Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
SUBAEDAH
ABSTRACT: The research aims: (1) to reveal the background and the formation process of Arungkeke
Kingdom, (2) to explain the conflict and socio-cultural and political integration in Arungkeke in XVII
Century, (3) to explain the impact of the conflict and integration in socio-cultural life in former Arungkeke
Kingdom to date.
The research is categorized as history research that employs history research method. History
method employs four stages, namely (l) Heuristic, (2) History critics, (3) Interpretation, and (4)
Historiography. Research data were obtained from the relevant researches, informants, published books
aligned with the context of the research.
The results of the research reveal that (l) the background and the formation process of Arungkeke
Kingdom also known as one of the kingdom that stands alone without associated under the rule of another
kingdom, (2) conflict and socio-cultural and political integration in Arungkeke Kingdom in XVII Century,
Arungkeke as a village had long been present along with the socio-cultural system that is therein and
undergo the process to maintain the existence of particular social system, (3) the impact of conflict and
integration in socio-cultural and political life in former Arungkeke Kingdom to date, Arungkeke as one of
the areas of administrative government and has the potential for life in variety of activities. It is very
necessary debate to criticize the policy and practice of the socio-cultural and political life society.
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengungkapkan latar belakang dan proses terbentuknya
Kerajaan Arungkeke, (2) Menjelaskan konflik dan integrasi sosial budaya dan politik di Kerajaan
Arungkeke abad XVII, (3) Menjelaskan dampak konflik dan integrasi dalam kehidupan sosial budaya di
eks wilayah Kerajaan Arungkeke dewasa ini.
Penelitian ini kategorikan sebagai peneliti sejarah yang tentunya juga menggunakan metode
penelitian sejarah. Metode sejarah menggunakan empat tahapan yaitu (1) Heuristik (2) Kritik Sejarah (3)
Interprestasi (4) Hitsorigrafi. Data dari penelitian ini diperoleh dari penelitian yang relevan, informan,
buku-buku terbitan yang sesuai dengan konteks penelitian ini.
Hasil Penelitan menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang dan proses terbentuknya Kerajaan
Arungkeke, Arungkeke juga dikenal sebagai salah satu kerajaan yang berdiri sendiri tanpa terkait dibawah
kekuasaan kerajaan lain. (2) konflik dan integrasi sosial budaya dan politik di Kerajaan Arungkeke abad
XVII, Arungkeke sebagai desa yang telah lama hadir bersama dengan sistem sosial budaya yang ada
didalammya serta mengalami proses untuk mempertahannkan eksistensi pada sistem sosial tertentu. (3)
dampak konflik dan integrasi dalam kehidupan sosial budaya dan politik di eks wilayah Kerajaan
Arungkeke dewasa ini, Arungkeke sebagai salah satu desa dalam wilayah pemerintahan administratif dan
memiliki potensi kehidupan dalam berbagai aktivitas perdebatan itu sangat diperlukan dalam mengkritik
kebijakan maupun praktek sosial budaya dan politik dalam kehidupan masyarakat.
2
berasal dari kayangan. Tumanurung ini diberi Bungeng dan lain-lain. Kerajaan ini berdiri
nama Toalu Daeng Tabba, turun di Arungkeke, sekitar abad XVII, dan diperkirakan mendapat
tepatnya di atas batu, di bawah pohon asam, di pengaruh Bugis yang nampak pada kata “Arung”
ayun oleh pengawal dan budak yang dalam kata Arungkeke (CaldwellW. Bougas,
menyertainya. Konon, ia berasal dari emas 2004: 20-21) setelah perang Makassar.
karena semua alat-alat yang dipakainya terbuat Silsilah raja Kerajaan Arungkeke juga
dari emas, termasuk baju, mahkota, lesung, alu, menyebutkan tentang kehadiran bangsawan
perhiasan dan benda-benda lain yang ia bawa orang Bone yang sengaja meninggalkan Kerajaan
serta. Saat kemunculannya yang tiba-tiba itu, ia Bone untuk menghindari perang saudara antara
membunyikan lesung dengan alu di bawah pohon Kerajaan Bone dengan Kerajaan Gowa.
asam, diiringi suara ganrang bulo (gendang Bangsawan dari Kerajaan Bone ini bernama
bambu) dan alat musik lainnya (Wawancara Arung Mutara yang pergi meninggalkan Bone
Dengan Hj. Mari, 16 Oktober 2016). dan menetap di Kerajaan Arungkeke. Kemudian
Tu Manurung atau sosok wanita cantik beliau menikahi keturunan Tu Manurunga di
itu ketika ditanya oleh perwakilan-perwakilan Tabba Arungkeke yang bernama Karaeng Intang.
masyarakat yang ada di Arungkeke tentang asal Setelah berhasil mempersunting Karaeng Intang,
usulnya, Tu Manurung menjawab dengan hanya tidak lama waktu berselang, beliau dinobatkan
menyebut bahwa ia juga tidak tahu, bisa saja menjadi raja Kerajaan Arungkeke yang pertama
berasal semua arah mata angin tanpa menyebut kali dilantik di Tabbaka. Setelah itu, jabatan raja-
satu wilayah atau daerah. Oleh karena tidak raja berikutnya di Kerajaan Arungkeke adalah
diketahui asal usulnya, maka semua perwakilan keturunan beliau.
menyebutnya Tu Manurung, kemudian diberi Demikian juga penetapan tempat awal
gelar Toalu Daeng Tabba. Sementara pemberian Arungkeke sering terjadi perbedaan pendapat dari
nama gelaran “Toalu Daeng Tabba” karena dua tempat yang kita kenal sekarang. Apakah
kemunculan dan keberadaannya memakai simbol Arungkeke awal adalah Arungkeke yang kita
“Alu dan Lesung”. Sementara awalan To kenal sebagai Arungkeke Tamanroya sekarang
sebelum kata Alu menunjuk kepada orang, jadi dekat Pallengu. Yang dalam hal ini sebagai
toalu berarti orang Alu (bukan berasal dari daerah wilayah Desa Arungkeke sekaligus menjadi ibu
Alu) tetapi alu yang dipakai menumbuk padi di kota Kecamatan Arungkeke. Kemudian pendapat
lesung. Sedangkan kata “daeng” dan kata “tabba” lain, apakah Arungkeke awal yang kita kenal
memiliki makna yang berbeda. Kata daeng dalam adalah Arungkeke Pallantikan dan sekarang
masyarakat Makassar dan bahkan dalam sejarah menjadi Desa Arungkeke Pallantikan. Dengan
Sulawesi Selatan termasuk suku Bugis Makassar. adanya pembagian desa antara Desa Arungkeke
Beberapa sumber menyebut bahwa kata daeng itu dengan Desa Arungkeke Pallantikan
adalah gelar keningratan atau kebangsawanan menunjukkan adanya pengertian dan pemahaman
tinggi Bugis Makassar, di samping gelar baru tentang di mana tempat Kerajaan Arungkeke
bangsawan lainnya, sedangkan tabba adalah awal. Kenyataan ini bisa ditelusuri berdasarkan
wilayah tempat turun Tu Manurung (Wawancara fakta-fakta kelampauan Arungkeke sebagai
Dengan Hj. Mari, 16 Oktober 2016). tempat dan nama kerajaan adalah fakta-fakta
Arungkeke merupakan kerajaan ini berupa benda dan fakta-fakta sosial di antara dua
sangat diperhitungkan atas kebesarannya dan tempat tersebut di atas.
hubungan dagangnya dengan dunia luar. Fakta benda yang dimaksud adalah
Khususnya di wilayah Turatea dan bahkan secara sebuah batu besar yang dipercayai dan diyakini
umum di Sulawesi Selatan. Arungkeke banyak sebagai tempat pelantikan raja-raja Kerajaan
dikenal melakukan perhubungan dengan wilayah Arungkeke yang terpilih. Tempat keberadaan
kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Kerajaan batu yang dimaksud, sekarang berada di Desa
Arungkeke sebagai kerajaan lokal memiliki Arungkeke Pallantikan. Kata ”pallantikan” yang
wilayah kekuasaan dengan meliputi Arungkeke berarti tempat pelantikan raja-raja Arungkeke,
sendiri, Tamanroya, Punagaya, Petang, Pallengu, hal ini mengindikasikan bahwa Arungkeke
Boronglamu, Alla-alla, Pattiroang, Bonttorappo, Pallantikan adalah Tabbaka dulu. Tapi baik
Palajau, Bulo-bulo, Arungkeke Palantikan, Arungkeke Pallantikan maupun Arungkeke
6
Arungkeke Pallantikan sebagai tempat pelantikan 2. Konflik dan Integrasi Sosial Budaya dan
raja-raja Arungkeke. Pada saat pembentukan Politik di Kerajaan Arungkeke Abad
desa, Tabbaka menjadi bagian wilayah Desa XVII
Tamanroya tetapi sekarang dikenal Desa Masyarakat dalam kondisi tertentu dapat
Bungeng Kecamatan Batang (Camat Batang merupakan sistem sosial, jika di dalamnya
2002-2005). Sementara Tabbaka dan sekitarnya didapati bagian-bagian atau unsur-unsur yang
berdiri sendiri dengan nama Desa Arungkeke saling berhubungan dan saling menyatu dalam
Pallantikan. Terbentuknya Desa Arungkeke keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu
Pallantikan sebagai salah satu alasan untuk tidak bagian akan membawa perubahan pula terhadap
memisahkan diri dari Kerajaan Arungkeke pada bagian lainnya. Sehingga dengan demikian
masa lampau. sebagai anggota masyarakat yang menginginkan
Kerajaan Binamu sebelum Perang hidup dalam suasanan keharmonisan, maka
Makassar pada pertengahan abad XVII masing-masing harus bersedia memberi fungsi
merupakan daerah bawahan Kerajaan Gowa. secara timbal-balik dan konstan berkualitas.
Posisi ini sebagai hasil ekspansi Kerajaan Gowa Arungkeke sebagai desa yang telah lama hadir
ke daerah-daerah sekitarnya sejak masa bersama dengan sistem sosial budaya yang ada di
pemerintahan Raja Gowa IX Tumapa’risi dalamnya juga telah mengalami proses untuk
Kallonna. Namun pra dan setelah Perang mempertahankan eksistensi pada sistem sosial
Makassar, Turatea dimasukkan dalam kategori tertentu. Tetapi juga telah berproses dalam
kelompok Bugis bersama dengan Bone dan perubahan yang hampir mereka tidak sadari oleh
Soppeng. Pembentukan kelompok etnis ini pendukungnya.
diduga dibentuk dan dibangun oleh Spelmam Sehubungan dengan kehidupan sosial
sebagai penguasa perwakilan VOC Belanda. budaya masyarakat di Arungkeke yang sekarang
Pembentukan kelompok Bugis dan Makassar menjadi Kecamatan Arungkeke, maka dalam hal
oleh Belanda ini adalah untuk memenuhi niat ini kita akan melihat pada beberapa segi sosial
devide impera Belanda terhadap kawasan budaya. Aspek-aspek sosial budaya masyarakat
Sulawesi. Menurut catatan dan keterangan dari yang akan kita kemukakan. Aspek-aspek yang
Edward L Poelinggomang bahwa Turatea sebagai dimaksud, antara lain menyangkut adat istiadat
Bugis tidak bertahan lama setelah Arung Palakka masyarakat Arungkeke. Termasuk hubungan
tidak mampu mempengaruhi secara utuh Turatea. antara seseorang dengan orang lain dalam
Perubahan-perubahan dalam sistem kaitannya denga pemilikan tanah, agama dan
pemerintahan kerajaan terjadi sejak Belanda keyakinan masyarakat, strata sosial
menguasai Sulawesi Selatan pada umumnya. masyarakatnya serta tingkat pendidikan
Pada masa Kolonial Belanda inilah sering terjadi masyarakat Arungkeke.
perubahan dalam politik pemerintahan. Hal ini Setiap masyarakat khususnya masyarakat
terjadi sejak zaman lampau bagi kerajaan yang tradisional yang ada di Indonesia mengenal adat
dikuasai langsung seperti perubahan-perubahan istiadat yang selalu ditaati oleh anggota
status daerah-daerah di Kerajaan Gowa. masyarakatnya. Adat istiadat sebagai aturan yang
Perubahan status Kerajaan Gowa dapat terlihat tidak tertulis yang berkembang dalam kehidupan
pada saat kekalahan kerajaan Gowa oleh VOC, masyarakat. Bahkan telah menjadi suatu hukum
yaitu sekitar tahun 1667. Bersamaan dengan itu yang disebut dengan hukum adat. Hal ini
Turatea berada di bawah penguasaan Belanda dilakukan karena adat istiadat yang sering
sebagai penjajah. Masuknya penjajahan Belanda mewarnai kehidupan masyarakat. Terkadang pula
di Kerajaan Gowa secara umum, termasuk mempengaruhi berbagai aspek-aspek dan
Kerajaan Binamu dan Arungkeke sebagai salah pranata-pranata sosial masyarakat yang ada di
satu daerah kekuasaannya. Maka status daerah dalamnya. Tetapi adat istiadat itu menjadi wadah
inipun berubah bersamaan dengan perubahan- untuk menampilkan dan menghadirkan perilaku
perubahan status daerah-daerah lainnya di sosial dalam mempertahankan eksistensi mereka.
Kerajaan Gowa dan bawahannya. Sehingga pada Eksistensi ini terutama ditujukan kepada warga
saat itu Binamu yang membawahi Arungkeke masyarakat setempat. Ditujukan pada penganut
berubah menjadi Onder Afdeeling Binamu.
8
dan pendukung adat yang hadir pada saat ritual perkawinan (Husain Saidong, 2001: 17) yang
itu dilaksanakan dalam masyarakat setempat. sampai sekarang tetap merupakan bentuk
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi perkawinan yang baik.
sebagai pedoman hidup manusia dalam Bukan hanya persolan adat perkawinan
masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai yang mengalami perubahan pada satu sisi dan
budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai mempertahankan eksistensinya pada sisi lain,
ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sebut saja persolan adat istiadat kematian.
sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Memperlakukan orang meninggal, juga
Namun justru karena sifatnya yang umum, luas mengalami pergeseran jika dibandingkan pada
dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya itu masa lampau di Arungkeke. Dalam masyarakat
tidak tenggelam dengan zaman. Tetapi nilai-nilai Arungkeke pada masa lampau telah mengenal
dari suatu kebudayaan itu berada dalam daerah adat kematian atau dalam istilah setempat disebut
emosional dari alam jiwa para individu sebagai pattumateang (Husain Saidong, 2001: 18). Adat
warga bagian dari kebudayaan tersebut. Namun kematian atau pattumateang merupakan proses
harus diakui bahwa nilai-nilai memiliki perlakuan terhadap orang yang telah meninggal
kekurangan. Sehingga efek lain dari nilai-nilai dunia, dan perlakuan tersebut telah dilakukan
abstrak itu, apa lagi dengan kurangnya kontrol secara turun temurun sehingga menjadi adat
yang tegas sebagai sebagai bentuk dan wujud kebiasaan masyarakat setempat. Pelaksanaan atau
kelemahannya. penyelenggaraan jenazah di Jeneponto secara
Kelemahan itu terjadi karena tidak umun dan Arungkeke khususnya telah ada sejak
memiliki lembaga kontrol dalam masyarakat, dan dahulu (zaman kerajaan). Pattumateang
kalaupun lembaga adat dijadikan lembaga mengenal beberapa tahap perlakuan mayat seperti
kontrol, tetapi lembaga ini tidak mampu proses pengurusan awal jenazah, proses
menjangkau semua elemen masyarakat. memandikan, proses mengkafani, proses
Walaupun anggota masyarakat itu sendiri menshalatkan, mempersiapkan usungan, proses
sesungguhnya adalah bagian dari kontrol sosial penguburan dan apa yang disebut attumate
dalam masyarakat. Dari pemahaman itulah, maka (Husain Saidong, 2001: 18).
konsep-konsep yang masuk dalam kategori adat Tahap-tahap tersebut mengisyaratkan
istiadat yang ada di daerah ini dianggap perlu keterlibatan orang dalam proses pattumateang
disampaikan untuk memahami lebih jauh karena orang yang telah meninggal dunia
hubungan-hubungan yang terjadi dalam hanyalah perpindahan tempat dari alam dunia ke
masyarakat secara luas. Hal itu bisa kita pada alam kubur. Sehingga sang mayat harus
persoalan perkawinan secara adat, dan persoalan diperlakukan dengan adat yang baik agar roh
stratifikasi sosial. sang mayat tidak bergentayangan mengganggu
Adat perkawinan dalam masyarakat di manusia. Secara sosial, perlakuan orang mati
Jeneponto, termasuk masyarakat di Arungkeke, juga mencerminkan nilai dan status sosial orang
sejak masa lampau tidak jauh berbeda dengan yang telah meninggal dunia. Sehingga keluarga
sistem adat perkawinan yang berlaku di daerah yang ditinggalkan wajib menunaikannya karena
lainnya di Sulawesi Selatan. Yaitu masyarakat dianggap aib dan gensi dalam masyarakat. Dalam
yang didominasi oleh suku Bugis, Makassar, masyarakat sering ada kepercayaan bahwa orang
Mandar dan Toraja. Namun dalam prakteknya mati baru dianggap betul-betul pergi setelah
atau di dalam pelaksanaannya ada bagian-bagian empat puluh hari berada dalam kuburan.
yang sengaja diadakan, dibentuk dan dibangun Sehingga sering mengganggu manusia jika
berdasarkan syarat-syarat keluarga atau syarat- kematiannya tidak diperlakukan dengan baik
syarat guru atau penasehat mempelai. Guru atau sesuai dengan adat istiadat yang berlangsung
penasehat mempelai yang dalam istilah setempat secara turun temurun.
disebut Anrong Bunting. Walaupun demikian Pelaksanaan adat semacam ini sampai
tetap banyak anggota masyarakat pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an masih
mempertahankan adat perkawinan itu sangat kental walaupun ada perubahan namun
berdasarkan sistem tradisionalnya yang telah tidak bersifat mendasar dan mencolok.
lama dikenal dan telah turun temurun. Bentuk Memasuki tahun 1980-an sampai sekarang juga
9
mengalami perubahan, utamanya menyangkut Sementara pertanian kawasan pantai dikenal tiga
pelaksanaannya serta status sosial si mayat. jenis pertanian, yaitu petani nelayan (penangkap
Misalnya bahwa saat sekarang ini pembedaan ikan laut), petani penggarap empang (budidaya
golongan masyarakat sudah mulai berkurang ikan, udang dan penggaraman, serta sekarang
dalam memperlakukan si mayat. Menurut dikenal budidaya rumput laut) dan yang ketiga
pengamatan, hal ini disebabkan oleh perubahan adalah petani yang disebut pelayar/ pedagang
sistem sosial yang mengarah pada persamaan hak (Hammado Tantu, 1988: 279).
yang hanya dibedakan oleh tingkat ketakwaan, Selain itu Arungkeke memiliki
pemahaman keagamaan, pendidikan dan lain-lain pelabuhan yang teduh dan aman, baik dari
berdasarkan ukuran dalam masyarakat pengaruh gelombang laut muson barat maupun
(Wawancara dengan Abdul Halid Tamal, 20 jaminan keamanan pada saat transaksi barang,
Oktober 2016). Selain itu, kondisi tersebut juga termasuk terhindar dari pengacau, pencurian dan
mencerminkan tingkat keagamaan, keteladanan, perampokan. Pelabuhan Arungkeke pada saat itu,
perilaku dan kebesaran serta kesuksesan sang juga dijadikan sebagai tempat berlabuhnya
mayat yang dilihat dari banyaknya orang yang berbagai perahu dan kapal dagang dari berbagai
datang melayat dan ikut mensukseskan daerah. Yang menarik pula di sekitar pelabuhan
pattumateang. pantai, karena tempat ini begitu dekat dengan laut
3. Kehidupan Sosial, Budaya dan Politik di tetapi air tawar sangat mudah diperoleh dan ini
Wilayah Kerajaan Arungkeke Dewasa Ini masih terlihat sampai sekarang (Bougas, 2004:
20).
Kehidupan masyarakat di manapun di
Pada tahun 1952 pemerintah gabungan
muka bumi ini, baik dilihat dari segi
Selebes Selatan dibubarkan dengan peraturan
kesederhanaan maupun dilihat dari kompleksitas
pemerintah pusat pada tanggal 12 Agustus 1952
masyarakat tersebut selalu memiliki aturan-
No. 34. Sekaligus mengubah daerah-daerah
aturan tertentu. Baik peraturan yang hanya
Kerajaan Gowa menjadi daerah Swatantra
berlaku untuk lingkungan internal dan berlaku
Tingkat II sebelum kabupaten digunakan. Daerah
hanya untuk kalangan sendiri, maupun peraturan
swatantra ini bersifat otonom berdasarkan
yang berlaku secara umum untuk segenap
Undang-undang NIT 1950 No. 44. Setingkat
anggota masyarakat secara keseluruhan. Maka
dengan daerah kabupaten Swatantra Tingkat II,
dengan demikian aturan dalam masyarakat sangat
menurut Undang-undang 1948 No.22 ciptaan
diperlukan untuk mampu menjaga keharmonisan
Republik Yogyakarta. Kabupaten Makassar yang
di antara anggota masyarakatnya.
meliputi onder afdeeling-onder afdeeling lama,
Sehingga mau tidak mau setiap anggota
yaitu: Gowa, Takalar, Jeneponto, Maros dan
masyarakat dituntut untuk memiliki kesanggupan
Pangkajene (Bougas, 2004: 23).
bekerjasama. Adanya kerjasama dan interaksi
Sejak tahun 1961 daerah Arungkeke
secara tertentu, serta berkualitas terhadap
berada di bawah naungan distrik Arungkeke/
aktifitas yang mereka lakukan, kemudian
Batang, yang terdiri dari beberapa wilayah seperti
bermanfaat terhadap anggota lainnya, maka akan
Wilayah Arungkeke dan Tarowang masuk di
dapat menjadi suatu sistem sosial budaya
dalamnya. Selanjutnya pada tahun 1965
masyarakat (Soeprapto, 1996. 31). Letak
berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1965
geografis seperti itu memungkinkan
tentang pokok-pokok pemerintahan desa praja.
dikembangkannya sistem mata pencaharian hidup
Maka pemerintahan wilayah Arungkeke dan
berupa pertanian ladang, nelayan di samping
beberapa wilayah lainnya masing-masing diberi
tambak dan ladang penggaraman. Jenis aktifitas
nama bori. Kemudian dari pemerintahan Bori
yang banyak dikembangkan, yaitu aktifitas dalam
Arungkeke dimekarkan menjadi beberapa
bidang pertanian, baik pertanian kawasan darat
pemerintahan wilayah gallarrang antara lain:
maupun pertanian kawasan pantai. Pertanian
Gallarrang Petang, Gallarrang Tamanroya,
kawasan darat berlangsung pada musim hujan
Gallarrang Pallengu, Gallarrang Lassang-lassang,
dengan menghasilkan produksi seperti padi,
Gallarrang Tunrungganrang, Gallarrang
jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian, buah-
Boronglamu, Gallarrang Alla-alla, Gallarrang
buahan, sayur-sayuran dan hasil tanaman lainnya.
Bontorappo, dan Gallarrang Bungeng
10
agama Islam khususnya di Jeneponto. Hal ini Integrasi Bangsa”, dalam buku Muhklis
terlihat jelas dengan berdirinya kelompok kajian (Editor), 1986, Dinamikan Bugis
Islam (pesantren) yang dimotori para ulama/ Makassar, Sinar Krida, Makassar
Kyai. Perkembangan selanjutnya didirikanlah
pesantren di Jeneponto yang berlokasi di Amir, 2010. Sejarah Arungkeke Jeneponto
Arungkeke sejak beberapa puluh tahun yang (online), (hhtp;//ww.
lalu dan masih eksis sampai sekarang. Kompasiana.com/amir/sejarah rung-
Kesimpulan keke-jeneponto-sul-sel, diakses 01juni
2016)
1. Kerajaan Arungkeke sejak awal berdirinya
merupakan kerajaan yang otonom, bukan Arifin, H.M,2000. Kapita Selekat Pendidikan
merupakan kerajaan bawahan dari kerajaan Islam dan umum..Jakarta : Bumi Aksa.
lain. Walaupun dalam perkembangan
selanjutnya kerajaan ini bergabung dan Arifin, H.M,1994. Filsafat Pendidikan Islam.
menjadi bagian dari Kerajaan Binamu. Jakarta: Bumi Aksara
2. konflik dan integrasi sosial budaya dan
politik di kerajaan Arungkeke, lahirnya Bungin, 2008.Penelitian Kualitatif; Komunikasi,
perbedaan golongan dalam masyarakat pada Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu
dasarnya diawali oleh adanya naluri manusia Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana.
untuk saling menguasai.
3. Kehidupan sosial, budaya dan politik di CaldwellW. Bougas The early history of Binamu
wilayah kerajaan Arungkeke secara umum and Bangkala, South Sulawesi In:
sering terjadi suatu peristiwa konfik dengan Bijdragen tot de Taal-, Land- en
berbagai persoalannya. Arungkeke Volkenkunde 160 (2004), no: 4, Leiden,
merupakan salah satu desa di Jeneponto, 456-510 This PDF-file was downloaded
daerah ini dikenal sebagai desa yang from (http://www.kitlv-journals.nl, hlm.
memiliki potensi kehidupan dalam berbagai 20-21, Diakses 01 Juni 2016)
macam aktifitas yaitu aktifitas dalam bidang
pertanian, baik pertanian kawasan darat Caldwell dan Bouges, 2004. Budaya Organisasi
maupun kawasan pantai. Disamping itu dan Budaya Kontra : Jilid I-II. Jakarta :
banyak juga melakukan aktifitas kehidupan Aneka Cipta.
di laut, baik sebagai nelayan maupun sebagai
pelaut yang menggunakan perahu-perahu Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial:
tradisional. Sketsa, Penilaian, Perbandingan,
DAFTAR PUSTAKA Yogyakarta, Kanisius
Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu
(Terjemahan Nugroho Notosusanto). Sosial Dalam Metodelogi Sejarah-
Jakarta : Yayasan Penerbit UI. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.