Sie sind auf Seite 1von 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KRISIS TIROID

D
I
S
U
S
U
N

Oleh:

KELOMPOK IV

AYU ASHARI
FITRIYANA
NURA SAFITRA
RIWANTI
SUCI AMELIA
JONATHAN
SAMUEL YOGI

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
TAHUN 2016
BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Krisis tiroid adalah bentuk lanjut dari hipertiroidisme yang sering berhubungan dengan
stres fisiologi atau psikologi. Krisis tiroid adalah keadaan krisis terburuk dari status
tirotoksik. Penurunan kondisi yang sangat cepat dan kematian dapat terjadi jika tidak
segera tertangani (Hudak & Gallo, 1996).
Krisis tiroid merupakan eksaserbasi keadaan hipertiroidisme yang mengancam jiwa yang
diakibatkan oleh dekompensasi dari satu atau lebih sistem organ (Bakta & Suastika,
1999).

B. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan krisis tiroid adalah:
1. Operasi dan urut/pijat pada kelenjar tiroid atau gondok dan operasi pada bagian
tubuh lainnya pada penderita hipertiroid yang belum terkontrol hormon tiroidnya
2. Stop obat anti tiroid pada pemakaian obat antitiroid
3. Pemakaian kontras iodium seperti pada pemeriksaan rontgen
4. Infeksi
5. Stroke
6. Trauma. Pada kasus trauma, dilaporkan bahwa pencekikan pada leher dapat memicu
terjadinya krisis tiroid, meskipun tidak ada riwayat hipertiroidisme sebelumnya.
7. Penyakit Grave, Toxic multinodular, dan “Solitary toxic adenoma”
8. Tiroiditis
9. Penyakit troboblastik
10. Ambilan hormon tiroid secara berlebihan
11. Pemakaian yodium yang berlebihan
12. Kanker pituitari
13. Obat-obatan seperti Amiodarone

Ada tiga mekanisme fisiologis yang diketahui dapat menyebabkan krisis tiroid:
1. Pelepasan seketika hormon tiroid dalam jumlah besar
2. Hiperaktivitas adrenergik
3. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan (Hudak & Gallo, 1996).

Factor pencetus krisis hingga kini belum jelas namun diduga dapat berupa free- hormon
meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek T3 paska transkripsi, meningkatnya
kepekaan sel sasaran dan sebagainya. Dan factor resikonya dapat berupa surgical crisis
(persiapan operasi yang kurang baik, belum eutiroid), medical crisis (stress apapun, fisik
maupun psikologis, infeksi dan sebagainya) (Sudoyo, dkk, 2007).

C. Patofisiologi

G3 organik kelenjar tiroid G3 Fungsi Hipotalamus /hipofisis

Produksi TSH meningkat

Produksi hormone

tiroid meningkat

Metabolisme tubuh Peningkatan Peningkatan


meningkat Proses
aktv SSP rangsangan SSP Aktifitas GI
glikogenesis
meningkat
meningkat

Produksi kalor Kebutuhan cairan Perub konduksi Peningkatan


meningkat meningkat listrik jantung aktivitas SSP Proses Nafsu
pembakaran makan
lemak meningkat meningkat
Peningkatan Disfungsi SSP
suhu tubuh Defisit Beban kerja Penurunan berat
volume cairan jantung naik badan

Agitasi, kejang,
Aritmia, takikardi koma

penurunan curah
jantung
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang
merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone
(TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid.
Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami
deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine
(T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif
secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar
T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien.
Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi
darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini
melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari
kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH.
Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini.
Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan
berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid.
Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1.
Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh
3,’5′-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga
merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ
dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan
pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon
tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid
oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu
tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa
hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine
monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan
ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah
diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar
hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi
meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik
adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan
katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid
meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin.
Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah
tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga
menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin
katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal
menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari
sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi
mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai
tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama
operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi
radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan
toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada
keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat
kemiripan strukturnya dengan katekolamin.

D. Manifestasi klinis
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tanda-tanda pada orang dengan krisis tiroid berupa:
1. Takikardia (lebih dari 130x/menit)
2. Suhu tubuh lebih dari 37,70C
3. Gejala hipertiroidisme yang berlebihan (Diaphoresis, Kelemahan, Eksoftalmus,
Amenore)
4. Penurunan berat badan, diare, nyeri abdomen (system gastrointestinal)
5. Psikosis, somnolen, koma (neurologi)
6. Edema, nyeri dada, dispnea, palpitasi (kardiovaskular).

Menurut Hudak dan Gallo (1996), manifestasi klinis hipertiroidisme adalah berkeringat
banyak, intoleransi terhadap panas, gugup, tremor, palpitasi, hiperkinesis, dan
peningkatan bising usus. Kondisi umum dari tanda gejala ini trutama disertai deman
lebih dari 100 F, takikardi yang tidak sesuai dengan keadaan demam, dan disfungsi
Sistem Saraf Pusat (SSP), merupakan tanda dari tiroid storm. Abnormalitas sistem saraf
pusat termasuk agitasi, kejang, atau koma.
E. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu menangani
faktor pencetus, mengontrol pelepasan hormon tiroid yang berlebihan, menghambat
pelepasan hormon tiroid, dan melawan efek perifer hormon tiroid (Hudak & Gallo,
1996).
Penatalaksanaan medis krisis tiroid meliputi:
a. Koreksi hipertiroidisme
1) Menghambat sintesis hormon tiroid
Obat yang dipilih adalah propiltiourasil (PTU)atau metimazol. PTU lebih
banyak dipilih karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di
perifer. PTU diberikan lewat selang NGT dengan dosis awal 600-1000 mg
kemudian diikuti 200-250 mg tiap 4 jam. Metimazol diberikan dengan dosis
20 mg tiap 4 jam, bisa diberikan dengan atau tanpa dosis awal 60-100mg.
2) Menghambat sekresi hormon yang telah terbentuk
Obat pilihan adalah larutan kalium iodida pekat (SSKI) dengan dosis 5 tetes
tiap 6 jam atau larutan lugol 30 tetes perhari dengan dosis terbagi 4.
3) Menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer
Obat yang digunakan adalah PTU, ipodate, propanolol, dan kortikosteroid.
4) Menurunkan kadar hormon secara langsung
Dengan plasmafaresis, tukar plasma, dialisis peritoneal, transfusi tukar, dan
charcoal plasma perfusion. Hal ini dilakukan bila dengan pengobatan
konvensional tidak berhasil.
5) Terapi definitif
Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal atau total).
b. Menormalkan dekompensasi homeostasis
1) Terapi suportif
a) Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati dengan cairan
intravena
b) Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen
c) Multivitamin, terutama vitamin B
d) Obat aritmia, gagal jantung kongstif
e) Lakukan pemantauan invasif bila diperlukan
f) Obat hipertermia (asetaminofen, aspirin tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan kadar T3 dan T4)
g) Glukokortikoid
h) Sedasi jika perlu
2) Obat antiadrenergik
Yang tergolong obat ini adalah beta bloker, reserpin, dan guatidin. Reserpin
dan guatidin kini praktis tidak dipakai lagi, diganti dengan Beta bloker.
Beta bloker yang paling banyak digunakan adalah propanolol. Penggunaan
propanolol ini tidak ditujukan untuk mengobati hipertiroid, tetapi mengatasi
gejala yang terjadi dengan tujuan memulihkan fungsi jantung dengan cara
menurunkan gejala yang dimediasi katekolamin. Tujuan dari terapi adalah
untuk menurunkan konsumsi oksigen miokardium, penurunan frekuensi
jantung, dan meningkatkan curah jantung.
c. Pengobatan faktor pencetus
Obati secara agresif faktor pencetus yang diketahui, terutama mencari fokus
infeksi, misalnya dilakukan kultur darah, urine, dan sputum, juga foto dada
(Bakta & Suastika, 1999).

2. Penatalaksanaan keperawatan
Tujuan penatalaksanaan keperawatan mencakup, mengenali efek dari krisis yang
timbul, memantau hasil klinis secara tepat, dan memberikan perawatan suportif
untuk pasien dan keluarga. Intervensi keperawatan berfokus pada hipermetabolisme
yang dapat menyebabkan dekompensasi sistem organ, keseimbangan cairan dan
elektrolit, dan memburuknya status neurologis. Ini termasuk penurunan stimulasi
eksternal yang tidak perlu, penurunan konsumsi oksigen secara keseluruhan dengan
memberikan tingkat aktivitas yang sesuai, pemantauan kriteria hasil. Setelah periode
krisis, intervensi diarahkan pada penyuluhan pasien dan keluarga dan pencegahan
proses memburuknya penyakit (Hudak &Gallo, 1996).

F. Pemeriksaan penunjang
Menurut Smeltzer dan Bare(2002) terdapat beberapa jenis pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah pada
kelenjar tiroid.
1. Test T4 serum
Test yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan tekhnik
radioimunoassay atau pengikatan kompetitif nilai normal berada diantara 4,5 dan
11,5 µg/dl ( 58,5 hingga 150 nmol/L) dan terjadi peningkatan pada krisis tiroid.
2. Test T3 serum
Adalah test yang mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau T3 total dalam
serum dengan batas normal adalah 70 hingga 220 µg/dl ( 1,15 hingga 3,10 nmol/L)
dan meningkat pada krisis tiroid.
3. Test T3 Ambilan Resin
Merupakan pemeriksan untuk mengukur secara tidak langsung kadar TBG tidak
jenuh. Tujuannnya adalah untuk menentukan jumlah hormon tiroid yang terikat
dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada. Nilai Ambilan Resin T3
normal adal 25% hingga 35% ( fraksi ambilan relatif : 0,25 hingga 0,35 ) yang
menunjukan bahwa kurang lebih sepertiga dari tempat yang ada pada TBG sudah
ditempati oleh hormone tiroid. Pada krisis tiroid biasanya terjadi peningkatan.
4. Test TSH ( Thyroid – Stimulating Hormone )
Pengukuran konsetrasi TSH serum sangat penting artinya dalam menegakkan
diagnosis serta penatalaksanaan kelainan tiroid dan untuk membedakan kelainan
yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar tiroid sendiri dengan kelainan yang
disebabkan oleh penyakit pada hipofisis atau hipothalamus.
5. Test Thyrotropin_Releasing Hormone
Merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH dihipofisis dan akan
sangat berguna apabila hasil test T3 serta T4 tidak dapat dianalisa. Test ini sudah
jarang dikerjakan lagi pada saat ini, karena spesifisitas dan sensitifitasnya
meningkat.
6. Tiroglobulin
Tiroglobulin merupakan prekursor untuk T3 dan T4 dapat diukur kadarnya dalam
serum dngan hasil yang bisa diandalkan melalui pemeriksaan radioimunnoassay.
Pemeriksaan ini diperlukan untuk tindak lanjut dan penanganan penderita karsinoma
tiroid, serta penyakit tiroid metastatik.

Melihat kondisi krisis tiroid merupakan suatu keadaan gawat medis maka diagnosis
krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika
gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena
menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis.
Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid harus diketahui dengan jelas oleh perawat.
Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid terdapat dalam triad 1). Menghebatnya tanda
tirotoksikosis 2). Kesadaran menurun 3). Hipertermi. Apabila terdapat tiroid maka
dapat meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis kritis tiroid dari Burch –
Wartofsky. Skor menekankan 3 gejala pokok hipertermia, takikardi dan disfungsi
susunan saraf.

G. Komplikasi
Meski tanpa adanya penyakit arteri koroner, krisis tiroid yang tidak diobati dapat
menyebabkan angina pektoris dan infark miokardium, gagal jantung kongestif, kolaps
kardiovaskuler, koma, dan kematian (Hudak&Gallo, 1996).

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Tanda dan gejala krisis tiroid adalah bervariasi dan nonspesifik. Tanda klinik yang dapat
dilihat dari peningkatan metabolism adalah demam, takikardi, tremor, delirium, stupor,
coma, dan hiperpireksia.
1. B1 (Breathing)
Peningkatan respirasi dapat diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan oksigen sebagai
bentuk kompensasi peningkatan laju metabolisme yang ditandai dengan takipnea.
2. B2 (Blood)
Peningkatan metabolisme menstimulasi produksi katekolamin yang mengakibatkan
peningkatan kontraktilitas jantung, denyut nadi dan cardiac output. Ini
mengakibatkan peningkatan pemakaian oksigen dan nutrisi. Peningkatan produksi
panas membuat dilatasi pembuluh darah sehingga pada pasien didapatkan palpitasi,
takikardia, dan peningkatan tekanan darah. Pada auskultasi jantung terdengar mur-
mur sistolik pada area pulmonal dan aorta. Dan dapat terjadi disritmia,atrial
fibrilasi,dan atrial flutter. Serta krisis tiroid dapat menyebabkan angina pectoris dan
gagal jantung.
3. B3 (Brain)
Peningkatan metabolisme di serebral mengakibatkan pasien menjadi iritabel,
penurunan perhatian, agitasi, takut. Pasien juga dapat mengalami delirium, kejang,
stupor, apatis, depresi dan bisa menyebabkan koma.
4. B4 (Bladder)
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nocturia).
5. B5 (Bowel)
Peningkatan metabolisme dan degradasi lemak dapat mengakibatkan kehilangan
berat badan. Krisis tiroid juga dapat meningkatkan peningkatan motilitas usus
sehingga pasien dapat mengalami diare, nyeri perut, mual, dan muntah.
6. B6 (Bone)
Degradasi protein dalam musculoskeletal menyebabkan kelelahan, kelemahan, dan
kehilangan berat badan.
B. Diagnosis Keperawatan dan Perencanaan
PERENCANAAN
NO DIAGNOSIS KEPERAWATAN
TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1 Defisit volume cairan berhubungan Setelah diberi asuhan 1. Kaji status volume cairan (TD, suhu, 1. Takikardia, dispnea, atau
dengan status hipermetabolik keperawatan, cairan tubuh bunyi jantung) tiap 1 jam hipotensi dapat mengindikasikan
seimbang dengan kriteria: kekurangan volume cairan
a. Tanda-tanda vital tetap 2. Kaji turgor kulit dan membrane 2. Turgor kulit tidak elastis dan dan
stabil (TD 100-120/60- mukosa mulut setiap 8 jam membran mukosa kering dapat
90 mmHg, N: 60- menjadi gejala kurang cairan.
100x/menit, R”16- 3. Ukur asupan dan haluaran setiap 1 3. Haluaran urin yang rendah
22x/menit, S: 36-37,5 sampai 4 jam. Catat dan laporkan mengindikasikan hipovolemi.
O perubahan yang signifikan termasuk 4. Cairan intravena yang cukup
C)
urine. dapat menormalkan
b. Warna kulit dan suhu
4. Berikan cairan IV sesuai instruksi. dekompensasi homeostasis
dalam batas normal
5. Nilai elektrolit abnormal dapat
c. Balance cairan seimbang
menjadi tanda kekurangan cairan
d. Turgor kulit elastis dan
5. Kaji semua data laboratorium, dan elektrolit
membrane mukosa laporkan nilai elektrolit abnormal 6. Beta adrenergik dapat
lembab menurunkan gejala yang
6. Berikan beta adrenergik sesuai dimediasi katekolamin sehingga
instruksi memulihkan fungsi jantung
2 Hipertermia berhubungan dengan Setelah diberi asuhan 1. Pantau Tanda Vital (Suhu ) Tiap 1 1. Menilai peningkatan dan
status hipermetabolik keperawatan, tidak terjadi jam penurunan suhu tubuh
hipertermi dengan kriteria: 2. Anjurkan banyak minum bila tidak 2. Hidrasi yang cukup dapat
a. Suhu dalam batas normal ada kontraindikasi menurunkan suhu tubuh
O
36-37,5 C 3. Beri kompres hangat 3. Kompres hangat mendilatasi
b. Tidak ada konvulsi
pembuluh darah sehingga
c. kulit tidak memerah
mengurangi panas
d. tidak ada takikardi
4. Gunakan pakaian tipis dan menyerap 4. Pakaian tipis dan menyerap
keringat keringat menurunkan
metabolisme sehingga
menurunkan panas
5. Pertahankan cairan intravena sesuai 5. Cairan intravena memenuhi
progam kebutuhan cairan sehingga
menurunkan panas
6. Berikan antipiretik sesuai program 6. Antipiretik menghambat
produksi prostaglandin di
hipotalamus anterior sehingga
menurunkan suhu
3 Perubahan perfusi jaringan serebral Setelah diberi asuhan 1. Kaji status neurologi tiap jam 1. Menskrining perubahan tingkat
berhubungan dengan keperawatan, perfusi jaringan kesadaran dan status
hipertiroidisme serebral efektif, dengan neurologis
kriteria: 2. Lakukan tindakan pencegahan 2. Kejang merupakan tanda
a. Tingkat kesadaran terhadap kejang perburukan terhadap perubahan
meningkat (GCS: E:4, status neurologi
M:6, V:5) 3. Kaji adanya kelemahan, patensi 3. Ketidakpatenan jalan nafas,
b. Klien tidak mengalami jalan napas, keamanan, jika tingkat kelemahan, bisa terjadi karena
cedera kesadaran pasien menurun peningkatan status neurologi
c. Jalan napas paten 4. Lakukan tindakan pengamanan 4. Cedera rawan terjadi pada
untuk mencegah cedera pasien dengan perubahan status
neurulogi
4 Penurunan curah jantung Setelah diberi asuhan 1. Pantau tekanan darah tiap jam 1. Hipotensi umum atau ortostatik
berhubungan dengan gagal jantung, keperawatan, tidak terjadi dapat terjadi sebagai akibat dari
status hipermetabolik penurunan curah jantung, vasodilatasi perifer yang
dengan kriteria: berlebihan dan penurunan
a. Nadi perifer dapat teraba volume sirkulasi
normal (60-100x/menit, 2. Periksa kemungkinan adanya nyeri 2. Merupakan tanda adanya
kuat) dada atau angina yang dikeluhkan peningkatan kebutuhan oksigen
b. TD:100-120/80- pasien. oleh otot jantung atau iskemia.
90x.menit, RR: 16- 3. Auskultasi suara nafas. Perhatikan 3. S1 dan murmur yang menonjol
0
20x/menit, S:36-37,5 C adanya suara yang tidak normal berhubungan dengan curah
c. Capilary reffil <2 detik (seperti krekels) jantung meningkat pada keadaan
d. Status mental baik hipermetabolik
e. Palpitasi berkurang 4. Observasi tanda dan gejala haus 4. Dehidrasi yang cepat dapat
yang hebat, mukosa membran terjadi yang akan menurunkan
kering, nadi lemah, penurunan volume sirkulasi dan
produksi urine dan menurunkan curah jantung
hipotensi,pengisian kapiler lambat
5. Kolaborasi : berikan obat sesuai 5. Diberikan untuk mengendalikan
dengan indikasi : Penyekat beta pengaruh tirotoksikosis terhadap
seperti: propranolol, atenolol, takikardi, tremor dan gugup
nadolol serta obat pilihan pertama pada
krisis tiroid akut. Menurunkan
frekuensi/ kerja jantung oleh
daerah reseptor penyekat beta
adrenergic dan konversi dari T3
dan T4.
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I.M. dan Suastika, I.K. 1999. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta:
EGC.

Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC

Dongoes Marilynn, E.1993.Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Guyton, Arthur C. & John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Editor:
Irawati Setiawan. Jakarta :EGC.

Hariawan, Hamdan. 2013 . Askep Krisis Tiroid. http://hamdan-hariawan-


fkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail-88249-askep%20endokrin-
askep%20krisis%20tiroid.html. Diunduh tanggal 26 Februari 2014.

Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Price Sylvia, A.1994. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2. Edisi 4.
Jakarta: EGC.

Nanda International. 2007. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Rumahorbo, H. 1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin.


Jakarta: EGC.

Smeltzer dan Bare.2002.Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC.

Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi IV. Jakarta : EGC

Das könnte Ihnen auch gefallen