Sie sind auf Seite 1von 6

 Senin, 20 Oktober 2008

 Menetapi Al-Jamaah Sebagai Sarana Mewujudkan Rahmat


 “Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
(QS. Al-Anbiya:107).

Ketika menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir di dalam tafsir “Al-Qur’an Al-Adzim” menukilkan
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, berkata: “Dikatakan, wahai
Rasulullah, berdo’alah untuk (kesengsaraan) orang-orang musyrik”. Beliau menjawab,”
Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai pelaknat, aku diutus hanyalah sebagai pembawa
rahmat”.

Sayid Quthb dalam tafsirnya “Fi Dzilalil Al-Qur’an” menulis: “Allah telah mengutus Rasul-
Nya sebagai rahmat bagi manusia seluruhnya untuk membimbing mereka kepada petunjuk-Nya
dan tidak mendapat petunjuk kecuali orang yang bersedia menerimanya meskipun rahmat
tersebut dapat dirasakan oleh orang yang beriman dan tidak beriman. Sesunggunhnya sistem
yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sistem yang akan
membahagiakan manusia seluruhnya dan menuntun mereka menuju kesempurnaan yang telah
ditentukan dalam kehidupan ini.

Ayat di atas merupakan petunjuk qoth’ie (pasti) tentang universalisme Islam dalam arti agama
Islam itu diturunkan oleh Allah untuk ummat manusia di seluruh dunia sepanjang masa. Apabila
syari’at Islam dilaksanakan maka akan terwujudlah rahmat secara universal baik bagi umat Islam
sendiri maupun bagi umat yang lain.

Pada millenium kedua menurut hitungan kalender masehi yang baru saja berlalu dan di awal era
globalisasi (berasal dari kata globe yang berarti dunia mini) ini, di samping kita meyaksikan
kemajuan pesat dalam berbagai bidang khususnya bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kita
juga menyaksikan berbagai macam krisis yang melanda umat manusia. Peter L. Berger
melukiskan manusia saat ini sedang mengalami “ANOMIE” yaitu sesuatu keadaan di mana
setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan
dengan sesama manusia lainnya sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan
petunjuk tentang dan arti kehidupan di dunia ini sehingga kegelisahan hidup timbul di mana-
mana.

Abu Al-Wafa’ Al-Taftadzani mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisaan masyarakat


modern sebagai berikut :
1. Gelisah karena takut kehilangan apa yang dimiliki, seperti jabatan, pekerjaan, harta dan
sebagainya.

2. Gelisah lantaran takut terhadap masa depan yang tidak disukai dan diinginkan.

3. Gelisah yang disebabkan oleh rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi
harapan dan kepuasan spiritual.

4. Kegelisaan yang disebabkan karena dirinya banyak melakukan pelanggaran dan dosa.
Disamping krisis psikologis (kejiwaan) seperti di atas pada mellinium kedua yang lalu, manusia
telah merasakan prahara yang sangat mengerikan yang belum pernah mereka rasakan
sebelumnya yaitu terjadinya Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) yang
berdampak buruk bagi umat manusia dalam berbagai bidang kehidupan hingga saat ini. Di
bidang politik berdampak munculnya dua negara super power Amerika Serikat dan Uni Soviet
(sekarang tinggal Amerika Serikat), timbulnya perang dingin antara negara-negara blok komunis
di belakang Uni Soviet dan blok kafitalis di belakang Amerika Serikat, tampilnya negara baru di
Asia, Afrika dan Eropa yang terus-menerus berperang sampai sekarang.

Dampak di bidang ekonomi berupa kehancuran total perekonomian dunia akibat sistem
perbankkan dan munculnya negara-negara kaya karena mengekploitasi negara-negara yang kalah
perang sehingga negara-negara ini menjadi miskin dan terbelakang walaupun kaya dengan
sumber-sumber alam. Dampak paling ironis dari Perang Dunia II adalah berdirinya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan mewujudkan perdamaian dunia tetapi realitanya justru
banyak menciptakan persengketaan dunia dan digunakan oleh sebagian anggotanya yang
memiliki hak veto terutama Amerika untuk menjadi polisi dunia dan melegalisasikan
kebrutalannya terhadap negara-negara yang dianggap menghambat kepentingannya seperti Irak,
Iran dan Sudan yang berpendudukan mayoritas muslim.

Akibat Kaum Muslimin tidak Bersatu


Terjadinya berbagai macam krisis dunia seperti di atas adalah akibat tidak adanya persatuan di
kalangan kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang kafir, sebagian mereka
menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melakukan apa yanng diperintahkan
Allah itu (keharusan saling melindungi antara kaum muslmin) pasti akan terjadi kehancuran di
muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al-Anfal:73)

Pada ayat ini Allah memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa orang kafir saling membantu
dalam menghadapi kaum muslimin. Hal ini terus dilakukan sejak jaman dahulu sampai sekarang.
Apabila kita buka lembaran sejarah Islam kita akan melihat bagaimana kafirin Makkah bersatu
padu dengan orang-orang kafir Arab Ghathafan dan bersatu pula dengan Yahudi Bani Quraidzoh
mengeroyok kaum muslimin pada Perang Ahzab di bulan Syawal tahun 5 H. Begitu pula pada
Perang Salib dahulu, Paus Paulus VI memutuskan memberi ampun orang Yahudi, musuh
bebuyutan mereka. Yang menuduh Nabi Isa Alaihissalam yang mereka akui sebagai Tuhan
sebagai anak zina. Gereja memberi ampunan dosa kepada orang Yahudi supaya dapat bersatu
memerangi Islam dan merebut Palestina dari kaum muslimin. Demikian juga pada kasus-kasus
yang terjadi akhir-akhir ini seperti serangan pasukan Sekutu atas Iraq, pembersihan etnis muslim
Bosnia di Perang Balkan sampai jajak pendapat di Timor Timur yang baru lalu serta konflik
Ambon yang sampai ini masih berlangsung semuanya menunjukan betapa kokohnya persatuan
orang-orang kafir dalam menghadapi umat Islam.

Di tengah-tengah kokohnya persatuan orang-orang kafir untuk menggencet kaum muslimin ini,
justru kaum muslimin berpecah-belah dan sebagian besar dilanda penyakit ananiyah
(individualisme) sehingga mereka senantiasa mengalami kekalahan. Karena kekalahan kaum
muslimin inilah akhirnya timbul berbagai macam krisis sebagaimana disebutkan di atas.
Oleh karena itu untuk mengatasi berbagai macam krisis tersebut muslimin harus mampu
menghadapi kekuatan kafirin dan kemampuan ini hanya akan terwujud apabila muslimin bersatu
dan tidak berpecah belah. Untuk mewujudkan kesatuan kaum muslimin, Allah memerintahkan
kaum muslimin untuk berjama’ah sebagaimana firman-Nya : “Dan berpegang teguhlah kamu
semua dengan tali Allah seraya berjama’ah dan janganlah berpecah belah. (QS. Ali-Imran:103)
Ketika menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir berkata : “Allah memerintahkan kaum muslimin supaya
berjama’ah dan melarang mereka berpecah belah.”

Berjama’ah ini pulalah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Hudzaifah bin Yaman ketika meminta petunjuk kepada beliau apakah yang harus dilakukan
ketika menghadapi berbagai macam krisis di kalangan kaum muslimin. Beliau memberi petunjuk
dengan sabdanya: “Tetaplah kamu dalam Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka”. (H.R.
Bukhari, Shahih Al-Bukhari:IX/65. Muslim, Shohih Muslim:II/134-135. Ibnu Majah, Sunan Ibnu
Majah:II/475. Lafadz Bukhari)

Hadits ini disamping memerintahkan berjama’ah juga memberi petunjuk bahwa dalam
berjama’ah harus ada Imaam, tanpa Imaam tidak mungkin akan ada Al-Jama’ah.Keberadaan
Imaam dalam mewujudkan kesatuan kaum muslimin adalah faktor yang paling utama dan
keberadaanya di tengah-tengah kaum muslimin adalah merupakan suatu kewajiban.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak halal bagi tiga orang di mana saja dipermukaan bumi ini kecuali mengangkat salah
seorang di antara mereka sebagai pemimpin". (H.R. Ahmad dari Abdullah bin Amr)

Berkenaan dengan wajibnya mengangkat Imaam ini Imaam Al-Ghozali berkata: “Dunia dan
keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya Imaam yang ditaati. Oleh
karenanya orang mengatakan, “Agama dan Imaam adalah saudara kembar”.Dan karenanya pula
orang orang mengatakan,”Agama adalah sendi dan Imaam adalah pengawal. Sesuatu yang tidak
ada sendi akan hancur dan sesuatu yang tidak ada pengawal akan sia-sia”.

Melihat pentingnya keberadaan Imaam ini maka yang pertama kali dilakukan oleh para sahabat
setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal adalah mencari pengganti beliau untuk
memimpin kaum muslimin. Akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti beliau. Setelah
Abu Bakar meninggal beliau digantikan oleh Umar bin Khattab, kemudian Umar digantikan oleh
Utsman bin Affan, kemudian Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib

Keempat sahabat ini telah memimpin umat Islam sesuai dengan apa yang telah dipraktekkan oleh
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh karena itu masa kepemimpinan mereka ini
disebut sebagaimana KHILAFAH ‘ALAMINHAJIN NUBUWWAH (Khilafah yang mengikuti
jejak kenabian) dan kehidupan masyarakat muslim di bawah seorang Imaam ini disebut Al-
Jama’ah.

Dengan Al-Jama’ah inilah rahmat Islam akan dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Berjama’ah adalah rahmat dan berpecah belah adalah azab”. (H.R. Ahmad dari Nu’man bin
Basyir, Musnad Ahmad:IV/278. Silsilah Ahadits shohihah No.667)
Dengan Al-Jama’ah inilah Islam tampil dengan wajah penuh rahmat yang mengayomi seluruh
umat manusia selama mereka tidak mengganggu umat Islam dalam melaksanakan Syari’at
agamanya. Ibnu Ishak memceritakan bahwa ketika delegasi kristen dari Najran yang hendak
menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah hendak bersembayang dan mereka
tidak mendapati satupun gereja di kota itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempersilakan mereka sembayang di masjid hingga selesai.

Setelah Abu Bakar dibai’at sebagai khalifah, maka salah satu intruksi harian yang beliau
sampaikan kepada pemimpin pasukan yang akan berangkat ke Syam, Yazid bin Abu Sofyan
adalah agar orang-orang yang tekun beribadah di dalam biara-biara tidak diganggu. Ketika
Yerusalem takluk tahun 637 M dan Khalifah Umar memasuki gereja makam suci Sofronius
patriakh gereja ortodoks, mempersilakan Umar shalat di dalam gereja tersebut tetapi Umar
menolak seraya berkata,” Jika saya shalat di sini, maka pengikut-pengikut saya akan
menganggap hal itu sebagai alasan untuk mengambil tempat ini dari tangan orang-orang kristen”.
Penghormatan kaum muslimin terhadap seluruh umat manusia tanpa memandang agama inilah
yang menyebabkan ke manapun perginya, pasukan Islam disambut sebagai tentara pembebas dan
memperlakukan manusia lain yang tidak memusuhinya dengan penuh rahmat, kebesaran hati dan
penuh kebaikan.

Namun apabila mereka memusuhi kaum muslimin maka kaum muslimin wajib membela diri
dengan syarat tidak berlebih-lebihan. Firman Allah :

  


   
   
    
 
“Maka barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia seimbang dengan serangannya
terhadapmu dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah sesungguhnya Allah bersama orang
yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah : 194)

Demikian sebagian gambaran rahmat Islam yang telah diwujudkan oleh kaum muslim di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masa Khulafa Al-Rasyidin al-Mahdiyyin. Oleh
karena itu menetapi Al-Jama’ah dan menegakkan kembali Sistem Khilafah adalah suatu
kaharusan apabila umat Islam berkeinginan mewujudkan rahmat Islam diseluruh permukaan
bumi ini.

Berdasarkan Nubuwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekarang inilah - setelah


runtuhnya Mulkan Utsmaniyyah di Turki waktunya - seluruh kaum Muslimin kembali kepada
sistem Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: ”Adalah masa kenabian ada di tengah-tengah kamu, adanya atas kehendak Allah,
kemudian Allah mengangkatnya ketika menghendakinya. Kemudian adalah masa Khilafah yang
mengikuti jejak kenabian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika
menghendakinya. Kemudian adalah masa kerajaan yang menggigit, adanya atas kehendak Allah,
kemudian Allah mengangkatnya ketika menghendakinya. Kemudian adalah masa kerajaan yaang
menyombong, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika
menghendakinya. Kemudian adalah masa khilafah yang mengikuti jejak kenabiaan, kemudian
beliau diamI". ( H.R. Ahmad dari Nu’man bin Basyir, Musnad Ahmad:IV/273. Al-Baihaqi,
Miskatul Mashobih hal.461. Lafadz Ahmad).

Setelah runtuhnya Dinasti Utsmaniyah kaum musluimin berusaha mengembalikan sistem


khilafah seperti yang pernah ada dengan berbagai upaya antara lain dengan menyelenggarakan
berbagai kongres seperti kongres Khilafah di Kairo tahun 1926, Kongres Muslim Dunia di
Makkah tahun 1926, Kongres Islam Internasional II di Karaci. Namun usaha ini selalu
mengalami kegagalan disebabkan khilafah dianggap masalah politik bukan semata-mata masalah
dien (agama).

Setelah masalah Khilafah didudukan kepada proporsi yang sebenarnya dimana Khilafah semata-
mata dipandang sebagai masalah agama, bersih dari unsur politik (non politik); dengan taqdir
Allah khilafah berhasil dikembalikan ditengah-tengah kaum muslimin dengan dibaiatnya Wali
Al-Fattaah sebagai Imaamul Muslimin pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H/ 20 Agustus 1953 M.

Bersamaan dengan pembaiatan ini ditetapkan pula langkah-langkah strategis kaum muslim
dalam menghadapi gejolak dunia sebagai berikut :

1. Pandangan, pendirian dan sikap hidup muslim : Yakni bahwa berpegang teguh dan saat
melaksanakan pedoman Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber segala kejayaan dan
kebahagian.

2. Ukhuwah Islamiyyah : Kesatuan bulat bagi seluruh Muslimin yang tidak dapat dibagi-bagi,
dipisah-pisah apalagi diadu domba, baik dalam kemudahanan atau dalam kesukaran dan dalam
perjuangan.

3. Kemasyarakatan : Berpihak kepada yang dhaif (lemah, tertindas, dan teraniaya).

4. Sikap terhadap lain golongan : Tegak berdiri dalam lingkungan kaum muslimin, di tengah
antar golongan, menyeru kepada kebaikan menyuruh kepada kebajikan dan mencegah
kemungkaran.

5. Antara bangsa-bangsa : Menolak fitnah penjajahan dan kedzaliman suatu bangsa atas bangsa
lain dan mengusahakan ta’ruf antara bangsa-bangsa.

Bagi kita yang telah menetapi Al-Jama’ah hendaknya senantiasa maksimal dalam perjuangan
sebagaimana firman Allah swt:

    


    
    
  
    
   
   
16. Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan
kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya
telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi
keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.

Setelah Imaam Wali Al-Fattaah wafat pada hari Jum’at, 27 Dzulqo’dah 1396 H/19 November
1976 M, dibaiatlah Muhyiddin Hamidy menggantikan beliau sebagai Imaamul muslimin hingga
sekarang ini. -- Wallahu a’lam bishawwab.

Das könnte Ihnen auch gefallen