Sie sind auf Seite 1von 8

SINDROMA KLINIS AMENOREA

SEKUNDER
P ENDAHULUAN
Siklus menstruasi yang teratur dihasilkan oleh (a) sistem umpan balik yang teratur
(positif dan negatif) melibatkan hipotalamus, hipofisis anterior, dan ovarium, dan (b)
integritas dari uterus maupun saluran keluarnya. Setelah maturasi dari aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium, siklus ovulasi yang teratur terbentuk, dan pola siklus
menstruasi seseorang akan terbentuk. Variabilitas dari periode siklus menstruasi
meningkat pada masa sebelum menstruasi, merefleksikan penurunan bertahap dari
fungsi ovarium. Siklus menstruasi normal terjadi pada interval antara 21 dan 35 hari dan
biasanya selesai kurang dari 7 hari. Setelah usia 20 tahun, terdapat penurunan rata-rata
panjangnya siklus menstruasi dikarenakan fase folikuler yang lebih pendek.
Abnormalitas dari siklus menstruasi dapat berupa amenorea hingga perdarahan
menstruasi berkepanjangan. Amenorea selama usia reproduktif sangatlah umum.
Diperkirakan prevalensi amenorea pada populasi umum selama usia reproduktif adalah
1,8% hingga 3%. Pada wanita usia sekolah adalah 2,6% dan dapat mencapai 20% pada
pasien dengan keluhan infertilitas.

Secara konvensional, amenorea sekunder didefinisikan sebagai terhentinya perdarahan


menstruasi selama periode lebih dari 6 bulan pada wanita dengan menstruasi teratur
sebelumnya.

E TIOLOGI
Penyebab fisiologis dari amenorea adalah kehamilan dan laktasi, dan hal ini harus
diingat sebelum investigasi lebih lanjut. Dari sudut pandang diagnostik, penyebab
patologis dari amenorea dapat dikarenakan (1) gangguan dari sistem saraf pusat,
sindroma amenorea hipotalamus sekunder; (2) gangguan kelenjar hipofisis anterior; (3)
gangguan dari ovarium; dan (4) gangguan dari uterus dan saluran keluarnya (gambar 1).

G ANGGU AN DARI S IS TEM S ARAF P USAT


Sindroma amenorea hipotalamus adalah kategori umum untuk hipogonadisme
hipogonadotropik dan didiagnosis dengan eksklusi dari kelainan hipofisis. Gangguan ini
dikarenakan lesi destruktif hipotalamus (kraniofaringioma, germinoma, penyakit Hand-
Schuller-Christian, cedera kepala, irradiasi eksternal) atau disfungsi hipotalamus (stres
fisiologis; latihan; penurunan berat badan; anoreksia nervosa; obat-obatan seperti
reserpin, fenotiazin; penyakit sistemik).
Istilah “amenorea hipotalamus fungsional” merujuk pada terhentinya siklus menstruasi
alami yang reversibel pada wanita muda tanpa abnormalitas organik dari aksis hipofisis-
ovarium. Hal ini menggambarkan salah satu tipe umum yang paling sering dari
amenorea dan meliputi suatu variasi fisiologis seperti halnya kondisi patofisiologis dan
kelainan nonspesifik lainnya.

G ANGGU AN K ELENJAR H IPOFISIS A NTERIOR


Lesi pada kelenjar hipofisis anterior meliputi hal berikut: (a) perdarahan dan apopleksi
hipofisis, yang jarang terjadi; (b) infark, khususnya bagian terkecil yang tidak umum.
Hipopituitarisme terjadi hanya jika lebih dari 90% fungsi parenkim adenohipofisis rusak.
Bentuk khusus dari infark hipofisis, jarang terlihat di negara berkembang akhir-akhir ini,
adalah infark iskemik adenohipofisis masif pascapersalinan yang mengakibatkan
panhipopititarisme (sheehan’s syndrome); (c) kondisi nonneoplasmatik bervariasi
(tuberkulosis, sifilis, sarkoidosis, histiositosis X) dapat menyebabkan destruksi dari
adenohipofisis; (d) granuloma atau neoplasma supraselar dapat mengakibatkan
disfungsi hipofisis (hipopituitarisme atau hiperprolaktinemia) dengan mempengaruhi
pituitary stalk; (e) hipofisitis limfositik, gangguan yang jarang, terjadi secara eksklusif
pada wanita.

N EO P L A S MA H I P O FI SI S
Neoplasma hipofisis dapat terjadi primer ataupun sekunder, jinak atau ganas,
fungsional atau inaktif. Adenoma hipofisis merupakan tumor primer kelenjar hipofisis
tersering. Menurut klasifikasi terakhir, didasarkan secara primer pada imunositokimia,
mikroskopi elektron, dan investigasi endokrinologis, adenoma hipofisis dapat dibagi
menjadi sebagai berikut : (1) adenoma somatotrof (sel growth hormone[GH]) (13-15%);
(2) adenoma laktotrof (sel prolaktin [PRL]) (25-28%); (3) adenoma laktotrof dan
somatotrof campuran (3-5%); (4) adenoma sel stem asidofil (1-3%); adenoma
mammosomatrof (1-2%); (6) adenoma kortikotrof (8-10%); (7) adenoma silent (5-7%);
(8) adenoma tirotrof (1%); (9) adenoma gonadotrof (7-9%); (10) adenoma null cell (13-
15%); (11) onkositoma (10-12%); (12) adenoma plurihormonal (1-3%). Adenoma
hipofisis menghasilkan kondisi klinis yang berbeda tergantung hormon yang
disekresikan; sebagai contohnya, adenoma yang mensekresi GH menghasilkan
akromegali, adenoma kortikotrof pada penyakit cushing dan adenoma laktotrof pada
hiperprolaktinemia dan galaktorea.

H I P E R P R O L AK T I N EMI A
Hiperprolaktinemia adalah penyebab tersering dari amenorea sekunder. Sekitar 15-20%
wanita dengan amenorea sekunder memiliki konsentrasi PRL yang secara persisten
meningkat diatas range normal. Selain prolaktinoma, penyebab lain dari
hiperprolaktinemia adalah berhubungan dengan gangguan pada pituitary stalk (con.,
trauma atau tumor); obat-obatan yang mempengaruhi aktivitas dopamin (con,
fenotiazin, metoclopramide, sulpiride, haloperidol, reserpin, metildopa); penyakit sistem
saraf pusat (con., kraniofaringioma, sarkoidosis); hiperplasia laktotrof (con.,
hipotiroidisme); dan stimulasi neural (con, torakotomy dinding dada, herpes zoster,
terbakar, stimulasi putting susu). Polycystic ovary syndrome (PCOS) juga dapat
berhubungan dengan kenaikan kadar PRL. Jika serum PRL meningkat tanpa adanya lesi
hipotalamus ataupun hipofisis atau penyebab lainnya, istilah hiperprolaktinemia
idiopatik dapat digunakan.

Suatu sella yang kosong menunjukkan suatu fossa hipofisis yang membesar yang
dihasilkan dari herniasi arakhnoid melalui diafragma sellar inkomplit. Suatu sella kosong
mungkin primer, akibat defek diafragmatik kongenital, atau sekunder, akibat kerusakan
diafragma oleh karena infark hipofisis, terapi radiasi, atau pembedahan. Sebagai
tambahan, tumor hipofisis dapat berupa infark hemoragik subklinis dan menyebabkan
kontraksi dari sisterna suprasela turun ke sella. Oleh karena itu, adanya sella yang
kosong tidak menutup kemungkinan adanya suatu tumor hipofisis bersamaan.
Kebanyakan pasien dengan sella kosong primer adalah asimptomatis, dan diperkirakan
15% memiliki hiperprolaktinemia ringan.

G ANGGU AN O V ARIU M
P O LY C Y S T I C O V AR Y S Y N DR O M E
Sindroma ovarium polikistik/ Polycystic ovary syndrome (PCOS) adalah berhubungan
dengan hiperandrogenisme dengan anovulasi kronis pada wanita tanpa penyakit
penyerta spesifik dari adrenal atau kelenjar hipofisis. Walaupun mekanisme patogenetik
dari sindroma ovarium polikistik belum jelas, tampaknya ovarium adalah sumber utama
dari sekresi androgen yang berlebihan. Kadar tinggi LH merupakan akibat yang
dihasilkan daripada disebabkan oleh disfungsi ovarium.

Gambaran klinis khas dari PCOS adalah hirsutisme, jerawat, ataupun pola alopesia laki-
laki; obesitas juga merupakan gejala yang umum. Anovulasi ditunjukkan dengan
gangguan menstruasi (amenorea, oligomenorea, ataupun perdarahan uterus
disfungsional) dan infertilitas. Diagnosis PCOS didasarkan pada kombinasi dari kriteria
klinis, ultrasonografi, dan biokimia. Wanita dengan amenorea sekunder atau
oligomenorea mungkin memiliki PCOS jika dirinya memiliki satu atau lebih dari tiga
gambaran berikut : ovarium polikistik pada ultrasonografi, hirsutisme, dan
hiperandrogenemia. Banyak wanita memiliki konsentrasi LH yang tinggi, tetapi kadar LH
normal tidak menyingkirkan diagnosis PCOS.

K E G AG A LA N O V ARI U M P R EM AT UR / P R E M AT U RE O V ARI AN F AI L UR E
Sekresi estrogen tergantung adanya oosit, dan ovarium tidak dapat berfungsi sebagai
kelenjar endokrin tanpanya. Kegagalan ovarium prematur dapat didefinisikan sebagai
adanya amenorea dengan kenaikan kadar gonadotropin sebelum usia 40 tahun. Pada
mayoritas wanita, penyebabnya tidak diketahui dan dimungkinkan karena gangguan
genetik. Kegagalan ovarium prematur mungkin dikarenakan radioterapi, kemoterapi,
infeksi ataupun pembedah pelvis sebelumnya yaitu ooforektomi. Kegagalan ovarium
autoimun dimungkinkan penyebab tersering dari kegagalan ovarium prematur. Sebelum
menopause prematur, beberapa wanita merasakan kembalinya mens intermiten,
bercampur dengan periode amenorea yang bervariasi. Pada kebanyakan kasus, tidaklah
penting untuk menkonfirmasi tidak adanya oosit melalui biopsi ovarium. Pasien memiliki
siklus anovulatoir dan kadar FSH yang meningkat dibandingkan dengan LH pada fase
folikuler awal.

G ANGGU AN PADA U ERUS DAN S ALURAN KELUAR


Amenorea sekunder akibat uterus dapat terjadi dikarenakan sinekia endometrium
setelah kuretase berulang pada uterus, abortus, miomektomi, ataupun seksio sesarea
atau setelah infeksi. Penyebab-penyebab ini menjadi sangat jarang pada negara
berkembang, dan histerektomi menjadi penyebab iatrogenik yang lebih sering dari
amenorea.

P ENYAKIT E KSTRAOVARIUM
Penyakit ekstraovarium yang paling sering menyebabkan amenorea sekunder adalah
penyakit tiroid dan adrenal. Baik hipertiroidisem maupun hipotiroidisme dapat
berhubungan dengan amenorea atau perdarahan disfungsional. Hiperplasia adrenal
(onset lambat) dan tumor adrenal (jinak atau ganas) melalui produksi berlebih dari
androgen atau estradiol, dapat mensupresi gonadotropin dan mengganggu aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium, yang pada akhirnya meningkatkan terjadinya amenorea
sekunder.

M ANIFESTASI K LINIS DAN K ONSEKUENSI D ARI


A MENOREA
Seorang wanita amenorea mungkin memiliki gejala dan tanda yang berbeda tergantung
penyebab amenorea. Konsekuensinya tergantung pada ada tidaknya estrogen endogen.

Defisiensi estrogen mengakibatkan hot flushes, keringat malam, insomnia, keringnya


vagina, kurangnya energi, hilangnya libido, rasa letih, depresi, penipisan dan pengerutan
kulit, atrofi urogenital dan “sindroma uretral”, akan tetapi konsekuensi jangka panjang
utama dari hipoestrogenisme dapat berupa penyakit osteoporosis dan kardiovaskuler.

Defisiensi estrogen mencetuskan peningkatan yang dramatis dari turnover tulang,


dengan peningkatan yang besar terhadap resorpsi tulang daripada pembentukan tulang.
Osteoporosis diakibatkan dari ketidakseimbangan antara resorpsi tulang daripada
pembentukan tulang. Resorpsi osteoklas meningkat pada 6 bulan pertama, puncaknya
pada 1 sampai 3 tahun setelah berhentinya fungsi ovarium, dan menurun setelah 8
hingga 10 tahun berikutnya. Pada stadium awal ini, osteoporosis adalah penyakit
predominan pada tulang trabekular. Awal hilangnya tulang yang cepat ini dihambat
dengan pengobatan sulih estrogen / estrogen replacement treatment.

Wanita dengan hilangnya fungsi ovarium yang prematur memiliki resiko yang meningkat
untuk berkembang menjadi penyakit kardiovaskuler. Semua penulis setuju bahwa terapi
sulih estrogen jangka panjang diikuti dengan penurunan insiden kejadian koroner. HDL
meningkat, sementara kolesterol total dan LDL menurun. Estrogen juga memiliki efek
langsung pada jaringan vaskuler, produksi kolagen dan elastin, formasi sel busa/foam,
produksi endotelin (vasokonstriktor poten) dan meningkatkan produksi faktor
vasodilatasi dan antimitogenik (prostasiklin dan nitric oxide).

Pasien amenorea dengan kadar estrogen normal atau tinggi, sebagai contohnya pada
PCOS, memiliki risiko tinggi berkembang menjadi hiperplasia endometrium dan
karsinoma karena efek tanpa perlawanan dari estrogen (unopposed effect of estrogen).

E VALUASI A MENOREA
Evaluasi dari seorang pasien amenorea diawali dengan pengumpulan riwayat dan
pemeriksaan fisik untuk mencari adanya bukti penyebab fisiologis dari amenorea, stres
emosional, tanda masalah fisik, status nutrisi, galaktorea, dan lainnya. Gambar 2
menunjukkan tindak lanjut diagnosis diferensial dari amenorea sekunder dalam dua
tahap.

Tahap pertama, setelah menyingkirkan kehamilan dan laktasi, adalah mengukur kadar
serum TSH, PRL, LH, dan FSH diikuti dengan meresepkan medroxyprogesterone acetate,
10 mg tiap hari selama 7 hari. Tujuan progestational challenge adalah untuk menilai
kadar estrogen endogen dan integritas dari uterus dan saluran keluarnya. Jika pasien
mengalami perdarahan, diagnosis anovulasi dapat ditegakkan, suatu endometrium
reaktif oleh adanya estrogen endogen dan saluran keluar yang paten dapat dipastikan.
Jika tidak didapatkan withdrawal bleeding dan kadar LH dan FSH tinggi, maka
berhubungan dengan kegagalan ovarium primer. Tingginya kadar TSH dengan kadar PRL
yang tinggi atau normal menunjukkan adanya hipotiroidisme primer. Peningkatan PRL
dengan kadar TSH yang rendah atau normal menunjukkan suatu hiperprolaktinemia
yang berasal dari hipotalamus ataupun hipofisis.

Pada tahap kedua, pasien dengan hiperprolaktinemia maupun tanpa withdrawal


bleeding, dengan adanya gonadotropin yang normal ataupun rendah, diminta untuk
melakukan pemeriksaan sella tursika melalui pemeriksaan CT scan atau MRI. Hasil scan
yang normal berarti suatu amenorea dengan hipotalamus dan hipofisis normal. Suatu
scan yang abnormal menunjukkan adanya tumor hipofisis ataupun sindroma sella
kosong. Seorang pasien dengan kadar TSH, PRL, LH, dan FSH yang normal dan respon
withdrawal negatif dari progestational challenge, diberikan kombinasi estrogen dan
progesteron (estrogen konjugasi 1,25 mg/hari selama 21 hari, dan
medroxyprogesterone asetat 10 mg/hari selama 7 hari). Jika tidak ada aliran
withdrawal, pemberian kedua harus dicoba. Jika pasien tidak mengalami perdarahan,
maka diagnosis adanya defek endometrium dan saluran keluarnya dapat ditentukan.

Tindak lanjut saat ini adalah pendekatan praktis dan sederhana terhadap diagnosis dari
penyebab amenorea sekunder. Pada kasus tertentu mungkin dibutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut. Sebagai contohnya, pada pasien dengan hipogonadotropik hipogonadisme
dengan hasil scan CT dan MRI hipofisis normal dan secara klinis curiga hipopituitarisme,
maka tes dinamik (evaluasi) dari fungsi hipofisis anterior harus dilakukan.
P ENATALAKSANAAN A MENOREA
Penatalaksanaan amenorea tergantung penyebab spesifik dan apakah pasien memiliki
kadar estrogen yang normal atau rendah.

Pada penatalaksanaan awal amenorea ditargetkan pada penyakit organik. Pada pasien
dengan hiperprolaktinemia patologis, pilihan penanganannya adalah pemberian
bromocriptine atau agonis dopamin lainnya seperti pergolida atau lysuride. Obat-obat
ini berinteraksi dengan reseptor dopamin dari laktotrof dan menghambat sekresi
prolaktin. Bromocriptine (2,5-15 mg/hari) mengurangi kadar prolaktin dan mengurangi
ukuran adenoma pada bulan pertama pengobatan dengan perbaikan gejala klinis.
Bromocriptine harus dihentikan segera setelah ditegakkan adanya kehamilan, walaupun
tidak memiliki efek teratogenik. Selama kehamilan jika ditemukan adanya pembesaran
dari prolaktinoma, bromocriptine dapat secara aman diulangi dan biasanya
menghasilkan pengecilan dari tumor.

Obat-obatan lain yang biasanya digunakan untuk mengobati hiperprolaktinemia adalah


depot bromokriptin (parlodel LAR), terguride, cabergoline, dan non-ergot dopamin
agonis, quinagolide.

Hal yang jarang terjadi pada pasien dengan makroplaktinoma yang tidak respon pada
terapi obat, diperlukan tindakan pembedahan hipofisis (transfenoidal) untuk
mengangkat adenoma. Radioterapi digunakan pada pasien dengan tumor rekuren
setelah pembedahan atau postoperatif untuk mengurangi terjadinya rekurensi tumor.
Penatalaksanaan hiperprolaktinemia sangat tergantung pada individu pasien dan
tergantung pada ada tidaknya tumor hipofisis dan ukurannya dan ada tidaknya
keinginan untuk hamil.

Pada wanita dengan anovulasi dan kadar estrogen yang normal (PCOS),
penatalaksanaan tergantung pada ada atau tidaknya keinginan untuk hamil. Pada
wanita infertil, terapi induksi ovulasi meliputi : (1) clomiphene citrate, (2) sediaan
gonadotropin (menopausal gonadotropin atau purified FSH), (3) pemberian GnRH
pulsatil, (4) ovarian wedge resection, dan (5) kortikosteroid.

Jika kehamilan tidak diinginkan, penatalaksanaannya ditujukan untuk (1) pencegahan


hiperplasi endometrium dan (2) ameliorasi hiperandrogenisme dan konsekuensinya,
hirsutisme dan jerawat. Kontrasepsi oral dosis rendah atau pemberian progesteron
berkala adalah terapi pilihan untuk pencegahan hiperplasi endometrium. Untuk
penanganan hirsutisme, digunakan antiandrogen, diantaranya adalah cyproterone
acetate, spironolactone, flutamide, dan finasteride inhibitor 5a-reduktase. Jerawat
dapat diobati dengan antiobiotik, derivat asam retinoat, dan antiandrogen. Kontrol
berat badan, dan latihan teratur dapat mengurangi kadar androgen dan mengembalikan
siklus menstruasi normal, terutama pada pasien dengan hiperinsulinemia.

Pada akhirnya, pasien dengan amenorea dan hipoestrogenisme, pilihan


penatalaksanaannya adalah dengan sulih estrogen. Terapi sulih estrogen/ Estrogen
replacement therapy (ERT) dapat memperbaiki semua gejala “menopause” dan
melindungi pasien dari berkembangnya osteoporosis dan penyakit kardiovaskuler agar
meningkatkan kualitas hidup.

Pada wanita dengan uterus yang intak, estrogen biasanya diberikan berkala secara siklik
dari hari 1 hingga hari 25 , dan progesterone diberikan pada hari ke 16-25 untuk
mencegah hyperplasia endometrium. Yang paling sering digunakan adalah rejimen
estrogen konjugasi oral, 0,625- 125 mg/hari, atau transdermal estrogen 50-100 mg
2x/seminggu, dan medroksiprogesteron asetat (MPA) 5 mg/ hari yang diberikan secara
berkala. Estrogen lainnya yang cukup efektif adalah mestranol (28ug/hari) dan etinil
estradiol (20ug/hari); selain MA, noretindrone dapat juga diberikan. Pada wanita yang
tidak menginginkan perdarahan withdrawl, dapat diberikan terapi kombinasi dengan
estrogen terkonjugasi (0,625 mg) dan MPA (2,5 mg). Pada wanita yang telah dilakukan
histerektomi, estrogen saja dapat diberikan. Efek protektif pada lemak tidak terlihat jika
estrogen diberikan transdermal, karena efek first pass pada hepar tidak terjadi.
Penambahan progesterone meningkatkan kadar kolesterol HDL dan menurunkan LDL
pada wanita yang diberikan estrogen saja.

Efek samping ERT termasuk perdarahan uterus, kanker payudara, nyeri payudara,
perubahan fibrokistik, sakit kepala, efek pada lemak, retensi cairan, dan
tromboembolisme

Upaya untuk menurunkan efek merusak dari amenorea termasuk berhenti merokok dan
konsumsi alcohol serta mengupayakan berat badan ideal lewat diet yang tepat (asupan
kalsium) dan olahraga.

K ESIMPULAN
Amenorea sekunder didefinisikan dengan tidak terjadinya perdarahan menstruasi lebih
dari 6 bulan pada wanita dengan siklus menstruasi teratur dan evaluasi. Penyebabnya
dapat berasal dari hipotalamus, hipofise, ovarium dan genetalia bagian bawah.
Penyebab spesifik harus dicari untuk setiap kasus. Tindak lanjut dilakukan untuk
menentukan diagnosis diferensial, dan terapi spesifik dan tepat harus diberikan sedini
mungkin. Amenorea yang tidak diterapi berhubungan dengan akibat jangka panjang,
terutama pada wanita muda. Sebagian besar wanita yang mengalami amenorea adalah
hipoestrogenik dan rentan untuk mengalami osteoporosis serta fraktur dan gangguan
lemak, serta peningkatan terjadinya penyakit kardiovaskuler. Amenorea akibat
anovulasi (kadar estrogen yang tidak dioposisi oleh progesterone, PCOS) berhubungan
dengan peningkatan resiko hyperplasia endometrium dan terjadinya kanker pada pasien
muda. Tujuan utama terapi adalah untuk mencegah morbiditas jangka panjang yang
berhubungan dengan kondisi hipoestrogenik (osteoporosis dan penyakit kardiovaskuler)
dan yang berhubungan dengan efek unopposed estrogen (hyperplasia endometrium).

Das könnte Ihnen auch gefallen