Sie sind auf Seite 1von 3

Cahaya Iman Kartini

Oleh Jamaluddin Mohammad

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya
ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran).
Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS al-Baqarah 256)

Raden Ajeng Kartini adalah perempuan Jawa yang tercerahkan. Anak seorang priyayi Jawa,
Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, berhasil keluar dari kegelapan feodalisme Jawa dan
terlepas dari belenggu kolonialisme Belanda menuju cahaya iman pembebasan.

Allah SWT memancarkan “cahaya iman” (kesadaran spiritual-kultural) di hati Kartini agar ia
terbebas dari kabut tebal yang menyelimuti hati dan pikirannya. Apakah kabut tebal itu?
Feodalisme yang merendahkan perempuan dan kolonialisme yang membelenggu manusia.
Perkawinan antara feodalisem dan kolonialisme inilah yang melahirkan imperialisme.

Di masa kolonialisme, priyayi dijadikan alat pemerintah kolonial untuk merenggut dan
melumpuhkan rakyat. Dalam struktur masyarakat feodal priyayi berada di puncak piramida
sosial, baik politik maupun ekonomi. Priyayi menguasai tanah, mengendalikan kekuasaan
politik, dan dihormati masyarakat. Para bupati di daerah-daerah kekuasaan kolonial adalah
para priyayi ini.

Dalam budaya feodal, laki-laki menempati urutan pertama dan paling utama. Dalam makna
tertentu, laki-laki adalah “pemilik” perempuan. Karena itu tidaklah aneh ketika Kartini harus
mengikuti permintaah ayahnya untuk menjadi istri ketiga Bupati Rembang, Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat. Kartini maupun ayahnya menganggap bahwa ia adalah milik
ayahnya. Berdasarkan anggapan ini (kesadaran masyarakat feodal) Kartini pun tidak bisa atau
bahkan tidak mungkin menolak. Penolakan adalah tabu dan salah satu bentuk larangan dan
pelanggaran.

“Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak
boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh aku kandung ialah, hari ini atau
besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat
membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak
perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya bisa saja hari ini memberi tahu
padaku: kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku,” tulis
Kartini pada Stella Zaehandelaar, 6 November 1899. Ini bentuk pengakuan Kartini atas
ketidakberdayaan menghadapi kultur patriarkhi pada feodalisme Jawa.

Ketika kolonialisme hadir, kultur feodal ini tetap dirawat, dipelihara, dan dipertahankan
karena sesuai dengan semangat dan tujuan imperialisme: menciptakan manusia-manusia
jinak, tunduk, lemah, sehingga mudah dieksploitasi.

Nah, agar imperialisme tetap langgeng dan berumur panjang, maka cukup memegang kendali
para priyayi berikut nilai dan norma feodalismenya. Para priyayi pun merasa aman, nyaman,
dan diuntungkan secara sosial dan politik. Inilah salah satu alasan kenapa kolonialisme-
imperialisme berumur panjang di negeri ini. karena masyarakat kita mengalami dua
penjajahan: penjajahan dari luar (kolonialisme-imperialisme) dan penjajahan dari dalam
(feodalisme)
Sebagai orang yang lahir dari rahim feodalisme dan sekaligus berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman ketidakadilan, Kartini gelisah dan mulai mengajukan pertanyaan-
pertanyaan eksistensial: siapa aku? Kenapa aku lahir di dunia ini sebagai seorang priyayi?
Aku mau kemana dan untuk apa? Dan, cahaya iman menuntun dan menunjukkan ia pada
jawabannya

Migrasi kultural-spiritual

QS. Al-Baqarah 256 di atas bisa juga digunakan untuk menjelaskan proses migrasi spiritual-
kultural seorang Kartini. Orang-orang “kafir” (maksudnya orang-orang yang hatinya masih
diselimuti kabut tebal tradisi, budaya, bahkan agama [ekspresi pengamalan dan pemahaman
keagamaan] yang merugikah harkat dan martabat kemanusiaan di hadapan) Tuhan
kebanyakan tidak mau beranjak dari kegelapan. Bahkan, mereka akan terus dalam kegelapan.
Mereka menganggap itu sebagai satu-satunya kebenaran

Kartini, kalau dalam “mitologi goa” Platon, adalah orang yang berhasil keluar dan melihat
realitas sesungguhnya. Sementara orang-orang “kafir” yang masih terperangkap dalam
kegelapan goa menyangka bayangan sendiri yang terpantul di dinding goa sebagai realitas.
Filsuf besar Yunani itu membuat sebuah alegori seperti ini:

Ada sekelompok narapidana yang sejak kecil ditawan di dalam goa. Tangan, kaki, dan
lehernya dipasung sehingga tidak bisa bergerak ke mana-mana. Mereka hanya bisa
mememandang dan menghadap dinding goa. Di belakang mereka ada seonggok api unggun
besar yang sesekali orang atau binatang melewati api unggun itu. Bayangannnya yang
memantul ke dinding goa dianggap oleh para tawanan sebagai satu-satunya kenyataan.

Platon membuat alegori itu untuk menjelaskan tingkatan realitas: realitas ideal dan realitas
empirik. Yang kedua merupakan “tiruan” dari yang pertama yang tidak menampakkan
realitas seutuhnya. Menurut Platon banyak orang terjebak pada yang kedua dan menganggap
sebagai satu-satunya “kebenaran”, sebagaimana para tahanan dalam goa itu.

Kartini, melalui tuntunan iman yang memancar di hatinya, berhasil keluar dari lorong goa itu.
Ia melihat realitas ketertindasan dan ketidakadilan pada masyarakatnya, terutama perempuan.
Ia keluar dan mengajak masyarakatnya untuk melihat realitas ketertindasan dan ketidakadilan
itu melalui pintu pendidikan. Lewat pendidikan, Kartini berharap masyarakat akan terbebas
dari belenggu tradisi dan budaya yang berkonstribusi terhadap ketidakadilan itu.

“Al-Awliya” dalam ayat tersebut lebih tepat dimaknai sebagai pelindung atau penolong
bukan pemimpin. Ayat ini tidak berbicara dalam konteks kepemimpinan. Kesadaran teologis
Kartini meruntuhkan dinding feodalisme yang selama ini menyekat sekaligus memenjara
kesadarannya. Ia kembali pada Tuhan. Tuhan sebagai satu-satunya pelindung. Di hadapan
Tuhan semua orang sama dan setara.

“Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman
kepada Allah dan kami tetap beriman kepadaNya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan
bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah”
(surat Kartini kepada Abendanon, 12 Oktober 1920)
Dalam terang iman inilah Kartini memulai “revolusi Tauhid” untuk membebaskan
perempuan Jawa dari realitas ketertindasan dan ketidakadilan. Ia mulai menggugat kelas-
tradisi dan budayanya. Ia mulai mempertanyakan pemahaman-pemahaman keagamaan yang
merendahkan martabat kemuanusiaan yang dianut dan diyakini masyarakatnya. Ia juga
melawan kolonialisme dan imperialisme yang dialami bangsanya. Wallahu a’lam bi sawab

Das könnte Ihnen auch gefallen