Sie sind auf Seite 1von 35

Referat

ANTIPSIKOTIK PADA KEHAMILAN

Oleh:

Rania Ulfah 1740312610

Muhammad Fadila Arie Novard 1840312620

PRESEPTOR:

dr. Nadjmir, Sp.KJ

BAGIAN PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin


dalam berbagai jaras di otak. Obat antipsikotik baik tipikal maupun atipikal
tentunya memiliki efek samping yang perlu diketahui agar pengobatan klinis bisa
efisien dan sesuai dengan proporsi dan tentunya agar mencapai target terapi.
Untuk itu kita harus mengenali obat antipsikotik ini terlebih dahulu, karena selain
manfaatnya, antipsikotik juga mempunyai kerugian yang menyertainya.1
Prevalensi gangguan kejiwaan telah meningkat selama bertahun-tahun,
dengan 50% dari populasi, hidup dengan beberapa bentuk gangguan psikologis.
Hal ini juga akan meningkatkan penggunaan obat antipsikotik. Spektrum
penggunaan antipsikotik telah meningkat secara eksponensial tidak hanya untuk
skizofrenia dan gangguan bipolar, tetapi mereka juga sering diresepkan untuk
gangguan mood dan gangguan kecemasan, perilaku menyakiti diri sendiri,
kondisi trauma, dan insomnia. Sebagian besar pasien psikiatris saat ini berusia 14
dan 24 tahun, bertepatan dengan usia rata-rata timbulnya kehamilan pertama.
Sekitar 67% wanita dengan gangguan psikiatri mengalami kehamilan secara tidak
terencana atau tidak diinginkan. Sebagian besar dari mereka kurang atau tidak
memiliki pengetahuan tentang keluarga berencana metode, dan akhirnya hamil.
Konsepsi ini juga dapat dihasilkan dari pelecehan seksual baik dari rekan-rekan
mereka atau bahkan orang-orang tanpa ketidakseimbangan kejiwaan.2

Kehamilan adalah kondisi fisiologis khusus di mana terapi obat menjadi


perhatian khusus karena fisiologi kehamilan mempengaruhi farmakokinetik obat
yang digunakan dan obat-obatan tertentu dapat mencapai janin dan menyebabkan
bahaya. Menghindari pengobatan farmakologis pada kehamilan tidak
memungkinkan dan mungkin berbahaya karena sebagian perempuan memasuki
kehamilan dengan kondisi medis yang memerlukan perawatan berkelanjutan dan

2
episodik. Fakta bahwa obat-obatan tertentu yang diberikan selama kehamilan
mungkin terbukti berbahaya bagi anak yang belum lahir adalah salah satu masalah
klasik dalam perawatan medis.3

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan Clinical Science Session ini adalah untuk mengetahui aturan
pemberian antipsikotik pada kehamilan.

1.3. Metode Penulisan


Metode penulisan Clinical Science Session ini adalah dengan studi
kepustakaan dengan merujuk pada berbagai literatur.

1.4. Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan Clinical Science Session ini adalah menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai antipsikotik pada kehamilan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Antipsikotik

2.1.1. Definisi

Sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor dopamine


tipe 2 (D2) sering disebut sebagai antipsikotik. Indikasi utama untuk pemakaian
obat adalah terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. Kelas obat
antipsikotik adalah termasuk chlorpromazine, thioridazine, fluphenazine dan
haloperidol. Antipsikotik digunakan secara klinis ketika Chlorpromazine telah
disintetis di Perancis. Satu obat antipsikotik baru yaitu risperidone, telah
dikenalkan di Amerika serikat. Walaupun risperidone adalah antagonis reseptor
D2 yang poten, ia memiliki ciri farmakologis tambahan yang memberikan
keuntungan terapeutik dan memperbaiki profil efek samping, dibandingkan
dengan antagonis reseptor dopamine yang tersedia sebelumnya. 1
Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama.
Clozapine adalah suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua
obat karena memiliki aktivitas pada reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini
dinamakan sebagai neuroleptik dan transkuiliser mayor. Istilah neuroleptik
menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat. Perkembangan
senyawa baru, seperti risperidone dan remoxipine, yang disertai dengan efek
neurologis yang sedikit menyebabkan pemakaian istilah neuroleptik menjadi tidak
akurat sebagai label keseluruhan senyawa. Istilah transkuiliser mayor secara tidak
akurat menekankan bahwa efek primer dari obat adalah untuk mensedasi pasien
dan dikacaukan oleh obat yang disebut transkuiliser minor, seperti benzodiasepin.
Antispikotik atipikal terbaru, seperti klozapin, risperidon, olanzapin, dan
ziprasidon, mempunyai efek klinis yang lebih besar daripada antipsikotik kelas
lain dengan efek samping ekstrapiramidal akut yang minimal. 1,4
Penggunaan utama antipsikotik untuk skizofrenia, sindrom otak organik
dengan psikosis. Obat ini juga berguna untuk pasien yang mengalami ansietas

4
berat dan menyalahgunakan obat atau alkohol karena benzodiazepin
dikontraindikasikan bagi mereka. 1

2.1.2. Indikasi Penggunaan

Gejala sasaran (target syndrome) : sindrom psikosis

Butir-butir diagnostik Sindrom Psikosis 5

 Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing


ability), bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang
terganggu, daya nilai norma sosial (judgment) terganggu, dn daya tilikan
diri (insight) terganggu.
 Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala
POSITIF: gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikaran yang tidak
wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak
sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak dapat terkendali
(disorganized), dan gejala NEGATIF: gangguan perasaan (afek tumpul,
respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif,
apatis), gangguan prosses berfikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang
stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan
cenderung menyendiri (abulia).
 Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanisfestasi dalam
gejala: tidak mampu bekerja, menjalin hubugan sosial, dan melakukan
kegiatan rutin.

2.1.3. Jenis-Jenis Antipsikotik

Tabel 1 Jenis-jenis Antipsikotik

No Nama obat

1 Antipsikotik tipikal :

- Phenothiazine
 Rantai aliphatic : chlorpromazine
 Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine,
fluphenazine
 Rantai piperidine : thioridazine

5
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
2 Antipsikotik atipikal :

- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole

Tabel 2. Dosis dan Sediaan Antipsikotik

No Nama obat Sediaan Dosis anjuran

1 Chlorpromazine Tab 25-100 mg 150-600mg/h

Amp 50mg/2cc 50-100 mg(im) setiap 4-6 jam

Anak anak >5 tahun ½ dosis orang


dewasa, anak anak < 5 tahun 1
mg/kgBB . bila perlu diberikan 2x
sehari.

2 Haloperidol Tab 0,5-1,5 mg- 5 5-15 mg/h


mg
5-10mg(im) setiap 4-6 jam
Amp 5mg/cc
50 mg (im) setiap 2-4 minggu
Amp 50mg/cc

3 Perphenazine Tab 2-4-8 mg 12-24 mg/h

4 Fluphenazine Tab 2,5-5 mg 10-15 mg/h

Vial 25 mg/cc 25 mg(im) setiap 2-4 minggu

5 Trifluoperazine Tab 1-5 mg 10-15 mg/h

6 Thioridazine Tab 50-100 mg 150-300 mg/h

7 Sulpiride Amp 100mg/2cc 3-6 amp/h

Tab 200 mg 300-600mg/h

8 Pimozide Tab 4 mg 2-4 mg/h

6
9 Risperidone Tab 1-2-3 mg 2-6 mg/h

Vial 25 mg/cc 25-50 mg(im) setiap 2 minggu

Vial 50 mg/cc

10 Clozapine Tab 25-100 mg 25-100mg/h

11 Quetiapine Tab 25-100 mg 50-400 mg

200 mg

12 Olanzapine Tab 5-10mg 10-20 mg/h

13 Zotepine Tab 25-50 mg 75-100 mg/h

14 Aripiprazole Tab 10-15 mg 10-15 mg/h

- ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA (APG I)

Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan


dalam dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan
antipsikotik generasi kedua (APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai
cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine
pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor
Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal. 5 Dapat menurunkan
gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala
negative.1,6

Mekanisme kerja : Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah


memblokade dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di
sistem limbik dan sistem ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists),
sehingga efektif untuk gejala positif.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-
neuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini
terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya
bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang

7
berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron-
neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan
serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari
sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus
anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat
pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan
antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang
berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat
berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik
tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara
menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.6,7

Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2


khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga
dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja
dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,6,7
Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal,
dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan
dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan
terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan
menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.6,7
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya
gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik
dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur
nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal,
mengontrol movements atau pergerakan.4,7
Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi
seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin
tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum,
aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.4,7

8
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada
keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor
kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut
kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1)
juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat
bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.4,7

9
INCLUDEPICTURE "http://www.ibibiobase.com/projects/db-drd4/picture
folder/pathway.jpg" \* MERGEFORMATINET

Gambar 1 : Mekanisme Kerja Antipsikotik generasi pertama

APG I mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala positif


seperti halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan kekambuhan setelah
penghentian pemberian APG I. 5

10
Kerugian pemberian APG I: 4

1. Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia


2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
3. Peningkatan kadar prolaktin
4. Sering menyebabkan terjadinya kekambuhan

Keuntungan pemberian APG I adalah jarang menyebabkan terjadinya


Sindrom Neuroleptik Malignant (SNM) dan cepat menurunkan gejala negatif.5

APG I dapat dibagi berdasarkan potensi dan rumus kimia. Pembagian


berdasarkan potensi adalah potensi tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan
pembagian berdasarkan rumus kimia adalah phenotiazine dan non-phenotiazine.5

Potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg.
APG I potensi tinggi diantaranya adalah haloperidol, fluphenazine, trifluoperazine
dan thiothixine. Potensi anti dopaminergik tinggi, kemungkinan efek samping
tinggi seperti distonia, akatisia, dan parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap tekanan
darah rendah.5

Potensi sedang bila dosis APG I yang digunakan antara 10- 50 mg. APG I
potensi sedang diantaranya perphenazine, loxapine dan molindone. Digunakan
untuk penderita yang sulit terhadap toleransi efek samping APG I potensi tinggi
dan potensi rendah.5

Potensi rendah bila dosis APG I yang digunakan lebih dari 50 mg. APG I
potensi rendah diantaranya adalah clorpromazine, thiridazine, dan mesoridazine.
Mempunyai efek samping sedasi, hipotensi ortostatik, lethargi dan gejala
antikolinergik meningkat berupa mulut kering retensi urine, pandangan kabur dan
konstipasi.5

Pembagian APG I bedasarkan rumus kimia: 6

1. Phenotiazine
 Rantai Aliphatic: Clorpromazine
 Rantai piperazine: Perphenazine, Trifluoperazine, fluphenazine.
 Rantai Piperidine: Thioridazine
2. Butyrophenoone: Haloperidol
3. Diphenyl-butyl-piperidine: Pimozide

11
- ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)

APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA)


atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi
anatar serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang
menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi
gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat
memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor
serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah
clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.
Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 4,5

Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways: 5

1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyababkan terjadinya aktivitas
dopamin pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan
antara serotonin dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam
memblok reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan
dopamin dan dopamin yand dilepas menang daripada yang dihambat di
jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif
maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan
gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan
APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih
banyak dari reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok
reseptor 5HT2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang
di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur
mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif
skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat

12
mempengaruhi blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade
reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan APG II dapat
memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin
akan menghambat pelepasan dari dopamin.
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT 2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter
serotonin dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol
sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan
prolaktin, sedangkan serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin.
Pemberian APG II dalam dosis terapi akan menghambat reseptor 5HT 2A
sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat. Ini mengakibatkan
pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.
4. Nigrostriatal Pathways

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu: 5

1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya


pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.

Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai: 5


First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.

Obat antipsikotik yang sering digunakan ada 21 jenis yaitu 15 jenis berasal
dari APG I dan 6 jenis berasal dari APG II. Keuntungan yang didapatkan dari
pemakaian APG II selain efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki
gejala negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan
ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat antipsikotik. 5

Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan


kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya

13
dalam masyarakat. Kualitas hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari
aspek occupational dysfunction, social dysfunction, instrumental skills deficits,
self-care, dan independent living. 5

2.1.4. Interaksi Obat 5


 Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensi efek samping obat dan tidak ada
bukti lebih efektif (tidak ada sinergis antara 2 obat anti-psikosis).
Misalnya, Chlorpromazine + Reserpine = potensiasi efek hipotensif.
 Antipsikosis + Antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik
meningkat (hati-hati pada pasien dengna hipertrofi prostat, glaukoma,
ileus, penyakit jantung).
 Antipsikosis + anti-anxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk
kasus dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute
adjunctive therapy).
 Antispikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis
pada pagi hari sebelum ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena
angka mortalitas yang tinggi.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus
lebih besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan ambang
kejang adalah obat anti-psikosis Haloperidol.
 Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antu-psikosis menurun
disebabkan gangguan absorpsi.

2.1.5. Cara Penggunaan

- Pemilihan Obat

Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
sekunder (efek samping ; sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 6
Anti-psikosis Mg. Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks.Pir.
Eq
Chlopromazine 100 150 - 1600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 - 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 - 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 - 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 - 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 - 100 + + ++++

14
Pimozide 2 2 - 6 + + ++
Clozapine 25 25 - 200 ++++ + -
Zotepine 50 75 - 100 + + +
Sulpiride 200 200 - 1600 + + +
Risperidone 2 2 - 9 + + +
Quetiapine 100 50 - 400 + + +
Olanzapine 10 10 - 20 + + +
Aripiprazole 10 10 - 20 + + +

Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis
yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan
dengan dosis ekivalen.

Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis
yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti
dengan obat anti-psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama),
dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu sama.

Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis
obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan
baik efek samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.

Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran
miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara
kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat
antipsikosis – atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada penderita
Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau
mempunyai risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal
(neuroleptic induced medical complication).

Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 6
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
 Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
 Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan
setiap 2-3 hari  sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul
peredaran Sindrom Psikosis)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu
dinaikkan  “dosis optimal”  dipertahankan sekitar 8-12 minggu

15
(stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu  “dosis maintenance” 
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug holiday” 1-2
hari/minggu)  tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)  stop.

- Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”,
terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun.
Pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5
kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa
hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian
baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat,
metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan
selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali.
Untuk “Psikosis Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah
hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan
obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic
Rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-
lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi
Sulfas Atropin 0,25 mg (im), tablet Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis +
antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis
dihentikan lebih dahulu, kemudian baru menyusul obat antiparkinson. 6
- Penggunaan Parenteral
Obat anti-psikosis “long acting” (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau
Haloperidol Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu sangat berguna untuk
pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau apapun yang tidak efektif
terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan secara oral lebih
dahulu beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.

16
Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pad bulan pertama kemudian
bau ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan.
Pemberian obat anti psikosis “long acting” hanya untuk terapi stabilisasi
dan pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15 – 25 %
kasus menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ektrapiramidal. 6
2.1.6. Efek Samping Antipsikotik
a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi
yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari
medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang
paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni
Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine, Fluphenazine, dan dapat pula
oleh Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan oleh obat dengan
potensial tinggi yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor
muskarinik.1 Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme
atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal
(piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu
reaksi distonia akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson.
 Reaksi distonia akut
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot
skelet yang timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering
terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler,
bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik,
sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan
keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat
menimbulkan nyeri hingga mengancam kehidupan seperti distonia
laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu
atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan
saja. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan
lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi tinggi,
seperti haloperidol, trifluoperazine dan flufenazine.
 Akatisia

17
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan
untuk tetap bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh
karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan
sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat
menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman
yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain
dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.
 Sindrom Parkinson
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi
wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan
pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang
dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih
ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan
jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai
aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala
skizofrenia negatif. Tremor dapat diteukan pada saat istirahat dan dapat
pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah yang kecil dan
menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.
 Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat
supersensitif reseptor dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan
manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik,
atau seperti tik yang mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernapas,
dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat
meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis
tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang
timbul dengan berjalannya waktu.

b. Sindrom Neuropleptik Maligna


Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia,
rigiditas, dan disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi
serius dari penggunaan obat antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal

18
tahun 1960 setelah observasi pasien yang diberikan obat antipsikotik
potensial tinggi.
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM
berhubungan dengan sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2
dopamine. Blokade pusat reseptor D-2 pada hipotalamus, jalur
nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan terjadinya peningkatan
rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur ekstrapiramidal.
Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan titik
temperatur dan gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara
itu efek antipsikotik di perifer tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan
kalsium dari retikulum sarkoplasma sehingga terjadi peningkatan
kontraktilitas yang juga dapat berkontribusi dalam terjadinya hipertermia,
rigiditas, dan penghancuran sel otot.
Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom
neuroleptik maligna baik neuroleptik potensial rendah maupun potensial
tinggi. Berdasarkan penelitian SNM lebih sering ditemukan pada pasien
yang mengkonsumsi haloperidol dan chlorpromazine. Antipsikotik atipikal
yang terbaru walaupun tidak diklasifikasikan secara akurat sebagai
golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan sindrom ini. Contoh obat
antipsikotik atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom neuroleptik
maligna (SNM) seperti olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan
quetiapine.
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni
penggunaan antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam
menaikkan dosis pengobatan, penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama,
kondisi pasien yang mengalami dehidrasi, kelelahan, dan agitasi. Selain itu
pada pasien yang telah mengalami SNM juga memiliki resiko tinggi untuk
terjadi SNM rekurens.
Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai
kejadian SNM yang berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina
menunjukkan terdapat insidens 0,12% dari pasien yang menggunakan obat
neuroleptik sementara di India terdapat 0.14%. SNM dapat terjadi kapan

19
pun dari waktu pengobatan dan resiko kejadian meningkat pada pasien
yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus terjadi pada minggu
pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20% dan
umumnya resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami
nekrosis sel-sel otot yang menyebabkan rhabdomyolisis.
Gambaran gejala klinis SNM dapat berupa :

Disfagia

Resting tremor

Inkontinensia

Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor hingga koma (level
kesadaran yang fluktuatif)

Tekanan darah yang labil/berubah-ubah

Sesak nafas, takipnea

Agitasi psikomotrik

Takikardia dan hipertermia (demam tinggi)

Rigiditas
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan SNM memperlihatkan
peningkatan Kreatinin kinase (CK) akibat penghancuran dan nekrosis sel-
sel otot, peningkatan aminotransferase (aminotransferasi aspartat/GOT dan
aminotransferasealanine/GPT), peningkatan Laktat dehidrogenase (LDH)
yang juga menggambarkan terjadinya nekrosis dan dapat dengan cepat
berkembang menjadi rhabdomyolisis yang memberikan hasil laboratorium
hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperurisemia, dan hipokalsemia. Selain itu
bila terdapat peningkatan kadar myoglobin dalam darah atau
myoglobinuria merupakan tanda terjadinya kegagalan ginjal. Sementara
untuk pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis,
trombositosis, dan tanda-tanda dehidrasi.

c. Gangguan fungsi kognitif


Terdapat konsensus bahwa antipsikotik yang bersifat antimuskarinik
kuat dapat mengganggu fungsi memori. Gangguan untuk memusatkan
perhatian, menyimpan memori, dan memori semantik yang mungkin

20
memang terdapat pada pasien skizofrenia di episode awal penyakit dapat
menjadi lebih berat. Selain itu kemampuan memecahkan masalah sosial,
keterampilan sosial juga memperlihatkan penurunan.

d. Efek hormonal
Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang
panjang dapat menyebabkan peningkatan produksi hormon prolaktin
terutama pada wanita.
Blokade pada traktur tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke
hipotalamus dan kelenjar hipofisis mengakibatkan berbagai efek samping
neuroendokrine, yakni peningkatan pelepasan hormone prolaktin .
Prolaktin serum yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi
seksual pada wanita maupun pria yang dapat bermanifestasi sebagai
galaktorrhea, amenorrhea dan poembesaran payudara pada wanita,
gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme, gangguan libido,
impotensi, dan ginekomasti pada pria.

e. Efek samping pada sistem lainnya



Efek lain antipsikotik tipikal seperti efek antikolinergik baik sentral
maupun perifer melalui blokade reseptor muskarinik. Gejala pada efek
sentral seperti agitasi yang berat, disorientasi waktu, tempat dan orang,
halusinasi, dan dilatasi pupil. Sedangkan efek perifer antikolinergik
berupa mulut dan hidung yang kering umumnya dilaporkan pada
pasien dengan pengobatan antipsikotik tipikal potensi rendah,
contohnya chlorpromazine dan mesoridazine. Efek antikolinergik
autonomik lainnya seperti konstipasi.

Fotosensitivitas dapat terjadi pada pasien yang mengkonsumsi
golongan potensi rendah seperti chlorpromazine sehingga pasien perlu
diinstruksikan untuk berhati-hati ketika terpapar sinar matahari. Selain
itu dermatitis alergi dapat terjadi di awal pengobatan.

Efek sedasi terjadi akibat mekanisme hambatan reseptor histamine H1
yang mungkin akan berpengaruh dalam pekerjaan bila pasien
merupakan orang yang masih aktif bekerja. Akibat inhibisi

21
psikomotorik menjadikan aktivitas psikomotorik menurun,
kewaspadaan berkurang dan kemampuan kognitif menurun.

Efek autonomik yang muncul seperti hipotensi postural dimediasi oleh
blokade adrenergik umumnya pada pengguna obat tipikal potensial
rendah seperti chlorpromazine dan thioridazine. Sehingga penggunaan
obat tipikal potensial rendah intramuscular memerlukan pemantauan
tekanan darah (saat berbaring dan berdiri) untuk mencegah pasien
pingsan ataupun jatuh saat berdiri.

Gangguan irama jantung merupakan efek antipsikotik yang
mengganggu kontraktilitas jantung, menghancurkan enzim
kontraktilitas sel-sel miokardium.

Antipsikotik tipikal mampu menurunkan ambang batas seseorang
untuk mengalami kejang. Chlorpromazine dan thioridazine
diperkirakan bersifat lebih epiloeptogenik sehingga resiko untuk
kejang selama masa pengobatan perlu dipertimbangkan dalam
gangguan kejang atau lesi pada otak.

Selain itu efek yang mungkin timbul juga dapat berupa peningkatan
berat badan yang kebanyakan terdapat pada pasien yang
mengkonsumsi chlorpromazine dan thioridazine. Paling sering karena
pengobatan antipsikotik atipikal. Nafsu makan yang meningkat erat
kaitannya dengan blokade reseptor alpha1- adrenergic dan
Histaminergic.

Efek hematologi dapat terjadi berupa leukopenia dengan sel darah
putih 3.500 sel/mm3 merupakan masalah yang umum. Agranulositosis
yang mampu mengancam kehidupan dapat terjadi pada 1 : 10.000
pasien yang dirawat dengan antipsikotik tipikal.

Tabel 4. Efek Samping Antipsikotik


OBAT ANTI PSIKOSIS EFEK EFEK EFEK EFEK
EKSTRAPI ANTIEM SEDATIF HIPOTENSIF
RAMIDAL ETIK
A. DERIVAT FENOTIAZIN
1. Senyawa dimetilaminopropil :

22
Klorpromazin ++ ++ +++ ++
Promazin ++ ++ ++ +++
Triflupromazin +++ +++ +++ +
2. Senyawa piperidil :
Mepazin ++ ++ +++ ++
Tioridazin + + ++ ++
3. Senyawa piperazin :
Asetofenazin ++ ++ + +
Karfenazin +++ +++ ++ ++
Flufenazin +++ +++ ++ +
Perfenazin +++ +++ + +
Proklorperazin +++ +++ ++ +
Trifluoperazin tiopropazat +++ +++ ++ +
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen ++ ++ +++ ++
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol +++ +++ + +

Tabel 5. Efek Samping Antipsikotik


WAKTU
GAMBARAN
EFEK RESIKO MEKANISME PENGOBATAN
KLINIS
MAKSIMAL
Spasme otot
Dapat diberikan
lidah, wajah,
berbagai pengobatan,
leher, punggung ; Belum
Distonia akut 1-5 hari obat anti Parkinson
dapat menyerupai diketahui
bersifat diagnostik dan
bangkitan ; bukan
kuratif
histeria
Ketidak- Kurangi dosis atau ganti
tenangan, obat; obat anti
Belum
Akatisia motorik, bukan 5-60 hari Parkinson,
diketahui
ansietas atau benzodiazepin, atau
agitasi propanolol
Parkinsonisme Bradikinesia, 5-30 hari Antagonisme Obat anti Parkinson
rigiditas, macam- dengan menolong

23
macam tremor,
wajah topeng, dopamin
suffling gait
Berminggu- Hentikan neuroleptik
Katatonik, stupor,
minggu, dapat Ada kontribusi segera; dantrolene atau
demam, tekanan
Sindroma bertahan antagonisme bromokriptin dapat
darah tidak stabil,
malignan beberapa hari dengan menolong; obat anti
mioglobinemia,;
setelah obat dopamin Parkinson lainnya tidak
dapat fatal
dihentikan efektif
Tremor perioral
Setelah
(mungkin sejenis
Tremor perioral berbulan- Obat antiparkinson
perkinsonisme Belum
(sindroma bulan atau sering menolong
yang dating diketahui
kelinci) bertahun-
terlambat)
tahun
pengobatan
Setelah
berbulan-
Diskinesia mulut-
bulan atau
wajah; Diduga : Sulit dicegah,
bertahun-
Diskinesia tardif koreoatetosis kelebihan efek pengobatan tidak
tahun
atau distonia dopamin memuaskan
(memburuk
meluas
dengan
penghentian)

- PERHATIAN KHUSUS

Efek samping yang sering timbul dan tindakan mangatasinya 6
Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan
Hipotensi Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa
adrenergic blockade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi Nor-
adrenaline (Nor-epinephrine) sebagai “alfa adrenergic stimulator”.
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat
“alfa dan beta adrenergic stimulator” sehingga efek beta-adrenergic tetap
ada dan dapat terjadi Shock.
Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung
bangun setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar 5-
10 menit.

24
Bila dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate
(LEVOPHED – Abbot atau RAIVAS – Dexa Medica atau VASCON –
Fahrenheit) ampul 4 mg/4cc dalam infus 1000 ml dextrose 5% dengan
kecepatan infus 2-3cc/menit.
Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan
gejalan Ekstrapiramidal/Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya
dengan tablet Trihexyphenidyl (Artane) 3-4x 2 mg/hari, Sulfas Atropin
0,50-0,75 mg (im).
Apabila Sindrom Parkinson sudah terkendali diusahakan penurunan
dosis secara bertahap, untuk menentukan apakah masih dibutuhkan
penggunaan obat antiparkinson.
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih
lama dari 3 bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak
dianjurkan pemberian “antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat
mempengaruhi penyerapan/absorpsi obat anti-psikosis sehingga kadarnya
dalam plasma rendah, dan dapt menghalangi manifestasi gejala
psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat anti-
psikosis agar tercapai dosis efektif.

“Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10 mg (im) dapt diulangi
setiap 2 jam, dosis maksimum adalah 100 mg dalam 24 jam. Biasanya
dalam 6 jam sudah dapat mengatasi gejala-gejala akut dari Sindrom
Psikosis (agitasi, hiperaktivitas psikomotorm impulsif, menyerang, gaduh-
gelisah, perilaku destruktif dll).

Kontraindikasi :
- Penyakit hati (hepato-toksik),
- Penyakit darah (hemato-toksik),
- Epilepsi (menurunkan ambang kejang),
- Kelainan jantung (menghambat irama jantung),
- Febris yang tinggai (thermoregulator di SSP),
- Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat),
- Penyakit SSP (parkinson, tumor otak dll),
- Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran makin
memburuk).

2.2. Antipsikotik pada Kehamilan


2.2.1. Kategori Keamanan Obat pada Kehamilan
Kehamilan adalah kondisi fisiologis khusus di mana terapi obat menjadi
perhatian khusus karena fisiologi kehamilan mempengaruhi farmakokinetik obat

25
yang digunakan dan obat-obatan tertentu dapat mencapai janin dan menyebabkan
bahaya. Menghindari pengobatan farmakologis pada kehamilan tidak
memungkinkan dan mungkin berbahaya karena sebagian perempuan memasuki
kehamilan dengan kondisi medis yang memerlukan perawatan berkelanjutan dan
episodik. Fakta bahwa obat-obatan tertentu yang diberikan selama kehamilan
mungkin terbukti berbahaya bagi anak yang belum lahir adalah salah satu masalah
klasik dalam perawatan medis.3 Terdapat 2 macam kategori penggunaan obat
dalam kehamilan yang biasa digunakan, yaitu berdasarkan Food and Drug
Administration (FDA) & Australian Drug Evaluation Committee (ADEC)

- Kategori obat dalam kehamilan berdasarkan Food and Drug


Administration (FDA)

Untuk memberi tuntunan terapi, Food and Drug Administration


(1979) membuat suatu sistem untuk menentukan peringkat keamanan obat
pada kehamilan. Sistem ini dirancang untuk membantu dokter
menyederhanakan informasi manfaat – risiko dengan kategori – kategori
yang dinyatakan dengan huruf - huruf. Kesepakatan umum menyatakan
bahwa sistem ini tidaklah ideal. Banyak peringkat obat didasarkan pada
data hewan, laporan kasus, dan data manusia yang terbatas atau tidak ada,
dengan informasi yang jarang diperbaharui. Karena produsen juga
membuat peringkat, sering terjadi ketidaksesuaian. Kekurangan lain
adalah bahwa adanya kategori-kategori ini menimbulkan kesan bahwa
obat-obat dalam satu kategori memiliki risiko yang setara, yang
sebenarnya tidak.8

Tabel 6 - Kategori FDA untuk obat pada kehamilan

A Studi – studi pada wanita hamil belum memperlihatkan adanya


risiko kelainan janin jika diberikan selama trimester pertama (kedua,
ketiga, atau semuanya), dan kemungkinan bahaya bagi janin
,manusia tampaknya jauh

B Studi-studi reproduksi pada hewan telah dilakukan dan tidak


memperlihatkan adanya bukti gangguan fertilitas atau bahaya bagi
janin. Informasi peresepan perlu memperjelas jenis hewan dan

26
bagaimana dosisnya dibandingkan dengan dosis pada manusia

Atau

Studi pada hewan memperlihatkan efek samping, tetapi studi-studi


yang adekuat dan terkontrol baik pada wanita hamil gagal
memperlihatkan risiko bagi janin selama trimester pertama
kehamilan, dan belum ada bukti risiko pada trimester-trimester
selanjutnya

C Studi-studi reproduksi hewan telah memperlihatkan bahwa obat ini


bersifat teratogenik (atau embriosidal atau menimbulkan efek
samping lain), dan belum ada studi yang adekuat dan terkontrol baik
pada wanita hamil. Informasi peresepan perlu memperjelas jenis
hewan dan bagaimana dosisnya dibandingkan dengan dosis pada
manusia

Atau

Belum ada studi reproduksi pada hewan dan belum ada studi
terkontrol dan adekuat pada manusia.

D Obat ini dapat membahayakan janin jika diberikan kepada wanita


hamil. Jika obat ini digunakan selama kehamilan atau jika seorang
wanita menjadi hamil ketika menggunakan obat ini maka ia perlu
diberitahu tentang kemungkinan efek samping pada janinnya

X Obat ini dikontraindikasikan bagi wanita yang sedang atau akan


hamil. Obat ini akan merugikan janin. Jika obat ini digunakan
selama kehamilan atau jika seorang wanita menjadi hamil
menggunakan obat ini maka ia perlu diberi tahu tentang
kemungkinan bahaya bagi janinnya

- Kategori obat dalam kehamilan berdasarkan Australian Drug Evaluation


Committee (ADEC)

Sistem kategorisasi Australia berbeda dari kategorisasi US FDA.


Kategorisasi obat-obatan untuk digunakan dalam kehamilan tidak
mengikuti struktur hierarki. Data manusia masih kurang atau tidak
memadai untuk obat di B1, B2 dan B3 kategori. Subkategorisasi dari
kategori B berdasarkan data hewan. Kategori B tidak berarti lebih aman
daripada kategori C. Obat dalam kategori D tidak benar-benar
dikontraindikasikan selama kehamilan (eganticonvulsants). Untuk produk
farmasi yang mengandung dua atau lebih bahan aktif, kategorisasi

27
kombinasi didasarkan pada bahan aktif dengan kategorisasi kehamilan
paling bersifat membatasi.3

Tabel 7 - Kategori obat dalam kehamilan berdasarkan Australian Drug Evaluation


Committee (ADEC)

A Obat yang telah banyak digunakan oleh ibu


hamil maupun wanita usia produktif tanpa disertai bukti peningkatan
frekuensi terjadinya malformasi ataupun efek lain yg membahayakan
janin yang diteliti baik secara langsung maupun tidak langsung

B1 Obat yang digunakan hanya sejumlah kecuali ibu hamil maupun wanita
usia reproduktif tanpa disertai bukti peningkatan kejadian malformasi
atau efek lain yang membahayakan janin baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penelitian pada hewan tidak menunjukkan bukti
peningkatan kejadian kerusakan pada janin

B2 Obat yang digunakan oleh sejumlah kecil ibu hamil atau wanita usia
reproduktif tanpa disertai bukti peningkatan frekuensi kejadian
malformasi atau efek lain yang membahayakan janin manusia yg
diteliti,baik langsung maupun tidak langsung. Data penelitian pada
hewan tidak mencukupi atau tidak ada, tetapi data yg tersedia tidak
menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan pada janin

B3 Obat yang digunakan hanya sejumlah kecil ibu hamil tanpa disertai
bukti peningkatan frekuensi kejadian malformasi atau efek lain yang
membahayakan janin manusia yang diteliti baik secara langsung
maupun tidak langsung. Penelitian pada hewan menunjukkan bukti
peningkatan kejadian kerusakan pada janin dengan kemaknaan efek tsb
pada manusia belum jelas

C Obat yang berdasarkan efek farmakologinya telah atau diduga dapat


menyebabkan efek yang membahayakan pada janin manusia atau
neonatus tanpa disertai malformasi. Efek tsb bisa jadi reversibel

D Obat yang telah dicurigai atau diramalkan menyebabkan peningkatan


kejadian malformasi janin manusia atau kerusakan yg bersifat menetap
(irreversible)

X Obat yang mempunyai resiko tinggi untuk menyebabkan kerusakan


yang bersifat menetap terhadap janin sehingga tidak boleh digunakan
pada masa kehamilan atau jika ada kemungkinan terjadi kehamilan

2.2.2. Kategori Keamanan Antipsikotik pada Kehamilan

28
Tabel 8. Kategori Keamanan Antipsikotik pada Kehamilan10

Nama Obat Kategori Keamanan


Haloperidol C
Chlorpromazine C
Risperidon C
Olanzepine C
Clozapine B
Quetiapine C
Aripiprazol C
2.2.3. Penggunaan Antipsikotik pada Kehamilan
Minggu 5-8 gestasi merupakan periode terjadinya organogenesis yaitu fase
terbentuk dan berkembangnya organ tubuh. Pemberian obat pada masa ini harus
menjadi perhatian khusus untuk mencegah terjadinya anomali sebagai akibat dari
pemberian obat-obatan pada ibu. Pada masa kehamilan terjadi perubahan
fisiologis seperti peningkatan volume vaskular, peningkatan cardiac output dan
penurunan albumin. Semua ini berkontribusi dalam menurunkan kadar obat dalam
serum dan adanya peningkatan metabolisme hepatik dan renal clearance.
Sementara itu janin memiliki sistem hepatik dan sistem renal yang masih belum
matang, sawar darah otak yang permeabel, dan sulitnya transportasi metabolit
obat balik ke sirkulasi maternal dan konsentrasi obat yang tinggi dalam darah.
Ketika obat dengan dosis yang adekuat diberikan pada ibu, pada saat yang
bersamaan , kadarnya dalam sirkulasi janin akan sedikit. Faktanya sistem hepatik
dan renal janin masih belum matang. Untuk mengatasinya, plasenta akan
membuang produk metabolisme pada sirkulasi janin melalui P-glikoprotein
sehingga terjadi transportasi produk metabolisme ke sirkulasi maternal. Obat-
obatan yang mengandung P-glikoprotein seperti risperidon, dan quetiapine,
memiliki sedikit kemungkinan untuk mencapai kadar tertinggi di sirkulasi janin.2
Jelas bahwa semua obat antipsikotik bersifat lipofilik dan melewati sawar
darah plasenta. Penggunaan beberapa obat anti-psikotik khususnya yang generasi
pertama, telah dikaitkan dengan komplikasi kehamilan seperti diabetes gestasional
dan sejumlah efek samping potensial pada janin, bervariasi dari berat lahir rendah
hingga masalah perkembangan saraf yang serius telah dikaitkan pada penggunaan
berkelanjutan. Contohnya, dua kelompok utama gangguan kejiwaan, skizofrenia
dan gangguan bipolar, kedua kondisi ini terkait dengan peningkatan risiko
komplikasi pada kehamilan tersebut seperti pre-eklampsia, perdarahan ante-

29
partum, gawat janin, serta potensi untuk perkembangan saraf yang merugikan .
Sebuah penelitian menyimpulkan risiko berat bayi lahir rendah dan kecil untuk
usia kehamilan, di antara wanita dengan skizofrenia, tidak berbeda terlepas dari
paparan antipsikotik. Hal ini menyatakan bahwa sedikit atau tidak ada manfaatnya
dari penghentian obat selama kehamilan . Saat ini, obat antipsikotik yang paling
umum digunakan selama kehamilan adalah olanzapine, risperidone, dan
quetiapine; tidak ada bukti spesifik bahwa obat-obat ini menyebabkan malformasi
janin.2
Obat antipsikotik generasi kedua banyak diresepkan untuk wanita selama
kehamilan. Tidak ada bukti yang cukup yang menunjukkan hubungan antara
penggunaan antipsikotik atipikal yang menyebabkan efek teratogenik pada
neonatus. Hiperglikemia dan penambahan berat badan merupakan kondisi paling
umum ditemukan pada wanita hamil yang menggunakan obat antipsikotik
atipikal. Bayi yang besar untuk usia kehamilan terlihat pada pemaparan obat-
obatan ini dalam kandungan. Namun, bayi berat lahir rendah dengan pemberian
antipsikotik generasi kedua jarang terjadi jika dibandingkan dengan penggunaan
antipsikotik generasi pertama.2
- Olanzapine
Olanzapine adalah antipsikotik yang paling umum digunakan pada
kehamilan dengan 72% perjalanan plasenta. Obat ini terutama digunakan
dalam pengobatan skizofrenia dan gangguan bipolar. Penggunaannya
dapat meningkatkan risiko cacat tabung saraf.
Namun, tidak ada bukti yang mendukungnya. Selain itu juga terkait
dengan diabetes gestasional, kehamilan ektopik, abortus pada ibu,
peningkatan berat badan lahir, dan prematuritas pada bayi.
- Quetiapine
Quetiapine adalah antipsikotik dengan yang melewati plasenta sebesar
23,8%. Quetiapine telah dikaitkan dengan kelainan septum atrium,
sumbing bibir / langit-langit, atresia paru, dan hidrosefalus pada bayi baru
lahir. Penggunaan quetiapine secara bersamaan dengan zuclopenthixol
juga telah dilakukan terkait dengan defek septum atrium. Abortus juga
dilaporkan dalam beberapa kasus.
- Risperidone
Risperidone juga merupakan salah satu antipsikotik yang sering
digunakan. Penggunannya dikaitkan dengan komplikasi perinatal mulai

30
dari sindrom putus obat hingga kejang. Penggunaan Risperidone
ditemukan dapat menyebabkan malformasi janin termasuk sindrom
Ivemark, sindrom Pierre-Robin, kardiomiopati, sumbing bibir dan langit-
langit, kelainan telinga, gastroschisis, diabetes gestasional, dan Sindrom
Turners.
- Clozapine
Penggunaan clozapine dilaporkan menyebabkan kasus abortus pada ibu
walaupun kasusnya sangat sedikit, kasus anus ektopik, dan
myelomeningocele lumbar

Data yang sangat terbatas tersedia tentang penggunaan antipsikotik


atipikal baru
seperti aripiprazole, sertindole, dan ziprasidone. Pada hewan percobaan
menunjukkan terjadinya defek septum ventrikel dan malformasi renal dengan
dosis yang mirip dengan dosis terapi pada umumnya digunakan pada obat-obatan
ini.2
- Haloperidol
Haloperidol adalah butyrophenone yang melewati plasenta sekitar 65,5%.
Paparan trimester pertama terhadap haloperidol telah dilaporkan
menyebabkan defek ekstremitas, dan anomali jantung pada trimester
ketiga. Malformasi lain yang
dapat terjadi dengan penggunaan haloperidol adalah mikropthalmia,
gastroschisis,
trisomi 13 dan 18, dan displasia ginjal. Namun, tidak satupun dari semua
ini yang ditemukan signifikan jika dibandingkan dengan populasi umum.
- Chlorpromazine
Obat ini meningkatkan risiko non-spesifik teratogenik, efek samping dan
ekstrapiramidal pada paparan trimester pertama. Hipotonia janin dapat
terjadi setelah pemberian klorpromazin dosis sangat tinggi pada
kehamilan. Sebuah peningkatan risiko ikterus neonatal pada bayi prematur
juga terjadi pada penggunaan chlorpromazine selama kehamilan.2
Efek samping lain yang terkait dengan antipsikotik tipikal termasuk defek
pada ekstremitas dan kelainan bentuk kaki pada bayi yang ibunya terpapar dengan
penfluridol pada trimester pertama . Katarak kongenital, blok jantung kongenital,
trakeomalacia, hipospdiasis, VSD, testis yang tidak turun, stenosis pilorus, dan
ureter stenosis dilaporkan pada penggunaan zuclopenthixol pada trimester

31
pertama. Patent Ductus Arteriosus (PDA), situs inversus, kista serebral, VSD,
defek langit-langit mulut, testis tidak turun, dan diabetes mellitus gestasional
dilaporkan dengan penggunaan flupenthixol pada trimester pertama. Namun,
dibutuhkan lebih banyak penelitian yang berkaitan dengan zuclopenthixol dan
flupenthixol sebelum kesimpulan bisa dibuat dibuat sehubungan dengan
keamanan pemberiannya dalam kehamilan.2
Rekomendasi penatalaksanaan untuk penggunaan antipsikotik pada
kehamilan.9
- Sebisa mungkin, dengan mempertimbangkan potensi kehamilan,
pertimbangan prakonsepsi harus diberikan dalam bentuk pengobatan
farmakologis yang paling tepat.
- Usahakan pemberian obat antipsikotik dosis minimal yang efektif. Namun,
penekanannya harus pada efektif daripada minimal, dan perawatan parsial
harus dihindari karena ini membuat janin terpapar baik risiko pengobatan
maupun tanpa pengobatan.
- Optimalkan aliansi terapeutik dan perawatan nonfarmakologis.
- Membangun hubungan penghubung yang erat antara semua disiplin ilmu
yang terlibat dalam perawatan perinatal: psikiatri, psikologi, kebidanan,
pediatri, kebidanan, dan perawatan kesehatan ibu dan anak.
- Dapatkan pengukuran dasar dari parameter biologis yang dapat
dikompromikan dari penyakit dan pengobatan.
- Pastikan bahwa proses memperoleh persetujuan berdasarkan informasi
yang diberikan di mana semua informasi tersedia tentang risiko dan
manfaat pengobatan
- Resepkan 5 mg folat setiap hari dari tiga bulan sebelum kehamilan dan
selama kehamilan sebagai neuroprotektor, serta pemberian multivitamin.
- Pemberian monoterapi sebisa mungkin.
- Idealnya, tim yang berspesialisasi dalam skenario risiko tinggi harus
melakukan tatalaksana kebidanan.
- Pastikan bahwa pemantauan yang memadai sepanjang kehamilan.
- Pemeriksaan ultrasonografi harus dilakukan pada 12 minggu, diikuti
oleh scanning morfologi resolusi tinggi yang dilakukan pada usia
kehamilan 20 minggu.
- Mengingat potensi peningkatan risiko sindrom metabolik dan diabetes
gestasional, dilakukan uji toleransi glukosa pada trimester kedua (14-16
minggu) dan pada usia kehamilan 28 minggu.

32
- Demikian pula, ulasan yang memadai tentang pertumbuhan janin (lebih
disukai melalui pemindaian pertumbuhan pada 28 dan 34 minggu dan
lebih lanjut seperti yang ditunjukkan) sangat penting mengingat
peningkatan risiko gangguan pertumbuhan dan berat lahir.
- Pada persalinan, mulai observasi untuk toksisitas, gejala ekstrapiramidal,
sedasi atau efek samping lainnya, dan pastikan bahwa pemeriksaan
morfologis dilakukan dengan cermat.
- Membuat dan menerapkan Rencana Perawatan Kesehatan Mental untuk
pengaturan pasca melahirkan yang mendorong lingkungan stimulus
rendah, hubungan dekat antara semua penyedia layanan kesehatan, dan
memungkinkan rawat inap yang diperpanjang di mana pengamatan dapat
dilakukan
- Tetapkan tanda-tanda peringatan dini untuk kekambuhan dan jalur
perawatan jika ini terjadi.
- Berikan rekomendasi dan preferensi yang jelas tentang laktasi.

BAB 3

KESIMPULAN

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N. Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia.


Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
2013; p.173-95.
2. Odhejo YI, Jafri A , Mekala HM , Hassan M , Khan AM et al.,Safety and
Efficacy of Antipsychotics in Pregnancy and Lactation. Journal of
Alcoholism and Drug Dependence. 2017; 5(3) : p.1
3. Sachdeva, P., et al. Drug Use in Pregnancy. Indian J Pharm Sci. 2009;
71(1): p. 1–7.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry :
Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia :
Lippincott Williams and Wolters Kluwer Business.2007; p.467-97.

34
5. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi
ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. p.14-
22.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin
Dunitz Ltd.1999 ;p.35-47
7. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
Psychiatry .Singapore : McGraw-Hill Book.2000; p.260-89
8. Cunningham, F.G., et al. Teratology and medication that affect the fetus.
Dalam Williams Obstetrics Edisi 23. USA : McGraw-Hill comp.inc.2010
9. Galbally M, Martien Snellen, Power J. Antipsychotic drugs in pregnancy :
a review of their maternal and fetal effects. Therapeutic Advances in Drug
Safety.2014;5(2);p-106
10. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil
dan Menyusui. Jakarta : Depkes RI.2006

35

Das könnte Ihnen auch gefallen