Sie sind auf Seite 1von 14

AKAD KAFALAH, HIWALAH DAN AL-RAHN

1. KAFALAH

Pengertian Kafalah

Al-Kafalah secara etimologi memiliki tiga makna yaitu ‫( الضمان‬jaminan), ‫( الحمالة‬beban),


dan ‫( الزعامة‬tanggungan), namun secara menyeluruh ketiga kata ini memiliki garis pengertian yaitu
jaminan.

Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi,
bahwa kafalah adalah, "Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain
adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yaitu pihak yang
memberikan hutang/kreditor (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang
berhutang/debitoratau yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.

Kafalah adalah Akad dari pihak pertama dan pihak kedua dapat berupa perjanjian yang
mengikat dimana tidak dapat dibatalkan secara sepihak, pihak penjamin tersebut bisa mendapatkan
imbalan dari pihak yang tertanggung selagi tidak memberatkan pihak tertanggung. Hal ini sesuai
dengan fatwa DSN No.11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah.

Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana
tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal
guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk barang/harta
benda.

Dalam buku “Ekonomi Syariah Versi Salaf “ Kafalah memilki definisi secara lebih terssusun
dan jelas sebagai kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah menjadi kewajiban orang lain ,
kesanggupan untuk mendatangkan barang yang ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang
mempunyai kewajiban terhadap orang lain . dalam dalam buku Ekonomi Syariah Versi Salaf itu juga
kembali disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Kafalah adalah akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk menngganti atau
menanggung kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi
kewajibannnya.
2. kafalah sebagai akad yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang untuk
menanggung hukuman yang seharuasnya diberikan kepada sang terhukum dengan
menghadirkan dirinya atau disebut juga sebagai kafalah An Nafs
3. kafalah yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang dalam
mengembalikan ‘ain madhmunah peda orang yang berhak.

Sumber hukum

Al quran

“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." (Surah
Yusuf : 72 )
Dalam tafsir Aisarut Tafasir disebutkan bahwa Para pembantu raja menjawab, "Kami sedang
mencari bejana tempat minum raja. Kami akan memberikan hadiah bagi orang yang menemukannya
berupa makanan seberat beban unta." Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu
dengan berkata, "Aku menjamin janji ini."

Hadits

Jabir bin Abdullah ra. Berkata:

:‫ّللَاِ صلى هللا عليه وسلم فَقُ ْلنَا‬ َّ َ ‫سو َل‬ ُ ‫ ث ُ َّم أَت َ ْينَا ِب ِه َر‬,ُ‫ َو َكفَّنَّاه‬,ُ‫طنَاه‬ْ َّ‫ َو َحن‬,ُ‫ فَغَس َّْلنَاه‬,‫ِي َر ُج ٌل مِ نَّا‬
َ ‫ ( ت ُ ُوف‬:َ‫ع ْن َجا ِب ٍر رضي هللا عنه قَال‬ َ ‫َو‬
‫ فَقَا َل‬،‫ي‬ َّ َ‫عل‬
َ ‫ان‬ِ ‫َار‬ َ َ َ
َ ‫ اَلدِين‬:َ ‫ فَقَا َل أبُو قَت َادَة‬,ُ‫ فَأت َ ْينَاه‬،َ ‫ فَت َ َح َّملَ ُه َما أبُو قَت َادَة‬,‫ف‬ َ ‫ص َر‬ َ ‫ فَا ْن‬،‫ان‬ ِ ‫َار‬ ْ
َ ‫ دِين‬:‫علَ ْي ِه دَي ٌْن? قُلنَا‬ َ ُ ً َ ‫علَ ْيهِ? فَ َخ‬
َ ‫ أ‬:َ‫ ث َّم قَال‬,‫طا ُخطى‬ َ ُ‫ت‬
َ ‫صلِي‬
ُ ‫ص َّح َحه‬ َ ‫ َو‬,‫ي‬ ُّ ِ‫سائ‬ َّ َ َ
َ ‫ َوالن‬,َ‫ َوأبُو دَ ُاود‬,ُ‫عل ْي ِه ) َر َواهُ أحْ َمد‬ َ َ ‫صلى‬ َّ َ َ ْ
َ ‫ ف‬,‫ نَعَ ْم‬:َ‫ئ مِ ن ُه َما ال َميِتُ ? قال‬َ ْ ْ َ َّ ُ
َ ‫ّللَاِ صلى هللا عليه وسلم أحِ ق الغ َِري ُم َوبَ ِر‬ َ
َّ ‫سو ُل‬ُ ‫َر‬
‫ َو ْال َحا ِك ُم‬, َ‫اِ ْبنُ حِ بَّان‬

Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu
kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan
menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai
hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali.Maka Abu Qotadah menanggung hutang
tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku.
Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu
terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan
Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa
utangnya tiga dinar.Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa anâ
attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat
tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi kewajibanmu dan di
dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi
saw. menshalatkannya. Saat bertemu Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan
oleh dua dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.”
Nabi saw. bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al-Hakim).

Ijma’ Ulama

Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa
Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-
pun. Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus
untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang .

Para ulama sepakat dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah
masyarakat. Dan agar pihak yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang
berutang. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal. Perlu diketahui, kafalah yang
dilakukan dengan niat yang ikhlas mempunyai nilai ibadah yang berbuah pahala.

Rukun Kafalah

Seperti halnya amalan yang lain dalam muamalah, dalam kafalah pun mempunyai rukun dan
syarat, rukun kafalah adalah bagian-bagian yang harus ada dalam praktek kafalah, sedangkan syarat
kafalah adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh semua pihak dan objek agar syah atau diterima
oleh syariat praktek kafalah tersebut. Adapun Rukun dan Syarat adalah sebagai berikut.

Rukun

1. Sighat Kafalah (ijab qabul), adalah kata atau ucapan yang harus diucapkan dalam
praktek kafalah
2. Makful bih (obyek tanggungan), adalah barang atau uang yang digunakan sebagai
tanggungan.
3. Kafil (penjamin/penanggung), adalah orang atau barang yang menjamin dalam hutang atau
uang sipeutang.
4. Makful’anhu (tertanggung), adalah Pihak atau Orang yang Berpiutang.
5. Makful lahu (Penerima tanggungan), adalah Pihak Orang yang berutang.

Syarat

1. Sighat diekspresikan secara konkrit dan jelas’


2. Makful bih (Obyek tanggungan) bersifat mengikat terhadap tertanggung dan tdk bisa
dibatalkan secara syar’i.
3. Kafil : seorang yang berjiwa filantropi (suka berbuat baik demi kemaslahatan orang lain).
4. Makful’ :anhu ada kemampuan utk menerima obyek tanggungan baik atas dirinya atau yang
mewakilinya. Makful ‘anhu harus dikenal baik oleh kafil.
5. Makful lahu juga harus dikenal dengan baik oleh kafil.

Macam – Macam Kafalah

Secara sederhana, Kafalah adalah tanggungan yang di berikan oleh pihak ke tiga atas hutang
pihak ke dua kepada pihak ke tiga. Namun ternyata dalam prakteknya kafalah memliki lima macam,
yaitu sebagai berikut.

1. Kafalah bil Mal : jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Bentuk kafalah ini
merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para
nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
2. Kafalah bil Nafs : jaminan atas diri seseorang karena nama baik atau ketokohannya. Dalam
hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality yang dapat memberikan jaminan
untuk tujuan tertentu.
3. Kafalah bit Taslim : Jaminan pengembalian atas barang yang disewa, ketika batas sewa
berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan
nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan
pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan
memungut uang jasa/fee kepada nasabah tersebut.
4. Kafalah al-Munjazah : jaminan mutlak yang tdk dibatasi oleh jangka waktu dan utk
kepentingan/tujuan tertentu, Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan
bentuk performance bond (jaminan prestasi).
5. Kafalah al-Muallaqah : jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di
mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.
Berakhirnya Kafalah

Akad kafalah berakhir apabila:

1. Hutang telah lunas, baik makful anhu maupun kafil.


2. Makful lahu menghapus piutangnya kepada makful anhu.
3. Apabila salah satu ingkar: umpamanya melakukan wanprestasi agar kafil membayar
hutangnya kepada makful lahu.
4. Batas tanggal berakhirnya masa klaim bank garansi telah melampaui tanpa ada klaim dari
penerima bank garansi.
5. Terjadinya cacat hukum
6. Adanya penyataan dari penerima garansi tentang pelepasa hak klaim atas bank garansi yang
bersangkutan.
7. Dikembalikannya bank garansi asli kepada kafil atau bank garansi tersebut hilang.

Perlakuan akuntansi Al Kafalah

A. Bagi pihak penjamin

1. Pada saat menerima imbalan tunai (tidk berkaitan dengan jangka waktu)
Jurnal:
Dr. Kas xxx
Cr. Pendapatan kafalah xxx
2. Pada saat membayar beban
Jurnal:
Dr. Beban kafalah xxx
Cr. Kas xxx

B. Bagi pihak yang meminta jaminan


Pada saat membayar beban
Jurnal:
Dr. Beban kafalah xxx
Cr. Kas xxx
2. HIWALAH

Pengertian Hawalah

Secara etimologi, al Hawalah berarti pengalihan, pemindahan, perubahan warna kulit,


memikul sesuatu diatas pundak. Sedangkan secara terminologi al hawalah didefinisikan dengan:
Pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang membayar hutang (al Muhil) kepada orang yang
berhutang lainya (al muhtal alaih).

- Menurut Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hawalah adalah:

‫نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه‬

Artinya: “Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang
menerima pemindahan”.

- Menurut Idris Ahmad, Hawalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang
dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu
mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
- Sedangkan menurut Fuqaha bahwa Hawalah (perpindahan utang) merupakan suatu
muamalah yang memandang persetujuan dari kedua belah pihak.

Dasar Hukum Hiwalah

Hawalah sebagai salah satu bentuk transaksi antar sesama manusia dibenarkan oleh
Rasulullah SAW melalui sabda beliau:

)‫مطل الغنى ضلم واذا اتبع احدكم على ملى فا ليتبع ( رواه ا لجما عة‬

Artinya: Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan
perbuatan dholim jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang,
maka hendaknya ia berani (H.R al Jama’ah).

Disamping itu terdapat kesepakan oleh ulama’ (ijma’) mengatakan bahwa tindakan hawalah
boleh dilakukan.

Macam-macam Hawalah

Mazhab Hanafi membagi hawalah menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi obyek akad,
hawalah dapat dibagi dua:

1. Hawalah al Haqq: ialah Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut
utang.
2. Hawalah Ad-dain: Yaitu apabila yang dipindahkan itu kewajiban membayar hutang.
Dari sisi lain hiwalah terbagi menjadi dua:

1. Al Hawalah al Muqoyyadah: (Pemindahan bersyarat ) yaitu pemindahan sebagai


ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.
2. Al Hawalah al Muthlaqah: (Pemindahan mutlak) yaitu pemindahan utang yang tidak
ditegaskan sebagsi ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua.

Rukun Hawalah

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun hawalah adalah

1. Ijab (peryataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama.


2. Qabul (peryataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan ketiga.

Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari malikiyah, syafiinya dan hanabilah, rukun
hawalah ada 6 yaitu:

1. Pihak pertama
2. Pihak kedua
3. Pihak ketiga
4. Utang pihak pertama kepada pihak kedua
5. Utang pihak ketiga kepada pihak pertama
6. Shigat (peryataan hiwalah)

Syarat-Syarat Hawalah

Para ulama fiqih dari kalangan hanafi, Malaiki, Syafi’I, dan Hambali. Berpendapat
bahwa hawalah dapat syah apabila terpenuhinnya syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak petama
pihak kedua dan pihak ketiga, serta yang berkaitan tenang hak itu sendiri,

syarat-syarat pihak pertama yaitu:

1. Baliq dan berakal


2. Ada peryataan persetujuan

Syarat-syarat Pihak kedua yaitu:

1. Baliq dan berakal


2. Adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah, atas
pertimbangan kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda.

Syarat-Syarat Pihak ketiga yaitu:

1. Baliq dan berakal


2. Menuru hanafi mensyaratkan Adanya peryataan persetujuan dari pihak ketiga, sedangkan
madzhab lainya tidak mensyaratkan hal itu.

Syarat-syarat yang diperlukan terhadap al Muhalbih,

1. Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang-piutang yang sudah pasti.
2. Apabila penggalihan hutang itu dalam bentuk hiwalah muqayadah, semua ulama fiqih sepakat
bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada
pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
3. Ulama dari madzhab syafi’i menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama pula waktu
jatuh tempo pembayarannya.

Berakhirnya Akad Hawalah

1. Salah situ pihak yang sedang melakukan akad itu mem-faskh (membatalkan)
akad hawalahsebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu,
pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikian
pula hak pihak pertama kepada pihak ketiga.Pihak ketiga melunasi utang yang diahhkan itu
kepada pihak kedua.Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang
mewarisi harta pihak kedua.
2. Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam
akadhawalah itu kepada pihak ketiga.
3. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibanya untuk membayar utang yang
dialihkan itu.
4. Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena at-tawa, yaitu: pihak
ketiga mengalami mullis (muflis, bangkrut), atau wafat dalam keadaan muflis atau, dalam
keadaan tidak ada bukti otentik tenting akad hawalah,
3. AR-RAHN

Pengertian AR-Rahn

Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-rahn dalam istilah
hukum positif disebut dengan barang jaminan, agunan, adan rungguhan. Dalam islam ar-
rahn merupakan sarana tolong menolong bagi umat islam, tanpa ada imbalan jasa.

Ada beberapa definisi ar-rahn yang dikemukakan ulama fiqh, ulama Malikiyah
mendefinisikan bahwa harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat
mengikat.Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja harta yang bersifat
materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan jaminan tidak harus
diserahkan secara actual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah
menjadi jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya (sertifikatnya).

Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap
hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun
sebagian.Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn bahwa menjadikan
barang sebagai jaminan hutang, yang dapat dijadikan pembayar hutang apabila orang yang berhutang
tidak bisa membayar hutangnya itu

Definisi yang dikemukakan Syafi’iyah dan Hanabilah ini mengandung pengertian bahwa
barang yang boleh dijadikan hutang itu hanyalah harta yang bersifat materi; tidak masuk manfaat
sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun manfaat itu, menurut mereka (Syafi’iyah
dan Hanabilah), termasuk dalam pengertian harta. Ar-rahn ditangan al-murtahin (pemberi hutang)
hanya berfungsi jaminan hutang ar-rahin (orang yang berhutang). Barang jaminan itu baru boleh
dijual apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak.

Sifat Rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma,sebab apa yang
diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang
diberikan murtahin kepada rahin adalah utang,bukan penukar ataas barang yang digadaikan. Rahn
juga termasuk akad yang bersifat ainiyah,yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang
dijadikan akad,seperti hibah,pinjam meminjam,titipan,dan qirad. Semua termasuk akad tabarru
(derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu),sesuai kaidah: "Tidak sempurna
tabarru,kecuali setelah pemegangan."

Dasar Hukum ar-Rahn

Dalam Al Qur’an

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam islam berdasarkan al-
Qur’an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah berfirman :

َّ ‫ّللَاَ َربَّهُ َو ََل ت َ ْكت ُ ُموا ال‬


َ‫ش َهادَة‬ َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْلي َُؤ ِد الَّذِي اؤْ تُمِ نَ أ َ َمانَتَهُ َو ْليَت‬
ُ ‫ضةٌ فَإ ِ ْن أَمِ نَ بَ ْع‬
َ ‫َان َم ْقبُو‬
ٌ ‫سف ٍَر َولَ ْم ت َِجدُوا كَاتِبًا فَ ِره‬
َ ‫علَى‬
َ ‫َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
)283( ‫علِي ٌم‬ ُ
َ َ‫ّللَاُ بِ َما ت َ ْع َملون‬ ْ َ ْ
َّ ‫َو َم ْن يَكت ُ ْم َها فَإِنَّهُ آثِ ٌم قَلبُهُ َو‬

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 283)

Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanan dan dalam keadaan
hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh si
piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan bisa dipegang / dikuasai oleh si pemberi
piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa
barang dalam status al-Marhun (menjadi jaminan hutang). Misalnya, apabila barang jaminan itu
berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.

Hadist

Kemudian dalam sebuah Hadist Rasulullah dikatakan bahwa :

َّ ‫سو ُل‬
ِ‫ّللَا‬ ُ ‫ع ْن َها قَالَتْ ا ْشت ََرى َر‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫ّللَا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫شةَ َر‬ َ ِ‫عائ‬َ ‫ع ْن‬ َ ‫ِيم َع ْن ْاْلَس َْو ِد‬
َ ‫ع ْن إِب َْراه‬ ُ ‫سى َحدَّثَنَا أَبُو ُمعَا ِويَةَ َحدَّثَنَا ْاْل َ ْع َم‬
َ ‫ش‬ َ ‫ف ْبنُ عِي‬ ُ ‫َحدَّثَنَا يُو‬
ُ ‫س‬
ُ ‫عه‬ َ ٍ ‫سلَّ َم مِ ْن َي ُهودِي‬
َ ‫ط َعا ًما ِبنَسِيئ َ ٍة َو َر َهنَهُ د ِْر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللَا‬ َ

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin 'Isa telah menceritakan kepada kami
Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Ibrahim dari Al aswad dari 'Aisyah
radliallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari orang
Yahudi secara angsuran dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau".

Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul saw. me-rahn-kan baju besinya itu, adalah
kasus ar-rahnpertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat dan
hadis-hadis diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar-rahn itu dibolehkan, karena
banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antar sesama manusia.

Ijma

Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari
tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang
pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi
satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap
kebutuhan umatnya.

Rukun dan Syarat ar-Rahn

Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu :

 Shigat (lafal ijab dan qabul)

Syarat – syarat Shighat menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat rahn tidak
boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika
memakai syarat tertentu, syarta tersebut batal dan rahn tetap sah.

 ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin (pemberi hutang)

Syarat seorang ar Rahin dan al Murtahin yaitu:


1. tidak gila, mabuk, tidak dalam pengampuan dan anak kecil.
2. Dewasa, baligh
3. Berakal
4. Mumayyis
5. Cakap hukum

 al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)

Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual
beli. Menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun sebagai berikut:

1. dapat diperjualbelikan
2. bermanfaatdapat diperjualbelikan
3. bermanfaat, jelas
4. milik rahin
5. dipegang (dikuasai) oleh rahin
6. bisa diserahkan
7. tidak bersatu dengan harta lain
8. harta yang tetap atau dapat dipindahkan

 al-Marhun bih (hutang)

Ulama Hanafiyah memberikan syarat yaitu:

1. Marhun bih hendaklah barang yang wajib dikembalikan


2. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
3. Hak atas marhun bih harus jelas

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat yaitu:

1. Berupa hutang yang tetap dan dapat dimanfaatkan


2. Hutang harus lazim pada waktu akad
3. Hutang harus jelas dan diketahuioleh rahin dan murtahin.

Jenis – Jenis Rahn

Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah rahn, yang diatur menurut prinsip syariah,
dibedakan atas 2 macam, yaitu:

1. Rahn ‘Iqar/Rasmi

Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya.
Namun, barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.

Contoh : A memiliki hutang kepada B sebesar Rp. 10 juta. Sebagai jaminan tersebut, A
menyerahkan BPKB mobilnya kepada B secara Rahn Iqar. Walaupun surat – surat kepemilikan mobil
diserahkan kepada B, namun mobil tersebut tetap berada di tangan A dan dipergunakan olehnya untuk
keperluannya sehari – hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil tersebut.

2. Rahn Hiyazi
Konsep ini hampir sama dengan konsep Gadai. Pada Rahn Hiyazi barangnya pun dikuasai dengan
kreditur. Contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka mobil
milik A tersebut diserahkan kepada B sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Apabila hutang A
kepada B sudah lunas maka, A bida mengambil kembali mobil tersebut.

Dari pengertian kedua Janis rahn tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip pokok dari Rahn
adalah :

- Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai.
- Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima
oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang yang
digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya pernah diberikan oleh pemilik barang.
- Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas
seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai berkewajiban
menanggung biaya penitipan / penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang
digadaikan tersebut.

Hukum Memanfaatkan Barang Jaminan (ar-Rahn)

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang
berhutang. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah :

ُ ‫علَ ْي ِه‬
‫ {رواه الشافعى والدارقطنى‬.ُ‫غ ْر ُمه‬ ُ ُ‫ لَه‬...
َ ‫غ ْن ُمهُ َو‬

… pemilik barang jaminan (agunan) berhak atas segala hasil barang jaminan dan ia juga bertanggung
jawab atas segala biaya barang jaminan itu. (HR. asy-Syafi’I dan ad-Daruquthni)

Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan barang jaminan itu
tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan tanpa sekali, karena tindakan itu termasuk
menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah saw. (HR. at-Tirmizi).

Jumhur ulama fiqh, selain ulama Hanbilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan
tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak
pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan
apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, barulah ia boleh menjual barang itu
untuk melunasi hutangnya itu. Alasan jumhur ulama adalah sabda Rasulullah saw :

“Barang jaminan disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang jaminan dan resiko
yang timbul atas barang itu menjadi tanggung jawabnya.” (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban
dari Abu Hurairah)

Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan
barang itu selama di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkan, karena dengan danya
izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan
tetapi sebagian ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat, sekalipun pemilik barang
itu mengizinkannnya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu.

Karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan
riba’ yang dilarang oleh syara’; sekalipun diizinkan pemilik barang. Bahkan, menurut mereka ridha
dan izin lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang
akan dipinjam itu. Di samping itu, dalam masalah riba’, izin dan ridha tidak berlaku. Hal ini sesuai
dengan hadis Abu hurairah yang diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban diatas.

Pencatatan Akuntansi Rahn

A. Bagi pihak yang menerima gadai (murtahin)

Pada saat menerima barang gadai tidak dijurnal tetapi membuat tanda terima atas barang

1. Pada saat menyerahkan uang pinjaman

Jurnal:

Dr. Piutang xxx

Kr. Kas xxx

2. Pada saat menerima uang untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan

Jurnal:

Dr. Kas xxx

Kr. Pendapatan xxx

3. Pada saat mengeluarkan biaya untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan

Jurnal:

Dr. beban xxx

Kr. Kas xxx

4. Pada saat pelunasan uang pinjaman, barang gadai dikembalikan dengan membuat tanda serah
terima barang

Jurnal:

Dr. Kas xxx

Kr. Piutang xxx

5. Jika pada saat jatuh tempo, utang tidak dapat dilunasi dan kemudian barang dijual oeh pihak
yang menggadaikan Penjualan barang gadai jika nilainya sama dengan piutang

Jurnal:

Dr. Kas xxx

Kr. Piutang xxx


Jika kurang, maka piutangnya masih tersisa sejumlah selisih antara nilai penjualan dengan saldo
piutang.

B. Bagi pihak yang menggadaikan

Pada saat menyerahkan aset tidak dijurnal, tetapi menerima tanda terima tas penyerahan aset
serta membuat penjelasan atas catatan akuntansi atas barang yang digadaikan

1. Pada saaat menerima uang pinjaman

Jurnal:

Dr. Kas xxx

Kr. Utang xxx

2. Bayar uang untuk biaya pemeliharaan dan penyimpanan

Jurnal:

Dr. Beban xxx

Kr. Kas xxx

3. Ketika dilakukan pelunasan atas hutang

Jurnal:

Dr. Beban xxx

Kr. Kas xxx

4. Jika pada saat jatuh tempo hutng tidak dapat dilunasi sehingga barang gadai dijual pada saat
penjualan barang gadai.

Jurnal:

Dr. Kas (utang) xxx

Dr. Akumulasi Penyisutan (apabila aset tetap) xxx

Dr. Kerugian (apabila rugi) xxx

Kr. Keuntungan (apabila untung) xxx

Kr. Aset xxx

5. Pelunasan utang atas barang yang dijual pihak yang menggadai

Jurnal :
Dr. Utang xxx

Kr. Kas xxx

Jika masih ada kekurangan pembayaran utang setelah penjualan barang gadai tersebut, maka berarti
pihak yang menggadaikan masih memiliki saldo utang kepada pihak yang menerima gadai.

DAFTRA PUSTAKA

a) Koleksi makalah, may 2015. Sebagaimana diunduh dari


http://desbayy.blogspot.co.id/2015/05/makalah-kafalah.html

b) Landasan dasar hukum hawalah, desember 2014. Sebagaimana diunduh dari


http://duniapendidikan33.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-rukun-dan-dasar-hukum-
hawalah.html

c) nurmaliandriansi blog, ar rahn. April 2014. Sebagaimana diunduh dari


http://nurmaliaandriani95.blogspot.co.id/2014/04/rahn-gadai.html

d) kumpulan makalah, april 2011. Sebagaimana diunduh dari. http://fariadi-


kumpulanmakalah.blogspot.co.id/2011/04/rahn_03.html

Das könnte Ihnen auch gefallen