pesat
perkembangannya baik Timur maupun di belahan dunia Barat. Begitu juga dengan
kelompok scientific berhasil pesat mengembangkan sains, persoalannya adalah sudah
proporsional kah peranan sains dan teknologi mengangkat citra kemanusiaan dilihat dari
aspek aktualisasi dan implementasinya. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
manusia hanyalah subjek yang menemukan, mengolah, dan merumuskan sehingga lahir

1. Ismail Razy AI-Faruqi. Tauhid, (Bandung. Pustaka. 1988). hlm. 45.


sebuah teori. Manusia bukanlah pencipta, atau pembuat dari tidak ada menjadi ada.
Sekecil dan sesederhana apapun ilmu pengetahuan itu, sumbernya tetap dari Allah
Subhana Wa Ta’ala. Karena itu manusia dilarang menyombongkan diri, seakan-akan
dialah yang menghasilkan ilmu itu tanpa campur tangan Allah. Manusia dilarang
mengingkari ayat-ayat, bukti-bukti kebenaran yang Allah tunjukan kepada manusia itu.
Sains tidak bermaksud untuk menemukan kebenaran yang bersifat abadi melainkan
cukup kebenaran yang bersifat sementara, yang fungsional dalam kurun waktu tertentu.
Bila dilihat dari awal munculnya, sains yang berkembang di dunia Barat
mulanya mereka peroleh dari dunia Islam. Akan tetapi pada awal era modern (abad ke-
17) seperti dikemukakan Hossein Nasr, filsafat mulai berubah pelan-pelan dan akhimya
memisahkan diri dari agama dan mengembangkan pemikiran untuk menggantikan
agama2. Sebagian kalangan mengartikan sains adalah ilmu pengetahuan yang teratur
(sistematik) yang boleh diuji atau dibuktikan kebenarannya3. Ilmu pengetahuan (sains
dan teknologi) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh melalui proses
yang disebut metode ilmiah (scientific method), misalnya sains fisika, kimia, biologi,
astronomi, termasuk cabang-cabang yang lebih detail lagi seperti hematologi, zoologi,
botani, cardiologi, metereologi, geologi, geofisika, dan lain-lain, sedangkan agama
adalah sebagai dasar pegangan hidup dan pengatur kehidupan. Jadi, agama juga
merupakan basis dari segala ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pada makalah berikut
ini penulis mencoba memaparkan bagaimana pengembangan ilmu pengetahuan harus
selaras dengan Al-Qur’an dan Hadits serta penerapan agama (tauhid) terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan tersebut.

2. lihat penjelasan Ibrahim Muhammad ibn Abdullah AI-Buraikan. Pengantar Studi Aqidah Islam.
diterjemahkan oleh Muhammad Anis Matta. (Jakarta: Litbang Pusat Studi Islam AI-Manar. tth).
him. 4.
3. Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 11
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ilmu Pengetahuan dan Makrifat


Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang artinya pengetahuan
atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu
ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang di dapat pada umumnya, dan merupakan
pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin,
yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi.
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala
yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan
sampai kepada Tuhan antara orang awam, ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan
akan pengetahuan tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti
perkataan orang lain tanpa menyelidikinya.
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung
secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya men-tauhidkan
Allah lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa.
Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (quantum) sampai atomis, yang
terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut,
semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah Subhana Wa Ta’ala telah
berfirman:
ِ‫تِ لفي َمن َي ْس ُج ِد ُ َو ل ّل‬
﴾١٥﴿ ‫ِل‬ ‫س َم َاوا ل‬ ‫عا َواأل َ ْر ل‬
َّ ‫ضِ ال‬ َ ‫ل لب ْالغُد ّلُِو َو لظِاللُ ُهم َو َك ْرهًا‬
ً ‫ط ْو‬ ِ‫صا ل‬
َ ‫َواآل‬
“Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan
kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan
petang hari”(Q.S. Ar-Ra’d113:15)
Tanda-tanda ada-Nya Tuhan, memang dapat dikenali akal melalui fenomena
alam ini, tetapi siapa Tuhan itu, bagaimana Tuhan itu, dan apa yang harus manusia
lakukan kepada Tuhannya, adalah persoalan pelik yang tidak mungkin diketahui secara
pasti oleh akal manusia. Itulah sebabnya Allah mengajarkan kepada manusia tentang
apa yang tidak diketahuinya, sedangkan pengetahuan itu diperlukan manusia dalam
hidupnya. Secara umum, manusia mengetahui bahwa suatu ilmu dikatakan penting dan
dirasakan mulia sebetulnya tergantung kepada dua hal yaitu apakah yang menjadi objek
ilmu itu dan seberapa besar manfaat yang dihasilkan darinya. Karena akal manusia bisa
jadi akan mampu mengenal keberadaan Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang
tersebar di pelosok bumi. Namun karena mereka tidak mempunyai keimanan, segala
pengetahuan itu kemudian dijadikan diskursus ilmu semata.
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai
dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah
ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Untuk itu manusia harus
mengenal Allah terlebih dahulu ketika upaya akan dan sedang menemukan sesuatu ilmu
pengetahuan.
1. Jalan yang dilalui bukan atas dasar petunjuk Islam
Dari dahulu hingga sekarang ada orang-orang yang masih beranggapan
bahwa Allah tidak ada, hanya gara-gara mereka tidak dapat melihat-Nya dengan
panca inderanya sendiri (al hawas), dengan alasan mereka tidak mempercayai
sesuatu yang ghaib. Padahal panca indera kita sangat terbatas kemampuannya dalam
menganalisa benda-benda yang nampak, apalagi terhadap benda-benda yang tidak
nampak. Hanya dengan berbekal panca indera, mereka tidak akan dapat mengenal
Allah. Manusia hanya dapat melihat-Nya di surga nanti bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Mereka tidak mampu melihat-Nya, bahkan karena kesesatannya
lalu mereka menjadikan benda-benda lain yang mempunyai kekuatan tertentu yang
mempengaruhi kehidupannya sebagai Tuhan mereka selain Allah (ghairullah).
Tersebutlah kemudian kepercayaan akan adanya dewa-dewa yang menguasai
matahari, bintang, langit, air, udara dan lainnya.
Selain itu ada pula yang karena jenuh mencari namun tak juga berhasil, lalu
berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Pencarian tak tentu arah ini lalu
menimbulkan sikap skeptis. Segala sesuatu yang berhubungan dengan diri dan juga
gejala-gejala alam yang terjadi dalam lingkungan kehidupannya dipandangnya
dengan nalarnya semata. Inilah yang mereka anggap lebih ilmiah dari pada harus
mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib, mistik, takhayul dan sebagainya. Ilmu
filsafat kemudian muncul memuaskan segala nafsu dan akal manusia.
Penggambaran yang salah terhadap metode untuk mengenal Allah ini, dulu
maupun sekarang, merupakan faktor terbesar yang menjauhkan manusia dari
metode iman yang benar kepada Allah. Padahal penggambaran macam ini jelas-jelas
salah. Secara aksiomatik, akal mengatakan bahwa Allah adalah pencipta materi
tetapi Dia bukan materi. Sebab materi tidak bisa menciptakan materi. Jika puncak
pencerapan indera di dalam kehiduapan dunia kita hanya terbatas pada materi yang
tercerap secara inderawi saja, maka Allah tidak akan bisa menjadi objek
pengetahuan kita. Secara jelas pada bangsa atau orang kafir manapun juga pasti
akan muncul kekacauan di seputar metode inderawi untuk mengenal Allah ini.
Itulah sebabnya mengapa di zaman sekarang kita mendengar ada orang-orang
tertentu yang menjadikan “tidak bisa dilihat oleh mata” menjadi sebab musabab
timbulnya atheisme. Demikian pula, kita mendengar beberapa negara tertentu
menegaskan demikian, seperti yang dilakukan oleh siaran Uni Soviet ketika
meluncurkan satelit industrinya yang pertama ke ruang angkasa.
Kedua jalan tersebut, yaitu al hawas (panca indera) dan aqli (akal pemikiran)
karena tidak diikuti dengan keimanan terhadap hasil pencariannya itu, timbullah
sakwasangka dan keragu-raguan (al irtiyab) dan pada akhirnya membuat mereka
menjadi kafir.
2. Jalan yang dilalui berdasarkan petunjuk Islam
Jalan mengenal Allah telah ditunjukkan oleh Islam dengan menggunakan
prinsip keimanan dan akal pemikiran melalui tanda-tanda (al ayat), yaitu melalui
ayat-ayat qauliyah (Al Qur’an dan hadits), ayat-ayat kauniyah (alam semesta), dan
melalui mu’jizat. Dari ayat-ayat qauliyah, Allah mewahyukan firman-Nya kepada
para utusan-Nya. Ada yang berupa shuhuf, al kitab dan juga hadits qudsi. Dalam Al
Qur’an kita dapati maklumat Allah mengenai keberadaan diri-Nya.

ِ‫عبُ ْدنِي اوأاق ِِمِ الص اََّلةاِ ِل ِذك ِْر‬


ْ ‫إِ َِّّل أاناا فاا‬ ِ‫ّللاُ اّلِ إِلاها‬
َِّ ‫إِنَّنِي أاناا‬

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku, maka mengabdilah
pada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”. (Q.S. Thaha : 14).
Dari ayat-ayat kauniyah, kita dapati keyakinan adanya Allah melalui apa-
apa yang ada di alam semesta dan juga pada diri kita sendiri. (lihat Q.S. Adz
Dzariyat : 21-22 dan Q.S. Fushshilat : 53). Misalnya adalah yang ada pada telapak
tangan kita. Ruas-ruas tulang jari (tapak tangan maupun telapak kaki) kita
terkandung jejak-jejak nama Allah, Tuhan yang sebenar pencipta alam semesta ini.
Perhatikan salah satu tapak tangan kita (bisa kanan bisa kiri). Perhatikan lagi
dengan seksama:
Jari kelingking = membentuk huruf alif
Jari manis, tengah dan jari telunjuk = membentuk huruf lam (double)
Jari jempol (ibu jari) = membentuk huruf ha
Jadi jika digabung, maka bagi Anda yang mengerti huruf Arab akan
mendapati bentuk tapak tangan itu bisa dibaca sebagai Allah (dalam bahasa Arab).
Garis utama kedua telapak tangan kita, bertuliskan dalam angka Arab yaitu
: IɅ pada telapak tangan kanan, artinya : 18; dan ɅI pada telapak tangan kiri,
artinya : 81. Jika kedua angka ini dijumlahkan, 18+81 = 99, 99 adalah jumlah
nama/sifat Allah, Asmaul Husna yang terdapat dalam Al-Quran.
Mengenai sidik jari, polisi dapat mengidentifikasi kejahatan berdasarkan
sidik jari yang ditinggalkan oleh pelaku di tubuh korban. Hal ini disebabkan
struktur sidik jari setiap orang berbeda satu dengan lainnya. Bila kelak penjahat itu
telah ditemukan maka untuk membuktikan kejahatannya sidik jarinya akan
dicocokkan dengan sidik jari yang ada dalam tubuh korban. Maka si penjahat tidak
dapat memungkiri perbuatannya di hadapan polisi. Keistimewaan pada jari jemari
manusia menunjukkan kebenaran firman Allah yang menyatakan bahwa segala
sesuatu ada bekasnya. Allah tidak akan menyia-nyiakan bekas-bekas ini untuk
dituntut di yaumil akhir nanti.

ِ‫اناِنحنِنحيِالموتيِونكتبِماِقدِموِاوءاِثرِهمِوكلِشيءِاحصينهِفئِاماِمبين‬

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang
telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu
Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Yaasin:12).
Adapun mengenai mu’jizat yang Allah berikan kepada para rasul dan nabi-Nya,
telah cukup memperkuat eksistensi Allah. Mu’jizat terbesar yang hingga kini masih ada
adalah Al Qur’an. Berikut adalah beberapa contoh mu’jizat yang terdapat dalam Al
Qur’an.
- Asal mula alam raya :
“Kemudian Dia menuju pada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan kabut,
lalu Dia berkata, “Datanglah kepada-Ku baik dengan suka maupun terpaksa”.
Keduanya berkata, “Kami datang dengan suka hati.” (QS. Fushshilat : 11).
Tak seorangpun ahli sains mengira bahwa langit, bintang dan planet-planet itu
dasarnya adalah kabut (dukhan) setelah alat-alat ilmiah berkembang pesat. Para peneliti
menyaksikan sisa-sisa kabut yang hingga kini selalu membentuk bintang-gemintang.
- Bulan dan mentari :
“Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam,
kami jadikan tanda siang itu terang”. (QS. Al Isra: 12).
Para pakar ilmu astronomi pada saat ini telah menemukan bahwa rembulan
dulunya menyala kemudian padam dan sinarnya sirna. Cahaya yang keluar dari
rembulan di malam hari hanyalah pantulan dari lampu (siraj) lain yaitu matahari.

“Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang Dia juga
menjadikan padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” (QS.Al Furqan: 61).
Di sini Allah menyatakan bahwa matahari bersinar, sehingga dikatakannya
“pelita/lampu”. Jika bulan bersinar pula, tentu Allah akan berkata “dua lampu” (as
sirajain).
- Kurangnya oksigen di langit :
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Dia menjadikan dadanya
sesak lagi sempit seolah-olah sedang mendaki ke langit”. (QS. Al An’am: 125).
Dahulu orang-orang beranggapan bahwa orang yang naik ke atas merasa sesak
napas karena udara buruk yang tidak sehat. Tetapi manakala manusia berhasil membuat
pesawat ruang angkasa super canggih dan ia mampu naik ke langit, diketahuilah bahwa
orang yang naik ke langit dadanya terasa sesak, bahkan amat sesak, dikarenakan udara
(oksigen) berkurang dan bahkan hampa. Karena itu para astronot harus memakai tabung
oksigen ketika mengangkasa.
Setelah mengkaji beberapa contoh hubungan kitabullah dengan sains modern,
pahamlah kita bahwa Al Qur’an benar-benar suatu mukjizat yang tiada bandingnya.
Mereka yang memiliki hati nurani akan merasa takjub dengan keangungan-Nya.
Sungguh benar firman Allah :

ِ‫ولقدِجئنهمِبكتبِفصلنهِعلئِعلمِهدئِورِحمتهِلقومِيؤِمنون‬

“Sesungguhnya telah Kami datangkan kepada kamu suatu kitab yang telah Kami
jelaskan berdasarkan ilmu (dari kami), sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.” (QS. Al A’raf: 52).
Manusia yang beriman dan berakal lurus akan merasakan keberadaan Allah dan
membenarkan keimanannya kepada Allah (tashdiqul mu’min ilallah). Sehingga rukun
iman yang enam perkara yang selalu kita hapalkan itu, bukan hanya keimanan dalam
lafadz semata, tapi juga telah tertashdiq (dibenarkan) dalam hati dan pola tingkah kita
sehari-hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
‫ما كذب الفؤا د ما رائ‬
”Hatinya tidak mendustai apa yang telah dilihatnya”. (QS. An-Najm: 11)

B. Ilmu Pengetahuan dan Mahabbah


Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu,-mahabbatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai
Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan
kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta
menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Menurut Goldstein ilmuan sains, ilmu merupakan cara memandang dunia,
memahami, dan mengubahnya. Dalam konteks kreativitas keilmuan, ilmu pengetahuan
di definisikan sebagai sistem berpikir yang melibatkan serangkaian aktivitas kreatif dan
imajinatif ilmuwan dalam upaya mencari kebenaran.
Konsep al-hub (cinta) pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal
Rabi’atul Adawiyah (96 H – 185 H), menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud,
al-khauf war raja’ dari tokoh sufi Hasan Al Basri. Cinta yang suci murni adalah lebih
tinggi dan lebih sempurna daripada al khauf war raja’ (takut dan pengharapan), karena
cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridla-Nya.
Menurut Rabi’atul Adawiyah, al-hub itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan
pasrah kepada-Nya. Perasaan cinta yang menyelinap dalam lubuk hati Rabi’atul
Adawiyah, menyebabkan dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah
SWT.
Macam macam mahabbah :
1. Mahabbatul ‘Ibadah, yaitu rasa cinta yang disertai dengan sikap merendahkan diri
dan mengagungkan sesuatu yang dicintai, dengan pengagungan yang membawa kepada
ketundukan, menjalankan seluruh perintahnya, dan menjauhi seluruh larangannya.
Barang siapa memberikan mahabbah ini kepada Allah semata, dia benar-benar orang
yang beriman. Inilah mahabbah yang merupakan rukun iman dan tauhid. Mahabbah ini
akan menghasilkan keutamaan yang tiada terhitung jumlahnya. Akan tetapi, barang
siapa memberikan mahabbah ini kepada selain Allah di samping memberikannya
kepada Allah, dia telah terjatuh dalam kesyirikan.
Allah berfirman :
َِ‫ظلَ ُم ٓواْ ِإل ۡذ ِيَ َر ۡون‬
َ ِ َ‫ِولَ ۡو ِيَ َرىِٱلَّذلين‬ َِ َ ‫ِوٱلَّذلينَِ ِ َءا َمنُ ٓواِْأ‬
‫شد ُِّ ُح ٗبّ لّ َّهِل‬
َ ‫اِِل‬ ‫ِٱِل ِأَندَادٗاِيُحل بُّونَ ُهمۡ ِ َكحُبّ ل َّهِل‬
َِ ‫ِٱِل‬ ‫اس ِ َمنِيَتَّخل ذ ُِملنِد ل‬
‫ُون َّ ل‬ ‫َوملنَ ِٱلنَّ ل‬
‫شدليد ُِۡٱلعَذَا ل‬
١٦٥ِ‫ب‬ َ َّ ‫اِوأ َ َّن‬
َ ِ‫ِٱِل‬ َ ‫ليع‬ ۡ ‫ابِأ َ َّن‬
‫ِٱلقُ َّوة ل َّ ل‬
ٗ ‫َِِلِ َجم‬ َ َ‫ۡٱلعَذ‬
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan tandingan-tandingan selain
Allah, mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman sangat besar kecintaan mereka kepada Allah. Dan seandainya orang-orang
yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat),
bahwa kekuatan itu hanyalah milik Allah semata dan bahwa Allah sangatlah berat
siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Jadi, mahabbah ibadah ini ada empat macam, sebagaimana disebutkan oleh asy-
Syaikh al-‘Utsaimin,
“Pertama, mencintai Allah melebihi kecintaan kepada segala-galanya. Inilah tauhid.
Kedua, mencintai selain Allah sebagaimana mencintai Allah. Inilah kesyirikan.
Ketiga, mencintai selain Allah melebihi kecintaan kepada Allah. Ini lebih berat
daripada yang sebelumnya.
Keempat, mencintai selain Allah dalam kondisi tidak ada dalam hatinya kecintaan
kepada Allah sedikit pun. Ini petaka yang paling besar.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit
Tauhid)

2. Mahabbah Fillah (cinta karena Allah), yaitu rasa cinta terhadap sesuatu yang muncul
pada diri seseorang disebabkan kecintaannya kepada Allah atau karena sesuatu itu
dicintai oleh Allah. Sesuatu tersebut bisa berupa manusia, seperti para nabi dan rasul,
wali-wali Allah, orang-orang saleh, syuhada, dan sebagainya; bisa berupa amalan,
seperti shalat, puasa, zakat, haji, berbakti pada kedua orang tua, menuntut ilmu,
membaca Al-Quran, dll; bisa berupa tempat, seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi,
Masjidil Aqsha, dll; atau berupa waktu, seperti sepertiga malam yang akhir, setelah
selesai shalat, waktu berbuka puasa, dll.
Segala jenis kecintaan tersebut merupakan kesempurnaan dari kecintaan
seseorang kepada Allah. Oleh karenanya, jenis mahabbah yang kedua ini
mengikut mahabbah yang pertama. Artinya, mahabbah ini bernilai ibadah yang sangat
agung bukan karena semata-mata kecintaan seseorang kepada sesuatu tersebut,
melainkan karena kecintaan tersebut merupakan tuntutan kecintaan kepada Allah.
Seandainya seseorang mencintai Rasulullah semata-mata karena beliau seorang lelaki
yang gagah perkasa, bukan karena beliau adalah utusan Allah, niscaya itu tidak
termasuk ibadah. Demikian pula kecintaan seseorang kepada Masjidil Haram semata-
mata karena keindahan bangunannya, itu bukan ibadah, dan masuk dalam
kategori mahabbah thabi’iyyah yang mubah.
Rasulullah bersabda,
َِ‫اسِِأ َجْ َمعلين‬ َ ‫ََلِيُؤْ لم ُنِأ َ َحدُكُ ْمِ َحتَّىِأَكُونَ ِأ َ َحبَّ ِ لإلَ ْيهلِم ْلن‬
َ ‫ِولَ لدهلِ َو َوا لل لده‬
‫لِوالنَِّ ل‬

“Salah seorang dari kalian belum beriman hingga diriku lebih dia cintai daripada
anaknya, bapaknya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Imam Muslim dari hadits Anas bin
Malik)

3. Mahabbah Thabi’iyyah (kecintaan alami), yaitu kecintaan seseorang kepada sesuatu,


yang merupakan sifat bawaan manusia. Di antara mahabbah yang masuk dalam
kategori ini sebagai berikut :
 Rasa kasih sayang, seperti kecintaan orang tua kepada anak-anaknya, belas kasih
kepada orang yang lemah, rasa iba terhadap orang sakit, anak yatim, orang
miskin, dst.
 Rasa hormat, seperti penghormatan anak kepada kedua orang tuanya, santri
kepada gurunya, anak muda kepada yang lebih tua, dan yang semisalnya.
 Selera, seperti kesukaan seseorang pada makanan, minuman, pakaian,
pernikahan, rumah, kendaraan, harta benda, pekerjaan, pertemanan, permainan,
dst.
Pada dasarnya ini semua merupakan kecintaan yang mubah. Allah berfirman,
‫ِو ۡٱل َح ۡر ه ل‬
ِ‫ث‬ َ ‫س َّو َمةلِ َِو ۡٱأل َ ۡن َٰعَ لم‬ ۡ ‫لِو ۡٱلخ َۡي لل‬
َ ‫ِٱل ُم‬ َ ‫ضة‬َّ ‫ِو ِۡٱل لف‬
َ ‫ب‬‫ط َِرةلِملنَِ ِٱلذَّ َه ل‬ ۡ ‫ير‬
َِ ‫ِٱل ُِمقَن‬ ‫ِو ۡٱلقَ َٰنَطل ل‬
َ َ‫ِو ۡٱلبَنلين‬
َ ‫سآءل‬َ ّ‫ش َه َٰ َوتلِملنَ ِٱل لن‬
َّ ‫اس ِحُبُّ ِٱل‬ ‫ُزيّلنَ ِللل َّن ل‬
ۡ ‫ٱِلُِعلندَهُۥِ ُح ۡس ُن‬ ۡ ‫َٰذَللكَ ِ َم َٰت َ ُع‬
١٤ِ‫ب‬ ‫ِٱل َمِا ل‬ َ ‫ِٱل َحيَ َٰوةلِٱلد ُّۡنيَ ها‬
َّ ‫ِو‬

“Dijadikan indah pada (selera) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, berupa
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di
sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Namun, apabila kecintaan ini mendorong kecintaan kepada Allah dan ketaatan
kepada-Nya, teranggap sebagai ibadah dan masuk dalam kategori mahabbah fillah.
Sebaliknya, apabila kecintaan ini mengalahkan kecintaan kepada Allah, menghalangi
dari ketaatan kepada-Nya, dan menjadi sarana melakukan hal-hal yang dibenci oleh
Allah, teranggap sebagai kemaksiatan.
Allah berfirman,
َ َٰ ‫ِو َم‬
ُِ ‫س لك‬
ِ‫ن‬ َ ‫سا ِدَهَا‬ َ ‫ِٱقت ََر ۡفت ُ ُِموهَا‬
َ َ‫ة ِت َۡخش َۡونَ ِك‬ٞ ‫ِوتل َٰ َج َر‬ ۡ ‫ِوأَمۡ َٰ َِو ٌل‬ َ ِۡ‫ليرت ُ ُكم‬
َِ ‫عش‬ َ ‫ِو‬ َ ۡ‫ِوأ َ ۡز َٰ َو ُج ُكم‬ َ ۡ‫ِوأ َ ۡبنَا ٓ ُؤ ُكم‬
َ ۡ‫ِو لإ ۡخ َٰ َونُ ُكم‬ َ ۡ‫قُ ۡل ِ لإن ِ َكانَ ِ َءابَا ٓ ُؤ ُكم‬
٢٤ِ َ‫ِٱل َٰفَ لسقلين‬
ۡ ‫ليِٱلقَ ۡوم‬
ۡ ‫ٱِلُ ََِلَِِيهۡ د‬ ۡ
َ َّ ‫ِو‬ َ ‫حتَّ َٰىِ َيأت َليِٱ َِّلُِ لبأ َ ۡم لر هلۦه‬
َِ ِْ‫صوا‬ ُ ‫س لبي لل لهۦِفَِت ََرَِّب‬
َ ِ‫ۦِو لج َه ٖادِفلي‬ َ ‫سو لل له‬ ُ ‫ِو َر‬ ‫ض ۡونَ َهآِأ َ َحبَّ ِ لإلَ ۡيكُمِ ّملنَ َّ ل‬
َ ‫ِٱِل‬ َ ‫ت َۡر‬
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, dan kaum
keluarga kalian, serta harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian
khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah
lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya,
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidaklah memberi
petunjuk kepada orang-orang fasik.” (at-Taubah: 24)

C. Ikhlas, Tawakal, Sabar, Syukur dan Ridha dalam Pengembangan Ilmu


Pengetahuan

1. Ikhlas
Ikhlas dalam menuntu ilmu seperti di kalangan penuntut ilmu, terutama di
fakultas dan lembaga pendidikan, tersebar ungkapan: ilmu sirna bersama pemiliknya,
dan sesungguhnya tidak ada lagi seseorang yang belajar di lembaga pendidikan kecuali
untuk mendapatkan syahadah (ijazah) dan dunia. Bagaimanakah menjawab tuduhan ini?
Apakah hukumnya bila terkumpul niat dunia dan ijazah di sertai niat menuntut ilmu
untuk diri dan masyarakatnya? Jawaban dalam ungkapan ini tidak benar dan tidak
sepantasnya diungkapkan kata-kata ini dan semisalnya. Dan barangsiapa yang berkata:
“Manusia telah binasa maka dia adalah yang paling binasa dari mereka."(H.R.
Muslim No. 2623)
Akan tetapi semestinya memberikan semangat dan dorongan untuk menuntut
ilmu, mencurahkan tenaga dan pikiran, teguh dan sabar untuk hal itu, berprasangka baik
terhadap penuntut ilmu, kecuali orang yang sudah diketahui menyalahi hal itu. Tatkala
Mu'azd RA sakaratul maut, ia berpesan kepada orang yang ada di sekitarnya agar
menuntut ilmu, dan berkata: “Sesungguhnya ilmu dan iman berada di tempatnya,
barangsiapa menginginkan keduanya niscaya ia mendapatkannya.” Maksudnya:
tempatnya ada di dalam kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Sesungguhnya seorang alim
diambil (wafat) dengan ilmunya, maka ilmu diambil dengan wafatnya para ulama. Akan
tetapi –alhamdulillah tetap ada golongan yang berada di atas kebenaran. Karena inilah,
Nabi SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah swt tidak mengambil ilmu secara langsung dari hamba, akan
tetapi Dia mengambil ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga bila tidak ada lagi
ulama, manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh, maka mereka ditanya lalu
berfatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan." (H.R Al-Bukhari
100)
Inilah yang dikhawatirkan, khawatir munculnya orang-orang jahil memberi
fatwa, maka mereka sesat lagi menyesatkan. Inilah ungkapan yang dikatakan: ilmu telah
hilang. Tidak ada lagi selain seperti ini dan seperti itu. Dikhawatirkan menurunkan
semangat sebagian orang, sekalipun hal itu tidak melunturkan semangat orang yang
teguh dan cerdas, bahkan mendorongnya untuk terus menuntut ilmu sehingga bisa
menutup celah yang terbuka. Orang yang paham lagi ikhlas, cerdas lagi mengerti
terhadap ucapan seperti ini tidak melunturkan semangatnya. Bahkan ia terus maju dan
bersungguh-sungguh, tetap ulet, belajar dan bersegera karena kebutuhan terhadap ilmu
untuk menutupi celah yang disangka orang-orang yang mengatakan: 'sesungguhnya
tidak ada lagi seseorang...' dan sebagian besar ulama telah pergi. Maka sesungguhnya
tetap ada golongan yang menang, yang berada di atas kebenaran, seperti yang
disabdakan Nabi Muhammad SAW:

"Senantiasa segolongan umatku tetap nampak di atas kebenaran, tidak mengganggu


(mereka) orang yang menghina mereka sampai datang perkara Allah SWT.” (H.R.
Muslim 1290)
Maka kita harus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, memberikan
semangat atasnya, melaksanakan kewajiban di kota kita dan yang lainya, karena
mengamalkan dalil-dalil syar'i yang mendorong hal itu, ingin mengajar dan memberi
manfaat kepada kaum muslimin, sebagaimana kita harus mendorong untuk tetap ikhlas
dan benar dalam menuntut ilmu. Barangsiapa yang ingin mendapatkan ijazah agar kuat
dalam menyampaikan ilmu, berdakwah kepada kebaikan, sungguh ia telah melakukan
kebaikan dalam hal itu. Jika ia ingin mendapatkan harta agar menjadi kuat dengannya,
maka tidak mengapa ia belajar dan mendapatkan ijazah yang membantunya dalam
menyebarkan ilmu dan
supaya ilmu bisa diterima darinya dan agar mengambil harta yang membantunya dalam
berdakwah. Maka sesungguhnya kalau bukan karena Allah SWT, kemudian harta,
niscaya banyak sekali orang yang tidak bisa belajar dan berdakwah. Harta membantu
seorang muslim dalam menuntut ilmu, menunaikan kebutuhannya, dan menyebarkan
ilmu kepada orang banyak. Tatkala Umar RA memegang satu tugas, Rasulullah SAW
memberikan harta kepadanya, ia berkata: 'Berikanlah kepada orang yang lebih miskin
dari saya.' Maka Nabi bersabda: “Ambilah, simpanlah atau sedekahkan dengannya.
Apapun yang datang kepadamu dari harta ini, sedang engkau tidak menghendaki dan
tidak memintanya maka ambilah, dan sesuatu yang tidak seperti itu maka janganlah
engkau menuruti keinginan nafsumu." (H.R Al-Bukhari 1473 dan Muslim 1045)
Nabi memberi harta kepada muallaf yang imannya masih lemah dan
memberi semangat kepada mereka hingga mereka masuk ke dalam agama
Allah SWT secara berbondong-bondong, jika haram tentu beliau tidak memberikan
kepada mereka, bahkan beliau memberi kepada mereka seperti saat futuh Makkah
(penaklukan kota Makkah) dan sesudahnya. Di hari futuh Makkah, beliau memberi
sebagian orang sebanyak seratus ekor unta dan Nabi Muhammad SAW memberikan
seperti orang yang tidak takut miskin, karena mendorong masuk Islam dan berdakwah
kepadanya.
Allah SWT memberikan kepada muallaf satu bagian zakat, memberikan jatah
kepada mereka dari baitul maal dan selain mereka dari para pengajar dan qadhi serta
kaum muslimin yang lain.

2. Tawakal
Tawakal dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan, keduanya adalah satu
kesatuan, di mana usaha adalah bagian dari tawakal. Dikatakan bahwa tawakal dan
usaha adalah wajah dari dua sisi keimanan, karena tawakal adalah menyerahkan hasil
usaha kepada Allah SWT, sedangkan usaha adalah syarat dari tawakal. Ulama
mengatakan,“Tawakal tanpa usaha adalah cacat dalam akal, sedangkan usaha tanpa
tawakal kepada Allah merupakan sebuah kesyirikan.”. Tawakal adalah menyerahkan
hasil usaha seorang hamba kepada Allah SWT setelah mengoptimalkan segala
potensinya, dan ridha dengan keputusan Allah SWT, serta berhusnuzhan kepada Allah
bahwa Allah pasti lebih tahu apa yang bermaslahat untuk hamba-Nya. Hal ini seperti
yang termaktub dalam doa shalat Istikharah yang diajarkan kepada Rasulullah yang
artinya “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada Engkau untuk dipilihkan dengan
ilmu-Mu, dan mohon kemampuan dengan kemampuan-Mu, aku mohon dari karunia-Mu
yang agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau
mengetahui dan aku tidak mengetahui, Engkau Maha Mengetahui yang gaib. Ya Allah,
jika Engkau mengetahui perkara ini (disebutkan jenis masalahnya) baik buatku dalam
dinku, duniaku, akhir perkaraku atau kondisi sekarang dari perkaraku atau nantinya,
maka takdirkanlah hal itu untukku, dan mudahkanlah untukku, kemudian berkahilah
aku di dalamnya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagiku dalam
agamaku, kehidupanku, dan akhir perkaraku atau perkaraku yang cepat atau yang
nantinya, maka palingkan perkara itu dariku, dan palingkan aku darinya. Dan
takdirkanlah kebaikan untukku dari arah mana saja, kemudian ridhailah aku.”
Sebagaimana orang yang beristikharah tidak memastikan yang terjadi adalah apa
yang diinginkan, tapi menyerahkan keputusannya kepada apa yang baik di sisi Allah.
Demikian juga seorang hamba yang bertawakal minta tolong kepada Allah, dan
menyerahkan urusannya kepada Allah serta pasrah totalitas terhadap Allah, dengan
keyakinan bahwa Allah tidak akan menelantarkan hamba-Nya yang bertawakal kepada-
Nya. Ketika sudah berusaha kemudian sering didapatkan orang-orang salihin sudah
maksimal dalam usaha dan sudah maksimal dalam doa tetapi masih saja menemui
kegagalan. In adalah realita yang tidak terbantahkan, yang kemungkinan bagi yang tidak
memahami secara benar akan menyalahkan tawakal bahkan menyalahkan Allah SWT.
Yang harus diyakini dalam memahami masalah ini, bahwa manusia adalah
hamba Allah dalam segala kondisi, beribadah kepada Allah dalam segala hal, termasuk
dalam masalah tawakal dan usaha. Allah Rabb segala sesuatu, termasuk Rabb dalam
menentukan berhasil dan tidaknya segala usaha, Dialah yang berhak
menentukan segala sesuatu dan tidak ada pilihan bagi manusia kecuali yang Allah
berikan pilihan bagi mereka. Allah berfirman:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak
ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka
persekutukan (dengan Dia).” (QS. al-Qashas: 68)
Manusia harus senang hati menerima apa yang diputuskan oleh Allah tentang
tercapainya dan tidaknya apa yang diusahakannya. Jika tercapai, ia tetap berdoa agar
Allah memberikan taufik, keberkahan serta sebab kesuksesan akhirat. Sedangkan jika
tidak tercapai, ia berhusnuzhan kepada Allah, bahwa di balik itu semua, ada hal yang
lebih baik untuknya, atau agar dia lebih banyak berdoa kepada Allah, dan pasrah
menerima keputusan Allah. Jadi kesuksesan sebenarnya tercapai bagi orang yang
bertawakal baik terealisasikan apa yang diinginkan dari dunia atau tidak, sebab apapun
hasilnya ia mendapat ridha dan rahmat Allah, dan itu lebih baik dari apa yang
didapatkan dari dunia. Allah berfirman:
“Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan
Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka
kumpulkan.” (QS. Ali-Imran: 157)
Sebenarnya, ukuran keinginan dan apapun yang sudah dicapai adalah relatif,
untuk tiap-tiap ingin memiliki uang untuk membeli mobil kemudian berhasil membeli
mobil, apakah mobil yang dibeli pasti membawa kepada kebaikan? Belum tentu. Untuk
itu perlu tawakal dan berdoa agar mobil yang didapatkan membawa keberkahan hidup,
dan kalau tidak berhasil membeli mobil, asalkan ia tawakal tetap juga ia sukses karena
ia akan tetap berhusnuzhan bahwa ketika Allah belum atau tidak menakdirkan hal itu
barangkali itu lebih baik untuknya, siapa tahu kalau ia beli mobil, malah mobilnya
menjadi sebab kecelakaan untuknya. Sikap husnuzhan kepada Allah dan ridha, serta
tetap berusaha dengan jalan halal sambil berdoa kepada Allah, sungguh pahala di balik
itu jauh lebih baik daripada keberhasilan dunia, kalau manusia mengetahui apa yang
Allah janjikan. ‘Ala kulli haal orang yang demikian akan tenang pikiran dan hatinya.
Dan itu sendiri menjadi sebab kebahagiaan yang luar bisa.
3. Sabar
Sabar berasal dari bahasa Arab shobaru-yashbiru yang berarti “Menahan”.
Sedangkan sabar menurut istilah adalah menahan diri dari berbagai kesusahan dan
menyikapinya menggunakan akal dan syariat, menjaga lisan dari menggunjing serta
menahan semua anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Setalah
mengetahui secara ringkas mengenai pengertian sabar, maka penting rasanya untuk
mengetahui macam-macam sejarah. Menurut islam, sabar itu ada beberapa macam yang
diantaranya adalah:
a. Sabar dalam melaksanakan perintah Allah SWT
Sabar dalam hal ini adalah dimaksudkan untuk menahan diri kita agar selalu
istiqomah menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Sebagai
seorang muslim yang beriman, sudah semestinya untuk sabar dan ikhlas dalam
menjalankan segala perintahh-Nya.
b. Sabar dalam menjauhi semua larangan Allah SWT
Jenis sabar yang kedua ini memang dirasa cukup sulit. Seorang muslim yang
rajin beribadah dengan sabarpun belum tentu bias menjauhi segala larangan Allah
SWT. Karena memang Allah menciptakan hawa nafsu dan syaithan untuk selalu
menggoda manusia agar melakukan segala apa yang dilarang oleh Allah SWT.
c. Sabar dengan apa yang telah dituliskan Allah SWT untuk kita
Sabar yang ini bisa jadi lebih berat dari yang sebelumnya. Seseorang bisa saja
mempu untuk bersabar dalam ta’at menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya, namun belum tentu ia akan tabah menghadapi takdir Allah yang jauh
dari harapannya.
Sabar dapa mengundang manfaat yang besar bagi orang yang memilikinya
ketika tertimpa musibah atau kesusahan yang amat berat. Salah satunya disebutkan
dalam Q.S. Ali Imran aya 146: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
sabar”. Betapa indahnya kita sebagai orang muslim yang menjaga sabar karena dengan
begitu mampu mendapatkan cinta dari Allah SWT.

4. Syukur
Kata Syukur atau dalam bahasa Arab dari kata Syukuran, Syakara, Wa
Syukuran, Wa Syakara yang memiliki arti berterima kasih kepada Allah (dalam konteks
islam) atas segala nikmat yang telah kita terima. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Edisi III), syukur artinya rasa terima kasih kepada Allah SWT atau
pernyataan lega, senang, dan sebagainya.
Refleksi dari syukur merupakan bagian dari kegiatan yang menunjukkan sikap
tawakkal dan mengandung arti “Sebuah hal yang menunjukkan penyebaran dari sebuah
kebaikan”. Para ulama mendefinisikan syukur sebagai kalimat aplikatif, yaitu
menggunakan dengan baik segala sesuatu yang Allah anugrahkan dengan tujuan
penciptaan anugrah tersebut. Dan oleh karena itu syukur terbagi ke dalam tiga bagian,
diantaranya adalah syukur i’tiqadi (bersyukur dalam bentuk keyakinan), syukur kauli
(bersyukur dalam bentuk ucapan) dan syukur ‘amali (bersyukur dalam bentuk perbuatan
dan perilaku). Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an :

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu


bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim : 7)
Dalam ayat di atas menjelaskan betapa dahsyatnya tindakan bersyukur. Karena
sebagaimana disebutkan bahwa dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat
kepada kita. Namun sebaliknya, jika kita mengingkarinya, di sana Allah memperingati
bahwa azab-Nya begitu pedih. Maka dari itu penting bagi kita semua untuk selalu
bersyukur atas segala sesuatu yang Allah anugrahkan kepada kita.

5. Ridha
Kata Ridha berasal dari bahasa Arab, radiya yang artinya senang hati (rela).
Ridha menurut syariah adalah menerima dengan senang hati atas apa yang diberikan
Allah SWT, baik yang berupa hukum maupun keentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh-Nya, dan baik ketika menerima nikmat maupun ketika ditimpa musibah. Sering
kali sebagai manusia yang belum menanamkan ridla di dalam hatinya, ia akan merasa
sangat gelisah ketika mendapatkan ujian seperti kehilangan barang, pangkat, jabatan,
kehilangan anggota keluarga karena meninggal.
Namun ridha terhadap takdir bukan berarti menyerah dan pasrah tanpa berusaha
dan mencari jalan keluar dari musibah yang menimpanya, hal tersebut hanya akan
menambah kerugian kita karena tidak ingin bangkit dari keterpurukan. Hal tersebut
(musibah) hanyalah ujian dari Allah SWT dalam menguji keimanan dan ikhtiar hamba-
Nya. Sebagaimana firman Allah :

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar (15). (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"(QS. Al-
Baqarah :155-156)
Ayat di atas mengajarkan kita untuk kembali mengingat segala apa yang kita
miliki, bahwa semuanya adalah titipan dan pemilik sejatinya adalah Allah SWT dan
akan kembali kepada-Nya. Ayat di atas merupakan kalimat istirja’ (Pernyataan kembali
kepada Allah) dan disunnahkan bagi kita untuk mengucapkannya ketika ditimpa
musibah baik yang besar maupun musibah yang ringan atau kecil.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang artinya
pengetahuan atau pengalaman. Untuk itu manusia harus mengenal Allah terlebih dahulu
ketika upaya akan dan sedang menemukan sesuatu ilmu pengetahuan. Melalui 2 jalan
yaitu, jalan dilalui bukan atas dasar petunjuk Islam dan jalan yang dilalui berdasarkan
petunjuk Islam. Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu,-mahabbatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam. Macam-macam mahabbah ada 3
diantaranya, mahabbatul’ ibadah, mahabbah fillah dan mahabbah thabi’iyyah.
Ikhlas berarti bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Tawakal dalam usaha
pengembangan ilmu pengetahuan, keduanya adalah satu kesatuan. Dikatakan bahwa
tawakal dan usaha adalah wajah dari dua sisi keimanan. Sabar berasal dari bahasa Arab
shobaru-yashbiru berarti “Menahan”. Sabar adalah menahan diri dari berbagai
kesusahan dan menyikapinya menggunakan akal dan syariat, menjaga lisan dari
menggunjing serta menahan semua anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang oleh
Allah SWT. Syukur atau dalam bahasa Arab dari kata Syukuran, Syakara, Wa
Syukuran, Wa Syakara yang artinya berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat
yang telah kita terima. Kata Ridha berasal dari bahasa Arab, radiya yang artinya senang
hati (rela).

B. Saran
Demikianlah makalah tentang Aktualisasi dan Implementasi dalam Pengembangan
Ilmu Pengetahuan yang kami buat. Adapun saran dari kami yaitu:
 Pengembangan ilmu pengetahuan sains dan teknologi dalam Islam sebaiknya
sesuai dengan syariat Islam yang ada.
 Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam diharapkan mampu menopang
kemajuan kehidupan umat islam.
 Ada bagusnya jika seseorang yang memiliki intelektual yang tinggi
memanfaatkan itu dengan sebaik-baiknya sesuai dengan syariat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Mardhiah. 1997. Konsep Mahabbah dalam Pandangan Rabi‟ah Al-


Adawiyah. Tesis Ilmu Filsafat UGM: Yogyakarta

Abuddin Nata. 2009. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Rajawali Pers: Jakarta

Abuddin Nata. 2013. Akhlak Tasawuf. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta

Abdurrachman Mas’ud, dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar:


Yogyakarta

Ahmad As Shouwy, dkk. 1995. Muk’jizat Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang


IPTEK. Gema Insani Press: Jakrta

Faruqi, Ismail Razy. 1998. Tauhid. Pustaka: Bandung

HS. Mastuki. ''Tauhid sebagai paradigma pendidikan Islam (sebuah bagan


filosofis)". Jumal Madania, Volume 2 Nomor 2 April 1999, hlm. 4-16.

Maraji’, Cahayadi T dkk. 2003. Syahadat dan Makrifatullah. Era Intermedia: Solo

Muhaimin. 2012. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam.


Rajawali Pers: Jakarta

Muhaimin. 2004. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar:


Yogyakarta

Muh. Mu’inudinillah Basri. 2008. Indahnya Tawakal. Indiva Media Kreasi: Solo

Nasr, Seyyed Hossein. 1994. Menjelajah Dunia Modern. Penerbit Mizan:


Bandung

Naisbit, John, dkk. 2001. Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat


Teknologi. Pustaka Mizan: Bandung

Rahman, Fazlur. 1986 Islam. Pustaka: Bandung

Rahmat, Jalaluddin. 1995. "Dari Tauhid Ibadah kepada Tauhid Ummah.”


Makalah Seminar NasionaI Tauhid Sosial yang dilaksankan oleh Lembaga
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, 28 April 1995.

Sayyid Quthb. 2004. Tafsir fi zhilalil Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an. Gema
Insani Pers: Jakarta

Surya, Muhammad. 2000. “Integrasi Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan


Nasional", dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam
Pendidikan. Penerbit Nuansa: Bandung

Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. 2015. Ikhlas Dalam Menuntut Ilmu.
Terjemah: Muhammad Iqbal A. Gazali. Majalah Buhuth Ilmiyah 47 hal 157-
160.
Tafsir, Ahmad. 2000. “Asumsi Filosofis Tauhid dan Pembaruan Sistem
Pendidikan", dalam Hendar Riyadi (ed.) Tauhid ilmu dan Implementasinya
dalam Pendidikan. Penerbit Nuansa: Bandung

Das könnte Ihnen auch gefallen