Sie sind auf Seite 1von 14

JOURNAL READING

TERAPI TERHADAP INSOMNIA MEMPERBAIKI KONDISI MOOD,


TIDUR DAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL PADA PENDERITA
GANGGUAN BIPOLAR: SEBUAH UJI PILOT ACAK TERKENDALI
TREATING INSOMNIA IMPROVES MOOD STATE, SLEEP, AND
FUNCTIONING IN BIPOLAR DISORDER: A PILOT RANDOMIZED
CONTROLLED TRIAL

Oleh :
Sheryl Elita Tanjaya
1202006108

Pembimbing :
Dr. dr. Cok Bagus Jaya L, Sp. KJ(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD
RSUP SANGLAH DENPASAR
2018
TERAPI TERHADAP INSOMNIA MEMPERBAIKI KONDISI MOOD,
TIDUR DAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL PADA PENDERITA
GANGGUAN BIPOLAR: SEBUAH UJI PILOT ACAK TERKENDALI
TREATING INSOMNIA IMPROVES MOOD STATE, SLEEP, AND
FUNCTIONING IN BIPOLAR DISORDER: A PILOT RANDOMIZED
CONTROLLED TRIAL

Allison Harvey, Adriane Soehner, Kate Kaplan, Kerrie Hein, Jason Lee, Jennifer
Kanady, Sophia Rabe-Hesketh, Descartes Li, Terence Ketter, Thomas Neylan,
Daniel Buysse

Abstrak
Tujuan: Untuk mengetahui apakah terapi insomnia pada penderita bipolar I dapat
meningkatkan serta memperbaiki kondisi mood, tidur, dan kemampuan
fungsional.

Metode: Pasien gangguan bipolar I dengan insomnia secara acak dikumpulkan


untu melakukan modifikasi spesifik dengan cara melakukan Cognitive
Behavioural Therapy for Insomnia (CBTI-BP) atau Psychoeducation (PE) sebagai
suatu kondisi pembanding. Hasil akhir diniliai setelah melakukan 8 kali terapi,
dalam jangka waktu 6 bulan. Penelitian awal ini dilakukan sebagai studi
kelayakan awal penelitian berikutnya.

Hasil: Selama 6 bulan follow up. Kelompok CBTI-BP diketahui mengalami


episode bipolar lebih rendah daripada kelompok PE (3,3 hari dan 25,5 hari) dan
juga gangguan suasana perasaan berulang yang lebih rendah (13,6% dan 42,1%).
CBTI-BP mengurangi keparahan dari insomnia pada gangguan bipolar I dan juga
menunjukkan perbaikan yang signifikan pada kualitas tidur dan kemampuan
fungsional.
Kesimpulan: CBTI-BP berhubungan dengan pengurangan resiko gangguan
suasana perasaan, mengurangi keparahan insomnia serta memperbaiki kualitas
tidur serta kemampuan fungsional pada beberapa aspek gangguan bipolar.
Gangguan tidur tampaknya menjadi salah satu kontributur terhadap keparahan
gangguan bipolar. Kebutuhan untuk mengembangkan suatu standar skoring dalam
bentuk buku harian tidur pada pasien dengan gangguan bipolar perlu lebih disorot
dan diperhatikan.

Gangguan bipolar merupakan suatu penyakit umum dan kronis di bagian


psikiatri. Meski terdapat kemajuan pada terapi gangguan bipolar yang sudah ada,
pilihan terapi baru sangatlah diperlukan. Khususnya pada pasien gangguan bipolar
dalam fase interepisode yang mengalami penurunan kemampuan fungsional dan
mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kekambuhan.
Gangguan tidur merupakan salah satu kondisi yang berhubungan dengan
episode gangguan suasana perasaan dengan pemulihan yang tidak memadai atau
inadekuat. Kurangnya tidur merupakan salah satu gejala gangguan bipolar episode
manik dan gejala insomnia atau hypersomnia merupakan salah satu gejala umum
pada episode depresif. Sampai dengan 70% pasien dengan gangguan bipolar
melaporkan adanya gangguan tidur yang signifikan dimana hal tersebut
berhubungan dengan tingkat kekambuhan dan percobaan bunuh diri. Gangguan
tidur biasanya meningkat sebelum terjadi episode dan semakin parah saat episode
berlangsung dimana hal ini tidak selalu membaik dengan pemberian obat-obatan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan tidur seperti
insomnia berkontribusi dalam gangguan suasana perasaan pada gangguan bipolar.
Pertama, pasien gangguan bipolar dengan waktu tidur yang lebih pendek
menunjukkan tanda dan gejala yang lebih parah dari episode manik ataupun
depresif. Sebagai tambahan, Sebagai tambahan, total durasi tidur yang lebih
pendek berhubungan dengan meningkatnya durasi keparahan mania dan depresi
dalam waktu 12 bulan. Kedua, pada studi dengan menggunakan buku harian tidur
selama 7 hari, jumlah terbangun saat tidur berhubungan dengan suasana perasaan
yang buruk di pagi hari pada pasien dengan gangguan bipolar. Selain itu, suasana
perasaan yang buruk di sore hari berhubungan dengan panjangnya durasi
terbangun di malam sebelumnya pada pasien dengan gangguan bipolar dan
insomnia. Ketiga, gangguan tidur merupakan salah satu gejala umum atau sinyal
tanda bahaya awal akan terjadinya kekambuhan. Keempat, penelitian secara
eksperimental yang dilakukan dengan cara menginduksi terjadinya gangguan tidur
menunjukkan adanya hubungan dengan onset hipomania/mania pada pasien
dengan gangguan bipolar. Data-data diatas menunjukkan adanya kemungkinan
bahwa apabila dilakukan terapi secara spesifik pada gangguan tidur yang dimiliki
oleh pasien yang memenuhi kriteria diagnosis gangguan bipolar maka diharapkan
dapat memperbaiki kondisi suasana perasaan dan juga kemampuan fungsional
penderita.
Meskipun sudah ada hubungan yang jelas antara pengaruh gangguan
tidur terhadap gangguan bipolar, beberapa peneilitian yang ada tidak menyertakan
gangguan tidur sebagai titik berat utama dan juga tidak memberikan terapi dengan
teknik spesifik untuk insomnia.
Oleh karena itu, peneliti mencoba mengembangkan CBT dengan
modifikasi spesifik untuk insomnia (CBTI-BP). Hal yang menjadi fokus
modifikasi adalah meningkatkan keamanan dan menargetkan pada fitur kualitas
tidur pada pasien dengan gangguan bipolar dengan cara mengintegrasi beberapa
elemen dari Interpersonal and Personal Social Rhythm Therapy (IPSRT),
chronotherapy, dan wawancara motivasional. CBT untuk insomnia (CBT-I)
dipilih sebagai suatu terapi dasar karena
a) Beberapa penelitian menunjukkan keberhasilan CBT-I pada insomnia
sebagai penyakit komorbid pada pasien psikiatri seperti depresi, PTSD,
dan skizofrenia.
b) Ketika insomnia merupakan suatu komorbid dari penyakit psikiatri, gejala
yang menyertai gangguan psikiatri tersebut dapat membaik dengan
mengikuti CBT-I
c) Terapi gangguan bipolar dengan prinsip berdasarkan CBT-I belum pernah
dilaporkan sebelumnya
d) CBT-I memperbaiki kualitas tidur secara keseluruhan dimana hal ini
merupakan suatu permasalahan pada pasien dengan gangguan bipolar.
Beberapa elemen dari IPSRT dimasukkan ke CBTI-BP untuk mengatur
ritme kehidupan sosial sehari-hari, membangun kebiasaan waktu tidur dan
bangun. Chronotherapy juga diberikan dengan memberikan jeda waktu 30-60
menit dalam suasana remang-remang secara bertahap ke cahaya matahari saat
pagi hari agar tidak terjadi bangun tidur yang mendadak karena cahaya yang
terlalu terang. Pemberian wawancara motivasional juga diberikan pada setiap sesi
untuk mengajak peserta merubah perilaku dan menyadari pentingnya kualitas
tidur yang baik untuk kehidupan sehari-hari.
Tujuan dari penelitian awal ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan
dari CBTI-BP dan sebagai dasar untuk menentukan bagaimana penelitian
selanjutnya akan dikerjakan. Pasien dengan gangguan bipolar tipe I dan insomnia
dikumpulkan secara acak untuk menerima 8 kali sesi pertemuan terapi CBTI-BP
atau 8 kali pertemuan PE. Hipotesa dari penelitian ini adalah CBTI-BP memiliki
tingkat keberhasilan lebih tinggi daripada PE untuk memperbaiki gangguan
suasana perasaan, gangguan tidur, dan kemampuan fungsional.

METODE
Desain Penelitian
Pasien dewasa dengan gangguan bipolar tipe I dan insomnia
dikumpulkan secara acak untuk menerima terapi CBTI-BP atau PE. Pengacakan
sampel tersebut distratifikasi berdasarkan umur (≤ 49 tahun, ≥ 50 tahun) karena
gangguan tidur bervariasi berdasarkan umur. Penilaian dan tim terapi ini
dirahasiakan antar individu. Hanya koordinator proyek penelitian ini dan therapist
yang ditugaskan per pasien mengetahui terapi yang didapatkan pasien. Terapi
CBTI-BP dan PE ini dilakukan sebanyak 8 kali sesi. Penilaian dilakukan dalam 3
tahap yaitu pada awal terapi, akhir terapi dan 6 bulan follow up setelah terapi.
Komisi Nasional Perlindungan Subjek Manusia Universitas California telah
menyetujui penelitian ini. Semua peserta juga telah menyetujui untuk ikut serta
dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent tertulis.
Peserta
Peserta penelitian ini adalah 58 pasien dewasa dengan penyakit gangguan
bipolar tipe I dalam fase interepisode dan insomnia yang dikumpulkan dari
periode waktu Maret 2010-April 2012. Individu dianggap memenuhi syarat
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Memenuh kriteria diagnosis DSM-IV pada gangguan bipolar tipe 1
b) Dalam fase interepisode yang ditetapkan dalam skoring Young Mania
Rating Scale (YMRS) <12 dan Inventory of Depressive Symptomatology-
Clinical Rating (IDS-C) <24 dalam 1 minggu terakhir.
c) Memenuhi kriteria diagnosis gangguan insomnia yang ditetapkan oleh
International Classification of Sleep Disorder dan kriteria DSM-IV untuk
insomnia
d) Mempunyai regimen pengombatan yang stabil dalam 4 minggu terakhir
e) Mempunyai psikiater pribadi
f) Lancar dalam berbahasa inggris
Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Penyalahgunaan alkohol dalam waktu 3 bulan terakhir
b) Sedang dalam pengobatan/mengalami PTSD
c) Sedang menderita penyakit fisik yang aktif atau progresif yang berkaitan
secara langsung dengan onset dan kronologi terjadinya insomnia
d) Adanya sleep apneu
e) Adanya resiko terjadi bunuh diri saat ini
f) Sedang hamil/menyusui
g) Bekerja lembur dalam waktu 3 bulan terakhir

Terapi
Semua terapi diberikan oleh therapist dengan gelar doktoral atau master
dan disupervisi oleh psikolog klinis berlisensi. Peserta yang menerima terapi
CBTI-BP tidak mendapatkan terapi PE, begitu juga sebaliknya. Setiap sesi terapi
berdurasi 50-60 menit.
CBTI-BP
Sesi 1 dari CBTI-BP terfokus pada formulasi kasus tiap pasien, menentukan
tujuan akhir dari terapi ini, wawancara motivasi dan edukasi mengenai ritme
sirkadian dan pola tidur. Modul perilaku yang diberikan dalam terapi CBT-BP ini
mencakup:
a) Kontrol stimulus, menguatkan hubungan antara regularisasi waktu tidur
dan bangun serta pola kegiatan sehari-hari (waktu untuk makan dan
olahraga)
b) Pembatasan tidur sesuai kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi tidur dan
tidur yang lebih nyenyak
c) Edukasi mengenai tidur dan siklus sirkadian
d) Merancang suatu “wind-down” atau penyegaran sealam 30-60 menit untuk
relaksasi dan merangsang aktivitas yang meningkatkan kualitas tidur
dalam kondisi pencahayaan redup
e) Merancang suatu rutinitas bangun tidur
Modul kognitif yang diberikan dalam terapi CBT-BP ini mencakup:
a) Mengubah keyakinan yang salah mengenai tidur
b) Mengurangi kecemasan terkait dengan tidur, kekhawatiran dan tingkat
kewaspadaan yang tinggi sebelum wkatu tidur
Modul yang diberikan untuk mengatur kemampuan fungsional sehari-hari
mencakup eksperimen perilaku yang membolehkan pasien untuk mengatur
aktivitas sehari-hari dengan membangunkan energi positif dari dalam tubuh.
Fokus utama dari sesi terakhir terapi ini adalah pencegahan kekambuhan.

PE
Terapi PE merupakan suatu terapi yang memfasilitasi pasien dalam perubahan
perilaku dimana terapi ini terbagi dalam 8 sesi yang terdiri dari:
 Sesi 1: Memperkenalkan mengenai regulasi mood dan etiologi gangguan
bipolar serta hubungannya dengan pola tidur, stress, diet dan olahraga
 Sesi 2: Tanda dan gejala mania dan depresi
 Sesi 3: Faktor resiko tiap individual pasien
 Sesi 4: Penjelasan mengenai pengobatan gangguan bipolar
 Sesi 5: Penjelasan mengenai diet makanan
 Sesi 6: Manajemen stress dan aktivitas fisik
 Sesi 7: Relaksasi dan teknik pernapasan
 Sesi 8: Kepercayaan diri dan kesimpulan dari semua sesi
Pasien diminta untuk menjelaskan secara rinci tiap topik yang berhubungan
dengan pengalaman mereka yang nantinya akan diedukasi secara umum
setelahnya.

PENILAIAN
Penilai merupakan psikolog klinis yang telah berlisensi dan tidak
mengetahui mengenai kondisi terapi yang diberikan pada peserta. Diagnosis
gangguan bipolar tipe 1 dalam fase interepisode tiap pasien telah didiagnosis oleh
seorang psikiater. Semua penilaian dilakukan saat awal terapi, akhir terapi dan
follow up 6 bulan setelah terapi.

Penilaian Hasil Diagnostik


Structured Clinical Interview for DSM-IV Axis (SCID) dilakukan untuk
menilai gangguan pada axis I berdasarkan DSM-IV dan untuk menentukan
ada/tidaknya episode bipolar saat ini (mania, hipomania, atau depresi). Psikolog
terlatih melakukan SCID pada semua peserta untuk menilai gangguan pada axis I
kemudian secara acak dilakukan pengambilan rekaman wawancara SCID
(sejumlah 15%) untuk menilai reliabilitas diagnostik, dimana hasil tersebut sesuai
dengan penilaian awal. Duke Structured Clinical Interview for Sleep Disorders
(DSISD) merupakan suatu wawancara semi structural yang digunakan untuk
menilai apakah peserta memenuhi kriteria untuk gangguan insomnia dan juga
DSM-IV sebagai salah satu pedoman dalam penilaian. Hasil wawancara kemudian
direkam dan diambil secara acak (sejumlah 15%) untuk menilai realibilitas
diagnostik, dimana hasil tersebut sesuai dengan diagnosis penilai awal.
Penilaian Mood
Penilaian mood menggunakaan kuisioner yaitu SCID sebagai kuisioner
utama untuk menilai kekambuhan. Kuisioner sekunder terdiri dari Young Mania
Rating Scale (YMRS) dan Inventory of Depressive Symptomatology-Clinical
Rating (IDS-C). YMRS merupakan suatu kuisioner yang terdiri dari 11 items yang
digunakan untuk mengukur keparahan gejala manik dimana kuisioner ini
mempunyai reliabilitas dan validitas yang tinggi. IDS-C merupakan instrument
kuisioner yang terdiri dari 30 items yang digunakan untuk menilai gejala depresi
dan memiliki validitas dan reliabilitas yang bagus.

Penilaian Tidur
Penilaian tidur menggunakan Insomnia Severity Index (ISI) dan diagnosis
dari insomnia dinilai dari DSISD. ISI merupakan suatu kuisioner yang terdiri dari
7 items berupa penilaian mengenai kesusahan untuk jatuh tidur, kondisi terjaga
saat malam hari, terbangun terlalu pagi, kepuasan tentang tidur, keparahan
gangguan tidur dengan kemampuan di siang hari, dan kemampuan untuk
mengenal adanya gangguan karena tidur. Hasil skoring dari ISI dibagi menjadi 4
interpretasi yaitu skor 0-7 (tidak ada insomnia klinis), 8-14 (ambang batas
insomnia), 15-21 (insomnia sedang), 22-28 (insomnia parah) dimana yang
termasuk dari peserta penelitian ini adalah mereka yang memiliki skor ISI lebih
dari 7. Selain itu dibuat sebuah buku harian tidur yang mencatat detail mengenai
kondisi tidur peserta. Kuisioner sekunder yang digunakan untuk menilai tidur
adalah Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan Patient-Reported Outcomes
Measurement Information System-Sleep Disturbance (PROMIS-SD).

Penilaian Gangguan Fungsional


Penilaian primer mengenai gangguan fungsional menggunakan Sheehan
Disability Score (SDS) yang menilai sampai dimana gangguan suasana perasaan
dan tidur mempengaruhi fungsi kerja, sekolah, kehidupa sosial, dan tanggung
jawab individu. Tiga item ini diinterpretasikan dalam rentang skor 0 (tidak
terganggu) hingga 10 (sangat terganggu). Penilaian sekunder mengenai gangguan
fungsional menggunakan Quality of Life Enjoyment and Satisfaction Quetionnaire
(Q-LES-Q-SF) dan PROMIS-Sleep Related (PROMIS-SRI)

Penilaian Terapi Famakologi


Pencatatan secara detail mengenai terapi farmakologi yang didapatkan
pasien dilakukan setiap sesi pertemuan. Penilaian terapi farmakologi ini dilakukan
karena beberapa obat yang sering diberikan kepada pasien dengan gangguan
bipolar umumnya memiliki efek samping berupa efek sedasi atau efek yang
membuat pasien menjadi lebih terjaga/waspada dan hal ini dapat membuat
gangguan yang terkait dengan tidur sehingga menjadi lebih perlu diperhatikan.

Keselamatan dan Toleransi


Unuk menghindari terjadinya episode manik ataupun hipomanik akibat
kekurangan waktu tidur, maka waktu tidur untuk pasien dibatasi minimal
mendapatkan waktu tidur sejumlah minimal 6,5 jam.

ANALISIS DATA
Analisis data dilakukan dari hasil awal terapi, selesai terapi dan follow up
6 bulan setelah dilakukan terapi. Indikator variable yang dnilai adalah indikator
terapi CBTI-BP vs PE serta waktu dimana penilaian dilakukan Penelitian ini
menggunakan analisis data Chi Square/Fisher dan hasil penelitian dianggap
signifikan apabila p < 0,05
HASIL
Data Demografik Peserta
Karakteristik CBTI-BP (n=30) PE (n=28)
n % n %
Perempuan 19 63,3 17 60,7
Etnis
 Hispanik/Latin 4 13,8 2 7,1
 Non Hispanik/Latin 25 86,2 26 92,9

Ras
 Amerika Indian 0 0,0 1 3,6
 Asia 1 3,3 4 14,3
 Amerika Afrika 4 13,3 3 10,7
 Whita 18 60,0 19 67,9
 Biracial 5 16,7 1 3,6
 Menolak untuk menjawab 2 6,7 0 0,0

Status Pernikahan
 Belum menikah 19 63,3 20 71,4
 Sudah menikah/sudah memiliki 7 23,3 4 14,3
pasangan
 Bercerai/berpisah/janda/duda 4 13,3 4 14,3
Pekerjaan
 Bekerja 7 24,1 3 11,1
 Bekerja paruh waktu 7 24,1 9 33,3
 Tidak bekerja 15 51,7 15 55,6
Pendapatan per tahun
 < $20,000 14 46,7 11 39,3
 $20,000 - $35,000 1 3,3 3 10,7
 $35,000 - $50,000 5 16,7 6 21,4
 $50,000 - $60,000 3 10,0 1 3,6
 > $60,000 2 6,7 1 3,6
 Menolak untuk menjawab/tidak 5 16,7 6 21,4
mengetahui
Mengkonsumsi obat pengatur mood 21 77,8 19 76,0
Mengkonsumsi obat tidur 16 59,3 16 64,0
Riwayat penggunaan obat tidur 20 74,1 18 72,0
Hasil Penilaian Mood
Tingkat kekambuhan dan jumlah hari berlangsungnya episode bipolar
tidak berbeda secara signifikan antara PE dan CBTI-BP saat terapi fase akut.
Selama fase follow up, CBTI-BP menunjukkan adanya hasil signifikan berupa
tingkat kekambuhan mania/hipomania yang lebih rendah daripada PE (4,6% vs
31,6%, p=0,036). Jumlah pasien yang mengalami episode depresif tidak berbeda
secara signifikan antara CBTI-BP dan PE (9,1% vs 21,2%, p=0,391). Tingkat
kekambuhan secara keseluruhan (baik episode depresif ataupun manik) saat fase
follow up menunjukkan bahwa CBTI-BP memiliki tingkat kekambuhan lebih
rendah (13,6% vs 42,1%, p=0,075). Grup CBTI-BP juga menunjukkan jumlah
hari episode bipolar lebih sedikit dibandingan PE saat fase follow up (3,3 hari vs
25,5 hari, p=0,028)
Hasil Penilaian Tidur
Kedua grup baik PE maupun CBRI-BP menunjukkan perbaikan dari skor
ISI saat fase akut. Berdasarkan penilaian saat selesai terapi dan follow up 6 bulan
setelah terapi, CBTI-BP menunjukkan perbaikan yang signifikan dibandingkan PE
(selesai terapi: 68,2% vs 28,6%, p=0,009 dan follow up 6 bulan setelah terapi:
63,6% vs 26,3%, p=0,017). Peserta yang memenuhi kriteria remisi insomnia
menunjukkan bahwa CBTI-BP menunjukkan remisi insomnia yang lebih baik
daripada PE (selesai terapi: 72,7% vs 14,3%, p<0,001 dan follow up 6 bulan
setelah terapi: 63,6% vs 21,1%, p=0,006). CBTI-BP menunjukkan bahwa peserta
yang sudah tidak memenuhi kriteria untuk insomnia lebih banyak daripada grup
PE (selesai terapi: 73,9% vs 41,7%, p=0,010 dan follow up 6 bulan setelah terapi:
73,7 vs 45,5%, p=0,067). Berdasarkan buku harian tidur, kedua kelompok terapi
menunjukkan adanya efisiensi tidur yang membaik baik saat fase terapi maupun
fase follow up.

Hasil Penilaian Gangguan Fungsional


Kedua grup, baik CBTI-BP maupun PE menunjukkan adanya perbaikan
dari gangguan fungsional sehari-hari. Namun hal tersebut tidak signifikan
berdasarkan hasil yang ada.

DISKUSI
Dibandingkan dengan PE,CBTI-BP menunjukkan adanya hubungan
dengan tingkat kekambuhan dan total hari dalam episode mania ataupun
hipomania yang lebih rendah daripada PE. Penemuan ini menyorot insomnia
sebagai salah satu faktor mekanisme yang dapat dimodifikasi pada gangguan
bipolar. Pada saat fase terapi aktif, grup CBTI-BP menunjukkan adanya perbaikan
yang signifikan pada tingkat keparahan insomnia dan perbaikan kualitas tidur
secara keseleruhan. Peneliti menyarankan untuk menyediakan kuisioner lengkap
yang menyediakan penilaian jelas baik waktu tidur dan waktu di pagi hingga siang
hari. Selain itu juga diperlukan buku harian tidur yang spesifik untuk gangguan
bipolar dengan skoring yang sudah terstandarisasi karena terkadang insomnia
dapat overlapping dengan hipersomnia, fase tidur yang terlambat dan jadwal
tidur-bangun yang tidak teratur.
Meskipun beberapa hasil menunjukkan keuntungan CBTI-BP daripada PE,
terdapat beberapa efek positif dari terapi PE dimana kedua terapi ini sama-sama
memperbaiki ISI, SDS-Mood, dan SDS-Sleep.
Peneliti menyarankan bahwa penelitian dengan jumlah sampel lebih besar
dibutuhkan untuk menilai apakah hasil dari penelitian ini dapat diaplikasikan ke
masyarakat luas.
Akhir kata, penelitian ini merupakan penelitian pertama yang
membandingkan dua terap psikososial untuk pasien gangguan bipolar dengan
insomnia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktian bahwa dengan
menangani insomnia tidak hanya memperbaiki kondisi insomnia pasien, tetapi
juga gejala yang menyertai gangguan bipolar.

Das könnte Ihnen auch gefallen