Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Juwita 25 tahun saat ini sedang hamil trimester kedua dan sedang sakit gigi, pipinya
bengkak dan badannya panas. Ibunya memberi obat ampicilin dan paramex, kira-kira 15
menit setelah minum obat, badan juwita terasa gatal-gatal, kemerahan, dan sesak napas.
Selain itu juwita juga merasa mual dan akhirnya muntah-muntah. Akhirnya juwita periksa
ke dokter, dan dari hasil tanya jawab, ternyata juwita punya riwayat sakit maag dan alergi.
Dan dokterpun menginstruksikan untuk menghentikan obat yang diberikan oleh ibunya
dan memberikan resep obat yang berbeda.
STEP 1
Clarifying Unfamiliar Terms
1. Ampicilin: merupakan antibiotik golongan penicilin yang memiliki spektrum luas.
Aktivitasnya potent untuk bakteri gram negatif.
2. Alergi: suatu reaksi hipersensitivitas dari seseorang apabila terjadi kontak dengan
benda asing, termasuk obat.
3. Antibiotik: suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroba biasanya fungi,
yang digunakan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme, contohnya
bakteri.
4. Paramex: obat yang digunakan untuk menghilangkan sakit kepala seperti migrain bisa
juga digunakabn untuk sakit gigi. Mengandung parasetamol, antipiretik dan analgesik.
STEP 2
Problem definition
1. Apa saja jenis-jenis atau macam dari antibiotik?
2. Bagaimana mekanisme kerja dari antibiotik?
3. Bagaimana farmakokinetik antibiotik terhadap kehamilan?
4. Apa faktor yang menyebabkan resistensi antibiotik?
5. Bagaimana cara memilih obat antibiotik sesuai dengan keadaan pasien?
6. Apa saja yang perlu diperhatikan oleh ibu hamil dalam mengonsumsi obat?
7. Apa penyebab juwita mengalami terasa gatal-gatal, kemerahan, mual dan muntah
serta sesak napas? Kira-kira obat apa yang akan diresepkan oleh dokter tersebut?
STEP 3
Brainstorm
1. Berdasarkan spektrum kerja:
a. Spektrum sempit, membunuh/menghambat dari satu jenis bakteri saja (bakteri
gram positif atau negatif saja). Contohnya Penicilin G
b. Spektrum luas, membunuh seluruh bakteri di dalam tubuh kita, contohnya
tetraciklin. Mulai ditinggalkan karena bersifat berbahaya
Berdasarkan cara memerangi bakteri:
a. Bakteriostatik: berkerja dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri sehingga
kekebalan tubuh kita lebih mudah untuk memerangi infeksi. Dengan
mengganggu sintesis protein pada bakteri. Contoh: Spectinomycin, untuk
mengobati gonorhoeae
b. Bakteriosidal: mengandung senyawa aktif yang dapat langsung membunuh
bakteri. Dengan cara menargetkan dinding sel bakteri, membran sel bakteri dan
struktur susunan kimia bakteri. Contoh: Penicilin, Polimixin (menyerang
membran sel), Quinolon (mengganggu jalur enzim bakteri)
Berdasarkan fungsinya:
a. Terapi: diberikan secara oral untuk pengobatan setelah terkena penyakit
b. Profilaxis: Sebelum terkena infeksi sebagai langkah pencegahan terhadap
infeksi, contohnya: mencegah infeksi pascabedah melalui intarvena
Struktur kimia:
1. Beta laktamase (penicilin dkk) mempunyai struktur cincin betalaktam,
menyebabkan bakteri lisis.
2. Inhibitor beta laktamase, dikombinasikan dengan amoxicilin ketika digunakan
secara oral
3. Basitracin, digunakan untuk topikal. Salep mata dan kulit
4. Penicilin
a. Penicilin natural (penicilin G) sangat potent terhadap bakteri gram positif,
kokus gram negatif, bakteri anaerob.
b. Penicilin antistafilokokal, contohnya: Nafcilin. Aktif pada bakteri anaerob,
kokus gram negatif dan batang gram negatif
c. Penicilin spektrum luas: ampicilin aktif pada gram negatif
Berdasarkan ikatan protein:
1. Oksasilin: Ikatan protein tinggi, disarankan untuk ibu hamil
2. Ampicilin: ikatan protein rendah
3. Aminoglikosid
4. Sulfonamid
5. Isoniazid
6. Chloramfenikol
7. Metronidazol
8. Tetraciclin
a. Dapat menembus plasenta, dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi
dan tulang. Diekskresikan melalui asi
b. Berikatan dengan kalsium sehingga penyerapa dalam usus berkurang ketika
kita minum susu.
c. Berikatan dengan aluminium, tidak dianjurkan digunakan bersamaan
dengan obat maag.
d. Tidak boleh digunakan pada ibu hamil. Berdampak pada ibu hamil dan
janin. Ibu terkena acute fatty acid.
2. Bagaimana mekanisme kerja dari antibiotik?
a. Menghambat sintesis dari dinding sel, menghambat pembentukan peptidoglikan,
melemahkan dinding sel sehingga lisis
b. Menghambat sintesis membran sel. Membuat membran sel menjadi
permeabilitas sehingga zat penting akan hilang
c. Menghambat sintesis protein. Menghambat pembentukan protein dengan cara
menghambat kerja tRNA yang membawa asam amino ke ribosom
d. Memhambat pembentuka RNA dan DNA mengambat proses replikasi dan
transkripsi
3. Bagaimana farmakokinetik antibiotik terhadap kehamilan?
a. Saat kehamilan terjadi peningkatan volume cairan tubuh aliran darah ke
ginjal meningkat golongan penicilin eleminasi langsung ke ginjal, jika
pemberian tidak sesuai berpengaruh ke ginjal
b. Jika pada ibu hamil dapat terjadi difusi sedarhana pada plasenta
4. Apa faktor yang menyebabkan resistensi antibiotik?
a. Kelemahan sistem monitoring dan surveilance
b. Ketidakmampuan sistem untuk mengontrol supply obat
c. Buruknya pengontrolan pencegahan infeksi penyakit
d. Kesalahan diagnosa dan pengobatan yg diberikan
e. Mengonsumsi tidak sampai tuntas, tanpa resep dokter
f. Mengonsumsi berlebihan
Bakteri
a. Obat gagal mencapai target
b. Obat mengalami inaktivasi
c. Targetnya berubah
5. Bagaimana cara memilih obat antibiotik sesuai dengan keadaan pasien?
a. Menegakkan diagnosa diberikan antibiotik spektrum luas jika belum
diketahui bakteri penyebabnya diberikan antibiotik sesuai dengan indikasi
(dapat dikombinasikan)
b. Sifat farmakokinetiknya: berguna untuk mengendalikan kadar masing-masing
antibiotik sehingga efektivitasnya terjamin
6. Apa saja yang perlu diperhatikan oleh ibu hamil dalam mengonsumsi antibiotik?
Menurut FDA:
a. A antibiotik aman untuk janin (mycostatin aman untuk trimester 1-lahir)
b. B cukup aman untuk janin (amoxycilin)
c. C aman tetapi dapat terjadi resiko pada janin (Bactricin, resiko<manfaat)
d. D digunakan hanya saat darurat dan dapat terjadi resiko pada janin
(Karmabazepin)
e. X tidak pernah lagi digunakan karena berbahaya bagi janin dan ibu
(abnomarlitas janin, resiko>manfaat. Warfarin, Ribavirin, Tetracyclin)
Waktu pengonsumsian antibiotik memperhatikan masa
a. kritis/lemah 2-8minggu
b. kuat 21-28 minggu
c. menurun lagi hingga saat partus dan meningkat setelah partus
Perubahan fisiologi selama kehamilan dapat mempengaruhi konsentrasi
antibiotik dalam serum sehingga dapat mempengaruhi efek obat, merubah
absorpsi obat yang diberikan per oral, merubah distribusi obat yang disebabkan
karena peningkatan distribusi volume dan peningkatan cardiac output, merubah
ekskresi obat melalui peningkatan lairan darah ginjal dan filtrasi glomerulus
7. Apa penyebab juwita mengalami terasa gatal-gatal, kemerahan, mual dan muntah
serta sesak napas? Kira-kira obat apa yang akan diresepkan oleh dokter tersebut?
Yang menyebabkan gejala tersebut adalah respons hipersensitivitas tipe I (anafilaksis
shock) oleh karena antibiotik. ROTD (reaksi obat tidak diinginkan) tiap orang
berbeda. Bisa dianalisis dengan algoritma naranjo untuk mengetahui penyebab alergi.
Ampicylin sudah termasuk aman, alternatifnya mungkin dengan menggunakan
bawang putih karena mengandung agen antibiotik alicin. Amoxycilin untuk indikasi
abses gigi (pipi bengkak dan sakit) lebih aman diberikan pada ibu hamil
STEP 4
Mapping
MEKANISME
PENGGOLONGAN
FUNGSI
SPEKTRUM
FARMAKOKINETIK &
FARMAKODINAMIK
AMAN UNTUK
IBU HAMIL INDIKASI & KONTRA INDIKASI
DOSIS
EFEK SAMPING
STEP 5
Formulating learning object
1. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan definisi dan penggolongan obat
antibiotic.
2. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat antibiotic.
3. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan indikasi, kontraindikasi, dosis, dan
efek samping obat antibiotic.
4. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan obat yang sesuai dengan skenario
dan pada ibu hamil pada umumnya (bidang kedokteran gigi dan dikaitkan dengan
sistemik dan anak-anak).
5. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan interaksi obat analgesik dan
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersamaan.
STEP 6
Self Study
1. Definisi dan Penggolongan Obat Antibiotik
a. Pengertian Antibiotik
Antibiotik merupakan komponen alami ataupun sintetik yang dapat
membunuh bakteri, terdapat banyak jenis antibiotic yang bekerja secara berbeda
terhadap bakteri, biasanya antibiotik tidak bekerja langsung terhadap virus.
Antibiotik dihasilkan oleh bakteri, organisme eukaryotik, termasuk tanaman.
Biasanya dihasilkan untuk melindungi diri dan membunuh bakteri lain.
Salah satu yang dapat membunuh atau menghambat mikroba adalah zat
antibiotik. Antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba disebut
bakteriostatik, jenis ini akan berkerja pada pertahanan normal inang untuk
membunuh atau mengeliminasi beberapa mikroba setelah menghambat
pertumbuhannya. Sedangkan zat antibiotic yang dapat membunuh mikroba
disebut bakteriosidal, ketika pertahanan dari inang tidak mampu atau tidak dapat
menghancurkan bakteri patogen maka pemberian bakteriosidal dapat membunuh
mikroba patogen dengan beberapa kondisi tertentu yang berkaitan, seperti
konsentrasi bakteriosidal tersebut.
Jika pertahanan inang kuat, obat yang mengganggu pertumbuhan atau
replikasi mikroorganisme tetapi tidak membunuhnya (yakni, obat bakteriastatih)
dapar. mencukupi. Jika pertahanan inang lemah, dapat memerlukan antibiotik
yang membunuh miroba (yakni, efek babterisidal).
b. Penggolongan Antibiotik
1) Mekanisme Antibiotik
Antibiotik dapat menghambat kerja reaksi. Reaksi tersebut ada yang
penting untuk pertumbuhan sehingga menggangu pertumbuhan mikroba.
Penghambatan pada beberapa reaksi dapat terjadi secara langsung, yaitu
antibiotik langsung memblokir beberapa reaksi tersebut, namun masing-
masing reaksi memerlukan konsentrasi antibiotik yang berbeda.
Ketergantungan pada konsentrasi ini menggambarkan perbedaan kepekaan
reaksi tersebut terhadap antibiotic.
Menurut Nesterdkk (2009) mekanisme aksi antibiotic ada 4 poin, yaitu :
1. Menghambat sintesis dinding sel
Dinding sel bakteri sangat unik, karena mengandung peptidoglikan.
Ada antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat
sintesis enzim atau inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan hilangnya
viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis.
Antibiotik ini meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin, vankomisin,
ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis dinding sel
terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan. Dinding sel
bakteri menentukan bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi
bagian dalam sel terhadap perubahan tekanan osmotik dan kondisi
lingkungan lainnya. Di dalam sel terdapat sitoplasma dilapisi dengan
membran sitoplasma yang merupakan tempat berlangsungnya proses
biokimia sel. Dinding sel bakteri terdiri dari beberapa lapisan. Pada
bakteri Gram positif struktur dinding selnya relative sederhana dan
Gram negatif relative lebih komplek. Dinding sel bakteri Gram positif
tersusun atas lapisan peptidoglikan yang relative tebal, dikelilingi
lapisan teichoic acid dan pada beberapa species mempunyai lapisan
polisakarida. Dinding sel bakteri Gram negative mempunyai lapisan
peptidoglikan relative tipis, dikelilingi lapisan lipoprotein,
lipopolisakarida, fosfolipid dan beberapa protein.
Peptidoglikan merupakan komponen yang menentukan kelenturan
dinding sel pada Gram positif dan berperanan pada integritas Gram
negatif. Gangguan pada sintesis komponen ini dapat menyebabkan sel
lisis dan dapat menyebabkan kematian sel. Antibiotik yang
menyebabkan gangguan sintesis lapisan ini aktivitasnya akan lebih
nyata pada bakteri gram positif. Aktivitas menghambatan atau
membunuh hanya dilakukan selama pertumbuhan sel dan aktivitasnya
dapat ditiadakan dengan menaikkan tekanan osmotik media untuk
mencegah pecahnya sel. Bakteri tertentu seperti mikobakteria dan
halobakteria mempunyai peptidoglikan relative sedikit, sehingga
kurang terpengaruh oleh antibiotik grup ini.
Selama mensintesis peptidoglikan, sel memerlukan enzim hidrolase
dan sintetase. Untuk menjaga sintesis supaya normal, kerja kedua
enzim ini harus seimbang satu sama lain. Bio sintesis peptidoglikan
berlangsung dalam beberapa stadium dan antibiotik pengganggu
sintesis peptidoglikan aktif pada stadium yang berlainan. Sikloserin
terutama menghambat enzim racemase dan sintetase yang berperan
dalam pembentukan dipeptida. Vankomisin bekerja pada stadium kedua
diikuti oleh basitrasin, ristosetin dan diakhiri oleh penisilin dan
sefalosporin yaitu menghambat transpeptidase
2. Menghambat sintesis protein
Penghambatan sintesis protein dapat berlangsung di dalam ribosom.
Menurut Nester dkk (2009), berdasarkan koefisien sedimentasinya,
ribosom dikelompokkan dalam 3 grup.
a) Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri dari
subunit 60s dan 40s.
b) Ribosom 70s, didapatkan pada sel prokariot dan eukariot. Partikel
ini terdiri dari subunit 50s dan 30s.
c) Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamalia dan
menyerupai ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya
terhadap antibiotik.
Untuk memelihara kelangsungan hidupnya, sel mikroba perlu
mensintesis protein yang berlangsung di dalam ribosom bekerja sama
dengan mRNA dan tRNA, gangguan sintesis protein akan berakibat
sangat fatal, antibiotik dengan mekanisme kerja seperti ini mempunyai
daya antibakteri sangat kuat. Antibiotik kelompok ini meliputi
aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, kloramphenikol,
novobiosin, puromisin (Nester dkk, 2009).
Penghambatan biosintesis protein pada sel prokariot ini bersifat
sitostatik, karena mereka dapat menghentikan pertumbuhan dan
pembelahan sel. Bila sel dipindahkan ke media bebas antibiotik,
mereka dapat tumbuh kembali setelah antibiotik berkurang dari sel
kecuali streptomisin yang mempunyai aktivitas bakterisid. Pengaruh
zat ini terhadap sel eukariot diperkirakan sitotoksik. Beberapa
penghambat ribosom 80s seperti puromisin dan sikloheksimid sangat
toksik terhadap sel mamalia, oleh karena itu tidak digunakan untuk
terapi, sedang tetrasiklin mempunyai toksisitas relative kecil bila
digunakan oleh orang dewasa. Tetrasiklin menghambat biosintesis
protein yang terdapat pada ribosom 80s dan 70s. Erytromisin berikatan
dengan ribosom 50s. Streptomisin berikatan dengan ribosom 30s dan
menyebabkan kode mRNA salah dibaca oleh tRNA, sehingga terbentuk
protein abnormal dan non fungsionil.
3. Menghambat sintesis asam nukleat
Asam nukleat merupakan bagian yang sangat vital bagi
perkembangbiakan sel. Untuk pertumbuhannya, kebanyakan sel
tergantung pada sintesis DNA, sedang RNA diperlukan untuk
transkripsi dan menentukan informasi sintesis protein dan enzim. Ada
beberapa jenis RNA yaitu t-RNA, r-RNA, m-RNA, masing-masing
mempunyai peranan pada sintesis protein. Begitu pentingnya asam
nukleat bagi sel, maka gangguan sintesis DNA atau RNA dapat
memblokir pertumbuhan sel, namun antibiotik yang mempunyai
mekanisme kegiatan seperti ini pada umumnya kurang selektif dalam
membedakan sel bakteri dan sel mamalia.
Antibiotic yang mempengaruhi sintesis asam nukleat dan protein
mempunyai mekanisme kegiatan pada tempat yang berbeda, antara lain
:
a) Mempengaruhi replikasi DNA, seperti bleomisin, phleomisin,
mitomisin, edeine dan porfiromisin.
b) Mempengaruhi transkripsi, seperti aktinomisin, kromomisin,
ekonomisin, rifamisin, korisepin dan streptolidigin.
c) Mempengaruhi pembentukan aminoacyl-tRNA, seperti
borrelidin.
d) Mempengaruhi translasi, antara lain kloramphenikol,
streptomisin, neomisin, kanamisin, karbomisin, crytromisin,
linkomisin, dan tetrasiklin.
Antibiotik yang mempengaruhi sintesis protein dan asam nukleat,
mayoritas aktif pada bagian translasi dan di antara mereka banyak yang
berguna dalam terapi. Karena mekanisme translasi antara sel bakteri
dan sel eukariot berbeda, maka mungkin mereka memperlihatkan
toksisitas selektif.
4. Menghambat jalur metabolime utama
Beberapa antibiotik mempunyai cara membunuh dan menghambat
dengan mengganggu metabolism utama mikroba, cara ini merupakan
yang paling efektif dalam membunuh mikroorganisme, misalnya
sulfonamides dan trimethoprim, keduannya menghambat tahapan yang
berbeda pada jalur metabolisme yang menginisiasi sintesis dari asam
folat dan akhirnya menghambat sintesis koenzim untuk biosintesis
nukleotida. Sel hewan akan kekurangan enzim saat sintesis asam folat
yang merupakan bagian dari jalur metabolism (Nester dkk, 2009).
2) Berdasarkan Gugus Kimia
Penggolongan antibiotika berdasarkan gugus kimianya sebagai berikut
(Katzung, 2007)
a. Senyawa Beta-laktam dan Penghambat Sintesis Dinding Sel Lainnya
Mekanisme aksi penisilin dan antibiotika yang mempunyai struktur
mirip dengan β-laktam adalah menghambat pertumbuhan bakteri
melalui pengaruhnya terhadap sintesis dinding sel. Dinding sel ini tidak
ditemukan pada sel-sel tubuh manusia dan hewan, antara lain:
golongan penisilin, sefalosporin dan sefamisin serta betalaktam
lainnya.
b. Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolida, Clindamisin dan Streptogramin
Golongan agen ini berperan dalam penghambatan sintesis protein
bakteri dengan cara mengikat dan mengganggu ribosom, antara lain:
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida, klindamisin, streptogramin,
oksazolidinon.
Tetrasiklin
Makrolida
c. Aminoglikosida
Golongan Aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin,
kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin, dan
lain-lain.
d. Sulfonamida, Trimethoprim, dan Quinolones
Sulfonamida, aktivitas antibiotika secara kompetitif menghambat
sintesis dihidropteroat. Antibiotika golongan Sulfonamida, antara lain
Sulfasitin, sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine,
sulfamethoksazole, sulfapiridin, sulfadoxine dan golongan pirimidin
adalah trimethoprim. Trimethoprim dan kombinasi trimetoprim-
sulfametoksazol menghambat bakteri melalui jalur asam dihidrofolat
reduktase dan menghambat aktivitas reduktase asam dihidrofolik
protozoa, sehingga menghasilkan efek sinergis. Fluoroquinolon adalah
quinolones yang mempunyai mekanisme menghambat sintesis DNA
bakteri pada topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV.
Golongan obat ini adalah asam nalidiksat, asam oksolinat, sinoksasin,
siprofloksasin, levofloksasin, slinafloksasin, enoksasin, gatifloksasin,
lomefloksasin, moxifloksasin, norfloksasin, ofloksasin, sparfloksasin
dan trovafloksasin dan lain-lain.
3)
Spektrum Antibiotik
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan aktivitas, cara kerja maupun
struktur kimianya. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu (Ganiswara, 1995; Lüllmann, Mohr, Hein & Bieger,
2005):
a. Antibiotika kerja luas (broad spectrum), yaitu agen yang dapat
menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun
bakteri gram negatif. Golongan ini diharapkan dapat menghambat
pertumbuhan dan mematikan sebagian besar bakteri. Yang termasuk
golongan ini adalah tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin,
sefalosporin, carbapenem dan lain-lain. Antibiotik jenis ini sangat
penting dalam kehidupan karena secara halus dapat membunuh segala
jenis mikroba jika diperlukan dalam keadaan yang mendesak tanpa
perlu mengetahui penyebab mikroba tersebut hadir. Kekurangan dari
antibiotic berspektrum luas ini adalah berimbas pada semua bakteri
yang ada, dapat juga membunuh flora normal yang seharusnya ada,
ataupun membunuh bakteri yang ternyata sangat diperlukan.
b. Antibiotika kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan ini hanya
aktif terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk golongan ini adalah
penisilina, streptomisin, neomisin, basitrasin. Antibiotik dengan daya
bunuh sempit atau biasa disebut narrow spectrum antimicrobials,
memerlukan identifkasi terlebih dahulu untuk mengetahui daya
bunuhnya dan kepekaannya terhadap bakteri pathogen. Banyak jenis
antibiotik yang diproduksi secara komersial mempunyai komponen aktif
untuk membunuh bakteri. Penting diketahui untuk dapat
membedakannya, apakah antibiotik tersebut hanya aktif pada Gram
positif saja atau juga Gram negative.
2) Kloksasilin
a. Indikasi:
infeksi karena stafilokokus yang memproduksi penisilinase.
b. Kontraindikasi:
hipersensitivitas (alergi) terhadap penisilin.
c. Efek Samping:
reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem,
anafilaksis, serum sickness-like reaction; jarang, toksisitas sistem
saraf pusat termasuk konvulsi (terutama pada dosis tinggi atau pada
gangguan ginjal berat), nefritis interstisial, anemia hemolitik,
leukopenia, trombositopenia dan gangguan pembekuan darah; juga
dilaporkan diare (termasuk kolitis karena antibiotik).
d. Dosis:
oral: 500 mg tiap 6 jam, diberikan 30 menit sebelum makan. Anak
kurang dari 2 tahun: 1/4 dosis dewasa. Anak 2-10 tahun 1/2 dosis
dewasa.
2) Amoksisilin
a. Indikasi:
infeksi tenggorokan, otitis media, endokarditis, penyakit
meningokokus, pnemonia, selulitis, antraks, profilaksis amputasi
pada lengan atau kaki; terapi tambahan pada listerial meningitis
b. Kontraindikasi:
hipersensitivitas (alergi) terhadap penisilin.
c. Efek Samping:
reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem,
anafilaksis, serum sickness-like reaction; jarang, toksisitas sistem
saraf pusat termasuk konvulsi (terutama pada dosis tinggi atau pada
gangguan ginjal berat), nefritis interstisial, anemia hemolitik,
leukopenia, trombositopenia dan gangguan pembekuan darah; juga
dilaporkan diare (termasuk kolitis karena antibiotik).
d. Dosis:
oral: 250 mg tiap 8 jam, dosis digandakan pada infeksi berat; Anak
hingga 10 tahun: 125 - 250 mg tiap 8 jam, dosis digandakan pada
infeksi berat. Dosis dewasa sesuai diagnose infeksi.
2) Sefaklor
a. Indikasi:
infeksi bakteri gram positif dan gram negatif, lihat keterangan di
atas.
b. Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap sefalosporin. sensitivitas terhadap
antibakteri beta-laktam (hindari jika ada riwayat hipersensitivitas),
gangguan ginjal, kehamilan dan menyusui (tetapi boleh digunakan.
c. Efek Samping:
diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduany a karena
penggunaan dosis tinggi), mual dan muntah, rasa tidak enak pada
saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus,
urtikaria, serum sickness-like reactions dengan ruam, demam dan
artralgia, anafilaksis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis
epidermal toksis, gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan
kolestatik jaundice; eosinofil, gangguan darah (trombositopenia,
leukopenia, agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik);
nefritis interstisial reversibel, gangguan tidur, hiperaktivitas,
bingung, hipertonia dan pusing, nervous.
d. Dosis:
250 mg tiap 8 jam, untuk infeksi berat dosis dapat dinaikkan dua
kali lipat, maksimum 4 g per hari; Anak di atas 1 bulan: 20 mg/kg
bb/hari dalam tiga dosis terbagi, untuk infeksi berat dosis dapat
dinaikkan dua kali lipat,. Anak berusia 1-5 tahun: 125 mg. Di atas 5
tahun: 250 mg. Untuk infeksi berat dosis dapat dinaikkan dua kali
lipat.
h. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang kegunaannya sudah
menurun karena meningkatnya resistensi bakteri. Namun obat ini tetap
merupakan pilihan untuk infeksi yang disebabkan oleh klamidia (trakoma,
psitakosis, salpingitis, uretritis dan limfogranuloma venereum), riketsia
(termasuk Q-fever), brusela (doksisiklin dengan streptomisin atau rifampisin)
dan spiroketa, Borellia burgdorferi (Lyme disease). Tetrasiklin juga digunakan
pada infeksi saluran pernafasan dan mikoplasma genital,
akne, destructive (refractory) periodontal disease, eksaserbasi bronkitis kronis
(karena aktivitasnya terhadap Hemophilus influenzae), dan untuk leptospirosis
pada pasien yang hipersensitif terhadap penisilin (sebagai alternatif dari
eritromisin).
a. Indikasi:
eksaserbasi bronkitis kronis, bruselosis klamidia, mikoplasma dan
riketsia, efusi pleura karena keganasan atau sirosis, akne vulgaris.
b. Peringatan:
gangguan fungsi hati (hindari pemberian secara intravena), gangguan
fungsi ginjal, kadang-kadang menimbulkan fotosensitivitas.
c. Efek Samping:
mual, muntah, diare, eritema (hentikan pengobatan), sakit kepala dan
gangguan penglihatan dapat merupakan petunjuk peningkatan tekanan
intrakranial, hepatotoksisitas, pankreatitis dan kolitis.
d. Dosis:
oral: 250 mg tiap 6 jam. Pada infeksi berat dapat ditingkatkan sampai
500 mg tiap 6-8 jam.Sifilis primer, sekunder dan laten: 500 mg tiap 6-8
jam selama 15 hari.Uretritis non gonokokus: 500 mg tiap 6 jam selama
7-14 hari (21 hari bila pengobatan pertama gagal atau bila kambuh).
e. Catatan:
tablet atau kapsul harus ditelan bersama air yang cukup, dalam posisi
duduk atau berdiri. Injeksi intravena: 500 mg tiap 12 jam; maksimum 2
g per hari. Untuk efusi pleura: infus intrapleural 500 mg dalam 30-50 mL
NaCl fisiologis.
i. Aminoglikosida
Golongan ini meliputi amikasin, gentamisin, neomisin, netilmisin, streptomisin
dan tobramisin. Semua aminoglikosida bersifat bakterisidal dan terutama aktif
terhadap kuman bakteri gram negatif. Amikasin, gentamisin dan tobramisin
juga aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Streptomisin aktif
terhadap Mycobacterium tuberculosis dan penggunaan-nya sekarang sebagai
cadangan untuk tuberkulosis.
1) Gentamisin
a. Indikasi:
septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi SSP
lainnya, infeksi bilier, pielonefritis dan prostatitis akut, endokarditis
karena Streptococcus viridans atau Streptococcus faecalis (bersama
penisilin), pneumonia nosokomial, terapi tambahan pada meningitis
karena listeria.
b. Peringatan:
gangguan fungsi ginjal, bayi dan lansia (sesuaikan dosis, awasi
fungsi ginjal, pendengaran dan vestibuler dan periksa kadar plasma);
hindari penggunaan jangka panjang.
c. Kontraindikasi:
kehamilan, miastenia gravis.
d. Efek Samping:
gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas,
hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang, kolitis karena
antibiotik.
e. Dosis:
injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus, 2-5 mg/kg bb/hari
(dalam dosis terbagi tiap 8 jam). ANAK di bawah 2 minggu, 3
mg/kg bb tiap 12 jam; 2 minggu sampai 2 tahun, 2 mg/kg bb tiap 8
jam. Injeksi intratekal: 1 mg/hari, dapat dinaikkan sampai 5 mg/hari
disertai pemberian intramuskuler 2-4 mg/kg bb/hari dalam dosis
terbagi tiap 8 jam. Dewasa 120 mg/hari. Untuk ANAK di bawah 5
tahun 2 mg/kg bb.
f. Keterangan:
Kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 10 mg/liter dan kadar
lembah (trough) tidak boleh lebih dari 2 mg/liter.
2) Kanamisin
a. Indikasi:
septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi SSP
lainnya, infeksi bilier, pielonefritis dan prostatitis akut, endokarditis
karena Streptococcus viridans atau Streptococcus faecalis (bersama
penisilin), pneumonia nosokomial, terapi tambahan pada meningitis
karena listeria.
b. Peringatan:
gangguan fungsi ginjal, bayi dan lansia (sesuaikan dosis, awasi
fungsi ginjal, pendengaran dan vestibuler dan periksa kadar plasma);
hindari penggunaan jangka panjang.
c. Kontraindikasi:
kehamilan, miastenia gravis.
d. Efek Samping:
gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas,
hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang, kolitis karena
antibiotik.
e. Dosis:
injeksi intramuskuler, 250 mg tiap 6 jam atau 500 mg tiap 12 jam.
Injeksi intravena: 15-30 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi tiap 8-12
jam.
f. Keterangan:
kadar puncak tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan kadar lembah
tidak boleh lebih dari 10 mg/liter.
j. Makrolida
1) Eritromisin
a. Indikasi:
sebagai alternatif untuk pasien yang alergi penisilin untuk
pengobatan enteritis kampilobakter, pneumonia,
penyakit Legionaire, sifilis, uretritis non gonokokus, prostatitis
kronik, akne vulgaris, dan profilaksis difetri dan pertusis.
b. Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati dan porfiria ginjal, perpanjangan interval QT
(pernah dilaporkan takikardi ventrikuler); porfiria; kehamilan (tidak
diketahui efek buruknya) dan menyusui (sejumlah kecil masuk ke
ASI).
c. Efek Samping:
mual, muntah, nyeri perut, diare; urtikaria, ruam dan reaksi alergi
lainnya; gangguan pendengaran yang reversibel pernah dilaporkan
setelah pemberian dosis besar; ikterus kolestatik dan gangguan
jantung (aritmia dan nyeri dada).
d. Dosis:
oral: dewasa dan anak di atas 8 tahun, 250-500 mg tiap 6 jam atau
0,5-1 g tiap 12 jam pada infeksi berat dapat dinaikkan sampai 4
g/hari. Anak sampai 2 tahun, 125 mg tiap 6 jam; 2-8 tahun 250 mg
tiap 6 jam.
2) Levofloksasin
a. Indikasi:
infeksi sinusitis maksilaris akut, eksaserbasi bakterial akut pada
bronkitis kronik, pneumonia komunitas (community-acquired
pneumonia), uncomplicated skin dan skin structure infections, infeksi
saluran kemih kompleks (complicated urinary tract infection), dan
pielonefritis akut karena mikroorganisme yang sensitif.
b. Peringatan:
kejang, psikosis toksik, peningkatan tekanan intrakranial, stimulasi
sistem saraf pusat, hipersensitifitas, reaksi anafilaksis, kolitis
pseudomembran, kolitis terkait dengan antibiotik, ruptur tendon,
hidrasi yang adekuat harus dipertahankan, insufisiensi ginjal, reaksi
fototoksisitas sedang hingga berat, diketahui atau dicurigai gangguan
sistem saraf pusat, gangguan glukosa darah, diabetes.
c. Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap levofloksasin dan antimikroba golongan
kuinolon, epilepsi, riwayat gangguan tendon terkait pemberian
florokuinolon, anak atau remaja, kehamilan, menyusui.
d. Efek Samping:
diare, mual, vaginitis, flatulens, pruritis, ruam, nyeri
abdomen, genital moniliasis, pusing, dispepsia, insomnia, gangguan
pengecapan, muntah, anoreksia, ansietas, konstipasi, edema, lelah,
sakit kepala, palpitasi, parestesia, sindrom Stevens-Johnson,
vasodilatasi tendon rupture.
e. Dosis:
oral dan parenteral, 250 mg –750 mg sekali sehari selama 7-14 hari,
tergantung pada jenis dan keparahan penyakit serta sensisitifitas
patogen yang dianggap penyebab penyakit.
3) Moksifloksasin
a. Indikasi:
eksaserbasi akut bronkitis kronik; pneumonia dari lingkungan
(community-acquired pneumonia); sinusitis bakterial akut yang
didiagnosis dengan baik, infeksi kulit complicated atau infeksi
struktur kulit yang memerlukan terapi inisial parenteral dan
dilanjutkan dengan oral.
b. Peringatan:
aritmia dengan kondisi pre-disposisi aritmia, termasuk iskemia otot
jantung; hati-hati pada pengendara kendaraan bermotor, karena dapat
menurunkan kewaspadaan.
c. Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati berat; memiliki riwayat perpanjangan interval
QT, bradikardia, memiliki riwayat aritmia simtomatik, gagal jantung
dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikular kiri, gangguan elektrolit,
pemberian bersama dengan obat yang diketahui dapat
memperpanjang interval QT.
d. Efek Samping:
mulut kering, stomatitis, glossitis, flatulens, konstipasi, aritmia,
palpitasi, udem perifer, angina, perubahan tekanan darah, dyspnoea,
ansietas, dan berkeringat; jarang: hipotensi, hi- perlipidemia, agitasi,
mimpi yang tidak normal, inkordinasi, hiperglikemia dan kulit
kering.
e. Dosis:
400 mg sekali sehari selama 10 hari untuk pneumonia yang didapat
dari lingkungan, 5-10 hari untuk eksaserbasi (akut) dari bronkitis
kronik, 7 hari untuk sinusitis.
k. Sulfonamid dan Trimetoprim
Penggunaan sulfonamid semakin berkurang dengan semakin banyaknya
kuman yang resisten, dan digeser oleh antibiotik yang umumnya lebih efektif
dan kurang toksik.
Sulfametoksazol dan trimetoprim digunakan dalam bentuk kombinasi (ko-
trimoksazol) karena sifat sinergistiknya. Namun, kotrimoksasol dapat
menyebabkan efek samping yang serius, walaupun jarang terjadi
(sindrom Stevens Johnson dan diskrasia darah, seperti penekanan sumsum
tulang dan agranulositosis) terutama pada lansia. Kotrimoksazol sebaiknya
dihindari diberikan pada bayi usia kurang dari 6 minggu (kecuali untuk
pengobatan dan profilaksis pneumosistis pneumonia) karena ada risiko
kernikterus. Ada risiko anemia hemolitik jika digunakan pada anak dewasa
defisiensi G6PD. Kotrimoksazol sebaiknya dibatasi penggunaannya sebagai
pilihan utama untuk pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis carinii
(Pneumocystis jiroveci). Obat ini juga diindikasikan untuk toksoplasmosis dan
nokardiasis. Saat ini penggunaannya hanya dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi eksaserbasi akut dari bronkitis kronis dan infeksi saluran kemih jika
ada bukti hasil uji sensitivitas bakteri terhadap kotrimoksazol dan alasan kuat
untuk menggunakan kombinasi ini daripada antibakteri lain secara tunggal.
Penggunaan obat ini untuk mengatasi otitis media akut pada anak hanya
dianjurkan jika ada alasan kuat.
1) Sulfasalazin
a. Indikasi:
untuk pengobatan kolitis ulseratif yang ringan sampai sedang dan
sebagai terapi penunjang pada kolitis ulseratif berat.
b. Kontraindikasi:
hipersensitif terhadap sulfonamid dan salisilat; anak usia di bawah 2
tahun; obstruksi saluran kemih dan saluran cerna; penderita porfiria
(dapat menyebabkan pengendapan dari golongan sulfonamid);
menyusui.
c. Efek Samping:
pusing, mual, muntah, demam, timbul hipersensitif, agranulositosis,
diskrasia darah.
d. Dosis:
Dewasa, oral, 1-2 gram 4 kali sehari; Anak, oral, dosis awal: 40-60
mg /kg bb per hari dalam dosis terbagi.
2) Trimetoprim
a. Indikasi:
infeksi saluran kemih, bronkitis akut dan kronis.
b. Kontraindikasi:
gangguan fungsi ginjal berat, wanita hamil, neonatus dan diskrasia
darah.
c. Efek Samping:
gangguan saluran cerna, mual dan muntah, ruam, pruritus, eritema
multiforme (jarang-jarang), nekrolisis epidermal toksik, gangguan
hematopoesis, meningitis aseptik.
d. Dosis:
Dewasa infeksi akut, 200 mg tiap 12 jam. Anak dua kali sehari: 2-5
bulan, 25 mg; 6 bulan-5 tahun, 50 mg; 6-12 tahun, 100 mg.
4. Obat yang Sesuai dengan Skenario dan pada Ibu Hamil pada Umumnya (Bidang
Kedokteran Gigi dan Dikaitkan dengan Sistemik dan Anak-anak)
A. Antibiotik Bagi Ibu Hamil
Antibiotika banyak digunakan secara luas pada kehamilan. Karena adanya
efek samping yang potensial bagi ibu maupun janinnya, penggunaan antibiotika
seharusnya digunakan ketika terdapat indikasi yang jelas. Prinsip utama
pengobatan wanita hamil dengan penyakit adalah dengan memikirkan pengobatan
apakah yang tepat jika wanita tersebut tidak dalam keadaan hamil. Biasanya
terdapat berbagai macam pilihan, dan untuk alasan inilah prinsip yang kedua
adalah mengevaluasi keamanan obat bagi ibu dan janinnya.
Kesalahan dalam pemilihan antibiotic pada ibu hamil menyebabkan infeksi.
Infeksi merupakan penyebab utama kematian prematur pada bayi. Meskipun
terapi profilaksis antibiotik belum terbukti bermanfaat, pemberian obat-obat
antibiotik kepada ibu hamil dengan ketuban pecah dini dapat memperlambat
kelahiran dan menurunkan insidens infeksi (Lamont dkk, 2001).
Umumnya yang digunakan adalah penisilin dan sefalosporin, mereka
dianggap sebagai pilihan pertama pada kehamilan, karena pemberian sebagian
besar antibiotik lainnya berkaitan dengan peningkatan risiko malformasi pada
janin. Bagi beberapa obat antibiotik, seperti eritromisin, risiko tersebut rendah
dan kadang-kadang setiap risiko pada janin harus dipertimbangkan terhadap
keseriusan infeksi pada ibu (Lamont dkk, 2001).
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal ini
terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat
mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui plasenta. Antibiotika yang
demikian itu disebut teratogen. Definisi teratogen adalah suatu obat atau zat yang
menyebabkan pertumbuhan janin yang abnormal. Besarnya reaksi toksik atau
kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika dipengaruhi oleh besarnya dosis yang
diberikan, lama dan saat pemberian serta sifat genetik ibu dan janin (Repke,
2002).
Perubahan fisiologis pada ibu yang terjadi selama kehamilan bisa
mempengaruhi konsentrasi antibiotika dalam serum, sehingga bisa mempengaruhi
efek obat. Perubahan-perubahan itu adalah:
1. Kehamilan bisa merubah absorpsi obat yang diberikan peroral
2. Kehamilan bisa merubah distribusi obat yang disebabkan karena peningkatan
distribusi volume (intravaskuler, interstisial dan di dalam tubuh janin) serta
peningkatan cardiac output
Antibiotika ini tidak stabil dalam suasana asam, kurang stabil pada suhu
kamar, tetapi cukup stabil pada suhu rendah. Eritromisin merupakan alternatif
pilihan setelah penisilin dalam pengobatan terhadap gonore dan sifilis dalam
kehamilan. Mungkin merupakan satu-satunya pilihan yang realistik jika ibu
memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap penisilin. Diantara berbagai bentuk
eritromisin yang diberikan peroral, bentuk estolat diabsorpsi paling baik, tetapi
sediaan ini sekarang tidak lagi beredar di Indonesia karena hepatotoksik (Jawet
dkk, 1998;Cunningham, 2001).
3. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin adalah antiseptik saluran kemih derivat furan. Obat ini biasa
digunakan untuk infeksi saluran kemih baik pada wanita hamil ataupun tidak
hamil. Nitrofurantoin bisa menyebabkan hemolisis, anemia dan
hiperbilirubinemia pada bayi yang menderita defisiensi enzim G6PD yang
dilahirkan dari ibu yang mendapat terapi obat ini. Selain potensi tersebut tidak
ada efek teratogenik lain yang dilaporkan (Yankowitz, 2001).
2. Kardiovaskuler
Pada pasien kardiovaskuler perawatan gigi membutuhkan profilaksis
antibiotic, diberikan amoksisilin secara peroral sebanyak 3 gram 1 jam
sebelum tindakan. Jika alergi terhadap penisilin, dapat diberikan klindamisin
peroral 600 mg 1 jam sebelum tindakan. Sedangkan jika menggunakan
anestesi umum, diberikan amoksisilin iv+ amoksisilin peroral sebanyak 1
gram pada saat induksi dan 0,5 gram 6 jam kemudian. Jika alergi terhadap
penisilin dapat diberikan vankomisin iv (1 gram, 1jam sebelum tindakan) +
gentamisin iv (120 mg) (Vitria, 2011).
3. Penderita Jantung
Pada sebagian besar pasien penderita penyakit jantung yang akan
menerima perawatan gigi tidak memerlukan antibiotik profilaksis untuk
mencegah (IE) Infeksi Endokarditis. Menurut panduan dari American Heart
Association (AHA) dengan masukan dari American Dental Association
(ADA), antibiotik kini hanya direkomendasikan untuk pasien dengan resiko
IE tertinggi, meliputi orang-orang dengan katup jantung artifisial atau kondisi
jantung kongenital tertentu, resipien transplantasi jantung yang mengalami
masalah pada katup jantung, resipien bahan artifisial untuk memperbaiki
defek jantung kongenital selama 6 bulan terakhir, dan pasien dengan riwayat
IE.Selama bertahun-tahun, AHA merekomendasikan bahwa pasien dengan
kondisi jantung tertentu perlu mengkonsumsi antibiotik profilaksis sesaat
sebelum perawatan gigi. Hal ini dilakukan karena antibiotik profilaksis
diyakini dapat mencegah IE, yang sebelumnya disebut sebagai bacterial
endocarditis.
Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi
insidensi infeksi luka pasca bedah. Profilaksis merupakan prosedur yang
berhubungan dengan angka infeksi yang tinggi. Antibiotik profilaksis
dibutuhkan dalam keadaan – keadaan berikut (Kemenkes RI, 2011):
1. Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu
2. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup
jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko
bakteremia, misalnya ekstrasi gigi, pembedahan dan lain – lain. Untuk
antibiotic sefalosporin pada pasien dengan BB >70 kg, dosis sebaiknya
dua kali lipat (contoh, 70 kg: cefazolin 1 g IV, >70kg: cefazolin 2 g
IV). Dan antibiotic vancomycin dapat diberikan untuk pasien dengan
alergi penisilin atau sefalosporin.
D. Antibiotik yang Sesuai dengan Skenario 2
Di scenario dikatakan bahwa Juwita sedang hamil trimester kedua dan
sedang sakit gigi. Pipinya bengkak dan badannya panas. Kemudian dia juga
memiliki riwayat sakit maag dan alergi. Lalu meminum obat ampicillin dan
paramex, 15 menit kemudian terasa gatal-gatal, kemerahan, sesak nafas, mual dan
akhirnya muntah.
Obat antibiotik yang sesuai dengan kondisi ibu juwita adalah erythromycin
dan pemberian resep obat pendamping untuk menghilangkan maagnya yaitu
omeprazole atau raniditine. Alasannya karena eritromisin merupakan alternatif
pilihan setelah penisilin dalam pengobatan terhadap gonore dan sifilis dalam
kehamilan. Mungkin merupakan satu-satunya pilihan yang realistik jika ibu
memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap penisilin (Jawet dkk,
1998;Cunningham, 2001). Namun, penyerapan antibiotik ini menjadi kurang atau
terhambat oleh makanan yang ada di lambung. Sebaiknya diminum satu jam
sebelum makan atau dua jam sesudah makan (Pedler, 2000). Oleh karena itu,
akibat juwita memiliki riwayat maag, dokter harus memberikan obat pendamping
maagnya. Obat gangguan lambung yang paling sering digunakan adalah
omeprazole golongan Proton Pump Inhibitor. Obat dengan golongan Proton Pump
Inhibitor merupakan first line terapi untuk pasien dengan diagnosis gangguan
gastrointestinal. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan mengontrol sekresi
asam lambung dengan menghambat pompa proton yang mentransfer ion
H+keluar dari sel pariental lambung sehingga asam lambung tidak meningkat.
Dosis harian untuk omeprazol adalah 20-40 mg per hari. Kelemahan dari obat ini
adalah tidak dapat digunakan pada trimester pertama (DiPiro, 2008).
Kedua ada pilihan obat maag lain yaitu ranitidine berperan dalam
mengurangi faktor agresif dengan cara menghambat histamin pada reseptor H2
sel parietal sehingga sel parietal tidak terangsang mengeluarkan asam lambung,
dan dapat digunakan untuk trimester 1, 2 dan 3 (William dan Willkins, 2010).
Mengapa tidak diberikan amoksisilin? Hal ini dikarenakan amoksisilin dan
ampicillin merupakan derivate dari penicillin. Penicillin juga harus diwaspadai
bagi penderita yang memiliki riwayat alergi (Jawet, 1998), seperti ibu juwita yang
memiliki riwayat alergi gatal-gatal, kemerahan, dan sesak nafas.
Mengapa tidak menggunakan antasida? Hal ini disebabkan antasida
berperan dalam menetralkan asam lambung sehingga dapat mengurangi keluhan
nyeri yang dialami pasien (William dan Wilkins 2010). Namun, dia juga
menimbulkan efek negative seperti diare atau konstipasi, tergantung dari kondisi
pasien seperti stress (Wardaniyati dkk, 2016). Konstipasi biasanya terjadi pada
individu yang mengalami depresi sedangkan diare biasanya terjadi pada individu
yang berada pada kondisi panik. Hasil penelitian menunjukan bahwa stres
memiliki pengaruh yang negatif terhadap saluran pencernaan antara lain dapat
menyebabkan individu mengalami luka (ulcer) pada saluran pencernaan termasuk
pada lambung yang disebut dengan penyakit gastritis (Asminarsih, 2009).
5. Interaksi Obat Analgesik dan Antibiotik yang Tidak Boleh Diberikan Bersamaan
Interaksi obat didefinisikan oleh commitee for proprietary medicine product
(CPMP) sebagai suatu keadaan dimana suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat
lain dan menimbulkan pengaruh klinis. Pengaruh ini biasanya terlihat sebagai suatu
efek samping, tetapi terkadang pula terjadi perubahan yang menguntungkan. Obat
yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang
dipengaruhi disebut sebagai object drug. Pada beberapa, interaksi obat ini terkadang
dapat menimbulkan perubahan efek pada kedua obat, sehingga obat mana yang
mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi, menjadi tidak jelas.
Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan ataupun merugikan.
Interaksi yang menguntungkan antara lain:
1. Penisilin dengan probenesid, dimana probenesid akan menghambat sekresi
penisilin ditubuli ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam plasma
sehingga meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore.
2. Kombinasi obat antihipertensi, dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi
efek samping.
3. Kombinasi obat anti tuberculosis, dapat memperlambat timbulnya resistensi
kuman terhadap obat.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi rendah)
seperti glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatistika.
Ada tiga jenis interaksi obat, yaitu interaksi farmasetis, farmakokinetik dan
farmakodinamik.
1. Interaksi farmasetis
Adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat
diformulasikan/disiapkan sebelum obat di gunakan oleh penderita. Misalnya
interaksi antara obat dan larutan infus IV yang dicampur bersamaan dapat
menyebabkan pecahnya emulsi atau terjadi pengendapan.
2. Interaksi farmakokinetik
Pada interaksi ini obat mengalami perubahan pada proses absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi yang disebabkan karena adanya obat atau senyawa
lain. Hal ini umumnya diukur dariperubahan pada satu atau lebih parameter
farmakokinetik seperti konsentrasi serum maksimum, luas daerah dibawah
kurva, waktu, waktu paruh, jumlah total obat yang diekskresi melalui urine,
dan sebagainya.
a. Interaksi pada fase absorbsi.
Mekanisme yang dapat mengubah kecepatan absorbsi obat dalam saluran
pencernaan dipengaruhi oleh berbagai factor, antara lain: berubahnya
kecepatan aliran darah pada saluran pencernaan, berubahnya motilitas
saluran pencernaan, pH , kelarutan obat, metabolisme saluran pencernaan,
system flora dan mukosa saluran pencernaan atau terbentunya kompleks
yang tidak larut.
i. Interaksi langsung
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam saluran pencernaan
sebelum absorbsi dapat mengganggu proses absorbsi. Interaksi ini
dapat dihindari dengan cara obat yang berinteraksi diberikan dengan
jarak waktu yang berbeda (minimal 2 jam).
ii. Perubahan pH cairan saluran pencernaan.
Cairan saluran cerna yang alkalis misalnya akibat antacid, akan
meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam
cairan tersebut. Contohnya aspirin. Dalam suasana alkalis,absorpsi per
satuan luas area absorpsi akan lebih lambat. Dengan demikian
dipercepatnya disolusi aspirin olh basa akan mempercepat absopsinya.
Akan tetapi, suasana alkali pada saluran pencernaan akan mengurangi
kelarutan beberapa obat yang bersifat basa seperti tetrasiklin.
iii. Motilitas saluran pencernaan.
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk semua obat.
Oleh karena itu, makin cepat obat sampai ke usus halus maka akan
semakin cepat pula absorpssinya. Obat yang memperpendek waktu
pengosongan lambung, misalnya metoklorpropamid, akan
mempercepat absorpsi obat lain yang diberikan secara bersamaan.
Sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung
seperti antikolinergik akan memperlambat absorbsi obatlain.
iv. Perubahan flora usus.
Flora normal usus mempunyai fungsi antara lain:
a. sintesa vitamin K dan merupakan sumber vitamin K
b. memecah sulfasalazin menjadi bagian-bagian yang aktif
c. tempat metabolisme sebagian obat misalnya levodopa
d. hidrolisis glukoronid yang diekskresi oleh empedu sehingga
terjadi sirkulasi enterohepatik yang akan memperpanjang kerja
obat seperti pil KB
e. Pemberian antibakteri berspektrum luas saperti
tetrasiklin,kloramfenikol dan ampisilin akan mengubah flora
normal usus sehingga akan meningkatkan efektifitas anti
koagulan oral yang diberikan secara bersama-sama,
mengurangi efektifitas sulfasalazin, meningkatkan
bioavailabilitas levodopa danmengurangi efektifitas
kontrasepsi oral.
b. Interaksi pada fase distribusi
i. Interaksi dalam ikatan protein plasma
Jenis ini sering kali membahayakan. Bila suatu obat dilepaskan dari
ikatan proteinnya oleh suatu precipitant drug, maka konsentrasi object
drug akan meningkat dan dapat menimbulkan efek toksik.
Beberapa sifat obat yang akan menyebabkan terjadinya interaksi ini
antara lain :
• Mempunyai ikatan yang kuat dengan protein plasma dan volume
distribusi yang kecil
• Mempunyai batas keamanan yang sempit, sehingga dapat
meningkatkan kadar obat bebas
• efek toksik yang serius sebelum kompensasi erjadimisalnya
terjadinya pendarahan pada antikoagulan oral atau hipoglikemia
pada antidiabetik oral
• eliminasinya mengalami kejenuhanseperti fenitoin , sehingga
peningkatan kadar obat bebas tidak disertai dengan peningkatan
kecepatan eliminasinya.
ii. Interaksi dalam ikatan jaringan
Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya antara digoksin
dan kuinidin yang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar
plasma digoksin. Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi
misalnya antara digoksin dan kuinidin yang akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan kadar plasma digoksin.
c. Interaksi pada fase metabolisme
Hal ini dapat terjadi bila metabolisme object drug dirangsang atau
dihambat oleh precipitant drug. Perangsang dan penghambat enzim
metabolisme sudah lama dikenal. Perangsangan atau induction ini terjadi
karena retikulum endoplasmik di hepatosit dan sitokrom P 450 yang
merupakan enzim metabolik obat bertambah. Hasil induksi ini
mengakibatkan metabolisme obat kian aktif dan konsentrasi plasma object
drug berkurang, sehingga efektivitasnya menurun. Contah. Pemberian
rifampisin pada akseptor kontrasepsi oral dapat meyebabkan terjadinya
kehamilan.
d. Interaksi pada fase ekskresi
Kompetisi pada sekresi tubulus ginjal adalah mekanisme yang
penting dalam interaksi ini. Contoh Probenecid menginhibisi sekresi
tubular penisilin, sehingga dapat meningkatkan dan memperlama efek,
Sehingga interaksi ini relatif menguntungkan Efek yang sama dapat
meningkatkan toksisitas kloroquin pada mata pada penderita yg
menggunaka probenecid.
3. Interaksi farmakodinamik
Merupakan interaksi di tempat kerja obat. Jenis ini banyak sekali dan
dapat terjadi dengan banyak obat. Dua atau lebih obat dapat berinteraksi di
tempat yang sama atau di tempat yang berlainan. Hasilnya bisa merupakan
antagonistik (saling meniadakan) ataupun sinergistik (saling memperkuat).
Misalnya interaksi antagonistik antara morfin dengan nalokson pada sebuah
reseptor, ataupun interaksi sinergistik antara antibiotika gentamisin dengan
suksinilkolin, bisa menimbulkan depolarisasi di otot lurik yang lebih besar
sehingga bisa menimbulkan kelumpuhan otot muskuler yang lebih lama.
Pada interaksi farmakodinamika precipitant drug mempengaruhi efek
dari object drug pada tempat aksi, baik secara langsung maupun tak
langsung.
a. Interaksi farmakodinamika secara langsung
Terjadi jika dua obat yang memiliki aksi ditempat yg sama
(antagonis atau sinergis) atau memiliki aksi pada dua tempat yang berbeda
yang hasil akhirnya sama.
Antagonis pada tempat yg sama terjadi misalnya:
penurunan efek opiat dengan naloxon
penurunan aksi walfarin oleh vit. K
penurunan aksi obat-obat hipnotik oleh caffeine.
penurunan aksi obat-obat hipoglikemik oleh glucocorticoids.
4. Interaksi lain-lain
a. Interaksi antar mikroba
Pada meningitis yang disebabkan oleh pneumokokus yang sensitif
terhadap ampisilin, pemberian ampisilin bersama-sama dengan
kloramfenikol akan menyebabkan antagonisme.
No
. Obat A Obat B Interaksi yang terjadi
Antibiotik bakteriostatik
dan bakterisid tak boleh
Antibiotik dikombinasi karena
Bakteriostatik antibiotik bakteriostatik
(Kloramfenikol, misalnya kloramfenikol
aritromisin, dapat menginhibisi kerja
1 Penisilin tetrasiklin) bakterisid dari penicillin.
Probenesid menghambat
sekresi antibiotik
sehingga meningkatkan
2 Penisilin Probenesid efek atau toksisitasnya
Fenilbutazon menghambat
sekresi antibiotik sehingga
meningkatkan efek atau
toksisitasnya
3 Penisilin Fenilbutazon
Menyebabkan maculopap
ular rash dapat
meningkatkan kadar
ampisilin
dapat meningkatkan
kadar ampisilin.
Makanan dapat
menurunkan tingkat
absorbsi ampisillin,
AmpisilinAmpis AlopurinolWarfa sehingga kemungkinan
45 ilin rin akan menurunkan kadar
6 AMpisilin Disulfiran ampisillin.
7 Ampisilin Makanan
Inaktivasi Penisilin
Kelarutan penisilin G
akan berkurang sehingga
Penisilin G VitaminC jumlah
91 Penisilin G Antasida absorbsinya berkurang
0
1