Sie sind auf Seite 1von 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Papua merupakan provinsi paling timur di Indonesia, memiliki luas wilayah

terbesar dengan jumlah penduduk yang masih sedikit. Pemberlakuan Undang-

Undang Desentralisasi di Indonesia dan khususnya Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan pemberian

kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah dan Rakyat Papua untuk

mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Kewenangan yang berarti peran dan tanggung jawab yang

lebih besar dalam mengatur urusan rumah tangganya. Menyelenggarakan

pemerintahan serta mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi

kemakmuran rakyat Papua.

Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus telah membuat Provinsi

Papua dari segi pendapatan daerah menjadi salah satu provinsi terkaya di

Indonesia. Namun di sisi lain masyarakat Papua masih banyak yang hidup di

bawah garis kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik

(BPS: Maret 2014) menunjukkan Provinsi Papua memiliki jumlah penduduk

miskin tertinggi di antara 33 Provinsi di Indonesia yaitu 924,4 ribu jiwa atau 30,05

persen dengan jumlah penduduk miskin secara keseluruhan di Indonesia yaitu

28280,01 ribu jiwa atau 11,25 persen.

Berdasarkan faktor-faktor penyebab kemiskinan, maka terdapat kemiskinan

struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural mengacu kepada sikap


masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup, dan budayanya.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh pembangunan

yang belum seimbang dan hasilnya belum terbagi merata. Hal ini dikarenakan

keadaan kepemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat

yang tidak seimbang, ketidaksamaan kesempatan dalam berusaha, dan

memperoleh pendapatan sehingga menyebabkan keikutsertaan dalam

pembangunan yang tidak merata.

Ditinjau dari faktor penyebab, dapat dipastikan jika kemiskinan di pedesaan

lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan. Hal ini yang terjadi di Papua, di

mana masyarakat Papua mengalami keterbelakangan dan kesenjangan wilayah.

Kurang mendukungnya jumlah dan kualitas sarana prasarana maupun kurangnya

pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia (SDM) menyebabkan

masyarakat Papua yang tinggal di daerah perkampungan/pedalaman semakin

terisolasi. Sarana dan prasarana yang kurang memadai menyebabkan akses

kampung ke kota jarang atau bahkan tidak ada, hal ini semakin menambah

penderitaan masyarakat Papua yang tinggal di perkampungan.

Untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan di

Papua maka pemerintah Provinsi Papua melakukan berbagai upaya untuk

meningkatkan kualitas hidup masyarakat Papua di perkampungan. Salah satu

kebijakan yang dilakukan adalah kebijakan pembangunan yang berbasis kampung.

Pendekatan pembangunan berbasis kampung merupakan suatu jawaban atas

berbagai ketimpangan pembangunan yang dirasakan masyarakat selama ini.

Sebagian besar masyarakat Papua terkonsentrasi tinggal di daerah kampung-

kampung terpencil dan hidup dalam kemiskinan.

2
Pada awal tahun 2007, tepatnya di Kabupaten Wamena, Gubernur Provinsi

Papua Bernabas Suebu mencetuskan program RESPEK (Rencana Startegis

Pembangunan Kampung). Pembentukan program Respek mengacuh pada

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 pasal 15 dan pasal 34 Otonomi Khusus

(OTSUS), tentang pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah

Provinsi Papua untuk menetapkan dan mengendalikan/mengarahkan pengelolaan

dana penerimaan khusus dalam rangka Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Hasil program Respek diharapkan dapat bermanfaat, berdaya guna, dan berhasil

guna serta sesuai dengan sasaran/target yang telah ditetapkan dalam rangka

peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KEADAAN UMUM PROVINSI PAPUA


1. Letak Geografis

Provinsi Papua dengan luas 317.062 kilometer persegi terdiri dari 28 kabupaten dan 1 kota
dengan jumlah penduduk 2.851.999 jiwa (BPS, 2010). Luas wilayah provinsi Papua adalah
317. 062 (Km2). Jika dibandingkan dengan wilayah Republik Indonesia, maka luas wilayah
Provinsi Papua merupakan 19,33 persen dari luas Negara Indonesia yang mencapai 1.890.754

(Km2) dan merupakan provinsi terluas di Indonesia.


. Kondisi Topografis
Papua merupakan salah satu daerah yang terpencil, memiliki laut dan pantai, memiliki
topografi yang kasar, memiliki iklim tropis basah yang puncak pegunungannya selalu
ditutupi salju abadi. Diselimuti hutan dan hujan tropik basah dan hujan berekologi

. Sumber Daya Alam (SDA)


Provinsi Papua mempunyai sumber daya alam yang melimpah menyebabkan tingkat
pertumbuhan tahunan Provinsi Papua jauh di atas rata-rata nasional untuk beberapa tahun,
dan dari segi fiskal merupakan provinsi terkaya kedua di Indonesia. Sektor pertambangan,
minyak dan gas (69%) mendominasi perekonomian di Provinsi Papua, diikuti oleh sektor
pertanian (11%), administrasi pemerintahan (5%), sektor transportasi (4%), sektor
komunikasi (4%), sektor konstruksi (4%), sektor perdagangan (4%) dan lainnya (3%).

4. Demografis
Dari tahun ke tahun jumlah penduduk di Provinsi Papua terus meningkat. Pada tahun 2003
jumlah penduduk sebesar 1.823.872 jiwa, kemudian pada tahun 2007 meningkat menjadi
2.015.616 jiwa. Sedangkan data terakhir berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk
Tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Papua sementara adalah 2.851.999 orang, yang
terdiri atas 1.510.285 laki-laki dan 1.341.714 perempuan. Dengan luas wilayah Provinsi
Papua sekitar 317.062 km2 dan didiami oleh 2.851.999 jiwa, maka rata-rata tingkat
kepadatan penduduk Provinsi Papua adalah sebanyak sembilan orang per km2, hal ini
mengindikasikan bahwa masih luasnya wilayah di Provinsi Papua yang tidak berpenghuni.
5. Keadaan Penduduk
Provinsi Papua Secara etno biologis Penduduk Papua merupakan suku bangsa yang memiliki
pertalian etnis tersendiri dibandingkan dengan suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia.
Letaknya berada di ujung timur Indonesia, hidup di tengah keterasingan dan jauh dari kontak
dengan kemajuan atau modernisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa situasi dan kondisi yang
kurang kondusif membuat masyarakat berada dalam tarap hidup yang cukup
memprihatinkan. Pada saat ini sebagian besar orang Papua masih berbusana sederhana
sebagai simbol keterbelakangan mereka, sebagian besar penduduk Papua masih primitif
ibarat hidup di jaman batu, peramu (nomad). Mereka bermukim terpencar dan terpencil di
lepas pantai, pesisir pantai, peralihan, lereng-lereng gunung, lembah-lembah serta celah-celah
gunung yang sulit di jangkau bahkan jauh dari pusat-pusat pelayanan pemerintah

6. Kondisi Sosial Ekonomi


Kondisi sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan yakni kondisi perumahan sangat
darurat, hidup dalam honai/ owa, tingkat inflasi dan harga barang dan jasa tertinggi di
Indonesia, sebagian besar dari mereka nyaris tanpa busana dan pola perekonomian subsisten.
Selain itu tingkat pendidikan relatif rendah, angka buta huruf mencapai lebih dari 70%,
tinggat kesehatan rendah dan gizi rawan, Angka Kematian Bayi Tertinggi di Indonesia,
Prevalensi HIV/AIDS Tertinggi di Indonsia, Tingkat Kemiskinan Tertinggi di Indonesia,
Korupsi Tertinggi di Indonesia, Kinerja Pemerintah Terendah di Indonesia, Indeks
Pembangunan Manusia Papua urutan ke 33 dari 33 propinsi di Indonesia.

II. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DI PAPUA SAAT INI


1. Propinsi Termiskin di Indonesia
Sumber Daya Manusia (SDM) dari 2 juta lebih penduduk yang ada saat ini, hampir setengah
penduduk Papua yaitu 40,78% hidup dengan status Rumah Tangga Miskin (RTM).
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS 2010 menunjukkan Propinsi
Papua merupakan Propinsi termiskin di Indonesia yakni 34,88%. Sedangkan bila
dibandingkan dengan Propinsi-Propinsi yang sumber daya alamnya lebih rendah dari
Propinsi Papua justru angka kemiskinan lebih baik, misalnya Propinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) 23,03%, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 21,55%, Propinsi Bangka Belitung
18,94%. Padahal saat ini Papua adalah Propinsi dengan kewenangan Otonomi Khusus (UU
21 Tahun 2001) dengan dana pembangunan perkapita tertinggi di Indonesia. Total dana
Otonomi Khusus 2002-2009 sebesar 9,353 triliun dan Infrastruktur 2007-2009 dengan dana
2,5 triliun. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah Propinsi
Papua adalah Indeks Keparahan Kemiskinan (IKK) di Propinsi Papua yang juga paling tinggi
di Indonesia yaitu sebesar 2.99%. Bila dibandingkan dengan Propinsi Lainnya maupun juga
secara nasional, Indeks Keparahan Kemiskinan hanya 0.68% sampai dengan 1% saja.

2. Tingkat Inflasi dan Biaya Hidup Tertinggi


Tinggi-rendahnya tingkat inflasi dapat mempengaruhi stabilitas harga barang dan jasa di
suatu daerah. Stabilitas harga di Propinsi Papua selain disebabkan karena peningkatan inflasi
tiap tahun, juga diakibatkan karena jarak tempuh distribusi barang dan jasa dari pusat-pusat
produksi ke Propinsi Papua yang sangat jauh sehingga memakan besarnya biaya transportasi.
Propinsi Papua, harga Semen 1 Sak di Jayapura 70 ribu, Wamena 500 ribu dan Puncak Jaya
1,2 juta. Harga Beras bermerek berisi 25 kilogram Rp.750.000-Rp.800.000 per karung di
Puncak Jaya, sedangkan di Jakarta Beras yang bermerek dan bermutu tinggi seperti
Pandanwangi atau Rojolele untuk 25 kilogram hanya Rp.80.000,- per karung. Di Pegunungan
Bintang, harga Minyak Bensin untuk 1 liter mencapai Rp.40.000, sedangkan saat ini harga
nasional hanya Rp.4.500,-. Melambungnya harga barang di daerah Pedalaman Papua ini,
selain karena adanya tingkat inflasi yang tinggi, juga karena moda transportasi untuk
melayani penduduk pedalaman Papua hanya dilalui melalui jaringan transportasi udara.
Sementara itu, pemerintah Propinsi Papua belum mampu melakukan upaya pengendalian
jalur distribusi barang dari pusat produksi sampai di konsumen di wilayah Papua. Padahal
konsumen terbanyak berada di Pedalaman Papua yang merupakan jumlah penduduk paling
padat yaitu 1,2 juta di 10 kabupaten yang ada di daerah pegunungan Tengah Papua, atau
60% dari keseluruhan jumlah penduduk Papua.

3. Indeks Pembangunan Manusia Terendah di Indonesia


Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dilihat dari
perbandingan harapan hidup saat kelahiran, pengetahuan yang diukur dari angka tingkat
baca tulis pada orang dewasa serta standar hidup layak maka, untuk Indonesia pada tahun
1999 IPM 64,3% menjadi 71.17% di tahun 2008. Sedangkan Propinsi Papua tahun 1999
IPM 58,8% menjadi 64,00 di tahun 2008. Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2008,
Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Papua paling rendah dari rata-rata nasional dan
terendah diantara propinsi lainnya di Indonesia. Bahkan bila dibandingkan dengan Propinsi
yang termiskin sumber daya alamnya seperti Sultra 69.00, Bengkulu 72.14, Jambi 71.99.
4. Tingkat Partisipasi Pendidikan Terendah di Indonesia
Pada tahun 2007, tingkat partisipasi pendidikan Sekolah Dasar di Propinsi Papua 82.92%
(BPS, 2007), sedangkan rata-rata nasional lebih dari 93.75%. Dengan angka ini
menempatkan Propinsi Papua berada di posisi ke 33 dari 33 propinsi di Indonesia, artinya
tingkat partisipasi pendidikan di propinsi Papua paling rendah di Indonesia. Bila kita
menganalisis secara mendalam ternyata tingkat partisipasi pendidikan propinsi Papua 2007
sebesar 82,92% lebih buruk atau cenderung menurun dari pada tahun 2004 yaitu 85,21%.

5. Tingkat Kepadatan Penduduk Rendah


Kepadatan Penduduk Propinsi Papua tidak mengalami peningkatan secara signifikan sejak
tahun 1971. Pada tahun 1971 kepadatan Penduduk Propinsi Papua adalah 2 orang penduduk
tiap 1 Km², dan pada tahun 1990 menjadi 5 orang Penduduk tiap 1 Km², kemudian pada
tahun 2005 kepadatan penduduk di Papua tidak mengalami peningkatan tiap Km² hanya
dihuni oleh 7 orang. Jumlah tersebut di atas berbeda dengan propinsi lain di Indonesia,
misalnya Jawa Barat 757 orang tiap1Km², Sumatera Utara 169 orang tiap 1Km². Serta masih
lebih rendah dari kepadatan penduduk rata-rata nasional, 116 orang tiap 1Km². Bila dianalisis
maka ternyata pemerintah propinsi Papua kurang memperhatikan aspek penataan ruang dan
penduduk lokal di Papua.

6. Papua Terisolir dan Terpencil


Dalam rangka mengatasi Permasalahan infratruktur Jalan dan Jembatan di wilayah Propinsi
Papua, maka pemerintah pusat telah menargetkan 11 ruas jalan strategis dan prioritas
Propinsi Papua 2010-2014 yaitu 7 ruas jalan strategis dan 4 ruas jalan perioritas. Untuk
membangun 11 ruas jalan strategis dan prioritas membutuhkan dana sebesar 9,78 triliun
rupiah. Pembangunan 7 ruas jalan strategis itu adalah: Nabire-Waghete dan Enarotali (262
km), Jayapura-Wamena dan Mulia (733 km), Timika-Mapuru Jaya dan Pomako (39,6 km),
Serui-Menawi dan Saubeba (499km), Jayapura-Sarmi (364 km), Jayapura, Holtekam batas
PNG (53 km), Merauke Waropko (557 km), dengan total 2.056 km. Sementera itu 4 ruas
jalan prioritas Propinsi Papua sebanyak 361 km; Depapre-Bongrang, Wamena-Timika-
Enarotali, dan Ring Road Jayapura. Strategi penerobosan isolasi dan daerah terpencil di
Papua tersebut di atas merupakan program pemerintah pusat. Meskipun periode
Pemerintahan ini akan berakir, namun sampai saat ini pemerintah propinsi Papua belum
mempunyai grand design pembangunan infrastruktur di Papua. Salah satu moda transportasi
yang sangat vital di Papua adalah moda transportasi udara. Pada saat ini di Papua terdapat
300 buah lapangan terbang perintis, dan hanya dilayani oleh 5 buah pesawat Merpati buatan
1975 serta tidak lebih dari 5 buah perusahaan swasta yang melayani mobilitas barang dan
jasa.

7. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terkecil Di Tengah Kelimpahan


PT Freeport Indonesia belum menjalankan amanat UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Papua, misalnya dikabarkan belum membayar Pajak Pertambangan Umum (PPu)
kepada propinsi Papua sebesar 80%. Sebuah sumber mengungkapkan bahwa sampai saat ini
Freeport hanya mampu membayar Pajak Bagi Hasil (PBh) sumber daya alam sebesar 18%
sekitar 500 miliar saja dari yang seharusnya 80% atau sekitar 6 triliun rupiah sesuai dengan
amanat Otonomi Khusus. Sementara keuntungan yang didulang Freeport setiap tahun terus
meningkat. Laba bersih tahun 2002 RP.1,27 triliun, 2003 menjadi 1,62 triliun, tahun 2004
menjadi 9,34 triliun. Sekali lagi itu laba bersih bukan sales atau laba kotor. Rupanya amanat
Otonomi Khusus tentang bagi hasil Pajak Pertambangan Umum 80% untuk Propinsi Papua
dipermainkan oleh pemerintah pusat. Pemda Papua seakan-akan bodoh sehingga dibodohi
oleh mereka yang merasa pintar. Dampaknya bisa kita lihat Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Papua yang relatif kecil yaitu RP 360 miliar pada tahun 2009 (bandingkan saja PAD DKI
Jakarta tahun 2009 mencapai 10,363 trilliun).

8. Bahaya HIV/AIDS yang mengancam Papua


Kasus-kasus HIV–Positif yang terdeteksi melalui survailans dengan bantuan hasil test
reagent ELISA maupun juga Western blot menemukan bahwa sampai dengan Agustus 2010
di Propinsi Papua sebanyak 5.000 Warga Papua terkena AIDS. Diprediksikan bahwa jumlah
penderita HIV/AIDS akan meningkat tajam pada tahun-tahun mendatang. Berbeda dengan
kasus HIV/AIDS di Pulau Jawa yang penularannya melalui jarum suntik, untuk Propinsi
Papua penularannya lebih banyak melalui hubungan seksual sembarangan. Peningkatan
jumlah prevalensi HIV/AIDS ini akan terus meningkat secara deret ukur, sementara angka
kelahiran mengalami pertumbuhan minimal (minimizing zero growth) secara deret hitung
sehingga diperkirakan penduduk Papua terancam berkurang drastis.

9. Epidemi Korupsi yang Menggurita di Papua


Hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan
"Political & Economic Risk Consultancy" (PERC) yang berbasis di Hong Kong menyebutkan
Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup yang disurvei pada
tahun 2010. Nilai tersebut naik dari tahun lalu yang poinnya 7,69. Sedangkan, posisi kedua
ditempati oleh Kamboja sebagai negara paling korup. Sementara itu, Survei Indeks Persepsi
Korupsi Indonesia yang dilakukan pada September sampai dengan Desember 2008, bertujuan
untuk mengukur tingkat korupsi pemerintah daerah berdasarkan persepsi pelaku bisnis
setempat. Yogyakarta Kota Terbersih dari korupsi mendapatkan skor Tertinggi yaitu 6,43.
Sementara itu Manokwari (3,39) termasuk Kota Terkorup, dan rata-rata sebagian besar kota
di Propinsi Papua termasuk jajaran 10 besar kota terkorup di Indonesia.

10. Penduduk Papua Terancam Berkurang Drastis


Jumlah Penduduk Propinsi Papua pada tahun 1971 adalah sebanyak 923.449 jiwa, maka
berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 menjadi 1.684.144 juta jiwa, dan di tahun 2005
menjadi 1.875.388 juta jiwa. Dimana pada tahun yang sama untuk Propinsi Sumatera Utara
mengalami peningkatan secara drastis dari 6.621.831 juta jiwa di tahun 1971 menjadi
11.642.488 di tahun 2000 dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 12.450.911 juta jiwa.
Sedangkan jumlah penduduk nasional mengalami peningkatan dari 119.208.229 juta jiwa di
tahun 1971 dan 205.132.458 pada tahun 2000 serta 237,6 juta jiwa di tahun 2010. Semua
diakibatkan karena berbagai faktor yang mempengaruhi diantaranya ; 1/ Kurangnya
kepedulian masyarakat terhadap hidup sehat dapat dikatakan bahwa dari faktor kesehatan
yang belum memadai dan juga kurangnya tenaga kesehatan dan ahli dalam mensosialisasikan
ke masyarakat, 2/ Keadaan wilayah atau daerah di Papua hampir sebagian masih banyak
daerah yang berupa hutan dan pegunungan dimana kondisi wilayah yang begitu sulit untuk
dilakukan pembangunan secara teratur, sehingga sulit untuk menjangkau masyarakat yang
ditempat-tempat terpencil seperti diatas gunung, 3/ Sering terjadinya perang antar suku yang
juga biasanya memakan korban terhadap masyarakat pribumi di Papua,dan masih banyak lagi
yang menyebabkan penduduk Papua berkurang secara drastis disamping oleh berbagai faktor
diatas termasuk kematian yang disebabkan oleh berbagai penyakit, bencana alam, dan lain
sebagainya.
III. PAPUA DALAM PANDANGAN PANCA GATRA

1. Gatra Ideologi
Upaya memelihara kondisi demografi, keanekaan suku, budaya atau sumber daya manusia
yang ada di Papua tentu disatukan dengan ideologi nasional sebagai perekatnya bangsa yang
mempunyai arah dan tujuan bangsa.

2. Gatra Politik
Solusi terhadap berbagai persoalan yang ada di papua dapat di selesaikan bila pemerintah
daerah provonsi papua membangun kapasitas kelembagaan pemerintah secara baik,
peningkatan insfrastruktur politik di papua, kelembagaan legislatif dan eksekutif perlu
ditingkatkan melalui pengembangan kelembagan dan mutu sumber daya manusianya
sehingga tercipta pelayanan pemerintahan yang baik (clean and good governance).

3. Gatra Ekonomi
Berrbagai persoalan ekonomi yang telah disampaikan diatas tentu bisa diselesaikan bila
membangun basis ekonomi yang kuat. Sumber daya alam yang melimpa akan dapat manfat
bila mampu mengelola dan memberi kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat papua sehingga
rakyat papua lebih baik dan sejahtera.

4. Gatra Sosial Budaya


Kehidupan orang Papua sejak lahir dari keanekaan budaya yang unit. Secara lebih luas bahwa
pandangan hidup, agama, perilaku, pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sifatnya sederhana. Dalam konteks ini pola sosial budaya yang terbentuk di papua tentu
bukan menjadi ancaman namun sebagai potensi yang dapat dikembangkan dengan unsur-
unsur sosial budaya masyarakat Indonesia pada umumnya.

5. Gatra Pertahanan dan Keamanan


Berbagai konflik politik yang terjadi di papua, khususnya bagi mereka yang ingin
memisahkan diri dari NKRI merupakan ekspresi dari kondisi kondisi sosial ekonomi yang
memprihatinkan. Ancaman terhadap NKRI akan dapat diselesaikan bila faktor-faktor yang
mendorong pemberontakan di Papua diselesaikan secara menyeluruh.
IV. SOLUSI PENYELESAIAN

1. Pembangunan dari Sudut Pandang Masyarakat bukan dari sudat pandang penguasa
karena yang mempunyai pembangunan itu rakyat;
2. Pemerintah Sebagai Fasilitator, Koordinator dan Pelaku Pembangunan bukan hanya
sebagai subjek pembangunan;
3. Menjaga Momentum Darurat (Emegency) supaya pembanguna di papua selalu menjadi
perhatian tiap saat;
4. Membuka Pusat Logistik untuk Titik-Titik Strategis Pembangunan karena luas wilayah
papua sulit dijangkau kalau terpusat di Jayapura;
5. Pembentukan TIM Terpadu Untuk Mempermudah Pelayanan agar dalam pembangunan
saling koordinasi antar unit pemerintah;
6. Konsisten untuk Membangun Kepercayaan;
7. Memberi Kepercayaan Berdasarkan Kompetensi sehingga tidak asal menempatkan
pejabat;
8. Perlu Kebijakan Penggunaan Anggaran Bersifat Khusus karena di papua tidak semua
sistem penggunaan anggaran nasional bias dijalankan;
9. Bekerja Ibarat Mesin Disertai Remunerasi. Penerapan renumerasi agar tidak terjadi
korupsi;
10. Pengawasan dan Pengendalian juga demi memastikan pembangunan berjalan dan
minimalisasi korupsi;
11. Perlunya Lembaga Satuan Anti Korupsi (SAK) di Papua;
12. Welcome Pada Investor Untuk Publik Private Partnership;
13. Membangun Perumahan dan Permukiman;
14. Mengembangkan Komunikasi Yang Humanis dan Rendah Hati;
15. Revitalisasi Pendidikan dan Revolusi Pengembangan SDM di Papua;
16. Distribusi Anggaran Melalui Tiga Komponen (Pemerintah, Adat dan Agama);
17. Revitalisasi Kesehatan di Propinsi Papua.
DAFTAR PUSTAKA

1. Agus Sumule, Ph.D, Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua. 2003.
Gramedia, Jakarta
2. Natalis Pigai, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua. 2001. Sinar
Harapan, Jakarta
3. Natalis Pigai, Arah Baru Pembangunan Papua, 2010, BRR Aceh-Nias, Aceh
4. Natalis Pigai, Dialog Solusi Jakarta dan Papua, Opini Koran Sinar Harapan, 29 Juli
2012, Jakarta,
5. Kompas, Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik, 2008, Penerbit Kompas, Jakarta
6. BPS, Papua Dalam Angka, 2010, 2011 dan 2012, BPS Provinsi Papua

Das könnte Ihnen auch gefallen