Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Disusun oleh:
Yosi Sanjaya
17360202
Pembimbing:
dr. Mustafa M Amin, M.Ked. KJ. Sp.KJ (K)
WaTa’ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia Nya sehingga kami bias
bagian psikiatri Rumah Sakit Umum Haji Medan dengan judul “Gangguan
Shalallahu A’laihi Wassalam yang telah membawa kita ke zaman yang penuh ilmu
pengetahuan.
KJ (K). Saya menyadari bahwa dalam penyusun masih terdapat banyak kekurangan
baik dalam cara penulisan maupun penyajian materi. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga bermanfaat
bagi penyusunan paper selanjutnya. Semoga paper ini bermanfaat bagi pembaca dan
i
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa
didefinisikan sebagai adanya kehilangan ( sebagian atau seluruh) dari integrasi
normal (dibawah kendali sadar) meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas
dan peng-inderaan-an segera (awareness of identity and immediate sensations)
serta control terhadap gerak tubuh.
Dalam penegakan diagnosis gangguan Disosiatif harus ada gangguan
yang menyebabkan kegagalan mengkordinasikan identitas, memori persepsi
ataupun kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi
sosial, pekerjaan dan memanfaatkan waktu senggang.
2.2 Epidemiologi
Gangguan Disosiatif bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam
masyarakat. Tetapi juga Gangguan Disosiatif ini tidak jarang ada dalam kasus-
kasus psikiatri. Prevelensinya hanya 1 berbanding 10.000 kasus dalam populasi.
Dalam beberapa referensi bisa terlihat bahwa ada peningkatan yang tajam dalam
kasus-kasus gangguan disosiatif yang dilaporkan, dan menambah kesadaran para
ahli dalam menegakkan diagnosis, menyediakan kriteria yang spesifik, dan
menghindari kesalahan diagnosis antara DID, schizophrenia atau gangguan
personal.
Orang-orang yang umumnya mengalami gangguan disosiatif ini sangat
mudah dihipnotis dan sangat sensitive terhadap sugesti dan lingkungan
budayanya,namun tak cukup banyak referensi yang membetulkan pernyataan
tersebut.
2
Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan disosiatif ini
mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan Disosiasi bisa terkena oleh orang di
belahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.
2.3 Etiologi
Gangguan Disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun
biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan
organik yang dialami. Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-anak namun
tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya
gangguan disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah
terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala gangguan
disosiatif.
Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi
berupa :
Kepribadian yang Labil :
Pelecehan seksual
Pelecehan fisik
Kekerasan rumah tangga ( ayah dan ibu cerai )
Lingkungan sosial yang sering memperlihatkan kekerasan
Identitas personal terbentuk selama masa kecil, dan selama itupun, anak-
anak lebih mudah melangkah keluar dari dirinya dan mengobservasi trauma
walaupun itu terjadi pada orang lain.
2.3 Tanda dan Gejala
Pada Gangguan disosiatif, kemampuan kendali dibawah kesadaran dan
kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat berlangsung dari hari
kehari atau bahkan jam ke jam. Gejala umum untuk seluruh tipe gangguan
disosiatif, meliputi :
a. Hilang ingatan (amnesia) terhadap periode waktu tertentu, kejadian dan orang
b. Masalah gangguan mental, meliputi depresi dan kecemasan,
3
c. Persepsi terhadap orang dan benda di sekitarnya tidak nyata (derealisasi)
d. Identitas yang buram
e. Depersonalisasi
2.4 Faktor Resiko
Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual
ataupun emosional semasa kecil sangat berisko besar mengalami gangguan
disosiatif. Anak-anak dan dewasa yang juga memiliki pengalaman kejadian yang
traumatic, semisalnya perang, bencana, penculikan, dan prosedur medis yang
infasif juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya gangguan disosiatif ini.
2.5 Pedoman Diagnosis dan Klasifikasi Gangguan Disosiatif
Gangguan disosiatif dibedakan atau diklasifikasikan atas beberapa
pengolongan yaitu :
F444.0 Amnesia Disosiatif
F.44.1 Fugue Disosiatif
F.44.2 Stupor Disosiatif
F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan
F44.4 Gangguan motorik Disosiatif
F.44.5 Konvulsi Dsosiatif
F.44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
F44.7 Gangguan Disosiatif campuran
F44.8 Gangguan Disosiatif lainnya
F44.9 Gangguan disosiatif YTT
Untuk diagnosis pasti maka hal-hal berikut ini harus ada :
1. Ciri-ciri klinis yang ditentukan untuk masing-masing gangguan yang
tercantum pada F44.
2. Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala
tersebut.
4
3. Bukti adanya penyebab psikologis dalam bentuk hubungan waktu yang jelas
dengan problem dan peristiwa yang stressful atau hubungan interpersonal
yang terganggu (meskipun disangkal pasien).
Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai kejadian penting
yang baru terjadi (selektif), yang bukan disebabkan oleh gangguan mental
organik dan terlalu luas untuk dijelaskan atas dasar kelupaan yang umum
terjadi atas dasar kelelahan.
Diagnosa pasti memerlukan:
a. Amnesia baik total maupun parsial mengenai kejadian yang stressful atau
traumatik yang baru terjadi (hal ini mungkin hanya dapat dinyatakan bila
ada saksi yang memberi informasi.
b. Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi ataukelelahan berlebihan
(sindrom amnesia organik, F04, F1x.6).
Yang pasing sulit dibedakan adalah “amnesia buatan” yang disebabkan oleh
simulasi secara sadar (malingering). Untuk itu penilaian secara rinci dan
berulang mengenai kepribadian premorbid dan motivasi diperlukan.
Amnesia buatan biasanya berkaitan dengan problema yang jelas mengenai
keuangan bahaya kematian dalam peperangan, atau kemungkinan hukuman
penjara atau hukuman mati
b. F44.1 Fugue Disosiatif
Untuk diagnosa pasti harus ada:
a. Ciri-ciri amnesia disosiatif (F44.0)
b. Melakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang umum dilakukan
sehari-hari dan ;
c. Kemampuan mengurus diri yang dasar tetap ada (makan, mandi, dsb) dan
melakukan interaksi sosial sederhana dengan orang-orang yang dikenalnya
5
(misalnya membeli karcis atau bensin, menanyakan arah, memesan
makanan).
Harus dibedakan dengan postictal fugue yang terjadi setelah serangan epilepsi
lobus temporalis, biasanya dapat dibedakan dengan cukup jelas atas dasar
riwayat penyakitnya, tidak adanya problem atau kejadian yang stressfull dan
kurang jelasnya tujuan (fregmanted) berkepergian serta berkegiatan dari
penderita epilepsi tersebut.
c. F.44.2 Stupor Disosiatif
6
Tidak ada penyebab organik (epilepsi lobus temporalis, cedera kepala,
intoksikasi zat psikotropika) dan bukan bagian dari gangguan jiwa lain(
skizofrenia, gangguan kepribadian multiple)
e. F44.4 Gangguan motorik Disosiatif
Bentuk paling umum dari gangguan ini adalah ketidak mampuan untuk
menggerakan seluruh atau sebagian dari anggota gerak (tangan dan kaki)
Gejala tersebut seringkali menggambarkan konsep dari penderita mengenai
gangguan fisik yang berbeda dengan prinsip fisiologik maupun anatomik.
f. F.44.5 Konvulsi Dsosiatif
Dapat menyerupai kejang epileptic dalam hal gerakannya akan tetapi jarang
disertai lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan dan inkontinensia
urin, tidak dijumpai kehilangan kesadaran tetapi diganti dengan keadaan
seperti stupor atau trans.
g. F.44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif
Bagian kulit yang mengalami anestesi sering kali mempunyai batas yang tegas
yang menjelskan bahwa hal tersebut lebih berkaitan dengan pemikiran pasien
mengenai fungsi tubuhnya daripada dengan pengetahuan kedokterannya.
Meskipun ada gangguan penglihatan, mobilitas pasien serta kemampuan
motoriknya sering kali masih baik. Tuli disosiatif dan anosmia jauh lebih
jarang terjadi dibandingkan dengn hilang rasa dan penglihatan.
h. F44.7 Gangguan Disosiatif campuran
Campuran dari gangguan-gangguan tersebut di atas. ( F44.0-F44.6)
7
menunjukkan kemungkinan adanya penyebab yang bersifat psikogenik dan
harus dimasukkan di sini.
F44.81 Gangguan kepribadian multiple
Ciri utama adanya dua atau lebih kerpibadian yang jelas pada satu individu
dan hanya satu yang tampil untuk setiap saatnya. Masing-masing kepribadian
tersebut adalah lengkap, dalm arti memiliki ingatan, perilaku dan kesenangan
sendiri-sendiri yang mungkin sangat berbeda dengan kepribadian
pramorbidnya.
F44.82 Gangguan Disosiatif sementara terjadi pada masa kanak dan
remaja
F44.88 Gangguan Disosiatuf lainnya YDT
j. F44.9 Gangguan disosiatif YTT
2.6 Komplikasi
Orang-orang dengan gangguan disosiatif beresiko besar mengalami
komplikasi seperti:
1. Melukai diri sendiri (self-harm)
Pasien dengan kondisi gangguan disosiatif sering melakukan kegiatan
melukai diri sendiri dengan menggunakan benda tajam.
2. Pikiran untuk bunuh diri (suicidal thought)
Seperti dijelaskan dalam DSM edisi V, pada kondisi gangguan identitas
disosiatif didapatkan lebih dari 70% penderita telah melakukan beberapa kali
percobaan bunuh diri. Hal ini juga berkaitan dengan metode melukai diri
sendiri dengan benda tajam.
3. Gangguan seksual
Kondisi ini berkaitan dengan faktor predisposisi gangguan disosiatif berupa
pelecehan seksual yang dialami pasien pada masa lalu. Trauma yang terjadi
bisa memunculkan gangguan orientasi seksual maupu fungsi seksual pada
pasien.
8
4. Psychogenic non-epileptic seizure
Psychogenic non-epileptic seizure (PNES) merupakan episode kejang yang
menyerupai epilepsi yang berasal dari emosional dibandingkan organik.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh kruijs et al (2014), pasien dengan
PNES menunjukkan adanya peningkatan pada skor dissosiasi, penurunan
kemampuan kognitif, serta peningkatan kontribusi dari kortex orbitofrontal,
insular, dan subcallosal.
5. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada gangguan disosiatif adalah
gangguan saat tidur,mimpi buruk, insomnia atau berjalan sambil tidur,
gangguan kecemasan, serta gangguan makan.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila tidak
ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan pendekatan
psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada. Penanganan penyakit ini
sebagai berikut:
Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun
tidak ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan konversi ini. Biasanya
pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk membantu
mengontrol gejala mental pada gangguan konversi ini.
Barbiturat kerja sedang dan singkat, seperti
tiopental, dan
natrium amobarbital diberikan secara intravena dan
Benzodiazepine seperti lorazepam 0,5-1 mg tab (bersama dengan saran bahwa
gejala cenderung dikirim pada satu jam atau lebih) dapat berguna untuk
memulihkan ingatannya yang hilang.
Amobarbital atau lorazepam parental
Pengobatan terpilih untuk fugue disosiatif adalah psikoterapi psikodinamika
suportif-ekspresif.
9
Hipnosis menciptakan keadaan relaksasi yang dalam dan tenang dalam pikiran.
Saat terhipnotis, pasien dapat berkonsentrasi lebih intensif dan spesifik. Karena
pasien lebih terbuka terhadap sugesti saat pasien terhipnotis. Ada beberapa
konsentrasi yang menyatakan bahwa bisa saja ahli hipnotis akan menanamkan
memori yang salah dalam mensugesti.
Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan konversi ini. Bentuk
terapinya berupa terapi bicara, konseling atau terapi psikososial, meliputi
berbicara tentang gangguan yang diderita oleh pasien jiwa. Terapinya akan
membantu anda mengerti penyebab dari kondisi yang dialami. Psikoterapi untuk
gangguan konversi sering mengikutsertakan teknik seperti hipnotis yang
membantu kita mengingat trauma yang menimbulkan gejala disosiatif.
Terapi kesenian kreatif. Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa tipe terapi ini
menggunakan proses kreatif untuk membantu pasien yang sulit mengekspresikan
pikiran dan perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu meningkatkan
kesadaran diri. Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari, drama dan puisi.
Terapi kognitif. Terapi kognitif ini bisa membantu untuk mengidentifikasikan
kelakuan yang negatif dan tidak sehat dan menggantikannya dengan yang positif
dan sehat, dan semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan
apa yang menjadi perilaku pemeriksa.
2.8 Pencegahan
Anak- anak yang secara fisik, emosional dan seksual mengalami
gangguan, sangat beresiko tinggi mengalami gangguan mental yang dalam hal ini
adalah gangguan disosiatif. Jika terjadi hal yang demikian, maka bersegeralah
mengobati secara sugesti, agar penangan tidak berupa obat anti depresan ataupun
obat anti stress, karena diketahui bahwa jika menanamkan sugesti yang baik
terhadap usia belia, maka nantinya akan didapatkan hasil yang maksimal, dengan
penangan yang minimal.
10
BAB III
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12