Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
:::0
-<
CINEMA 0
0
:t>
z
c
(/l
:::0
BICARA TENTANG GEOPOLITIK dan filem, kita pad a dasarnya bicara tentang dua
PENAL COLONY
dilakukan dimaksudkan untuk mengonstruksi sebuah garis linear mengenai
perkembangan sinema nasional berdasarkan sejarah nasional. Kedua, berdasarkan
karakter nasional tersebut, maka fokus perhatian diberikan kepada filem-filem
arus utama (main stream) yang tayang di bioskop umum dan aba i atas produksi,
perlawanan. dan keberagaman yang dilakukan aktor-aktor di luar arus utama ini.
Ketiga, perfileman dunia adalah yang terdiri atas pusat dan pinggiran dan istilah
pefileman "ke tiga " atau "selatan " digunakan untuk menjelaskan "yang-di-pinggir" ini.
Terutama pada analisis geopolitik, penekanan analisis ekonomi-politik sangatlah kuat
sehingga pencapain estetik dari pembuat filem selatan cenderung diabaikan. Juga,
terabaikannya analis is di luar kerangka ekonomi-politik .
Fredric Jameson (1992). yang mengajukan konsep estetika geopolitik (geopolitical
aesthetic) untuk memahami sinema geopolitik dunia. menggunakan konsep "cognitive
mapping" untuk mengurai bagaimana pembuat filem memahami posisi dirinya dalam
sistem dunia. Dalam analisis terhadap filem Perfumed Nightmare (1976) karya Kidlat
Tahimik dari Fi lipina. Jameson beragumen untuk memahami karya ini sebagai
ekspresi Third Cinema yang memiliki karekter utopis dan kritikal terhadap dominasi
totalitas sosio-ekonomi dunia. Dixon dan Zonn (2005) mengkritik, analis is Jameson
abai terhadap aspek gender dan kalaupun kita ingin menggunakan peta koginitif
dalam analisis. maka peta yang dijadikan acuan bukan saja peta dunia yang global itu,
tetapi peta lokal nasional yang juga penting dan bermakna .
Contoh lain ialah studi mengenai filem-filem sutradara Thailand Apichatpong
Weerasethakul . David Teh . misalnya, menyampaikan keresahannya atas terbatasnya
pembahasan atas karya Weerasethakul yang sering dibahas hanya sebagai karya
filem saja, memberi label sebagai "New Asian Cinema" dan yang terburuk adalah
membahas eksotisisme dan mistifikasi karya-karya ini (2011 ). Yang luput dar i banyak
pembaha san, sebagaimana Teh berargumen. justru kontribusi penting Weerasethakul
dalam perkembangan praktik kontemporer pada karya yang menantang batas antara
filem dan seni kontemporer.
Berbagai kritik terhadap sinema geopol itik dan agenda sinema nasional ditujukan
pada usahanya dalam membatasi sinema sebagai assemblage ('himpunan')
potensialitas. Kr itik-kritik tersebut berhubungan dengan pertanyaan tentang image
yang diajukan oleh W. J. T. Mitchell, "What do pictures want?". Proposal dari Mitchell
adalah untuk bisa memikirkan apakah itu gambar (pictures) dan bukan sekadar
refleksi dari suatu yang berada di luarnya . Mitchell mengkritik "linguistic turn",
ya itu penggunaan teori-teori lingustik atau "wacana" (discourse) untuk menjelaskan
image, tetapi sun gguh-sungg uh berpikir tentang "pictorial turn". menjelaskan image
sebagai organisme nidup (living organism) yang memiliki keinginan (desire). Dalam
menanggapi Mitchell, Jacque s Ranciere menyatakan pentingnya memahami image
menjauh dari konsep image sebagai ilusi menyesatkan atau virus informasi. Mengikuti
pendekatan Marxisme, Image dianggap ilusi karena ia merepresentasikan kesadaran
palsu dan menyembunyikan kebenaran . Padaha l, menurut kedua akademisi ini. image
memiliki desire-nya sendiri yang meminta kita untuk menjelaskan kekuatan dan
bagaimana image itu bekerja atau beroperasi.
Saya jadi teringat kejadian bam teror di Jakarta. tepatnya di Jalan Thamrin
awal tahun yang lalu . Pada hari Kamis 14 Januari 2016 pagi hari, terjadi dua bam
meledak di sekitar gedung Sarinah, Thamrin. tepatnya di gerai Starbucks dan pas
polisi di jalan yang sama. Setelah itu. terjadi baku tembak selama 11 men it antara
PENAL COLONY
memposisikan masyarakat menjadi "ignoramus" ('yang bodoh '). Jadag merasa lebih
tinggi daripada orang kampung. Setelah mendiskusikan berbagai metodologi dan
metode yang dilakukan oleh berbagai eksperimen yang dilakukan teater reformasi
untuk menjadi penonton teremansipasi, Ranciere memberikan proposal bahwa
pendidikan kritis dimungkinkan terjadi bila schoolmaster berhenti menciptakan jarak
dan hierarki dengan penonton dan mulai menciptakan kesejajaran. karena komunitas
penonton teremansipasi adalah community of narrators and translators.
Untuk itu. saya kira, ukuran pencap aian dari seorang kurator untuk membangun
peristiwa menonton sebagai peristiwa pendidikan kritis, sangat ditentukan pada
pemahaman bahwa kurator bukanlah schoolmaster yang harus tahu segala hal.
Kurator adalah penonton dan penonton adalah kurator, dan yang dipertukarkan
adalah narasi dan translasi . Bila kurator masih memposisikan dirinya sebagai
schoolmaster, maka mungkin dia akan mati di tiang gantungan seperti Jadag atau
melarikan diri seperti Turah dan akhirnya meninggalkan masyarakat sendirian. ter-
alienasi dalam ketimpangan.
:::0
T A LKING ABOUT CINEMA and geopolitics, we are talking about two contradictory thing s.
Geopolitics as a political meaning (signification) of a particular territory as an attempt
to stabilise power in the region. Through maps and mapping, geopolitics governs and
controls our knowledge of the World . Geopolitics always lays out the fragmentary
and stationary view of the world through the practices of restrictions and differences,
centre and periphery. As for cinema, it is like a ship with sturdy screens winding
between islands and continents crushing the border and meeting the diversity. Unlike
map, cinema is not a limited view with which knowledge and power are organised
(Scott. 1995) Conversely, the success of a film is determined by its flexibility in
expressing ambiguity and non-singular meanings.
So geopolitics and cinema are always in a constant relationship because cinema is
more concerned with routes rather than roots. Cinema is a passion about where it is
going and with whom it will meet . While geopolitics is a matter of the root, it is about
an area, and specific resources belong to the owner and why a particular subject is
entitled to occupy with various models of the legitimacy of identification. The problem
is that if we want to make geopolitics a curatorial framework. we should be aware
of the problem of this concept. Geopolitics is part of the construction of the global
system of the modern world that is structured over nations. Capitalism is the driving
force of this structuring process. Geopolitics, like the study of other globalisation
phenomena, has the danger of being caught up in what Wimmer and Schiller (2002)
call as the problem of methodological nationalism. This problem is the way of thinking
that naturalises the nation (nation-state) as an independent unit of analysis in modern
society.
World Cinema is an idea built on the same logic, a world system consisting of the
smallest unit called as National Cinema. If we look at it with the abovementioned
concept of methodological nationalism, then there are several points to the problem.
First , th e focus of the search is national identity and history. The study was conducted
to construct a linear evolutionary line on the development of national cinema
based on national history. Seco ndly, on the basis of national chara cter, the focus
of attent ion is given to mainstream films that air in pub lic theatre s and ignore the
production, resista nce and diversity of actors outsid e the mainstream. Third, world
Penyuntmg >Editor
Manshur Zik r i. Prashasti W. Put ri . Dh uha Ramadhan i
Penulis > Wnters I Pemakalah > Pane/11sts
Akbar Yumni. Andres Denegri. Anggraen i Widhias ih . A r io Fazr ie n. Aryo Danus iri. Fang-Tze Hsu. Ignatius Haryanto.
Gaston Soehadi. Gutierrez Mangansakan II . Ismail Basbeth , Jih yeo n Song . Mahardika Yudha , Muhammad Reza .
Nguyen Trinh Thi. Riar Rizatdi . Yonr i Re volt
Transknpsi >Transcription
Gema R. Bastari . Prashasti W. Putr i. Ray han Pratama
Penerjemah > Translators
Anggraen i Widhiasih . Ohuha Ramadh an i. Dini Ad anu ran i. Fiky Oaulay, Gema R. Bas t ari . Henry Sompotan . Ping ka n P. Pall a .
Prashasti W. Putri . Ra y han Prat ama , Yuki Aditya
Perancang Buku >Book Designer
An dang Kelana
T1pograf i & Image "Pena l Colony·> "Penal Colony" image & Typography
Abi Ram a
ARK/PEL Tree of Knowledge Drawing
Hafiz Rancajale
ARK/PEL Logotype Drawmg
Ugeng T. Moetidjo
Percetakan > Pnntmg
Gajah Hid up
© Forum Lenteng
Jl. H. Sa1d1 No. 69 RT.007/ RW 05. Tanjung Bar at. Jagakarsa. Jakarta. 12530
www.forumlenteng .org
in fo@fo rum len ten g. org
@forumlenteng
Zikri. M .. Pulri. P. W.. Ramadhani , D. (Eds.). (2018). Forum Festival: Penal Colony !Post-Fest1va/ Book). ARK/PEL Penal Colony - 5th
lnternattonal Documentary and Expenmental Film Festiva l. 1st ed. Jakarta: Forum Len teng
(x,v+246. 85 (176mm x 250m m )J
1017