Sie sind auf Seite 1von 13

1

TABBAKA: KONFLIK DAN INTEGRASI


DI KERAJAAN ARUNGKEKE ABAD XVII

TABBAKA: THE CONFLICT AND INTEGRATION


OF THE ARUNGKEKE XVII CENTURY*

SUBAEDAH

ABSTRACT: The research aims: (1) to reveal the background and the formation process of Arungkeke
Kingdom, (2) to explain the conflict and socio-cultural and political integration in Arungkeke in XVII
Century, (3) to explain the impact of the conflict and integration in socio-cultural life in former Arungkeke
Kingdom to date.
The research is categorized as history research that employs history research method. History
method employs four stages, namely (l) Heuristic, (2) History critics, (3) Interpretation, and (4)
Historiography. Research data were obtained from the relevant researches, informants, published books
aligned with the context of the research.
The results of the research reveal that (l) the background and the formation process of Arungkeke
Kingdom also known as one of the kingdom that stands alone without associated under the rule of another
kingdom, (2) conflict and socio-cultural and political integration in Arungkeke Kingdom in XVII Century,
Arungkeke as a village had long been present along with the socio-cultural system that is therein and
undergo the process to maintain the existence of particular social system, (3) the impact of conflict and
integration in socio-cultural and political life in former Arungkeke Kingdom to date, Arungkeke as one of
the areas of administrative government and has the potential for life in variety of activities. It is very
necessary debate to criticize the policy and practice of the socio-cultural and political life society.

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengungkapkan latar belakang dan proses terbentuknya
Kerajaan Arungkeke, (2) Menjelaskan konflik dan integrasi sosial budaya dan politik di Kerajaan
Arungkeke abad XVII, (3) Menjelaskan dampak konflik dan integrasi dalam kehidupan sosial budaya di
eks wilayah Kerajaan Arungkeke dewasa ini.
Penelitian ini kategorikan sebagai peneliti sejarah yang tentunya juga menggunakan metode
penelitian sejarah. Metode sejarah menggunakan empat tahapan yaitu (1) Heuristik (2) Kritik Sejarah (3)
Interprestasi (4) Hitsorigrafi. Data dari penelitian ini diperoleh dari penelitian yang relevan, informan,
buku-buku terbitan yang sesuai dengan konteks penelitian ini.
Hasil Penelitan menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang dan proses terbentuknya Kerajaan
Arungkeke, Arungkeke juga dikenal sebagai salah satu kerajaan yang berdiri sendiri tanpa terkait dibawah
kekuasaan kerajaan lain. (2) konflik dan integrasi sosial budaya dan politik di Kerajaan Arungkeke abad
XVII, Arungkeke sebagai desa yang telah lama hadir bersama dengan sistem sosial budaya yang ada
didalammya serta mengalami proses untuk mempertahannkan eksistensi pada sistem sosial tertentu. (3)
dampak konflik dan integrasi dalam kehidupan sosial budaya dan politik di eks wilayah Kerajaan
Arungkeke dewasa ini, Arungkeke sebagai salah satu desa dalam wilayah pemerintahan administratif dan
memiliki potensi kehidupan dalam berbagai aktivitas perdebatan itu sangat diperlukan dalam mengkritik
kebijakan maupun praktek sosial budaya dan politik dalam kehidupan masyarakat.
2

A. Pendahuluan di Turatea. Diantaranya dapat dilihat dari silsilah


Arungkeke, dimana terdapat integrasi
Proses dinamika yang terjadi pada setiap kebangsawanannya dengan Tarowang dan
daerah terus mengalami perubahan tersendiri Boengoeng, Karaeng Tarowang bernama Patta
dalam kurun waktu berdasarkan wilayahnya yang Dulung Aroeng Areojoeng yang menikah dengan
sangat beragam. Kabupaten Jeneponto atau lazim Maryam Daeng Rawang Karaeng Rawang dan
disebut Turatea merupakan salah satu Kabupaten melahirkan lima orang anak (Hadrawi, 2008:68-
di propinsi Sulawesi Selatan , serta terdapat 69). Pertalian keluarga tersebut memberikan
beberapa kerajaan yang pernah berdiri pada pengaruh terhadap perkembangan Kerajaan
wilayah ini. Pada abad XVII Turatea merupakan Arungkeke.
kerajaan konfederasi yang di dalamnya terdapat Adanya kemandirian tersebut menjadikan
tiga kerajaan besar yakni Kerajaan Binamu, Kerajaan Arungkeke memiliki sejarah dan
Bangkala dan Laikang. kerajaan yang tergabung kebudayaan yang mampu diwariskan, salah
dalam konfederasi tersebut memiliki sistem dan satunya ialah Kompleks Tabbaka. Kompleks
struktur pemerintahannya masing-masing. Akan tersebut, dalam perkembangannya mengalami
tetapi, Kerajaan Binamu memiliki perbedaan di peralihan fungsi sebagai kompleks pemakaman
antara kerajaan konfederasi lainnya. Kerajaan para raja-raja dan keluarganya, para pemuka
Binamu mampu menghimpun enam panji agama dan para pejabat kerajaan termasuk para
kerajaan lokal di dalam pemerintahannya, yakni adipati (penguasa kawasan), keluarga atau
Kerajaan Garassi, Bangkala, Binamu, kerabat pembesar kerajaan. Akan tetapi, dalam
Arungkeke, Tarowang dan Sapanang serta 16 kompleks tersebut juga terdapat makam hamba
kampung atau domain (Caldwell dan Bouges, sahaya tetapi hamba sahaya yang memiliki jasa-
2004). jasa kepada raja atau mereka yang dianggap
Munculnya persekutuan kerajaan tersebut memiliki kedekatan dengan pembesar kerajaan.
memberikan warna tersendiri serta memberikan Sebagai salah satu peninggalan sejarah
pengaruh terhadap kerajaan lain yang terdapat di yang memiliki peranan penting pada zaman
sekitarnya. Meskipun demikian, hal tersebut kerajaan, kompleks tersebut dijadikan cagar
tidaklah menjadi penghalang munculnya budaya oleh pemerintah Kabupaten Jeneponto.
kerajaan-kerajaan lain yang memiliki status Meskipun demikian, kondisi tempat bersejarah
pemerintahan yang berbeda. Salah satu kerajaan tersebut tidak mendapat perhatian serius dari
lokal yang dimaksud yakni Kerajaan Arungkeke. pemerintah setempat. Sehingga benda-benda
Kerajaan tersebut memiliki status pemerintahan peninggalan kerajaan tersebut hanyalah
yang independen atau berdiri sendiri serta meninggalkan tumpukan bebatuan yang tidak
memiliki wilayah pemerintahan tersendiri. Pada terawat.
awal berdirinya Kerajaan ini diberi nama Kondisi tersebut merupakan daya tarik
Arungkeke dan tidak pernah mengalami proses tersendiri bagi penulis untuk menelusuri lebih
perubahan. Sehingga penamaan kerajaan tersebut jauh mengenai bagaimana awal mula berdirinya
diperkirakan mendapat pengaruh kebudayaan Kerajaan Arungkeke serta perkembangannya,
Bugis. Hal tersebut sesuai dengan adanya kata serta bagaimana konflik yang terjadi pada
“Arung” yang terdapat dalam penamaan Kerajaan kerajaan Arungkeke dan proses integrasi. Selain
Arungkeke (CaldwellW. Bougas, 2004: 20-21). itu, hal terpenting yakni dampak yang
Kerajaan Arungkeke merupakan salah ditimbulkan konflik dan proses yang terjadi pada
satu kerajaan di daerah Turatea yang mampu Kerajaan Arungkeke.
menunjukkan eksistensinya pada abad XVII. Hal Kondisi tersebut didukung oleh sulitnya
ini didukung oleh beberapa faktor, yang ditemukan kajian yang membahas tentang
memungkinkan kerajaan ini dapat disegani. Di Kerajaan Arungkeke, termasuk kajian mengenai
samping itu dari catatan silsilah raja-raja Tabbaka. Penulisan sejarah Indonesia khususnya
Arungkeke, kebangsawan serta kekerabatan raja- penulisan sejarah lokal masih sangat penting
rajanya memiliki hubungan dengan kerajaan di dilakukan agar setiap generasi mengetahui
sekitar wilayah Turatea, bahkan memiliki identitas dirinya dan daerahnya. Seperti halnya
hubungan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan dengan penelitian ini, berusaha untuk
3

mengungkapkan sejarah integrasi awal Kerajaan 2. Teori Integrasi


Arungkeke, serta perkembangannya. Kurangnya Integrasi berasal dari bahasa inggris
literatur yang membahas mengenai Kerajaan "integration" yang berarti kesempurnaan atau
Arungkeke atau pun tabbaka merupakan keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai
tantangan tersendiri bagi penulis untuk berusah proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang
mengumpulkan berbagai informasi. saling berbeda dalam kehidupan masyarakat
B. Tinjauan Pustaka sehingga menghasilkan pola kehidupan
1. Teori Konflik masyarakat yang memilki keserasian fungsi
Konflik bisa terjadi pada setiap lapisan (Muhsin, 2015: 6-15) yang dikutif pada
masyarakat dan golongan maupun dalam negara. (http://meyla-isoda.blogspot.com/makalah-
Beberapa faktor penyebab konflik adalah adanya integrasi-sosial.html). Sementara definisi lain
saling bergantungan. Saling bergantungan dalam mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana
pekerjaan terjadi jika dua kelompok organisasi kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan
yaang saling membutuhkan satu sam lain guna bersikap komformitas terhadap kebudayaan
menyelasaikan tugas. Konflik juga terjadi karena mayoritas masyarakat, namun masih tetap
perbedaan tujuan diantara satu bagian denga mempertahankan kebudayaan mereka masing-
bagian yang lain yg tidak sepaham. Konflik juga masing. Dan integrasi ini memiliki dua
muncul jika terjadi perbedaan persepsi atau pengertian, yaitu :
pendapat. Dalam hal menghadapi suatu masalah, 1. Pengendalian terhadap konflik dan
perbedaan persepsi yang ditimbulkan inilah yang penyimpangan sosial dalam suatu sistem
menyebabkan munculnya konflik (Sopiah, sosial tertentu.
2008:37). 2. Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan
Menurut Dahrendorf berkaitan dengan unsur-unsur tertentu.
masalah konflik bahwa tidak selalu pemilik Di samping itu disebutkan bahwa
sarana-sarana yang dianggap ideal bertugas integrasi adalah pembauran sesuatu yang tertentu
sebagai pengontrol. Lebih lanjut, Jonathan Turner hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.
merumuskan teori konflik dalam tiga Istilah pembauran tersebut mengandung arti
pandangannya yaitu: masuk ke dalam, menyesuikan, menyatu, atau
a. Tidak ada defenisi yang jelas tentang teori melebur sehingga menjadi satu. Sementara
konflik sehingga tidakdapat dibedakan menurut Banton bahwa integrasi sebagai suatu
karena penggunaan istilah pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan
b. Teori konflik mengambang karena ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan
analisisnya tidak di jelaskan makna penting pada perbedaan ras tersebut
c. Teori konflik sulit terlepas dari teori (http://anandalangkai.blogspot.com/2015/02/mak
fungsional karena merupakan reaksi dari alah-sosiologi-integrasi-sosial.html)
teori struktur fungsional. C. METODE PENELITIAN
Berbeda dengan Turner, Luis A. Coser 1. Jenis dan Lokasi Penelitian
mengatakan bahwa konflik dapat menempatkan
dan menjaga garis batas antara dua atau lebih Penelitian ini adalah penelitian sejarah,
kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat sehingga pendekatan penelitian yang digunakan
memperkuat kembali identitas kelompok dan adalah pendekatan sejarah. Pendekatan ini
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia dilatarbelakangi oleh bentuk datanya dari tema
sosial sekelilingnya. Coser melihat katup penelitian ini, yakni “Tabbaka: Konflik dan
penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang Integrasi Awal Kerajaan Arungkeke Jeneponto
meredakan perumusan, yang tanpa itu hubungan- pada Abad XVII”. Tabbaka sendiri secara realita
hubungan di antara pihak-pihak yang pada masa itu merupakan tempat pelantikan para
bertentangan akan semakin menajam. Katup raja Arungkeke. Sebelum dijadikan sebagai
penyelamat (savety-value) ialah salah satu tempat pelantikan raja-raja Arungkeke, tempat ini
mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk adalah yang sangat bersejarah dan saat
mempertahankan kelompok dari kemungkinan meninggalkan jejak sejarah. Baik secara
konflik sosial. arkeologis maupun aspek-aspek lainnya.
4

Penelitian ini menggunakan analisis Nugroho Notosusanto dan Kuntowijoyo, yaitu


deskristif dalam menjelaskan setiap alur sebagai berikut :
peristiwa. Sumber atau data yang ditemukan 1. Heuristik, yaitu proses pengumpulan atau
dianalisis lewat kritik sumber, kemudian menghimpun jejak-jejak sejarah atau
digambarkan dengan konkrit sesuai dengan fakta peristiwa masa lampau.
sejarah. Untuk menyesuaikan dengan ciri khas 2. Krititik sejarah, yaitu menyelidiki apakah
dari ilmu sejarah, maka untuk mengeksplanasi sumber-sumber sejarah atau jejak-jejak masa
peristiwa harus secara kronologis dan lampau itu bisa dimanfaatkan dalam
kontinuitas, beriringan dengan temporal waktu penelitian atau tidak, baik menyangkut
yang ditetapkan dan spasial atau wilayah yang bentuknya maupun yang menyangkut isinya
diteliti. kandungannya.
Penelitian sejarah ini prosesnya berfokus 3. Interpretasi, yaitu penafsiran terhadap
pada Tabbaka sebagai tempat pelantikan para raja sumber-sumber yang dikritik sebelumnya
Arungkeke. Hal ini berarti bahwa penelitian ini dengan menempatkan makna yang saling
melakukan analisis terhadap keadaan dan berhubungan dari fakta-fakta yang telah
perkembangan serta pengalaman masa lalu diperoleh dan dikritik tadi.
Kerajaan Arungkeke. Oleh karena itu, perlu 4. Penyajian sejarah, yaitu proses
untuk mempertimbangkan secara hati-hati dan pengungkapan analisis dalam bentuk cerita
teliti terutama bukti dan validitas sumber sejarah yang bermuatan fakta-fakta yang telah
dan menginterpretasi dari keterangan yang diinterpretasi. Atau dengan kata lain
diperoleh. Dengan demikian, bentuk penyusunan penyajian atau menyampaikan sintesa yang
yang dilakukan dengan menggunakan metode diperoleh dalam bentuk kisah sejarah
historis atau metode sejarah. (Nugroho Notosusanto, 1978: 17).
Metode sejarah adalah seperangakat asas Prosedur kerja yang dikemukakan
dan kaidah-kaidah sistematis yand diubah untuk tersebut di atas, dalam pelaksanaannya harus
membantu secara efektif dalam mengumpulkan sistematis, sesuai dengan urutannya. Maksudnya
sumber-sumber sejarah. Sumber sejarah tersebut proses heuristik harus mendahului kritik sumber
dinilai secara kritis dan dapat menyajikan suatu karena tidak ada sumber yang dikritik kalau tidak
sintesis dari hasil yang pada umunya berbentuk ada sumber atau jejak-jejak sejarah. Demikian
tulisan atau historiografi. Pendapat itu di perkuat juga interpretasi dilakukan setelah melalui tahap
oleh (Gottschalk (1985 :96) yang menyatakan penilaian atau kritik sumber, begitu pula
bahwa metode sejarah adalah suatu proses untuk penyajian dalam bentuk narasi atau cerita setelah
menganalisa peninggalan masa lalu yang dapat dilakukan interpretasi.
dikonstruksi secara imajinatif berdasarkan data- D. PEMBAHASAN
data yang diperoleh. Hasil rekontruksi secara 1. Tabbaka dan Awal Terbentuknya
imajinatif akan diperoleh gambaran tentang Kerajaan Arungkeke
kehidupan masa lampau yang sering disebut Arungkeke adalah satu kerajaan yang
historiografi. dianggap kecil dan memiliki pengaruh besar di
Sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu kerajaan sekitarnya. Proses terbentuknya kerajaan
sosial yang mengkaji tentang hal-hal yang ini tidak jauh berbeda dengan kerajaan yang ada
berkaitan dengan masalah sosial dan mengkaji di Sulawesi Selatan pada umumnya. Di mana
peristiwa yang terjadi pada masa lampau, konstelasi politik kerajaan yang ada di Sulawesi
haruslah memiliki metode tersendiri yang dalam Selatan pada masa lampau selalu punya
Ilmu Sejarah disebut metode historis (metode kecenderungan untuk melakukan konsolidasi atau
sejarah) yang meninjau suatu masalah menyelesaikan masalah lewat pihak ketiga
berdasarkan perspektif sejarah. Metode inilah dengan apa yang disebut Tu Manurung (Ahimsa
yang digunakan dalam penelitian karya ini yang Putra, 1988:43-48).
berjudul ”Tabbaka: Konflik dan Integrasi Awal Sebagaimana halnya kerajaan lain yang
Kerajaan Arungkeke Kabupaten Jeneponto Abad ada di Sulawesi Selatan, Kerajaan Arungkeke
XVII”. Adapun metode sejarah itu menurut juga bermula dari munculnya Tu Manurung
dengan sosok wanita cantik yang dipercaya
5

berasal dari kayangan. Tumanurung ini diberi Bungeng dan lain-lain. Kerajaan ini berdiri
nama Toalu Daeng Tabba, turun di Arungkeke, sekitar abad XVII, dan diperkirakan mendapat
tepatnya di atas batu, di bawah pohon asam, di pengaruh Bugis yang nampak pada kata “Arung”
ayun oleh pengawal dan budak yang dalam kata Arungkeke (CaldwellW. Bougas,
menyertainya. Konon, ia berasal dari emas 2004: 20-21) setelah perang Makassar.
karena semua alat-alat yang dipakainya terbuat Silsilah raja Kerajaan Arungkeke juga
dari emas, termasuk baju, mahkota, lesung, alu, menyebutkan tentang kehadiran bangsawan
perhiasan dan benda-benda lain yang ia bawa orang Bone yang sengaja meninggalkan Kerajaan
serta. Saat kemunculannya yang tiba-tiba itu, ia Bone untuk menghindari perang saudara antara
membunyikan lesung dengan alu di bawah pohon Kerajaan Bone dengan Kerajaan Gowa.
asam, diiringi suara ganrang bulo (gendang Bangsawan dari Kerajaan Bone ini bernama
bambu) dan alat musik lainnya (Wawancara Arung Mutara yang pergi meninggalkan Bone
Dengan Hj. Mari, 16 Oktober 2016). dan menetap di Kerajaan Arungkeke. Kemudian
Tu Manurung atau sosok wanita cantik beliau menikahi keturunan Tu Manurunga di
itu ketika ditanya oleh perwakilan-perwakilan Tabba Arungkeke yang bernama Karaeng Intang.
masyarakat yang ada di Arungkeke tentang asal Setelah berhasil mempersunting Karaeng Intang,
usulnya, Tu Manurung menjawab dengan hanya tidak lama waktu berselang, beliau dinobatkan
menyebut bahwa ia juga tidak tahu, bisa saja menjadi raja Kerajaan Arungkeke yang pertama
berasal semua arah mata angin tanpa menyebut kali dilantik di Tabbaka. Setelah itu, jabatan raja-
satu wilayah atau daerah. Oleh karena tidak raja berikutnya di Kerajaan Arungkeke adalah
diketahui asal usulnya, maka semua perwakilan keturunan beliau.
menyebutnya Tu Manurung, kemudian diberi Demikian juga penetapan tempat awal
gelar Toalu Daeng Tabba. Sementara pemberian Arungkeke sering terjadi perbedaan pendapat dari
nama gelaran “Toalu Daeng Tabba” karena dua tempat yang kita kenal sekarang. Apakah
kemunculan dan keberadaannya memakai simbol Arungkeke awal adalah Arungkeke yang kita
“Alu dan Lesung”. Sementara awalan To kenal sebagai Arungkeke Tamanroya sekarang
sebelum kata Alu menunjuk kepada orang, jadi dekat Pallengu. Yang dalam hal ini sebagai
toalu berarti orang Alu (bukan berasal dari daerah wilayah Desa Arungkeke sekaligus menjadi ibu
Alu) tetapi alu yang dipakai menumbuk padi di kota Kecamatan Arungkeke. Kemudian pendapat
lesung. Sedangkan kata “daeng” dan kata “tabba” lain, apakah Arungkeke awal yang kita kenal
memiliki makna yang berbeda. Kata daeng dalam adalah Arungkeke Pallantikan dan sekarang
masyarakat Makassar dan bahkan dalam sejarah menjadi Desa Arungkeke Pallantikan. Dengan
Sulawesi Selatan termasuk suku Bugis Makassar. adanya pembagian desa antara Desa Arungkeke
Beberapa sumber menyebut bahwa kata daeng itu dengan Desa Arungkeke Pallantikan
adalah gelar keningratan atau kebangsawanan menunjukkan adanya pengertian dan pemahaman
tinggi Bugis Makassar, di samping gelar baru tentang di mana tempat Kerajaan Arungkeke
bangsawan lainnya, sedangkan tabba adalah awal. Kenyataan ini bisa ditelusuri berdasarkan
wilayah tempat turun Tu Manurung (Wawancara fakta-fakta kelampauan Arungkeke sebagai
Dengan Hj. Mari, 16 Oktober 2016). tempat dan nama kerajaan adalah fakta-fakta
Arungkeke merupakan kerajaan ini berupa benda dan fakta-fakta sosial di antara dua
sangat diperhitungkan atas kebesarannya dan tempat tersebut di atas.
hubungan dagangnya dengan dunia luar. Fakta benda yang dimaksud adalah
Khususnya di wilayah Turatea dan bahkan secara sebuah batu besar yang dipercayai dan diyakini
umum di Sulawesi Selatan. Arungkeke banyak sebagai tempat pelantikan raja-raja Kerajaan
dikenal melakukan perhubungan dengan wilayah Arungkeke yang terpilih. Tempat keberadaan
kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Kerajaan batu yang dimaksud, sekarang berada di Desa
Arungkeke sebagai kerajaan lokal memiliki Arungkeke Pallantikan. Kata ”pallantikan” yang
wilayah kekuasaan dengan meliputi Arungkeke berarti tempat pelantikan raja-raja Arungkeke,
sendiri, Tamanroya, Punagaya, Petang, Pallengu, hal ini mengindikasikan bahwa Arungkeke
Boronglamu, Alla-alla, Pattiroang, Bonttorappo, Pallantikan adalah Tabbaka dulu. Tapi baik
Palajau, Bulo-bulo, Arungkeke Palantikan, Arungkeke Pallantikan maupun Arungkeke
6

Tamanroya adalah wilayah Kerajaan Arungkeke. Memasuki akhir abad ke-XVII,


Jadi Arungkeke Pallantikan adalah tempat Arungkeke mengalami perubahan status sebagai
pelantikan raja-raja, sedangkan Arungkeke kerajaan yang bernaung di bawah Kerajaan
Tamanroya adalah tempat istana Kerajaan Binamu, sebagai domain atau daerah istimewa.
Arungkeke. Pada saat itu, Kerajaan Arungkeke tetap eksis
Peristiwa Tabbaka adalah peristiwa dan indevenden dalam urusan internal
munculnya Tu Manurung pertama kali di wilayah kerajaannya. Walaupun pada saat itu, Kerajaan
yang dikenal Tabbaka. Pemberian nama Tabbaka Arungkeke tidak bersedia ikut atau tunduk, atau
itu sebagai wilayah karena dilatarbelakangi oleh mau bekerja sama dengan Kerajaan Binamu
peristiwa tabba (perang). Sedang kata tabba seperti yang dikemukakan oleh karim
dalam beberapa pendapat dan sumber (Wawancara dengan Karim) bahwa pada waktu
menyebutkan bahwa tabba secara harfiah dalam ada rencana perubahan untuk menjadikan
bahasa Makassar berarti perang. Tabba atau Kerajaan Binamu sebagai kerajaan besar. pada
perang adalah kebiasaan para pengembala rencana itu, ada beberapa kerajaan yang ada di
diselah-selah kesibukannya mengembala Turatea mau disatukan dengan Kerajaan Binamu
ternaknya. Namun sepanjang tanah lapang itu, dan salah satu diantaranya adalah Kerajaan
tumbuh juga pohon-pohon sebagai tempat Arungkeke.
berteduh para pengembala dan ternaknya. Oleh Sebagaimana diuraikan di atas bahwa
karena tempat itu sering dipergunakan sebagai Tabbaka secara harfiah dapat diartikan sebagai
tempat tabba (perang/saling melempar) maka berperang tetapi dalam sejarah Kerajaaan
tempat itu diabadikan menjadi wilayah yang Arungkeke Tabbaka adalah tempat turunnya
disebut Tabbaka, artinya tempat melakukan pertama kali Tu Manurung yang beralaskan batu
permainan tabbaka yang berarti saling lempar besar. Dan sebagai penghormatan kepada Tu
melempar (Wawancara Dengan Hj. Mari, 16 Manurung, tempat itu diabadikan sebagai tempat
Oktober 2016). raja-raja Arungkeke dilantik di atas batu besar,
Tabbaka merupakan tempat atau lokasi dan di bawah pohon asam, disampin makam
yang ada di sekitar tempat datangnya Tu Karaeng (raja) Arungkeke Arung Mutara Daeng
Manurung yang berada dalam wilayah Tabba bersama permaisurinya Karaeng Intang.
Kekaraengan Arungkeke. Kemudian dalam Raja pertama yang dilantik di Tabbaka adalah
perkembangannya Tabbaka berubah menjadi Arung Mutara setelah dilantik menjadi raja
pemakaman raja-raja dan keluarga bangsawan Arungkeke dan setelah menikah dengan anak
kerajaan. Sementara Tabbaka sendiri diabadikan Karaeng Baine bernama Karaeng Intang.
sebagai lokasi atau tempat pelantikan raja-raja Arung Mutara adalah bangsawan tinggi
Kerajaan Arungkeke. Sebab di tempat atau di di Kerajaan Bone yang meninggalkan keluarga
lokasi itu adalah tempat di mana Tu Manurung besarnya di Bone untuk menghindari perang
pertama kali muncul sehingga diabadikan secara saudara dengan Kerajaan Gowa. Sehingga beliau
khusus untuk membedakan dengan tempat lain. meninggalkan Bone menuju Arungkeke dengan
Sebagai penghormatan kepada Tu Manurung, membawa pelayan, prajurit, dan harta
maka tempat atau lokasi itu diabadikan menjadi kekeyaannya. Arung Mutara diberi gelar Daeng
tempat pelantikan raja-raja Arungkeke sampai Tabba Karaeng Arungkeke sesuai dengan nama
berakhirnya masa kerajaan. Sehingga setiap kali tempat pelantikan di Tabbaka oleh rakyat
mengadakan pallantikang karaeng (pelantikan kerajaan setempat dan diikuti oleh beberapa raja
raja), selalu dilakukan di bawah pohon asam kerajaan kecil di Arungkeke lainnya. Arung
sambil diayun, kemudian memperdengarkan Mutara Daeng Tabba Karaeng Arungkeke
suara tumbukan lesung dan alu (melakukan bersama permaisuri Karaeng Intang setelah
paddeko), dan suara ganrang bulo, serta alat wafat, beliau berdua dimakamkan di Tabbaka
musik lainnya yang berusia ratusan tahun. Alat dekat tempat pelantikan raja-raja Arungkeke
musik ini dikenal dengan nama Ganrang Talluna (Wawancara dengan Jupel Makam Tabbaka,
Arungkeke (Wawancara dengan S. Karaeng Tika, Sunardi, 17 Oktober 2016)
12 Oktober 2016). Pada perkembangan selanjutnya,
Tabbaka melatarbelakangi pemberian nama Desa
7

Arungkeke Pallantikan sebagai tempat pelantikan 2. Konflik dan Integrasi Sosial Budaya dan
raja-raja Arungkeke. Pada saat pembentukan Politik di Kerajaan Arungkeke Abad
desa, Tabbaka menjadi bagian wilayah Desa XVII
Tamanroya tetapi sekarang dikenal Desa Masyarakat dalam kondisi tertentu dapat
Bungeng Kecamatan Batang (Camat Batang merupakan sistem sosial, jika di dalamnya
2002-2005). Sementara Tabbaka dan sekitarnya didapati bagian-bagian atau unsur-unsur yang
berdiri sendiri dengan nama Desa Arungkeke saling berhubungan dan saling menyatu dalam
Pallantikan. Terbentuknya Desa Arungkeke keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu
Pallantikan sebagai salah satu alasan untuk tidak bagian akan membawa perubahan pula terhadap
memisahkan diri dari Kerajaan Arungkeke pada bagian lainnya. Sehingga dengan demikian
masa lampau. sebagai anggota masyarakat yang menginginkan
Kerajaan Binamu sebelum Perang hidup dalam suasanan keharmonisan, maka
Makassar pada pertengahan abad XVII masing-masing harus bersedia memberi fungsi
merupakan daerah bawahan Kerajaan Gowa. secara timbal-balik dan konstan berkualitas.
Posisi ini sebagai hasil ekspansi Kerajaan Gowa Arungkeke sebagai desa yang telah lama hadir
ke daerah-daerah sekitarnya sejak masa bersama dengan sistem sosial budaya yang ada di
pemerintahan Raja Gowa IX Tumapa’risi dalamnya juga telah mengalami proses untuk
Kallonna. Namun pra dan setelah Perang mempertahankan eksistensi pada sistem sosial
Makassar, Turatea dimasukkan dalam kategori tertentu. Tetapi juga telah berproses dalam
kelompok Bugis bersama dengan Bone dan perubahan yang hampir mereka tidak sadari oleh
Soppeng. Pembentukan kelompok etnis ini pendukungnya.
diduga dibentuk dan dibangun oleh Spelmam Sehubungan dengan kehidupan sosial
sebagai penguasa perwakilan VOC Belanda. budaya masyarakat di Arungkeke yang sekarang
Pembentukan kelompok Bugis dan Makassar menjadi Kecamatan Arungkeke, maka dalam hal
oleh Belanda ini adalah untuk memenuhi niat ini kita akan melihat pada beberapa segi sosial
devide impera Belanda terhadap kawasan budaya. Aspek-aspek sosial budaya masyarakat
Sulawesi. Menurut catatan dan keterangan dari yang akan kita kemukakan. Aspek-aspek yang
Edward L Poelinggomang bahwa Turatea sebagai dimaksud, antara lain menyangkut adat istiadat
Bugis tidak bertahan lama setelah Arung Palakka masyarakat Arungkeke. Termasuk hubungan
tidak mampu mempengaruhi secara utuh Turatea. antara seseorang dengan orang lain dalam
Perubahan-perubahan dalam sistem kaitannya denga pemilikan tanah, agama dan
pemerintahan kerajaan terjadi sejak Belanda keyakinan masyarakat, strata sosial
menguasai Sulawesi Selatan pada umumnya. masyarakatnya serta tingkat pendidikan
Pada masa Kolonial Belanda inilah sering terjadi masyarakat Arungkeke.
perubahan dalam politik pemerintahan. Hal ini Setiap masyarakat khususnya masyarakat
terjadi sejak zaman lampau bagi kerajaan yang tradisional yang ada di Indonesia mengenal adat
dikuasai langsung seperti perubahan-perubahan istiadat yang selalu ditaati oleh anggota
status daerah-daerah di Kerajaan Gowa. masyarakatnya. Adat istiadat sebagai aturan yang
Perubahan status Kerajaan Gowa dapat terlihat tidak tertulis yang berkembang dalam kehidupan
pada saat kekalahan kerajaan Gowa oleh VOC, masyarakat. Bahkan telah menjadi suatu hukum
yaitu sekitar tahun 1667. Bersamaan dengan itu yang disebut dengan hukum adat. Hal ini
Turatea berada di bawah penguasaan Belanda dilakukan karena adat istiadat yang sering
sebagai penjajah. Masuknya penjajahan Belanda mewarnai kehidupan masyarakat. Terkadang pula
di Kerajaan Gowa secara umum, termasuk mempengaruhi berbagai aspek-aspek dan
Kerajaan Binamu dan Arungkeke sebagai salah pranata-pranata sosial masyarakat yang ada di
satu daerah kekuasaannya. Maka status daerah dalamnya. Tetapi adat istiadat itu menjadi wadah
inipun berubah bersamaan dengan perubahan- untuk menampilkan dan menghadirkan perilaku
perubahan status daerah-daerah lainnya di sosial dalam mempertahankan eksistensi mereka.
Kerajaan Gowa dan bawahannya. Sehingga pada Eksistensi ini terutama ditujukan kepada warga
saat itu Binamu yang membawahi Arungkeke masyarakat setempat. Ditujukan pada penganut
berubah menjadi Onder Afdeeling Binamu.
8

dan pendukung adat yang hadir pada saat ritual perkawinan (Husain Saidong, 2001: 17) yang
itu dilaksanakan dalam masyarakat setempat. sampai sekarang tetap merupakan bentuk
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi perkawinan yang baik.
sebagai pedoman hidup manusia dalam Bukan hanya persolan adat perkawinan
masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai yang mengalami perubahan pada satu sisi dan
budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai mempertahankan eksistensinya pada sisi lain,
ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sebut saja persolan adat istiadat kematian.
sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Memperlakukan orang meninggal, juga
Namun justru karena sifatnya yang umum, luas mengalami pergeseran jika dibandingkan pada
dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya itu masa lampau di Arungkeke. Dalam masyarakat
tidak tenggelam dengan zaman. Tetapi nilai-nilai Arungkeke pada masa lampau telah mengenal
dari suatu kebudayaan itu berada dalam daerah adat kematian atau dalam istilah setempat disebut
emosional dari alam jiwa para individu sebagai pattumateang (Husain Saidong, 2001: 18). Adat
warga bagian dari kebudayaan tersebut. Namun kematian atau pattumateang merupakan proses
harus diakui bahwa nilai-nilai memiliki perlakuan terhadap orang yang telah meninggal
kekurangan. Sehingga efek lain dari nilai-nilai dunia, dan perlakuan tersebut telah dilakukan
abstrak itu, apa lagi dengan kurangnya kontrol secara turun temurun sehingga menjadi adat
yang tegas sebagai sebagai bentuk dan wujud kebiasaan masyarakat setempat. Pelaksanaan atau
kelemahannya. penyelenggaraan jenazah di Jeneponto secara
Kelemahan itu terjadi karena tidak umun dan Arungkeke khususnya telah ada sejak
memiliki lembaga kontrol dalam masyarakat, dan dahulu (zaman kerajaan). Pattumateang
kalaupun lembaga adat dijadikan lembaga mengenal beberapa tahap perlakuan mayat seperti
kontrol, tetapi lembaga ini tidak mampu proses pengurusan awal jenazah, proses
menjangkau semua elemen masyarakat. memandikan, proses mengkafani, proses
Walaupun anggota masyarakat itu sendiri menshalatkan, mempersiapkan usungan, proses
sesungguhnya adalah bagian dari kontrol sosial penguburan dan apa yang disebut attumate
dalam masyarakat. Dari pemahaman itulah, maka (Husain Saidong, 2001: 18).
konsep-konsep yang masuk dalam kategori adat Tahap-tahap tersebut mengisyaratkan
istiadat yang ada di daerah ini dianggap perlu keterlibatan orang dalam proses pattumateang
disampaikan untuk memahami lebih jauh karena orang yang telah meninggal dunia
hubungan-hubungan yang terjadi dalam hanyalah perpindahan tempat dari alam dunia ke
masyarakat secara luas. Hal itu bisa kita pada alam kubur. Sehingga sang mayat harus
persoalan perkawinan secara adat, dan persoalan diperlakukan dengan adat yang baik agar roh
stratifikasi sosial. sang mayat tidak bergentayangan mengganggu
Adat perkawinan dalam masyarakat di manusia. Secara sosial, perlakuan orang mati
Jeneponto, termasuk masyarakat di Arungkeke, juga mencerminkan nilai dan status sosial orang
sejak masa lampau tidak jauh berbeda dengan yang telah meninggal dunia. Sehingga keluarga
sistem adat perkawinan yang berlaku di daerah yang ditinggalkan wajib menunaikannya karena
lainnya di Sulawesi Selatan. Yaitu masyarakat dianggap aib dan gensi dalam masyarakat. Dalam
yang didominasi oleh suku Bugis, Makassar, masyarakat sering ada kepercayaan bahwa orang
Mandar dan Toraja. Namun dalam prakteknya mati baru dianggap betul-betul pergi setelah
atau di dalam pelaksanaannya ada bagian-bagian empat puluh hari berada dalam kuburan.
yang sengaja diadakan, dibentuk dan dibangun Sehingga sering mengganggu manusia jika
berdasarkan syarat-syarat keluarga atau syarat- kematiannya tidak diperlakukan dengan baik
syarat guru atau penasehat mempelai. Guru atau sesuai dengan adat istiadat yang berlangsung
penasehat mempelai yang dalam istilah setempat secara turun temurun.
disebut Anrong Bunting. Walaupun demikian Pelaksanaan adat semacam ini sampai
tetap banyak anggota masyarakat pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an masih
mempertahankan adat perkawinan itu sangat kental walaupun ada perubahan namun
berdasarkan sistem tradisionalnya yang telah tidak bersifat mendasar dan mencolok.
lama dikenal dan telah turun temurun. Bentuk Memasuki tahun 1980-an sampai sekarang juga
9

mengalami perubahan, utamanya menyangkut Sementara pertanian kawasan pantai dikenal tiga
pelaksanaannya serta status sosial si mayat. jenis pertanian, yaitu petani nelayan (penangkap
Misalnya bahwa saat sekarang ini pembedaan ikan laut), petani penggarap empang (budidaya
golongan masyarakat sudah mulai berkurang ikan, udang dan penggaraman, serta sekarang
dalam memperlakukan si mayat. Menurut dikenal budidaya rumput laut) dan yang ketiga
pengamatan, hal ini disebabkan oleh perubahan adalah petani yang disebut pelayar/ pedagang
sistem sosial yang mengarah pada persamaan hak (Hammado Tantu, 1988: 279).
yang hanya dibedakan oleh tingkat ketakwaan, Selain itu Arungkeke memiliki
pemahaman keagamaan, pendidikan dan lain-lain pelabuhan yang teduh dan aman, baik dari
berdasarkan ukuran dalam masyarakat pengaruh gelombang laut muson barat maupun
(Wawancara dengan Abdul Halid Tamal, 20 jaminan keamanan pada saat transaksi barang,
Oktober 2016). Selain itu, kondisi tersebut juga termasuk terhindar dari pengacau, pencurian dan
mencerminkan tingkat keagamaan, keteladanan, perampokan. Pelabuhan Arungkeke pada saat itu,
perilaku dan kebesaran serta kesuksesan sang juga dijadikan sebagai tempat berlabuhnya
mayat yang dilihat dari banyaknya orang yang berbagai perahu dan kapal dagang dari berbagai
datang melayat dan ikut mensukseskan daerah. Yang menarik pula di sekitar pelabuhan
pattumateang. pantai, karena tempat ini begitu dekat dengan laut
3. Kehidupan Sosial, Budaya dan Politik di tetapi air tawar sangat mudah diperoleh dan ini
Wilayah Kerajaan Arungkeke Dewasa Ini masih terlihat sampai sekarang (Bougas, 2004:
20).
Kehidupan masyarakat di manapun di
Pada tahun 1952 pemerintah gabungan
muka bumi ini, baik dilihat dari segi
Selebes Selatan dibubarkan dengan peraturan
kesederhanaan maupun dilihat dari kompleksitas
pemerintah pusat pada tanggal 12 Agustus 1952
masyarakat tersebut selalu memiliki aturan-
No. 34. Sekaligus mengubah daerah-daerah
aturan tertentu. Baik peraturan yang hanya
Kerajaan Gowa menjadi daerah Swatantra
berlaku untuk lingkungan internal dan berlaku
Tingkat II sebelum kabupaten digunakan. Daerah
hanya untuk kalangan sendiri, maupun peraturan
swatantra ini bersifat otonom berdasarkan
yang berlaku secara umum untuk segenap
Undang-undang NIT 1950 No. 44. Setingkat
anggota masyarakat secara keseluruhan. Maka
dengan daerah kabupaten Swatantra Tingkat II,
dengan demikian aturan dalam masyarakat sangat
menurut Undang-undang 1948 No.22 ciptaan
diperlukan untuk mampu menjaga keharmonisan
Republik Yogyakarta. Kabupaten Makassar yang
di antara anggota masyarakatnya.
meliputi onder afdeeling-onder afdeeling lama,
Sehingga mau tidak mau setiap anggota
yaitu: Gowa, Takalar, Jeneponto, Maros dan
masyarakat dituntut untuk memiliki kesanggupan
Pangkajene (Bougas, 2004: 23).
bekerjasama. Adanya kerjasama dan interaksi
Sejak tahun 1961 daerah Arungkeke
secara tertentu, serta berkualitas terhadap
berada di bawah naungan distrik Arungkeke/
aktifitas yang mereka lakukan, kemudian
Batang, yang terdiri dari beberapa wilayah seperti
bermanfaat terhadap anggota lainnya, maka akan
Wilayah Arungkeke dan Tarowang masuk di
dapat menjadi suatu sistem sosial budaya
dalamnya. Selanjutnya pada tahun 1965
masyarakat (Soeprapto, 1996. 31). Letak
berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1965
geografis seperti itu memungkinkan
tentang pokok-pokok pemerintahan desa praja.
dikembangkannya sistem mata pencaharian hidup
Maka pemerintahan wilayah Arungkeke dan
berupa pertanian ladang, nelayan di samping
beberapa wilayah lainnya masing-masing diberi
tambak dan ladang penggaraman. Jenis aktifitas
nama bori. Kemudian dari pemerintahan Bori
yang banyak dikembangkan, yaitu aktifitas dalam
Arungkeke dimekarkan menjadi beberapa
bidang pertanian, baik pertanian kawasan darat
pemerintahan wilayah gallarrang antara lain:
maupun pertanian kawasan pantai. Pertanian
Gallarrang Petang, Gallarrang Tamanroya,
kawasan darat berlangsung pada musim hujan
Gallarrang Pallengu, Gallarrang Lassang-lassang,
dengan menghasilkan produksi seperti padi,
Gallarrang Tunrungganrang, Gallarrang
jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian, buah-
Boronglamu, Gallarrang Alla-alla, Gallarrang
buahan, sayur-sayuran dan hasil tanaman lainnya.
Bontorappo, dan Gallarrang Bungeng
10

(Wawancara dengan S. Karaeng Tika, 12 peningkatan jumlah penduduk. Bahkan terlihat,


Oktober 2016). bahwa pertambahan penduduk tersebut
Kondisi tersebut memunculkan berbagai bersamaan dengan pertambahan atau perubahan-
persoalan, termasuk syarat adat-adat desa tidak perubahan daerah secara administrasi.
boleh dihilangkan begitu saja tetapi harus tetap Maksudnya bahwa perubahan itu sejalan dengan
dipertahankan dan dilestarikan. Terutama kepala perubahan sistem pemerintahan yaitu berubahnya
kelurahan harus bangsawan yang berasal dari menjadi Kabupaten dengan jumlah kecamatan
Arungkeke sendiri. Sebab menurut keterangan sebanyak lima buah. Khusus untuk Kecamatan
lain bahwa orang Arungkeke khususnya para Batang terdiri dari 12 buah desa dengan jumlah
bangsawan (para karaeng) tidak mau diperintah penduduk 48. 307 orang pada tahun 1980. Dari
oleh orang luar Arungkeke apa lagi bukan 12 desa di Kecamatan Batang, Arungkeke
golongan karaeng. Syarat inilah yang belum bisa tercatat paling tinggi jumlah penduduknya tetapi
di penuhi oleh pemerintah daerah Kabupaten sebanding dengan luas wilayahnya. Arungkeke
Jeneponto (Surat Pernyataan kepala Desa sebelum dimekarkan menjadi beberapa desa
Arungkeke, Drs. Sultan Karaeng Duppa, 10, Mei, adalah wilayah yang sangat luas di Kecamatan
1997). Batang (Sahajuddin, 2008: 57-58).
Kecamatan Arungkeke yang pada saat itu Selanjutnya pasca Arungkeke sudah
masih berstatus Gemenschap, jumlah penduduk berada pada Kecamatan Batang, pertambahan
hasil cacah jiwa tahun 1944, tersebut adalah penduduknya semakin meningkat. Demikian juga
sebagai berikut: Binamu 112. 456 orang, perubahan-perubahan penduduk khusus di Desa
Bangkala 23. 616 orang, Arungkeke 6. 173 Arungkeke, yakni kurang lebih 4, 478 orang
orang dan Tarowang 5. 471 orang. Selanjutnya sampai pada tahun 1980 seperti yang tercatat
cacah jiwa yang dilakukan pada tahun 1974, pada data penduduk Desa Arungkeke
setelah status Jeneponto menjadi sebuah (Sahajuddin, 2008: 58).
Kabupaten berjumlah sebanyak 213. 329 orang Sementara dalam bidang pertanian, sejak
yang tersebar di lima Kecamatan masing-masing lama penduduk di daerah ini telah mengenal
sebagai berikut: Kecamatan Binamu 47.438 sistem pertanian, terutama penanaman padi di
orang, Kecamatan Bangkala 42.173 orang, sawah dan penggaraman di empang. Oleh karena
Kecamatan Tamalatea 48.126 orang, Kecamatan itu pertanian merupakan mata pencaharian pokok
Batang 38.323 orang dan Kecamatan Kelara masyarakatnya. Di samping itu banyak juga
37.224 orang. (Sahajuddin, 2008: 57). melakukan aktivitas kehidupan di laut, baik
Arungkeke dalam hal ini sudah masuk sebagai nelayan maupun sebagai pelaut yang
melebur di Kecamatan Batang bersama dengan menggunakan perahu-perahu tradisional.
Tarowang. Melihat komposisi penduduk Perubahan status kepemilikan tanah mulai
Kecamatan Batang pada masa berstatus berubah ketika sistem kerajaan sudah mulai
Gemenschap sebanyak kurang lebih 38. 323 menurun, apa lagi ketika Belanda melakukan
orang yang kemudian pada selang waktu kurang penetrasi politik, sosial ekonomi dan budaya.
lebih tiga puluh enam tahun (36 thn) yakni Kemudian perubahan diteruskan pada masa
sampai pada tahun 1980, penduduk yang pendudukan Jepang.
mendiami Kecamatan Batang sudah mencapai Suatu Masyarakat pedesaan yang tenang
42. 173 orang. Ini berarti bahwa ada peningkatan dan damai karena didukung oleh keteraturan
pertumbuhan penduduk yang cukup besar, yaitu hidup yang ada di dalamnya. Keteraturan itu
bertambah sekitar 3.850 orang atau rata-rata sendiri harus didukung oleh pemerintahan yang
bertambah 106, 95 orang pertahun. Dan kalau bijaksana, norma-norma yang beretika serta nilai-
diprosentasekan pertambahannya mencapai nilai kepercayaan yang universal. Kepercayaan
38,5%. Pertambahan ini pada tahun itu dianggap masyarakat Arungkeke pada umumnya dilihat
pertambahan penduduk yang cukup tinggi jika pada sisi agamanya dapat dipastikan bahwa pada
dibandingkan dengan daerah lainnya di umumnya menganut agama Islam. Sementara
Jeneponto. Arungkeke sendiri pada masa awal
Demikian juga halnya di daerah-daerah perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan
lainnya yang juga mengalami perubahan atau dijadikan sebagai pusat syiar dan perkembangan
11

agama Islam khususnya di Jeneponto. Hal ini Integrasi Bangsa”, dalam buku Muhklis
terlihat jelas dengan berdirinya kelompok kajian (Editor), 1986, Dinamikan Bugis
Islam (pesantren) yang dimotori para ulama/ Makassar, Sinar Krida, Makassar
Kyai. Perkembangan selanjutnya didirikanlah
pesantren di Jeneponto yang berlokasi di Amir, 2010. Sejarah Arungkeke Jeneponto
Arungkeke sejak beberapa puluh tahun yang (online), (hhtp;//ww.
lalu dan masih eksis sampai sekarang. Kompasiana.com/amir/sejarah rung-
Kesimpulan keke-jeneponto-sul-sel, diakses 01juni
2016)
1. Kerajaan Arungkeke sejak awal berdirinya
merupakan kerajaan yang otonom, bukan Arifin, H.M,2000. Kapita Selekat Pendidikan
merupakan kerajaan bawahan dari kerajaan Islam dan umum..Jakarta : Bumi Aksa.
lain. Walaupun dalam perkembangan
selanjutnya kerajaan ini bergabung dan Arifin, H.M,1994. Filsafat Pendidikan Islam.
menjadi bagian dari Kerajaan Binamu. Jakarta: Bumi Aksara
2. konflik dan integrasi sosial budaya dan
politik di kerajaan Arungkeke, lahirnya Bungin, 2008.Penelitian Kualitatif; Komunikasi,
perbedaan golongan dalam masyarakat pada Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu
dasarnya diawali oleh adanya naluri manusia Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana.
untuk saling menguasai.
3. Kehidupan sosial, budaya dan politik di CaldwellW. Bougas The early history of Binamu
wilayah kerajaan Arungkeke secara umum and Bangkala, South Sulawesi In:
sering terjadi suatu peristiwa konfik dengan Bijdragen tot de Taal-, Land- en
berbagai persoalannya. Arungkeke Volkenkunde 160 (2004), no: 4, Leiden,
merupakan salah satu desa di Jeneponto, 456-510 This PDF-file was downloaded
daerah ini dikenal sebagai desa yang from (http://www.kitlv-journals.nl, hlm.
memiliki potensi kehidupan dalam berbagai 20-21, Diakses 01 Juni 2016)
macam aktifitas yaitu aktifitas dalam bidang
pertanian, baik pertanian kawasan darat Caldwell dan Bouges, 2004. Budaya Organisasi
maupun kawasan pantai. Disamping itu dan Budaya Kontra : Jilid I-II. Jakarta :
banyak juga melakukan aktifitas kehidupan Aneka Cipta.
di laut, baik sebagai nelayan maupun sebagai
pelaut yang menggunakan perahu-perahu Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial:
tradisional. Sketsa, Penilaian, Perbandingan,
DAFTAR PUSTAKA Yogyakarta, Kanisius

C.S.T. Kansil, 1988, Desa Kita Dalam Peraturan


Abdullah, Taufik. 1985. Ilmu Sejarah dan Tata Pemerintahan Desa, Jakarta, Ghalia
Histografi. Jakarta : Gramedia Pustaka Indonesia,
Utama.
Edward L. Poelinggomang, makalah seminar
Abd. Razak Daeng Patunru, 1993, Sejarah Hari Jadi Kabupaten Jeneponto yang
Gowa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi berjudul “Dari Binamu ke Jeneponto”
Selatan Makassar yang diselenggarakan di Jeneponto pada
tanggal 21 Agustus 2002
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam (Cet.X). Bandung : George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2010.
Alma’arif,t.th Teori Sosiologi Modern, Jakarta. Prenada
Media
Anhar Gonggong, 1986, “Sulawesi Selatan dan
Komunikasi: Dalam Rangka Proses
12

Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu
(Terjemahan Nugroho Notosusanto). Sosial Dalam Metodelogi Sejarah-
Jakarta : Yayasan Penerbit UI. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Guru Sejarah, 2013. Kerajaan Arungkeke di Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu


Jeneponto. Sejarah Lokal:Motivator Antropologi, Jakarta, PT. Rineka Cipta
pendidikan, (Online), Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Sejarah,
(http//www.gurusejarah.com/2013/04/Ke Tiara Wacana dan Jurusan Sejarah
rajaan-Arungkeke-di Jeneponto. Html, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Diakses 01 Juni 2016)
----------------. 2003. Metodelogi Sejarah.
Hadrawi, Muhlis. 2008. Nuansa Sejarah Yogyakarta : Tiara Wacana Moleong. J,
Kerajaan Kuno Jeneponto, Jakarta:
Ininnawa Louis Cottschalk, 1982, (penerjemah Nugroho
Notosusuanto), Mengerti sejarah,
Hamid Abdullah,1985. Manusia Bugis Makassar Universitas Indonesia Press Jakarta
: Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola
Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Mattulada, 1998, Sejarah, Masyarakat dan
Manusia Bugis Makassar. Jakarta : Inti Kebudayaan Sulawesi Selatan,
Idayu press. Hasanuddin University Press. Makassar
Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-norma
Dasar Penelitiaan dan Penulisan
Husain Saidong, Upacara Tradisional Sajarah. Jakarta : Dephamkam.
Pattumateang (Attumate) Pada
Masyarakat Turatea, Kab. Jeneponto, ----------------, 1978, Masalah Penelitian Sejarah
Makassar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Kontemporer, Idayu, Jakarta
Tradisional Patunru daeng, Abd. Razak. 1993, Sejarah Gowa,
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
Hamid, Pananrangi. 1985. “Petani Garam di Makassar
Nasara”, Makassar, Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Ujung Pandang Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial,
diterjemahkan oleh Alimandan dengan
Hammado Tantu, “Pegaram dan Kehidupannya, editor Tri Wibowo Budi santoso, Perdana
Studi Kasus Pada masyarakat Benteng Media, Jakarta
dan Bontorannu di Kabupaten
Jeneponto”, dalam Mukhlis Paeni Poelinggomang, Edward. L. 2002. Dari Turatea
(editor), 1988, Dimensi Sosial Kawasan ke Jeneponto, Jeneponto : Makalah
Pantai, Makassar, P3MP, untuk The Seminar tidak ditertibkan.
Toyota Foundation Jepang, Indonesia
Ramayulis. 2001. Metologi Pengajaran Agama
Ishak, Muhammad,1998. Komplesks Makam Islam (Cet III). Jakarta Kalam Mulya.
Kuno Tabbaka Desa Arungkeke,
kecamatan Batang Kabupaten Sadikin, Muhammad, 2013. Teori Konflik Sosial.
Jeneponto. Skripsi Jurusan Arkeologi Resume Buku Teori Konflik Sosial Bab
Ujung Pandang, Universitas Hasanuddin. 6. Kalimantan Barat. Jurusan Ilmu
pemerintahan.
Katalog BPS: 7304041.0201, statistik tahunan,
Kecamatan Arungkeke Dalam Angka Sahajuddin, 2008. Kehidipan Sosial Petani
2015, Badan Busat Statistik Kabupaten Garam di Arungkeke Dalam Perspektif
Jeneponto Sejarah 1950-1985. Hal.1:2. Tesis
Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin
13

Sartono Kartodirdjo, 1985. Pemikiran dan


Perkembangan Historigrafi Indonesia:
Suatu Alternatif, Gramedia, Jakarta

Sartono Kartodirdjo, 1992, Pendekatan Ilmu


Sosial Dalam Metodologi Sejarah,
Gramedia Jakarta

Sartono Kartodirdjo,1988, Pengantar Sejarah


Indonesia Baru: 1500-1900 Dari
Emporium Sampai Imperium, jilid I,
Jakarta, PT. Gramedia

Sahajuddin, 2009, (laporan penelitian)


”Bantaeng Pada Masa Kolonial Belanda
Periode 1905-1942”, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Makassar
Saidong, Husain, Husain, 2001. Upacara
Tradisional Pattumateang (Attumate)
Pada Masyarakat Turatea, Kab.
Jeneponto, Makassar, Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar

Soeprapto, 1996, Sosiologi Suatu Pengenalan


Ringkas, Yayasan Widya Patria,
Yogyakarta

Tjandrasasmita, Uka. 1988. Himpunan


peraturan-Peraturan Perlindungan
Cagar Budaya Nasional. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan kebudayaan,
Dirjen Kebudayaan Perlindungan dan
Pembinaan Peninggalan Sejarah dan
Purbakala.

Tompo. 2001. Tiga Ungkapan Sejarah Turatea,


Jeneponto : Pemda jeneponto

Das könnte Ihnen auch gefallen