Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Oleh:
PRESEPTOR:
BAGIAN PSIKIATRI
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
episodik. Fakta bahwa obat-obatan tertentu yang diberikan selama kehamilan
mungkin terbukti berbahaya bagi anak yang belum lahir adalah salah satu masalah
klasik dalam perawatan medis.3
Tujuan penulisan Clinical Science Session ini adalah untuk mengetahui aturan
pemberian antipsikotik pada kehamilan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Antipsikotik
2.1.1. Definisi
4
berat dan menyalahgunakan obat atau alkohol karena benzodiazepin
dikontraindikasikan bagi mereka. 1
No Nama obat
1 Antipsikotik tipikal :
- Phenothiazine
Rantai aliphatic : chlorpromazine
Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine,
fluphenazine
Rantai piperidine : thioridazine
5
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
2 Antipsikotik atipikal :
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole
6
9 Risperidone Tab 1-2-3 mg 2-6 mg/h
Vial 50 mg/cc
200 mg
7
berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron-
neuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan
serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari
sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus
anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat
pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan
antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang
berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat
berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik
tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara
menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.6,7
8
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada
keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor
kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut
kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1)
juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat
bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga
dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.4,7
9
INCLUDEPICTURE "http://www.ibibiobase.com/projects/db-drd4/picture
folder/pathway.jpg" \* MERGEFORMATINET
10
Kerugian pemberian APG I: 4
Potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg.
APG I potensi tinggi diantaranya adalah haloperidol, fluphenazine, trifluoperazine
dan thiothixine. Potensi anti dopaminergik tinggi, kemungkinan efek samping
tinggi seperti distonia, akatisia, dan parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap tekanan
darah rendah.5
Potensi sedang bila dosis APG I yang digunakan antara 10- 50 mg. APG I
potensi sedang diantaranya perphenazine, loxapine dan molindone. Digunakan
untuk penderita yang sulit terhadap toleransi efek samping APG I potensi tinggi
dan potensi rendah.5
Potensi rendah bila dosis APG I yang digunakan lebih dari 50 mg. APG I
potensi rendah diantaranya adalah clorpromazine, thiridazine, dan mesoridazine.
Mempunyai efek samping sedasi, hipotensi ortostatik, lethargi dan gejala
antikolinergik meningkat berupa mulut kering retensi urine, pandangan kabur dan
konstipasi.5
1. Phenotiazine
Rantai Aliphatic: Clorpromazine
Rantai piperazine: Perphenazine, Trifluoperazine, fluphenazine.
Rantai Piperidine: Thioridazine
2. Butyrophenoone: Haloperidol
3. Diphenyl-butyl-piperidine: Pimozide
11
- ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyababkan terjadinya aktivitas
dopamin pathways sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan
antara serotonin dan dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam
memblok reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan
dopamin dan dopamin yand dilepas menang daripada yang dihambat di
jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif
maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan
gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan
APG I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih
banyak dari reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok
reseptor 5HT2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang
di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur
mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif
skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat
12
mempengaruhi blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade
reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan APG II dapat
memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin
akan menghambat pelepasan dari dopamin.
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT 2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter
serotonin dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol
sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan
prolaktin, sedangkan serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin.
Pemberian APG II dalam dosis terapi akan menghambat reseptor 5HT 2A
sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat. Ini mengakibatkan
pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.
4. Nigrostriatal Pathways
Obat antipsikotik yang sering digunakan ada 21 jenis yaitu 15 jenis berasal
dari APG I dan 6 jenis berasal dari APG II. Keuntungan yang didapatkan dari
pemakaian APG II selain efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki
gejala negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan
ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat antipsikotik. 5
13
dalam masyarakat. Kualitas hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari
aspek occupational dysfunction, social dysfunction, instrumental skills deficits,
self-care, dan independent living. 5
- Pemilihan Obat
Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
sekunder (efek samping ; sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 6
Anti-psikosis Mg. Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks.Pir.
Eq
Chlopromazine 100 150 - 1600 +++ +++ ++
Thioridazine 100 100 - 900 +++ +++ +
Perphenazine 8 8 - 48 + + +++
Trifluoperazine 5 5 - 60 + + +++
Fluphenazine 5 5 - 60 ++ + +++
Haloperidol 2 2 - 100 + + ++++
14
Pimozide 2 2 - 6 + + ++
Clozapine 25 25 - 200 ++++ + -
Zotepine 50 75 - 100 + + +
Sulpiride 200 200 - 1600 + + +
Risperidone 2 2 - 9 + + +
Quetiapine 100 50 - 400 + + +
Olanzapine 10 10 - 20 + + +
Aripiprazole 10 10 - 20 + + +
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis
yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan
dengan dosis ekivalen.
Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis
yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti
dengan obat anti-psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama),
dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis
obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan
baik efek samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran
miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara
kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat
antipsikosis – atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada penderita
Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau
mempunyai risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal
(neuroleptic induced medical complication).
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 6
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan
setiap 2-3 hari sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul
peredaran Sindrom Psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu
dinaikkan “dosis optimal” dipertahankan sekitar 8-12 minggu
15
(stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu “dosis maintenance”
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug holiday” 1-2
hari/minggu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) stop.
- Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”,
terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun.
Pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5
kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa
hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian
baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat,
metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan
selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali.
Untuk “Psikosis Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah
hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan
obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic
Rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-
lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi
Sulfas Atropin 0,25 mg (im), tablet Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis +
antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis
dihentikan lebih dahulu, kemudian baru menyusul obat antiparkinson. 6
- Penggunaan Parenteral
Obat anti-psikosis “long acting” (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau
Haloperidol Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu sangat berguna untuk
pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau apapun yang tidak efektif
terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan secara oral lebih
dahulu beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
16
Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pad bulan pertama kemudian
bau ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan.
Pemberian obat anti psikosis “long acting” hanya untuk terapi stabilisasi
dan pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15 – 25 %
kasus menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ektrapiramidal. 6
2.1.6. Efek Samping Antipsikotik
a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi
yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari
medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang
paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni
Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine, Fluphenazine, dan dapat pula
oleh Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan oleh obat dengan
potensial tinggi yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor
muskarinik.1 Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme
atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal
(piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu
reaksi distonia akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson.
Reaksi distonia akut
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot
skelet yang timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering
terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler,
bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik,
sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan
keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat
menimbulkan nyeri hingga mengancam kehidupan seperti distonia
laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu
atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan
saja. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan
lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi tinggi,
seperti haloperidol, trifluoperazine dan flufenazine.
Akatisia
17
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan
untuk tetap bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh
karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan
sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat
menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman
yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain
dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.
Sindrom Parkinson
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi
wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan
pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang
dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih
ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan
jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai
aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala
skizofrenia negatif. Tremor dapat diteukan pada saat istirahat dan dapat
pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah yang kecil dan
menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.
Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat
supersensitif reseptor dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan
manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik,
atau seperti tik yang mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernapas,
dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat
meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis
tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang
timbul dengan berjalannya waktu.
18
tahun 1960 setelah observasi pasien yang diberikan obat antipsikotik
potensial tinggi.
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM
berhubungan dengan sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2
dopamine. Blokade pusat reseptor D-2 pada hipotalamus, jalur
nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan terjadinya peningkatan
rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur ekstrapiramidal.
Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan titik
temperatur dan gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara
itu efek antipsikotik di perifer tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan
kalsium dari retikulum sarkoplasma sehingga terjadi peningkatan
kontraktilitas yang juga dapat berkontribusi dalam terjadinya hipertermia,
rigiditas, dan penghancuran sel otot.
Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom
neuroleptik maligna baik neuroleptik potensial rendah maupun potensial
tinggi. Berdasarkan penelitian SNM lebih sering ditemukan pada pasien
yang mengkonsumsi haloperidol dan chlorpromazine. Antipsikotik atipikal
yang terbaru walaupun tidak diklasifikasikan secara akurat sebagai
golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan sindrom ini. Contoh obat
antipsikotik atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom neuroleptik
maligna (SNM) seperti olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan
quetiapine.
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni
penggunaan antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam
menaikkan dosis pengobatan, penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama,
kondisi pasien yang mengalami dehidrasi, kelelahan, dan agitasi. Selain itu
pada pasien yang telah mengalami SNM juga memiliki resiko tinggi untuk
terjadi SNM rekurens.
Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai
kejadian SNM yang berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina
menunjukkan terdapat insidens 0,12% dari pasien yang menggunakan obat
neuroleptik sementara di India terdapat 0.14%. SNM dapat terjadi kapan
19
pun dari waktu pengobatan dan resiko kejadian meningkat pada pasien
yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus terjadi pada minggu
pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20% dan
umumnya resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami
nekrosis sel-sel otot yang menyebabkan rhabdomyolisis.
Gambaran gejala klinis SNM dapat berupa :
Disfagia
Resting tremor
Inkontinensia
Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor hingga koma (level
kesadaran yang fluktuatif)
Tekanan darah yang labil/berubah-ubah
Sesak nafas, takipnea
Agitasi psikomotrik
Takikardia dan hipertermia (demam tinggi)
Rigiditas
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan SNM memperlihatkan
peningkatan Kreatinin kinase (CK) akibat penghancuran dan nekrosis sel-
sel otot, peningkatan aminotransferase (aminotransferasi aspartat/GOT dan
aminotransferasealanine/GPT), peningkatan Laktat dehidrogenase (LDH)
yang juga menggambarkan terjadinya nekrosis dan dapat dengan cepat
berkembang menjadi rhabdomyolisis yang memberikan hasil laboratorium
hiperkalemia, hiperfosfatemia, hiperurisemia, dan hipokalsemia. Selain itu
bila terdapat peningkatan kadar myoglobin dalam darah atau
myoglobinuria merupakan tanda terjadinya kegagalan ginjal. Sementara
untuk pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis,
trombositosis, dan tanda-tanda dehidrasi.
20
memang terdapat pada pasien skizofrenia di episode awal penyakit dapat
menjadi lebih berat. Selain itu kemampuan memecahkan masalah sosial,
keterampilan sosial juga memperlihatkan penurunan.
d. Efek hormonal
Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang
panjang dapat menyebabkan peningkatan produksi hormon prolaktin
terutama pada wanita.
Blokade pada traktur tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke
hipotalamus dan kelenjar hipofisis mengakibatkan berbagai efek samping
neuroendokrine, yakni peningkatan pelepasan hormone prolaktin .
Prolaktin serum yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi
seksual pada wanita maupun pria yang dapat bermanifestasi sebagai
galaktorrhea, amenorrhea dan poembesaran payudara pada wanita,
gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme, gangguan libido,
impotensi, dan ginekomasti pada pria.
21
psikomotorik menjadikan aktivitas psikomotorik menurun,
kewaspadaan berkurang dan kemampuan kognitif menurun.
Efek autonomik yang muncul seperti hipotensi postural dimediasi oleh
blokade adrenergik umumnya pada pengguna obat tipikal potensial
rendah seperti chlorpromazine dan thioridazine. Sehingga penggunaan
obat tipikal potensial rendah intramuscular memerlukan pemantauan
tekanan darah (saat berbaring dan berdiri) untuk mencegah pasien
pingsan ataupun jatuh saat berdiri.
Gangguan irama jantung merupakan efek antipsikotik yang
mengganggu kontraktilitas jantung, menghancurkan enzim
kontraktilitas sel-sel miokardium.
Antipsikotik tipikal mampu menurunkan ambang batas seseorang
untuk mengalami kejang. Chlorpromazine dan thioridazine
diperkirakan bersifat lebih epiloeptogenik sehingga resiko untuk
kejang selama masa pengobatan perlu dipertimbangkan dalam
gangguan kejang atau lesi pada otak.
Selain itu efek yang mungkin timbul juga dapat berupa peningkatan
berat badan yang kebanyakan terdapat pada pasien yang
mengkonsumsi chlorpromazine dan thioridazine. Paling sering karena
pengobatan antipsikotik atipikal. Nafsu makan yang meningkat erat
kaitannya dengan blokade reseptor alpha1- adrenergic dan
Histaminergic.
Efek hematologi dapat terjadi berupa leukopenia dengan sel darah
putih 3.500 sel/mm3 merupakan masalah yang umum. Agranulositosis
yang mampu mengancam kehidupan dapat terjadi pada 1 : 10.000
pasien yang dirawat dengan antipsikotik tipikal.
22
Klorpromazin ++ ++ +++ ++
Promazin ++ ++ ++ +++
Triflupromazin +++ +++ +++ +
2. Senyawa piperidil :
Mepazin ++ ++ +++ ++
Tioridazin + + ++ ++
3. Senyawa piperazin :
Asetofenazin ++ ++ + +
Karfenazin +++ +++ ++ ++
Flufenazin +++ +++ ++ +
Perfenazin +++ +++ + +
Proklorperazin +++ +++ ++ +
Trifluoperazin tiopropazat +++ +++ ++ +
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen ++ ++ +++ ++
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol +++ +++ + +
23
macam tremor,
wajah topeng, dopamin
suffling gait
Berminggu- Hentikan neuroleptik
Katatonik, stupor,
minggu, dapat Ada kontribusi segera; dantrolene atau
demam, tekanan
Sindroma bertahan antagonisme bromokriptin dapat
darah tidak stabil,
malignan beberapa hari dengan menolong; obat anti
mioglobinemia,;
setelah obat dopamin Parkinson lainnya tidak
dapat fatal
dihentikan efektif
Tremor perioral
Setelah
(mungkin sejenis
Tremor perioral berbulan- Obat antiparkinson
perkinsonisme Belum
(sindroma bulan atau sering menolong
yang dating diketahui
kelinci) bertahun-
terlambat)
tahun
pengobatan
Setelah
berbulan-
Diskinesia mulut-
bulan atau
wajah; Diduga : Sulit dicegah,
bertahun-
Diskinesia tardif koreoatetosis kelebihan efek pengobatan tidak
tahun
atau distonia dopamin memuaskan
(memburuk
meluas
dengan
penghentian)
- PERHATIAN KHUSUS
Efek samping yang sering timbul dan tindakan mangatasinya 6
Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan
Hipotensi Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa
adrenergic blockade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi Nor-
adrenaline (Nor-epinephrine) sebagai “alfa adrenergic stimulator”.
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat
“alfa dan beta adrenergic stimulator” sehingga efek beta-adrenergic tetap
ada dan dapat terjadi Shock.
Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung
bangun setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar 5-
10 menit.
24
Bila dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate
(LEVOPHED – Abbot atau RAIVAS – Dexa Medica atau VASCON –
Fahrenheit) ampul 4 mg/4cc dalam infus 1000 ml dextrose 5% dengan
kecepatan infus 2-3cc/menit.
Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan
gejalan Ekstrapiramidal/Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya
dengan tablet Trihexyphenidyl (Artane) 3-4x 2 mg/hari, Sulfas Atropin
0,50-0,75 mg (im).
Apabila Sindrom Parkinson sudah terkendali diusahakan penurunan
dosis secara bertahap, untuk menentukan apakah masih dibutuhkan
penggunaan obat antiparkinson.
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih
lama dari 3 bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak
dianjurkan pemberian “antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat
mempengaruhi penyerapan/absorpsi obat anti-psikosis sehingga kadarnya
dalam plasma rendah, dan dapt menghalangi manifestasi gejala
psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat anti-
psikosis agar tercapai dosis efektif.
“Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10 mg (im) dapt diulangi
setiap 2 jam, dosis maksimum adalah 100 mg dalam 24 jam. Biasanya
dalam 6 jam sudah dapat mengatasi gejala-gejala akut dari Sindrom
Psikosis (agitasi, hiperaktivitas psikomotorm impulsif, menyerang, gaduh-
gelisah, perilaku destruktif dll).
Kontraindikasi :
- Penyakit hati (hepato-toksik),
- Penyakit darah (hemato-toksik),
- Epilepsi (menurunkan ambang kejang),
- Kelainan jantung (menghambat irama jantung),
- Febris yang tinggai (thermoregulator di SSP),
- Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat),
- Penyakit SSP (parkinson, tumor otak dll),
- Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran makin
memburuk).
25
yang digunakan dan obat-obatan tertentu dapat mencapai janin dan menyebabkan
bahaya. Menghindari pengobatan farmakologis pada kehamilan tidak
memungkinkan dan mungkin berbahaya karena sebagian perempuan memasuki
kehamilan dengan kondisi medis yang memerlukan perawatan berkelanjutan dan
episodik. Fakta bahwa obat-obatan tertentu yang diberikan selama kehamilan
mungkin terbukti berbahaya bagi anak yang belum lahir adalah salah satu masalah
klasik dalam perawatan medis.3 Terdapat 2 macam kategori penggunaan obat
dalam kehamilan yang biasa digunakan, yaitu berdasarkan Food and Drug
Administration (FDA) & Australian Drug Evaluation Committee (ADEC)
26
bagaimana dosisnya dibandingkan dengan dosis pada manusia
Atau
Atau
Belum ada studi reproduksi pada hewan dan belum ada studi
terkontrol dan adekuat pada manusia.
27
kombinasi didasarkan pada bahan aktif dengan kategorisasi kehamilan
paling bersifat membatasi.3
B1 Obat yang digunakan hanya sejumlah kecuali ibu hamil maupun wanita
usia reproduktif tanpa disertai bukti peningkatan kejadian malformasi
atau efek lain yang membahayakan janin baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penelitian pada hewan tidak menunjukkan bukti
peningkatan kejadian kerusakan pada janin
B2 Obat yang digunakan oleh sejumlah kecil ibu hamil atau wanita usia
reproduktif tanpa disertai bukti peningkatan frekuensi kejadian
malformasi atau efek lain yang membahayakan janin manusia yg
diteliti,baik langsung maupun tidak langsung. Data penelitian pada
hewan tidak mencukupi atau tidak ada, tetapi data yg tersedia tidak
menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan pada janin
B3 Obat yang digunakan hanya sejumlah kecil ibu hamil tanpa disertai
bukti peningkatan frekuensi kejadian malformasi atau efek lain yang
membahayakan janin manusia yang diteliti baik secara langsung
maupun tidak langsung. Penelitian pada hewan menunjukkan bukti
peningkatan kejadian kerusakan pada janin dengan kemaknaan efek tsb
pada manusia belum jelas
28
Tabel 8. Kategori Keamanan Antipsikotik pada Kehamilan10
29
partum, gawat janin, serta potensi untuk perkembangan saraf yang merugikan .
Sebuah penelitian menyimpulkan risiko berat bayi lahir rendah dan kecil untuk
usia kehamilan, di antara wanita dengan skizofrenia, tidak berbeda terlepas dari
paparan antipsikotik. Hal ini menyatakan bahwa sedikit atau tidak ada manfaatnya
dari penghentian obat selama kehamilan . Saat ini, obat antipsikotik yang paling
umum digunakan selama kehamilan adalah olanzapine, risperidone, dan
quetiapine; tidak ada bukti spesifik bahwa obat-obat ini menyebabkan malformasi
janin.2
Obat antipsikotik generasi kedua banyak diresepkan untuk wanita selama
kehamilan. Tidak ada bukti yang cukup yang menunjukkan hubungan antara
penggunaan antipsikotik atipikal yang menyebabkan efek teratogenik pada
neonatus. Hiperglikemia dan penambahan berat badan merupakan kondisi paling
umum ditemukan pada wanita hamil yang menggunakan obat antipsikotik
atipikal. Bayi yang besar untuk usia kehamilan terlihat pada pemaparan obat-
obatan ini dalam kandungan. Namun, bayi berat lahir rendah dengan pemberian
antipsikotik generasi kedua jarang terjadi jika dibandingkan dengan penggunaan
antipsikotik generasi pertama.2
- Olanzapine
Olanzapine adalah antipsikotik yang paling umum digunakan pada
kehamilan dengan 72% perjalanan plasenta. Obat ini terutama digunakan
dalam pengobatan skizofrenia dan gangguan bipolar. Penggunaannya
dapat meningkatkan risiko cacat tabung saraf.
Namun, tidak ada bukti yang mendukungnya. Selain itu juga terkait
dengan diabetes gestasional, kehamilan ektopik, abortus pada ibu,
peningkatan berat badan lahir, dan prematuritas pada bayi.
- Quetiapine
Quetiapine adalah antipsikotik dengan yang melewati plasenta sebesar
23,8%. Quetiapine telah dikaitkan dengan kelainan septum atrium,
sumbing bibir / langit-langit, atresia paru, dan hidrosefalus pada bayi baru
lahir. Penggunaan quetiapine secara bersamaan dengan zuclopenthixol
juga telah dilakukan terkait dengan defek septum atrium. Abortus juga
dilaporkan dalam beberapa kasus.
- Risperidone
Risperidone juga merupakan salah satu antipsikotik yang sering
digunakan. Penggunannya dikaitkan dengan komplikasi perinatal mulai
30
dari sindrom putus obat hingga kejang. Penggunaan Risperidone
ditemukan dapat menyebabkan malformasi janin termasuk sindrom
Ivemark, sindrom Pierre-Robin, kardiomiopati, sumbing bibir dan langit-
langit, kelainan telinga, gastroschisis, diabetes gestasional, dan Sindrom
Turners.
- Clozapine
Penggunaan clozapine dilaporkan menyebabkan kasus abortus pada ibu
walaupun kasusnya sangat sedikit, kasus anus ektopik, dan
myelomeningocele lumbar
31
pertama. Patent Ductus Arteriosus (PDA), situs inversus, kista serebral, VSD,
defek langit-langit mulut, testis tidak turun, dan diabetes mellitus gestasional
dilaporkan dengan penggunaan flupenthixol pada trimester pertama. Namun,
dibutuhkan lebih banyak penelitian yang berkaitan dengan zuclopenthixol dan
flupenthixol sebelum kesimpulan bisa dibuat dibuat sehubungan dengan
keamanan pemberiannya dalam kehamilan.2
Rekomendasi penatalaksanaan untuk penggunaan antipsikotik pada
kehamilan.9
- Sebisa mungkin, dengan mempertimbangkan potensi kehamilan,
pertimbangan prakonsepsi harus diberikan dalam bentuk pengobatan
farmakologis yang paling tepat.
- Usahakan pemberian obat antipsikotik dosis minimal yang efektif. Namun,
penekanannya harus pada efektif daripada minimal, dan perawatan parsial
harus dihindari karena ini membuat janin terpapar baik risiko pengobatan
maupun tanpa pengobatan.
- Optimalkan aliansi terapeutik dan perawatan nonfarmakologis.
- Membangun hubungan penghubung yang erat antara semua disiplin ilmu
yang terlibat dalam perawatan perinatal: psikiatri, psikologi, kebidanan,
pediatri, kebidanan, dan perawatan kesehatan ibu dan anak.
- Dapatkan pengukuran dasar dari parameter biologis yang dapat
dikompromikan dari penyakit dan pengobatan.
- Pastikan bahwa proses memperoleh persetujuan berdasarkan informasi
yang diberikan di mana semua informasi tersedia tentang risiko dan
manfaat pengobatan
- Resepkan 5 mg folat setiap hari dari tiga bulan sebelum kehamilan dan
selama kehamilan sebagai neuroprotektor, serta pemberian multivitamin.
- Pemberian monoterapi sebisa mungkin.
- Idealnya, tim yang berspesialisasi dalam skenario risiko tinggi harus
melakukan tatalaksana kebidanan.
- Pastikan bahwa pemantauan yang memadai sepanjang kehamilan.
- Pemeriksaan ultrasonografi harus dilakukan pada 12 minggu, diikuti
oleh scanning morfologi resolusi tinggi yang dilakukan pada usia
kehamilan 20 minggu.
- Mengingat potensi peningkatan risiko sindrom metabolik dan diabetes
gestasional, dilakukan uji toleransi glukosa pada trimester kedua (14-16
minggu) dan pada usia kehamilan 28 minggu.
32
- Demikian pula, ulasan yang memadai tentang pertumbuhan janin (lebih
disukai melalui pemindaian pertumbuhan pada 28 dan 34 minggu dan
lebih lanjut seperti yang ditunjukkan) sangat penting mengingat
peningkatan risiko gangguan pertumbuhan dan berat lahir.
- Pada persalinan, mulai observasi untuk toksisitas, gejala ekstrapiramidal,
sedasi atau efek samping lainnya, dan pastikan bahwa pemeriksaan
morfologis dilakukan dengan cermat.
- Membuat dan menerapkan Rencana Perawatan Kesehatan Mental untuk
pengaturan pasca melahirkan yang mendorong lingkungan stimulus
rendah, hubungan dekat antara semua penyedia layanan kesehatan, dan
memungkinkan rawat inap yang diperpanjang di mana pengamatan dapat
dilakukan
- Tetapkan tanda-tanda peringatan dini untuk kekambuhan dan jalur
perawatan jika ini terjadi.
- Berikan rekomendasi dan preferensi yang jelas tentang laktasi.
BAB 3
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
34
5. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi
ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. p.14-
22.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin
Dunitz Ltd.1999 ;p.35-47
7. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
Psychiatry .Singapore : McGraw-Hill Book.2000; p.260-89
8. Cunningham, F.G., et al. Teratology and medication that affect the fetus.
Dalam Williams Obstetrics Edisi 23. USA : McGraw-Hill comp.inc.2010
9. Galbally M, Martien Snellen, Power J. Antipsychotic drugs in pregnancy :
a review of their maternal and fetal effects. Therapeutic Advances in Drug
Safety.2014;5(2);p-106
10. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil
dan Menyusui. Jakarta : Depkes RI.2006
35