Sie sind auf Seite 1von 61

SKENARIO 2 : Antibiotika

Juwita 25 tahun saat ini sedang hamil trimester kedua dan sedang sakit gigi, pipinya
bengkak dan badannya panas. Ibunya memberi obat ampicilin dan paramex, kira-kira 15
menit setelah minum obat, badan juwita terasa gatal-gatal, kemerahan, dan sesak napas.
Selain itu juwita juga merasa mual dan akhirnya muntah-muntah. Akhirnya juwita periksa
ke dokter, dan dari hasil tanya jawab, ternyata juwita punya riwayat sakit maag dan alergi.
Dan dokterpun menginstruksikan untuk menghentikan obat yang diberikan oleh ibunya
dan memberikan resep obat yang berbeda.

STEP 1
Clarifying Unfamiliar Terms
1. Ampicilin: merupakan antibiotik golongan penicilin yang memiliki spektrum luas.
Aktivitasnya potent untuk bakteri gram negatif.
2. Alergi: suatu reaksi hipersensitivitas dari seseorang apabila terjadi kontak dengan
benda asing, termasuk obat.
3. Antibiotik: suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroba biasanya fungi,
yang digunakan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme, contohnya
bakteri.
4. Paramex: obat yang digunakan untuk menghilangkan sakit kepala seperti migrain bisa
juga digunakabn untuk sakit gigi. Mengandung parasetamol, antipiretik dan analgesik.

STEP 2
Problem definition
1. Apa saja jenis-jenis atau macam dari antibiotik?
2. Bagaimana mekanisme kerja dari antibiotik?
3. Bagaimana farmakokinetik antibiotik terhadap kehamilan?
4. Apa faktor yang menyebabkan resistensi antibiotik?
5. Bagaimana cara memilih obat antibiotik sesuai dengan keadaan pasien?
6. Apa saja yang perlu diperhatikan oleh ibu hamil dalam mengonsumsi obat?
7. Apa penyebab juwita mengalami terasa gatal-gatal, kemerahan, mual dan muntah
serta sesak napas? Kira-kira obat apa yang akan diresepkan oleh dokter tersebut?
STEP 3
Brainstorm
1. Berdasarkan spektrum kerja:
a. Spektrum sempit, membunuh/menghambat dari satu jenis bakteri saja (bakteri
gram positif atau negatif saja). Contohnya Penicilin G
b. Spektrum luas, membunuh seluruh bakteri di dalam tubuh kita, contohnya
tetraciklin. Mulai ditinggalkan karena bersifat berbahaya
Berdasarkan cara memerangi bakteri:
a. Bakteriostatik: berkerja dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri sehingga
kekebalan tubuh kita lebih mudah untuk memerangi infeksi. Dengan
mengganggu sintesis protein pada bakteri. Contoh: Spectinomycin, untuk
mengobati gonorhoeae
b. Bakteriosidal: mengandung senyawa aktif yang dapat langsung membunuh
bakteri. Dengan cara menargetkan dinding sel bakteri, membran sel bakteri dan
struktur susunan kimia bakteri. Contoh: Penicilin, Polimixin (menyerang
membran sel), Quinolon (mengganggu jalur enzim bakteri)
Berdasarkan fungsinya:
a. Terapi: diberikan secara oral untuk pengobatan setelah terkena penyakit
b. Profilaxis: Sebelum terkena infeksi sebagai langkah pencegahan terhadap
infeksi, contohnya: mencegah infeksi pascabedah melalui intarvena
Struktur kimia:
1. Beta laktamase (penicilin dkk) mempunyai struktur cincin betalaktam,
menyebabkan bakteri lisis.
2. Inhibitor beta laktamase, dikombinasikan dengan amoxicilin ketika digunakan
secara oral
3. Basitracin, digunakan untuk topikal. Salep mata dan kulit
4. Penicilin
a. Penicilin natural (penicilin G) sangat potent terhadap bakteri gram positif,
kokus gram negatif, bakteri anaerob.
b. Penicilin antistafilokokal, contohnya: Nafcilin. Aktif pada bakteri anaerob,
kokus gram negatif dan batang gram negatif
c. Penicilin spektrum luas: ampicilin aktif pada gram negatif
Berdasarkan ikatan protein:
1. Oksasilin: Ikatan protein tinggi, disarankan untuk ibu hamil
2. Ampicilin: ikatan protein rendah
3. Aminoglikosid
4. Sulfonamid
5. Isoniazid
6. Chloramfenikol
7. Metronidazol
8. Tetraciclin
a. Dapat menembus plasenta, dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi
dan tulang. Diekskresikan melalui asi
b. Berikatan dengan kalsium sehingga penyerapa dalam usus berkurang ketika
kita minum susu.
c. Berikatan dengan aluminium, tidak dianjurkan digunakan bersamaan
dengan obat maag.
d. Tidak boleh digunakan pada ibu hamil. Berdampak pada ibu hamil dan
janin. Ibu terkena acute fatty acid.
2. Bagaimana mekanisme kerja dari antibiotik?
a. Menghambat sintesis dari dinding sel, menghambat pembentukan peptidoglikan,
melemahkan dinding sel sehingga lisis
b. Menghambat sintesis membran sel. Membuat membran sel menjadi
permeabilitas sehingga zat penting akan hilang
c. Menghambat sintesis protein. Menghambat pembentukan protein dengan cara
menghambat kerja tRNA yang membawa asam amino ke ribosom
d. Memhambat pembentuka RNA dan DNA mengambat proses replikasi dan
transkripsi
3. Bagaimana farmakokinetik antibiotik terhadap kehamilan?
a. Saat kehamilan terjadi peningkatan volume cairan tubuh  aliran darah ke
ginjal meningkat  golongan penicilin eleminasi langsung ke ginjal, jika
pemberian tidak sesuai berpengaruh ke ginjal
b. Jika pada ibu hamil dapat terjadi difusi sedarhana pada plasenta
4. Apa faktor yang menyebabkan resistensi antibiotik?
a. Kelemahan sistem monitoring dan surveilance
b. Ketidakmampuan sistem untuk mengontrol supply obat
c. Buruknya pengontrolan pencegahan infeksi penyakit
d. Kesalahan diagnosa dan pengobatan yg diberikan
e. Mengonsumsi tidak sampai tuntas, tanpa resep dokter
f. Mengonsumsi berlebihan
Bakteri
a. Obat gagal mencapai target
b. Obat mengalami inaktivasi
c. Targetnya berubah
5. Bagaimana cara memilih obat antibiotik sesuai dengan keadaan pasien?
a. Menegakkan diagnosa  diberikan antibiotik spektrum luas jika belum
diketahui bakteri penyebabnya  diberikan antibiotik sesuai dengan indikasi
(dapat dikombinasikan)
b. Sifat farmakokinetiknya: berguna untuk mengendalikan kadar masing-masing
antibiotik sehingga efektivitasnya terjamin
6. Apa saja yang perlu diperhatikan oleh ibu hamil dalam mengonsumsi antibiotik?
Menurut FDA:
a. A antibiotik aman untuk janin (mycostatin aman untuk trimester 1-lahir)
b. B cukup aman untuk janin (amoxycilin)
c. C aman tetapi dapat terjadi resiko pada janin (Bactricin, resiko<manfaat)
d. D digunakan hanya saat darurat dan dapat terjadi resiko pada janin
(Karmabazepin)
e. X tidak pernah lagi digunakan karena berbahaya bagi janin dan ibu
(abnomarlitas janin, resiko>manfaat. Warfarin, Ribavirin, Tetracyclin)
Waktu pengonsumsian antibiotik memperhatikan masa
a. kritis/lemah 2-8minggu
b. kuat 21-28 minggu
c. menurun lagi hingga saat partus dan meningkat setelah partus
Perubahan fisiologi selama kehamilan dapat mempengaruhi konsentrasi
antibiotik dalam serum sehingga dapat mempengaruhi efek obat, merubah
absorpsi obat yang diberikan per oral, merubah distribusi obat yang disebabkan
karena peningkatan distribusi volume dan peningkatan cardiac output, merubah
ekskresi obat melalui peningkatan lairan darah ginjal dan filtrasi glomerulus

7. Apa penyebab juwita mengalami terasa gatal-gatal, kemerahan, mual dan muntah
serta sesak napas? Kira-kira obat apa yang akan diresepkan oleh dokter tersebut?
Yang menyebabkan gejala tersebut adalah respons hipersensitivitas tipe I (anafilaksis
shock) oleh karena antibiotik. ROTD (reaksi obat tidak diinginkan) tiap orang
berbeda. Bisa dianalisis dengan algoritma naranjo untuk mengetahui penyebab alergi.
Ampicylin sudah termasuk aman, alternatifnya mungkin dengan menggunakan
bawang putih karena mengandung agen antibiotik alicin. Amoxycilin untuk indikasi
abses gigi (pipi bengkak dan sakit) lebih aman diberikan pada ibu hamil

STEP 4
Mapping

ANTIBIOTIK STRUKTUR KIMIA

MEKANISME

PENGGOLONGAN
FUNGSI

SPEKTRUM
FARMAKOKINETIK &
FARMAKODINAMIK

AMAN UNTUK
IBU HAMIL INDIKASI & KONTRA INDIKASI

DOSIS

EFEK SAMPING
STEP 5
Formulating learning object
1. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan definisi dan penggolongan obat
antibiotic.
2. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat antibiotic.
3. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan indikasi, kontraindikasi, dosis, dan
efek samping obat antibiotic.
4. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan obat yang sesuai dengan skenario
dan pada ibu hamil pada umumnya (bidang kedokteran gigi dan dikaitkan dengan
sistemik dan anak-anak).
5. Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan interaksi obat analgesik dan
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersamaan.

STEP 6
Self Study
1. Definisi dan Penggolongan Obat Antibiotik
a. Pengertian Antibiotik
Antibiotik merupakan komponen alami ataupun sintetik yang dapat
membunuh bakteri, terdapat banyak jenis antibiotic yang bekerja secara berbeda
terhadap bakteri, biasanya antibiotik tidak bekerja langsung terhadap virus.
Antibiotik dihasilkan oleh bakteri, organisme eukaryotik, termasuk tanaman.
Biasanya dihasilkan untuk melindungi diri dan membunuh bakteri lain.
Salah satu yang dapat membunuh atau menghambat mikroba adalah zat
antibiotik. Antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba disebut
bakteriostatik, jenis ini akan berkerja pada pertahanan normal inang untuk
membunuh atau mengeliminasi beberapa mikroba setelah menghambat
pertumbuhannya. Sedangkan zat antibiotic yang dapat membunuh mikroba
disebut bakteriosidal, ketika pertahanan dari inang tidak mampu atau tidak dapat
menghancurkan bakteri patogen maka pemberian bakteriosidal dapat membunuh
mikroba patogen dengan beberapa kondisi tertentu yang berkaitan, seperti
konsentrasi bakteriosidal tersebut.
Jika pertahanan inang kuat, obat yang mengganggu pertumbuhan atau
replikasi mikroorganisme tetapi tidak membunuhnya (yakni, obat bakteriastatih)
dapar. mencukupi. Jika pertahanan inang lemah, dapat memerlukan antibiotik
yang membunuh miroba (yakni, efek babterisidal).
b. Penggolongan Antibiotik
1) Mekanisme Antibiotik
Antibiotik dapat menghambat kerja reaksi. Reaksi tersebut ada yang
penting untuk pertumbuhan sehingga menggangu pertumbuhan mikroba.
Penghambatan pada beberapa reaksi dapat terjadi secara langsung, yaitu
antibiotik langsung memblokir beberapa reaksi tersebut, namun masing-
masing reaksi memerlukan konsentrasi antibiotik yang berbeda.
Ketergantungan pada konsentrasi ini menggambarkan perbedaan kepekaan
reaksi tersebut terhadap antibiotic.
Menurut Nesterdkk (2009) mekanisme aksi antibiotic ada 4 poin, yaitu :
1. Menghambat sintesis dinding sel
Dinding sel bakteri sangat unik, karena mengandung peptidoglikan.
Ada antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat
sintesis enzim atau inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan hilangnya
viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis.
Antibiotik ini meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin, vankomisin,
ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini menghambat sintesis dinding sel
terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan. Dinding sel
bakteri menentukan bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi
bagian dalam sel terhadap perubahan tekanan osmotik dan kondisi
lingkungan lainnya. Di dalam sel terdapat sitoplasma dilapisi dengan
membran sitoplasma yang merupakan tempat berlangsungnya proses
biokimia sel. Dinding sel bakteri terdiri dari beberapa lapisan. Pada
bakteri Gram positif struktur dinding selnya relative sederhana dan
Gram negatif relative lebih komplek. Dinding sel bakteri Gram positif
tersusun atas lapisan peptidoglikan yang relative tebal, dikelilingi
lapisan teichoic acid dan pada beberapa species mempunyai lapisan
polisakarida. Dinding sel bakteri Gram negative mempunyai lapisan
peptidoglikan relative tipis, dikelilingi lapisan lipoprotein,
lipopolisakarida, fosfolipid dan beberapa protein.
Peptidoglikan merupakan komponen yang menentukan kelenturan
dinding sel pada Gram positif dan berperanan pada integritas Gram
negatif. Gangguan pada sintesis komponen ini dapat menyebabkan sel
lisis dan dapat menyebabkan kematian sel. Antibiotik yang
menyebabkan gangguan sintesis lapisan ini aktivitasnya akan lebih
nyata pada bakteri gram positif. Aktivitas menghambatan atau
membunuh hanya dilakukan selama pertumbuhan sel dan aktivitasnya
dapat ditiadakan dengan menaikkan tekanan osmotik media untuk
mencegah pecahnya sel. Bakteri tertentu seperti mikobakteria dan
halobakteria mempunyai peptidoglikan relative sedikit, sehingga
kurang terpengaruh oleh antibiotik grup ini.
Selama mensintesis peptidoglikan, sel memerlukan enzim hidrolase
dan sintetase. Untuk menjaga sintesis supaya normal, kerja kedua
enzim ini harus seimbang satu sama lain. Bio sintesis peptidoglikan
berlangsung dalam beberapa stadium dan antibiotik pengganggu
sintesis peptidoglikan aktif pada stadium yang berlainan. Sikloserin
terutama menghambat enzim racemase dan sintetase yang berperan
dalam pembentukan dipeptida. Vankomisin bekerja pada stadium kedua
diikuti oleh basitrasin, ristosetin dan diakhiri oleh penisilin dan
sefalosporin yaitu menghambat transpeptidase
2. Menghambat sintesis protein
Penghambatan sintesis protein dapat berlangsung di dalam ribosom.
Menurut Nester dkk (2009), berdasarkan koefisien sedimentasinya,
ribosom dikelompokkan dalam 3 grup.
a) Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri dari
subunit 60s dan 40s.
b) Ribosom 70s, didapatkan pada sel prokariot dan eukariot. Partikel
ini terdiri dari subunit 50s dan 30s.
c) Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamalia dan
menyerupai ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya
terhadap antibiotik.
Untuk memelihara kelangsungan hidupnya, sel mikroba perlu
mensintesis protein yang berlangsung di dalam ribosom bekerja sama
dengan mRNA dan tRNA, gangguan sintesis protein akan berakibat
sangat fatal, antibiotik dengan mekanisme kerja seperti ini mempunyai
daya antibakteri sangat kuat. Antibiotik kelompok ini meliputi
aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, kloramphenikol,
novobiosin, puromisin (Nester dkk, 2009).
Penghambatan biosintesis protein pada sel prokariot ini bersifat
sitostatik, karena mereka dapat menghentikan pertumbuhan dan
pembelahan sel. Bila sel dipindahkan ke media bebas antibiotik,
mereka dapat tumbuh kembali setelah antibiotik berkurang dari sel
kecuali streptomisin yang mempunyai aktivitas bakterisid. Pengaruh
zat ini terhadap sel eukariot diperkirakan sitotoksik. Beberapa
penghambat ribosom 80s seperti puromisin dan sikloheksimid sangat
toksik terhadap sel mamalia, oleh karena itu tidak digunakan untuk
terapi, sedang tetrasiklin mempunyai toksisitas relative kecil bila
digunakan oleh orang dewasa. Tetrasiklin menghambat biosintesis
protein yang terdapat pada ribosom 80s dan 70s. Erytromisin berikatan
dengan ribosom 50s. Streptomisin berikatan dengan ribosom 30s dan
menyebabkan kode mRNA salah dibaca oleh tRNA, sehingga terbentuk
protein abnormal dan non fungsionil.
3. Menghambat sintesis asam nukleat
Asam nukleat merupakan bagian yang sangat vital bagi
perkembangbiakan sel. Untuk pertumbuhannya, kebanyakan sel
tergantung pada sintesis DNA, sedang RNA diperlukan untuk
transkripsi dan menentukan informasi sintesis protein dan enzim. Ada
beberapa jenis RNA yaitu t-RNA, r-RNA, m-RNA, masing-masing
mempunyai peranan pada sintesis protein. Begitu pentingnya asam
nukleat bagi sel, maka gangguan sintesis DNA atau RNA dapat
memblokir pertumbuhan sel, namun antibiotik yang mempunyai
mekanisme kegiatan seperti ini pada umumnya kurang selektif dalam
membedakan sel bakteri dan sel mamalia.
Antibiotic yang mempengaruhi sintesis asam nukleat dan protein
mempunyai mekanisme kegiatan pada tempat yang berbeda, antara lain
:
a) Mempengaruhi replikasi DNA, seperti bleomisin, phleomisin,
mitomisin, edeine dan porfiromisin.
b) Mempengaruhi transkripsi, seperti aktinomisin, kromomisin,
ekonomisin, rifamisin, korisepin dan streptolidigin.
c) Mempengaruhi pembentukan aminoacyl-tRNA, seperti
borrelidin.
d) Mempengaruhi translasi, antara lain kloramphenikol,
streptomisin, neomisin, kanamisin, karbomisin, crytromisin,
linkomisin, dan tetrasiklin.
Antibiotik yang mempengaruhi sintesis protein dan asam nukleat,
mayoritas aktif pada bagian translasi dan di antara mereka banyak yang
berguna dalam terapi. Karena mekanisme translasi antara sel bakteri
dan sel eukariot berbeda, maka mungkin mereka memperlihatkan
toksisitas selektif.
4. Menghambat jalur metabolime utama
Beberapa antibiotik mempunyai cara membunuh dan menghambat
dengan mengganggu metabolism utama mikroba, cara ini merupakan
yang paling efektif dalam membunuh mikroorganisme, misalnya
sulfonamides dan trimethoprim, keduannya menghambat tahapan yang
berbeda pada jalur metabolisme yang menginisiasi sintesis dari asam
folat dan akhirnya menghambat sintesis koenzim untuk biosintesis
nukleotida. Sel hewan akan kekurangan enzim saat sintesis asam folat
yang merupakan bagian dari jalur metabolism (Nester dkk, 2009).
2) Berdasarkan Gugus Kimia
Penggolongan antibiotika berdasarkan gugus kimianya sebagai berikut
(Katzung, 2007)
a. Senyawa Beta-laktam dan Penghambat Sintesis Dinding Sel Lainnya
Mekanisme aksi penisilin dan antibiotika yang mempunyai struktur
mirip dengan β-laktam adalah menghambat pertumbuhan bakteri
melalui pengaruhnya terhadap sintesis dinding sel. Dinding sel ini tidak
ditemukan pada sel-sel tubuh manusia dan hewan, antara lain:
golongan penisilin, sefalosporin dan sefamisin serta betalaktam
lainnya.
b. Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolida, Clindamisin dan Streptogramin
Golongan agen ini berperan dalam penghambatan sintesis protein
bakteri dengan cara mengikat dan mengganggu ribosom, antara lain:
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida, klindamisin, streptogramin,
oksazolidinon.
Tetrasiklin

Makrolida
c. Aminoglikosida
Golongan Aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin,
kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin, dan
lain-lain.
d. Sulfonamida, Trimethoprim, dan Quinolones
Sulfonamida, aktivitas antibiotika secara kompetitif menghambat
sintesis dihidropteroat. Antibiotika golongan Sulfonamida, antara lain
Sulfasitin, sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine,
sulfamethoksazole, sulfapiridin, sulfadoxine dan golongan pirimidin
adalah trimethoprim. Trimethoprim dan kombinasi trimetoprim-
sulfametoksazol menghambat bakteri melalui jalur asam dihidrofolat
reduktase dan menghambat aktivitas reduktase asam dihidrofolik
protozoa, sehingga menghasilkan efek sinergis. Fluoroquinolon adalah
quinolones yang mempunyai mekanisme menghambat sintesis DNA
bakteri pada topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV.
Golongan obat ini adalah asam nalidiksat, asam oksolinat, sinoksasin,
siprofloksasin, levofloksasin, slinafloksasin, enoksasin, gatifloksasin,
lomefloksasin, moxifloksasin, norfloksasin, ofloksasin, sparfloksasin
dan trovafloksasin dan lain-lain.

3)
Spektrum Antibiotik
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan aktivitas, cara kerja maupun
struktur kimianya. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu (Ganiswara, 1995; Lüllmann, Mohr, Hein & Bieger,
2005):
a. Antibiotika kerja luas (broad spectrum), yaitu agen yang dapat
menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun
bakteri gram negatif. Golongan ini diharapkan dapat menghambat
pertumbuhan dan mematikan sebagian besar bakteri. Yang termasuk
golongan ini adalah tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin,
sefalosporin, carbapenem dan lain-lain. Antibiotik jenis ini sangat
penting dalam kehidupan karena secara halus dapat membunuh segala
jenis mikroba jika diperlukan dalam keadaan yang mendesak tanpa
perlu mengetahui penyebab mikroba tersebut hadir. Kekurangan dari
antibiotic berspektrum luas ini adalah berimbas pada semua bakteri
yang ada, dapat juga membunuh flora normal yang seharusnya ada,
ataupun membunuh bakteri yang ternyata sangat diperlukan.
b. Antibiotika kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan ini hanya
aktif terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk golongan ini adalah
penisilina, streptomisin, neomisin, basitrasin. Antibiotik dengan daya
bunuh sempit atau biasa disebut narrow spectrum antimicrobials,
memerlukan identifkasi terlebih dahulu untuk mengetahui daya
bunuhnya dan kepekaannya terhadap bakteri pathogen. Banyak jenis
antibiotik yang diproduksi secara komersial mempunyai komponen aktif
untuk membunuh bakteri. Penting diketahui untuk dapat
membedakannya, apakah antibiotik tersebut hanya aktif pada Gram
positif saja atau juga Gram negative.

4) Tujuan Pemberian Antibiotik


Antibiotik dapat dibedakan berdasarkan fungsi pemberiannya, yaitu untuk
tujuan terapi dan profilaksis:
1. Tujuan terapi
Penggunaan terapeutik antibiotik di klinik bertujuan membasmi
mikroba penyebab infeksi. Penggunaan antibiotik ditentukan
berdasarkan indikasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut :
(1) Gambaran klinik penyakit infeksi, yakni efek yang ditimbulkan
oleh adanya mikroba dalam tubuh hospes, dan bukan berdasarkan atas
kehadiran mikroba tersebut semata-mata; (2) Efek terapi antibiotik
pada penyakit infeksi diperoleh hanya sebagai akibat kerja antibiotik
terhadap biomekanisme mikroba, dan tidak terhadap biomekanisme
tubuh hospes; (3) Antibiotik dapat dikatakan bukan merupakan "obat
penyembuh” penyakit infeksi dalam arti kata sebenarnya. Antibiotik
hanyalah menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk
sembuh dari suatu penyakit infeksi. Seperti telah dikemukakan di atas,
dengan adanya invasi oleh mikroba, tubuh hospes akan bereaksi
dengan mengaktifkan mekanisme daya tahan tubuhnya. Sebagian besar
infeksi yang terjadi pada hospes dapat sembuh dengan sendiri tanpa
memerlukan antibiotik.
2. Tujuan profilaksis
Uji klinik telah membuktikan bahwa pemberian profilaksis sangat
bermanfaat untuk beberapa indikasi tertentu, sedangkan untuk indikasi
lain sama sekali lidak bermanfaat atau kontroversial. Secara garis besar
profilaksis antibiotik untuk kasus bukan bedah diberikan untuk 3
tujuan:
a. melindungi seseorang yang terpajan (exposed) kuman tertentu.
Penisilin G mencegah infeksi streptokokus Grup A. Kotrimoksazol
efektif untuk mencegah kambuhnya infeksi saluran kemih.
b. mencegah infeksi bakterial sekunder pada seseorang yang sedang
menderita penyakit lain. Misalnya mencegah infeksi bakterial pada
pasien koma, pasien dengan alat bantu napas, kateter dan
sebagainya. Pencegahan yang bersifat "total" ini biasanya tidak
berhasil. Mikroba yang resisten terulama Enterobacteriaceae dan
jamur sering kali timbul sebagai patogen bila profilaksis diteruskan.
Flora normal tubuh pasien merupakan salah satu mekanisme penting
untuk mencegah kolonisasi dan infeksi oleh kuman patogen ini
disebut resistensi koloni. Profilaksis tidak terarah akan mengganggu
mekanisme pertahanan ini.
c. mencegah endokarditis pada pasien kelainan katup atau struktur
jantung lain yang akan menempuh prosedur yang sering
menimbulkan bakteremia, misalnya ekstraksi gigi, tindakan
pembedahan dan lain-lain. Endokarditis terjadi karena kolonisasi
kuman pada katup jantung yang rusak. Profilaksis juga perlu
diberikan untuk pasien dengan lesi jantung lainnya karena deposit
fibrin dan trombosit yang menjadi tempat kolonisasi sering
berhubungan dengan tempat terjadinya arus darah turbulen pada
jantung. Setiap tindakan yang melukai mukosa yang kaya bakteri
misalnya mulut dan saluran cerna akan menyebabkan bakteremia
selintas. Profilaksis ini diberikan segera sebelum tindakan.
Untuk profilaksis kasus bedah berlaku prinsip sebagai berikut: (1)
Penggunaan antibiotik untuk profilaksis selalu harus dibedakan dari
penggunaan untuk terapi pada kasus-kasus bedah; (2) Pemberian
profilaksis antibiotik hanya diindikasikan untuk tindakan bedah tertentu
yang sering disertai infeksi pascabedah, atau yang membawa akibat
berat bila terjadi infeksi pascabedah; (3) antibiotik yang dipakai harus
sesuai dengan jenis kuman yang potensial menimbulkan infeksi
pascabedah; (4) Cara pemberian biasanya IV atau IM; (5) Pemberian
dilakukan pada saat induksi anestesi, tidak dibenarkan pemberian yang
lebih dini dan biasanya hanya diberikan 1-2 dosis. Pemberian
profilaksis lebih dari 24 jam tidak dibenarkan. Prolilaksis untuk bedah
hanya dibenarkan untuk kasus dengan resiko infeksi pasca bedah yang
tinggi yaitu yang tergolong clean-contaminated dan contaminated.
Tindakan-tindakan bedah yang bersih (clean) tidak memerlukan
profilaksis antibiotik, kecuali bila dikhawatirkan akan terjadi inleksi
pasca bedah yang berat sekali.

2. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Antibiotik


A. Farmakokinetik Antibiotik
Farmakokinetik mempelajari dinamika obat melewati sistem biologi
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Informasi
farmakokinetik berguna untuk memperkirakan dosis obat dengan tepat dan
frekuensi pemberiannya, juga untuk mengatur dosis obat pada penderita dengan
gangguan fungsi ekskresi (Archer, 2005).
Profil farmakokinetik antibiotik dinyatakan dalam konsentrasi di serum dan
jaringan terhadap waktu dan mencerminkan proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Karakteristik penting farmakokinetik meliputi peak
& trough konsentrasi di serum, waktu paruh (T1/2), bersihan (clearance) dan
volume distribusi (Cunha, 2002).
Absorpsi antibiotik menunjukkan nilai dan besarnya bioavailability obat
setelah pemberian secara oral atau suntikan. Bioavailability diartikan
sebagai besarnya persentase dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik dari
tempat masuknya. Obat harus melewati beberapa membran untuk
mencapai tempat kerjanya. Membran-membran yang spesifik tersebut
tergantung pada tempat kerja dan route of administration. Absorpsi obat
melewati membran dipengaruhi oleh ukuran molekul, kelarutan dalam lemak,
derajat ionisasi dan pH. Sebagian besar obat larut dalam air dan juga lemak.
Dikatakan bahwa semakin tinggi ratio kelarutan dalam lemak
dibanding air semakin cepatlah absorpsi pasif obat tersebut. Kelarutan obat
dalam lemak disebut lipophilicity sedangkan kelarutan dalam air disebut
hydrophilicity. Di dalam larutan, obat berada dalam bentuk yang disebut
interchangeable forms yaitu larut-air (bentuk ion) dan larut-lemak (nonion).
Semakin lipophilic suatu obat, semakin mudah menembus membran. Sedangkan
yang hydrophilic akan cenderung berada dalam darah. Ketika dilarutkan,
sebagian molekul obat akan terionisasi yang persentasenya ditentukan
oleh keasaman obat dan keasaman pelarutnya serta pKa yaitu pH saat 50%
molekul obat terionisasi. Persentase molekul nonionized menentukan
jumlah molekul yang diabsorpsi sehingga menentukan rate of absorption
(Chambers, 1996; Cunha, 2002).
Sebagian besar infeksi terjadi di ekstravaskular dan antibiotik harus mampu
mencapai tempat tersebut. Jika infeksi terletak di lokasi yang
terlindung dimana penetrasi obat menjadi rendah seperti cairan serebrospinal,
mata, prostat, vegetasi jantung yang terinfeksi dibutuhkan dosis antibiotik yang
tinggi dan jangka waktu lebih lama untuk terapi. Sebagian besar bakteri
penyebab infeksi pada manusia berada ekstraselular. Pathogen intraselular
seperti Legionella, Chlamydia, Brucella, Salmonella dan Mycobacteria
mampu bertahan dan menimbulkan kekambuhan jika diobati dengan
antibiotik yang tidak bisa masuk sel. Pada umumnya, antibiotik β-
laktam, vankomisin dan aminoglikosida penetrasinya ke sel rendah
sedangkan makrolid, tetrasiklin, kloramfenikol, rifampisin, co-trimoksazol
dan quinolon penetrasinya ke sel baik (Archer, 2005).
Sebagian besar antibiotik dalam tubuh akan mencapai
keseimbangan di jaringan dan plasma. Penelitian menunjukkan bahwa
proses distribusi antibiotik ditandai adanya variabilitas antar individu dan antar
jaringan. Kadar obat di tempat infeksi berbeda dengan kadar di plasma.
Kadar dibawah MIC dapat memicu terjadinya resistensi. Hal ini perlu
diperhatikan jika terdapat ketidaksesuaian antara respons klinis dan hasil tes
kepekaan. Hambatan penetrasi jaringan oleh antibiotik paling baik ditunjukkan
pada infeksi sistem saraf pusat (SSP). Mekanisme barrier di SSP dan organ lain
merupakan pompa transport aktif sehingga obat dapat masuk ke tempat infeksi.
Dalam keadaan keseimbanganpun, konsentrasi antibiotik di tempat infeksi
lebih rendah daripada di plasma. Mekanisme ini sudah terbukti secara in vitro
dan in vivo (Muller, 2004).
Selain infeksi SSP, ada beberapa situasi yang menghambat penetrasi
obat sehingga bisa menimbulkan kegagalan terapi antibiotik misalnya
infeksi jaringan lunak, osteomyelitis, endokarditis, emboli septik, infeksi
berkaitan dengan benda asing dan kateter, hematom, abses, granuloma-inducing
infections, solid malignancies, dan lain-lain. Mekanisme barrier dipengaruhi
oleh derajat keasaman/ pH obat dan resistensi struktural dinding kapiler
akibat perubahan aliran darah lokal, permeabilitas kapiler, koefisien difusi
interstisial dan gradien tekanan onkotik dan osmotik transkapiler.
Permeabilitas kapiler juga dipengaruhi oleh besarnya berat molekul (BM) obat.
Antibiotik dengan BM rendah mempunyai permeabilitas lebih tinggi. Faktor
lainadalah kelarutan obat dalam lemak. Semakin lipophilic suatu obat
maka semakin mudah menembus kapiler (Muller, 2004).
Saat ini, dengan adanya teknik yang baru dimungkinkan untuk
mengukur distribusi obat di jaringan perifer. Microdialysis (MD) telah
digunakan untuk mengukur farmakokinetik berbagai antibiotik di jaringan
tubuh manusia sehat yang menjadi sukarelawan. Setelah publikasi
pertama pada tahun 1995, MD banyak membantu riset antibiotik dan
menjelaskan berbagai pertanyaan seperti pengaruh ikatan protein, parameter
PK-PD di jaringan dan distribusi antibiotik di jaringan. Parameter PK-PD
seperti t > MIC, rasio AUC/MIC, rasio Cmax/MIC yang awalnya
dikembangkan berdasarkan nilai di serum selanjutnya dapat diperluas menjadi
parameter di jaringan perifer dengan bantuan alat ini (Muller, 2004). Antibiotik
mengalami eliminasi di hati, ginjal atau keduanya baik dalam bentuk yang tidak
berubah atau metabolitnya. Untuk antibiotik yang eliminasinya terutama di
ginjal, bersihan suatu obat berkorelasi linear dengan creatinine clearance.
Sedangkan antibiotik yang eliminasinya terutama di hati tidak ada
petanda yang bisa dipakai untuk mengatur dosis pada pasien dengan penyakit
hati (Archer, 2005). Pada pasien dengan insufisiensi ginjal dibutuhkan
pengaturan dosis. Penggunaan antibiotik aminoglikosida, vankomisin atau
flusitosin harus lebih hati-hati karena eliminasi obat tersebut di ginjal dan
toksisitasnya seiring dengan konsentrasinya di plasma dan jaringan.
Obat-obat yang metabolisme atau ekskresinya oleh hepar (eritromisin,
kloramfenikol, metronidazol, klindamisin) dosisnya harus diturunkan
pada pasien dengan kegagalan fungsi hepar (Chambers, 1996).
Peak serum level adalah konsentrasi puncak di serum (mcg/ml)
setelah pemberian dosis biasa (usual dose). Ini berguna untuk menghitung “kill
ratio” yaitu rasio kadar puncak di serum terhadap MIC suatu organisme.
Semakin tinggi “kill ratio” semakin efektif antibiotik tersebut. Waktu paruh
adalah waktu yang dibutuhkan oleh konsentrasi plasma atau jumlah obat dalam
tubuh berkurang separuhnya. Bersihan merupakan ukuran kemampuan tubuh
untuk mengeliminasi obat. Konsep ini penting dipertimbangkan terutama saat
permberian regimen obat yang rasional dalam periode yang lama. Kadar
tunak (Steady-state concentration) akan tercapai ketika laju eliminasi obat
setara dengan pemberiannya. Volume distribusi obat berbanding lurus dengan
jumlah obat di dalam tubuh dan berbanding terbalik dengan konsentrasi obat di
plasma. Volume distribusi sangat bervariasi tergantung pKa obat, besarnya
ikatan dengan protein plasma, koefisien partisi obat terhadap lemak. Volume
distribusi juga dipengaruhi oleh usia, gender, penyakit dan komposisi tubuh
(Benet,1996; Cunha, 2002).
Keberhasilan terapi tergantung tercapainya efek antibakteri di tempat
infeksi tanpa menimbulkan toksisitas yang berarti pada pasien. Untuk itu
beberapa faktor farmakokinetik dan faktor host perlu dievaluasi. Konsentrasi
obat minimal di tempat infeksi sebaiknya paling tidak setara dengan
MIC untuk mikroorganisme tersebut tetapi ada bukti bahwa konsentrasi
dibawah MIC mampu meningkatkan fagositosis. Penetrasi obat menuju tempat
infeksi hampir selalu secara difusi pasif. Kecepatan penetrasi adalah
proporsional dengan konsentrasi obat bebas dalam plasma atau cairan
ekstrasel. Obat yang terikat kuat protein memiliki penetrasi lebih rendah dan
sebaliknya dengan yang ikatannya lemah. Hanya fraksi obat yang tidak terikat
yang bebas berinteraksi dengan targetnya (Barger, 2003).
Salah satu faktor determinan efektifitas terapi antibiotik adalah
status fungsional mekanisme host defense. Imunitas seluler dan humoral
keduanya memegang peran penting. Kualitas dan kuantitas
immunoglobulin yang tidak adequat, perubahan sistem imun seluler atau
defek kualitatif atau kuantitatif sel-sel fagositik bisa menimbulkan kegagalan
terapi walaupun telah menggunakan obat-obat yang tepat dan efektif. Seringkali,
keberhasilan terapi pada immunocompetent host sudah bisa diperoleh
dengan menghentikan multiplikasi mikroorganisme (efek bakteriostatik).
Jika host defense terganggu / inadequat diperlukan antibiotik bakterisidal
untuk terapi misalnya pada pasien yang netropeni. Pada pasien AIDS, terapi
infeksi opportunistik biasanya hanya memberi efek supresi dan bukan kuratif
(Archer, 2005).
1) Farmakokinetik Beta-laktam
a. Penisilin
Absorbsi obat yang diberikan secara oral berbeda-beda. Absorbsi obat
tergantung pada stabilitas pada asam dan ikatan proteinnya. Metisilin
dirusak oleh asam lambung, sedangkan nafsilin absorbsinya secara oral
tidak menentu, hal ini menyebabkan kedua obat tersebut tidak cocok
diberikan secara oral. Pemberian secara parenteral menghasilkan
absorbsi yang cepat dan menyeluruh pada sebagian besar penisilin.
Pemberian melalui jalur intravena lebih disukai daripada jalur
intramuskuler, karena pemberian intramuskuler dosis besar dapat
menyebabkan iritasi dan nyeri setempat. Penisilin didistribusikan secara
luas dalam cairan tubuh dan berbagai jaringan. Penetrasi dalam mata,
prostat, dan sistem saraf pusat tidak baik, namun dalam kondisi
peradangan dari selaput otak terjadi peningkatan penetrasi penisilin ke
dalam sistem otak. Penisilin dengan cepat di ekskresi oleh ginjal ke
dalam urin, di mana sekitar 10% melalui filtrasi glomerulus dan 90%
melalui sekresi tubulus.
b. Sefalosporin
1. Absorbsi sefalosporin melalui saluran cerna berlangsung cepat dan
lengkap.
2. Di dalam darah antibiotik golongan sefalosporin berikatan dengan
protein plasma sebesar 14-90%, dengan waktu paruh 30-150 menit.
3. Distribusi obat ke dalam jaringan dan cairan tubuh baik kecuali pada
otak dan mata, kecuali sefotaksim.
4. Ekskresi antibiotik golongan sefalosporin melalui ginjal, sembilan
puluh persen obat dieliminasi dalam bentuk utuh. Ekskresi diginjal
melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler.
2) Farmakokinetik Kloramfenikol
1. Pada pemberian oral kloramfenikol diabsorbsi dengan cepat dan tuntas.
2. Konsentrasi maksimal kloramfenikol di dalam darah setelah pemberian
peroral dicapai setelah 2 jam.
3. Di dalam darah kloramfenikol berikatan dengan protein plasma sebesar
50%.
4. Waktu paruh kloramfenikol 3 jam, sedangkan pada bayi di bawah 2
minggu waktu paruhnya sebesar 24 jam.
5. Kloramfenikol berdifusi baik pada cairan serebrospinal dan mata
6. Kloramfenikol di metabolisme di hati sebesar 90% .
7. Ekskresi kloramfenikol aktif dan produk degradasi sebagian besar
melalui ginjal, hanya sebagian kecil yang di ekskresikan melalui
empedu.
3) Farmakokinetik Tetrasiklin
1. Absorbsi tetrasiklin secara oral sebesar 75%, absorbsi berlangsung
lambat kecuali doksisiklin dan minosiklin.
2. Konsentrasi maksimal tetrasiklin dicapai dalam 3-4 jam.
3. Didalam darah obat berikatan dengan protein plasma sebesar:
doksisiklin 90%, minoksiklin 75%, oksitetrasiklin 35%.
4. Waktu paruh dari antibiotik golongan tetrasiklin berbeda-beda, yaitu
tetrasiklin: oksitetrasiklin: minosiklin: doksisiklin = 9 : 9 : 18 : 23 jam.
5. Antibiotik tetrasiklin berdifusi buruk pada cairan serebrospinal, kecuali
minosiklin.
6. Tetrasiklin diekskresi secara utuh melalui ginjal, sedangkan doksisiklin
dan minosiklin diekskresikan secara utuh melalui empedu dan tinja.
4) Farmakokinetik Aminoglikosida
1. Aminoglikosida mempunyai absorbsi yang buruk (kurang dari 1%)
pada pemberian peroral. Penggunaan aminoglikosida secara oral untuk
mendapatkan efek lokal pada saluran cerna. Absorbsi intramuskular
baik.
2. Waktu paruh antibiotik golongan aminoglikosida bervariasi pada
pemberian parenteral.
3. Pada pemberian parenteral aminoglikosida diekskresi melalui ginjal.
5) Farmakokinetik Makrolida
a. Eritromisin
1. Dirusak asam lambung sehingga diberikan dalam bentuk salut
enterik atau dalam bentuk ester stearat/suksinat.
2. Absorbsi eritromisin baik dan terjadi pada usus kecil, adanya
makanan akan mengganggu absorbsi eritromisin.
3. Eritromisin terditribusi baik ke berbagai cairan tubuh kecuali
pada otak dan cairan cerebrospinal.
4. Waktu paruh eritromisin 1,5 jam.
5. Ekskresi eritromisin sebagian besar melalui hati.
b. Azitromisin
1. Azitromisin diabsorbsi cepat dalam saluran cerna, namun
absorbsinya terganggu bila diberikan bersama makanan.
2. Azitromisin terdistribusi dengan baik pada jaringan dan sel
fagosit.
c. Spiramisin
1. Absorbsi spiramisin pada penggunaan oral tidak konstan.
2. Di dalam darah spiramisin berikatan dengan protein plasma
sebesar 30%.
3. Waktu paruh spiramisin 4-8 jam tergantung dari dosis.
d. Klindamisin
1. Pada penggunaan oral absorbsi klindamisin sampai 90%.
2. Waktu paruh klindamisin 3 jam.
3. Klindamisin terdistribusi baik ke cairan tubuh, jaringan dan
tulang kecuali CSS walaupun dalam kondisi meningitis.
4. Klindamisin dimetabolisme pada hati dan diekskresikan melalui
ginjal dan hati (Sujati, 2016).
B. Farmakodinamik Antibiotik
Farmakodinamik mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta
mekanisme kerjanya melalui interaksi antara obat dengan sel target
atau reseptor. Farmakodinamik antibiotik mempelajari hubungan antara
konsentrasi antibiotik di serum dan jaringan serta minimum inhibitory
concentration (MIC) pertumbuhan bakteri (Ross, 1996).
Berdasarkan sifat farmakodinamik dan konsentrasi penghambatan
minimal (MIC), antibiotik dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
time-dependent dan concentration-dependent. Pada antibiotik kelompok time-
dependent seperti β-laktam, glikopeptide, makrolide, klindamisin dengan
meningkatnya konsentrasi antibiotik hanya menunjukkan sedikit atau
tidak ada peningkatan efek terapi sedangkan antibiotik kelompok
concentration-dependent seperti aminoglikosida dan quinolon
menunjukkan peningkatan aktivitas seiring dengan peningkatan
konsentrasi. International Society for Anti-infective Pharmacology (ISAP)
membuat definisi parameter farmakokinetik (PK) dan farmakodinamik
(PD). Untuk kelompok time-dependent biasanya menggunakan parameter
farmakologi t > MIC yaitu persentase kumulatif waktu selama periode 24 jam
saat konsentrasi obat diatas MIC, sedangkan kelompok concentration-
dependent biasanya menggunakan parameter AUC/MIC (area dibawah
kurva konsentrasi-waktu selama 24 jam dibagi MIC) dan Cmax/MIC
(kadar konsentrasi puncak dibagi MIC) (Barger, 2003).
Antibiotik juga memiliki perbedaan sifat postantibiotic effect (PAE).
Pada umumnya, golongan concentration-dependent mempunyai PAE lebih lama
dibanding golongan time-dependent. Untuk antibiotik concentration-dependent
rasio Cmax/ MIC kurang lebih sepuluh dikaitkan dengan keberhasilan
klinis. Oleh karena itu, konsentrasi yang tinggi menjadi tujuan terapi. Hal ini
dapat dicapai melalui pemberian dosis tinggi sekali sehari. Antibiotik
concentration-independent akan lebih efektif jika durasi konsentrasi di serum
lebih tinggi dari MIC pathogen dengan interval dosis yang proporsional.
Pemberian dosis yang sering atau dengan infus kontinyu dapat
meningkatkan t > MIC. Optimalisasi pemberian regimen antibiotik berdasarkan
prinsip farmakodinamik dapat menurunkan terjadinya resistensi antibiotik
(Burgess, 1999).
Penelitian PK-PD terbaru diarahkan pada resistensi antibiotik oleh
organisme penghasil β-laktamase spektrum luas (ESBL-producing
organisms). Penelitian SENTRY Antimicrobial Surveillance Study tentang
nosokomial pneumonia di Amerika Utara terhadap 2700 pasien melaporkan
bahwa 45% kasus disebabkan basil gram negatif. Spesies tunggal tersering
adalah Pseudomonas aeruginosa dan famili terbanyak adalah
Enterobacteriaceae (20%) dan 50-80% diantaranya adalah penghasil
ESBL. Studi surveilens tersebut mengidentifikasi adanya penurunan
kepekaan Enterobacteriaceae dan peningkatan MIC untuk ceftazidim dan
ceftriakson ≥ 2 mg/L (Andes, 2005).
Demikian pula untuk antibiotik β-laktam, determinan atau prediktor
penting kemanjuran terapi adalah durasi konsentrasi di serum yang melampaui
MIC. Jadwal pemberian dosis untuk golongan ini harus mempertahankan
konsentrasi diatas MIC bagi bakteri pathogen paling tidak 50% dari interval
dosis demi tercapainya efikasi terapetik dan mencegah munculnya resistensi.
Hal ini merupakan kriteria dasar efikasi klinik untuk β-laktam (Auckenthaler,
2002).
Antibiotik golongan fluoroquinolon terdiri dari sejumlah obat yang
berbeda karakteristik farmakokinetik dan aktivitas farmakodinamiknya.
Aktivitas in vitro masing-masing obat bervariasi yang ditunjukkan oleh
MIC-nya. Parameter farmakologi Cmax/MIC dan AUC/MIC yang dikenal
sebagai area dibawah kurva penghambatan (AUIC) merupakan prediktor
eradikasi bakteri, efikasi
klinis, munculnya
substrain resisten dan
dampak ekonomis
(Paladino, 2003).
Pendekatan kill-curve dan MIC
Keberhasilan terapi antibiotik ditentukan oleh interaksi kompleks antara
obat, host dan mikroorganisme penyebab infeksi. Kompleksitas interaksi
tersebut dipengaruhi oleh besarnya variabilitas hubungan dosis-respons. Untuk
memperkecil variabilitas, karakteristik antibiotik, host dan agen penyebab
infeksi harus diperhitungkan sehingga diperoleh antibiotik dengan dosis
yang tepat. Saat ini pemilihan obat dan dosisnya terutama berdasarkan
parameter in vitro statis yaitu MIC dan konsentrasi obat dalam serum.
Kondisi statis tersebut ternyata tidak mencerminkan situasi di target
organ yang kondisinya dinamis. Konsentrasi obat dalam serum tidak
mencerminkan konsentrasi obat bebas di target organ (Muller, 2004).

Penelitian Lacy et al dengan model in vitro, time-kill curves menunjukkan efek


bakterisidal terhadap pneumococcus yang cepat dari ampisilin dosis 1000
mg IV setiap 6 jam (Cmax 25 μg/ml) dan levofloksasin 500 mg IV setiap 24 jam
(Cmax 6,4 μg/ml). Sedangkan dengan ciprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam
(Cmax 4,6 μg/ml) tampak pertumbuhan kembali bakteri setelah 24 jam.
Streptococcus pneumoniae merupakan salah satu bakteri utama penyebab
pneumonia di masyarakat yang sering menimbulkan problem resistensi
terhadap antibiotik (Lacy, 1999).
Penentuan dosis dan interval dosis antibiotik seharusnya berdasarkan PK-
PD yang dinamis. Saat ini ada dua model PK-PD; pertama berdasarkan MIC
(statis) dan kedua berdasarkan pendekatan kill-curve (dinamis). Pada model
MIC (statis), pengaturan dosis bertujuan untuk mencapai kadar dalam plasma
diatas MIC bagi pathogen itu. MIC merupakan kadar terendah yang
dapat menghambat secara menyeluruh pertumbuhan organisme yang muncul
setelah periode inkubasi 24 jam dengan standar inoculum 10 cfu/ml. Kadar
bakterisidal minimal (MBC) adalah kadar antibiotik terendah yang mampu
menghancurkan secara menyeluruh pathogen. Kelemahan model MIC adalah
mengabaikan faktor ikatan protein dan distribusi di jaringan. Ikatan protein
perlu diperhatikan karena hanya obat yang tidak terikat yang dapat memberikan
efek farmakologi. Demikian pula distribusi di jaringan karena sebagian
besar infeksi tidak terjadi di plasma tetapi di ruang interstisial di jaringan. Model
MIC juga tidak menerangkan tentang aktivitas tambahan antimikroba seperti efek
postantibiotik atau efek sub-MIC. Dengan demikian pendekatan MIC / statis tidak
mencerminkan skenario in vivo hal mana bakteri tidak terpapar dengan
kadar antibiotik yang konstan tetapi berubah-ubah. Kurva time-kill
menunjukkan pertumbuhan dan kematian mikroba sebagai fungsi waktu dan kadar
antibiotik. Kadar antibiotik dapat diatur sehingga mirip profil kadar in vivo di
plasma atau di tempat infeksi. Pengaturan ini melalui proses dilusi atau difusi.
Hasil kill-curves selanjutnya dianalisis dengan model PK-PD yang tepat untuk
menentukan dosis regimen secara rasional dan ilmiah (Muller, 2004).

3. Indikasi, Kontraindikasi, Dosis, dan Efek Samping Obat Antibiotik


a. Penisilin
Penisilin bersifat bakterisida dan bekerja dengan menghambat sintesis
dinding sel. Obat ini berdifusi dengan baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi
penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami
infeksi. Obat ini diekskresi ke urin dalam kadar terapetik. Efek samping penting
yang harus diwaspadai adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria dan
reaksi anafilaksis yang dapat menjadi fatal.
Reaksi alergi terhadap penisilin terjadi pada 1–10% individu yang terpapar;
reaksi anafilaksis terjadi pada kurang dari 0,05% pasien yang mendapat
penisilin. Pasien dengan riwayat alergi atopik (seperti asma, eksim, hay fever)
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami reaksi anafilaktik jika
mendapat penisilin. Individu dengan riwayat anafilaksis, urtikaria, atau ruam
yang langsung muncul setelah pemberian penisilin, memiliki risiko hipersensitif
yang segera langsung muncul setelah pemberian penisilin. Pasien yang demikian
ini tidak boleh diberi penisilin, sefalosporin atau antibiotik beta- laktam lainnya.
Pasien yang alergi terhadap suatu penisilin biasanya alergi terhadap semua
turunan penisilin karena hipersensitivitas berkait dengan struktur dasar penisilin.
Jika penisilin (atau antibiotik beta-laktam lain) sangat diperlukan oleh pasien
dengan reaksi hipersensitifitas yang langsung muncul segera setelah pemberian
penisilin, maka pemberian sebaiknya berdasarkan uji hipersensitivitas. Orang
yang memiliki riwayat ruam ringan (ruam yang terjadi pada bagian kecil dari
tubuh) atau ruam yang terjadi lebih dari 72 jam setelah pemberian penisilin
mungkin tidak alergi terhadap penisilin dan pada orang-orang ini, pemberian
penisilin dapat dilakukan terutama jika untuk mengatasi infeksi berat; namun,
kemungkinan terjadinya alergi juga sebaiknya tetap diwaspadai. Ensefalopati
akibat iritasi serebral merupakan efek samping yang sangat jarang, namun serius.
Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis yang berlebihan atau dosis
normal pada pasien gagal ginjal. Penisilin tidak boleh diberikan secara intratekal
karena cara ini dapat menimbulkan ensefalopati yang mungkin berakibat fatal.
b. Benzilpenisilin dan Fenoksimetilpenisilin
Benzilpenisilin (Penisilin G), masih merupakan antibiotik yang berguna
dan penting, namun diinaktivasi oleh bakteri beta-laktamase. Antibiotik ini
efektif untuk mengatasi infeksi streptokokus (termasuk pneumokokus), infeksi
meningokokus, antraks, difteri, gangren gas, leptospirosis dan
penyakit Lyme pada anak-anak. Sensitivitas pneumokokus, meningokokus, dan
gonokokus terhadap penisilin telah berkurang; sehingga dewasa ini
benzilpenisilin tidak lagi menjadi obat pilihan pertama untuk mengatasi
meningitis pneumokokus. Benzilpenisilin dirusak oleh penisilinase. Meskipun
benzilpenisilin efektif untuk tetanus, namun penggunaan metronidazol lebih
disukai. Benzilpenisilin dirusak oleh asam lambung dan absorpsinya rendah
dalam usus oleh sebab itu obat ini diberikan secara parenteral.
Fenoksimetilpenisilin (Penisilin V) memiliki spektrum antibakteri yang
sama dengan benzilpenisilin, tapi efektivitasnya lemah. Obat ini lebih tahan
terhadap asam lambung sehingga dapat diberikan per oral. Obat ini tidak boleh
digunakan untuk infeksi berat, karena absorpsinya tidak dapat diduga dan kadar
plasma bervariasi. Penisilin V terutama diindikasikan untuk infeksi saluran
napas pada anak-anak, untuk tonsilitis karena streptokokus, atau untuk terapi
lanjutan setelah satu atau beberapa kali suntikan benzilpenisilin bila respons
klinis mulai terlihat. Tidak dianjurkan untuk infeksi meningokokus atau
gonokokus. Fenoksimetilpenisilin dapat digunakan untuk profilaksis infeksi
streptokokus setelah demam rematik atau infeksi pneumokokus setelah
splenektomi atau pada sickle-cell disease.
c. Benzilpenisilin (Penisilin G)
1. Indikasi:
infeksi tenggorokan, otitis media, endokarditis, penyakit meningokokus,
pnemonia, selulitis, antraks, profilaksis amputasi pada lengan atau kaki.
2. Kontraindikasi:
hipersensitivitas (alergi) terhadap penisilin.
3. Efek Samping:
reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem, anafilaksis,
serum sickness-like reaction; jarang, toksisitas sistem saraf pusat termasuk
konvulsi (terutama pada dosis tinggi atau pada gangguan ginjal berat),
nefritis interstisial, anemia hemolitik, leukopenia, trombositopenia dan
gangguan pembekuan darah; juga dilaporkan diare (termasuk kolitis karena
antibiotik).
4. Dosis:
dewasa 1,2 g/hari; bayi di bawah 1 tahun, 300 mg/hari; anak 1-9 tahun 600
mg/hari; 10 tahun ke atas sama dengan dewasa. Pada pasien alergi penisilin,
sefotaksim dapat merupakan alternatif; kloramfenikol dapat digunakan bila
ada riwayat anafilaksis pada penisilin.Injeksi intratekal tidak
direkomendasikan.
d. Fenoksimetilpenisilin (Penisilin V)
1. Indikasi:
infeksi pada mulut, tonsilitis, otitis media, erysipelas, selulitis, demam
rematik,
2. Kontraindikasi:
hipersensitivitas (alergi) terhadap penisilin.
3. Efek Samping:
reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem, anafilaksis,
serum sickness-like reaction; jarang, toksisitas sistem saraf pusat termasuk
konvulsi (terutama pada dosis tinggi atau pada gangguan ginjal berat),
nefritis interstisial, anemia hemolitik, leukopenia, trombositopenia dan
gangguan pembekuan darah; juga dilaporkan diare (termasuk kolitis karena
antibiotik).
4. Dosis:
 Anak sampai 1 tahun 62,5 mg, tiap 6 jam dapat ditingkatkan hingga
12,5 mg/kg bb tiap 6 jam pada infeksi berat.
 Anak 1-5 tahun: 125 mg, tiap 6 jam dapat ditingkatkan hingga 12,5
mg/kg bb tiap 6 jam pada infeksi berat.
 Anak 6-12 tahun: 250 mg tiap 6 jam dapat ditingkatkan hingga 12,5
mg/kg bb tiap 6 jam pada infeksi berat.
 Dewasa diatas 12 tahun 125-500 mg setiap 6-8 jam

e. Penisilin Tahan Penisilinase


Sebagian besar stafilokokus telah resisten terhadap benzilpenisilin karena
kuman ini memproduksi penisilinase. Namun, flukloksasilin tidak diinaktivasi
oleh penisilinase sehingga efektif untuk strain kuman tersebut. Flukloksasilin
juga tahan terhadap asam lambung sehingga selain bentuk injeksi, juga dapat
diberikan per oral. Flukloksasilin diabsorpsi dengan baik dalam saluran cerna.
Namun perlu dilakukan perhatian khusus tehadap gangguan fungsi hati.
1) Flukloksasilin
a. Indikasi:
infeksi karena stafilokokus penghasil penisilinase, termasuk otitis
eksterna; terapi tambahan pada pneumonia, impetigo, selulitis,
endokarditis .
b. Kontraindikasi:
hipersensitivitas (alergi) terhadap penisilin.
c. Efek Samping:
reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem,
anafilaksis, serum sickness-like reaction; jarang, toksisitas sistem
saraf pusat termasuk konvulsi (terutama pada dosis tinggi atau pada
gangguan ginjal berat), nefritis interstisial, anemia hemolitik,
leukopenia, trombositopenia dan gangguan pembekuan darah; juga
dilaporkan diare (termasuk kolitis karena antibiotik), gangguan
saluran cerna; sangat jarang, hepatitis dan kolestatik jaundice.
d. Dosis:
Dewasa 250-500 mg tiap 6 jam diberikan sekurang-kurangnya 30
menit sebelum makan; Anak di bawah 2 tahun, 1/4 dosis dewasa; 2–
10 tahun, 1/2 dosis dewasa

2) Kloksasilin
a. Indikasi:
infeksi karena stafilokokus yang memproduksi penisilinase.
b. Kontraindikasi:
hipersensitivitas (alergi) terhadap penisilin.
c. Efek Samping:
reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem,
anafilaksis, serum sickness-like reaction; jarang, toksisitas sistem
saraf pusat termasuk konvulsi (terutama pada dosis tinggi atau pada
gangguan ginjal berat), nefritis interstisial, anemia hemolitik,
leukopenia, trombositopenia dan gangguan pembekuan darah; juga
dilaporkan diare (termasuk kolitis karena antibiotik).
d. Dosis:
oral: 500 mg tiap 6 jam, diberikan 30 menit sebelum makan. Anak
kurang dari 2 tahun: 1/4 dosis dewasa. Anak 2-10 tahun 1/2 dosis
dewasa.

f. Penisilin Spektrum Luas


Ampisilin aktif terhadap organisme Gram positif dan Gram negatif
tertentu, tapi diinaktivasi oleh penisilinase, termasuk yang dihasilkan
oleh Staphylococcus aureus dan basilus Gram negatif yang umum
seperti Escherichia coli. Hampir semua stafilokokus, 50% strain Escherichia
coli dan 15% strain Hemophilus influenzae, resisten terhadap ampisilin. Oleh
karena itu, kemungkinan resistensi sebaiknya dipertimbangkan sebelum
menggunakan ampisilin sebagai terapi infeksi tanpa penetapan diagnosa. Di
rumah sakit, obat ini tidak boleh digunakan tanpa adanya hasil uji sensitivitas.
Co amoksiklav terdiri dari amoksisilin dan asam klavulanat (penghambat
beta-laktamase) yang tersedia dalam bentuk kombinasi tetap. Asam klavulanat
sendiri hampir tidak memiliki efek antibakteri. Tapi dengan menginaktifkan
penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang
resisten terhadap amoksisilin. Termasuk strain Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, dan Hemophilus influenzae, serta
juga Bacteroides dan Klebsiella spp. Co- amoksiklav hanya diberikan
(dicadangkan) pada infeksi yang diduga diketahui atau diketahui disebabkan
oleh strain yang menghasilkan beta-laktamase yang resisten terhadap
amoksisilin.
1) Ampisilin
a. Indikasi:
infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, infeksi pada mulut
(lihat keterangan di atas), bronkitis, uncomplicated community-
acquired pneumonia, infeksi Haemophillus influenza, salmonellosis
invasif; listerial meningitis.
b. Kontraindikasi:
hipersensitivitas (alergi) terhadap penisilin.
c. Efek Samping:
mual, muntah, diare; ruam (hentikan penggunaan), jarang terjadi
kolitis karena antibiotik; sama seperti Benzilpenisilin
d. Dosis:
oral: dewasa 0,25-1 gram tiap 6 jam, diberikan 30 menit sebelum
makan. Anak di bawah 10 tahun, ½ dosis dewasa.

2) Amoksisilin
a. Indikasi:
infeksi tenggorokan, otitis media, endokarditis, penyakit
meningokokus, pnemonia, selulitis, antraks, profilaksis amputasi
pada lengan atau kaki; terapi tambahan pada listerial meningitis
b. Kontraindikasi:
hipersensitivitas (alergi) terhadap penisilin.
c. Efek Samping:
reaksi alergi berupa urtikaria, demam, nyeri sendi, angioudem,
anafilaksis, serum sickness-like reaction; jarang, toksisitas sistem
saraf pusat termasuk konvulsi (terutama pada dosis tinggi atau pada
gangguan ginjal berat), nefritis interstisial, anemia hemolitik,
leukopenia, trombositopenia dan gangguan pembekuan darah; juga
dilaporkan diare (termasuk kolitis karena antibiotik).
d. Dosis:
oral: 250 mg tiap 8 jam, dosis digandakan pada infeksi berat; Anak
hingga 10 tahun: 125 - 250 mg tiap 8 jam, dosis digandakan pada
infeksi berat. Dosis dewasa sesuai diagnose infeksi.

3) Co Amoksiklav (Amoksisilin-Asam Klavulanat)


a. Indikasi:
infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, infeksi pada mulut
(lihat keterangan di atas), bronkitis, uncomplicated community-
acquired pneumonia, infeksi Haemophillus influenza, salmonellosis
invasif; listerial meningitis.
b. Kontraindikasi:
hipersensitifitas pada penisilin, riwayat jaundice karena co
amoksiklav atau jaundice karena penisilin atau disfungsi hati.
c. Efek Samping:
Sama seperti ampisilin; hepatitis, kolestatik jaundice (lihat di atas);
sindrom Steven-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, dermatitis
exfoliatif, vaskulitis; memperpanjang waktu perdarahan, pusing,
sakit kepala, konvulsi (terutama pada dosis tinggi atau pada
gangguan ginjal); pewarnaan permukaan gigi dengan penggunaan
suspensi, flebitis pada tempat injeksi. Hati-hati pada pasien
gangguan fungsi hati, hepatitis, ikterus kolestatik, termasuk
kehamilan.
d. Dosis:
Oral, dinyatakan sebagai amoksisilin, 250 mg setiap 8 jam, dosis
digandakan pada infeksi berat; Anak di bawah 6 tahun 125 mg; 6-12
tahun, 250 mg atau untuk terapi jangka pendek dengan dosis dua
kali sehari.
e. Keterangan:
Campuran dari amoksisilin (dalam bentuk trihidrat atau garam
natrium) dan asam klavulanat (sebagai kalium klavulanat).
g. Sefalosporin dan Antibiotik Beta-laktam Lainnya
Antibiotik dalam bab ini termasuk sefalosporin seperti sefotaksim, seftazidim,
sefuroksim, sefaleksin, dan sefradin, golongan monobaktam, aztreonam dan
golongan karbapenem, imipenem (turunan tienamisin) dan meropenem.
Sefalosporin merupakan antibiotik spektrum luas yang digunakan untuk terapi
septikemia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran empedu, peritonitis, dan
infeksi saluran urin. Aktivitas farmakologi dari sefalosporin sama dengan
penisilin, diekskresi sebagian besar melalui ginjal. Kemampuan sefalosporin
melintas sawar otak sangat rendah kecuali pada kondisi inflamasi; sefotaksim
merupakan sefalosporin yang baik untuk infeksi sistem saraf pusat (misalnya
meningitis). Efek samping utama dari sefalosporin adalah hipersensitifitas dan
sekitar 10% dari pasien sensitif terhadap penisilin juga akan alergi terhadap
sefalosporin.
1) Sefadroksil
a. Indikasi:
infeksi bakteri gram positif dan gram negatif, lihat keterangan di
atas.
b. Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap sefalosporin. sensitivitas terhadap
antibakteri beta-laktam (hindari jika ada riwayat hipersensitivitas),
gangguan ginjal, kehamilan dan menyusui (tetapi boleh digunakan).
c. Efek Samping:
diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduany a karena
penggunaan dosis tinggi), mual dan muntah, rasa tidak enak pada
saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus,
urtikaria, serum sickness-like reactions dengan ruam, demam dan
artralgia, anafilaksis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis
epidermal toksis, gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan
kolestatik jaundice; eosinofil, gangguan darah (trombositopenia,
leukopenia, agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik);
nefritis interstisial reversibel, gangguan tidur, hiperaktivitas,
bingung, hipertonia dan pusing, nervous.
d. Dosis:
Anak kurang dari 1 tahun: 25 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi.
Anak 1-6 tahun: 250 mg dua kali sehari. dewasa: 500 mg dua kali
sehari.

2) Sefaklor
a. Indikasi:
infeksi bakteri gram positif dan gram negatif, lihat keterangan di
atas.
b. Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap sefalosporin. sensitivitas terhadap
antibakteri beta-laktam (hindari jika ada riwayat hipersensitivitas),
gangguan ginjal, kehamilan dan menyusui (tetapi boleh digunakan.
c. Efek Samping:
diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduany a karena
penggunaan dosis tinggi), mual dan muntah, rasa tidak enak pada
saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus,
urtikaria, serum sickness-like reactions dengan ruam, demam dan
artralgia, anafilaksis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis
epidermal toksis, gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan
kolestatik jaundice; eosinofil, gangguan darah (trombositopenia,
leukopenia, agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik);
nefritis interstisial reversibel, gangguan tidur, hiperaktivitas,
bingung, hipertonia dan pusing, nervous.
d. Dosis:
250 mg tiap 8 jam, untuk infeksi berat dosis dapat dinaikkan dua
kali lipat, maksimum 4 g per hari; Anak di atas 1 bulan: 20 mg/kg
bb/hari dalam tiga dosis terbagi, untuk infeksi berat dosis dapat
dinaikkan dua kali lipat,. Anak berusia 1-5 tahun: 125 mg. Di atas 5
tahun: 250 mg. Untuk infeksi berat dosis dapat dinaikkan dua kali
lipat.
h. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang kegunaannya sudah
menurun karena meningkatnya resistensi bakteri. Namun obat ini tetap
merupakan pilihan untuk infeksi yang disebabkan oleh klamidia (trakoma,
psitakosis, salpingitis, uretritis dan limfogranuloma venereum), riketsia
(termasuk Q-fever), brusela (doksisiklin dengan streptomisin atau rifampisin)
dan spiroketa, Borellia burgdorferi (Lyme disease). Tetrasiklin juga digunakan
pada infeksi saluran pernafasan dan mikoplasma genital,
akne, destructive (refractory) periodontal disease, eksaserbasi bronkitis kronis
(karena aktivitasnya terhadap Hemophilus influenzae), dan untuk leptospirosis
pada pasien yang hipersensitif terhadap penisilin (sebagai alternatif dari
eritromisin).
a. Indikasi:
eksaserbasi bronkitis kronis, bruselosis klamidia, mikoplasma dan
riketsia, efusi pleura karena keganasan atau sirosis, akne vulgaris.
b. Peringatan:
gangguan fungsi hati (hindari pemberian secara intravena), gangguan
fungsi ginjal, kadang-kadang menimbulkan fotosensitivitas.
c. Efek Samping:
mual, muntah, diare, eritema (hentikan pengobatan), sakit kepala dan
gangguan penglihatan dapat merupakan petunjuk peningkatan tekanan
intrakranial, hepatotoksisitas, pankreatitis dan kolitis.
d. Dosis:
oral: 250 mg tiap 6 jam. Pada infeksi berat dapat ditingkatkan sampai
500 mg tiap 6-8 jam.Sifilis primer, sekunder dan laten: 500 mg tiap 6-8
jam selama 15 hari.Uretritis non gonokokus: 500 mg tiap 6 jam selama
7-14 hari (21 hari bila pengobatan pertama gagal atau bila kambuh).
e. Catatan:
tablet atau kapsul harus ditelan bersama air yang cukup, dalam posisi
duduk atau berdiri. Injeksi intravena: 500 mg tiap 12 jam; maksimum 2
g per hari. Untuk efusi pleura: infus intrapleural 500 mg dalam 30-50 mL
NaCl fisiologis.
i. Aminoglikosida
Golongan ini meliputi amikasin, gentamisin, neomisin, netilmisin, streptomisin
dan tobramisin. Semua aminoglikosida bersifat bakterisidal dan terutama aktif
terhadap kuman bakteri gram negatif. Amikasin, gentamisin dan tobramisin
juga aktif terhadap Pseudomonas aeruginosa. Streptomisin aktif
terhadap Mycobacterium tuberculosis dan penggunaan-nya sekarang sebagai
cadangan untuk tuberkulosis.
1) Gentamisin
a. Indikasi:
septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi SSP
lainnya, infeksi bilier, pielonefritis dan prostatitis akut, endokarditis
karena Streptococcus viridans atau Streptococcus faecalis (bersama
penisilin), pneumonia nosokomial, terapi tambahan pada meningitis
karena listeria.
b. Peringatan:
gangguan fungsi ginjal, bayi dan lansia (sesuaikan dosis, awasi
fungsi ginjal, pendengaran dan vestibuler dan periksa kadar plasma);
hindari penggunaan jangka panjang.
c. Kontraindikasi:
kehamilan, miastenia gravis.
d. Efek Samping:
gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas,
hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang, kolitis karena
antibiotik.
e. Dosis:
injeksi intramuskuler, intravena lambat atau infus, 2-5 mg/kg bb/hari
(dalam dosis terbagi tiap 8 jam). ANAK di bawah 2 minggu, 3
mg/kg bb tiap 12 jam; 2 minggu sampai 2 tahun, 2 mg/kg bb tiap 8
jam. Injeksi intratekal: 1 mg/hari, dapat dinaikkan sampai 5 mg/hari
disertai pemberian intramuskuler 2-4 mg/kg bb/hari dalam dosis
terbagi tiap 8 jam. Dewasa 120 mg/hari. Untuk ANAK di bawah 5
tahun 2 mg/kg bb.
f. Keterangan:
Kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 10 mg/liter dan kadar
lembah (trough) tidak boleh lebih dari 2 mg/liter.
2) Kanamisin
a. Indikasi:
septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi SSP
lainnya, infeksi bilier, pielonefritis dan prostatitis akut, endokarditis
karena Streptococcus viridans atau Streptococcus faecalis (bersama
penisilin), pneumonia nosokomial, terapi tambahan pada meningitis
karena listeria.
b. Peringatan:
gangguan fungsi ginjal, bayi dan lansia (sesuaikan dosis, awasi
fungsi ginjal, pendengaran dan vestibuler dan periksa kadar plasma);
hindari penggunaan jangka panjang.
c. Kontraindikasi:
kehamilan, miastenia gravis.
d. Efek Samping:
gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas,
hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang, kolitis karena
antibiotik.
e. Dosis:
injeksi intramuskuler, 250 mg tiap 6 jam atau 500 mg tiap 12 jam.
Injeksi intravena: 15-30 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi tiap 8-12
jam.
f. Keterangan:
kadar puncak tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan kadar lembah
tidak boleh lebih dari 10 mg/liter.
j. Makrolida
1) Eritromisin
a. Indikasi:
sebagai alternatif untuk pasien yang alergi penisilin untuk
pengobatan enteritis kampilobakter, pneumonia,
penyakit Legionaire, sifilis, uretritis non gonokokus, prostatitis
kronik, akne vulgaris, dan profilaksis difetri dan pertusis.
b. Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati dan porfiria ginjal, perpanjangan interval QT
(pernah dilaporkan takikardi ventrikuler); porfiria; kehamilan (tidak
diketahui efek buruknya) dan menyusui (sejumlah kecil masuk ke
ASI).
c. Efek Samping:
mual, muntah, nyeri perut, diare; urtikaria, ruam dan reaksi alergi
lainnya; gangguan pendengaran yang reversibel pernah dilaporkan
setelah pemberian dosis besar; ikterus kolestatik dan gangguan
jantung (aritmia dan nyeri dada).
d. Dosis:
oral: dewasa dan anak di atas 8 tahun, 250-500 mg tiap 6 jam atau
0,5-1 g tiap 12 jam pada infeksi berat dapat dinaikkan sampai 4
g/hari. Anak sampai 2 tahun, 125 mg tiap 6 jam; 2-8 tahun 250 mg
tiap 6 jam.
2) Levofloksasin
a. Indikasi:
infeksi sinusitis maksilaris akut, eksaserbasi bakterial akut pada
bronkitis kronik, pneumonia komunitas (community-acquired
pneumonia), uncomplicated skin dan skin structure infections, infeksi
saluran kemih kompleks (complicated urinary tract infection), dan
pielonefritis akut karena mikroorganisme yang sensitif.
b. Peringatan:
kejang, psikosis toksik, peningkatan tekanan intrakranial, stimulasi
sistem saraf pusat, hipersensitifitas, reaksi anafilaksis, kolitis
pseudomembran, kolitis terkait dengan antibiotik, ruptur tendon,
hidrasi yang adekuat harus dipertahankan, insufisiensi ginjal, reaksi
fototoksisitas sedang hingga berat, diketahui atau dicurigai gangguan
sistem saraf pusat, gangguan glukosa darah, diabetes.
c. Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap levofloksasin dan antimikroba golongan
kuinolon, epilepsi, riwayat gangguan tendon terkait pemberian
florokuinolon, anak atau remaja, kehamilan, menyusui.
d. Efek Samping:
diare, mual, vaginitis, flatulens, pruritis, ruam, nyeri
abdomen, genital moniliasis, pusing, dispepsia, insomnia, gangguan
pengecapan, muntah, anoreksia, ansietas, konstipasi, edema, lelah,
sakit kepala, palpitasi, parestesia, sindrom Stevens-Johnson,
vasodilatasi tendon rupture.
e. Dosis:
oral dan parenteral, 250 mg –750 mg sekali sehari selama 7-14 hari,
tergantung pada jenis dan keparahan penyakit serta sensisitifitas
patogen yang dianggap penyebab penyakit.

3) Moksifloksasin
a. Indikasi:
eksaserbasi akut bronkitis kronik; pneumonia dari lingkungan
(community-acquired pneumonia); sinusitis bakterial akut yang
didiagnosis dengan baik, infeksi kulit complicated atau infeksi
struktur kulit yang memerlukan terapi inisial parenteral dan
dilanjutkan dengan oral.
b. Peringatan:
aritmia dengan kondisi pre-disposisi aritmia, termasuk iskemia otot
jantung; hati-hati pada pengendara kendaraan bermotor, karena dapat
menurunkan kewaspadaan.
c. Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati berat; memiliki riwayat perpanjangan interval
QT, bradikardia, memiliki riwayat aritmia simtomatik, gagal jantung
dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikular kiri, gangguan elektrolit,
pemberian bersama dengan obat yang diketahui dapat
memperpanjang interval QT.
d. Efek Samping:
mulut kering, stomatitis, glossitis, flatulens, konstipasi, aritmia,
palpitasi, udem perifer, angina, perubahan tekanan darah, dyspnoea,
ansietas, dan berkeringat; jarang: hipotensi, hi- perlipidemia, agitasi,
mimpi yang tidak normal, inkordinasi, hiperglikemia dan kulit
kering.
e. Dosis:
400 mg sekali sehari selama 10 hari untuk pneumonia yang didapat
dari lingkungan, 5-10 hari untuk eksaserbasi (akut) dari bronkitis
kronik, 7 hari untuk sinusitis.
k. Sulfonamid dan Trimetoprim
Penggunaan sulfonamid semakin berkurang dengan semakin banyaknya
kuman yang resisten, dan digeser oleh antibiotik yang umumnya lebih efektif
dan kurang toksik.
Sulfametoksazol dan trimetoprim digunakan dalam bentuk kombinasi (ko-
trimoksazol) karena sifat sinergistiknya. Namun, kotrimoksasol dapat
menyebabkan efek samping yang serius, walaupun jarang terjadi
(sindrom Stevens Johnson dan diskrasia darah, seperti penekanan sumsum
tulang dan agranulositosis) terutama pada lansia. Kotrimoksazol sebaiknya
dihindari diberikan pada bayi usia kurang dari 6 minggu (kecuali untuk
pengobatan dan profilaksis pneumosistis pneumonia) karena ada risiko
kernikterus. Ada risiko anemia hemolitik jika digunakan pada anak dewasa
defisiensi G6PD. Kotrimoksazol sebaiknya dibatasi penggunaannya sebagai
pilihan utama untuk pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis carinii
(Pneumocystis jiroveci). Obat ini juga diindikasikan untuk toksoplasmosis dan
nokardiasis. Saat ini penggunaannya hanya dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi eksaserbasi akut dari bronkitis kronis dan infeksi saluran kemih jika
ada bukti hasil uji sensitivitas bakteri terhadap kotrimoksazol dan alasan kuat
untuk menggunakan kombinasi ini daripada antibakteri lain secara tunggal.
Penggunaan obat ini untuk mengatasi otitis media akut pada anak hanya
dianjurkan jika ada alasan kuat.
1) Sulfasalazin
a. Indikasi:
untuk pengobatan kolitis ulseratif yang ringan sampai sedang dan
sebagai terapi penunjang pada kolitis ulseratif berat.
b. Kontraindikasi:
hipersensitif terhadap sulfonamid dan salisilat; anak usia di bawah 2
tahun; obstruksi saluran kemih dan saluran cerna; penderita porfiria
(dapat menyebabkan pengendapan dari golongan sulfonamid);
menyusui.
c. Efek Samping:
pusing, mual, muntah, demam, timbul hipersensitif, agranulositosis,
diskrasia darah.
d. Dosis:
Dewasa, oral, 1-2 gram 4 kali sehari; Anak, oral, dosis awal: 40-60
mg /kg bb per hari dalam dosis terbagi.
2) Trimetoprim
a. Indikasi:
infeksi saluran kemih, bronkitis akut dan kronis.
b. Kontraindikasi:
gangguan fungsi ginjal berat, wanita hamil, neonatus dan diskrasia
darah.
c. Efek Samping:
gangguan saluran cerna, mual dan muntah, ruam, pruritus, eritema
multiforme (jarang-jarang), nekrolisis epidermal toksik, gangguan
hematopoesis, meningitis aseptik.
d. Dosis:
Dewasa infeksi akut, 200 mg tiap 12 jam. Anak dua kali sehari: 2-5
bulan, 25 mg; 6 bulan-5 tahun, 50 mg; 6-12 tahun, 100 mg.

4. Obat yang Sesuai dengan Skenario dan pada Ibu Hamil pada Umumnya (Bidang
Kedokteran Gigi dan Dikaitkan dengan Sistemik dan Anak-anak)
A. Antibiotik Bagi Ibu Hamil
Antibiotika banyak digunakan secara luas pada kehamilan. Karena adanya
efek samping yang potensial bagi ibu maupun janinnya, penggunaan antibiotika
seharusnya digunakan ketika terdapat indikasi yang jelas. Prinsip utama
pengobatan wanita hamil dengan penyakit adalah dengan memikirkan pengobatan
apakah yang tepat jika wanita tersebut tidak dalam keadaan hamil. Biasanya
terdapat berbagai macam pilihan, dan untuk alasan inilah prinsip yang kedua
adalah mengevaluasi keamanan obat bagi ibu dan janinnya.
Kesalahan dalam pemilihan antibiotic pada ibu hamil menyebabkan infeksi.
Infeksi merupakan penyebab utama kematian prematur pada bayi. Meskipun
terapi profilaksis antibiotik belum terbukti bermanfaat, pemberian obat-obat
antibiotik kepada ibu hamil dengan ketuban pecah dini dapat memperlambat
kelahiran dan menurunkan insidens infeksi (Lamont dkk, 2001).
Umumnya yang digunakan adalah penisilin dan sefalosporin, mereka
dianggap sebagai pilihan pertama pada kehamilan, karena pemberian sebagian
besar antibiotik lainnya berkaitan dengan peningkatan risiko malformasi pada
janin. Bagi beberapa obat antibiotik, seperti eritromisin, risiko tersebut rendah
dan kadang-kadang setiap risiko pada janin harus dipertimbangkan terhadap
keseriusan infeksi pada ibu (Lamont dkk, 2001).
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal ini
terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat
mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui plasenta. Antibiotika yang
demikian itu disebut teratogen. Definisi teratogen adalah suatu obat atau zat yang
menyebabkan pertumbuhan janin yang abnormal. Besarnya reaksi toksik atau
kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika dipengaruhi oleh besarnya dosis yang
diberikan, lama dan saat pemberian serta sifat genetik ibu dan janin (Repke,
2002).
Perubahan fisiologis pada ibu yang terjadi selama kehamilan bisa
mempengaruhi konsentrasi antibiotika dalam serum, sehingga bisa mempengaruhi
efek obat. Perubahan-perubahan itu adalah:
1. Kehamilan bisa merubah absorpsi obat yang diberikan peroral
2. Kehamilan bisa merubah distribusi obat yang disebabkan karena peningkatan
distribusi volume (intravaskuler, interstisial dan di dalam tubuh janin) serta
peningkatan cardiac output

3. Kehamilan merubah interaksi obat-reseptor karena timbul dan tumbuhnya


reseptor obat yang baru di plasenta dan janin

4. Kehamilan dapat merubah ekskresi obat melalui peningkatan aliran darah


ginjal dan filtrasi glomerulus

Setelah absorpsi obat sampai proses pengeluarannya dari dalam tubuh,


terdapat sejumlah proses biologis yang bias mempengaruhi efek obat. Kehamilan
tidak mempengaruhi semua proses tersebut. Sebagian besar obat mempunyai berat
molekul yang rendah dibawah 250 dapat berdifusi bebas. Dan hanya yang
mempunyai berat molekul dibawah 600 yang bisa melewati plasenta (Jawet, 1998).
1. Penisilin
Penisilin adalah antibiotika yang termasuk paling banyak dan paling luas
dipakai. Obat ini merupakan senyawa asam organik, terdiri dari satu inti siklik
dengan satu rantai samping. Inti sikliknya terdiri dari cincin tiazolidin dan
cincin betalaktam. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang dapat
mengikat berbagai jenis radikal (Briggs G dkk, 1998).

Mekanisme kerjanya dengan menghambat pembentukan dinding sel


mikroba yaitu dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang
diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba (Yankowitz, 2001; Tait, 2004).
Mikroba yang memproduksi enzim betalaktamase resisten terhadap beberapa
penisilin karena enzim tersebut akan merusak cincin betalaktam dan akhirnya
obat menjadi tidak aktif (Jawet dkk, 1998).
Setelah pemberian parenteral, absorpsi penisilin terjadi cepat dan komplit.
Pada pemberian peroral hanya sebagian obat yang diabsorpsi tergantung
dengan stabilitas asam, ikatan dengan makanan dan adanya buffer. Untuk
mengatasi hal itu pemberian peroral sebaiknya dilakukan 1 jam sebelum
makan. Penisilin mempunyai batas keamanan yang lebar. Pemberian obat ini
selama masa kehamilan tidak menimbulkan reaksi toksik baik pada ibu
maupun janin, kecuali reaksi alergi atau hipersensitivitas. Selain itu obat ini
perlu diwaspadai bagi yang memiliki riwayat kejang dan gagal ginjal (Jawet
dkk, 1998).
Pemberian pada wanita hamil diharuskan untuk golongan penisilin dengan
ikatan protein yang tinggi, misal oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin dan
nafsilin karena akan menghasilkan kadar obat di dalam cairan amnion dan
jaringan di dalam tubuh janin yang lebih rendah dibandingkan bila yang
diberikan adalah golongan penisilin dengan ikatan protein yang rendah seperti
ampisilin dan metisilin (Jawet dkk, 1998).
2. Eritromisin
Eritromisin termasuk antibiotika golongan makrolid yang sama-sama
mempunyai cincin lakton yang besar dalam rimus molekulnya (Pedler, 2000).

Gambar 4. Struktur kimia eritromisin

Antibiotika ini tidak stabil dalam suasana asam, kurang stabil pada suhu
kamar, tetapi cukup stabil pada suhu rendah. Eritromisin merupakan alternatif
pilihan setelah penisilin dalam pengobatan terhadap gonore dan sifilis dalam
kehamilan. Mungkin merupakan satu-satunya pilihan yang realistik jika ibu
memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap penisilin. Diantara berbagai bentuk
eritromisin yang diberikan peroral, bentuk estolat diabsorpsi paling baik, tetapi
sediaan ini sekarang tidak lagi beredar di Indonesia karena hepatotoksik (Jawet
dkk, 1998;Cunningham, 2001).
3. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin adalah antiseptik saluran kemih derivat furan. Obat ini biasa
digunakan untuk infeksi saluran kemih baik pada wanita hamil ataupun tidak
hamil. Nitrofurantoin bisa menyebabkan hemolisis, anemia dan
hiperbilirubinemia pada bayi yang menderita defisiensi enzim G6PD yang
dilahirkan dari ibu yang mendapat terapi obat ini. Selain potensi tersebut tidak
ada efek teratogenik lain yang dilaporkan (Yankowitz, 2001).

Gambar 9. Struktur kimia nitrofurantoin


4. Klindamisin
Klindamisin merupakan derivat linkomisin, tetapi mempunyai sifat yang
lebih baik. Klindamisin lebih aktif, lebih sedikit efek sampingnya serta pada
pemberian peroral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dalam lambung
(Briggs G, 1998).
Obat ini umumnya digunakan pada infeksi postpartum, tidak biasa
digunakan dalam kehamilan. Walaupun obat ini melintas plasenta dengan cepat
dan mencapai kadar terapeutik yang adekuat pada janin, tetapi tidak dilaporkan
adanya efek teratogenik yang terjadi (Briggs G, 1998).
Semua antibiotika yang beredar dalam darah wanita hamil dapat melintasi
plasenta untuk kemudian beredar di dalam darah janin. Kecepatan melintasi
plasenta dan kadar obat di dalam tubuh janin tergantung pada sifat fisiko-kimia
obat dan keadaan fisiologis ibu dan janin.
Kategori obat antibiotik yang aman bagi ibu hamil menurut FDA:
A : antibiotik aman untuk janin.
B : antibiotik cukup aman bagi janin.
C : antibiotik yang aman bagi janin, namun dapat terjadi resiko bagi janin.
Maksudnya memiliki manfaat yang lebih besar daripada resikonya.
D : antibiotik yang digunakan ketika keadaan darurat dan dapat terjadi resiko
pada janin.
X : antibiotik yang tidak pernah lagi digunakan karena berbahaya bagi janin
dan ibu.
(Pedler, 2000).
B. Antibiotik Bagi Anak-Anak
Dalam memilih antibiotik untuk pasien anak, diperlukan pemahaman
farmakologi obat yang akan dipergunakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pemakaian antibiotik adalah dosis, cara pemakaian, cara pemberian dan indikasi
pengobatan awal (pengobatan empiris), pengobatan definitif (berdasarkan hasil
biakan), atau untuk pencegahan (profilaksis). Terdapat beberapa dasar perbedaan
anak dengan orang dewasa pada penggunaan antibiotik (Suryawati, 2008).
Antimikroba untuk pengobatan penyakit infeksi pada pasien anak dapat
diklasifikasikan dalam empat golongan, yaitu Penisilin dengan derivatnya,
Cefalosporin, dan antibiotik lain termasuk, Makrolid (Eritromisin dengan
derivatnya), Kotrimoksazol, Metronidazol. Golongan Penisilin sangat luas
dipergunakan dalam bidang pediatri untuk berbagai derajat infeksi. Untuk
pengobatan infeksi berat pada umumnya dipergunakan golongan Penisilin sebagai
monoterapi atau kombinasi. Penggunaan antibiotika yang sembarangan atau tidak
tepat penakarannya selain dapat mengagalkan terapi juga dapat menimbulkan
bahaya-bahaya lain misalnya: resistensi dan supra infeksi (Suryawati, 2008).
Pada pasien neonatus dan anak-anak, antibiotik seperti kloramfenikol,
sulfonamid, dan aminoglikosida sebaiknya tidak diberikan karena dapat
menimbulkan efek samping dan toksisitas. Sulfonamid dapat menimbulkan
kernikterus pada anak, kloramfenikol menyebabkan terjadinya grey syndrome
(sindrom abu-abu), sedangkan aminoglikosida seperti gentamisin dapat
menyebabkan gangguan filtrasi glomerulus ginjal (Suardi, 2014).

Antibiotic yang sering digunakan untuk anak-anak yaitu:


1. Fenoksimetil Penisilin (Penisilin V)
Memiliki spektrum antibakteri yang sama dengan Bensil Penisilin, tetapi
efektivitasnya lemah. Obat ini lebih tahan terhadap asam lambung sehingga
dapat diberikan per oral. Obat ini tidak dianjurkan untuk infeksi berat, karena
absorbsi dan kadar plasma dapat bervariasi. Penisilin V terutama
diindikasikan untuk injeksi saluran pernafasan pada anak – anak untuk
Tonsilitis karena Streptokokus, penyakit mulut, meningitis, phenumonia,
kebanyakan untuk bakteri gram positif (Suryawati, 2008).
2. Eritromisin
Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir sama dengan
Penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif Penisilin. Indikasi
Eritromisin mencangkup infeksi saluran nafas, pertusis, penyakit legionnaire
dan enteritis karena kompilobakter, bakteri gram positif. Eritromisin
menyebabkan mual, muntah, dan diare (Suryawati, 2008).
Dosis terapi eritromisin anak dengan berat badan sampai 20 kg adalah 30
– 50 mg/kg berat badan perhari dibagi dalam jumlah yang sama tiap 6 jam
sedangkan dosis anak dengan berat badan sampai 20 kg adalah 1 – 2 g sehari
dibagi dalam jumlah yang sama tiap 6 jam. Dosis terapi sirup kering adalah
anak dengan berat badan > 25 kg adalah 1½ cth, untuk anak dengan berat
badan 10 - 25 kg adalah 1 cth, anak dengan berat badan 10 - 5 kg adalah ½ cth
dan untuk anak dengan berat badan < 5 kg adalah ¼ cth, diberikan dalam 4
kali sehari (Suryawati, 2008).
3. Ampisilin
Aktif terhadap beberapa jenis kuman Gram positif dan Gram negatif, tetapi
dirusak oleh penisilinase, termasuk yang dihasilkan oleh S. aureusdan
sebagian kuman negatif seperti E. coli. Ampisilin diekskresi ke dalam empedu
dan urin. Obat ini terutama diindikasikan untuk pengobatan bronkhitis kronis,
dan otitis media, yang biasanya disebabkan oleh Streptokokuspneumonia dan
H. influenza, selain itu juga dapat digunakan untuk indikasi infeksi odontogen.
Ampisilin diberikan secara per oral, tapi yang diabsorbsi tidak lebih dari
separuhnya. Absorbsi lebih rendah lagi bila ada makanan dalam lambung.
Dosis anak<20kg:50-100/kgBB/hari dibagidalam 4 dosis IV, IM, oral
(Suryawati, 2008).
4. Amoksisilin
Merupakan turunan ampisilin yang hanya berbeda pada satu gugus
hidroksil dan memiliki spektrum antibakteri yang sama. Obat ini diabsorbsi
lebih baik diberikan per oral dan menghasikan kadar yang lebih tinggi dalam
plasma dan jaringan. Absorbsinya tidak terganggu dengan adanya makanan
dalam lambung. Digunakan untuk obat infeksi odontogenik (Suryawati, 2008).
Dosis lazim untuk anak dengan berat badan kurang < 6 kg adalah 25 – 50
mg tiap 8 jam, anak dengan berat badan 6 – 8 kg adalah 50 – 100 mg tiap 8
jam, sedangkan anak dengan berat badan 9 – 19 kg adalah 6,7 – 13,3 mg/kg
berat badan tiap 8 jam, dan untuk dewasa 20 kg atau lebih dosisnya 250 – 500
mg tiap 8 jam. Amoksisilin sirup kering dengan berat badan lebih dari 8 kg
dosisnyan 125 – 250 mg tiap 8 jam (Suryawati, 2008).
5. Clindamycin
Merupakan obat bersifat bakterisida. Digunakan untuk infeksi serius akibat
bakteri anaerob atau bakteri aerob gram positif, contohnya infeksi mulut
(abses periodontal, periodontitis). Klindamisin dapat menjadi pilihan untuk
pasien alergi golongan penisilin. Dosis untuk anak, 8-16 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 3-4 dosis. Sebaiknya diminum dengan segelas air (Ali dkk, 2012).
6. Metronidazole
Merupakan obat antiprotozoal yang bersifat bakterida efektif membunuh
bakteri gram negative anaerob. Biasanya digunakan untuk infeksi gigi akut
dan infeksi anaerob. Infeksi gigi akut dengan dosis 200 mg tiap 8 jam selama
3-7 hari. Dan untuk infeksi anaerob 7,5 mg/kg bb tiap 8 jam selama 7 hari (Ali
dkk, 2012).
7. Kotrimoksazol
Kombinasi Trimetropin dan Sulfametoksazol sebagai obat karena sifat
sinergisnya yaitu menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang
berurutan pada mikroba. Dosis terapi untuk kotrimoksazol adalah tiap tablet
anak (20 mg/100 mg): untuk umur 6 minggu – umur 6 bulan 2 kali sehari 1
tablet anak dibuat pulveres atau serbuk bagi, untuk umur 6 bulan sampai 6
tahun 2 kali sehari 1 tablet anak dibuat pulveres atau serbuk bagi (Suryawati,
2008).

C. Antibiotik Bagi Penderita Penyakit Sistemik


Pemberian antibiotik memerlukan pertimbangan khusus pada pasien-pasien
dengan gangguan penyakit sistemik seperti diabetes, jantung, hipertensi.
1. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM yang tidak terkontrol, seringkali mengalami infeksi berat
di daerah oromaksilofasial, serta penyakit sistemik lainnya, dan perawatan
gigi pada pasien tersebut membutuhkan pengobatan jangka panjang serta diet
yang terkontrol. Penggunaan antibiotik sangat dibutuhkan untuk perawatan
gigi pada pasien DM khususnya jika tidak terkontrol. Antibiotik ini
digunakan baik untuk mengatasi infeksi akut maupun untuk tindakan
profilaktik pada saat akan dilakukan tindakan bedah mulut. Antibiotik yang
sering digunakan adalah sefalosporine, golongan makrolida, quinolone
(siprofloksasin dan levofloksasin), metronidazole, vankomisin, klindamisin
dan kombinasinya (Vitria, 2011).
Metronidazol merupakan antibiotik spektrum luas yang memiliki
aktivitas untuk melawan kombinasi bakteri gram positif maupun gram
negatif (National Institute for Health and Care Exellent, 2015) sehingga
dapat dipilih sebagai antibiotik empiris sebelum dilakukan kultur bakteri
untuk menentukan antibiotik definitif yang sesuai dengan bakteri
penginfeksi.
Tepat atau tidaknya dosis yang diberikan selain disesuaikan dengan dosis
yang tertera pada guideline namun juga disesuaikan dengan kondisi ginjal
pasien dengan menyesuaikannya dengan nilai laju filtrasi glomerulus yang
digunakan untuk obat-obatan antibiotik (British National Formulary, 2011).

2. Kardiovaskuler
Pada pasien kardiovaskuler perawatan gigi membutuhkan profilaksis
antibiotic, diberikan amoksisilin secara peroral sebanyak 3 gram 1 jam
sebelum tindakan. Jika alergi terhadap penisilin, dapat diberikan klindamisin
peroral 600 mg 1 jam sebelum tindakan. Sedangkan jika menggunakan
anestesi umum, diberikan amoksisilin iv+ amoksisilin peroral sebanyak 1
gram pada saat induksi dan 0,5 gram 6 jam kemudian. Jika alergi terhadap
penisilin dapat diberikan vankomisin iv (1 gram, 1jam sebelum tindakan) +
gentamisin iv (120 mg) (Vitria, 2011).
3. Penderita Jantung
Pada sebagian besar pasien penderita penyakit jantung yang akan
menerima perawatan gigi tidak memerlukan antibiotik profilaksis untuk
mencegah (IE) Infeksi Endokarditis. Menurut panduan dari American Heart
Association (AHA) dengan masukan dari American Dental Association
(ADA), antibiotik kini hanya direkomendasikan untuk pasien dengan resiko
IE tertinggi, meliputi orang-orang dengan katup jantung artifisial atau kondisi
jantung kongenital tertentu, resipien transplantasi jantung yang mengalami
masalah pada katup jantung, resipien bahan artifisial untuk memperbaiki
defek jantung kongenital selama 6 bulan terakhir, dan pasien dengan riwayat
IE.Selama bertahun-tahun, AHA merekomendasikan bahwa pasien dengan
kondisi jantung tertentu perlu mengkonsumsi antibiotik profilaksis sesaat
sebelum perawatan gigi. Hal ini dilakukan karena antibiotik profilaksis
diyakini dapat mencegah IE, yang sebelumnya disebut sebagai bacterial
endocarditis.
Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi
insidensi infeksi luka pasca bedah. Profilaksis merupakan prosedur yang
berhubungan dengan angka infeksi yang tinggi. Antibiotik profilaksis
dibutuhkan dalam keadaan – keadaan berikut (Kemenkes RI, 2011):
1. Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu
2. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup
jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko
bakteremia, misalnya ekstrasi gigi, pembedahan dan lain – lain. Untuk
antibiotic sefalosporin pada pasien dengan BB >70 kg, dosis sebaiknya
dua kali lipat (contoh, 70 kg: cefazolin 1 g IV, >70kg: cefazolin 2 g
IV). Dan antibiotic vancomycin dapat diberikan untuk pasien dengan
alergi penisilin atau sefalosporin.
D. Antibiotik yang Sesuai dengan Skenario 2
Di scenario dikatakan bahwa Juwita sedang hamil trimester kedua dan
sedang sakit gigi. Pipinya bengkak dan badannya panas. Kemudian dia juga
memiliki riwayat sakit maag dan alergi. Lalu meminum obat ampicillin dan
paramex, 15 menit kemudian terasa gatal-gatal, kemerahan, sesak nafas, mual dan
akhirnya muntah.
Obat antibiotik yang sesuai dengan kondisi ibu juwita adalah erythromycin
dan pemberian resep obat pendamping untuk menghilangkan maagnya yaitu
omeprazole atau raniditine. Alasannya karena eritromisin merupakan alternatif
pilihan setelah penisilin dalam pengobatan terhadap gonore dan sifilis dalam
kehamilan. Mungkin merupakan satu-satunya pilihan yang realistik jika ibu
memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap penisilin (Jawet dkk,
1998;Cunningham, 2001). Namun, penyerapan antibiotik ini menjadi kurang atau
terhambat oleh makanan yang ada di lambung. Sebaiknya diminum satu jam
sebelum makan atau dua jam sesudah makan (Pedler, 2000). Oleh karena itu,
akibat juwita memiliki riwayat maag, dokter harus memberikan obat pendamping
maagnya. Obat gangguan lambung yang paling sering digunakan adalah
omeprazole golongan Proton Pump Inhibitor. Obat dengan golongan Proton Pump
Inhibitor merupakan first line terapi untuk pasien dengan diagnosis gangguan
gastrointestinal. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan mengontrol sekresi
asam lambung dengan menghambat pompa proton yang mentransfer ion
H+keluar dari sel pariental lambung sehingga asam lambung tidak meningkat.
Dosis harian untuk omeprazol adalah 20-40 mg per hari. Kelemahan dari obat ini
adalah tidak dapat digunakan pada trimester pertama (DiPiro, 2008).
Kedua ada pilihan obat maag lain yaitu ranitidine berperan dalam
mengurangi faktor agresif dengan cara menghambat histamin pada reseptor H2
sel parietal sehingga sel parietal tidak terangsang mengeluarkan asam lambung,
dan dapat digunakan untuk trimester 1, 2 dan 3 (William dan Willkins, 2010).
Mengapa tidak diberikan amoksisilin? Hal ini dikarenakan amoksisilin dan
ampicillin merupakan derivate dari penicillin. Penicillin juga harus diwaspadai
bagi penderita yang memiliki riwayat alergi (Jawet, 1998), seperti ibu juwita yang
memiliki riwayat alergi gatal-gatal, kemerahan, dan sesak nafas.
Mengapa tidak menggunakan antasida? Hal ini disebabkan antasida
berperan dalam menetralkan asam lambung sehingga dapat mengurangi keluhan
nyeri yang dialami pasien (William dan Wilkins 2010). Namun, dia juga
menimbulkan efek negative seperti diare atau konstipasi, tergantung dari kondisi
pasien seperti stress (Wardaniyati dkk, 2016). Konstipasi biasanya terjadi pada
individu yang mengalami depresi sedangkan diare biasanya terjadi pada individu
yang berada pada kondisi panik. Hasil penelitian menunjukan bahwa stres
memiliki pengaruh yang negatif terhadap saluran pencernaan antara lain dapat
menyebabkan individu mengalami luka (ulcer) pada saluran pencernaan termasuk
pada lambung yang disebut dengan penyakit gastritis (Asminarsih, 2009).

5. Interaksi Obat Analgesik dan Antibiotik yang Tidak Boleh Diberikan Bersamaan
Interaksi obat didefinisikan oleh commitee for proprietary medicine product
(CPMP) sebagai suatu keadaan dimana suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat
lain dan menimbulkan pengaruh klinis. Pengaruh ini biasanya terlihat sebagai suatu
efek samping, tetapi terkadang pula terjadi perubahan yang menguntungkan. Obat
yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang
dipengaruhi disebut sebagai object drug. Pada beberapa, interaksi obat ini terkadang
dapat menimbulkan perubahan efek pada kedua obat, sehingga obat mana yang
mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi, menjadi tidak jelas.
Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan ataupun merugikan.
Interaksi yang menguntungkan antara lain:
1. Penisilin dengan probenesid, dimana probenesid akan menghambat sekresi
penisilin ditubuli ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam plasma
sehingga meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore.
2. Kombinasi obat antihipertensi, dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi
efek samping.
3. Kombinasi obat anti tuberculosis, dapat memperlambat timbulnya resistensi
kuman terhadap obat.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi rendah)
seperti glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatistika.
Ada tiga jenis interaksi obat, yaitu interaksi farmasetis, farmakokinetik dan
farmakodinamik.
1. Interaksi farmasetis
Adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat
diformulasikan/disiapkan sebelum obat di gunakan oleh penderita. Misalnya
interaksi antara obat dan larutan infus IV yang dicampur bersamaan dapat
menyebabkan pecahnya emulsi atau terjadi pengendapan.
2. Interaksi farmakokinetik
Pada interaksi ini obat mengalami perubahan pada proses absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi yang disebabkan karena adanya obat atau senyawa
lain. Hal ini umumnya diukur dariperubahan pada satu atau lebih parameter
farmakokinetik seperti konsentrasi serum maksimum, luas daerah dibawah
kurva, waktu, waktu paruh, jumlah total obat yang diekskresi melalui urine,
dan sebagainya.
a. Interaksi pada fase absorbsi.
Mekanisme yang dapat mengubah kecepatan absorbsi obat dalam saluran
pencernaan dipengaruhi oleh berbagai factor, antara lain: berubahnya
kecepatan aliran darah pada saluran pencernaan, berubahnya motilitas
saluran pencernaan, pH , kelarutan obat, metabolisme saluran pencernaan,
system flora dan mukosa saluran pencernaan atau terbentunya kompleks
yang tidak larut.
i. Interaksi langsung
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam saluran pencernaan
sebelum absorbsi dapat mengganggu proses absorbsi. Interaksi ini
dapat dihindari dengan cara obat yang berinteraksi diberikan dengan
jarak waktu yang berbeda (minimal 2 jam).
ii. Perubahan pH cairan saluran pencernaan.
Cairan saluran cerna yang alkalis misalnya akibat antacid, akan
meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam
cairan tersebut. Contohnya aspirin. Dalam suasana alkalis,absorpsi per
satuan luas area absorpsi akan lebih lambat. Dengan demikian
dipercepatnya disolusi aspirin olh basa akan mempercepat absopsinya.
Akan tetapi, suasana alkali pada saluran pencernaan akan mengurangi
kelarutan beberapa obat yang bersifat basa seperti tetrasiklin.
iii. Motilitas saluran pencernaan.
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk semua obat.
Oleh karena itu, makin cepat obat sampai ke usus halus maka akan
semakin cepat pula absorpssinya. Obat yang memperpendek waktu
pengosongan lambung, misalnya metoklorpropamid, akan
mempercepat absorpsi obat lain yang diberikan secara bersamaan.
Sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung
seperti antikolinergik akan memperlambat absorbsi obatlain.
iv. Perubahan flora usus.
Flora normal usus mempunyai fungsi antara lain:
a. sintesa vitamin K dan merupakan sumber vitamin K
b. memecah sulfasalazin menjadi bagian-bagian yang aktif
c. tempat metabolisme sebagian obat misalnya levodopa
d. hidrolisis glukoronid yang diekskresi oleh empedu sehingga
terjadi sirkulasi enterohepatik yang akan memperpanjang kerja
obat seperti pil KB
e. Pemberian antibakteri berspektrum luas saperti
tetrasiklin,kloramfenikol dan ampisilin akan mengubah flora
normal usus sehingga akan meningkatkan efektifitas anti
koagulan oral yang diberikan secara bersama-sama,
mengurangi efektifitas sulfasalazin, meningkatkan
bioavailabilitas levodopa danmengurangi efektifitas
kontrasepsi oral.
b. Interaksi pada fase distribusi
i. Interaksi dalam ikatan protein plasma
Jenis ini sering kali membahayakan. Bila suatu obat dilepaskan dari
ikatan proteinnya oleh suatu precipitant drug, maka konsentrasi object
drug akan meningkat dan dapat menimbulkan efek toksik.
Beberapa sifat obat yang akan menyebabkan terjadinya interaksi ini
antara lain :
• Mempunyai ikatan yang kuat dengan protein plasma dan volume
distribusi yang kecil
• Mempunyai batas keamanan yang sempit, sehingga dapat
meningkatkan kadar obat bebas
• efek toksik yang serius sebelum kompensasi erjadimisalnya
terjadinya pendarahan pada antikoagulan oral atau hipoglikemia
pada antidiabetik oral
• eliminasinya mengalami kejenuhanseperti fenitoin , sehingga
peningkatan kadar obat bebas tidak disertai dengan peningkatan
kecepatan eliminasinya.
ii. Interaksi dalam ikatan jaringan
Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya antara digoksin
dan kuinidin yang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar
plasma digoksin. Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi
misalnya antara digoksin dan kuinidin yang akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan kadar plasma digoksin.
c. Interaksi pada fase metabolisme
Hal ini dapat terjadi bila metabolisme object drug dirangsang atau
dihambat oleh precipitant drug. Perangsang dan penghambat enzim
metabolisme sudah lama dikenal. Perangsangan atau induction ini terjadi
karena retikulum endoplasmik di hepatosit dan sitokrom P 450 yang
merupakan enzim metabolik obat bertambah. Hasil induksi ini
mengakibatkan metabolisme obat kian aktif dan konsentrasi plasma object
drug berkurang, sehingga efektivitasnya menurun. Contah. Pemberian
rifampisin pada akseptor kontrasepsi oral dapat meyebabkan terjadinya
kehamilan.
d. Interaksi pada fase ekskresi
Kompetisi pada sekresi tubulus ginjal adalah mekanisme yang
penting dalam interaksi ini. Contoh Probenecid menginhibisi sekresi
tubular penisilin, sehingga dapat meningkatkan dan memperlama efek,
Sehingga interaksi ini relatif menguntungkan Efek yang sama dapat
meningkatkan toksisitas kloroquin pada mata pada penderita yg
menggunaka probenecid.
3. Interaksi farmakodinamik
Merupakan interaksi di tempat kerja obat. Jenis ini banyak sekali dan
dapat terjadi dengan banyak obat. Dua atau lebih obat dapat berinteraksi di
tempat yang sama atau di tempat yang berlainan. Hasilnya bisa merupakan
antagonistik (saling meniadakan) ataupun sinergistik (saling memperkuat).
Misalnya interaksi antagonistik antara morfin dengan nalokson pada sebuah
reseptor, ataupun interaksi sinergistik antara antibiotika gentamisin dengan
suksinilkolin, bisa menimbulkan depolarisasi di otot lurik yang lebih besar
sehingga bisa menimbulkan kelumpuhan otot muskuler yang lebih lama.
Pada interaksi farmakodinamika precipitant drug mempengaruhi efek
dari object drug pada tempat aksi, baik secara langsung maupun tak
langsung.
a. Interaksi farmakodinamika secara langsung
Terjadi jika dua obat yang memiliki aksi ditempat yg sama
(antagonis atau sinergis) atau memiliki aksi pada dua tempat yang berbeda
yang hasil akhirnya sama.
Antagonis pada tempat yg sama terjadi misalnya:
 penurunan efek opiat dengan naloxon
 penurunan aksi walfarin oleh vit. K
 penurunan aksi obat-obat hipnotik oleh caffeine.
 penurunan aksi obat-obat hipoglikemik oleh glucocorticoids.

Sinergis pada tempat yg sama :


 Anti hipertensi dan obat-obat yang menyebabkan hipotensi misalnya
anti angina, vasodilator.
b. Interaksi farmakodinamika secara tak langsung
Pada interaksi ini, farmakologik, terapeutik, atau efek toksik dari
precipitant drug dalam beberapa kesempatan dapat mengubah efekterapi
atau efek toksik dari objek drug, tetapi terdapat 2 efek yang tidak berkaitan
dan tidak berinteraksi secara mandiri (langsung).
Walfarin dan antikoagulan lain mungkin terlibat interaksi tidak langsung
dengan 3 cara :
i. Agregasi platelet
Beberapa obat dapat menurunkan daya agregasi dari platelet, misalnya
salisilat, dipiridamol, asam mefenamat, fenilbutazon, dan obat-obat
NSAID.
ii. Ulcerasi GI
Jika sebuah obat menyebabkan ulcerasi GI, maka akan menyebabkan
kemungkinan terjadi pendarahan pada penderita karena pemberian
antikoagulan, misalnya aspirin, fenilbutazon, indometasin, dan NSAID
lain.
iii. Fibrinolisis
Obat-obat fibrinolitik misalnya biguanid mungkin meningkatkan efek
walfarin.

4. Interaksi lain-lain
a. Interaksi antar mikroba
Pada meningitis yang disebabkan oleh pneumokokus yang sensitif
terhadap ampisilin, pemberian ampisilin bersama-sama dengan
kloramfenikol akan menyebabkan antagonisme.
No
. Obat A Obat B Interaksi yang terjadi

Antibiotik bakteriostatik
dan bakterisid tak boleh
Antibiotik dikombinasi karena
Bakteriostatik antibiotik bakteriostatik
(Kloramfenikol, misalnya kloramfenikol
aritromisin, dapat menginhibisi kerja
1 Penisilin tetrasiklin) bakterisid dari penicillin.

Probenesid menghambat
sekresi antibiotik
sehingga meningkatkan
2 Penisilin Probenesid efek atau toksisitasnya

Fenilbutazon menghambat
sekresi antibiotik sehingga
meningkatkan efek atau
toksisitasnya
3 Penisilin Fenilbutazon

Menyebabkan maculopap
ular rash dapat
meningkatkan kadar
ampisilin
dapat meningkatkan
kadar ampisilin.

Makanan dapat
menurunkan tingkat
absorbsi ampisillin,
AmpisilinAmpis AlopurinolWarfa sehingga kemungkinan
45 ilin rin akan menurunkan kadar
6 AMpisilin Disulfiran ampisillin.

7 Ampisilin Makanan

Menyebabkan mual dan


muntah, dimana kejadian
ini sangat tergantung
dari dosis asam
8 Amoksisilin Asam Klavulinat klavulinat

Inaktivasi Penisilin
Kelarutan penisilin G
akan berkurang sehingga
Penisilin G VitaminC jumlah
91 Penisilin G Antasida absorbsinya berkurang
0
1

Das könnte Ihnen auch gefallen