Sie sind auf Seite 1von 21

I.

PENDAHULUAN

Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan
sebagai penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal.
Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau
azotemia (peningkatan konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah
cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin.

Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan


karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa
insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan
insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis.
Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9%
pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20%
pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka
kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%.

AKI telah menarik perhatian dengan adanya pengakuan bahwa perubahan


kecil dalam fungsi ginjal mungkin memiliki efek yang serius dalam diagnosa
akhir. Meskipun kemajuan dalam diagnosis dan staging AKI dengan emergensi
biomarker menginformasikan kepada kita tentang mekanisme dan jalur dari AKI,
tetapi kita belum bisa tahu bagaimana AKI berkontribusi terhadap peningkatan
mortalitas dan morbiditas pada pasien rawat inap. Perkembangan deteksi dini dan
manajemen AKI telah sangat ditingkatkan melalui pengembangan definisi
universal dan spektrum staging. Cedera AKI berubah dari bentuk kurang parah
menjadi staging severe injury, dimana gagal ginjal akut mungkin memerlukan
terapi pengganti ginjal.
II. II. PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Acute Kidney Injury adalah salah satu dari sejumlah kondisi yang
mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. AKI didefinisikan oleh penurunan
mendadak fungsi ginjal, adalah sindrom klinis yang luas yang mencakup berbagai
etiologi, termasuk penyakit ginjal tertentu (misalnya, interstitial akut nefritis,
glomerulus akut dan penyakit ginjal vaskulitis); kondisi non-spesifik (misalnya,
iskemia, cedera beracun); demikian juga sebagai patologi extrarenal (misalnya,
azotemia prerenal, dan akut postrenal nefropati obstruktif).

Acute Kidney Injury (AKI) adalah sindrom yang ditandai dengan kerusakan
fungsi ginjal yang cepat (jam hingga hari). Sering didiagnosis dalam konteks
penyakit akut lain dan sangat umum pada pasien sakit kritis. Konsekuensi klinis
dari AKI termasuk akumulasi produk limbah, elektrolit, dan cairan, tetapi juga
efek yang kurang jelas, termasuk mengurangi kekebalan dan disfungsi organ non-
ginjal (organ cross-talk).

Dampak dan prognosis AKI sangat bervariasi tergantung pada tingkat


keparahan, pengaturan klinis, faktor komorbid, dan juga lokasi geografis. Ada
semakin banyak bukti bahwa AKI dikaitkan dengan komplikasi jangka pendek
dan jangka panjang yang serius, khususnya peningkatan mortalitas dan
morbiditas, perkembangan penyakit ginjal kronis (CKD), dan biaya perawatan
kesehatan keuangan yang tinggi. Dengan demikian, AKI sekarang diakui sebagai
masalah kesehatan masyarakat yang besar.
Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding


abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3.
Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar.
Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula
renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar adalah
fascia renal.Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan
memfiksasi ginjal.

Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang
dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa
triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian
apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan
hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis
ginjal.

Fisiologi
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat
terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma
darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam
jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di
eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan.
Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian
akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari
darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke
ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila
orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka
urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra.
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke
kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara
bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman
hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler
glomerulus tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi
lengkap dan kemudian akan dieksresi.

B. ETIOLOGI
Etiologi AKI dibagi menajdi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis
AKI, yaitu :

1. Penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan


gangguan pada parenkim ginjal ( AKI prarenal )
2. Penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim
ginjal ( AKI renal )
3. Penyakit yang terkait dengan obstruksi seluruh kemih ( AKI
pascarenal ).

AKI Prarenal

I. Hipovolemia

- Kehilangan cairan pada ruang ketiga, ekstravaskular.


- Kerusakan jaringan (pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus.
- Kehilangan darah.
- Kehilangan cairan ke luar tubuh melalui saluran cerna (muntah, diare,
drainase), melalui saluran kemih (diuretik, hipoadrenal, diuresis
osmotik), melalui kulit (luka bakar).

II. Penurunan curah jantung

- Penyebab miokard: infark, kardiomiopati


- Penyebab perikard: tamponade
- Penyebab vaskular pulmonal: emboli pulmonal
- Aritmia
- Penyebab katup jantung

III. Perubahan rasio resistensi vaskular ginjal sistemik

- Penurunan resistensi vaskular perifer


- Sepsis, sindrom hepatorenal, obat dalam dosis berlebihan (contoh:
barbiturat), vasodilator (nitrat, antihipertensi)
- Vasokonstriksi ginjal
- Hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, takrolimus,
amphotericin B
- Hipoperfusi ginjal local
- Stenosis a.renalis, hipertensi maligna
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan autoregulasi ginjal

- Kegagalan penurunan resistensi arteriol aferen


- Perubahan struktural (usia lanjut, aterosklerosis, hipertensi kronik,
PGK (penyakit ginjal kronik), hipertensi maligna), penurunan
prostaglandin (penggunaan OAINS, COX-2 inhibi tor), vasokonstriksi
arteriol aferen (sepsis, hiperkalsemia, sindrom hepatorenal,
siklosporin, takrolimus, radiokontras)
- Kegagalan peningkatan resistensi arteriol eferen
- Penggunaan penyekat ACE, ARB
- Stenosis arteri renalis

V. Sindrom hiperviskositas

- Mieloma multipel, makroglobulinemia, polisitemia

AKI Intra Renal/intrinsik

I. Obstruksi renovaskular

- Obstruksi a.renalis (plak aterosklerosis, trombosis, emboli, diseksi


aneurisma, vaskulitis), obstruksi v.renalis (trombosis, kompresi)

II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal

- Glomerulonefritis, vaskulitis

III. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis, ATN)

- Iskemia (serupa AKI prarenal)


- Toksin
- Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi, pelarut
organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis, hemolisis, asam
urat, oksalat, mieloma)

IV. Nefritis interstitial


- Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi (bak- teri,
viral, jamur), infiltasi (limfoma, leukemia, sarkoidosis), idiopatik

V.Obstruksi dan deposisi intratubular

- Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat,


sulfonamide

AKI Pascarenal

1.Obstruksi ureter

- Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan.

2. Obstruksi uretra
- Striktur, katup kongenital, fimosis
C. GEJALA KLINIK

Gejala klinis yang sering timbul pada gagal ginjal akut adalah jumlah
volume urine berkurang dalam bentuk oligouri bila produksi urine > 40 ml/hari,
anuri bila produksi urin < 50 ml/hari, jumlah urine > 1000 ml/hari tetapi
kemampuan konsentrasi terganggu, dalam keadaan ini disebut high output renal
failure. Gejala lain yang timbul adalah uremia dimana BUN di atas 40 mmol/l,
edema paru terjadi pada penderita yang mendapat terapi cairan, asidosis metabolik
dengan manifestasi takipnea dan gejala klinik lain tergantung dari faktor
penyebabnya.
D. KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis AKI secara tradisional didasarkan pada peningkatan kreatinin


serum dan / atau penurunan output urin. Definisi ini telah berevolusi dari kriteria
Risiko, Cedera, Kegagalan, Kerugian, Tingkat Akhir (RIFLE) pada tahun 2004 ke
klasifikasi AKI Network (AKIN) pada tahun 2007. Pada tahun 2012, keduanya
digabung menghasilkan klasifikasi Penyakit Ginjal Improving Global Outcomes
(KDIGO). Dengan demikian, AKI didiagnosis jika kreatinin serum meningkat
sebesar 0,3 mg / dl (26,5 μmol / l) atau lebih dalam 48 jam atau naik ke setidaknya
1,5 kali lipat dari baseline dalam 7 hari (Tabel 1). Tahapan AKI didefinisikan oleh
perubahan maksimum baik kreatinin serum atau output urin. Pentingnya kedua
kriteria ini dikonfirmasi dalam penelitian baru-baru ini di> 32.000 pasien sakit
kritis yang menunjukkan bahwa risiko jangka pendek dan jangka panjang
kematian atau terapi penggantian ginjal (RRT) terbesar ketika pasien memenuhi
kedua kriteria untuk AKI dan ketika kelainan ini bertahan selama lebih dari 3 hari.

Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain
(1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja
perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum ternyata mempengaruhi prognosis
penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang
sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului
peningkatan Cr serum; (4) penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr
serum, UO dan LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker)
penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja. ADQI
mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau
kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2
kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat
pada table.
RIFLE: Ini adalah sampai 2004 Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) telah
mengembangkan klasifikasi RIFLE oleh konsensus ahli bermaksud untuk
membakukan definisi AKI pada orang dewasa. Singkatan RIFLE merupakat
singkatan kelas tingkat rendah hingga beratnya disfungsi pada ginjal, untuk cedera
pada ginjal dan kegagalan dengan penurunan mendalam fungsi ginjal. Pendekatan
baru ini mencakup variasi kreatinin serum (SCr) dan Output Urine sebagai
komponen dasar. Sebagai tingkat keparahan meningkatkan kekhususan sistem
klasifikasi ini meningkat sementara sensitivitas berkurang. Dua kriteria yang ada,
Loss dan End-Stage Kidney Disesase, didefinisikan oleh kerangka waktu
penurunan terus-menerus dalam fungsi ginjal, 4 minggu dan 3 bulan. Kriteria
RIFLE telah divalidasi di lebih dari 500.000 pasien di beberapa penelitian
multinasional, dan telah menjadi cara standar untuk mengklasifikasikan pasien
dengan AKI.

AKIN: Cedera Jaringan (AKIN) Kriteria akut Ginjal diusulkan beberapa


modifikasi yang relevan dengan kriteria RIFLE. Modifikasi ini melibatkan
perluasan dari 'risiko' kategori RIFLE untuk memasukkan selisih kecil di kreatinin
serum minimal 0,3 mg / dl bahkan jika ini tidak mencapai ambang 50% tapi
asalkan tercapai di jendela 48-jam.4
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi
nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE.
AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
merekomendasikan:2

1) Kenaikan kadar Cr serum sebesar >0,3 mg/dL sebagai ambang definisi AKI
karena dengan kenaikan tersebut telah didapatkan peningkatan angka
kematian 4 kali lebih besar (OR=4,1; CI=3,1-5,5).

2) Penetapan batasan waktu terjadinya penurunan fungsi ginjal secara akut,


disepakati selama maksimal 48 jam (bandingkan dengan 1 minggu dalam
kriteria RIFLE) untuk melakukan observasi dan mengulang pemeriksaan
kadar Cr serum.

3) Semua pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal (TPG) diklasifikasikan


dalam AKI tahap 3.

4) Pertimbangan terhadap penggunaan LFG sebagai patokan klasifikasi karena


penggunaannya tidak mudah dilakukan pada pasien dalam keadaan kritis.
Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada kriteria RIFLE secara
berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2, dan 3. Kategori LE
pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis (outcome) sehingga tidak
dimasukkan dalam tahapan.

Klasifikasi AKI menurut AKIN dapat dilihat pada tabel 2. Sebuah penelitian
yang bertujuan membandingkan kemanfaatan modifikasi yang dilakukan oleh
AKIN terhadap kriteria RIFLE gagal menunjukkan peningkatan sensitivitas,
dan kemampuan prediksi klasifikasi AKIN dibandingkan dengan kriteria
RIFLE.
E. DIAGNOSIS

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain
riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis
(anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan
ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan
membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya
pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI,
dan penentuan komplikasi.
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO
dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan
OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda
hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan
hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis.
Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan
status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik
dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin
endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal
lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti
gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostovertebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih.
Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi
ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan
pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi
akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan
pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi


glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI
prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang
transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif,
walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau
penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada
ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast
leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial.
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI, seperti yang terlihat pada table).
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh
darah ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus
hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin)
terakumulasi di dalam darah akibat vaso- konstriksi pembuluh darah ginjal dengan
fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin

x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang

dari 35%.

Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal


yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil
disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal
non- ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glomerulonefritis,
vaskulitis, dan lain lain.

G. PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti-
mal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya.
Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia,
terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan
menghindari penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran
cairan harus dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan
dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup
berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan
elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara
ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin
dan serum.

Terapi Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya


dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (tabel 5).

Terapi Farmakologi: Furosemid, Manitol, dan Dopamin

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah


digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya
bersifat kontoversial. Obat- obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan

dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi


luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain
itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih
baik dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut,
banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-
oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan
cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis. Namun, penelitian dan meta-
analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk pengobatan
AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi
pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi terkait
dengan peningkatan risiko ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78). Meskipun
demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan
pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus
diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI
adalah:

 Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak


dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP
atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300
cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi

terlebih dahulu. 


 Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna


pada AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada

AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam). 
 Pada

awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 
 mg. Jika manfaat

tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat


100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut
dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk
meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut
tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus
dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat
bahkan dapat menyebabkan toksisitas.

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler


sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegu- naan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan
kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi
eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul
pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain
menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol
tidak memperbaiki prognosis pasien.

Dopamin dosis rendah (0,5-3 g/kgBB/menit) secara historis digunakan


dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2
di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah

ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah


ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh
terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis
yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat
tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien
serta abnormalitas pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus,
aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya dalam dunia
nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard,
takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap
hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons
selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis, dianjurkan agar menghentikan
penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap dapat digunakan
untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk
memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan lain seperti agonis
selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis
multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis
adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI.

H. KOMPLIKASI

Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia, asidosis


metabolik, hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada keadaan
hiperkatabolik. Pada oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan edema paru,
yang dapat menimbulkan keadaan gawat. Hiperkalemia terjadi karena beberapa
hal seperti ekskresi melalui ginjal terganggu, perpindahan kalium keluar sel,
kerusakan sel akibat proses katabolik, trauma, sepsis, infeksi, atau dapat juga
disebabkan karena asupan kalium yang berlebih, keadaan ini berbahaya karena
bisa menyebabkan henti jantung dalam keadaan diastolik. Asidosis terjadi karena
bikarbonat darah menurun akibat ekskresi asam nonvolatile terganggu dimana
juga meningkatkan anion gap. Hipokalsemia sering terjadi pada awal kasus AKI
dan pada fase penyembuhan AKI.
Komplikasi sistemik seperti :
1. Jantung
Edema paru, aritmia dan efusi pericardium.
2. Gangguan elektrolit
Hiperkalemia, hiponatremia, dan asidosis
3. Neurologi:
Iiritabilitas neuromuskular, tremor, dan koma,
4. Gangguan kesadaran dan kejang.
5. Gastrointestinal:
Nausea, muntah, gastritis, dan ulkus peptikum.
6. Perdarahan gastrointestinal
7. Hematologi
Anemia, dan diastesis hemoragik
8. Infeksi
Pneumonia, septikemia, dan infeksi nosokomial.
9. Hambatan penyembuhan luka

I. PENCEGAHAN

Mengingat terapi AKI yang belum sepenuhnya memuaskan, maka


pencegahan sangat penting untuk dilakukan. Walaupun demikian sampai saat
ini, tidak ada pencegahan umum yang dapat diberikan pada seorang dengan
penyakit dasar yang dapat menyebabkan AKI,seperti usia lanjut dan
seseorang dengan PGK. Pencegahan AKI terbaik adalah dengan
memperhatikan status hemodinamik seorang pasien, mempertahankan
keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan zat nefrotoksik maupun obat
yang dapat mengganggu kompensasi ginjal pada seseorang dengan gangguan
fungsi ginjal. Dopamin dosis ginjal maupun diuretik tidak terbukti efektif
mencegah terjadinya AKI.

J. PROGNOSIS
Mortalitas akibat AKI bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal.
Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi
yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan
memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%),
perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas
(15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya. Pasien dengan AKI yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu
ditekankan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudung O. Pardede, Niken W. Kriteria RIFLE pada Acute Kidney Injury,


FKUI-RSCM. Jakarta. 2012.
2. Acute kidney injury 2016: diagnosis and diagnostic workup. US National
Library of Medicine. National Institutes of Health.
3. Robert Sinto, Ginova Nainggolan. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis
dan Tatalaksana, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2010.
4. Syarif, Amir, SKM,SpFK dkk. Farmakologi dan Terapi Edisi
5.Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.Jakarta.2012.
5. Garabed Eknoyan, DKK. Kidney International Supplement, KDIGO
Clinical Practice Guidline for Acute Kidney Injury, Tufts Medical Center.
Boston, USA, 2012.
6. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, Mehta RL, Palevsky P. Acute renal
failure – definition, outcome measures, animal models, fluid therapy and
information technology needs: The Second International Consensus

Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) Group.
 
 


7. Sri S., DKK. Acute Kidney Injury (AKI) Biomarker, Department of


Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of Indonesia.

Jakarta,2012.
 
 
 
 
 
 


Das könnte Ihnen auch gefallen