Sie sind auf Seite 1von 62

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG WANITA 72 TAHUN DENGAN OSTEOPOROSIS BERAT,


OSTEOARTRITIS GRADE II, SPONDILOLISTHESIS, PENYAKIT
JANTUNG HIPERTENSIF, ANEMIA RINGAN NORMOSITIK
NORMOKROMIK DAN AZOTEMIA
Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:
Bernadetta Via Marga Utaminingsih
22010115210158

Penguji:
dr. Ika Vemilia Warlisti, Sp.PD

Pembimbing:
dr. Rambu Farah Effendi

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Bernadetta Via Marga Utaminingsih


NIM : 22010115210158
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RSDK / FK UNDIP
Judul Kasus Besar : Seorang Wanita 72 Tahun dengan Osteoporosis Berat,
Osteoartritis Grade II, Spondilolisthesis, Penyakit Jantung
Hipertensif, Anemia Ringan Normositik Normokromikdan
Azotemia
Pembimbing : dr. Ika Vemilia Warlisti, Sp.PD
ResidenPembimbing :dr. Rambu Farah Effendi

Semarang, 20 April 2016

Residen Pembimbing Penguji

dr. Rambu Farah Effendi dr. Ika Vemilia Warlisti, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kasih dan karunia- Nya, sehingga Laporan Kasus “Seorang Wanita
72 Tahun dengan Osteoporosis, Osteoartritis, Penyakit Jantung Hipertensif,
Anemia dan Azotemia” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam
menempuh kepaniteraan senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
 dr. Ika Vemilia Warlisti, Sp.PD selaku penguji yang telah bersedia
meluangkan waktu dan memberikan masukan yang berharga.
 dr. Rambu Farah Effendi selaku pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, memberikan masukan-masukan, petunjuk, serta
bantuan dalam penyusunan tugas ini.
 Pasien Nyonya Z atas keramahannya dan ketersediaannya berbagi
informasi dalam kegiatan penyusunan laporan.
 Keluarga dan teman-teman Co-Ass dan semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi
yang memerlukan

Semarang, 22 Maret 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vii
BAB I LAPORAN KASUS .......................................................................... 1
A. Identitas Penderita .................................................................................. 1
B. Data Dasar .............................................................................................. 1
1. Anamnesis .................................................................................. 1
2. Pemeriksaan Fisik ...................................................................... 3
3. Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 7
4. Resume ....................................................................................... 14
5. Daftar Abnormalitas ................................................................... 15
6. Analisis Sintesis ......................................................................... 16
7. Daftar Masalah ........................................................................... 16
8. Rencana Pemecahan Masalah .................................................... 17
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 22
2.1. Osteoporosis .......................................................................................... 22
2.1.1 Definisi ................................................................................................. 22
2.1.2 Epidemiologi ........................................................................................ 22
2.1.3 Klasifikasi ............................................................................................. 23
2.1.4 Patogenesis ........................................................................................... 25
2.1.5 Patofisiologi ......................................................................................... 26
2.1.6 Faktor risiko .......................................................................................... 28
2.1.7 Pendekatan diagnosis ............................................................................ 33
2.1.8 Pengelolaan ........................................................................................... 40
2.2 Osteoartritis ............................................................................................ 44
2.3 Penyakit Jantung Hipertensif ............................................................... 45

iv
2.3.1 Definisi dan Epidemiologi .................................................................... 45
2.3.2 Patogenesis dan Patofisiologi ................................................................ 45
2.3.3 Tanda dan Gejala................................................................................... 46
2.3.4 Diagnosis ............................................................................................... 47
2.3.5 Penatalaksanaan .................................................................................... 47
2.3 Anemia Normositik Normokromik ...................................................... 47
2.4 Azotemia.................................................................................................. 48
2.5 Spondilolisthesis ..................................................................................... 48

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................. 50


DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53

v
Daftar Tabel
Table 1. Derajat Anemia menurut WHO ....................................................... 47

vi
Daftar Gambar
Gambar 1. Dowager’s hump......................................................................... 35

vii
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Ny.Z
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 72 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : Tidak sekolah
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Masuk RS : 6 April 2016
Ruang : Poliklinik Rheumatologi RSDK
NO. CM : C138345
Alamat : Jalan Imam Bonjol RT. 02 RW. 08 Pandansari, Wonosobo
Kota
Status : JKN NON PBI

1.2 DATA DASAR


1.2.1 Subjektif
Autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan anak pasien pada
tanggal 6 April 2016 di Poliklinik Reumatologi RSDK pukul 11.00 WIB dan
catatan medis pasien.

Keluhan utama : Nyeri punggung


Riwayat Penyakit Sekarang
Lokasi : Punggung bawah
Onset dan kronologi : Nyeri punggung bawah sejak + 1 tahun yang lalu diawali
sejak penderita jatuh dari tempat tidur. Awalnya pasien tidak merasakan keluhan
apapun setelah jatuh. + 1 bulan yang lalu pasien merasakan nyeri punggung
dirasakan semakin memberat.

viii
Kualitas : Nyeri yang dirasakan berupa linu (pegal), nyeri dirasakan
tidak menjalar, nyeri dirasakan mengganggu aktivitas berjalan jauh.
Kuantitas : Nyeri dirasakan terus menerus sepanjang hari.
Faktor memperberat : Pasien merasa lebih nyeri jika duduk, berdiri dan
berjalan.
Faktor memperingan : Nyeri dirasakan berkurang dengan beristirahat dan
terkadang berkurang dengan mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit
(paracetamol).
Gejala penyerta : Kelemahan anggota gerak (-), kesemutan (-), nyeri lutut
(+) pada kedua lutut dirasakan sejak + 4 tahun yang lalu, nyeri yang dirasakan
hilang timbul. Nyeri lutut dirasakan berkurang dengan istirahat, didapatkan
kekakuan pada pagi hari namun < 30 menit. Demam (-), sesak napas (-), napsu
makan turun (-), BB turun (-), BAK + 6 kali sehari, warna kuning jernih, BAK
seperti teh (-), BAB 1x sehari, BAB hitam seperti petis (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat darah tinggi (+) > 10 tahun, terkontrol dengan obat antihipertensi
( obat yang dikonsumsi saat ini : Diltiazem 100 mg 1x1, Telmisartan 40
mg 1x1, Spironolakton 25 mg 1x1).
 Riwayat TB paru (+) > 10 tahun, pasien diobati selama 6 bulan dan
dinyatakan sembuh.
 Riwayat terdiagnosis pengapuran kedua sendi lutut tahun 2012, riwayat
disuntikkan cairan sendi 2 kali.
 Riwayat trauma (+) tahun 2014 jatuh dari tempat tidur dengan posisi
terduduk.
 Riwayat sakit jantung (+), rutin kontrol ke dokter.
 Riwayat haid : pertama kali menstruasi sejak usia + 12 tahun, siklus
menstruasi normal, teratur, nyeri saat menstruasi (-), menopause usia + 50
tahun.
 Riwayat kencing manis (-)

ix
 Riwayat penyakit tiroid (-)
 Riwayat tumor indung telur/ operasi indung telur (-)
 Riwayat batu ginjal (-)
 Riwayat penyakit hati (-)
 Riwayat penyakit payudara (-)
 Paparan sinar matahari cukup

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat osteoporosis dalam keluarga disangkal
 Riwayat patah tulang patologis pada keluarga disangkal
 Riwayat sakit darah tinggi disangkal
 Riwayat sakit kencing manis disangkal
 Riwayat sakit ginjal disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Suaminya sudah meninggal 5 tahun yang
lalu. Tinggal 1 rumah dengan anak pertamannya. Memiliki 5 orang anak, 2 orang
anak meninggal, anak ke-2 karena kecelakaan lalu lintas dan anak ke-3 karena
kanker paru. Anak pertama sebagai ibu rumah tangga, anak ke-4 bekerja swasta,
anak ke-5 sebagai pramugari dan sekarang tinggal di Swiss. Biaya pengobatan
ditanggung JKN NON PBI. Kesan : sosial ekonomi cukup.

1.2.2 Objektif
1.2.2.1 Pemeriksaan Fisik
Pada tanggal 6 April 2016 jam 11.30 WIB di Poliklinik Reumatologi RSUP Dr.
Kariadi Semarang
Keadaan umum : baik, kesan gizi cukup, tampak skoliosis
Kesadaran : compos mentis, GCS E4M6V5=15
Tanda vital : Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

x
RR : 20 x/menit, kussmaul (-)
Suhu : 370 C (axiller)
VAS :3

BB : 55 kg
TB : 144 cm, tinggi badan semula 155 cm
IMT : 22, 89 kg/m2 (normoweight)

Kepala : Turgor dahi cukup


Kulit : Sawo matang, turgor kulit cukup, pucat (-)
Mata : konjungtiva palpebra pucat(-/-), ,katarak (-/-)
Hidung : discharge (-/-), nafas cuping hidung (-)
Telinga : discharge (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-), bibir kering (-), pursed lip breathing (-)
Tenggorokan : tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Leher : simetris, trakea di tengah, JVP R+2 cm, pembesaran
kelenjar getah bening (-/-)
Thoraks : bentuk normal, retraksi intercostal (-), retraksi suprasternal
(-)

SD = Vesikuler
ST = (-) SD = vesikuler
ST = (-)

Pulmo depan :
Inspeksi : paru kanan dan paru kiri simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor (+/+)

xi
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Pulmo belakang :
Inspeksi : paru kanan dan paru kiri simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi :ictus cordis teraba di SIC VI 2 cm lateral linea mid
clavicularis sinistra, kuat angkat (-), diameter 2 cm, thrill
(-), sternal lift (-), pulsasi parasternal/epigastrial (-)
Perkusi : batas atas : SIC II linea parasternalis sinistra
batas kiri : Sesuai ictus cordis
batas kanan : linea parasternalis dextra
pinggang jantung : mendatar
Auskultasi : BJ I-II murni, bising (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) N, pekak alih (-), area traube
timpani
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri
ketok costovertebral (-)

Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-

xii
Akral dingin -/- -/-
Clubbing Finger -/- -/-
Capillary refill <2"/<2" <2"/<2"
Gerak +/+ +/+
Motorik 555/555 555/555
Tonus N/N N/N
Refleks fisiologis +/+ +/+
Refleks patologis -/- -/-
Klonus -/- -/-
Sensitabilitas +/+ +/+

Status Lokalis
Punggung
 Inspeksi : tampak skoliosis, dowager’s hump (+), bahu kiri tampak
lebih rendah dibandingkan kanan, pelvis sisi kiri lebih rendah
dibandingkan sisi kanan.
 Palpasi : nyeri tekan (paravertebra sisi kanan)

Lutut
 Inspeksi : edema (-/-), kemerahan (-/-), deformitas (-/-)

xiii
 Palpasi : teraba hangat (-/-), nyeri tekan (-/-), krepitasi (+/+), ROM
full

1.2.2.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG


LABORATORIUM
Hematologi Hasil Hasil Nilai Normal
(7/10/15) (25/2/16)
Hemoglobin 11,2  11,6  12.0-15.0 g/dl
Hematokrit 33,1  35,3 35-47%
Eritrosit 3,50  3,81  4.4-5.9jt/mm3
MCH 32,0 30,5 27.0-32.0
MCV 94,4 92,5 76.0-96.0
MCHC 34,0 33,0 29.0-36.0
Leukosit 7,03 7,26 3.6-11 ribu/mm3
Trombosit 205 217 150-400 ribu/mm3
RDW 12,1 14,9  11.60-14.80%
MPV 7,11 7,74 4.0-11.0 fL
PPT 10,3 9,8 9,4-11,3 s
PPT kontrol 11,1 10,4 9,4-11,3 s

Kimia klinik Hasil Nilai Normal


(15/3/16)
Ureum 68  15-39 mg/dL
Kreatinin 1,8  0.6-1.3 mg/dL

xiv
EKG (3 Maret 2016)

Intepretasi EKG:
Irama : Ireguler
Frekuensi : 90 kali per menit
Axis : LAD
Zona Transisi : V2

xv
Gelombang P : Kadang ada, kadang tidak, bentuk bervariasi, P mitral (+), P
pulmonal (-)
PR interval : Sulit dinilai
QRS complex : 0,10 detik
Q patologis :-
Gelombang T : T inverted (-), Tall T (-)
Segmen ST : isoelektris, ST elevasi (-), ST depresi (-)
Kesan : Atrium fibrilasi – normo ventricle response (AF-NVR), LAD,
suspek left atrium enlargement

Echocardiography ( 7 Oktober 2015)

Keterangan :
 Dimensi ruang jantung : dilatasi RV
 LVH konsentrik, trombus (-), LAS dan IVS intak, efusi perikardial (-)
 Global normokinetik
 Fungsi sistolik LV baiuk dengan LVEF 75%
 Disfungsi diastolik LV grade I dengan E/A 0,77 E/e 7 DecTime 252 ms

xvi
 Fungsi sistolik RV baik dengan TAPSE 25 mm
 Katup-katup :
o AoV : 3 kuspis, kalsifikasi di rcc, ncc
o MV : MR mild
o TV : TR mild, TPG 22 mmHg
o pV : PR Mild
o PH : PH Mild, RV SP 27 mmHg
Kesimpulan : Hypertension Heart Disease, Pulmonal Hypertension Mild

Bone Mass Density ( 26 Februari 2016)

xvii
Analitik Teknik :
 Lumbal tampak skoliosis dengan konveksitas ke kiri, tampak sklerotik end
plate.
 Antebrachii, distal radius ulna kiri tampak sklerotik minimal.
 Hip joint kiri, acetabulum kiri tampak sklerotik
 Femur kiri, caput femoris kiri tak tampak sklerotik.

BMD (gr/cm2) T-score Z-score


Radius 33 % 0,574 - 3,5 - 1,6
Neck femur 0,540 - 3,6 - 1,3

Digunakan analisis neck femur


Digunakan analisis T-score – 3,6 SD
Berdasarkan Kriteria WHO memnuhi kriteria Osteoporosis

xviii
MRI Thorakolumbal tanpa kontras ( 31 Maret 2016)

xix
Kesan :
 Skoliosis vertebra thorakolumbalis dengan konveksitas ke kiri
 Spondilolisthesis posterior L1 (grade 1)
 Compression fracture corpus vertebra Th 6,7,10, L1 ( grade 3)
 Iregularitas end plate inferior corpus VL3, end plate inferior corpus VL1,
VL2
 degenerative end plate superior VL3 dan end plate inferior L2 (MODIC 2)
 Spondilitis thorakolumbalis
 Schomoris node pada endplate superior corpus VTh 8, 11, L2, L3 dan
ennd plate L2
 Degenerative disc L1-2, L2-3, L3-4, L4-5, L5-S1
 Penyempitan discus intervertebralis L1-2 dan L2-3
 Bulging posterocentral minimal diskus intervertebralis VTh 10-11 disertai
penekanan thecal sac minimal setinggi level tersebut
 Bulging poterocentral dan posterolateral kanan-kiri Th12-L1, L1-2, L2-3,
L3-4, L4-5, L5-S1 disertai penyempitan foramen neuralis kanan dan kiri
dan penekanan thecal sac setinggi level terssebit.
 Facet joint effusion setinggi level L1-2, L2-3, L3-4 kiri
 Penebalan ligamentum flavum setinggi L3-4 kiri, L4-5, L5-S1 kanan-kiri
 gambaran degenerative spine disease.
 Simple cyst pada upper pole dan mid pole ginjal kiri (ukuran terbesar +
1,38x1,08 cm)

xx
1.3 RESUME
Kurang lebih 1 tahun yang lalu pasien merasakan nyeri punggung, di
daerah punggung bawah, nyeri yang dirasakan berupa pegal, nyeri tidak menjalar,
dirasakan terus menerus, semakin lama semakin bertambah berat. Nyeri
bertambah ketika pasien duduk, berdiri dan berjalan terlalu lama. Nyeri berkurang
dengan istirahat dan terkadang dengan mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit.
Pasien juga mengeluh nyeri pada kedua lutut masih dirasakan sejak 4 tahun yang
lalu, nyeri bertambah saat beraktivitas dan berkurang dengan istirahat, pasien juga
merasakan kekakuan pada pagi hari < 30 menit. Keluhan penyerta lain seperti
demam (-), sesak napas (-), napsu makan turun (-), BB turun (-), BAK dan BAB
dalam batas normal. Pasien wanita usia 72 tahun, memiliki riwayat hipertensi (+)
> 10 tahun terkontrol, pasien memiliki riwayat TB paru menjalani pengobatan 6
bulan dan dinyatakan sembuh. Pasien terdiagnosis OA grade II pada kedua lutut
tahun 2012, riwayat suntik cairan sendi di lutut 2 kali.Pasien pernah mengalami
trauma (+) tahun 2014 jatuh dari tempat tidur dengan posisi terduduk. Pasien
memiliki sakit jantung (+) terdiagnosis.
Pada tanggal 6 April 2016 dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien
keadaan umum tampak baik, kesan gizi baik, tampak skoliosis. Didapatkan
tekanan darah terkontrol sebesar 110/80 mmHg, IMT normoweight. Pada
pemeriksaan paru didapatkan dalam batas normal, gerakan dada kanan dan kiri
sama, stem fremitus kanan=kiri, sonor seluruh lapangan paru, suara dasar
vesikuler, suara tambahan (-). Pemeriksaan jantung terdapat pergeseran ictus
cordis pada SIC VI 2 cm linea mid clavicularis sinistra, pinggang jantung
mendatar, batas kiri bergeser sesuai ictus cordis sehingga didapatkan kesan
pembesaran jantung.
Pemeriksaan laboratorium darah pada tanggal 7 Oktober 2015 didapatkan:
anemia ringan normositik normokromik (Hb = 11,2 g/dL, MCH = 32 pg, MCV=
94 fL ). Tanggal tanggal 25 februari 2016 didapakan hasil anemia ringan
normositik normokromik (Hb = 11,6 g/dL, MCH = 30,5 pg, MCV= 92,5 fL ),
pemeriksaan kimia klinik didapatkan azotemia ( ureum = 68 mg/dL, kreatinin=
1,8 mg/dL). Hasil EKG ( 3 Maret 2016) terdapat AF-NVR, LAD, suspek LAE.

xxi
Hasil echocardiography (7 Oktober 2015) didapatkan hipertension heart disease.
Pemeriksaan BMD tanggal 26 Februari 2016 didapatkan hasil Osteoporosis (T-
score - 3,6 SD). MRI thorakolumbal tanggal 31 Maret 2016 didapatkan gambaran
skoliosis vertebra thorakolumbalis dengan konveksitas ke kiri, compression
fracture corpus vertebra Th 6,7,10, L1 ( grade 3), penyempitan discus
intervertebralis L1-2 dan L2-3, degenerative spine disease dan terdapat simple
cyst pada upper pole ginjal kiri. Pada MRI didapatkan hasil spondilolisthesis
posterior L1 (grade I).

1.4 DAFTAR ABNORMALITAS


1. Nyeri punggung
2. Nyeri lutut
3. Kaku lutut di pagi hari (< 30 menit)
4. Riwayat hipertensi (+) terkontrol
5. Riwayat TB paru
6. Riwayat trauma (+) jatuh terduduk dari tempat tidur
7. Riwayat OA genu bilateral grade II
8. Tampak skoliosis
9. Dowager’s hump (+)
10. Nyeri tekan para vertebra kanan
11. Ictus cordis bergeser di SIC VI 2 cm lateral LMCS
12. Pinggang jantung mendatar
13. Krepitasi kedua lutut (+)
14. Hb 11,6 g/dL
15. Ureum 68 mg/dL
16. Kreatinin 1,8 mg/dL
17. Anemia ringan normositik normokromik (Hb 11,6 g/dL, MCV 30,5 pg,
MCH 92,5 fL)
18. Azotemia
19. EKG : sinus aritmia, LAD, RA enlargement, LVH
20. Echocardiography : Hipertension Heart Disease

xxii
21. BMD : T-score -3,6 SD
22. MRI thorakolumbal: skoliosis vertebra thorakolumbalis dengan
konveksitas ke kiri, compression fracture corpus vertebra Th 6,7,10, L1 (
grade 3), degenerative spine disease
23. MRI : simple cyst upper pole ginjal kiri
24. MRI : spondilolisthesis posterior L1 (grade I)

1.5 ANALISIS SINTESIS


 1,6,8,9,10,21,22  Osteoporosis berat
 2,3,7,13  OA genu bilateral grade II
 4,11,12,19,20  Penyakit Jantung Hipertensif
 11  Anemia ringan normositik normokromik
 15,16,23  Azotemia
 24  Spondilolisthesis

1.6 DAFTAR MASALAH


No. Masalah aktif Tanggal No. Masalah pasif Tanggal
1. Osteoporosis berat 6/4/2016
2. OA genu bilateral 6/4/2016
grade II
3. Anemia ringan 6/4/2016
normositik
normokromik
4. Penyakit Jantung 6/4/2016
Hipertensif
5. Azotemia 6/4/2016
6. Spondilolisthesis 6/4/2016

xxiii
1.7 RENCANA PEMECAHAN MASALAH
1. Osteoporosis Berat
Assesment : -
IP Dx :-
IP Rx :
 Bifosfonat 500 mg 3x 1 per oral (a.c)
 Elemen kalsium 500 mg 3x1 per oral
 Paracetamol 500 mg 3x1 per oral (bila nyeri)
 Diet rendah garam (natrium 3g/hari) untuk meningkatkan reabsorpsi
kalsium
 Fisioterapi :
o Terapi panas atau dingin.
o Pemijatan kejut (stroking massage).
o Program penguatan dengan beban 0,5-1 kg, semakin
meningkat sesuai dengan yang mampu ditoleransi maksimal
2,5 kg.
o Peningkatan ROM pada sendi yang terkena.
o Program SPEED ( spinal propioceptive extension exercise
dynamic).
o Nonstrenous progressive exercise : latihan ekstensi punggung
atas dan bahu dilakukan dengan vertebra ditumpukan pada
matras/lantai.
o Tindakan perlindungan panggul.
IP Mx : Skala nyeri, keterbatasan aktivitas fisik, resiko jatuh, fraktur
patologis .
IP Ex :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mmenggenai keadaann
pasien yang mengalami osteoporosis berat.
 Menjelaskan kepada pasien untuuk rutin meminum obat yang
diberikan, bifosfonat diminum sebelum makan karena lebih baik

xxiv
penyerapannya jika perut kosong, serta kontrol ke dokter 1 bulan
sekali.
 Melakukan fisioterapi secara teratur untuk mengurangi resiko jatuh,
melatih kekuatan otot, dan meningkatkan remodelling tulang.
 Membatasi mengangkat benda-benda berat.
 Menggunakkan tongkat atau alat bantu jalan jika mengalami
gangguan keseimbangan untuk mengurangi resiko jatuh.

2. OA genu bilateral grade 2


Assesment :
IP Dx :
IP Rx :
 Paracetamol 500 mg 3x1 ( bila nyeri)
 Analgesik topikal gel natrium dicloofenac 1 %
 Injeksi sodium hyaluronat intraartikular
 Kondroitin sulfat 1200mg/hari per oral
 Fisioterapi :
o Melakukan SWD (short wave diathermy) sebanyak 6 kali,
setia kalinya 15 menit.
o Melatih kekuatan otot quadricep femoris dengan penggunaan
sepeda statis.

IP Mx : Skala nyeri, tanda inflamasi lutut : bengkak, merah,, hangat,


gangguan berjalan
IP Ex :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi pasien
yang mengalami OA pada kedua lutut.
 Melakukan fisioterapi untuk melatih persendian dan mengurangi rasa
sakit.
 Menghindari terjadinya obesitas atau berat badan berlebih agar tidak
memperparah penyakit.

xxv
 Mengurangi aktivitas yang merangsang sendi secara berlebihan karena
dapat menimbulkan rasa nyeri.
 Menggunakan tongkat jalan agar berat badan tidak seluruhnya
bertumpu pada sendi.

3. Anemia Ringan Normositik Normokromik


Assesment : anemia penyakit kronis
perdarahan ( occult bleeding)
IP Dx : gambaran darah tepi, hitung jenis, retikulosit, tes benzidine
IP Rx :-
IP Mx :-
IP Ex :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa kondisi pasien mengalami
anemia ringan yang kemungkinan karena penyakit kronis atau adanya
perdarahan yang tidak tampak.
 Menjelaskan bahwa perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
mengetahui penyebab pasti.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan tes benzidine untuk
melihat ada tidaknya perdarahan dengan pemeriksaan feses, sebelum
dilakukan tes selama 3 hari berturut-turut pasien diharapkan tidak
mengonsumsi makanan tinggi zat besi (hanya makan bubur sumsum) agar
tidak ada hasil positif palsu.

4. Penyakit Jantung Hipertensif


Assesment : dislipidemia
hiperuresemia
nefropati hipertensi
retinopati hipertensi
IPDx : Funduskopi, profil Lipid (kolesterol total, HDL, LDL,
trigliserida), asam urat

xxvi
Rx :
 Diet biasa 1700 kkal, protein 0,8 g/kgBB, rendah garam
 Diltiazem 100 mg 1x1 per oral
 Bisoprolol 2,5 mg 1x1 per oral
 Spironolakton 50 mg 1x1 per oral
Mx : Tekanan darah, sesak napas, dada berdebar-debar, pandangan
mata kabur
Ex :
 Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarganya,
bahwa pasien menderita penyakit darah tinggi yang dapat
menimbulkan komplikasi ke jantung yaitu penyaki9t
jantung akibat hipertensi.
 Edukasi mengenai perubahan life style yang harus
dilakukan: Mengurangi diet makanan rendah garam,
exercise/Olahraga ringan seperti jalan pagi
 Edukasi untuk kontrol ke dokter secara rutin dan minum
obat antihipertensi secara teratur
 Menjelaskan kepada penderita jika ada keluhan pandangan
mata yang kabur untuk segera berobat ke poli mata sebab
keluhan tersebut bisa diakibatkan karena tekanan darah
tinggi, sehingga pasien diedukasi untuk tetap
mempertahankan tekanan darah tetap normal.

5. Azotemia
Assesment : Chronic Kidney Disease : Polycystic Kidney Disease
Hipertensi kronis
IP Dx : Kreatinin
IP Rx :-
IP Mx : Pemeriksaan ureum kreatinin ulang setiap kali kontrol (1 bulan
sekali)

xxvii
IP Ex :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa pasien
mengalami gangguan pada ginjal.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa
dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui
penyebab pastinya.

6. Spondilolisthesis
Assesment : -
IP Dx :-
IP Rx :
 Paracetamol 500 mg 3x1 per oral (bila nyeri)
 Fisioterapi :
o Lumbal support selama 3 bulan.
o Latihan untuk penguatan otot-otot dengan strenghthening dan
strecthing dari otot hamstring.

IP Mx : Skala nyeri, range of motion, kelemahan


IP Ex :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa pasien mengalami
pergeseran ruas tulang belakang.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa dibutuhkan fisioterapi
untuk menjaga kekuatan otot dan ruang gerak sendi.
 Menjelaskan kepada pasien untuk menjaga berat badan tetap ideal agar
tidak menambah beban pada tulang belakang.

xxviii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Osteoporosis
2.1.1. Definisi
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai
oleh densitas massa tulang dan perburukan densitas massa tulang
dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah. National Institute of Health (NIH) pada
tahun 2001 mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit
tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength
sehingga tulang mudah patah. 1,2
World Health Organization (WHO) secara operasional
mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone Mineral Density
(BMD), yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari -2,5 SD
dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (Bone
Mineral Density T-score < -2,5 SD). Osteopenia adalah nilai BMD
-1 sampai -2,5 SD dari orang dewasa muda sehat.1,3
2.1.2. Epidemiologi Osteoporosis
WHO memasukkan osteoporosis dalam daftar 10 penyakit
degeneratif utama di dunia.Tercatat bahwa terdapat kurang lebih
200 juta pasien di seluruh dunia yang menderita osteoporosis.2 Di
negara maju seperti Amerika Serikat, kira-kira 10 juta orang usia
diatas 50 tahun menderita osteoporosis dan hampir 34 juta dengan
penurunan massa tulang yang selanjutnya berkembang menjadi
osteoporosis. Empat dari 5 orang penderita osteoporosis adalah
wanita, tapi kira-kira 2 juta pria di Amerika Serikat menderita
osteoporosis, 14 juta mengalami penurunan massa tulang yang
menjadi risiko untuk osteoporosis. Satu dari 2 wanita dan satu dari
4 pria diatas usia 50 tahun akan menjadi fraktur yang berhubungan
dengan fraktur selama hidup mereka. Di negara berkembang

xxix
seperti Cina, osteoporosis mencapai proporsi epidemik, terjadi
peningkatan 300% dalam waktu 30 tahun. Pada tahun 2002 angka
prevalensi osteoporosis adalah 16,1%. Prevalensi di antara pria
adalah 11,5%, sedangkan wanita sebesar 19,9%.4
Data di Asia menunjukkan bahwa insiden fraktur lebih
rendah dibanding populasi Kaukasian. Studi juga mendapatkan
bahwa massa tulang orang Asia lebih rendah dibandingkan massa
tulang orang kulit putih Amerika, akan tetapi fraktur pada orang
Asia didapatkan lebih sedikit.5 Ada variasi geografis pada insiden
fraktur osteoporosis. Osteoporosis paling sering terjadi pada
populasi Asia dan Kaukasia tetapi jarang di Afrika dan Amerika
populasi kulit hitam. Prevalensi osteoporosis di Indonesia tidak
diketahui secara pasti. Untuk memberikan gambaran umum
terjadinya osteoporosis di Indonesia, telah dilakukan tes saring
menggunakan ultrasound bone density yang diadakan pada tahun
2002 di 5 kota besar. Hasilnya menunjukan bahwa dari
keseluruhan masyarakat yang dilakukan tes saring, 35%
menunjukkan hasil yang normal, 36% menunjukkan adanya
osteopenia, sedangkan 29% telah terjadi osteoporosis.6
2.1.3. Klasifikasi Osteoporosis
Menurut pembagiannya, osteoporosis dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Osteoporosis primer
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak
diketahui penyebabnya. Pada tahun 1983, Riggs dan Melton
membagi osteoporosis primer menjadi 2 tipe, yaitu
Osteoporosis tipe I dan osteoporosis tipe II. Osteoporosis tipe I
disebut juga osteoporosis pasca menopause. Osteoporosis tipe
ini disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause.
Osteoporosis tipe II disebut juga osteoporosis senilis,
disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga

xxx
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang
mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Namun pada sekitar
tahun 1990, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan
mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat
berperan pada osteoporosis primer, baik pasca menopause
maupun senilis.7
2) Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang
diketahui penyebabnya, yaitu terjadi karena adanya penyakit
lain yang mendasari, defisiensi atau konsumsi obat yang dapat
menyebabkan osteoporosis.8,9
1) Penyebab genetik (kongenital):
 Kistik fibrosis
 Ehlers – Danlos syndrome
 Penyakit penyimpanan glikogen
 Penyakit Gaucher
 Hemokromatosis
 Homosistinuria
 Hiperkalsiuria idiopatik
 Sindroma marfan
 Osteogenesis imperfekta
2) Keadaan hipogonad
 Insensitifitas androgen
 Anoreksia nervosa / bulimia nervosa
 Hiperprolaktinemia
 Menopause prematur
3) Gangguan endokrin:
 Akromegali
 Insufisiensi adrenal
 Sindroma Cushing

xxxi
 Diabetes Melitus
 Hiperparatiroidism
 Hipertiroidisme
 Hipogonadism
 Kehamilan
 Prolaktinoma
4) Gangguan yang diinduksi obat
 Glukokortikoid
 Heparin
 Antikonvulsan
 Barbiturat
 Antipsikotik
2.1.4. Patogenesis Osteoporosis
Massa tulang pada orang dewasa yang lebih tua setara
dengan puncak massa tulang puncak yang dicapai pada usia 18-25
tahun dikurangi jumlah tulang yang hilang. Puncak massa tulang
sebagian besar ditentukan oleh faktor genetik, dengan kontribusi
dari gizi, status endokrin, aktivitas fisik dan kesehatan selama
pertumbuhan.10 Proses remodeling tulang yang terjadi bertujuan
untuk mempertahankan tulang yang sehat dapat dianggap sebagai
program pemeliharaan, yaitu dengan menghilangkan tulang tua
dan menggantikannya dengan tulang baru. Kehilangan tulang
terjadi ketika keseimbangan ini berubah, sehingga pemindahan
tulang berjumlah lebih besar daripada penggantian tulang.
Ketidakseimbangan ini dapat terjadi karena adanya menopause dan
bertambahnya usia.10
Pemahaman patogenesis osteoporosis primer sebagian
besar masih deskriptif. Penurunan massa tulang dan kerapuhan
meningkat dapat terjadi karena kegagalan untuk mencapai puncak
massa tulang yang optimal, kehilangan tulang yang diakibatkan

xxxii
oleh resoprsi tulang meningkat, atau penggantian kehilangan
tulang yang tidak adekuat sebagai akibat menurunnya pembentukan
tulang. Selain itu, analisis patogenesis osteoporosis harus
mempertimbangkan heterogenitas ekspresi klinis.11
2.1.5. Patofisiologi Osteoporosis
Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam
remodeling tulang sehingga mengakibatkan kerapuhan tulang.
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena
jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan
aktivitas sel osteoblas (sel pembentukan tulang). Keadaan ini
mengakibatkan penurunan massa tulang.12,13
Selama pertumbuhan, rangka tubuh meningkat dalam ukuran
dengan pertumbuhan linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang
baru pada permukaan luar korteks.12 Remodeling tulang
mempunyai dua fungsi utama : (1) untuk memperbaiki kerusakan
mikro di dalam tulang rangka untuk mempertahankan kekuatan
tulang rangka, dan (2) untuk mensuplai kalsium dari tulang rangka
untuk mempertahankan kalsium serum. Remodeling dapat
diaktifkan oleh kerusakan mikro pada tulang sebagai hasil dari
kelebihan atau akumulasi stress. Kebutuhan akut kalsium
melibatkan resorpsi yang dimediasi-osteoklas sebagaimana juga
transpor kalsium oleh osteosit. Kebutuhan kronik kalsium
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder, peningkatan
remodeling tulang, dan kehilangan jaringan tulang secara
keseluruhan.1 Remodeling tulang juga diatur oleh beberapa hormon
yang bersirkulasi, termasuk estrogen, androgen, vitamin D, dan
hormon paratiroid (PTH), demikian juga faktor pertumbuhan yang
diproduksi lokal seperti IGF-I dan IGF–II, transforming growth
factor (TGF), parathyroid hormone-related peptide (PTHrP), ILs,
prostaglandin, dan anggota superfamili tumor necrosis factor
(TNF). Faktor-faktor ini secara primer memodulasi kecepatan

xxxiii
dimana tempat remodeling baru teraktivasi, suatu proses yang
menghasilkan resorpsi tulang oleh osteoklas, diikuti oleh suatu
periode perbaikan selama jaringan tulang baru disintesis oleh
osteoblas. Sitokin bertanggung jawab untuk komunikasi di antara
osteoblas, sel-sel sumsum tulang lain, dan osteoklas telah
diidentifikasi sebagai RANK ligan (reseptor aktivator dari NF-
kappa-B; RANKL). RANKL, anggota dari keluarga TNF,
disekresikan oleh oesteoblas dan sel-sel tertentu dari sistem imun.
Reseptor osteoklas untuk protein ini disebut sebagai RANK.
Aktivasi RANK oleh RANKL merupakan suatu jalur final umum
dalam perkembangan dan aktivasi osteoklas. Umpan humoral
untuk RANKL, juga disekresikan oleh osteoblas, disebut sebagai
osteoprotegerin. Modulasi perekrutan dan aktivitas osteoklas
tampaknya berkaitan dengan interaksi antara tiga faktor ini.
Pengaruh tambahan termasuk gizi (khususnya asupan kalsium) dan
tingkat aktivitas fisik.1 Ekspresi RANKL diinduksi di osteoblas,
sel-T teraktivasi, fibroblas sinovial, dan sel-sel stroma sumsum
tulang. Ia terikat ke reseptor ikatan-membran RANK untuk
memicu diferensiasi, aktivasi, dan survival osteoklas. Sebaliknya
ekspresi osteoproteregin (OPG) diinduksi oleh faktor-faktor yang
menghambat katabolisme tulang dan memicu efek anabolik. OPG
mengikat dan menetralisir RANKL, memicu hambatan
osteoklastogenesis dan menurunkan survival osteoklas yang
sebelumnya sudah ada. RANKL, aktivator reseptor faktor inti
NBF; PTH, hormon paratiroid; PGE2, prostaglandin E2; TNF,
tumor necrosis factor; LIF, leukemia inhibitory factor; TP,
thrombospondin; PDGF, platelet-derived growth factor; OPG-L,
osteoprotegerin-ligand; IL, interleukin; TGF-, transforming
growth factor.1 Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi
digantikan oleh jumlah yang seimbang jaringan tulang baru. Massa
tulang rangka tetap konstan setelah massa puncak tulang sudah

xxxiv
tercapai pada masa dewasa. Setelah usia 30- 45 tahun, proses
resorpsi dan formasi menjadi tidak seimbang, dan resorpsi melebih
formasi. Ketidakseimbangan ini dapat dimulai pada usia yang
berbeda dan bervariasi pada lokasi tulang rangka yang berbeda;
ketidakseimbangan ini terlebih-lebih pada wanita setelah
menopause. Kehilangan massa tulang yang berlebih dapat
disebabkan peningkatan aktivitas osteoklas dan atau suatu
penurunan aktivitas osteoblas. Peningkatan rekrutmen lokasi
remodeling tulang membuat pengurangan reversibel pada jaringan
tulang tetapi dapat juga menghasilkan kehilangan jaringan tulang
dan kekuatan biomekanik tulang panjang.1
2.1.6. Faktor Risiko Osteoporosis
1) Usia
Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya
usia, begitu juga dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir sampai
kira-kira usia 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak
daripada yang hilang. Tetapi setelah usia 30 tahun situasi
berbalik, yaitu jaringan tulang yang hilang lebih banyak
daripada yang dibuat.14 Tulang mempunyai 3 permukaan, atau
bisa disebut juga dengan envelope, dan setiap permukaan
memiliki bentuk anatomi yang berbeda. Permukaan tulang yang
menghadap lubang sumsum tulang disebut dengan endosteal
envelope, permukaan luarnya disebut periosteal envelope, dan
diantara keduanya terdapat intracortical envelope. Ketika masa
kanak-kanak, tulang baru terbentuk pada periosteal envelope.
Anak- anak tumbuh karena jumlah yang terbentuk dalam
periosteum melebihi apa yang dipisahkan pada permukaan
endosteal dari tulang kortikal. Pada anak remaja, pertumbuhan
menjadi semakin cepat karena meningkatnya produksi hormon
seks. Seiring dengan meningkatnya usia, pertumbuhan tulang
akan semakin berkurang.14 Proporsi osteoporosis lebih rendah

xxxv
pada kelompok lansia dini (usia 55-65 tahun) daripada lansia
lanjut (usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki hubungan
dengan kejadian osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara
osteoporosis dengan peningkatan usia. Begitu juga dengan
fraktur osteoporotik akan meningkat dengan bertambahnya usia.
Insiden fraktur pergelangan tangan meningkat secara bermakna
setelah umur 50, fraktur vertebra meningkat setelah umur 60,
dan fraktur panggul sekitar umur 70.15
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki risiko
yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis
primer, perbandingan antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Pria
memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya
osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40-60%, karena akibat dari
hipogonadisme, konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid
yang berlebihan.16 Secara keseluruhan perbandingan wanita dan
pria adalah 4 : 1.17
3) Ras
Pada umumnya ras Afrika-Amerika memiliki massa tulang
tertinggi, sedangkan ras kulit putih terutama Eropa Utara,
memiliki massa tulang terendah. Massa tulang pada ras campuran
Asia-Amerika berada di antara keduanya.14 Penelitian
menunjukkan bahwa, bahkan pada usia muda terdapat perbedaan
antara anak Afrika-Amerika dan anak kulit putih. Wanita Afrika-
Amerika umumnya memiliki massa otot yang lebih tinggi. Massa
tulang dan massa otot memiliki kaitan yang sangat erat, dimana
semakin berat otot, tekanan pada tulang semakin tinggi sehingga
tulang semakin besar. Penurunan massa tulang pada wanita
Afrika-Amerika yang semua cenderung lebih lambat daripada
wanita berkulit putih. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan

xxxvi
hormon di antara kedua ras tersebut.14 Beberapa penelitian lain
juga menunjukkan bahwa wanita yang berasal dari negara-negara
Eropa Utara, Jepang, dan Cina lebih mudah terkena osteoporosis
daripada yang berasal dari Afrika, Spanyol, atau Mediterania.14
4) Riwayat Keluarga
Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa
tulang. Penelitian terhadap pasangan kembar menunjukkan bahwa
puncak massa tulang di bagian pinggul dan tulang punggung
sangat bergantung pada genetika. Anak perempuan dari wanita
yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki
massa tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka
(kira-kira 3-7 % lebih rendah). Riwayat adanya osteoporosis
dalam keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan risiko
seseorang mengalami patah tulang.14,15
5) Indeks Massa Tubuh
Berat badan yang ringan, indeks massa tubuh yang rendah,
dan kekuatan tulang yang menurun memiliki risiko yang lebih
tinggi terhadap berkurangnya massa tulang pada semua bagian
tubuh wanita. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa efek
berat badan terhadap massa tulang lebih besar pada bagian tubuh
yang menopang berat badan, misalnya pada tulang femur atau
tibia.14 Estrogen tidak hanya dihasilkan oleh ovarium, namun juga
bisa dihasilkan oleh kelenar adrenal dan dari jaringan lemak.
Jaringan lemak atau adiposa dapat mengubah hormon androgen
menjadi estrogen. Semakin banyak jaringan lemak yang dimiliki
oleh wanita, semakin banyak hormon estrogen yang dapat
diproduksi. Penurunan massa tulang pada wanita yang kelebihan
berat badan dan memiliki kadar lemak yang tinggi, pada
umumnya akan lebih kecil. Adanya penumpukan jaringan lunak
dapat melindungi rangka tubuh dari trauma dan patah tulang.14

xxxvii
6) Aktifitas Fisik
Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka
tulang dan menyebabkan tulang berkontraksi sehingga
merangsang pembentukan tulang. Kurang aktifitas karena istirahat
di tempat tidur yang berkepanjangan dapat mengurangi massa
tulang. Hidup dengan aktifitas fisik yang cukup dapat
menghasilkan massa tulang yang lebih besar. Itulah sebabnya
seorang atlet memiliki massa tulang yang lebih besar
dibandingkan yang non-atlet. Proporsi osteoporosis seseorang
yang memiliki tingkat aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian
tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih
rendah daripada yang memiliki aktifitas fisik tingkat sedang dan
rendah.14
7) Pil KB
Terdapat beberapa bukti bahwa wanita yang menggunakan
pil KB untuk waktu yang lama memiliki tulang yang lebih kuat
daripada yang tidak mengkonsumsinya. Kontrasepsi oral
mengandung kombinasi estrogen dan progesteron, dan keduanya
dapat meningkatkan massa tulang. Hormon tersebut dapat
melindungi wanita dari berkurangnya massa tulang dan bahkan
merangsang pembentukan tulang.14
8) Densitas Tulang
Densitas masa tulang juga berhubungan dengan risiko
terjadinya fraktur. Setiap penurunan 1 SD, berhubungan dengan
risiko peningkatan fraktur sebesar 1,5 - 3,0 kali. Faktor usia juga
menjadi pertimbangan dalam menentukan besarnya risiko
menurut densitas tulang.15
9) Penggunan kortikosteroid
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai
penyakit, terutama penyakit autoimun, namun kortikosteroid yang
digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya

xxxviii
osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik. Kortikosteroid
dapat menginduksi terjadinya osteoporosis bila dikonsumsi lebih
dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 bulan.18
Kortikosteroid akan menyebabkan gangguan absorbsi
kalsium di usus, dan peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal,
sehingga akan terjadi hipokalsemia.14
Selain berdampak pada absorbsi kalsium dan ekskresi
kalsium, kortikosteroid juga akan menyebabkan penekanan
terhadap hormon gonadotropin, sehingga produksi estrogen akan
menurun dan akhirnya akan terjadi peningkatan kerja osteoklas.
Kortikosteroid juga akan menghambat kerja osteoblas, sehingga
penurunan formasi tulang akan terjadi. Dengan terjadinya
peningkatan kerja osteoklas dan penurunan kerja dari osteoblas,
maka akan terjadi osteoporosis yang progresif.14
10) Menopause
Wanita yang memasuki masa menopause akan terjadi
fungsi ovarium yang menurun sehingga produksi hormon estrogen
dan progesteron juga menurun. Ketika tingkat estrogen menurun,
siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang
akan dimulai.14 Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan
tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat resorpsi tulang
akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang, yang
mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Sangat berpengaruh
terhadap kondisi ini adalah tulang trabek ular karena tingkat
turnover yang tinggi dan tulang ini sangat rentan terhadap
defisiensi estrogen. Tulang trabekular akan menjadi tipis dan
akhirnya berlubang atau terlepas dari jaringan sekitarnya. Ketika
cukup banyak tulang yang terlepas, tulang trabekular akan
melemah.14

xxxix
11) Merokok
Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan
kadar estrogen, sehingga kadar estrogen pada orang yang merokok
akan cenderung lebih rendah daripada yang tidak merokok. Wanita
pasca menopause yang merokok dan mendapatkan tambahan
estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat badan perokok
juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini ( kira-kira 5
tahun lebih awal ), daripada non-perokok. Dapat diartikan bahwa
wanita yang merokok memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya
osteoporosis dibandingkan wanita yang tidak merokok.14
12) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan selama bertahun-tahun
mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Kebiasaan meminum
alkohol lebih dari 750 mL per minggu mempunyai peranan p enting
dalam penurunan densitas tulang.19,20 Alkohol dapat secara
langsung meracuni jaringan tulang atau mengurangi massa tulang
karena adanya nutrisi yang buruk. Hal ini disebabkan karena pada
orang yang selalu menonsumsi alkohol biasanya tidak
mengkonsumsi makanan yang sehat dan mendapatkan hampir
seluruh kalori dari alkohol. Disamping akibat dari defisiensi nutrisi,
kekurangan vitamin D juga disebabkan oleh terganggunya
metabolisme di dalam hepar, karena pada konsumsi alkohol
berlebih akan menyebabkan gangguan fungsi hepar.
13) Riwayat Fraktur
` Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa,
riwayat fraktur merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis.21
2.1.7. Pendekatan Diagnosis Osteoporosis
1) Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan penting dalam evaluasi
penderita osteoporosis. Keluhan-keluhan utama yang dapat
mengarah kepada diagnosis, seperti misalnya bowing leg dapat

xl
mengarah pada diagnosis riket, kesemutan dan rasa kebal di sekitar
mulut dan ujung jari yang terjadi pada hipokalsemia. Pada anak-
anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri tulang, dan
kelemahan otot, waddling gait, dan kalsifikasi ekstraskeletal dapat
mengarah pada penyakit tulang metabolik. Selain dengan
anamnesis keluhan utama, pendekatan menuju diagnosis juga
dapat dibantu dengan adanya riwayat fraktur yang terjadi karena
trauma minimal, adanya faktor imobilisasi lama, penurunan tinggi
badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan
kalsium, fosfor dan vitamin D, dan faktor-faktor risiko
lainnya.Obat-obatan yang dikonsumsi dalam jangka panjang juga
dapat digunakan untuk menunjang anamnesis, yaitu misalnya
konsumsi kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan, heparin.
Selain konsumsi obat-obatan, juga konsumsi alkohol jangka
panjang dan merokok. Tidak kalah pentingnya, yaitu adanya
riwayat keluarga yang pernah menderita osteoporosis.7
2) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang harus diukur adalah tinggi
badan dan berat badan, demikian juga dengan gaya jalan penderita,
deformitas tulang, leg-length inequality, dan nyeri spinal.
Hipokalsemia yang terjadi dapat ditandai oleh adanya iritasi
muskuloskeletal, yaitu berupa tetani. Adduksi jempol tangan juga
dapat dijumpai, fleksi sendi metacarpophalangeal, dan ekstensi
sendi interphalang.Penderita dengan osteoporosis sering
menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowager’s hump) dan
penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia
abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit yang tipis (tanda
McConkey).7

xli
Gambar 1. Dowager’s hump

3) Pemeriksaan laboratorium
Manfaat dari adanya pemeriksaan petanda biokimia tulang
adalah dapat memprediksi adanya kehilangan massa tulang dan
adanya risiko fraktur, untuk menyeleksi pasien yang membutuhkan
terapi antiresorpstif, dan untuk mengevaluasi efektifitas terapi.7
Pemeriksaan ini digunakan untuk menunjang diagnosis
osteoporosis yaitu dengan menggunakan berbagai petanda
biokimiawi untuk menentukan bone turnover kalsium, dan
fosfatase alkali serum yang semula dianggap merupakan petanda
turnover tulang yang baik, ternyata kadarnya dalam darah normal.
Pemeriksaan biokimiawi tulang lainnya yaitu kalsium total dalam
serum, ion kalsium, kadar fosfor dalam serum, kalsium urin,
osteokalsin serum, fosfat serum, piridinolin urin, dan bila perlu
hormon paratiroid dan vitamin D. Dengan penelitian yang ada,
saat ini yang dianggap sebagai petanda turnover tulang yang baik
adalah :
Sebagai penanda pembentukan tulang:1,5,12
- Osteokalsin (= bone GLA protein) serum.
- Isoenzim fosfatase alkali.
Sedangkan sebagai penanda reabsorpsi tulang adalah :1
- Piridinolin dan deoksi-piridinolin “cross-link” urin.
- Hidroksiprolin urin.

xlii
Walaupun aspek dinamik tulang dan dari segi deteksi dini
pemeriksaan ini memenuhi syarat, akan tetapi mengingat biaya
pemeriksaan yang cukup mahal, pemeriksaan ini tidak begitu
banyak dilakukan.1,5,12
Kalsium serum terdiri dari 3 fraksi, yaitu kalsium yang
terikat pada albumin (40%), kalsium ion (48%), dan kalsium
kompleks (12%). Kalsium yang terikat pada albumin tidak dapat
difiltrasi oleh glomerulus. Keadaan yang dapat mempengaruhi
kadar albumin serum, seperti sirosis hepatik dan sindrom nefrotik
akan mempengaruhi kadar kalsium total serum. Ikatan kalsium
pada albumin sangat baik terjadi pada pH 7-8. Peningkatan dan
penurunan pH 0,1 secara akut akan menurunkan ikatan kalsium
pada albumin sekitar 0,12 mg/dl. Pada penderita hipokalsemia
dengan asidosis metabolik yang berat, misalnya pada penderita
gagal ginjal, koreksi asidemia yang cepat dengan natrium
bikarbonat akan dapat menyebabkan tetani karena kadar kalsium
akan menurun dengan drastis.7 Pemeriksaan ion kalsium lebih
bermakna dibandingkan dengan pemeriksaan kadar kalsium total.
Ion kalsium merupakan fraksi kalsium plasma yang penting pada
proses-proses fisiologik, seperti pada kontraksi otot, pembekuan
darah, sekresi hormon paratiroid, dan mineralisasi tulang.7
Osteokalsin merupakan salah satu tanda dari aktifitas
osteoblas dan formasi tulang. Selain sebagai petanda aktifitas
formasi, osteokalsin juga dilepaskan pada saat proses resorpsi
tulang, sehingga kadarnya dalam serum tidak hanya menunjukkan
aktifitas formasi, namun juga aktifitas resorpsi. Kadar osteokalsin
dalam matriks akan meningkat bersamaan dengan peningkatan
hidroksiapatit selama pertumbuhan tulang.7
Carboxy-terminal propeptide of type I collagen dan amino-
terminal propeptide of type I collagen merupakan bagian dari
petanda adanya proses formasi tulang karena sebagian besar

xliii
protein yang dihasilkan oleh osteoblas adalah kolagen tipe I,
namun kolagen tipe I juga dihasilkan oleh kulit, sehingga
penggunaannya di klinik tidak sebaik alkali fosfatase tulang
ataupun osteokalsin.7
Produk degradasi kolagen yaitu hidroksilisil-piridinolin
(piridinolin), dan lisil-piridinolin (deoksipiridinolin). Pada saat
tulang diresorpsi, produk degradasi kolagen akan dilepaskan ke
dalam darah, dan akhirnya akan diekskresi lewat ginjal. Piridinolin
lebih banyak ditemukan di dalam ginjal daripada deoksipiridinolin,
akan tetapi deoksipiridinolin lebih spesifik karena piridinolin juga
ditemukan dalam kolagen tipe II pada sendi dan jaringan ikat
lainnya.7 Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pemeriksaan petanda biokimia tulang, yaitu:
 Petanda biokimia tulang diukur dalam urin, sehingga perlu
memperhatikan kadar kreatinin dalam darah dan urin karena
akan mempengaruhi hasil pemeriksaan.
 Petanda biokimia tulang dipengaruhi umur, karena pada usia
muda terjadi peningkatan bone-turnover.
 Terdapat perbedaan hasil pada penyakit-penyakit tertentu,
misalnya penyakit paget hasil alkali fosfatase tulang akan lebih
tinggi dibandingkan osteokalsin, terapi bifosfonat akan
menurunkan kadar piridinolin dan deoksipiridinolin yang
terikat protein tanpa perubahan ekskresi, terapi estrogen akan
menurunkan ekskresi piridinolin dan deoksipiridinolin urin
bebas maupun yang terikat protein.
4) Pemeriksaan Radiologik
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah adanya
penipisan korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan
tampak jelas pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran
picture-frame vertebra. Pada pemeriksaan radiologik tulang vertebra
sangat baik untuk menemukan adanya fraktur kompresi, fraktur baji atau

xliv
fraktur bikonkaf. Pada anak-anak, fraktur kompresi dapat timbul spontan
dan berhubungan dengan osteoporosis yang berat, misalnya pada
osteogenesis imperfekta, riketsia, artritis rheumatoid juvenil, penyakit
Crohn atau penggunaan steroid jangka panjang. Bowing deformity pada
tulang panjang sering didapatkan pada anak-anak dengan osteogenesis
imperfekta, riketsia, dan displasia fibrosa.Selain dengan memeriksa foto
polos, dapat dilakukan juga skintigrafi tulang dengan menggunakan
Technetium-99m yang dilabel pada metilen difosfonat atau hidroksi
metilen difosfonat. Diagnosis ditegakkan dengan mencari uptake yang
meningkat, baik secara umum maupun fokal.

5) Pemeriksaan densitas tulang


Massa tulang yang rendah merupakan faktor utama terjadinya
osteoporosis. Terdapat hubungan berkebalikan antara BMD dengan
kecenderungan patah tulang. BMD merupakan indikator utama risiko
patah tulang pada pasien tanpa riwayat patah tulang sebelumnya.1
Terdapat berbagai cara pemeriksaan densitas tulang, yaitu : Foto
rontgen tulang absorpsiometri foton tunggal (SPA), absorpsi foton Ganda
(DPA), tomografi komputer kuantitatif (CT SCAN) DPA dengan energi
sinar X ganda (DEXA) atau dengan ultrasound. Saat ini yang terbanyak
dipakai, walaupun harganya cukup mahal adalah DPA dan DEXA, (DEXA
merupakan gold standard sesuai rekomendasi WHO). Kekurangan cara
pemeriksaan ini adalah tidak dapat menggambarkan keadaan dinamik
tulang, walaupun dapat diatasi dengan mengadakan pemeriksaan
serial.1,5,12,22,23
Ukuran dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA) dari tulang
pinggul dan tulang belakang merupakan teknologi yang dipakai untuk
menetapkan atau mengkonfirmasi diagnosis osteoporosis, prediksi risiko
fraktur yang akan datang dan monitoring pasien yang untuk menilai
performa serial. Hasil pengukuran DEXA berupa densitas mineral tulang
yang dinilai satuan bentuk gram per cm2, kandungan mineral dalam satuan

xlv
gram, perbandingan densitas tulang dengan nilai normal rata-rata densitas
tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam
persentase, atau perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai
normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang
dinyatakan dalam skor standar deviasi (Z-score atau T-score).22
Pengukuran BMD sering dilakukan dengan T-score yaitu angka
deviasi antara BMD pasien dengan puncak BMD rata-rata pada subjek
yang normal dengan jenis kelamin sama. Ukuran BMD lain yaitu Z-score,
dimana ukuran standar deviasi pada BMD pasien dengan BMD pada usia
yang sama.23 Perbedaaan antara skor pasien dan normal menunjukkan
standar deviasi (SD) dibawah atau diatas rata-rata. Biasanya, 1 standar
deviasi antara dengan 10 - 15% ukuran BMD dalam g/cm2. Tergantung
pada bagian tulang, penurunan BMD dalam massa absolut tulang atau
standar deviasi (T-score atau Z-score) yang berlangsung selama dewasa
muda, mempercepat pada wanita menopause dan berlanjut secara progresif
pada wanita pasca menopause atau pria usia 50 tahun atau lebih. Diagnosis
BMD normal, massa tulang rendah, osteoporosis dan osteoporosis berat
didasarkan berdasarkan klasifikasi diagnostik WHO.22,23
Kriteria Osteoporosis Menurut WHO
 Normal :
BMD lebih dari -1 Standar Deviations (SD) dari dewasa muda
normal (T-score above -1).
 Low bone mass ( osteopenia ):
BMD -1 sampai -2,5 SD dibawah dari dewasa muda normal (T-
score between -1.0 and -2.5).
 Osteoporosis:
BMD > 2,5 SD dibawah dari dewasa muda normal (T-score
below -2.5). Pasien di grup ini yang mempunyai riwayat 1
fraktur atau lebih dianggap sebagai osteoporosis berat atau
osteoporosis yang tidak bisa disangkal.20

xlvi
6) Biopsi Tulang
Cara ini dapat menunjukkan adanya osteoporosis serta proses
dinamik tulang, akan tetapi karena bersifat invasif sehingga tidak dapat
dipakai sebagai prosedur rutin, baik untuk uji saring (penentuan risiko)
atau untuk pemantauan pengobatan. Biopsi tulang dapat digunakan untuk
menilai kelainan metabolik tulang. Biopsi biasanya dilakukan di
transiliakal.5,24
2.1.8 Pengelolaan
Tujuan pengelolaan osteoporosis bukan hanya untuk menurunkan
resorpsi tulang dan meningkatkan densitas tulang, tetapi yang terpenting
adalah mencegah fraktur. Pilar pengobatan osteoporosis adalah sebagai
berikut :
1. Edukasi dan pencegahan
 Menganjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang
teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi
sistem neuromuskuler serta kebugaran, sehingga dapat
mencegah risiko terjatuh. berbagai latiahan yang dapat
dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun
berenang.
 Menjaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui
makanan sehari-hari maupun suplementasi.
 Menghindari merokok dan minum alkohol.
 Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi
testosteron pada laki-laki dan menopause awal pada wanita.
 Mengenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat
menimbulkan osteoporosis.
 Menghindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita
terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat sedatif dan obat
anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.
 Menghindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang yang
kurang terpajan sinar matahari atau pada penderita dengan

xlvii
fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila diduga defisiensi vitamin D,
maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila 25(OH)D
serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau
800IU/hari pada orangtua harus diberikan. Pada penderita gagal
ginjal, suplementasi 1,25(OH)2D harus dipertimbangkan.
 Menghindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan
membatasi asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk
meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi
kalsium urin > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah
(HCT 25 mg/hari)
 Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi
dan jangka panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada
dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin.
 Pada pemderita Artritis Reumatoid dan artritis inflamasi lainnya,
sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini
akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa tulang
akibat artritis inflamatif yang aktif.2
2. Latihan dan Rehabilitasi
Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi
penderita osteoporosis karena dengan latihan yang teratur,
penderita akan lebih lincah, tangkas dan menguatkan otot sehingga
tidak mudah jatuh. Selain itu latian juga akan mencegah
perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan
biofisikoelektrikemikal yang akan meningkatkan remodelling
tulang.
Pada penderita yang belum mengalami osteoporosis, maka
sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada
penderita yang sudah osteoporosis maka sifat latihan dimulai
dengan latihan tanpa beban, kemudian ditingkatkna secara bertahan
sehingga mencapai latiahan beban yang adekuat.

xlviii
Selain itu pasien juga diberika ortosis (alat bantu) misal
korset lumbal untuk penderita yang mengalami fraktur vertebra,
tongkat atau alat bantu berjalan lainnya, terutama pada orang tua
yang tergaggu keseimbangannya.
Hal lain yang harus diperhatikan adala mencegah resiko
jatuh dengan cara mengindari latai yang licin atau alas kaki yang
licin, menggunakan pegangan saat ke kamarmandi, memperbaiki
penerangan, koreksi kacamata jika ada gangguan refraksi.2
3. Pengobatan Medikamentosa
 Bifosfonat
Merupakan pilihan utama untuk pengobatan osteoporosis. Secara
farmakodinamik, absorpsi bifosfonat sangat buruk, sehingga harus
diberikan dalam keadaan perut kosong. Selain itu, bifosfonat
generasi I juga memiliki efek samping lain, yaitu menganggu
mineralisasi tulang, sehingga tidak boleh diberikan secara
kontinyu. Efek samping lainnya refluks esofagitis dan
hipokalsemia. Contoh obat : risedonat, aledronat, sodium etidorat
 Raloksifen
Merupakan ati estrogen yang mempunyai efek seperti estrogen (
golongan selective estrogen receptors modulators (SERM)) pada
tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan
endometrium dan payudara.
 Terapi sulih hormon
 Wanita pasca menopause : estrogen terkonyugasi 0,3125-1,25
mg/hari dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat 2,5-
10 mg/hari.
 Wanita pra menopause : estrogen terkonyugasi diberikan pada
hari pertama sampai dengan hari ke-25 siklus haid, sedangkan
medroksiprogesteron ke-25 sampai dengan 28 siklus haid.
 Laki-laki : pada laki-laki yang jelas menderita defisiensi
testosteron dipertimbangkan pemberian testosteron.

xlix
 Kalsitonin
Merupakan obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk
pengobatan penyakit-penyakit yang meningkatkan resorpsi tulng
dan hiperkalsemia yang diakibatkannya, seperti pada penyakit
Paget, osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan.
 Osteoanabolik (PTH,Strontium ranelat)
 Kalsium dan vitamin D
Pada penelitian didapatkan suplementasi vitamin D 500 IU
kalsiferol dan 500 mg kalsium per oral selam 18 bulan mampu
menurunkan kejadian fraktur non-spinal sampai 50%.
4. Pembedahan
Pembedahan dilakukan terutama jika terjadi fraktur panggul.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada terapi bedah penderita
osteoporosis adalah :
 Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur bila
diperlukan tindakan bedah, sebaiknya segera dilakukan,
sehingga dapat dihindari imobilisasi lama dan komplikasi
fraktur yang lebih lanjut.
 Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi
yang stabil, sehingga mobilisasi penderita dapat dilakukan
sedini mungkin.
 Asupan kasium tetap harus diperhatikan pada penderita
yang menjalani tindakan bedah, sehingga mineralisasi
kalus menjadi sempurna.
 walupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan
medikamentosa osteoporosis dengan bifosfonat, atau
raloksifen atau pengganti hormonal, maupun kalsitonin
tetap harus diberikan.2

l
2.2. Osteoarthritis
Osteoartritis merupakan penyakit degeneratif yang mengenairawan
sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan
terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang
(osteofit).
Kriteria Diagnosis :
a. Osteoartritis sendi lutut:
1. Nyeri lutut
2. Salah satu dari 3 kriteria berikut : usia > 50 tahun, kaku sendi <
30 menit, krepitus dan osteofit
b. Osteoartritis sendi tangan:
1. Nyeri tangan atau kaku
2. Tiga dari 4 kriteria berikut :
 Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih 10 sendi tangan
tertentu (DIP II dan III kiri & kanan, PIP II & III kiri dan
kanan, CMC I kiri dan kanan
 Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP
 Pembengkakan pada < 3 sendi MCP
 Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu
c. Osteoartritis sendi pinggul
 Nyeri pinggul
 Radiologi terdapat osteofit pada femur atau asetabulum
 Radiologi terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial,
dan/ atau medial)
Terapi : penyuluhan, proteksi sendi, NSAID, fisioterapi, terapi okupasi,
operasi25,26

li
2.3. Penyakit Jantung Hipertensi
2.3.1. Definisi dan Epidemiologi
Kelainan jantung yang disebabkan oleh hipertensi. oragan
lain yang dapat mengalami kerusakan akibat hipertensi adalah otak,
ginjal, arteri perifer, serta mata. Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas)
Nasional tahun 2007 mengatakan bahwa prevalensi hipertensi pada
penduduk berusia 18 tahun ke atas mencapai 28 % dan lebih tinggi
pada kelompok usia lanjut. Hubungan antara hipertensi dengan
kardiovaskular telah lama diteliti, setiap kenaikan tekanan darah
20/10 mmHg akan meningkatkan mortalitas kakrdivaskular 2 kali
lipat.
2.3.2. Patogenesis dan Patofisologi
Peran hipertensi terhadap kelainan jantung terjadi melalui
sejumlah mekanisme yang kompleks. hipertensi menyebabkan
peningkatan afterload yang mengakibatkan kompensasi berupa
hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi diastolik dan sistolik, yang pada
tahap selanjutnya menjadi gagal jantung. Di sisi lain, tekanan darah
tinggi juga menyebabkan kerusakan dinding arterisehingga
mempercepat proses aterosklerosis. Dengan demikian hipertensi
juga merupakan faktor resiko infark miokard.
Kompensasi jantung berupa dilatasi dan hipertrofi ventrikel
kiri tidak akan bertahan lama, seiring dengan semakin banyaknya
keruakan miosit dan perubahan struktur jaringan. Sebaliknya
kerusakan sel dan jaringan akan turut meningkatkan kadar
angiotension II dan norepinefrin yang pada akhirnya menyebabkan
hipertrofi dan dilatasi semakin progresif. Aktivasi sistem RAA dan
simpatis telah terbukti mengakibatkan proses fibrosis, apoptosis,
hipertrofi seluler, perubahan molekuler, dan miotoksisitas.Proses
ini seperti lingkaran setan yang berujung pada remodelling
ventrikel kiri (aritmia dan gagal jantung), dan atau perubahan
hemodinamik dan retensi air-garam (gejala gagal jantung akut)

lii
2.3.3. Tanda dan gejala
Pada umumnya proses kerusakan jantung akibat hipertensi
bersifat asimptomatik. Pasien hanya ditemukan memiliki tekanan
darah tinggi. Pada tahapan lebih lanjut, manifestasi klinis akan
sesuai dengan kerusakan organ :
 Keluhan akibat peninggian tekanan darah (berdebar-
debar, pusing, rasa melayang)
 Keluhan penyakit jantung hipertensif : mudah lelah,
sesak napas, nyeri dada, bengkak pada kedua tungkai
dan perut, atau masalah vaskulaer hipertensi :
pandangan kabur, epitaksis, hematuria.
 Keluhan akibat penyakit dasar pada hipertensi sekunder
: polidipsia, poliuria, dan kelemahan otot
(hiperaldosteronisme primer), peningkatan berat badan
(sindrom Cushing), dan sebagainya.
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan :
 Pengukuran tekanan darah di tangan kiri dan kanan
dengan dua posisi duduk dan tidur.
 Penilaian funduskopi untuk mendeteksi retinopati
hipertensif.
 Palpasi dan aukultasi arteri karotis untuk mendeteksi
stenosis atau oklusi
 Pemeriksaan jantung : menilai tanda-tanda gagal
jantung atau kerusakan lainnya.
 Pemeriksaan paru : ada atau tidaknya bunyi napas
tambahan akibat kelainan jantung.
 Pemeriksaan abdomen untuk mendeteksi aneurisma,
pembesaran hepar dan limpa, ginjal, serta tanda-tanda
asites.
 Perabaan pulsasi arteri perifer : radialis, femoris, dan
dorsalis pedis.

liii
2.3.4. Diagnosis
Dapat ditegakkan jika diduga penyebabnya adalah
hipertensi dan tidak ditemukan penyebab lain.
2.3.5. Penatalaksanaan
Pada tahapan asimtomatik, kontrol tekanan darah adalah
target utama terapi baik dengan medikamentosa, diet dan aktivitas
fisik. Beberapa obat pun telah diketahui manfaatnya dalam
mencegah kerusakan danremodelling jantung dalam jangka
panjang, yaitu penghambat ACE atau ARB, penyekat beta, dan
golongan statin (efek anti inflamasi). Namun, pemberian obat
terebut harus disesuaikan dengan indikasi-kontraindikasi, dan
kondisi pasien. Apabila terjadi gagal jantung akut atau kronik
pemeriksaan dan terapi disesuaikan dengan kondisi pasien.27,28

2.4. Anemia Normositik Normokromik


Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin
atau hematokrit. Anemia merupakan kondisi yang sangat umum dan sering
merupakan komplikasi dari penyakit lainnya.29
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin dalam darah
<13,5 gr/dl pada laki-laki dewasa dan <11,5 gr/dl pada wanita dewasa.
Gejala anemia dapat timbul apabila hemoglobin <7 atau 8 gr/dl. Akan
tetapi timbulnya gejala bervariasi pada tiap pasien, tergantung pada
beratnya penurunan kadar hemoglobin, kecepatan penurunan hemoglobin,
umur dan adanya kelainan kardiovaskuler.29
Tabel 1. Derajat anemia menurut WHO :
Derajat Kadar Hb (gr/dl)
Ringan sekali 10,0-13,0
Ringan 8,0-9,9
Sedang 6,0-7,9
Berat <6,0

liv
Anemia diklasifikasikan berdasarkan morfologi sel darah merah.
Anemia normositik normokromik merupakan keadaan jumlah Hb menurun
dengan ukuran dan bentuk eritrosit serta kandungan hemoglobin normal.
Penyebab anemia normositik normokromik adalah perdarahan, hemolisis,
penyakit kronis dan penyakit inflitrative metastatic pada sumsum tulang.

2.5. Azotemia
Azotemia adalah kelainan biokimiawi yang berarti peningkatan
kadar kreatinin dan nitrogen urea darah dan terutama berkaitan dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus. Azotemia dapat disebabkan oleh
banyak penyakit. Berdasarkan lokasi penyebab, azotemia dapat dibagi
menjadi azotemia prarenal dan azotemia pascarenal.Apabila Azotemia
berkaitan dengan gejala dan tanda klinis maka disebut uremia.
Peningkatan tajam kadar urea dan kreatinis plasma biasanya merupakan
tanda timbulnya gagal ginjal terminal dan disertai gejala uremik. Nilai
normal nitrogen urea darah adalah 8-20 mg/dL, dan nilai normal kadar
kretinin serum adalah 0.7-1.4 mg/dl. Pada kasus ini perlu dilakukan
pemeriksaan USG abdomen dan urin rutin untuk menegakkan diagnosis.30

2.6. Spondilolisthesis
Spondilolisthesis adalah pergeseran ruas vertebra. Biasanya terjadi
pada sambungan lumbosakral antara L5 dengan S1, tetapi dapat juga
terjaid pada level vertebra diatasnya. Menurut etiologinya dibagi menjadi 5
tipe yaitu : 31
1. Kongenital
2. Isthmic (awal kehidupan)
3. Degeneratif
4. Traumatik
5. Patologik
Progesivitas dari listhesis pada dewasa muda biasanya
menimbulkan gejala dan tanda sebagai berikut :

lv
 Penghambatan gerak sendi
 Penegangan otot hamstring
 Hiperlordosis lumbal dan torakolumbal
 Hiperkifosis lumbosakral
 Pengurangan tinggi badan
 Gangguan gaya berjalan
Pada pasien dengan usia tua biasanya mengalami spondilolisthesis
degeneratif, biasanya terdapat nyeri punggung, radikulopati,
klaudikasio neurogenik, atau kombinasi dari semuanya.
Pengelolaannya dilakukan manajemen nyeri dengan penghilang
rasa nyeri, fisioterapi dengan support bagian vertebra yang terkena,
latihan otot hamstring untuk menguatkan otot dan mengurangi
nyeri, serta menjaga range of motion.31,32

lvi
BAB III
PEMBAHASAN

Kasus ini membahas pasien nonya Z usia 72 tahun dengan keluhan nyeri
pada punggung. Pada pasien ini diangkat masalah osteoporosis atas dasar
anamnesis didapatkan keluhan nyeri punggung bawah, nyeri berupa pegal, tidak
menjalar, nyeri bertambah saat duduk, berdiri dan berjalan, nyeri berkurang
dengan istirahat dan konsumsi obat. Pasien memiliki riwayat trauma(+) tahun
2014 jatuh dari tempat tidur dengan posisi terduduk. Faktor resiko lain adalah
pasien ini merupakan seorang wanita usia lanjut 72 tahun. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tampak skoliosis, dowager’s hump (+),bahu kiri tampak lebih rendah
dibandingkan kanan, pelvis sisi kiri lebih rendah dibandingkan sisi kanan, dan
pada palpasi terdapat nyeri tekan di paravertebra kanan. Pada pemeriksaan
penunjang dilakukan pemeriksaan BMD dan didapatkan hasil T-score -3, 6 SD,
serta didukung oleh hasil MRI thorakolumbal yang memberikan gambaran adanya
skoliosis dengan konveksitas ke kiri, fraktur kompresi curpus VTh 6,7,10, L1,
penyempitan diskus intervertebralis L1-2. Hal ini sesuai teori-teori penegakkan
diagnosis osteoporosis seperti yang telah dibahas pada bab tinjauan pustaka.
Penatalaksanaan osteoporosis pada pasien ini dengan edukasi dan medikamentosa.
Edukasi dilakukan untuk mengurangi resiko jatuh, mencegah fraktur dan
mengurangi keterbatasan aktivitas dengan fisioterapi. Obat-obtan yang digunakan
adalah bifosfonat 500 mg 3 kali sehari dan elemen kalsium 500 mg 3 kali sehari.
Pengakatan masalah osteoartritis pada pasien ini didasarkan dari
anamnesis didapatkan nyeri pada kedua lutut, nyeri bertambah ketika beraktivitas,
dan berkurang ketika beristirahat, serta kekakuan sendi pada pagi hari (bangun
tidur) < 30 menit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya krepitasi (+) pada
kedua sendi lutut. Hal ini sesuai dengan teori yang telah dituliskan pada bab
tinjauan pustaka. Didukung dengan catatan medis pasien yang menyatakan bahwa
telah dilakukan Xfoto thoraks dan hasilnya adalah OA grade II, pasien pernah
disuntik cairan sendi sebanyak 2 kali. Penatalaksaan pada pasien ini adalah
manajeman nyeri dengan pemberian analgesik topikal natrium diclofenac 1% dan

lvii
paracetamol 500 mg 3 kali sehari (bila nyeri). Diberikan edukasi agar melakukan
fisioterapi, tidak melakukan gerakan berlebihan pada sendi dan pengaturan berat
badan ideal agar tidak menambah nyeri pada sendi lutut.
Penyakit jantung hipertensif pada pasien ini telah bisa ditegakkan dari
anamnesi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesia
didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat hipertensi > 10 tahun terkontrol
dengan obat dari dokter. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pergeseran ictus
cordis pada SIC VI 2 cm linea mid clavicularis sinistra, pinggang jantung
mendatar, batas kiri bergeser sesuai ictus cordis sehingga didapatkan kesan
pembesaran jantung. Pemeriksaan penunjang EKG terdapat gambaran atrial
fibrilasi, LAD, suspek LAE. Pemeriksaan echocardiography didapatkan hasil
LVH kosentris sehingga diteggakkan diagnosis hipetension heart disease, sesuai
teori pada bab tinjaun pustaka bahwa kompensasi jantung akibat hipertensi adalah
hipertrofi ventrikel kiri akibat peningkatan overload.27,28 Penatalaksanaan pada
pasien ini dengan mengkontrol hipertensinya dengan diltiazem 100 mg 1x1 per
oral, bisoprolol 2,5 mg 1x1 per oral, spironolakton 50 mg 1x1 per oral dan diet
rendah garam.
Pada pasien ini juga ditemukan nilai Hb = 11,6 g/dL, MCH = 30,5 pg,
MCV= 92,5 fL. Hemoglobin menurun dengan bentuk eritrosit normal dan
kadungan hemoglobin normal sehingga diangkat masalah sebagai anemia
normositik normokromik. Penyebab anemia normositik normokromik adalah
perdarahan, hemolisis, penyakit kronis dan penyakit inflitrative metastatic pada
sumsum tulang.29 Pada kasus ini diduga anemia yang terjadi adalah akibat
penyakit kronis karena atau occult bleeding.
Masalah azotemia dituliskan karena pada pemeriksaan penunjang
didapatkan peningkatan peningkatan ureum 68 mg/dL dan kreatinin 1,8 mg/dL.
Pemeriksaan MRI ditemukan adanya gambaran simple cyst di upper pole ginjal
kanan. Pada kasus ini mengarah kepada CKD akibat hipertensi kronis ataupun
polycystic kidney disease.
Masalah selanjunya adalah spondilolisthesis. Dari anamnesis terdapat
nyeri punggung, dari pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan paravertebra,

lviii
pemeriksaan penunjang dengan MRI menunjukkan adanya spodilolisthesis
posterior L1. Penatalaksanaannya dengan manajemen nyeri dengan paracetamol
500 mg 3x1 per oral dan melakukan fisioterapi dengan lumbal support selama 3
bulan, dan melatih otot-otot untuk mengurangi nyeri serta menjaga ROM.

lix
DAFTAR PUSTAKA

1. Lindsay R CFOIFA, Braunwald e, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,


Jameson JL. Osteoporosis. In: Fauci AS Be, Kasper DL, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL, et al., editor. Harrison’s principle of internal
medicine 17 ed: Mc Grow-Hill USA; 2008. p. 2397-408
2. Isbagio, Harry. Panduan Diagnosis dan Pengelolaan Osteoporosis. Jakarta
: Ikatan Reumatologi Indonesia (IRA). 2005.
3. Cyrus Cooper SG, Robert Lindsay. Prevention and Treatment of
Osteoporosis: a Clinician’s Guide. New York: Taylor and Francis; 2005.
4. Journal CM. Prevalence rate of osteoporosis in the mid- aged and elderly
in selected parts of China. 2002; 115: 773-5.
5. H M. Osteoporosis pada usia lanjut tinjauan dari segi geriatri.
Rachmatullah P GM, Hirlan, Soemanto, Hadi S, Tobing ML, editor.
Semarang (Indonesia): Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2007. p.
126.
6. Wardhana, Wisnu. Faktor-faktor Risiko Osteoporosis pada Pasien dengan
Usia di Atas 50 tahun. Semarang : Universitas Diponegoro. 2012
7. Setiyohadi B. Osteoporosis. In: Aru W. Sudoyo BS, Idrus Alwi,
Marcellinus Simadibrata, Siti Setiati, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5 ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010. p. 2650-76.
8. American Association of Clinical Endocrinologist Medical Guidelines for
Clinical Practice for the Prevention and Treatment of Post Menopausal
Osteoporosis: 2001 Editio, with selected updates for 2003. Endocr
Pract.Nov-Des 2003;9(6):544-64
9. Kelman A. The management of secondary osteoporosis.2005; 19(6):1021-
37
10. Ethel S. Clinician’s Guide to Prevention and Treatment of Osteoporosis:
National Osteoporosis Foundation; 2008. P. 4-5

lx
11. Larsen K, Melmed et al. Osteoporosis. William Textbook of
Endocrinology. 10 ed: Elvieser Inc.; 2007.
12. Association AM. Pathophisiology of Osteoporosis. 2004 [cited 2004];
Available
from:http://www.stg.centrax.com/ama/osteo/part4/module03/pdf/osteo_m
gmt_o3.pdf.
13. L S. Kontrol Endokrin terhadap pertumbuhan. In: BI S, editor. Fisiologi
manusia dari sel ke sistem. 2 ed. Jakarta: EGC; 2001. p. 632-88
14. Lane NE. The Osteoporosis Book a Guide for Patients and Their Families.
New York: Oxford University Press; 1999. p. 19-32
15. Fatmah. Osteoporosis dan Faktor Risikonya pada Lansia Etnis Jawa.
2008;43(2):57-67.
16. Migliaccio S BM, Malavolta N. Management of glucocorticoids-induced
osteoporosis: role of teriparatide. 2009;5(2):305-10.
17. Foundation NO. Clinician's Guide to Prevention and Treatment of
Osteoporosis. [cited 2011 January 13]; Available from:
http://www.nof.org/professionals/clinical-guidelines.
18. Jehle PM. Steroid-induced osteoporosis; how can it be avoided? Oxford
Journals. 2003;18(5):681-4.
19. New SA B-SC, Grubb DA, Reid DM. Nutritional influences on bone
mineral density: a cross-sectional study in premenopausal women.
American Journal of Clinical Nutrition. 1997;65:1831-9.
20. Scane AC FR, Sutcliffe AM, Francis SJD, Rawlings DJ, Chapple CL.
Case-control study of the pathogenesis and sequelae of symptomatic
vertebral fractures in men. Osteoporosis International. 1999;9:91-7.
21. Tebé C DRL, Casas L, Estrada MD, Kotzeva A, Di Gregorio S,
Espallargues M. Risk factors for fragility fractures in a cohort of Spanish
women. 2011.25(6):507-12
22. Cheung AM FD, Kapral M, Diaz N-Granados, Dodin S. Prevention of
Osteoporosis and Osteoporotic Fracturesin Postmenopausal Women.
CMAJ. 2004;170(11):1665-7.

lxi
23. Kutikat A GR, Chakravarty K. Management of Osteoporosis.
2004;12:104-18.Seeman E PD, Delmas EPD. Bone Quality-The Material
and Structural Basis of Bone Strenght and Fragility. t=The New England
Journal of Medicine.2006:2250-61.
24. Hansen Lb VS. Prevention and Treatment of non-postmenopausal
Osteoporosis. 2004;61:2638-54
25. Ari W.S, Bambang S, Idrus A, Marcellus S.K, Siti S, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, 2009.
26. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Balai penerbit FK UI.
2006
27. Kaplan NM, Vicor RG, Flynn JT. Primary Hypertension : natural history
and evaluation. Kaplan’s clinical hypertension ed. 10. Lippincott Williams
and Wilkins; 2010.
28. Kotchen TA. Hypertensive vascular disease. Longo DL, Fauci AS, Kasper
DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal
medicine ed.18. New York : McGraw; 2012.
29. I Made Bakta. Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2007
30. Kumar,Vinay. Robbins Basic Pathology. Elsevier inc. 2003.
31. Hu SS, Tribus CB, Diab M, Ghanayem AJ. Spondylolisthesis. Instr Course
Lect.2008;57: 431-45
32. Majid K, Fischgrund JS. Degenerative Lumbar Spondylolisthesis : trends
in management. J Am Acad Orthop Surg. 2008 ; 16(4):208-15

lxii

Das könnte Ihnen auch gefallen