Sie sind auf Seite 1von 11

PENERAPAN STANDAR KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA RUMAH

SAKIT (K3RS) RSUD AJAPPANGE SOPPENG


Application of Health and Safety Hospital Standards (K3RS)
Ajappange Hospital Soppeng

Sri Nurfitriani1, Syamsiar Russeng1, Masitha Muis1


1
Bagian KKK Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar
(nurkhaera@yahoo.com, syamsiar@yahoo.co.id, 085242850840)

ABSTRAK
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang termasuk dalam suatu wadah hygiene perusahaan
dan kesehatan kerja (hiperkes) terkadang terlupakan oleh para pengusaha. Penggunaan mesin, alat kerja,
material dan proses produksi telah menjadi sumber bahaya bagi pekerja. Rumah sakit sebagai provider
pelayanan kesehatan perlu untuk menerapkan standar K3RS untuk melindungi tenaga kerjanya. Penelitian
ini bertujuan untuk menggambarkan penerapan standar pelayanan K3RS di RSUD Ajappange Soppeng.
Jenis penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif. Populasi adalah seluruh tenaga kerja di RSUD
Ajappange yakni 215 orang. Total sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin, penentuan
sampel untuk tiap ruangan dengan menggunakan proportional stratified random sampling7. Total sampel
70 orang pegawai tetap memberikan tanggapan melalui kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan
penerapan standar pelayanan kesehatan pencapaian standar sebesar 59,9% ini masuk kedalam kategori
terlaksana kurang baik. Penerapan standar pelayanan untuk keselamatan kerja pencapaian standar sebesar
78,6% ini masuk kedalam kategori terlaksana sangat baik. Sosialisasi bertahap dibutuhkan di rumah sakit
ini untuk memahamkan seluruh pekerja tentang pentingnya pelaksanaan K3 sehingga melaksanakan
program dengan kemauan bukan karena hal itu aturan semata.
Kata Kunci : Standar K3, Rumah Sakit

ABSTRACT
Health and safety are included in a container company hygiene and health (Hiperkes) sometimes
forgotten by the businessman. The use of machines, work tools, materials and production processes have
become a source of danger to workers. Hospitals as health care providers need to implement health and
safety hospital (HSH) standards to protect its workforce. This study aims to describe the application of
the standard of care in hospitals Ajappange K3RS Soppeng. Type of study is a descriptive survey. The
population is the entire workforce at the hospital Ajappange 215 people. The total sample was
determined using the slovin formula, sampling for each room by using a proportional stratified random
sampling. The total sample of 70 employees continue to provide feedback via a questionnaire. The results
show the application of the highest attainable standard of health care standards by 59,9% in the category
of the less well executed. The implementation of service standards for safety achievement of this standard
of 78,6% in the category of very well done. Gradual socialization needed at the hospital to hang all
workers about the importance of the implementation of K3 with a willingness to carry out a program
because it's not the only rule.
Keywords: Standard of Health and Safety, Hospital

1
PENDAHULUAN
Sesuai UU RI No. 1 Tahun 1970, tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup
atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki kerja untuk
keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber bahaya. Tempat kerja termasuk pula semua
ruangan, lapangan, halaman, dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang
berhubungan dengan tempat kerja tersebut1.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang termasuk dalam suatu wadah hygiene
perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes) terkadang terlupakan oleh para pengusaha atau pihak
manajemen. Berbagai alat dan teknologi buatan manusia disamping bermanfaat juga dapat
menimbulkan bencana atau kecelakaan, begitupun di tmepat kerja, penggunaan mesin, alat kerja,
material dan proses produksi telah menjadi sumber bahaya bagi pekerja. K3 diterapkan tidak
hanya pada industri tetapi juga seluruh pegawai disemua tempat kerja, termasuk di sektor
pelayanan kesehatan. Adanya asumsi bahwa tenaga kerja di rumah sakit sudah tahu dan dapat
mempertahankan kesehatan dan melindungi dirinya serta dianggap lebih mudah melakukan
konsultasi dengan dokter atau mendapatkan fasilitas perawatan secara informal, menjadikan
penerapan K3 di rumah sakit seolah-olah dipinggirkan.2,3
Kecelakaan kerja dan sakit di tempat kerja membunuh dan memakan lebih banyak korban
jika dibandingkan dengan perang dunia. Riset yang dilakukan badan dunia ILO tahun 2000
menyatakan angka kematian akibat penyakit menular yang berhubungan dengan pekerjaan laki-
laki sebesar 108-256 jiwa dan perempuan berkisar 517-404 jiwa, setiap hari rata-rata 6.000 orang
meninggal, setara dengan satu orang setiap detik, atau 22 juta orang pertahun akibat sakit atau
kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang meninggal dua kali lebih
banyak ketimbang wanita, karena mereka lebih mungkin melakukan pekerjaan berbahaya.
Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja telah menewaskan 350.000 orang. Sisanya
meninggal karena sakit yang diderita dalam pekerjaan seperti membongkar zat kimia beracun4,5.
Jaminan sosial nasional bagi tenaga kerja disebutkan dalam Undang-undang No. 40 tahun
2004 sedangkan dalam UU No. 36 tahun 2009 pasal 6 dinyatakan setiap orang berhak
mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Pasal 7 setiap orang
berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan
bertanggung jawab. Salah satu unit pelayanan kesehatan di Kabupaten Soppeng adalah RSUD
Ajappange Soppeng, rumah sakit milik Pemda Kab. Soppeng yang menurut surat keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1238/Menkes/SK/X/1997 adalah rumah sakit umum
kelas C, saat ini sudah memiliki enam jenis pelayanan spesialis dan 215 orang pegawai dari
berbagai profesi dan tersebar di lima jenis pelayanan dasar1,6.

2
Pelayanan RSUD Ajappange ini menjadi tolak ukur keberhasilan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat di Kabupaten Soppeng. Pelayanan terhadap pekerja pun akan mempengaruhi
pelayanan kepada masyarakat. Rumah sakit sebagai provider pelayanan kesehatan perlu
menerapkan Standar K3RS untuk melindungi pekerjanya. Berdasarkan hal tersebut peneliti
merasa perlu mengkaji tentang standar K3RS di rumah sakit Ajappannge ini untuk mengetahui
sejauh mana standar Pelayanan bagi petugas kesehatan diterapkan.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Ajappannge Kabupaten Soppeng,
Jalan Samudra 1 Watansoppeng, Kabupaten Soppeng, menggunakan jenis survei deskriptif
Pengumpulan data dilakukan selama tiga minggu dari tanggal 12-29 juni 2012. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pegawai tetap di RSUD Ajappange yakni 215 orang. Total sampel
ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin, penentuan sampel untuk tiap ruangan dengan
menggunakan proportional stratified random sampling. Total sampel 70 orang pegawai tetap.
Variabel Penerapan Standar Pelayanan K3 adalah penerapan K3 di RSUD Ajappange yang
diukur berdasarkan poin-poin dalam pedoman standar pelayanan K3RS yang diterbitkan oleh
Depkes RI 2009, meliputi standar pelayanan untuk kesehatan dan standar pelayanan untuk
keselamatan pekerja. Data disajikan dalam bentuk tabel disertai dengan penjelasan7,4.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Responden menurut jenis kelamin yang paling banyak adalah jenis kelamin perempuan
yakni sebanyak 94,3%. Umur responden dikelompokkan menjadi empat kelompok, responden
terbanyak pada kelompok umur 20-29 tahun yakni sebesar 47,2%. Lama responden bekerja
dikelompokkan menjadi empat kelompok, responden terbanyak pada masa kerja 1-10 tahun
yakni sebesar 87,1%. Tingkat pendidikan responden terbanyak memiliki tingkat pendidikan
Diploma 3 yakni sebesar 85,7%. dari sembilan unit kerja, responden terbanyak pada bagian
Perawatan anak yakni sebesar 15,7% (12 orang) dan selanjutnya pada bagian obsetrik dan
gynekologi (obgyn) sebesar 14,3 % (tabel 1). Pencapaian standar kesehatan kerja yakni 59,9%
masuk kedalam kategori terlaksana kurang baik. Pencapaian standar keselamatan kerja 78,6%
masuk kedalam kategori terlaksana sangat baik (tabel 2).

3
Pembahasan
Sebanyak 92,9% responden telah mendapatkan pemeriksaan kesehatan sebelum kerja atau
yang biasa disebut pemeriksaan kesehatan awal. Hal ini menunjukkan bahwa pemeriksaan
kesehatan awal sudah terlaksana dengan baik di RSUD Ajappannge. Program ini sudah
terlaksana sangat baik dibandingkan dengan bagian Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Bedah
IRD RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo yang sebagian besar petugas belum pernah mendapatkan
pemeriksaan kesehatan awal serta tidak satupun petugas yang mendapatkan pemeriksaan
kesehatan berkala. Karyawan/tenaga kerja yang bertugas di rumah sakit meliputi pimpinan dan
tenaga fungsional serta tenaga nonfungsional lainnya sebelum melaksanakan tugas diwajibkan
melakukan pemeriksaan kesehatan awal, hal ini sesuai yang tercantum pada undang-undang RI
No. 1 tahun 1970 pasal 89.
Sebanyak 64,3% responden menyatakan telah mendapat penyuluhan atau pelatihan tentang
kesehatan kerja, ini berarti standar pelayanan ini telah telaksana meski belum mencakup semua
pekerja. Hasil penelitian ini lebih baik dibandingkan penemuan Rachim mengenai
pengembangan keterampilan dan kemamampuan petugas di rumah sakit, hasil auditnya sebesar
36,72% dan ini jauh dari standar Depkes. Penyuluhan/pelatihan K3 adalah suatu proses
pembelajaran yang lebih menekankan pada praktik daripada teori yang dilakukan oleh seorang
yang bekerja atau sekelompok unit kerja dengan menggunakan pendekatan belajar orang dewasa
(andragogi) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam bidang
K310,11.
Sebesar 21,4% responden menyatakan telah mendapatkan pemeriksaan berkala dan 78,6%
responden yang tidak mendapatkan pemeriksaan kesehatan berkala. Responden yang
mendapatkan pemeriksaan kesehatan berkala ini tersebar tiga responden pada bagian UGD, satu
responden pada bagian ruang interna, sembilan responden pada bagian ruang bayi, dan dua
responden pada bagian ICU. Responden mengatakan bahwa program pemeriksaan berkala ini
dari bagian Askes dan tidak diwajibkan dari pihak rumah sakit, tergantung pada pekerja apakah
pada saat program ini digelar, ada yang mau memeriksakan diri atau tidak. Beberapa responden
mengaku mengikuti program ini karena sekedar ingin tahu kondisi kesehatan mereka, bukan
karena kepentingan pelaporan atau evaluasi. Pendapat responden menunjukkan telah ada
pemeriksaan berkala di rumah sakit ini, namun masih sedikit pekerja yang dengan keinginan
sendiri memeriksakan kesehatan mereka. Pihak manajemen seharusnya menekankan kepada
pegawai pentingnya pemeriksaan kesehatan agar lebih diperhatikan oleh pekerja, karena hasil
pemeriksaan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesehatan pekerja, mempertahankan

4
kesehatan, menemukan gangguan secara dini serta pengobatannya, dan menghindarkan dari
cacat tubuh akibat paparan pencemaran9.
Pengobatan/rehabilitasi bagi pekerja yang sedang sakit sudah terlaksana, ini ditunjukkan oleh
97,1% responden yang menyatakan mendapat pengobatan/rehabilitasi di rumah sakit ketika
menderita sakit serta pengobatan dasar mereka gratis. Kesehatan kuratif dan rehabilitatif yang
diselenggarakan oleh sektor kesehatan, baik yang pelaksanaannya dilakukan di lingkungan
perusahaan maupun di luar perusahaan diarahkan kepada upaya perawatan dan pengobatan
terhadap penyakit. Gangguan kesehatan karena kecelakan kerja serta pemulihan derajat
kesehatan tenaga kerja merupakan salah satu perwujudan kesejahteraan tenaga kerja beserta
keluarganya yang akan mampu memberikan ketentraman, dan ketenangan bekerja. Kondisi
demikian sangat berarti bagi tenaga kerja karena dapat berkonsentrasi terhadap pekerjaannya
yang selanjutnya bekerja secara produktif12.
Pemeriksaan kesehatan bagi pekerja yang akan pensiun tidak terlaksana di rumah sakit ini,
ditunjukkan oleh semua responden yang menyatakan tidak ada pemeriksaan kesehatan bagi
pekerja yang akan pensiun, dan hasil wawancara terhadap petugas K3 menyatakan tidak ada
penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan bagi pekerja yang akan pensiun. Manajemen
berkoordinasi dengan panitia pencegahan dan pengendalian infeksi sudah terlaksana, ini
dinyatakan oleh seluruh responden. Seluruh bagian/unit kerja telah dibuat alur pelaporan dan alur
koordinasi untuk penularan infeksi terhadap pekerja dan pasien. Seluruh pekerja tiap bagian/unit
bertanggung jawab dalam kegiatan pelaporan ini, hal ini sejalan dengan penelitian Inayati,
bahwa evaluasi dalam pelaksanaan SMK3 di PCRF Sumatra di Kab. Bulukumba telah
dilaksanan dan evaluasinya melalui laporan bulanan dan hasil audit oleh pihak menejemen13.
Sebesar 17,5% responden menyatakan telah ada surveilans kesehatan kerja dan 66 responden
menyatakan belum ada kegiatan surveilans kesehatan kerja. Responden ini tersebar: tiga
responden pada bagian interna, empat responden pada bagian ruang bayi, tujuh responden bagian
saraf. Surveilans adalah usaha pengumpulan data secara sistematis dan berkelanjutan, melakukan
analisis atas data tersebut serta melakukan interpretasi dengan tujuan untuk perbaikan dari segi
kesehatan dan keselamatan kerja.14 Menurut beberapa responden surveilans yang dilakukan oleh
tim survei hanya datang dan melihat-lihat atau memantau keadaan pekerja, tidak melakukan
pencatatan berkelanjutan, survei tersebut tidak termasuk surveilans kesehatan kerja. Terdapat
perbedaan pengertian surveilans yang diketahui oleh pekerja, berarti tidak terlaksana surveilans
kesehatan kerja di rumah sakit ini.
Sebesar 87,1% responden menyatakan pihak rumah sakit melakukan pemantauan lingkungan
kerja baik fisik, biologi maupun kimiawi. Lingkungan rumah sakit memang tergolong bersih,

5
tidak terlihat adanya bahan kimia atau sampah organik dan anorganik di area rumah sakit, hal ini
berarti pemantauan lingkungan kerja telah terlaksana. Program pemantauan/inspeksi kesehatan
dan keselamatan kerja yang efektif merupakan suatu program pencegahan yang sangat penting
dilakukan untuk menjamin agar lingkungan kerja selalu aman, sehat, dan nyaman.
Evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pelayanan kesehatan kerja sudah terlaksana
namun dinilai belum maksimal. Sekitar 26 dari 70 responden menyatakan ada evaluasi,
pencatatan dan pelaporan. Evaluasi ini dilakukan dari pihak menejemen rumah sakit. Dokumen
Pencatatan dan pelaporan kegiatan pelayanan telah ada di masing-masing ruangan. Pencatatan
dilakukan oleh petugas yang sedang berjaga, namun ketika ada petugas yang tidak mengisi
pelaporannya maka akan berdampak pada petugas selanjutnya yang juga tidak mengisi dokumen
pelaporan karena menganggap tidak ada kegiatan yang akan dilaporkan. Petugas tersebut tidak
mendapat informasi akan adanya kegiatan pelaporan, sehingga hanya sedikit dari responden
yang menyatakan pencatatan dan pelaporan ini berjalan sebagaiman mestinya.
Salah satu landasan penerapan K3 adalah pemenuhan perundangan. Organisasi secara
berkala harus melakukan evaluasi terhadap pemenuhan perundangan dan persyaratan lainnya
dalam organisasi. Melalui evaluasi, organisasi dapat mengetahui sejauh mana pemenuhan
perundangan dan persyaratan lainnya telah dicapai dan langkah kedepan untuk memenuhinya.
Pembinaan dan pengawasan keamanan sarana sebagai standar pelayanan keselamatan yang
pertama sudah terlaksana, dinyatakan oleh 54 responden bahwa ada pembinaan dan pengawasan
keamanan sarana/peralatan kesehatan. Pengawasan keamanan paling tepat dilakukan oleh
pengawas setempat atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja dengan pertimbangan antara lain :
pengawas paling bertanggung jawab menjaga kelancaran dan keselamatan operasi sehari-hari,
pengawas paling mengetahui dan memahami kondisi operasi, sifat pekerjaan, kondisi pekerja
serta permasalahan yang ada yang mendukung terjadinya kecelakaan, dan pengawas juga
memiliki ikatan emosional yang erat dengan pekerja yang mengalami kecelakan sehingga paling
merasakan dampak dari suatu kecelakaan13.
Rumah sakit RSUD Ajappannge telah memberikan pembinaan/ penyesuaian peralatan
kerja dengan pekerjanya. Ini ditunjukkan oleh 77 responden yang menyatakan ada pembinaan
dari pihak rumah sakit. Pengawas melakukan identifikasi dan penilain resiko ergonomi terhadap
peralatan kerja dan pekerja. Responden mengungkapkan mendapat pembinaan sebelum
mengoperasikan alat, dan penyesuaian untuk keadaaan ergonomi pekerja. Standar pelayanan
keselamatan ini sudah terlaksana.
Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja dan sanitair telah terlaksana, ini
ditunjukkan oleh tanggapan 95,7% responden yang menyatakan ada pengawasan lingkungan

6
kerja dan 80% responden menyatakan ada pembinaan dan pengawasan sanitair. Manajemen
harus menyediakan dan menyiapkan lingkungan kerja yang memenuhi syarat fisik, kimia,
biologi, ergonomi, dan psikososial. Sedangkan untuk sanitasi, manajemen harus menyediakan
sarana dan prasarana sanitair yang memenuhi syarat meliputi : penyehatan makanan dan
minuman, penyehatan air, penyehatan tempat pencucian, penanganan sampah dan limbah,
pengendalian serangga dan tikus, sterilisasi/desinfeksi, perlindungan radiasi, serta upaya
penyuluhan kesehatan lingkungan. Pemantauan dan pengawasan ini dilakukan secara rutin dan
berkala. Program juga perlu dievaluasi, dari evaluasi ini pihak manajemen akan memberikan
rekomendasi untuk memperbaiki lingkungan kerja4.
Seluruh responden menyatakan ada pembinaan dan pengawasan terhadap perlengkapan
keselamatan kerja. Perlengkapan keselamatan kerja antara lain: rambu-rambu arah dan tanda-
tanda keselamatan, APD, SOP peralatan, dan SOP APD. Rambu-rambu dan dokumen SOP telah
ada di tiap ruangan, meskipun masih beberapa tempat, misalnya di koridor yang belum dipasangi
rambu-rambu arah. Ini berarti standar pelayanan keselamatan ini sudah terlaksana. Bahaya dan
risiko memiliki hubungan yang erat. Bahaya adalah sumber terjadinya kecelakaan atau insiden
baik yang menyangkut manusia, properti, dan lingkungan. Risiko menggambarkan besarnya
kemungkinan suatu bahaya dapat menimbulkan kecelakaan serta besarnya tingkat keparahan
yang dapat diakibatkannya. Besarnya risiko tersebut ditentukan oleh berbagai faktor seperti
besarnya paparan, lokasi, pengguna, kuantiti serta kerentanan unsur yang terlibat. Karena itu
dalam konsep keselamatan kerja, sasaran utama adalah mengendalikan atau menghilangkan
bahaya sehingga secara otomatis risikonya dapat dikurangi atau dihilangkan, disinilah peran
pembinaan dan pengawasan peralatan operasi/peralatan kerja, proses penggunaan alat, dan
lingkugan kerja2.
Sekitar 83,75% responden menyatakan sudah mendapatkan pelatihan/penyuluhan
keselamatan kerja. Ini menujukkan bahwa standar pelayanan keselamatan ini sudah terlaksana.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05: Per.05/Men/1996 menjelaskan bahwa pelatihan
merupakan salah satu alat penting dalam menjamin kompetensi kerja yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan kesehatan dan keselamatan kerja, hal ini sejalan dengan penelitian Sulfianah
menyatakan dimensi pelatihan memperoleh skor 74% yakni pelaksanaan pelatihan yang efektif
dalam budaya K3 dimana penyajian materi sesuai dengan spesialisasi pekerjaan pekerja.15
Sistem pelaporan kejadian celaka dan nyaris celaka belum terlaksana di rumah sakit ini.
Ditunjukkan oleh tanggapan semua responden yang menyatakan tidak ada sitem pelaporan
tersebut. Pengelolaan dokumen sangat penting dalam sistem manajemen K3. Banyak data dan
informasi dalam K3 yang perlu dipelihara dan disimpan dengan baik karena suatu ketika akan

7
diperlukan dalam program pencegahan kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Data-data
kecelakaan atau hampir celaka perlu disimpan karena akan diolah, dianalisa, dan digunakan
sebagai sumber data untuk menyusun program pencegahan.
Semua responden menyatakan ada pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem
Penganggulangan Kebakaran. Berdasarkan program standar, manajemen menyediakan sarana
dan prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran, membentuk tim penanggulangan
kebakaran, membuat SOP, melakukan sosialisasi, dan pelatihan penanggulangan kebakaran
tersebut telah ada di tiap ruangan dan unit kerja. Pelatihan sistem penanggulangan kebakaran
diberikan bertahap pada petugas di tiap ruangan/unit kerja. MSPK sebelumnya hanya
diperuntukkan bagi pasien, namun setelah akreditasi pada awal tahun 2012 Rumah Sakit juga
melengkapkan dokumen untuk petugas/perawat di tiap ruangan, berarti standar pelayanan
keselamatan ini sudah terlaksana.
Sebanyak 47,1 responden menyatakan ada pelaporan kegiatan pelayanan keselamatan
kerja. Dokumen ini sama halnya dengan laporan kesehatan kerja, telah ada di masing-masing
ruangan namun terkendala pada pelaporan harian dari petugas yang berjaga, berarti standar
tersebut sudah terlaksana namun belum berjalan dengan maksimal. Hasil penelitian ini lebih baik
dibandingkan dengan penelitian Rachim yakni pendokumentasian, keamanan bekerja, standar
pemantauan, pelaporan, pengumpulan dan penggunaan data hasil aspek ini sebesar 36,72%10.

KESIMPULAN DAN SARAN


Hasil penelitian dan pembahasan tentang penerapan standar pelayanan kesehatan dan
keselamatan kerja RSUD Ajappannge Soppeng dapat disimpulkan bahwa penerapan standar
pelayanan kesehatan tergolong dalam kategori terlaksana kurang baik. Masih ada beberapa
standar kesehatan kerja yang tidak diterapkan kepada tenaga kesehatan. Penerapan standar
pelayanan untuk keselamatan kerja tergolong dalam kategori terlaksana sangat baik, hampir
seluruh program dijalankan dan diterapkan kepada tenaga kesehatan. Dibutuhkan sosialisasi
bertahap kepada semua pekerja tentang pentingnya penerapan K3RS, ini untuk menimbulkan
kesadaran bahwa K3RS ini untuk melindungi mereka dari bahaya, sehingga pada
pelaksanaannya pekerja bersungguh-sungguh berupaya sebaik mungkin untuk mengikuti standar
K3/program yang telah ditetapkan

DAFTAR PUSTAKA
1. Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia K3, Disertai dengan peraturan
perundangan yang Terkait. Jakarta: Nuansa Aulia; 2008.

8
2. Ramli, S. Manajemen Risiko: Dalam perspektif K3 OHS Risk Management. Jakarta: Dian
Rakyat; 2010a.

3. Setyawati. L. Penerapan Sistem Manajemen K3 di Institusi Kesehatan/Rumah Sakit.


Makalah dipresentasikan pada Pelatihan Singkat Keselamatan danKesehatan di Rumah
Sakit & Institusi Kesehatan Lain: Yogyakarta; 2000.

4. Depkes RI, 2009. Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS).[e-
book].Jakarta. http://www.perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//.../1/BK2010-
SEP01.pdf [diakses 12 oktober 2011]

5. Suardi, R. Sistem Manajemen Keselamatan dan kesehatan Kerja ; panduan penerapan


berdasarkan OHSAS & Permenaker 05/1996. Jakarta : PPM; 2005.

6. RSUD Ajappange Soppeng. 2010. Profil RSUD Tahun 2010. Watansoppeng.

7. Notoadmojo,S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta; 2003.

8. Irwandi, Z dan Novra, Y.S. Studi Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Bedah IRD RSUP dr Wahidin sudiro Husodo
Makassar [Skripsi]. Makassar: Bagian IKM-IKK Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin; 2007.

9. Suma’mur, PK. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Sagung Seto;
2009.

10. Rachim, D. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan [Tesis]. Yogyakarta: MMR-UGM; 2007.

11. Tarwaka. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Manajemen dan Implementasi di Tempat
Kerja. Surakarta: Harapan Press; 2008.

12. Samsila Mona Rumata dan Sri Rahmawati. Gambaran Pelaksanaan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) pada Pekerja Bagian Produksi Kalrez Petroleum Seram, Ltd
Bula Kab. Seram Bagian Timur, Maluku Tahun 2007 [Skripsi]. Makassar: Bagian IKM-
IKK Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2007.

13. Ramli, S. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : Dian Rakyat;
2010b.

14. Mc, Kenzie. Et al., Kesehatan Masyarakat, Suatu Pengantar Edisi 4. Jakarta : EGC
Penerbit Buku Kedokteran ; 2002

15. Sulfianah, B. Survey Budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja Pekerja Unit Produksi
PT Semen Tonasa Kabupaten Pangkep [Skripsi]. Makassar: Bagian Kesehatan Kerja
FKM Universitas Hasanuddin; 2009.

9
LAMPIRAN

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden Di RSUD Ajjappange Soppeng

Karakteristik Jumlah (n) Persen (%)


Jenis Kelamin
Laki-laki 4 5,7
Perempuan 66 94,3
Umur (tahun)
20-29 33 47,2
30-39 29 41,4
40-49 7 10
50-59 1 1,4

Lama Bekerja (tahun)


1-10 61 87,1
11-20 6 8,6
21-30 2 2,9
31-40 1 1,4
Pendidikan
D3 60 85,7
S1 10 14,3
Unit Kerja
Perawatan Anak 11 15,7
UGD 7 10
Interna 8 11,4
Perawatan Bedah 7 10
Super VIP 5 7,1
Ruang Bayi 9 12,9
Obgyn 10 14,3
Saraf 7 10
ICU 6 8,6
Sumber: Data Primer, 2012.

10
Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Pelaksanaan Kesehatan Kerja dan
Keselamatan Kerja di RSUD Ajappange Soppeng

Standar Program K3
Variabel Penelitian Terlaksana Tdk Terlaksana
n % n %
Standar Pelayanan Kesehatan Kerja
Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja 65 92,9 5 7,1
Penyuluhan/pelatihan tentang kesehatan kerja 45 64,3 25 354,7
Pemeriksaan kesehatan berkala 15 21,4 55 78,6
Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental
61 87,1 9 12,9
(rohani) dan kemampuan fisik pekerja
Pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi
68 97,1 2 2,9
pekerja yang menderita sakit
Pemeriksaan kesehatan khusus pada pekerja rumah
0 0 70 100
sakit yang akan pensiun atau pindah kerja
Koordinasi panitia pecegahan dan pengendalian
infeksi mengenai penularan infeksi terhadap pekerja 70 100 0 0
dan pasien
Surveilans kesehatan kerja 8 11,4 62 88,6
pemantauan lingkungan kerja 61 87,1 9 12,9
Evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan
26 37,1 44 62,9
kesehatan kerja
Standar Keselamatan Kerja
Pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan
54 77,1 16 22,1
sarana dan peralatan kesehatan
Pembinaan dan pengawasan tentang penyesuaian
67 95,7 3 4,3
peralatan kerja terhadap pekerja
Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan
70 100 0 0
kerja
Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair 56 80 14 20
Pembinaan dan pengawasan perlengkapan alat
60 85,7 10 14,4
keselamatan kerja
Pelatihan/penyuluhan keselamatan kerja 70 100 0 0
rekomendasi/masukan mengenai perencanaan,
0 0 100 100
pembuatan tempat kerja
Membuat sistem pelaporan kejadian celaka dan
0 0 100 100
tindak lanjutnya
Pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem
70 100 0 0
Penanggulangan Kebakaran (MSPK)
Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan
33 47,1 37 52,9
kegiatan pelayanan keselamatan kerja
Sumber : Data Primer, 2012

11

Das könnte Ihnen auch gefallen