Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
3. PUPUK HIJAU
Achmad Rachman, Ai Dariah, dan Djoko Santoso
SUMMARY
41
Rachman et al.
42
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
43
Rachman et al.
Tabel 1. Total hara yang terkandung dalam sisa panen (kecuali akar)
Tanaman Total hara dalam sisa tanaman kecuali akar
N P K Ca Mg S
Kacang-kacangan -1
kg ha
2 21 17 8
K. tunggak 25 6
K. tanah 70 5 59 60 17 16
K. hijau 35 3 54 18 9 7
Kedelai 15 2 13 1 2 6
K. panjang 65 6 33 23 16 8
Biji-bijian
Jagung Hibrida 45 7 58 7 12 6
Jagung lokal 25 4 32 4 7 4
Padi unggul 30 2 93 10 6 1
Padi lokal 15 2 49 5 3 1
Umbi-umbian 5 41 42 11
Singkong 61 6
Kentang 39 8 46 9 4 5
Ubi jalar 30 5 29 4 2 3
Diolah dari: Agus dan Widianto ( 2004)
44
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
Tanaman pagar
Salah satu cara untuk menyediakan sumber pupuk hijau secara in
situ adalah dengan mengembangkan sistem pertanaman lorong (alley
cropping), dimana tanaman pupuk hijau (berupa tanaman perdu dari jenis
legum/legum tree) ditanam sebagai tanaman pagar (hedge grow) berseling
dengan tanaman utama (pangan atau perkebunan) sebagai lorong (Gambar
1). Tanaman pagar dapat menghasilkan bahan organik secara periodik;
pada musim hujan tanaman pagar dapat dipangkas hampir setiap 2 bulan.
Aplikasi sistem pertanaman lorong pada lahan miring, dimana tanaman
legum pohon ditanam searah kontur juga sangat efektif menekan erosi
(Haryati et al., 1991; Erfandi et al., 1988; Suganda et al., 1991).
Istilah pertanaman lorong mulai diperkenalkan oleh International
Institute for Tropical Agriculture (IITA) di Ibadan, Nigeria (Kang et al., 1984).
Kemudian dipopulerkan di Indonesia kira-kira sejak tahun 1980-an
(Sukmana, 1995). Sebenarnya sistem ini sudah lama dipraktekkan banyak
petani di Flores, disana sistem ini lebih dikenal dengan istilah lamtoronisasi,
karena tanaman pagar yang digunakan adalah lamtoro, tanaman ini
utamanya ditanam sebagai sumber pakan.
45
Rachman et al.
Secara umum setiap semak atau pohon yang tergolong legum bisa
dijadikan tanaman pagar, namun lebih efektif apabila tanaman pagar
tersebut memenuhi sifat-sifat sebagai berikut: (1) berakar dalam agar tidak
menjadi pesaing bagi tanaman semusim; (2) pertumbuhan cepat, dan
setelah pemangkasan cepat bertunas kembali; (3) mampu menghasilkan
bahan hijauan dalam jumlah banyak dan terus-menerus yang dapat
digunakan sebagai pupuk hijau; dan (4) mampu memperbaiki kandungan
nitrogen tanah dan kandungan hara lainnya.
Selain lamtoro, jenis legum lainnya yang telah teruji keunggulannya
jika digunakan sebagai tanaman pagar adalah: Flemingia macrophylla
(hahapaan), Gliricidia sepium (glirisidia atau gamal), Tephrosia candida, dan
kaliandra. Di antara jenis-jenis tanaman tersebut, flemingia merupakan
tanaman yang paling unggul dalam menghasilkan bahan organik (Tabel 2),
sedangkan glirisida merupakan tanaman yang tahan kekeringan sehingga
tanaman ini banyak ditemukan di daerah beriklim kering seperti Nusa
Tenggara Timur (NTT), terutama setelah tanaman lamtoro di daerah ini
hampir punah terserang kutu loncat. Lamtoro sebenarnya merupakan legum
pohon yang banyak disukai petani, namun sampai saat ini petani sering
kesulitan untuk mendapatkan jenis lamtoro yang tahan kutu loncat.
* Jarak tanaman pagar 4-5 m, (1), (2), dan (3) produksi tahun pertama dan kedua atau ketiga
46
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
%
40,4-51,0 2,9-3,0 0,2-0,4 0,5-1,3 1,6 0,41
Flemingia (Flemingia
macrophylla) 1 dan 2) 36,9-40,7 2,4-3,7 0,2 0,9-2,2 1,9-3,2 0,5-0,8
Glirisidia (Gliricidia sepium)1 dan
2)
td 3,1-4,6 0,2-0,3 1,5-1,9 0,8-2,1 0,3-0,4
Lamtoro (Leucaena
leucocephala) 3) 41,9-46,4 2,6-4,1 0,1-0,2 0,5-0,6 0,9-1,8 0,4-0,5
Kaliandra (Calliandra
callothyrsus) 2) 37,0 4,0-4,7 0,2 1,1-2,4 0,8-1,7 0,2-0,5
Sesbania (Sesbania sesban) 2)
dan 3)
(1) Agus dan Widianto, 2004; (2) Palm et al. (2001); (3) Panjaitan (1988)
* % kering, td=tidak ada data
Selain persaingan dengan kebutuhan akan pakan ternak, kendala
yang sering dihadapi dari penerapan sistem pertanaman lorong adalah
tersitanya sebagian areal tanam tanaman utama, hal ini sering menjadi
masalah untuk areal pertanian dengan tingkat kepemilikan lahan yang relatif
sempit. Luas areal tanam dapat berkurang antara 4-16% (tergantung
kemiringan lahan, semakin miring semakin rapat jarak tanaman pagarnya)
dengan diaplikasikannya sistem pertanaman lorong.
47
Rachman et al.
Gambar 2. Gambar 3.
Tanaman penutup yang ditanam Tanaman penutup yang ditanam
secara simultan dengan tanaman secara sequensial (bergantian
utama dengan tanaman utama
Foto: Ai Dariah Foto: Ai Dariah
48
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
Tumbuhan liar
Tanaman liar seperti kembang telekan (Lantana camara), paitan
(Tithonia diversifolia), kirinyu (Cromolaena odorata), dan wedusan (Ageratum
conyzoides) dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif sumber/bahan pupuk
hijau, terutama jika ketersediaan sumber pupuk hijau lainnya sangat terbatas.
Biomassa Ageratum conyzoides dan Tithonia diversifola yang mempunyai
kandungan P-total 0,57% dan 0,47% dapat dikelompokkan sebagai bahan
organik berkualitas tinggi khususnya sebagai sumber hara P, Lantana camara
juga mempunyai kecepatan mineralisasi P yang lebih tinggi dibanding gliriside
(Pratikno et al., 2004; Cong, 2000). Kandungan unsur hara dari beberapa jenis
tanaman liar disajikan pada Tabel 6.
49
Rachman et al.
Tabel 6. Kandungan hara pada beberapa tanaman liar
50
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
Sesbania rostrata
Sesbania rostrata merupakan tanaman legum yang potensial
sebagai sumber N pada lahan sawah. Tanaman ini dapat tumbuh pada
keadaan tergenang, dan dapat membentuk bintil tidak hanya pada akar
tetapi juga pada batang (lihat Bab VI pada buku ini). Oleh karena itu
tanaman ini mempunyai kemampuan menambat N 2 yang relatif tinggi. Ladha
et al. (1988) melaporkan bahwa Sesbania rostrata yang batangnya
diinokulasi dengan Azorhizobium dapat menambat N2 383 kg N ha -1 ,
sedangkan yang tidak diinokulasi batangnya 303 kg N ha -1. Becker et al.
(1990) mendapatkan 80% N pada Sesbania rostrata yang berumur 8 minggu
berasal dari penambatan N2. S. rostrata mampu menghasilkan biomassa
kering 16,8 t ha-1 selama 13 minggu dan mengandung 426 kg N ha -1; 75% N
dan >60% P diakumulasi pada daun (Saraswati et al., 1994).
51
Rachman et al.
52
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
53
Rachman et al.
54
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
DAFTAR PUSTAKA
55
Rachman et al.
56
Pupuk Organik dan Pupuk Hayati
57