Sie sind auf Seite 1von 6

Bab 13

Lingkaran Diam dan Sifat Sosial Manusia

Elisabeth Noelle-Neumann dan Thomas Petersen

Pada bab ini menjelaskan teori yang dikemukakan oleh Noelle-Neumann pada tahun
1972. Teori ini lebih cenderung melihat pada konsep opini publik. Konsep opini publik dari segi
teori sangat diwarnai oleh kebingungan, kesalahpahaman, dan masalah komunikasi seputar
konsep. “Tidak ada definisi yang diterima secara umum tentang opini publik” (W. Phillips
Davison, 1968). Opini public memiliki banyak makna yang berbeda. Opini public dipahami
sebagai konsesus sosial luas yang harus dipatuhi oleh pemerintah dan anggota masyarakat. Pada
abad ke-18, opini public mengalami pergeseran semantic yang sangat khas seperti nalar yang
mulai sangat dihargai dan dipandang menjadi opini public. Pandangan ini terus mendominasi
hingga abad ke -20, tetapi pada saat yang bersamaan makna kuno opini public tidak hilang dan
terus berkembang dengan demikian dua definisi yang berbeda ini menjadi terjalin yang
menyebabkan kebingungan.

Opini public dipandang bukan sebagai hasil dari proses rasional pengambilan keputusan
tetapi sebagai hasil dari perilaku kolektif bahwa sadar tidak sesuai dengan ideal demokrasi dan
gagasan tentang individu independen yang membuat keputusan setelah benar-benar minambang
keuntungan dan kerugian.

Banyak filsuf dan peneliti yang mengkaji sifat sosial manusia namun penemuan ini
mendapat perlawanan seolah-olah hasil penyelidikan mereka merupakan serangan terhadap
kehendak bebas manusia. Pada akhir abad ke-18, istilah psikologi sosial dipakai dan peneliti
melakukan upaya untuk mengukur fenomena sosial-psikologi secara empiris. Van Zuuren
menemukan metode baru, metode eksperimen diri yang berutujuan untuk membantu peneliti
mengenali dan secara subyektif mengalami sifat sosial. Zuuren melakukan penelitian dengan
sekelompok rekan muda tentang malu dengan mengamati dan merekam perasaan sendiri dalam
situasi yang membuat malu.

Eksperimen diri ini menunjukan bahwa perilaku manusia telah tunduk pada jenis control
pribadi internal bahkan sebelum kontrol sosial bermain. Individu membayangkan ancaman
isolasi sebelum fakta isolasi. Hanya dengan membayangkan situasi akan menjadi tidak
menyenangkan bahkan jika itu belum terjadi maka dengan cara mendorong orang untuk
memperbaiki perilaku yang bertentangan dengan aturan yang menyimpang dari consensus
masyarakat, jauh sebelum control sosial eksternal dilakukan kolektif bahkan jauh sebelum
kolektif mengetahui pelanggaran yang dimaksud.

Teori lingkaran diam tidak statis dan juga tidak menjelaskan ideal teoritis apapun dengan
kata lain tidak ada sirkuit sosial. Fenomena lingkaran diam hanya bagian dari teori opini public
yang lebih komprehensif. Teori lingkaran diam mengansumsikan bahwa persepsi tentang
pendapat mana yang mendapat persetujuan atau penolakan secara umum bukan merupakan
proses sadar.

Banyak penelitian dalam pengujian teori lingkaran dalam, bagian ini memberikan
penjelasan rinci tentang penyelidikan menggunakan pendekatan empiris yang sukses untuk
menguji teori tersebut. Teori lingkaran diam berkaitan dengan emosi, ketakutan dan reaksi.
Model lingkaran diam dimaksudkan untuk memberikan kontribusi bagi pemahaman kita tentang
sifat sosial manusia.

Bab 14

Pengetahuan sebagai Pemahaman Pendekatan Pemrosesan Informasi dalam Pembelajaran


Politik

Mira Sotirovic dan Jack M. Mcleod

Premis dasar bab ini adalah bahwa belajar merupakan suatu proses dimana individu
berpartisipasi secara aktif. Individu aktif mengumpulkan, menyimpan, memodifikasi,
menafsirkan dan menggabungkan informasi baru dengan apa yang sudah mereka tahu tentang
dunia. Kegiatan ini berlangsung sesuai dengan tujuan, motif, dan kebutuhan (Lachman dan
Butterfield, 1979). Sifat dan struktur informasi jauh lebih penting daripada kuantitas informasi
(Garner, 1974). Belajar dari media tidak dapat direduksi menjadi jumlah fakta yang dihafal atau
diakumulasi. Belajar juga melibatkan fakta-fakta ke dalam keseluruhan yang bermakna yang
menghasilkan pemahaman, penjelasan, dan melihat hal-hal dengan cara yang berbeda
(Scardamalia dan Bereter, 1991). Media memiliki potensi untuk memberikan warga basis
pengetahuan yang lebih baik dan mendukung prinsip demokrasi dengan memproduksi konten
yang merangsang orang berpikir dan mengembangkan kepentingan dan gagasan yang lebih luas
cakupannya.

Tradisi sosialisasi politik melalui fokusnya pada pendidikan politik menyoroti efek media
terhadap pembelajaran informasi politik daripada terhadap perubahan sikap individu dalam isu-
isu politik tertentu (Beck, 1977). Kewarganegaraan demokratis membutuhkan lebih dari
pengetahuan factual. Pemahaman bahwa isu-isu sosial dan situasi individu itu kompleks, saling
berhubungan dan biasanya secara optimal dapat dijelaskan dengan lebih dari satu perspektif.
Dalam masyarakat demokratis media dapat memiliki peran pendidikan yang lebih dari sekedar
memberikan potongan fakta-fakta sederhana dengan menghadirkan berita yang dirancang untuk
menstimulasi refleksi dan mendorong individu untuk menciptakan makna yang dapat memiliki
relevansi sosial. Media sangat penting untuk membentuk cara-cara public menafsirkan dan
memahami isu-isu.

Media dapat membantu dan menghambat perkembangan kemampuan seseorang untuk


memproses informasi dengan cara yang lebih afektif atau kognitif, lebih sederhana atau
kompleks, lebih aktif atau pasif. Media juga harus menjadi pusat dari usaha reformasi terutama
bagi mereka yang kurang berpendidikan, media massa merupakan sumber potensial paparan
pada ide yang berbeda dan berkesempatan untuk belajar apa yang tidak dipelajari di sekolah.

Bab 15

Mediasi Keterlibatan Demokratis : Dampak Komunikasi Terhadap Keterlibatan Warga


Negara dalam Kehidupan Politik dan Kewarganegaraan

Michael X. Delli Carpini

Banyak peneliti menemukan bahwa penggunaan media berkorelasi positif dengan banyak
unsur inti keterlibatan demokrasi seperti kepentingan politik, pengetahuan, dan partisipasi tetapi
pada saat yang sama, ada bukti bahwa penggunaan media juga dapat memupuk sinisme, apati,
pengabaian, dan pelepasan.

Masyarakat yang terlibat dalam demokrasi memiliki keterampilan dan sumber daya yang
diperlukan untuk mengembangkan nilai-nilai, sikap, dan pendapat berbasis informasi,
menghubungkan mereka bersama-sama, dan menerjemahkannya ke dalam tindakan efektif.
“Norma dan nilai-nilai” demokratis mencakup efektivitas internal dan eksternal kepercayaan
politik dan sosial, kepentingan politik, tugas warga negara, dan toleransi politik. “Sikap dan
keyakinan”mengacu pada pandangan umum seseorang tentang dunia sosial dan politik dimana
kita hidup. “Opini/pendapat” menjadi formulasi yang lebih proksimat dan konkret tentang
orientasi yang berlaku pada isu, kebijakan, kandidat, pemegang jabatan spesifik dan sejenisnya.
Berpegang pada opini terutama opini yang stabil, konsisten dan berbasis informasi adalah unsur
penting dari proses demokrasi dan kewarganegaraan demokratis.

Seringkali perbedaan dibuat antara perilaku politik dan kewarganegaraan. Perilaku politik
didefinisikan sebagai kegiatan yang mempengaruhi pemilihan langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan perilaku kewarganegaraan mengacu pada partisipasi individu untuk mengatasi
keprihatinan public secara langsung melalui metode di luar pemilu dan pemerintah. Warga yang
terlibat secara demokratis adalah orang yang berpartisipasi dalam kehidupan politik dan
kewarganegaraan dan memiliki nilai, sikap, pendapat, keterampilan dan sumberdaya untuk
melakukannya secara efektif.

Studi tentang keyakinan dan sikap politik memiliki beberapa konsep kunci yang sama
sengan psikologi yaitu kognisi dan afek. Kognisi mengacu pada bagaimana individu memproses
dan menggunakan informasi sedangkan afek mengacu pada bagaimana seseorang merasa tentang
hal itu.

Dampak positif penggunaan media terhadap partisipasi sebagian besar tidak langsung
terjadi melalui dampaknya terhadap motivasi dan kemampuan. Media juga dapat memiliki
dampak yang lebih langsung terhadap partisipasi melalui penyediaan “informasi mobilisasi”
seperti seruan khusus untuk bertindak dan identifikasi peluang khusus untuk bertindak (Lemert,
1981, 1992; Merrit, 1998; Sirianni & Friedland, 2001).

Hampir 40 tahun penelitian kuantitatif tentang media dan politik ada consensus bahwa
meskipun media tidak mempengaruhi pikiran orang tetapi media dapat mempegaruhi pendapat
orang tentang sesuatu. Peran media dalam politik demokratis berfokus pada genre berita dan
urusan public. Umumnya di media urusan politik dan khususnya media beritalah politik
diasumsikan berada dan kepada bagian media inilah masyarakat diasumsikan berpaling ketika
terlibat dalam dunia politik. Media urusan public membahas isu-isu dunia nyata yang relevan
bagi persentase warga negara yang signifikan.

Penelitian yang diringkas pada bab ini merupakan temuan umum bahwa penggunaan
media urusan public berkorelasi positif dengan sebagian besar bentuk keterlibatan demokratis,
ditambah dengan bukti liputan media yang sinis dan negative tentang politik tampaknya
berkontribusi terhadap penurunan kepercayaan, efektivitas, dan keterlibatan.

Bab 16

Perempuan sebagai Sumber dan Audiens Komunikasi Politik

Dianne G. Bystrom

Perempuan memperoleh hak untuk memilih pada tahun 1920, mereka masuk dunia
pemilihan dengan perlahan dan dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan laki-laki (Ford,
2002). Namun, delapan puluh tahun kemudia, wanita sekarang sekarang lebih besar
kemungkinannya daripada pria untuk daftar memilih dalam setiap pemilu presiden sejak tahun
1964. Tahun 1980 proporsi pemilih perempuan lebih besar daripada proporsi pemilih laki-laki
dan sejak tahun 1984 lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki mendaftar untuk memilih
(Ford, 2002).

Secara khusus, bab ini melihat perempuan sebagai sumber komunikasi politik dengan
meringkas penelitian pidato public, iklan televise, dan situs web. Bab ini meninjau atas studi
yang menganalisis liputan media tentang calon perempuan, pejabat terpilih dan ibu negara serta
reaksi masyarakat terhadap komunikasi politik perempuan.

Studi perempuan yang menjadi calon politik pada 1980-an menunjukkan konsistensi
dalam penggunaan serangan negative sedangkan calon politik laki-laki kurang mungkin untuk
menggunakan serangan negative dalam kampanye khususnya ketika menghadapi perempuan.
(Kahn, 1993). Tetapi Trent dan Sabourin (1993) menemukan bahwa wanita melunakkan
serangan mereka dengan menampilakn gambar dan menyentuh orang lain dalam iklan mereka,
sedangkan laki-laki menggunakan serangan keras yang lebih sering menampilkan close-up diri
mereka sendiri dan menampilkan gambar lawan mereka.
Reaksi masyarakat terhadap komunikasi politik perempuan juga mengungkapkan
stereotype yang terus berlanjut tentang peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
Perempuan dan laki-laki tetap berbeda dalam pengetahuan actual dan persepsi pengetahuan
mereka tentang politik, meskipun studi terbaru menunjukkan bahwa tingkat ketertarikan mereka
dalam politik menjadi lebih mirip.

Das könnte Ihnen auch gefallen