Sie sind auf Seite 1von 4

Sekilas “Ahlussunnah Wal Jamaah”

dari Embrio sampai ke-Manhajul Fikri

Oleh : Khoirul Anam*

A. Pendahuluan

Dengan tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah Wal Jamaah,
organisasi PMII semenjak pertama berdirinya menegaskan diri sebagai penganut, pengemban dan
pengembang islam ala ahlussunnah wal jamah. Dengan sekuat tenaga, PMII berusaha menempatkan diri
sebagai pengamal setia dan mengajak seluruh kaum muslimin, terutama para warganya untuk
menggolongkan diri pada Ahlussunnah Wal Jamaah.

Pada hakikatnya, Ahlussunnah Wal Jamaah adalah ajaran islam yang murni sebagaimana diajarkan
dan diamalkan oleh Rosulullah Saw. bersama para sahabatnya.

Ketika Rosulullah Saw. Menerangkan bahwa umatnya akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan,
beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian banyaknya golongan itu hanyalah
Ahlussunnah Wal Jamaah. Atas pertanyaan para sahabat, apakah Ahlussunnah Wal Jamaah itu, beliau
merumuskan dengan sabdanya :

“Apa yang Aku berada di atasnya, hari ini, bersama para sahabatku”.

B. Firqah-firqah dalam islam

Dalam sejarah islam telah tercatat adanya firqah-firqah di kalangan umat islam yang antara satu
dan yang lainnya saling berbeda faham dan sulit dikompromikan. Hal ini, memang pernah diprediksikan
oleh Rosulullah Saw. Beliau pernah menggambarkan akan timbulnya firqah-firqah di kalangan umat
islam.

Banyak hadits-hadits Rasulullah Saw yang menjelaskan tentang adanya perpecahan atau firqah-
firqah ini. Dari hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Sesudah Nabi Muhammad saw wafat, akan timbul kelompok umat islam yang saling berselisih
faham yang jumlahnya tidak kurang dari 73 golongan.
2. Di antara sekian banyaknya firqah (golongan) itu terdapat golongan yang disebut sebagai
“Majusinya umat islam”, yaitu golongan yang mengingkari takdir. Bahkan, lebih tegas lagi
dinyatakan bahwa dari sekian banyaknya golongan itu ada yang tidak lagi termasuk golongan
umat islam, yaitu Murji’ah dan Qodariyah.
3. di antara golongan yang banyak itu ada yang benar, yaitu golongan Ahlussunnah Wal Jamaah,
yaitu golongan yang selalu berpegang kepada sunnah Nabi dan sunnah Khulafaur Rasyidin.

Di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan mufti syekh sayyid abdurrahman bin muhammad
bin husen bin umar ba ‘Alawi, disebutkan bahwa ada tujuh firqah (golongan) yang tidak termasuk
Ahlussunnah Wal Jamaah, sekaligus rincian dari 73 golongan tersebut, di antaranya seperti di dalam
bagan di bawah ini :

No Golongan Karakteristik Sempalan Keterangan


yang berlebihan memuja sayyidina ali
karramallahu wajhahu serta membenci para
1 Syi’ah 22 Aliran
sahabat Rasullullah yang lain. Golongan ini
terpecah menjadi :
Yang berlebihan membenci Sayyidina Ali K.W.
2 Khawarij bahkan di antara mereka ada yang 20 Aliran
mengkafirkannya.
Yang berlebihan menggunakan akal (rasio) dan
3 Mu’tazilah banyak meninggalkan dalil naqli (Al-Qur’an 20 Aliran
dan Hadits).
4 Najariyah Yang mengingkari sifat-sifat than. 3 Aliran
Yang berpendapat bahwa manusia itu majbur /
5 Jabariyah 1 Aliran
tidak berdaya sama sekali.
Yang sangat murah memberikan pengertian atau
batasan mengenai imam. Mereka memfatwakan
6 Murji’ah bahwa kemaksiatan tidak akan memberikan 5 aliran
mudlarrat terhadap seseorang yang telah
menyatakan beriman.
7 Musyabbihah Yang menyerupakan tuhan dengan manusia. 1 Aliran

Dengan memperhatikan ketujuh golongan tersebut di atas, beserta aliran-aliran sempalannya,


maka jelaslah bahwa ada 72 aliran di luar golongan Ahlussunnah Wal Jamaah. Apabila ditambah dengan
satu aliran lagi, yaitu faham Ahlussunnah Wal Jamaah, maka jumlah seluruh firqah dan aliran dalam
islam sebanyak 73 golongan sebagaimana pernah diprediksikan dan digambarkan oleh Rasulullah Saw.
Selain itu masih ada aliran-aliran baru yang masih dipertanyakan kislamannya, seperti Ahmadiyah,
Salafiyah yang selanjutnya membaku menjadi gerakan wahabiyah.

C. Sejarah dan Faktor-faktor Timbulnya Perpecahan (Firqah)

Agama islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw merupakan satu kesatuan yang utuh dari tiga
unsur, yaitu : iman, Islam, dan ihsan.ketiganya telah diterapkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw
beserta para sahabatnya secara serempak, terpadu dan berkeseimbangan. Tidak ada yang lebih ditonjolkan
dengan mengesampingkan yang lainnya. Tidak ada yang dipertentangkan, karena sesungguhnya agama
islam itu bukan merupakan bahan pertentangan. Apabila terjadi hal yang kurang dapat dipahami, maka
seluruh persoalan itu dikembakikan kepada rasullullah saw.

Setelah beliau wafat, bibit perselisihan di antara umat islam mulai tampak. Mula-mula
perselesihan para sahabat mengenai wafat tidaknya Rasulullah Saw, dan dimana beliau dimakamkan, dan
siapa yang layak menggantikan beliau sebagai pemimpin umat islam. Namun, di antara ketiganya, yang
berkembang menjadi perselisihan yang menyebabkan timbulnya firqah-firqah di kalangan umat islam
adalah tentang “pengganti beliau sebagai pemimpin umat (khalifah)”.
Pada perselisihan ini, ada tiga kelompok yang masing-masing mempunyai argumentasi sendiri, di
antaranya Sahabat Anshar, Sahabat Muhajirin, dan kelompok sahabat yang mendukung Bani Hasyim (Ali
bin abi Thalib). Semua ketiga-tiganya tersebut mengusung sahabat dari kalangan mereka masing-masing
yang dipandang pantas untuk menggantikan Rasulullah Saw sebagai pemimpin umat islam pada waktu
itu. Namun, perbedaan pendapat masalah khalifah ini dapat diatasi dengan tampilnya Sahabat Abu Bakar
dan selanjutnya sahabat Umar bin Khattab menjadi khalifah pertama dan kedua dari khulafaur Rasyidin
yang memang mendapat dukungan luas dari umat islam kala itu. Akan tetapi pada akhir pemerintahan
sahabat Utsman bin Affan perselisihan masalah khalifah ini muncul kembali, sehingga menjadi pemicu
timbulnya perpecahan dan firqah-firqah di kalangan islam. Hal ini, sebenarnya disebabkan munculnya
seorang Yahudi yang lahir di Yaman bernama abdullah bin Saba’. Ia mengaku masuk islam tetapi dengan
sengaja menghembuskan api perpecahan di antara sesama umat islam dengan mempropagandakan
semangat anti Kalifah Utsman dengan ajarannya “al-Washilah” yang pada intinya mengajarkan bahwa
kekhalifahan itu merupakan bagian dari syariat islam, artinya seorang khalifah itu harus berdasarkan atas
wasiat Rasulullah Saw.

Propaganda Abdullah bin saba’ ini tumbuh dengan subur di beberapa wilayah kekuasaan islam,
seperti mesir, Kufah, dan Bashrah. Sejak itu muncullah aliran Syi’ah yang selanjutnya disusul aliran-
aliran lain sebagai reaksi terhadap aliran syi’ah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa akar persoalan
yang melatarbelakangi timbulnya firqah-firqah di kalangan umat islam adalah masalah-masalah politik
(khalifah). Dari akar persoalan ini kemudian timbul usaha membentengi ajaran dengan rumusan-rumusan
Syi’ah. Maka lahirlah firqah-firqah atau madzhab-madzhab di bidang fiqh dan aqidah bahkan juga
tasawwuf.

D. Sejarah dan Perkembangan ASWAJA

Istilah Ahlussunnah Wal Jamaah kalau ditinjau secara etimologis maka jelaslah adanya ASWAJA
tersebut sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Namun, ASWAJA sebagai konfigurasi sejarah, maka
secara umum ASWAJA mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap
embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, artinya memilih salah satu pendapat
yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi
penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua,Proses konsolidasi awal dan mencapai
pucaknya setelah imam al-Syafi’I (w. 205 H/820 M) berhasil menetapkan hadits sebagai sumber hukum
kedua setelah Al-Qur’an dalam kontruksi pemikiran hukum islam. Ketiga, merupakan Kristalisasi teologi
sunni, di satu pihak menolak adanya rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam
memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus di tempat yang berbeda
pada waktu yang bersamaan, yaitu ; abu hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, dan juga
Abu mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di samarkandi, dan ahmad bin Ja’far al-Thahawi (w.331 H/944
M) di Mesir. Pada tahap kristalisasi inilah abu hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran
yang dikembangkan.

Di Indonesia, ASWAJA menyebar luas dengan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari lewat organisasinya
yaitu NU (Nahdlatul Ulama) dengan konsep ASWAJA yang lebih konkrit, beliau menyatakan bahwa,
islam Ahlussunnah Wal Jamaah adalah islam yang dalam bidang fiqih menganut satu dari empat
madzhab, yaitu ; al-Syafi’I, al-Maliki, al-Hanafi dan al-Hanbali, dan dalam bidang teologi/ tauhid
menganut satu dari dua madzhab, yaitu ; al-Asy’ari dan al-Maturidi, serta dalam bidang tasawuf
menganut satu dari dua madzhab, yaitu ; al-ghazali dan al-Junaidi.

Selain itu, para Ulama NU menganggap ASWAJA sebagai upaya pembakuan prinsip-prinsip Tawassut
(moderat), Tasamuh (toleran) dan Tawazzun (seimbang) dan I’tidal (tegak lurus/ tidak condong kekiri-
kirian atau kekanan-kanan-an).
Di dalam tubuh PMII ASWAJA dijadikan sebagai Manhajul Fikri artinya ASWAJA bukan
dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran
agama. Dan ternyata ASWAJA sebagai manhajul fikri di tubuh PMII ada banyak relevansinya dalam
kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok
apapun.

Sebenarnya konsepsi ASWAJA sebagai Manhajul Fikri pertama kali dilontarkan oleh KH. Said
Aqil siraj pada tahun 1991. walaupun hal tersebut mendapat tantangan yang berat dari kalangan sesepuh
NU pada waktu itu, namun pada akhirnya, kian diterima masyarakat khususnya kalangan pemuda
termasuk PMII. Bahkan di dalam tubuh PMII menjadi konsep dasar sekaligus sebagai prinsip organisasi.

Adapun prinsip dasar dari ASWAJA sebagai manhajul fikri meliputi ; Tawassut (moderat),
Tasamuh (toleran) dan Tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari Tawassut adalah selain wahyu, kita juga
memposisikan akal pada posisi yang terhormat, namun tidak terjebak sehingga mengagung-agungkan
akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal
yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseombangan yang mendalam antara wahyu dan
akal. Aktualisasi Tasamuh adalah dalam hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan
mentoleransi perbedaan yang ada bahkan pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan
keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang dianjurkan hanya sebatas
penyampaian saja yang ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari tuhan. Dan yang
terakhir, aktualisasi Tawazzun. Penjabaran dari prinsip Tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan,
baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maipun dalam kontekc politik sekalipun.

E. Penutup

Demikianlah sejarah dan perkembanga ASWAJA dari zaman ke zaman, namun tulisan ini masih
belum sempurna dalam wacana ASWAJA, butuh diskusi lebih lanjut dan panjang. Lebih-lebih memahami
isi ASWAJA sebagai ideologi ataupun Manhajul fikri, apalagi mengamalkannya. Mungkin hanya ini yang
dapat kami sajikan, atas salah dan kekhilafannya mohon kritik dan sarannya demi membangun konstruk
pemahaman ASWAJA yang sejati. “ Selamat Berdiskusi “.

Das könnte Ihnen auch gefallen