Sie sind auf Seite 1von 19

ASUHAN KEPERAWATAN

TRAUMA BENDA TUMPUL ABDOMEN

A. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Menurut (Dorland, 2002 : 2111; Sjamsuhidayat, 1997), trauma adalah cedera atau
rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional, kekerasan yang mengakibatkan cedera.
Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang
mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati,
pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh –
pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus
serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001 : 2476 ).
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara
diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk.
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi denganatau tanpa
tembusnya dinding perut dimana padapenanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan
dapat puladilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
imonologi dan gangguan faal berbagai organ (Sjamsuhidayat, 1997).
2.Etiologi
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen,
umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul.Pada kecelakaan kendaraan bermotor,
kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma
ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan
kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga
diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ
internal diabdomen.
Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
1. Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum.Luka tumpul pada
abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan
bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau sabuk
pengaman.Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
2. Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum.Luka tembus
pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).Disebabkan
oleh :
· Luka akibat terkena tembakan
· Luka akibat tikaman benda tajam
· Luka akibat tusukan
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh :
· Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
· Hancur (tertabrak mobil)
· Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
· Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

KLASIFIKASI
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis.
1. Trauma penetrasI: Trauma Tembak ; Trauma Tumpul
2. Kompresi: Hancur akibat kecelakaan: Sabuk pengamAN; Cedera akselerasi

Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi.


1. Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinanterjadi
eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapatmenyerupai
tumor.
2. Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus ronggaabdomen harus di
eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi karena trauma penetrasi.
4.Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan
lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya
trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut
dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek
statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh.
Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang
akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang
menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas
dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang
sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun
ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut..
Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat
melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya
trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi
cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme :
1. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar
seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan
terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
2. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.
3. Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada
organ dan pedikel vaskuler.

5.Manifestasi klinis
Signs and Symptoms of Abdominal Injuries
A. Blunt Trauma
The initial clinical assessment of patients with blunt abdominal trauma is often
difficult and notably inaccurate. The most reliable signs and symptoms in alert patients are as
follows:

 Pain
 Tenderness
 Gastrointestinal hemorrhage
 Hypovolemia
 Evidence of peritoneal irritation

However, large amounts of blood can accumulate in the peritoneal and pelvic cavities
without any significant or early changes in the physical examination findings. Bradycardia
may indicate the presence of free intraperitoneal blood.
On physical examination, the following injury patterns predict the potential for intra-
abdominal trauma:

 Lap belt marks: Correlate with small intestine rupture


 Steering wheel–shaped contusions
 Ecchymosis involving the flanks (Grey Turner sign) or the umbilicus (Cullen sign):
Indicates retroperitoneal hemorrhage, but is usually delayed for several hours to days
 Abdominal distention
 Auscultation of bowel sounds in the thorax: May indicate a diaphragmatic injury
 Abdominal bruit: May indicate underlying vascular disease or traumatic arteriovenous
fistula
 Local or generalized tenderness, guarding, rigidity, or rebound tenderness: Suggests
peritoneal injury
 Fullness and doughy consistency on palpation: May indicate intra-abdominal
hemorrhage
 Crepitation or instability of the lower thoracic cage: Indicates the potential for splenic
or hepatic injuries
 Distension
 Discoloration of abdomenor flank
 Unexplained shock
 Peritoneal signs

B. Penetrating trauma
· Visible truncal injury including chest or abdomen
· Abdominal pain
· Bleeding
· Impaled object
· Evisceration
· Shock
Physical signs of internal bleeding include:
· Abdominal pain
· Guarding, rigidity
· Bruising, crepitus, swelling (especially across chest and pelvis from seat belt and or
shoulder harness)
· Abdominal distention, deformity
· Tachycardia, hypotension
· Pallor
· Evisceration
· Cullen’s sign: Bruising about the umbilicus (may indicate hemoperitoneum or
retroperitoneal bleeding but may take 12 hours to develop)
· Grey Turner’s sign: Bruising over flank (may indicate retroperitoneal bleeding but may
take 12 hours to develop)
· Hematuria
· Blood or semen at urethral meatus (from injury to prostate)
· Inability to urinate.

6.Pemeriksaan Diagnostik
1. Anamnesis
Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cidera yang mengancam
nyawa teridentifikasi dan mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai. AMPLE sering
digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu Allergies,Medications, Past medical
history, Last meal or other intake, Events leading to presentation (Salomone &
Salomone,2011).
Udeani & Seinberg (2011) menyatakan bahwa faktor penting yang berhubungan
dengan pasien trauma tumpul abdomen, khususnya yang berhubungan dengan kecelakaan
kendaraan bermotor perlu digali lebih lanjut, baik itu dari pasien, keluarga, saksi, ataupun
polisi dan paramedis.
Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau
penggunaan obat-obat anti platelet (seperti pada defek jantung congenital) karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan pada cidera intra abdomen (Wegner et al.,2006).
2. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilakukan dengan semua
cidera merupakan prioritas. Perlu digali apakah ada cidera kepala, sistem respirasi, atau
sistem kardiovaskular diluar cidera abdomen (Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani &
Steinberg, 2011).. Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
a. Pemeriksaan awal :
· Setelah survey primer dan resusitasi dilakukan, fokus dilakukan pada survey sekunder
abdomen.
· Untuk cidera yang mengancam jiwa yang membutuhkan pembedahan segera, survei
sekunder yang komprehensif dapat ditunda sampai kondisi pasien stabil.
· Pada akhir pemeriksaan awal dilihat kembali luka-luka ringan pada penderita. Banyak
cedera yang samar dan baru termanifestasikan kemudian.
b. Inspeksi :
· Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari cedera. Perlu
diperhatikan adanya area yang abrasi dan atau ekimosis.
· Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti abrasi karena sabuk
pengaman, hantaman dengan papan kemudi-yang membentuk contusio). Pada banyak
penelitian, tanda (bekas) sabuk pengaman dapat dihubungkan dengan ruptur usus halus dan
peningkatan insidensi cidera intra abdomen.
· Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat mengindikasikan cedera medulla
spinalis. Perhatikan distensi abdomen, yang kemungkinan berhubungan dengan
pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang diakibatkan iritasi peritoneal.
· Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di intra peritoneal pada pasien dengan
cedera trauma tumpul abdomen.
· Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan peritoneal, namun
gejala ini biasanya muncul dalam beberapa jam sampai hari. Memar dan edema panggul
meningkatkan kecurigaan adanya cedera retroperitoneal.
· Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan lunak, perdarahan,
dan hematoma.
c. Auskultasi :
· Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau fistula arteriovenosa
traumatik.
· Suara usus pada rongga thoraks menandakan adanya cedera diafragmatika.
· Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan reaksinya.
d. Palpasi :
· Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai respon pasien.
Perhatikan massa abnormal, nyeri tekan, dan deformitas.
· Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan perdarahan intraabdomen.
· Krepitasi atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi tanda potensial
untuk cidera limpa atau hati yang berhubungan dengan cedera tulang rusuk.
· Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus urinarius bagian
bawah, seperti hematom pelvis dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka berhubungan
tingkat kematian sebesar 50%.
· Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai perdarahan dan cedera.
Feces semestinya juga diperiksa untuk menilai adakah perdarahan berat atau tersamar. Tonus
rectal juga dinilai untuk mengetahui status neurologis dari pasien.
· Pemeriksaan sensori pada thorak dan abdomen dilakukan untuk evaluasi adanya cedera
medulla spinalis. Cedera medulla spinalis bisa berhubungan dengan penurunan atau bahkan
tidak adanya persepsi nyeri abdomen pada pasien.
· Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder karena bantuan
ventilasi atau terlalu banyak udara.
· Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan) segera setelah cedera
menandakan adanya kebocoran isi usus.
e. Perkusi :
· Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal
· Nyeri pada perkusi membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan besar konsultasi
pembedahan.
· Pipa nasogastrik seharusnya dipasang (jika tidak ada kontraindikasi seperti fraktur basal
kranii) untuk menurunkan tekanan lambung dan menilai apakah ada perdarahan. Jika pasien
mengalami cidera maxillofacial, lebih baik dipasang pipa orogastrik. Selanjutnya kateter
foley juga dipasang untuk mengetahui produksi urin dan pengambilan sample urinalisis untuk
pemeriksaan hematuri mikroskopis. Jika cedera urethra atau vesika urinaria diduga karena
fraktur pelvis, maka perlu dilakukan retrograde urethrogram terlebih dahulu sebelum
pemasangan kateter. Karena luasnya spektrum cidera pada trauma tumpul abdomen, maka
frekuensi evaluasi ulang menjadi komponen penting dari menejemen pasien dengan trauma
tumpul abdomen. Survei tersier merupakan pengulangan survei primer dan sekunder serta
revisi semua hasil laboratorium dan radiografi. Pada sebuah penelitian, survey tersier pada
trauma dapat mendeteksi 56% cidera yang terlewatkan selama penilaian awal dalam 24 jam
pertama.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Salomone & Salomone (2011), pemeriksaan laboratorium yang
direkomendasikan untuk korban trauma biasanya termasuk glukosa serum, darah lengkap,
kimia serum, amylase serum, urinalisis, pembekuan darah, golongan darah, arterial blood gas
(ABG), ethanol darah, dan tes kehamilan (untuk wanita usia produktif).
a. Pemeriksaan darah lengkap
Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa dijadikan acuan
bahwa tidak terjadi perdarahan. Pasien pendarahan mengeluarkan darah lengkap.Hingga
volume darah tergantikan dengan cairan kristaloid atau efek hormonal (seperti
adrenocorticotropic hormone [ACTH], aldosteron, antidiuretic hormone [ADH]) dan muncul
pengisian ulang transkapiler, anemia masih dapat meningkat. Jangan menahan pemberian
transfusi pada pasien dengan kadar hematokrit yang relatif normal (>30%) tapi memiliki
bukti klinis syok, cidera berat (seperti fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang
signifikan.
Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan trombositopenia berat (jumlah
trombosit<50,000/mL) dan terjadi perdarahan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan
antara rendahnya kadar hematokrit (<30%) dengan cidera berat. Peningkatan sel darah putih
tidak spesifik dan tidak dapat menunjukkan adanya cidera organ berongga.
b. Kimia serum
Banyak korban trauma kecelakaan lebih muda dari 40 tahun dan jarang menggunakan
obat-obatan yang mempengaruhi elektrolit (seperti diuretik, pengganti potassium). Jika
pengukuran gas darah tidak dilakukan, kimia serum dapat digunakan untuk mengukur serum
glukosa dan level karbon dioksida. Pemeriksaan cepat glukosa darah dengan menggunakan
alat stik pengukur penting pada pasien dengan perubahan status mental.
c. Tes fungsi hati
Tes fungsi hati pada pasien dengan trauma tumpul abdomen penting dilakukan, namun
temuan peningkatan hasil bisa dipengaruhi oleh beberapa alasan (contohnya penggunaan
alkohol). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kadar aspartate aminotransferase (AST)
atau alanine aminotransferase (ALT) meningkat lebih dari 130 U pada koresponden dengan
cedera hepar yang signifikan. Kadar Lactate Dehydrogenase (LDH) dan bilirubin tidak
spesifik menjadi indikator trauma hepar.
d. Pengukuran Amilase
Penentuan amylase awal pada beberapa penelitian menunjukkan tidak sensitif dan tidak
spesifik untuk cidera pankreas. Namun, peningkatan abnormal kadar amylase 3-6 jam setelah
trauma memiliki keakuratan yang cukup besar. Meskipun beberapa cedera pankreas dapat
terlewat dengan pemeriksaan CT scan segera setelah trauma, semua dapat teridentifikasi jika
scan diulang 36-48 jam. Peningkatan amylase atau lipase dapat terjadi akibat iskemik
pancreas akibat hipotensi sistemik yang menyertai syok.
e. Urinalisis
Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada abdomen dan atau panggul,
gross hematuria, mikroskopik hematuria dengan hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang
signifikan. Gross hematuri merupakan indikasi untuk dilakukannya cystografi dan IVP atau
CT scan abdomen dengan kontras.
f. Penilaian gas darah arteri (ABG)
Kadar ABG dapat menjadi informasi penting pada pasien dengan trauma mayor.Informasi
penting sekitar oksigenasi (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2) dapat digunakan untuk menilai
pasien dengan kecurigaan asidosis metabolic hasil dari asidosis laktat yang menyertai syok.
Defisit kadar basa sedang (>-5 mEq) merupakan indikasi untuk resusitasi dan penentuan
etiologi. Usaha untuk meningkatkan pengantaran oksigen sistemik dengan memastikan SaO2
yang adekuat (>90%) dan pemberian volume cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan
jika diindikasikan, dengan darah.

g. Skrining obat dan alkohol


Pemeriksaan skrining obat dan alkohol pada pasien trauma dengan perubahan tingkat
kesadaran.Nafas dan tes darah dapat mengindentifikasi tingkat penggunaan alkohol.
4. Pemeriksaan Gambar
Penilaian awal paling penting pada pasien dengan trauma tumpul abdomen adalah
penilaian stabilitas hemodinamik.Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil,
evaluasi cepat harus dibuat untuk melihat adanya hemoperitoneum.Hal ini dapat dapat
dilakukan dengan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage) atau FAST (Focused Abdominal
Sonogram for Trauma) scan.Pemeriksaan radiografi abdomen perlu dilakukan pada pasien
yang stabil ketika pemeriksaan fisik kurang meyakinkan (Hoff et al., 2001).
a. Foto polos : Udeani & Steinberg (2011) menyatakan bahwa :
· Meskipun secara keseluruhan evaluasi pasien trauma tumpul abdomen dengan rontgen
polos terbatas, namun foto polos dapat digunakan untuk menemukan beberapa hal.
· Radiografi dada bisa digunakan untuk diagnosis cedera abdomen seperti ruptur
hemidiafragmatika atau pneumoperitoneum.
· Radiografi dada dan pelvis dapat digunakan untuk menilai fraktur vertebra torakolumbar
· Udara bebas intraperitoneal atau udara yang terjebak pada retroperitoneal dari perforasi
usus kemungkinan bisa terlihat
b. Ultrasonografi

Ultrasonografi dengan focused


abdominal sonogram for trauma
(FAST) sudah digunakan untuk
mengevaluasi pasien trauma lebih
dari 10 tahun di Eropa. Akurasi
diagnostik FAST secara umum sama
dengan diagnostic peritoneal lavage
(DPL). Penelitian di Amerika dalam
beberapa tahun terakhir menunjukkan FAST sebagai pendekatan noninvasif untuk evaluasi
cepat hemoperitoneum (Feldman, 2006).
Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan cidera multisystem, ultrasonografi
portabel dengan operator yang berpengalaman dapat dengan cepat mengidentifikasi cairan
bebas di intraperitoneal. Cidera organ berongga jarang teridentifikasi, namun cairan bebas
bisa tervisualisasi pada beberapa kasus (Salomone & Salomone,2011).
Evaluasi FAST abdomen terdiri visualisasi perikardium (dari lapang pandang subxiphoid),
rongga splenorenal dan hepatorenal, serta kavum douglas pada pelvis. Tampilan pada
kantong Morrison lebih sensitive, terlebih jika etiologinya adalah cairan (Jehangir et al.,
2002).
Cairan bebas pada umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma abdomen. Cairan
bebas pada pasien yang tidak stabil mengindikasikan perlu dilakukan laparotomi emergensi,
akan tetapi jika pasien stabil dapat dievaluasi dengan CT scan (Feldman, 2006).

c. Computed Tomography (CT) Scan


Meskipun mahal dan membutuhkan banyak waktu, namun CT scan banyak mendukung
gambaran detail patologi trauma dan memberi penunjuk dalam intervensi operatif. Tidak
seperti FAST ataupun DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), CT scan dapat menentukan
sumber perdarahan (Salomone&Salomone,2011).
Cidera diafragma dan perforasi saluran pencernaan masih dapat terlewat dengan
pemeriksaan CT scan, khususnya jika CT scan dilakukan segera setelah trauma. Cidera
pankreas dapat terlewatkan dengan pemeriksaan awal CT scan, tapi secara umum dapat
ditemukan pada pemeriksaan follow up yang dilakukan pada pasien resiko tinggi. Untuk
beberapa pasien, endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dapat ditambahan
bersama CT scan untuk mendukung cedera duktus (Hoff et al., 200l).
Keuntungan utama CT scan adalah tingginya spesifitas dan penggunaan sebagai petunjuk
manajemen nonoperatif pada cidera organ padat (Feldman, 2006).

d. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)


Diagnostic peritoneal lavage (DPL) digunakan sebagai metode cepat untuk
menentukan adanya perdarahan intraabdomen.DPL terutama berguna jika riwayat dan
pemeriksaan abdomen menunjukkan ketidakstabilan dan cidera multisistem atau tidak
jelas.DPL juga berguna untuk pasien dimana pemeriksaan abdomen lebih lanjut tidak dapat
dilakukan (Feldman, 2006).
Indikasi dilakukannya DPL pada trauma tumpul dimana :
a. Pasien dengan cedera medulla spinalis
b. Cedera multipel dan syok yang tidak bisa dijelaskan
c. Pasien dengan cedera abdomen
d. Pasien intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera abdomen
e. Pasien dengan resiko cedera intra abdomen dimana dibutuhkan anestesi yang lebih panjang
untuk prosedur yang lain.
Kontraindikasi absolute untuk DPL adalah kebutuhan untuk laparotomi yang
nyata.Kontraindikasi relatif termasuk obesitas morbid, riwayat pembedahan abdomen
multipel, dan kehamilan. (Udeani&Steinberg,2011).
Variasi metode kateterisasi ke dalam rongga peritoneal telah dijelaskan, yaitu metode
terbuka, semi terbuka, dan metode tertutup. Metode terbuka membutuhkan insisi kulit
infraumbilikal yang luas dan melalui linea alba. Peritoneum dibuka dan kateter dimasukkan
dibawah visualisasi secara langsung.Metode semi terbuka serupa, kecuali peritoneum tidak
dibukan dan kateter dilewatkan perkutaneus melewati peritoneum ke dalam kavum peritoneal.
Taknik tertutup membutukan kateter uang dimasukkan secara buta melalui kulit, jaringan
subkutan, linea alba, dan peritoneum. Teknik tertutup dan semi terbuka pada infra umbilical
lebih banyak dilakukan pada bagian tengah (Udeani&Steinberg,2011).
DPL bernilai postitif pada pasien trauma tumpul jika 10mL darah segar teraspirasi
sebelum infus cairan cuci atau jika pipa cairan cuci (contohnya 1 L NaCl diinfuskan ke
kavitas peritoneal melalui kateter dan dibiarkan tercampur, dimana akan dialirkan oleh
gravitasi) terdapat lebih dari 100.00 sel darah merah/mL, lebih dari 500 sel darah putih/mL,
peningkatan kadar amilase, empedu, bakteri, serat makanan, atau urin. Hanya diperlukan
kira-kira 30 mL darah pada peritoneum untuk menghasilkan hasil DPL positif secara
mikroskopis (Feldman, 2006 ; Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani & Steinberg,2011).
Hasil lain dari DPL yang menjadi indikasi dilakukan eksplorasi termasuk adanya
empedu atau kadar amylase tinggi yang abnormal (indikasi perforasi usus), serat makanan,
atau bakteri pada pemeriksaan bakteri (King&Bewes,2002).
Komplikasi DPL termasuk perdarahan dari insisi dan tempat masuk kateter, infeksi
(luka peritoneal), dan cidera pada struktur intra abdomen (seperti vesika urinaria, usus halus,
uterus).Infeksi pada insisi, peritonitis dari tempat kateter, laserasi pada vesika urinaria, atau
cidera organ-organ lain intra abdomen dapat muncul dan mengakibatkan hasil positif palsu.
Hasil positif palsu dapat memicu laparotomi yang tidak diperlukan (King&Bewes,2002).
Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok
yang tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya
hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL (Feldman, 2006).

7.Penatalaksanaan Medis
PENATALAKSANAAN TRAUMA ABDOMEN
1. Airway dan Breathing
Ini diatasi terlbih dahulu. Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih daris atu area tubuh, dan
apapun yang ditemukan, ingat untuk memprioritaskan airway dan breathing terlebih dahulu.
2. Circulation
Kebanyak trauma abdomen tidak dapat dilakukan tindakan apa-apa pada fase pra-RS, namun
terhadap syok yang menyertainya perlu penanganan yang agresif. Seharusnya monitoring
urin dilakukan dengan pemasangan DC (katetr urin), namun umumnya tidak diperlukan pada
fase pra-RS karena masa transportasi yang pendek
3. Disability
Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis. Selalu periksa tingkat
kesadaran (dengan GCS) dan adanya lateralisasi (pupil anisokor dan motorik yang lebih
lemah satu sisi). Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar, cukup dengan menutupnya
dengan kasa steril yang lembab supaya usus tidak kering. Apabila ada benda menancap,
jangan dicabut, tetapi dilakukan fiksasi benda tersebut terhadap dinding perut.

Menurut Jenis Trauma:


1. Trauma Tumpul Abdomen
Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dahulu ABC bila pasien telah stabil
baru kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu sendiri.Pipa lambung, selain untuk
diagnostic, harus segera dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi muntah.
Sedangkan kateter di pasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin. Pada
trauma tumpul, bila terdapat kerusakan intra peritoneum harus dilakukan laparotomi,
sedangkan bila tidak, pasien diobservasi selama 24-48 jam.Tindakan laparotomi dilakukan
untuk mengetahui organ yang mengalami kerusakan. Bila terdapat perdarahan, tindakan yang
dilakukan adalah penghentian perdarahan. Sedangkan pada organ berongga, penanganan
kerusakan berkisar dari penutupan sederhana sampai reseksi sebagian.
2. Trauma Tembus Abdomen
Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dahulu ABC
bilapasientelahstabilbarukitamemikirkanpenatalaksanaan abdomen itusendiri.Pipa lambung,
selain untuk diagnostic, harus segera dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi bila terjadi
muntah. Sedangkan kateter di pasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai
urin.
Peningkatan nyeri di daerah abdomen membutuhkan eksplorasi bedah. Luka tembus
dapat mengakibatkan renjatan berat bila mengenai pembuluh darah besar atau hepar.
Penetrasi ke limpa, pancreas, atau ginjal biasanya tidak mengakibatkan perdarahan massif
kecuali bila ada pembuluh darah besar yang terkena. Perdarahan tersebut harus diatasi segera,
sedangkan pasien yang tidak tertolong dengan resusitasi cairan harus menjalani pembedahan
segera.
Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil di dada baian
bawah atau abdomen berbeda-beda. Namun semua ahli bedah sepakat semua pasien dengan
tanda peritonitis atau hipovolemia harus menjalani eksplorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti
bagi pasien tanpa tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil.
Semua luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus dieksplorasi terlebih dahulu.
Bila luka menembus peritoneum maka tindakan laparatomi diperlukan. Prolaps visera, tanda-
tanda peritonitis, syok, hilangnya bising usus, terdapat darah dalam lambung, buli-buli dan
rectum, adanya udara bebas intera peritoneal, dan lavase peritoneal yang positif juga
merupakan indikasi melakukan laparotomi. Bila tidak ada, pasien harus diobservasi selama
24-48 jam. Sedangkan pada pasien luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparotomi.

Berdasarkan organ yang mengalami trauma:


a. Limfa
Tidak semua pasien dengan cedera limfa memerlukan operasi, operasi diperlukan ketika
keadaan pasien tidak stabil, Gun Shot Wound (GSW) pada limfa, cedera limfa yang
mengenai seluruh kapsul limfa. Tujuannya untuk mengembalikan fungsi dari limfa jika
memungkinkan
b. Liver
Diperlukan tindakan operatif jika untuk memperbaiki cedera dan status hemodinamik
c. Intestinal besar dan kecil
Koreksi cairan melalui IV, tindakan operatif (untuk menyambung dan menutup lubang pada
usus)
d. Pankreas
Diperlukan tindakan operatif ntuk mengembalikan fungsi endokrin dan eksokrin dari
pankreas. Diperlukan endoscopic retrograde untuk mengetahui jika terjadi cedera pada ductus
pankreas
e. Diafragma
Pasien dengan ruptur diagfragma memerlukan tindakan operatif untuk mencegah hilangnya
tekanan negatif dari rongga dada. Peningkatan angka mortalitas meningkat ketika identifikasi
dan treatment tertunda.
f. Vaskular
Management pada ED berkonsentrasi pada menjaga akses IV dan menyediakan transport
cepat untuk tindakan operatif.
8. Komplikasi
1. Haemorrhage can result in shock and complications associated with massive blood
transfusions. Delayed haemorrhage from liver or spleen bruising tends to occur several days
after the initial injury.

2. Infection: intra-abdominal infection can be a significant problem. Predisposing factors


include injury to the intestines, open wounds, delayed diagnosis of hollow organ injuries, and
large amount s of damaged tissue.
3. The stomach and intestines often fail to work for a variable time after injury. This causes
problems such as delayed stomach emptying and paralytic ileus (paralysed bowel).

4. Severe haemorrhage, bowel swelling or bowel paralysis can lead to a high intra-abdominal
pressure as the fluid collects inside the abdomen. This can make it more difficult for a patient
to breathe because of increasing size and pain. Sometimes the pressure inside the abdomen
may need an operation to reduce it and afterwards the surgeons use a mesh repair or leave the
abdomen open. Repeated operations are required and the abdomen is closed in stages.

PENGKAJIAN
A. PENGKAJIAN UMUM

Pengkajian awal terhadap pasien trauma abdominal harus menyertakan A (airway and C-
spine), B (breathing), C (Circulation), dan D (disability dan penilaianneurologis) dan E
(exposure).
Pengkajian Awal
Langkah-langkahnya:
1. Kaji kondisi umum pasien

2. Kaji tingkat kesadaran. Kaji pasien dengan AVPU:

Alert/Awake = sadar penuh


verbal = berespon terhadap suara
Pain = berespon terhadap nyeri
Unresponsive = tidak ada respon
3. Lalu kaji :

A. Airway/ Jalan Nafas


B. Breathing/ Pernafasan
C. Circulation/ Sirkulasi
D. D (disability dan penilaianneurologis
E. E (exposure).
Catatan :
· Apabila menemukan kondisi kritis, maka langsung diberikan tindakan tanpa menyelesaikan
runtutan pengkajian terlebih dahulu. Pengkajian dapat dilanjutkan jika masalah terkait hal-hal
diatas sudah ditangani
· Jangan melakukan tindakan apapun sampai seluruh kondisi yang mengancam jiwa telah
dilakukan penanganan

B. PENGKAJIAN FOKUS

– Pengkajian fokus dilakukan jika pada langkah pengkajian awal Exposure memang sudah
jelas dan pasti trauma terjadi di daerah tertentu yang tampak.Dilakukan jika trauma bersifat
lokal/terfokus.
– Misalnya tertembak peluru di paha, tertusuk pisau di dada,tertusuk pisau di abdomen
Langkah-langkahnya meliputi :
1. Pengkajian terfokus pada area tertentu/lokal yang mengalami cedera (dalam kasus ini
adalah trauma abdomen)

2. Kaji riwayat (SAMPLE)


S = Symptoms (Gejala)
A = Allergies (Alergi)
M = Medications (Obat)
P = Past medical history (Riwayat penyakit)
L = Last oral intake (Masukan oral terakhir, apakah benda padat atau cair)
E = Events preceding the incidents (Kenapa terjadi?)
3. Kaji tanda vital: Nadi, RR, Tekanan darah, Suhu
Pengkajian fokus pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma Tembus Abdomen / Trauma Penetrasi

Trauma penetrasi dimana penting dilakukan konsultasi bedah, seperti luka tembak dan luka
tusuk
Langkah-Langkahnya :
· Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan.
· Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat
keluarnya peluru.
· Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat
dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda
iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga
abdomen).
· Kaji pasien untuk progresi atau distensi abdomen, abdomen supel, adanya gerakkan
melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan
syok.
· Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang
berkaitan.
· Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.
2. Trauma Tumpul Abdomen / Trauma Non Penetrasi
Yaitu trauma tanpa adanya penetrasi benda asing ke dalam rongga abdomen, sehingga
tidak menimbulkan robeknya rongga abdomen seperti kompresi, hancur (crash), Sabuk
pengaman (seat belt), cedera akselerasi / deselerasi.
Dapatkan riwayat detail jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau
salah). dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
· Metode cedera.
· Waktu awitan gejala.
· Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita ruptur limpa atau
hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
· Waktu makan atau minum terakhir.
· Kecenderungan perdarahan.
· Penyakit dan medikasi terbaru.
· Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
· Alergi.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan
b. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya pertahanan
tubuh
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
e. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


Keperawatan KH
1. Kekurangan Setelah 1. Kaji tanda-tanda1. untuk mengidentifikasi
volume cairan dilakukan vital. defisit volume cairan.
b/d perdarahan tindakan 2. mengidentifikasi
keperawatan 2. Pantau cairan keadaan perdarahan, serta
1x24 jam, parenteral dengan Penurunan sirkulasi
volume cairan elektrolit, antibiotik volume cairan
tidak dan vitamin menyebabkan kekeringan
mengalami mukosa dan pemekatan
kekurangan. urin. Deteksi dini
memungkinkan terapi
KH: pergantian cairan segera.
* Intake dan3. Kaji tetesan infus. 3. awasi tetesan untuk
output mengidentifikasi
seimbang 4. Kolaborasi : Berikan kebutuhan cairan.
* Turgor kulit cairan parenteral4. cara parenteral
baik sesuai indikasi. membantu memenuhi
* Perdarahan5. Cairan parenteral kebutuhan nuitrisi tubuh.
(-) ( IV line ) sesuai5. Mengganti cairan dan
dengan umur. elektrolit secara adekuat
6. Pemberian tranfusi dan cepat.
darah. 6. menggantikan darah
yang keluar.
2. Nyeri b/d Setelah 1. Kaji karakteristik1. Mengetahui tingkat nyeri
adanya trauma dilakukan nyeri. klien.
abdomen atau tindakan 2. Beri posisi semi2. Mengurngi kontraksi
luka penetrasi keperawatan fowler. abdomen
abdomen. 1x24 jam,3. Anjurkan tehnik3. Membantu mengurangi
Nyeri klien manajemen nyeri rasa nyeri dengan
teratasi. seperti distraksi mengalihkan perhatian
4. Managemant4. lingkungan yang nyaman
KH: lingkungan yang dapat memberikan rasa
 Skala nyeri nyaman. nyaman klien
0 5. Kolaborasi5. analgetik membantu
 Ekspresi pemberian analgetik mengurangi rasa nyeri.
tenang. sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.ums.ac.id

http://googlescholar.com

Das könnte Ihnen auch gefallen