Sie sind auf Seite 1von 13

BAB I

PENDAHULUAN

Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan


proliferasi sel. Peradangan tersebut terutama disebabkan mekanisme imunologis
yang menimbulkan kelainan patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih
belum jelas. Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah pasca
infeksi, paling sering infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Dari
perkembangan teknik biopsi ginjal per-kutan, pemeriksaan dengan mikroskop
elektron dan imunofluoresen serta pemeriksaan serologis, glomerulonefritis akut
pasca streptokokus telah diketahui sebagai salah satu contoh dari penyakit
kompleks imun.
Penyakit ini merupakan contoh klasik sindroma nefritik akut dengan
awitan gross hematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal akut. Walaupun
penyakit ini dapat sembuh sendiri dengan kesembuhan yang sempurna, pada
sebagian kecil kasus dapat terjadi gagal ginjal akut sehingga memerlukan
pemantauan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) adalah suatu
proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi
kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain
(Noer MS, 2002).

B. Epidemiologi
Di negara berkembang GNAPS masih sering dijumpai dan
merupakan penyebab lesi ginjal non supuratif terbanyak pada anak. Sampai
saat ini belum diketahui faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini
menjadi berat, karena tidak ada perbedaan klinis dan laboratoris antara pasien
yang jatuh ke dalam gagal ginjal akut (GGA) dan yang sembuh sempurna.
Manifestasi klinis yang bervariasi menyebabkan insiden penyakit ini secara
statistik tidak dapat ditentukan (Lumbanbatu, 2003).
Diperkirakan insiden berkisar 0-28% pasca infeksi streptokokus.
Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta
hemolyticus group A tipe nefritogenik. Pada GNAPS dapat terjadi secara
epidemik atau sporadik, paling sering pada anak usia sekolah yang lebih
muda, antara 5-8 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan 2 :
1 (Lumbanbatu, 2003).
Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun
1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan,
terbanyak di Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung
(17,6%), dan Palembang (8,2%). Perbandingan pasien laki-laki dan
perempuan 3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 6-8 tahun (40,6%). faktor
resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku atau ras tidak
berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan prevalensi
meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga lingkungan
tempat tinggalnya tidak sehat (Lumbanbatu, 2003).
C. Etiologi
1. Streptokokus B hemolitikus grup A
2. Streptokokus grup C ( Streptokokus zooepidimicus)
3. Pneumococcus (Pneumonia)

2
4. Streptokokus viridans

D. Gambaran PA
Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-
titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus
terkena, sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa. Tampak proliferasi
sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan lumen kapiler dan
ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula infiltrasi sel
epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan
mikroskop elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur.
Terdapat gumpalan humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh
globulin-gama, komplemen dan antigen Streptococcus (Lumbanbatu, 2003).

Gambar 1. Histopatologi gelomerulonefritis dengan mikroskop cahaya


pembesaran 20X
Keterangan gambar :
Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop cahaya
(hematosylin dan eosin dengan pembesaran 25×). Gambar menunjukkan
pembearan glomerular yang membuat pembesaran ruang urinary dan
hiperselluler. Hiperselluler terjadi karnea proliferasi dari sel endogen dan
infiltasi lekosit PMN (Lumbanbatu, 2003).

3
Gambar 2. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop cahaya
pembesaran 40X

E. Patogenesis
GNAPS adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan
imunologis. Adanya neuraminidase yg dihasilkan streptokokus, yg mengubah
Ig G endogen menjadi autogenic. Autoantibodi terhadap IgG yg telah berubah
tersebut terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi
kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap
dalam membran basalis. selanjutnya komplemen akan terfiksasi
mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear
(PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim
lisosom juga merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM).
Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi sel-sel endotel
yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin
meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel
darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal,
mengakibatkan proteinuria dan hematuria (Behrman, 2000).
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada
glomerulus akibat dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun
(antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap di membran basalis
glomerulus. Aktivasi komplemen yang menyebabkan destruksi pada
membran basalis glomerulus (Behrman, 2000).
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan komplemen yang dianggap
merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus,
kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada
subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran
basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam
kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen
glomerulus (Behrman, 2000).

4
F. Patofisiologi

5
Gambar 3. Patofisiologi GNAPS (Price, 2005).
Patofisologi utama dari Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
(GNAPS) digambarkan pada Gambar 3. Setelah terjadi ploriferasi dan
kerusakan pada glomerulus akan menurunkan GFR meskipun aliran plasma
ginjal biasanya normal. Akibatnya, ekskresi air, natrium, dan zat-zat nitrogen
mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan
aldosteron dapat juga berperan pada retensi natrium dan air. Di pagi hari
sering terjadi edema wajah terutama edema periorbita, meskipun edema lebih
nyata di bagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat edema
biasanya bergantung pada berat peradangan glomerulus, apakah disertai
payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam
(Price, 2005).
Ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasopasme yang
mengakibatkan hipertensi masih belum diketahui dengan jelas. Hipertensi ini
hampir selalu terjadi mekipun pningkatan tekanan darah mungkin hanya
sedang (Price, 2005).

6
Kerusakan pada rumbai kepiler glomerulus mengakibatkan
hematuria dan albuminuria. Urin mungkin tampak kemerah-merahan atau
seperti kopi. Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin memperlihatkan adanya
silinduria (banyak silinder di dalam urin), eritrosit dan silinder eritrosit; yang
terakhir ini menyatakan perdarahan berasal dari glomerulus. Hilangnya
protein biasanya tidak cukup banyak untuk menyebabkan hipoalbuminemia.
Berat jenis urin biasanya tinggi meskipun terjadi azotemia, suatu kombinasi
yang jarang ditemukan pada penyakit ginjal yang lain selain GNAPS.
Penemuan bahwa berat jenis yang tinggi dapat dijelaskan berdasarkan fakta
bahwa fungsi tubulus hanya sedikit sekali terpengaruh oleh penyakit akut
(Price, 2005).

G. Penegakan Diagnosis
1. Gejala klinis
Gamabran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala
ringan tetapi sering juga anak datang dengan gejala berat. Penyakit ini
sering tejadi pada anak usia 2-15 tahun. Gejala yang sering ditemukan
ialah hematuria (kencing berwarna merah daging). Kadang-kadang disertai
edema ringan yang terbatas disekitar disekitar mata atau di seluruh tubuh.
Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung.
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan glomerulonefritis akut pada
hari pertama, kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal
kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan
tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan
penyakitnya menjadi kronis. Hipertensi ini timbul karena vasopasme atau
iskemia ginjal dan berhubungan dengan gejala serebrum dan kelainan
jantung. Suhu badan tidak berapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada
hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada walaupun tidak ada
gejala infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti
muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare sering menyertai
penderita glomerulonefritis akut (Sepahi, 2010; Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, 2005).

7
Selama fase akut terdapat vasokontriksi arteriola glomerulus yang
mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini
kecepatan filtrasi glomerulus pun menjadi kurnag. Filtrasi air, garam,
ureum, dan zat-zat lainnya berkurang dan sebagai akibatnya kadar ureum
dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi tubulus relatif kurang
terganggu. Ion natrium dan air diresorpsi kembali sehingga diuresis
mengurang (timnul oliguria dan anuria) dam ekskresi natrium berkurang.
Ureum pun diresopsi kembali lebih daripada biasa. Akhirnya terjadi
insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hidremia, dan
asidosis merabolik (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).
2. Pemeriksaan laboratorium
Laju endap darah meninggi, kadar hemoglobin menurun sebagai
akibat hipervolemia (retensi garam dan air). Pada pemeriksaan urin
didapatkan jumlah urin mengurang, berat jenis meninggi. Hematuria
makroskopis ditemukan pada 50% penderita. Ditemukan pula albumin (+),
eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit, eritrosit dan hialin (Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).
Albumin serum sedikit menurun, demikian juga komplemen
serum (globulin beta-1C). Ureum dan kreatinin darah meningkat. Titer
anti-streptolisin umunya meningkat, kecuali kalau infeksi Streptococcus
yang mendahuluinya hanya mengenai kulit saja. Uji fungsi ginjal normal
pada 50% penderita (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).

H. Terapi Lama
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi
penyembuhan kelainan di glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlak
selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk
menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi
penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak
berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya (Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, 2005).

8
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian
penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara
teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain,
tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, 2005).
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgbb/hari)
dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita
dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali.
Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa
10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan
dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung,
edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian
sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat.
Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin.
Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgbb secara
intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek
toksis (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan
dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium,
hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif,
tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat dilakukan oleh karena
kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat dikerjakan dan
adakalanya menolong juga (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
2005).

9
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-
akhir ini pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali)
dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan
filtrasi glomerulus (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativum dan oksigen
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).

I. Terapi Baru
Terapi baru pada penderita GNAPS sama dengan terapi-terapi yang
sudah dilakukan. Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi
penyembuhan kelainan di glomerulus. Penanganan pasien adalah suportif dan
simtomatik.
1. Pasien hipertensi dapat diberi diuretik atau anti hipertensi. Bila hipertensi
ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan diastolik 90 mmHg)
umumnya diobservasi tanpa diberi terapi. Hipertensi sedang (tekanan
darah sistolik > 140 –150 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) diobati
dengan pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM), nifedipin oral
atau sublingual. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30
mg/kbBB intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-0,10
mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit.
Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120
mmHg)diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama furosemid 2
mg/kgBB iv. Plihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali, diulang setiap
4-6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat
diulang setiap 6 jam bila diperlukan (Lumbanbatu, 2003).
2. Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan natrium. Asupan
cairan sebanding dengan invensible water loss (400-500 ml/m2 luas
permukaan tubuh/hari ) ditambah setengah atau kurang dari urin yang
keluar. Bila berat badan tidak berkurang diberi diuretik seperti furosemid
2mg/ kgBB, 1-2 kali/hari (Lumbanbatu, 2003).
3. Pemakaian antibiotik tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun,
pasien dengan biakan positif harus diberikan antibiotik untuk eradikasi
organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan

10
antimikroba berupa injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau
eritromisin oral 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi
penisilin (Lumbanbatu, 2003).
4. Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edem, gagal ginjal, dan
hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi bila kadar urea N kurang dari 75
mg/dL atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia asupan protein dibatasi 0,5
g/kgBB/hari. Pada edem berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikan
NaCl 300 mg/hari sedangkan bila edem minimal dan hipertensi ringan
diberikan 1-2 g/m2/hari. Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium
harus dibatasi (Lumbanbatu, 2003).
5. 15-Lipoxygenase dan Lipoxin A4. 15-Lipoxygenase dan Lipoxin A4
merupakan anti inflamasi. Menurut penelitian Zhang et all di The
American Journal of Pathology, efek anti inflamasi tersebut pada penderita
GNAPS pada anak-anak terbukti cukup efektif dalam menurunkan kadar
darah dalam urin serta mengurangi reaksi peradangan dalam glomerulus.
Namun obat ini masih belum banyak digunakan dalam medis (Zhang. Et
all, 2009).

J. Komplikasi
Kemungkinan komplikasi yang terjadi pada glomerulonefritis akut paska
streptokokus adalah :
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi
ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia.
Walaupun oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak,
namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di
perlukan (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi.
Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-
kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan
edema otak (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh

11
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal
jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium (Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2005).
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetik yang menurun (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
2005).

K. Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis
GNAPS antara lain umur saat seranagan, derajat berat penyakit, galur
streptokokus tertentu, pola serangan sporadik atau epidemik, tingkat
penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus. Anak kecil
mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar atau orang
dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik
glomerulus (Cole BR, 2009).
Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan
prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%.
Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10%, sekitar 0,525 kasus
menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan dalam
beberapa minggua atau bulan jatuh ke fase gagl ginjal terminal.
Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7%. Melihat
GNAPS masih sering dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus dicegah
karena berpotensi menyebabkan kerusakan ginjal (Cole BR, 2009).

12
BAB III
KESIMPULAN

1. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) adalah suatu proses


radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain.
2. GNAPS adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan imunologis (reaksi
kompleks imun).
3. Keluhan utama yang paling sering pada penderita GNAPS adalah adanya
hematuria (kencing berwarna kemerah-merahan seperti merah daging).
4. Penanganan pasien GNAPS adalah penanganan suportif dan simtomatik.
5. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar
atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi
nekrotik glomerulus.

13

Das könnte Ihnen auch gefallen