Sie sind auf Seite 1von 44

BAB I

PENDAHULUAN

Keratoplasti atau transplantasi kornea merupakan suatu tindakan pembedahan untuk


menggantikan jaringan kornea yang rusak atau tidak berfungsi dengan kornea yang baru.
Keratoplasti ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1824 oleh Franz Reisinger dengan
melakukan transplantasi dari kornea kelinci yang sehat ke kornea manusia yang rusak.
Penelitian ini dilanjutkan oleh Eduard Zirm tahun 1905 yang berhasil melakukan tindakan ke
kornea manusia yang rusak.(1,2)

Banyak pertimbangan – pertimbangan yang diperlukan sebelum memutuskan


melakukan tindakan keratoplasti. Sebagian besar tindakan keratoplasti dapat dilakukan pada
pasien dengan infeksi, distropi, sikatrik dan penyakit inflamasi kornea lainnya. Prosedur
tindakan ini dapat menjadi pilihan terapi, apabila setelah pemberian terapi obat - obatan atau
tindakan medis lainnya tidak menunjukkan perbaikan terhadap kornea yang rusak. (1,2,3)

Pada dasarnya tujuan keratoplasti ini untuk memperbaiki visualisasi (optik),


terapeutik untuk menghilangkan kelainan dari kornea yang dapat merusak bola mata oleh
karena infeksi bakteri, jamur dan untuk memperbaiki struktur kornea yang sudah tipis atau
perforasi yang dapat mengancam keutuhan bola mata (tektonik) dan sebagai kosmetik.(1,2,3)

Teknik - teknik keratoplasti yang digunakan sangat tergantung pada indikasi penyakit
yang mendasarinya, diantaranya adalah teknik Penetrating keratoplasti (tembus) merupakan
teknik keratoplasti yang melibatkan keseluruhan lapisan kornea (full thickness) dan sebagian
lapisan kornea (lamelar) yang digantikan oleh kornea donor yang sehat.(2,4)

Saat ini keratoplasti dapat juga sebagai pilihan terapi pembedahan pada kasus – kasus
infeksi kornea seperti ulkus kornea progresif, kornea yang menipis, perforasi kornea dengan
atau tanpa ulserasi yang dapat mengancam keutuhan bola mata dan infeksi kornea yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan terapi medikamentosa atau pilihan terapi lainnya. (1,2,4)

Pada makalah ini akan menjelaskan klasifikasi, indikasi, komplikasi dan manajemen
keratoplasti pada pasien infeksi kornea.
1
BAB II

ANATOMI KORNEA

Kornea adalah jaringan avaskuler yang transparan sebagai pelindung mata dari
lingkungan luar, ia membentuk seperenam anterior bola mata. Permukaan anterior dilindungi
oleh tear film dan permukaan posterior berhubungan langsung dengan aquos humor.
Permukaan luar berbentuk lensa positif dengan kekuatan refraksi kira-kira 43 Dioptri (D),
dua pertiga dari total kekuatan refraksi mata dan merupakan media refraktif utama dari
mata.(5,6)

Pada orang dewasa ukuran horizontal kornea adalah 11-12 mm dan ukuran vertikal
adalah 9-11 mm. Kelengkungan kornea tidak konstan karena kornea sentral lebih tipis (0,5

mm) dibandingkan dengan kornea perifer (0,7). Kornea lebih datar pada bagian perifer, tapi
pendataran ini tidak simetris. Pendataran lebih luas pada bagian nasal dan superior dibanding
bagian temporal dan inferior. Topografi ini penting dalam pemasangan fitting kontak lens.
(5,6)

Sifat optik dari kornea ditentukan oleh transparansi, kebeningan permukaan, kontur
dan indek refraksi. Transparansi kornea terbentuk dari susunan serat kolagen di stroma, yang
mempunyai diameter serat kolagen yang hampir sama dan jarak antara serat kolagen relatif
homogen. Susunan anatomi ini merupakan faktor yang menentukan pembiasan cahaya saat
melewati kornea. Jika diameter atau jarak anta ra serat kolagen menjadi tidak sama
(heterogen) menyebabkan gangguan pembiasan cahaya dan penurunan transparansi
kornea(5,6)
Kornea terdiri dari lima lapisan secara histologi:

1. Epitel dengan membran basal

2. Lapisan Bowman

3. Stroma
4. Membran Descemet

5. Endotel

2
Gambar 1. Struktur Kornea()

Epitel

Epitel adalah permukaan anterior kornea dan ditutupi oleh nonkeratin, terdiri dari
epitel squamous bertingkat yang berasal dari lapisan kolumnar basal yang dilekatkan ke
lamina basal oleh hemidesmosom. Sel basal lebarnya 12 mikrometer dan kepadatannya 6000
2
sel/mm . (5,6)

Ketebalan epitel kornea lebih kurang 50 mikrometer dan merupakan 10% dari seluruh
ketebalan kornea. Epitel kornea terdiri dari lima sampai enam lapis, yaitu: (5,6)

2-3 lapis sel superfisial

2-3 lapis sel „wing‟ poligonal


1 lapis sel basal kolumnar

Epitel kornea seperti epitel squamous bertingkat lainnya mempunyai kemampuan


beregenerasi. Waktu yang dibutuhkan sel basal untuk bermigrasi keanterior menjadi sel
permukaan kira-kira 5-7 hari. Meskipun sel epitel bagian dalam (basal) melekat erat satu
sama lain oleh desmosom, mereka bergerak secara kontinyu dari basal kearah tear film dan
menghilang, yang berperan untuk memelihara epitel kornea. (5,6)

Sel epitel basal melekat pada lamina basal oleh hemidesmosom. Perlekatan ini meluas
ke membrana bowman oleh anchoring fibril (kolagen tipe VII) dan berakhir di anchoring
plaque. Anchoring fibril dimembrana bowman membentuk suatu komplek yang mengandung
kolagen tipe I yang melekatkan juga epitel dan membrana bowman ke stroma. (5,6)

3
Lapisan Bowman

Lapisan ini berada dibawah lamina basal dan bagian anterior dari stroma. Merupakan
zona yang aseluler terdiri dari fibril kolagen (tipe I dan IV) dan kumpulan proteoglikan yang
tersebar secara acak,dengan ketebalan 8-14 mikrometer. Fibril kolagen diameternya kira-kira
20-30 mikrometer. Serat kolagen dilapisan ini disintesa dan dieksresikan oleh keratosit
stroma. Fungsi lapisan Bowman ini belum jelas. Beberapa hipotesis menyebutkan untuk
memberikan kelicinan, memelihara keseragaman epitel yang diperlukan untuk kekuatan
refraksi. Tidak dapat beregenerasi jika rusak tapi digantikan oleh jaringan sikatrik. (5,6,7)

Stroma

Stroma terletak ditengah lapisan jaringan penunjang dengan ketebalan lebih kurang
500 mikrometer, merupakan bagian terbesar dengan ketebalannya 90% dari ketebalan kornea.
Kornea mempunyai karakteristik yang kuat, bentuk yang stabil dan transparansi.Hal ini
disebabkan karena anatomi dan sifat biokimia dari stroma. Bentuk yang seragam dan susunan
yang teratur, regenerasi yang terus menerus dan degradasi serat kolagen penting untuk
transparansi kornea. (5,6,7)

Stroma kornea terdiri dari matrix ekstraseluler, keratosit (fibroblast kornea) dan serat
saraf. Matrix ekstraseluler terdiri dari: kolagen dan glikosaminoglikan. Kolagen terdiri dari
lebih 70% dari berat kornea. Kolagen tipe I adalah kolagen utama yang ada di stroma dan
diproduksi oleh keratosit. Selain itu terdapat juga kolagen tipe III, IV dan V dalam jumlah
yang lebih sedikit. (5,6,7)

Kornea mempunyai kira-kira 2,4 juta keratosit (sel stroma) yang menempati kira-kira
5% dari volume stroma. Densitasnya lebih rapat pada anterior (1058 sel/mm 2) dibanding
dibagian posterior (771 sel/mm2). Keratosit terletak antara lamella kornea. Secara
ultrastruktur menyerupai fibrosit. Keratosit adalah sel yang sangat aktif, banyak mengandung
mitokondria, retikulum endoplasmik dan aparatus golgi. Keratosit mempunyai struktur yang
teratur dan distribusinya yang sama pada kornea, semua ini juga diperlukan untuk
transparansi kornea. (5,6,7)

Serat kolagen dapat dilihat melalui transmisi mikroskop elektron. Serat kolagen
mempunyai diameter yang hampir sama yaitu 22,5-35 nm. Jarak antara serat kolagen juga
hampir sama 41,4 tambah kurang 0,5nm. Susunan yang teratur dari serat kolagen penting
dalam menentukan transparansi kornea. Kolagen dibentuk dari 300 lamela. Tiap lamela
merupakan rangkaian paralel pada permukaan kornea dari limbus kelimbus. Pergantian
molekul kolagen dikornea terjadi secara pelan yaitu 2-3 tahun. (5,6,7)

4
Berbagai glycosaminoglican (GAG) ditemukan antara serat kolagen distroma, kecuali
hyaluronan (hyaluronic acid). Semua GAG terikat ke inti protein untuk membentuk
proteoglikan. Proteoglikan yang ditemukan distroma adalah keratan sulfat, dermatan sulfat
dan chondritin sulfat. Persentase GAG distroma 65% adalah keratan sulfat dan 30%
chondroitin / dermatan sulfat. Proteoglikan yang ditemukan distroma lebih banyak dibanding
jaringan tubuh lainnya. GAG mempunyai kemampuan untuk mereabsorpsi dan menahan
banyak cairan (proses hemoestatik). Jika fungsi pompa endotel rusak maka stroma akan
menebal menyebabkan gangguan jarak serat kolagen. Ketidakteraturan jarak antara serat
kolagen menyebabkan pembiasan cahaya menyebar dan kornea berkabut. GAG juga berperan
mengatur fibrillogenesis kolagen. (5,6,7)

Membran descemet

Adalah lapisan yang terletak antara endotel dan posterior dari stroma. Merupakan
lamina basal dari endotel kornea. Ketebalannya akan bertambah sesuai umur , saat baru lahir
tebalnya 3-4 mikrometer dan saat dewasa menjadi 10-12 mikrometer. Membran descemet
banyak mengandung kolagen tipe IV. Bagian anteriornya bergabung dengan kolagen stroma.
Membran ini sangat elastis dan bertahan terhadap aksi enzim proteolitik, seringkali masih
intak walaupun epitel dan stroma rusak. (5,6,7)

Endotel

Endotel kornea terdiri dari lapisan tunggal yang terletak posterior dari membrana
descemet yang terdiri dari sel hexagonal dengan diameter 20 mikrometer, jumlah selnya lebih
kurang 500.000 dan ketebalannya kira-kira 3000 sel/mm2. Jumlah sel berkurang sesuai
dengan proses penuaan , dengan perubahan pada penyebaran dan sel yang menipis, hal ini
disebabkan karena mitosis dari sel endotel tidak ada. (5,6,7)

Sel endotel muda mempunyai nukleus yang besar dan mitokondria yang banyak.
Transport aktif ion pada sel ini penting untuk transfer air dari stroma kornea dan penting
untuk desturgensi dan transparansi stroma. Fungsi endotel adalah sebagai barier permiabilitas
antara aquos humor dan stroma kornea serta sebagai pompa untuk menjaga kornea tetap
dalam keadaan rehidrasi. (5,6,7)
5
BAB III

KLASIFIKASI, INDIKASI DAN KOMPLIKASI KERATOPLASTI

3.1. Definisi

Keratoplasti atau transplantasi kornea berasal dari kata “kerato”; kornea dan “plasty”;
berhubungan dengan modifikasi pembedahan, yaitu suatu teknik pembedahan pada jaringan
kornea yang rusak dari resipien dan digantikan dengan jaringan kornea yang sehat dari donor.
(9,10)

3.2. Klasifikasi – keratoplasti(9,10)

1. Penetrating keratoplasti (PK) ;

2. Anterior lamelar keratoplasti (LK) ;

Tranplantasi sebagian dari ketebalan kornea bagian depan ( 400 – 450 μm ).


Misalnya SALK, ( Superfisial Anterior Lamellar Keratoplasty ) dan DALK
(Deep Anterior Lamellar Keratoplasty)

3. Endothelial keratoplasty (EK);

Transplantasi sebagian ketebalan kornea bagian belakang (85-150μm)


Gambar 2: Perbedaan tipe – tipe keratoplasti (4)

6
3.3. Indikasi keratoplasti(3,8,11)

1. Indikasi optik

Bertujuan untuk memulihkan kemampuan penglihatan penderita secara optimal.


Biasanya dilakukan pada kerusakan kornea yang minimal dan tanpa ada penyulit
tindakan.

2. Indikasi terapeutik

Dilakukan dengan cara mengangkat jaringan patologi kornea yang diperkirakan


dapat merusak bola mata secara keseluruhan, misalnya karena infeksi bakteri atau
jamur.

3. Indikasi tektonik

Dilakukan untuk memperbaiki struktur jaringan kornea yang mengalami


penipisan dan kerusakan yang mengancam keutuhan bola mata. Keadaan ini sering
disebabkan oleh infeksi maupun trauma.

4. Indikasi kosmetik

Tindakan ini diakukan hanya untuk memulihkan kejernihan kornea karena


kemampuan penglihatan tidak dapat dipulihkan karena sistem saraf penglihatan
terganggu. .

3.4. Beberapa pilihan terapi keratoplasti pada infeksi kornea diantaranya :

3.4.1. Penetrating keratoplasti (PK) ;

Disebut juga full thickness ; merupakan metode transplantasi kornea yang


pertama dan paling sering dilakukan. Diperkirakan 80% dari semua jenis transplantasi
kornea, menggunakan teknik ini. Tindakan ini dilakukan dengan menggantikan
seluruh lapisan kornea dengan diameter 7,0 mm – 8,5 mm di transplantasikan ke
dalam kornea mata penerima. (2,9,10)
Gambar 3: Penetrating keratoplasty (10)

7
Tujuan penetrating keratoplasti : (7,9,10)

1. Membentuk sentral media kornea yang jernih/ visual axis

2. Menyokong pembentukkan tektonik kornea

3. Menyingkirkan infeksi

Indikasi penetrating keratoplasti

Terapi keratoplasti ini pada umumnya di indikasikan untuk keadaan yang


berat dan infeksi yang progresif yang tidak respon terhadap terapi pengobatan.
Intervensi operasi yang dilakukan bertujuan untuk menghilangkan fokus infeksi,
mengurangi resiko penyebaran intraokuler dan sering dilakukan untuk
mencegah impending perforasi kornea, perforasi kornea.(2,11,13,16)

Menurut J.Bradley dkk(13) indikasi penetrating keratoplasti pada kasus –


kasus infeksi kornea diantaranya :

Graft failure

Bullous keratoplasti

Keratoconus

Keratitis mikrobial

Ulkus yang luas

Ulkus dengan impending perforasi ( descemetocele atau perforasi )


Gambar 4 :ulkus kornea perforasi dan post operasi dengan
penetrating keratoplasty (20)

Keuntungan penetrating keratoplasti(2,4,16)

- Seluruh jaringan kornea yang terinfeksi dikeluarkan, sehingga dapat


mengurangi perburukan terhadap jalur visual

8
Kerugian penetrating keratoplasti(2,4,16)

- Sulit untuk menentukan kurvatura anterior kornea, sebagai petunjuk yang


signifikan terhadap kesalahan refraksi

- Penyembuhan setelah operasi lama

- Kemungkinan terjadi penolakan jaringan transplantasi dari kornea donor

- Komplikasi jahitan; eksposur, vaskularisasi, dan infeksi

- Kemungkinan lemahnya hubungan antara graft - host: sehingga beresiko


traumatic wound dehiscence, dan ruptur bola mata

Hal – hal yang mempengaruhi keberhasilan penetrating keratoplasti

Keadaan calon donor kornea

Kondisi mata calon resipien

Penyulit operasi

Penyulit paska bedah

Reaksi penolakan kornea donor

Komplikasi penetrating keratoplasti

Apabila transplantasi mengalami kegagalan salah satunya oleh karena


penolakan, infeksi atau sebab lainnya maka transplantasi kornea dapat di ulang
kembali. Hasil transplantasi kornea dapat memberikan hasil yang baik, tetapi
tingkat penolakan kornea akan lebih tinggi dibandingkan transplantasi yang
pertama. Beberapa penelitian mengatakan rata – rata terjadinya penolakan
transplantasi kornea sebesar 5 – 30% yang ditandai dengan kornea menjadi
mengeruh dan memburuk. (2,9,14)
Kelengkungan kornea yang kurang sempurna akibat transplantasi kornea
terutama disebabkan oleh karena jahitan pada kornea akan memicu timbulnya
astigmatism. Hal ini dapat memperlambat timbulnya perbaikan penglihatan,
namun masalah ini masih dapat ditanggulangi. Rata – rata mulai terlihat
perbaikannya 1 tahun setelah operasi. Disamping itu, bila pasien mempunyai
kelainan lain dibagian saraf mata seperti diabetik retinopati, glaukoma.(2,14,16)

Komplikasi intraoperatif(2,14,16)

- Kerusakan pada lensa atau iris oleh karena alat trephine, gunting, atau alat
instrumen.

- Hasil pengambilan trephine yang irreguler

9
- Sentralisasi graft yang jelek terhadap dasar dari host

- Perdarahan yang berlebihan dari iris dan tepi luka

- Inkaserasi dari iris di tepi luka

- Kerusakan endotelium donor selama trephinasi dan penanganannya

Komplikasi post operatif

Keberhasilan penetrating keratoplasti jangka panjang sangat tergantung


pada kualitas keberhasilan dari teknik operasi yang dilakukan. Diperlukan
kontrol yang rutin setelah operasi dengan memberikan antibiotik topikal,
kortikosteroid topikal dan follow up yang teratur untuk menilai kemungkinan
munculnya komplikasi setelah operasi. (2,14,16)

Beberapa komplikasi yang kemungkinan ditemukan setelah operasi


penetrating keratoplasti adalah : (2,14,15,16)

- Graft rejection

- Kebocoran dari bibir luka

- Coa dangkal / inkaserasi iris dari bibir luka

- Glaukoma

- Endophthalmitis

- Kegagalan pembentukan endotelial

- Persisten epitelial defek

- Rekuren penyakit dasarnya


- Masalah jahitan seperti jahitan terlalu tegang, longgar, rusak, terdapat
abses, vaskularisasi di sekitar jahitannya

- Keratitis mikrobial

3.4.2. Lamelar keratoplasty (LK)

Merupakan prosedur transplantasi kornea yang selektif menggantikan hanya


lapisan kornea yang rusak saja, dan mempertahankan jaringan kornea yang masih
baik. Keadaan ini selalu diindikasikan untuk kondisi patologi kornea yang
mempengaruhi 85 – 95% kornea dengan menggantikan lapisan luar stromal, dengan
tidak melibatkan membran descemet dan endothelium. Pada teknik ini dilakukan
insisi sebagian ketebalan kornea, menggantikan lapisan epitel dan stroma dengan
jaringan donor. Dengan tidak mentransplantasikan lapisan endotel posterior kornea

10
diharapkan dapat mengurangi resiko penolakan jaringan kornea donor. Hal ini sangat
cocok untuk penyakit – penyakit kornea yang hanya melibatkan bagian anterior atau
stroma kornea.(2,10,17)
Indikasi Anterior lamellar keratoplasti (ALK):

Merupakan tranplantasi sebagian dari ketebalan kornea bagian depan (400 –


450 μm), kondisi ini di indikasikan untuk: (2,10,17)

- Superfisial sikatrik kornea

- Keratoconus

- Keratitis ulseratif atau perforasi

- Cornea thinning, contohnya: descemetocele formation

- Trauma.
Gambar 5: anterior lamellar keratoplasti(10)

Keuntungan lamelar keratoplasti : (2,4,17)

- Hanya minimal diperlukan jaringan donor

- Mengurangi resiko menembus ke COA

- Waktu pemulihan kornea lebih cepat

- Mengurangi insiden rejection allograft

- Host endothelium masih baik

- Tidak dibutuhkan donor untuk endothelium

- Mengurangi kegagalan transplantasi endothelial

- Di indikasikan untuk penyakit yang berhubungan dengan jaringan stromal


Kerugian lamelar keratoplasty : (2,4,10,17)

- Anterior lamelar keratoplasti tidak dapat menggantikan kerusakan


endotelium.

11
- Teknik prosedur ini lebih sulit dibandingkan penetrating keratoplasti dan
membutuhkan keahlian khusus.

- Dapat menimbulkan opasifikasi dan vaskularisasi diantaranya, sehingga


menyebabkan keterbatasan fungsi penglihatan.

- Relatif permukaan kornea irregular dan subepitelial kabur

Teknik pembedahan lamelar keratoplasti dapat dibedakan atas : (2,4,10)

1. SALK ( Superfisial Anterior Lamellar Keratoplasty ); bila transplantasi


kornea dilakukan pada 1/3 anterior stroma kornea, contoh sikatrik kornea.

2. DALK ( Deep Anterior Lamellar Keratoplasty ); jika infeksi kornea lebih


luas sampai ke stromal, namun endotelium masih baik seperti pada
keratokonus, keratitis post infeksi, distrofi korneal dan sikatrik.

3.4.3. Endothelial keratoplasty (EK);

Mempertahankan bagian anterior kornea yang sehat pada saat menggantikan


lapisan endothelium kornea yang sakit dengan jaringan donor yang sehat melalui
sayatan kecil di limbal. Hal ini merupakan teknik baru dan sangat popular dari
transplantasi kornea.

Teknik ini dapat dibedakan atas 3 tipe diantaranya(10)

1. Deep Lamelar Endotelial Keratoplasty ( DLEK)

Dengan melakukan eksisi stroma posterior dan endothelium resipien dengan


menggunakan gunting lengkung kecil dan trephine dan kemudian jaringan kornea
donor dilipat dan dimasukkan melalui sayatan kecil tersebut.

2. Descemet – Stripping Endothelial Keratoplasty ( DSEK/DSAEK)


Merupakan teknik yang pontensial sedikit trauma terhadap COA dibandingkan
diseksi lamellar resipien dan eksisi jaringan dengan trephine dan gunting. Dengan
menggunakan teknik mekanik mikrokeratome yang digunakan untuk
menyederhanakan diseksi jaringan donor sehingga disebut Descemet – Stripping
Endothelial Keratoplasty ( DSEK/DSAEK)

3. Descemet Keratoplasty Membran Endotel ( DMEK)

Teknik ini hanya mengambil membrane elastikc posterior dari kornea bersama

– sama dengan sel endotel yang ditransplantasikan. Pada teknik ini harus

12
dipastikan pengambilan lapisan yang sangat tipis untuk ditransplantasikan. Hal ini
bertujuan untuk mendapatkan visual yang lebih bail dan lebih cepat.

Gambar 6: endothelial keratoplasti(10)


13
BAB IV

KERATOPLASTI PADA KASUS – KASUS INFEKSI KORNEA

Keratoplasti atau transplantasi kornea merupakan salah satu manajemen pembedahan


kornea yang dapat di indikasikan pada kondisi tertentu. Tindakan keratoplasti ini pada
umumnya banyak dilakukan pada kasus – kasus infeksi sebagai salah satu pilihan terapi
pembedahan untuk memperbaiki atau menggantikan keadaan kornea yang sudah rusak,
infeksi kornea yang progresif, kornea yang menipis, ulkus kornea progresif, perforasi kornea
dengan atau tanpa ulserasi yang dapat mengancam terhadap keutuhan bola mata dan tidak
menunjukkan perbaikan dengan terapi obat – obatan maksimal atau pilihan terapi lainnya.
(20,21,22,23)

4.1. Indikasi keratoplasti pada pasien infeksi kornea diantaranya (25)

Ulkus kornea bakteri

Penetrating keratoplasti jarang digunakan sebagai terapi pada ulkus kornea bakteri
yang aktif oleh karena tersedianya antibiotik yang spesifik. Indikasi keratoplasti pada
ulkus kornea meliputi ulkus kornea progresif, keterlibatan kornea yang luas, dan
terbentuknya descemetocele atau perforasi disamping antibiotik maksimal tetap
diberikan. Rata – rata 3 – 6 % kasus membutuhkan terapi keratoplasti pada ulkus
kornea bakteri.

Ulkus kornea fungal

Terapi keratoplasti lebih sering diperlukan dibandingkan dengan ulkus kornea


bakteri, sebagai manajemen ulkus kornea yang sulit disembuhkan. Insiden kasus ini
dibutuhkan terapi keratoplasti sekitar 18-29%.

Ulkus herpes
Terapi keratoplasti biasanya dilakukan pada kasus necrotizing herpetic keratitis
yang menyebabkan kornea melting yang luas dan perforasi. Terapi keratoplasti juga
dapat dilakukan pada pasien yang ditemukan perforasi kornea sekunder yang
menyebabkan persisten epithelial defek dengan sedikit atau tidak ada inflamasi stro
mal.

14
4.2. Waktu pembedahan

Waktu yang tepat untuk melakukan keratoplasti ini sangat tergantung pada
etiologi yang mendasarinya. Menurut Nobe et al(25) mendapatkan ± 17% kerjernihan
transplantasi kornea pada pembedahan yang dilakukan dalam 24 jam, 57% dengan
pembedahan dalam 2-6 hari dan 31 % dengan keterlambatan pembedahan 1 minggu – 2
bulan.

Disamping itu Nobe et al(20) mengatakan lebih menguntungkan bila melakukan


tindakan penetrating keratoplasti agak terlambat terutama pada kasus – kasus infeksi
kornea fulminan, sekitar 2 – 5 hari. Namun apabila dengan terapi pengobatan maksimal
tidak dapat menghentikan progresifitas perforasi kornea maka diperlukan melakukan
tectonic patch graft atau graft yang luas terlebih dahulu. Karena pada dasarnya
keratoplasti tektonik merupakan suatu prosedur transplantasi kornea yang bertujuan
untuk mempertahankan bola mata terutama pada kornea yang perforasi atau menipis.
Beberapa pilihan keratoplasti yang dapat digunakan adalah penetrating keratoplasti,
anterior lamelar keratoplasti, dan peripheral corneal patch grafts dengan berbagai
ukuran dan bentuknya.(22,23,24)
4.3. Evaluasi pre-operatif

Riwayat pasien

Penilaian terhadap penyakit pasien meliputi ; awal mulainya gejala penyakit,


lamanya, pengobatan sebelumnya, ada tidaknya intervensi pembedahan sebelumnya,
informasi kuman penyakitnya, dan respon terhadap pengobatan

Pemeriksaan ophthalmology

Penilaian ini meliputi ; visual acuity, pemeriksaan slit lamp bertujuan untuk
mengevaluasi kedalaman, luasnya keterlibatan kornea,ukurannya. Topikal fluorescein
dan seidel test dilakukan untuk mengevaluasi ukuran perforasi kornea.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan USG mata diperlukan sebagai petunjuk untuk menilai


keterlibatan segmen posterior
Terapi pre-operatif

o Terapi antibiotik

Antibiotik sistemik dan topikal direkomendasikan sebagai terapi pre-


operatif. Jika sebelum operasi, infeksi kumannya belum dapat ditentukan,
dianjurkan untuk pemberian antibiotik broad spektrum atau kombinasi.

15
Donnenfeld et al(25) merekomendasikan topikal setiap jam pada semua kasus
yang akan terapi keratoplasti. Disamping itu juga diberikan Ofloxacin 400 mg
setiap 12 jam dan intravenous vancomycin dan tobromycin sebelum operasi.

o Steroid

Menurut pendapat beberapa ahli, pemberian steroid topikal dihindari


karena akan memperburuk proses infeksinya.

4.4. Pemilihan keratoplasti pada infeksi kornea

Penetrating keratoplasti dan lamelar keratoplasti pada umumnya sering


digunakan pada kasus – kasus infeksi terutama ulkus kornea progresif dengan atau
tanpa perforasi kornea yang di sentral atau perifer. Apabila ditemukan perforasi kornea
disentral, para ahli lebih memilih penetrating keratoplasti dan pada perforasi yang kecil
dapat dipilih tissue adhesive atau lamelar atau kerato-patch. (2,20,22,23)

Pemilihan teknik keratoplasti berdasarkan infeksi korneanya:

1. Lamellar keratoplasti ( Kerato-patch )

Pada ulkus kornea stromal sentralis yang progresif yang tidak ada
menunjukkan perbaikan dapat dilakukan penetrating keratoplasti atau lamelar
keratoplasti. Namun lamelar keratoplasti merupakan teknik pembedahan
sementara pada ulkus kornea yang berguna untuk memberikan penguatan pada
kornea yang menipis dan stroma kornea nekrotik yang telah membentuk
descemetocele. Disamping itu terapi pengobatan tetap dilanjutkan sesuai
penyakit yang mendasarinya dan kemudian dilanjutkan dengan penetrating
keratoplasti.(20,21,22)

Pada tindakan lamelar keratoplasti ini biasanya mengambil bagian


jaringan kornea (plano lamellar) dengan Ø 10 – 12mm dan ketebalan 0,3mm.
Sebelum digunakan jaringan donor yang telah dibekukan, dilakukan rehidrasi
dengan cairan fisiologis dengan ditambahkan gentamisin (100µg/ml).
Sedangkan pada kornea resipien yang akan diperbaiki ditandai dengan
trephine, kemudian dipotong tepinya secara lamelar sesuai dengan kedalaman
kornea yang rusak. Jika sudah terangkat, dasar resipien dibersihkan dari semua
jaringan nekrotik. Selanjutnya kornea donor dipotong dengan ukuran yang
sama dengan trephine sesuai dengan ketebalan kornea yang dibutuhkan,
(biasanya luasnya ± Ø 0,5mm), dan kemudian diletakkan ke dasar resipien

16
dan dijahit dengan nylon 10.0 secara interupted. Setelah operasi diberikan
topikal medikamentosa meliputi topikal antibiotik dan okular lubrikan.
Topikal kortikosteroid dapat diberikan kecuali kalau ada kontraindikasi dari
penyakit yang mendasarinya.(21,22,23)

Pada ulkus kornea perifer, manajemen keratoplastinya tidak jauh


berbeda dengan ulkus kornea sentralis.

2. Penetrating keratoplasty

Pada umumnya untuk perforasi kornea yang luas ( ≥ 1-2mm)


sebaiknya diterapi dengan penetrating keratoplasti. Namun dianjurkan sebelum
dilakukan penetrating keratoplasti diberikan terapi medikamentosa yang lebih
agresif dengan topikal antibiotik fortified selama 24 jam dan kortikosteroid
dosis tinggi dan topikal steroid.

Penetrating keratoplasti dapat diindikasikan pada kasus sikatrik


kornea sentralis, ulkus, nekrosis atau perforasi kornea, namun demikian
penetrating dapat dilakukan lebih awal untuk terapi perforasi kornea akut
untuk mempertahankan integritas bola mata dan memperbaiki ketajaman
penglihatan. Namun bila memungkinkan, sebaiknya penetrating keratoplasti
ditunda sampai inflamasi mulai mereda.

Sebelum melakukan tindakan daerah perforasi kornea ditandai terlebih


dahulu oleh trephine meliputi semua jaringan yang nekrotik. Rata – rata dasar
resipien kornea yang diambil antara 7 - 8,5 mm diluar ukuran standar daerah
lesi, tetapi jika nekrosis kornea luas atau mendekati limbus, sehingga
kemungkinan akan terdapat bagian yang terputus. Sebaiknya kamera okuli
anterior dibentuk terlebih dahulu dengan viscoelastis (sodium hyaluronat)
sebelum dipotong oleh trephine. Trephine sangat sulit dilakukan pada kornea
yang lunak, namun hal tersebuti masih dapat diatasi dengan menggunakan
suction trephine. Dan untuk kornea donor yang diperlukan, diambil lebih besar
± 0,25 – 0.5mm dari ukuran lesinya. Kemudian dijahit dengan nylon 10.0
secara interupted dan setelah operasi dianjurkan diberikan topikal antibiotik
dan kortikosteroid.

Menurut beberapa penelitian lain berpendapat, apabila perforasi kornea


yang lebih dari Ø 3mm, membutuhkan terapi keratoplasti yang disesuaikan
dengan kondisi kornea yang mendasarinya. Tindakan keratoplasti ini sangat

17
tergantung pada ukuran perforasinya. Apabila perforasi kornea kecil, ≤ 1mm,
dapat diberikan tissue adhesive dengan soft contact lens sebagai first line of
treatment. Jika gagal, dan perforasi kornea ≥ 1 mm tetapi tidak melibatkan
visual axis dapat dilakukan small peripheral penetrating keratoplasti (PK).
Namun jika ditemukan kasus dengan ulkus marginal / perifer dan perforasi
dapat dilakukan annular penetrating keratoplasti. Apabila terdapat ulkus dan
perforasi yang melibatkan visual axis, dibutuhkan penetrating keratoplasti
yang luas untuk mempertahankan integritas bola mata dan bila memungkinkan
dapat memperbaiki ketajaman penglihatan.

Apabila perforasi kornea yang terlalu luas, agak sulit dilakukan tissue
adhesive karena mudah terjadi kebocoran, sehingga perlu dilakukan patch
graft yang bertujuan untuk memperkecil daerah perforasi kornea sebelum
dilakukan penetrating keratoplasti. Namun pada kasus perforasi kornea yang
luas di daerah perifer, dapat dilakukan partial penetrating keratoplasti,
biasanya Ø 3-4mm. Pada kasus perforasi kornea yang kecil yang kamera okuli
anterior masih terbentuk, daerah tersebut ditutup dan kemudian dijahit dengan
nylon 10.0.
Gambar 7: Diagrammatic approach to the treatment of corneal perforations. The
stippled area in the figures represents the ulcer bed and the black area within
represents the perforation. A. For peripheral perforations 1 mm and less, tissue
adhesive with a soft contact lens is the first line of treatment. B. If tissue adhesive
fails or if the perforation is greater than 1 mm but does not involve the visual axis,
a small peripheral penetrating keratoplasty (PK) may be performed. C. In cases of
marginal ulcerations and perforations, an annular peripheral penetrating
keratoplasty is often necessary. D. In cases of ulcerations and perforations that
involve the visual axis, a large central penetrating keratoplasty may be used to
restore ocular integrity with the possibilty of improving visual functionif the graft
remains clear. (23)

18
4.5. Manajemen post-operatif

1. Terapi Antibiotik

Lamanya pemberian terapi antibiotik sangat tergantung pada beratnya


infeksi dan penyebab organisme kumannya. Sebaiknnya antibiotik tetap
dianjurkan sampai terbentu epitelisasi kornea yang sehat. Jamur,
acanthamoeba dan ulkus viral membutuhkan terapi antibiotik sampai
beberapa bulan setelah operasi.

2. Steroid

Penggunaan topikal steroid setelah tindakan keratoplasti pada kasus infeksi


masih kontroversi. Namun menurut Killingsworth et al dan O‟ day et al(25)
mempertimbangkan pemberikan topikal dan sistemik steroid secara agresif
untuk menurunkan inflamasi setelah operasi dan memperbaiki visus. (25)

Sebagian besar ulkus kornea bakteri respon dengan pemberian antibiotik


yang bersamaan dengan steroid untuk mengatasi inflamasi. Pada penelitian ini
mereka memberikan topikal steroid setiap 8 jam sehari. Meskipun demikian,
pada kasus infeksi yang rekuren, ulkus kornea jamur yang aktif setelah terapi
keratoplasti, sebaiknya steroid dihindari. Namun pada terapi keratoplasti pada
ulkus herpetik, topikal kortikoteroid dapat diberikan tanpa resiko yang
signifikan sepanjang pasien tetap diterapi bersamaan dengan topikal atau oral
antiviral.(25)

4.6. Prognosis

Prognosis keratoplasti ini sangat tergantung pada etiologi, ukuran dan lokasi, luas,
kedalaman infeksi kornea yang mendasarinya. Terapi keratoplasti dapat dilakukan pada
pasien infeksi dan akan memberikan prognosa yang lebih baik apabila infeksi kornea
tersebut tidak respon dengan pengobatan yang maksimal atau dengan tindakan
pembedahan lainnya tidak menunjukkan perbaikan.
19
BAB V

KESIMPULAN

1. Keratoplasti atau transplantasi kornea merupakan modifikasi pembedahan pada jaringan


kornea yang rusak dari resipien dan digantikan dengan jaringan kornea yang sehat dari
donor.

2. Keratoplasti yang sering digunakan saat ini ada 2 macam yaitu: penetrating keratoplasty
dan lamelar keratoplasty.

3. Pemilihan jenis keratoplasti yang digunakan disesuaikan dengan indikasi penyakit yang
mendasarinya, ukuran,luas, lokasi dan kedalamannya kornea yang terlibat.

4. Keratoplasti dapat dipertimbangkan sebagai pemilihan terapi bedah pada kornea, apabila
terapi pengobatan maksimal atau tindakan pembedahan lainnya tidak menunjukkan
perbaikan.

5. Pada ulkus perifer dan perforasi kecil dapat dilakukan partial conjunctival flap atau
lamelar ( kerato-patch) keratoplasti

6. Perforasi kornea yang luas disentral dan tidak respon dengan terapi medikamentosa dan
pembedahan lainnya dianjurkan segera melakukan penetrating keratoplasti.
20
DAFTAR PUSTAKA

1. Weinberg MA, Insler MS,et al. Corneal transplantation. US Pharmacist.Medscape.Jobson


Publishing.2011.p.1-7

2. American Academy of Opthalmology. Clinical Approach to corneal transplantation.In:


External
Disease and Cornea. Basic and Clinical Science Course. Section 8: 2008-2009; p. 413-
444.

3. Jacob J. Corneal Graft Rejection. In:drug, disease, and procedure. Emedicine.Medscapae.


Oct 16.2012.p.1-6.

4. Tan DT, Dart JK, Holland EJ, et al. Corneal transplantation.In: Ophthalmology
3.Lancet.Singapore National Eye Center.2012.378.p,1749-1761.

5. American Academy of Opthalmology. The Eye. In Fundamental and Principles of


Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 2: 2008-2009; p. 45-51

6. American Academy of Opthalmology. Structure and Function of External Eye and


Cornea. In External Disease and Cornea. Basic and Clinical Science Course. Section 8:
2008-2009; p. 5-18.

7. Klyce SD. Corneal physiology. In: The Cornea. Smolin G and Thoft RA.Chap2. Little
Brown Company. Boston. 2005.p.38-55.

8. McNeil JI. Indication and outcomes. In:Cornea.Surgery of the cornea and conjunctiva.
edited by Jay H Krachmer, Mark J.Mannis. Chap 117.Ed2sd .Vol 2. Mosby Elsivier.
2005.p.1413-1421.
9. Ginting AM, Siswoyo D. Keratoaplasty.In: Jakarta Eye Center online.Jakarta.2007.p1-17.

10. Type of Corneal transplantation. Lion Eye Service Melbourne.


www.cera.org.au/uploads/icds. Sept 2010
11. Verdier DD.Penetrating keratoplasty. In:Cornea.Surgery of the cor nea and conjunctiva.
edited by Jay H Krachmer, Mark J.Mannis. Chap 120.Ed2sd .Vol 2. Mosby Elsivier.
2005.p.1441-1450.
12. Brightbil FS, Bras RE. Preoperative evaluation of the keratoplasty patient.
In:Cornea.Surgery of the cornea and conjunctiva. edited by Jay H Krachmer, Mark
J.Mannis. Chap 118.Ed2sd .Vol 2. Mosby Elsivier. 2005.p.1423-1425.

13. Randleman JB, Song cd, et al. Indication for outcomes of penetrating keratoplasty
perfomed by resident surgeons.American Journal of Ophthalmology.Vol
136,No.1.2003.P.68-75.

14. Bradley JC, Scharf BH. Early postoperative complications. In:Cornea. edited by Jay H
Krachmer, Mark J.Mannis. Chap 119.Ed3sd. Mosby Elsivier. 2005.p.1385-1385.
15. Ospina PD. The Complication After Keratoplasty. In: Keratoplasties-Surgical Technique
and Complications.2012.p101-118

16. Mabon M, Boisjoly H. Penetrating keratoplasty. In: In: The Cornea. Smolin G and Thoft
RA. Chap 61.Little Brown Company. Boston. 2005.p.1021-1038.

17. Goosey JD, Sturbaum CW. Lamellar keratoplasty.In: The Cornea. Smolin G and Thoft
RA. Chap 62.Little Brown Company. Boston. 2005.p.1043-1055

18. Bessant DAR,Dart JKG. Lamellar keratoplasty in the management of inflamatory corneal
ulceration and perforation. Eye. No8.19944.p22-28.

19. Anshu A, Price MO, et al. Endotelial keratoplasty; revolution in evolution. In: Major
review. Survey of Ophthalmology.Vol 57.No. 3. May-June.2012.p.236-252.

20. Jhanji V, Young AL, et al. Management of Corneal Perforation.In:Major review. Survey
of Ophthalmology.Vol 56.No. 6. Nov- Dec 2011.p.522- 538

21. Vajpayee RB, Sharma N,et al. Infectious keratitis following keratoplasty.In: Major
review. Survey of Ophthalmology.Vol 52.No. 1. Jan-Feb 2007.p.1-12.
22. Portnoy SL, Insler MS, et al.surgical management of cornal ulceration and perforation. In:
Diagnostic and surgical technique. Survey of Ophthalmology.Vol 34.No 1. July-
August.1998.p.47-58.

23. Donzis PB, Mondino B. Management of non infectious corneal ulcer. In: Diagnostic and
surgical technique. Survey of Ophthalmology.Vol 32.No. 2. Sept-Oct.1987.p.94-109.

24. Ang M, Metha JS, et al. Indication,outcomes and risk factors for failure in tectonic
keratoplasty. Ophthalmology. Vol 119,No.7,July 2012.p.1311-1319

25. Sharma N,Vajpayee RB.Therapeutic keratoplasty. In:Corneal Ulcers Diagnosis and


Management.Chap 21.Jaypee brothers medical publishers.2008.p.187-195.

21

Das könnte Ihnen auch gefallen