Sie sind auf Seite 1von 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ALERGI OBAT

1. PENGERTIAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. ( Nur Arif,
2013 )
Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu
atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lesi
bervariasidari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Gambaran yang khas dari
EOA adalah kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar
kembali dengan obat yang sama. ( Amin Huda, 2008 )

2. ETIOLOGI
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan
jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi obat tampak berhubungan
erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar
1 – 3% terhadap sebagian besar jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering
penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Obat lain yang
sering pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam mefenamat), antikonvulsan (dilantin,
mesantoin, tridion), sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan,
klorpromazin, meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering
dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.

3. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme
imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah
tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan
sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa hapten ini
harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari
membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan berat
molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga
mengakibatkan terjadinya erupsi obat.

4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut
mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell danCoombs (tipe I sampai
dengan IV).
a. Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat)
Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen
dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos. Meningkatnya
permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. a) Kejang bronkus gejalanya
berupa sesak, kadang – kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema
laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. b) Urtikaria, c)
Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit
setelah suntikan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering
adalah penisilin.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
 Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
 Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik.
Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk
granual yang dapat menimbulkan reaksi.
 Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan
mediator.
b. Tipe II
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM
atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang
memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan
komplemen melalui reseptor komplemen. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II
umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia
dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
c. Tipe III
Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini
mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks
ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
 Demam
 Limfadenopati
 Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi
 Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut
sering disertai pruritis
 Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus
eritematosus sistemk serta vaskulitis
 Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah
mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari.
d. Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal
sebagai Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan
antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :
 Cutaneous Basophil Hypersensitivity
 Hipersensivitas kontak (kontak dermatits)
 Reaksi tuberculin
 Reaksi granuloma.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan
reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun,
dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang – kadang gejala baru
timbul bertahun – tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat tropikal (sulfa,
penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam
setelah obat dioleskan

5. PATHWAYS

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat
alergi adalah :
a. Pemeriksaan in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif
untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit
sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan
uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul seperti insulin,
antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain :
 Uji Tempel (patch test)
Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri
sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya
daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif
bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa dengan reaksi. Klinis
alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan
 Uji Tusuk (prick/scratch test)
Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan
adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan
memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau
metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindarkan
positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif untuk diagnosis
penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena pada saat ini baru
sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya
dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ),
sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi alergi
terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisili
 Uji Provokasi (exposure test)
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur
diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya
anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan
tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan kontra indikasi
untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson,
dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi
dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.

b. Pemeriksaan in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel
darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit
serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan
spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi alergi
obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi
pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan

7. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Umum
 Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit
harus dihentikan segera.
 Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada
fase pemulihan.
 Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, khususnya
pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas
dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan
hemostatik.
 Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya.
Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan
nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut
dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus,
misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
b. Penatalaksanaan Khusus
 Sistemik
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,
eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum
dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10
mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET
pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi
yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita.
Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama
kali dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin(IVIG) terbukti dapat
menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya
IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal,
kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.
 Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau
basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan
obat antipruritus seperti mentol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam
keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%. Pada
bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,
misalnya hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa
eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10%
yang dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat
berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat
diberikan sofratulleatau krim sulfadiazin perak.

8. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
 Umum
Keadaan umumnya bervariasi dari sedang sampai berat. Pada kondisi yang berat.
Tergantung derajat mortilitas erupsi obat. Bila derajat 1 biasanya keadaan umum
pasien ringan, derajat 2 dan 3 berat. Keadaan berat bila terjadinya erosi dan perforasi
kornea yang dapat menyebabkan kebutaan, pseudomembran klien mengalami
kesulitan bernafas, dan bula antara 10-30% dan telah terjadi infeksi pada kulit, Kulit
berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh,
mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah.Keadaan umum sedang biasa bila menunjukkan gejala awal, ruam, gatal,
demam, nausea.
 Pengkajian kesadaran
Pasien dengan erupsi obat pada kondisi yang berat, kesadarannya menurun,
penderita dapat soporous sampai koma.
a) Pain : Pada pasien derajat 2 lepasnya lapisan epidermis antara 10-30% .
Klien biasanya meringis saat di perintahkan dengan perintah sederhana karena
adanya kerusakan saraf perifer
b) Unresponsive : pada pasien dengan derajat 3 lepasnya lapisan epidermis
lebih dari 30%. Pasien dengan overload SJS dan TEM dalam keadaan koma.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang dengan keadaan terdapat trias SJS yaitu terdapat bula, eritema, dan
vesikel pada mata, mukosa bibir, dan kulit.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah terkena atau sedang menjalani pengobatan penyakit Infeksi virus herpes
simplex, dan Mycoplasma pneumonia, Viral: herpes simplex virus (HSV)1 dan 2,
HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch fever, influenza, hepatitis B, mumps,
lymphogranuloma venereum(LGV), mononucleosis infeksiosa, Vaccinia rickettsia
dan variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses diidentifikasi sebagai penyebab
timbulnya sindrom ini pada anak. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin,
analgetik, anti- peuritik ).
 Riwayat Penyakit Keluarga
Bila terdapat keluarga alergi obat dan berasal dari ras krustesea
 Tanda-tanda vital
Pengkajian terhadap adanya demam tinggi, dan adanya takikardi
 Pengkajian fisik (Head toe toes)
 Wajah
Eritema, vesikel dan bula
 Mata
Kelopak mata : Edema dan sulit dibuka.
Konjungtiva : Konjungtivitis kataralis dan purulen
Kornea : Ulkus kornea
Reaksi cahaya : Positif
Lapang penglihatan : Penyempitan lapangan penglihatan
 Mulut dan leher
Mukosa bibir : Bengkak, kering, warna mukosa merah
Selaput lendir : Stomatitis, afte (vesikel, bula), erosi, perdarahan
Disfagia : Ada
Lidah : Terdapat lesi
Tonsil/pharix : Meradang Ketidakmampuan menelan
 Paru-paru
Inspeksi Bentuk dada simetris kanan dan kiri, terdapat sumbatan pada jalan napas,
klien tampak sesak, terdengar stridor saat ekspirasi/inspirasi, retraksi dinding
dada, penggunaan otot-otot pernapasan, frekuensi pernafasan > 20 x/menit, reflek
bentuk ada, pernapasan cepat dan dangkal, klien batuk.
Auskultasi Bunyi napas vesikuler, wheezing (+), Ronkhi (+)
 Kardio vaskuler
Inspeksi edema jaringan
Palpasi frekuensi HR > 100 x/menit, irama regular/ireguler, akral dingin,
kapilar repil > 3 detik
Auskultasi Tekanan darah hipotensi, irama jantung tidak beraturan, tidak ada
bunyi jantung tambahan
 Abdomen
Inspeksi : mual muntah
Auskultasi : peristaltik usus bisa menurun atau meningkat
 Genetalia
Vagina : warna secret Anus : pelebaran vena ani/tidak
Mukosa : vesikel, bula, erosi, perdarahan, krusta berwarna merah
 Ektermitas
Edema, tremor, rom terbatas, akral dingin
7) Pemeriksaan Diagnostik
 Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
 Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema
intrasel di epidermis.
 Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung
IgG, IgM, IgA.

b. Diagnosa Keperawatan Utama


1. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari
intravaskuler ke dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya
jaringan kulit akibat luka.
2. Kerusakan integritas kulit b.d lesi dan reaksi inflamasi lokal.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat
respon sekunder dari kerusakan krusta pada mokosa mulut.
4. Resiko tinggi infeksi b.d penurunan imunitas, dan hilangnya pertahanan barier , dan
adanya pord de entere pada lesi.
5. Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak , erosi jaringan
c. Intervensi dan Rasionalisasi

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


Keperawatam kriteria hasil

1 Kekurangan Dalam waktu 1• - Identifikasi • - Parameter penentu


volume cairan X 24 jam tidak penyebab SJS, dan kedaruratan. Kehilangan
tubuh berhubungan terjadi derajat SJS dan cairan dengan derajat II
dengan kekurangan faktor mortalitas yaitu terdapat bula 10-30
perpindahan cairan volume cairan berdasarkan %
dari intravaskuler scorten
Kriteria hasil : - Dengan memeriksa
ke dalam rongga
- -Observasi tanda TTV mengetahui
interstisial, - Haluaran
vital perkembangan keadaan
hilangnya cairan urine individu
- - Monitor dan pasien
secara evaporasi, adekuat (0,5-
catat cairan yang
rusaknya jaringan 1,0 mg/kg • - Cairan yang diberiakan
masuk dan keluar
kulit akibat luka. BB/jam) dilakukkan menurut
- -Kolaborasi skor
program medis volume
- Urin jernih dehidrasi
cairan juga harus
dan berwarna - Terapi cairan dan
sebanding dengan
kuning elektrolit, serta
volume aoutput
kalori dan protein
- Membran
secara parenteral.• Menentukan derajat
mukosa lembab
dehidrasi dan jumalah
- TD normal cairan yang akan di
(100-139/60-96 berikan
mmHg)
• Terlebih karena pasien
- Denyut nadi sukar atau tidak dapat
(60-100 menelan akibat lesi di
x/menit) mulut dan di
tenggorokan dan
kesadaran dapat
menurun. Untuk itu
- Kadar
dapat diberikan infuse,
elektrolit serum
misalnya dekstrosa 5%,
dalam batas
NaCl 9% dan ringer
normal
laktat berbanding 1:1:1

2 Gangguan Dalam5 X 24• - Kaji kerusakan - Menjadi data dasar


integritas kulit b.d. jam integritas jaringan kulit yang untuk melakukkan
inflamasi dermal kulit membaik terjadi pada klien intervensi
dan epidermal secara optimal
• - Monitor dan catat - Menentukan garis dasar
Kriteria hasil : cairan yang masuk dimana perubahan pada
dan keluar status dapat
Pertumbuhan
dibandingkan dan
jaringan - - Lakukkan
melakukan intervensi
membaik intervensi untuk
yang tepat
mencegah
komplikasi - Menurunkan iritasi garis
- - Kolaborasi jahitan dan tekanan dari
pemberian baju, membiarkan insisi
kortikosteroid terbuka terhadap udara
Pemeberian meningkat proses
antibiotik penyembuhan dan
menurunkan resiko
infeksi

- - Kortikosteroid
merupakan tindakan
file-saving dan
digunakan
deksametason intravena
Antibiotic di berikan
untuk pasien yang
infeksi

3 Gangguan nutrisi Dalam waktu •5 Kaji status nutrisi Lesi oral merupakan
kurang dari x 24 jam pasien, berat indikasi pemberian
kebutuhan tubuh asupan nutrisi badan, mukoasa nutrisi secara sonde atau
b.d. kesulitan terpenuhi oral, kemampuan parental
menelan menelan, dan
Kriteria hasil:
riwayat mual dan
• Pasien muntah 
dapat
• Evaluasi adanya
mempertahanka
alergi makanan
n status nutrisi Memberikan
dan kontra indikasi
yang adekuat pasien/orang terdekat
makanan
rasa kontrol,
• Memenuhi
• meningkatkan partisipasi
kebutuhan
dalam perawatan dan
nutrisinya
dapat memperbaiki
pemasukan

Timbang BB klien Membantu mencegah

distensi
gaster/ketidaknyamanan

Meningkatkan nafsu
makan Kalori protein
dan vitamin untuk
memenuhi peningkatan
kebutuhan metabolik,
mempertahankan berat
badan dan mendorong
regenerasi jaringan.

4 Resiko Infeksi Tujuan : tidak• Monitor tanda-  Perubahan tanda vital


berhubungan terjadi infeksi tanda vital secara drastis merupakan
dengan hilangnya local atau komplikasi lanjut untuk
barier/perlindunga sistemik terjadinya infeksi
n kulit
Kriteria hasil : Keadaan luka dapat di
kriteriakan sebagai
- Tidak
derajat mortalitas
ada tanda-tanda  Observasi keadaan
infeksi (merah, luka dengan
bengkak, panas, penentuan derajat
 Mencegah terjadinya
nyeri, fungsio luka
infeksi silang
lesi)
 Jaga agar luka tetap
- Leukosit bersih atau steril
(5000 - Mata dapat membengkak
Berikan perawatan
10000/mm3) oleh drainase luka
pada mata
- Kultur
luka
Peningkatan leukosit
memperlihatkan
menunjukkan infeksi,
jumlah bakteri
Pantau hitung pemeriksaan kultur dan
yang minimal
leukosit, hasil sensitivitas menunjukkan
- Suhu kultur dan tes mikroorganisme yang
tubuh dalam sensitivitas ada
batas normal
Antibiotic yang tepat
(36,5 - 37,4 C)
diberikan untuk
- RR : 16 mengurangi jumlah
– 20 x/menit bakteri

- TD :
100-139/60-96 Berikan antibiotic
mmHh

- Pols : 60
– 100 x/menit

5 Gangguan rasa Dalam waktu 1 Kaji nyeri dengan Manajemen untuk


nyaman, nyeri b.d. X 24 jam PQRST mengetahui intervensi
inflamasi pada yang akan di berikan
 Melaporkan
kulit
nyeri berkurang Dengan posisi fisiologis
Atur posisis
akan meningkatkan
 fisiologis
asupan oksigen
Menunjukkan
kejaringan yang
ekspresi
mengalami peradangan
wajah/postur
tubuh rileks Indikator penurunan
nyeri. Nyeri hampir
Kriteria
Kaji TTV selalu ada pada beberapa
evaluasi :
derajat beratnya

• Pasien keterlibatan jaringan.
tidak gelisah Meningkatkan relaksasi,
menurunkan tegangan
• Sklanyeri
otot dan kelelahan umum
menurun

• Adanya
perbaikan Metode IV sering
jaringan digunakan pada awal
untuk memaksimalkan
• Suhu
efek obat
tubuh normal
36,5-37,5 
derajat celsius
Berikan Menghilangkan rasa
penggantian cairan nyeri
IV yang dihitung,
elektrolit, plasma,
albumin

Kolaborasi dengan
dokter pemberian
analgetik

Das könnte Ihnen auch gefallen