Sie sind auf Seite 1von 38

A.

Proses keperawatan jiwa


Keperawatan Jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya
meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada
fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa individu,
keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. (Stuart, 2007) .
Proses keperawatan jiwa merupakan suatu metode pemberian
asuhan keperawatan pada pasien (individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat) yang logis, sistematis, dinamis, dan teratur (Depkes, 1998;
Keliat, 1999). Proses ini bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan
yang sesuai dengan kebutuhan pasien (Yusuf, 2015).
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang
melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dan klien, keluarga dan
atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Supartini,
2004).
Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses
terapeutik tersebut yaitu proses keperawatan. Penggunaan proses
keperawatan membantu perawat dalam melakukan praktik keperawatan,
menyelesaikan masalah keperawwatan klien dan atau memenuhi kebutuhan
klien secara ilmiah, logis, sistematis dan terorganisasi. Pada dasarnya
proses keperawatan merupakan salah satu tehnik penyelesaian masalah
(problem solving) (Supartini, 2004).
Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu
pelayanan keperawatan optimal. Kebutuhan dan masalah klien dapat di
identifikasi dan di prioritaskan untuk dipenuhi dan diselesaikan. Dengan
menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari tindakan
keperawatan yang bersifat rutin, intuisi, tidak unik bagi individu klien
(Supartini, 2004).
Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik, saling
bergantung, luwes dan terbuka. Setiap tahap dapat di perbaharui jika

1
keadaan klien berubah. Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling
bergantung. Diagnosa keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika
pengkajian belum ada (Supartini, 2004).
Pelaksanaan proses keperawatan jiwa bersifat unik, karena sering
kali pasien memperlihatkan gejala yang berbeda untuk kejadian yang sama,
masalah pasien tidak dapat dilihat secara langsung, dan penyebabnya
bervariasi. Pasien banyak yang mengalami kesulitan menceritakan
permasalah yang dihadapi, sehingga tidak jarang pasien menceritakan hal
yang sama sekali berbeda dengan yang dialaminya. Perawat jiwa dituntut
memiliki kejelian yang dalam saat melakukan asuhan keperawatan. Proses
keperawatan jiwa dimulai dari pengkajian (termasuk analisis data dan
pembuatan pohon masalah), perumusan diagnosis, pembuatan kriteria
hasil, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Fortinash, 1995 dalam
Yusuf, 2015).
Khususnya di Indonesia, proses keperawatan merupakan
pendekatan yang disepakati untuk meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan. Namun, pada kenyataan banyak perawat merasakan beban
dalam melaksanakan dan mendokumentasikan asuhan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan. Melalui evaluasi dokumentasi
keperawatan pada beberapa rumah sakit umum ditemukan bahwa
kemampuan perawat menulis asuhan keperawatan dengan menggunakan
proses keperawatan rata-rat kurang dari 60% yang memenuhi kriteria.
Sementara profesi lain menganggap penggunaan proses keperawatan akan
menyita banyak waktu dan kertas sehingga tidak efektif dan efisien.
Kondisi ini tidak mengurangi semangat para perawat utnuk membuktikan
bahwa proses keperawatan dapat meningkatkan mutu asuahan
keperawatan, tanggung jawab perawat, otonomi perawat, dan kepuasan
perawat (Supartini, 2004).
Proses keperawatan dirumah sakit jiwa mengalami masalah yang
sama dengan rumah sakit umum. Hasil evaluasi terhadap dokumentasi

2
keperawatan pada rumah sakit jiwa yang besar, ditemukan kurang dari 40%
yang memenuhi kriteria. Dari wawancara dengan beberapa perawat yang
bekerja di rumah sakit jiwa ditemukan beberapa kesulitan, yaitu : belum
ada formulir pengkajian yang seragam, kemampuan melaksanakan proses
keperawatan yang belum memadai, pelaksanaan proses keperawatan masih
dirasakan sebagai beban (Supartini, 2004).
Makalah ini menguraikan konsep proses keperawatan kesehatan
jiwa yang praktis, disertai contoh penerapannya. Dilampirkan pula formulir
pengkajian, rencana, implementasi dan evaluasi disertai petunjuk penulisan
yang jelas. Diharapkan makalah ini akan memberi arahan yang
memudahkan perawat dalam melakukan proses keperawatan sehingga
asuhan keperawatan akan menjadi efektif dan efisien.

B. Socio cultural context of psychiatric nursing care


Kebudayaan secara teknis adalah idea atau tingkahlaku yang dapat
dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan
penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa selain dari budaya yaitu
dari pengaruh pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang
misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan
tersebut. Perbedaan system nilai moral dan etika antara kebudayaan yang
satu dengan yang lain, antara masalalu dengan sekarang sering
menimbulkan masalah-masalah kejiwaan begitu pula perbedaan moral
yang diajarkan dirumah atau disekolah dengan yang dipraktikkan
dimasyarakat sehari-hari.
Faktor resiko untuk gangguan psikiatri dari sosiokultural
merupakan faktor predisposisi yang dapat meningkatkan potensial kelainan
psikiatrik, merupakan potensial klien untuk sembuh, atau kebalikannya.
Hal tersebut meliputi umur, etnik, gender, pendidikan, pendapatan dan
sistem keyakinan. Variasi dari stresor sosikultural menghambat
perkembangan perawatan kesehatan mental meliputi: keadaan yang

3
merugikan, stereotip, intoleransi, stigma, prasangka, diskriminasi, dan
rasisme. Respons koping dan gejala-gejala kelainan yang muncul
diekspresikan secara berbeda dalam budaya yang berbeda (Farida, 2012).
Dalam sudut pandan perspektif sosiokultural meyakini bahwa kita
harus mempertimbangkan konteks- konteks sosial yang lebih luas dimana
suatu perilaku muncul untuk memahami akar dari periku abnormal. Mereka
meyakini bahwa penyebab perilaku abnormal dapat ditemui pada
kegagalan masyarakat dan bukan kegagalan individunya. Msalah-masalah
psikologis bisa jadi berakar pada penyakit sosial masyarakat seperti
kemiskinan, perpecahan sosial, diskrimasi, ras, gender serta kesempatan
ekonomi.
Sekali lebel sakit jiwa diberikan pada seseorang maka itu sulit
untuk dihilangkan bahkan mempengaruhi respon seseorang terhadap
dirinya. Seorang sakit jiwa mungkin akan didistikmasisasi dan direndahkan
sosial, kesempatan kerja hilang dan mungkin akan dikucilkan dari
masyarakat. Padahal orang yang bermasalah seharusnya didorong untuk
lebih bertanggung jawab dalam mengatur kehidupan dan memecahkan
masalah mereka sendiri.
Teori sosial kognitif memandang bahwa manusia memeberi
pengaruh pada lindungannya. Sehingga kondisi kesehatan jiwa individu
dapat mencerminkan lingkungan tempat keberadaan individu tersebut.

C. Issue dan legal etik dalam keperawatan jiwa


Legal adalah suatu yang dianggap sah oleh hukum dan undang-undang
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) (Ermawati, 2015).
Etika keperawatan adalah nilai-nilai dan prisip-prisip yang diyakini oleh
profesi keperawatan dalam melaksanakan tugasnya yang bberhubungan
dengan pasien, masyarakat, teman sejawatmaupun dengan organisasi
propesi, serta pengaturan praktik dalam keperawatan itu sendiri
(Barger&Wiliams, 1999). Etika keperawatan merupakan suatu acuan dalam

4
melaksanakan prakktik keperawatan, tidak terkecuali keperawatan jiwa.
Keputusan dan tindakan perawat psikiarti kepada klien dibedakan oleh apa
yang dinamakan dengan ethical manner (cara yang sesuai denagan etik)
(Ermawati, 2015).
a. Menurut Beeker(Dalam Kozier, Erb 1990) empat hal yang harus ditanyakan
perawat untuk melindungi mereka secara hukum (Ermawati, 2015) :
1) Tanyakan pesanan yang ditanyakan pasien.
2) Tanyakan setiap pesanan setiap kondisi pasien berubah.
3) Tanyakan dan catat pesan verbal untuk mencegah kesalahan komunikasi.
4) Tanyakan pesanan (Standing Order), terutama bila perawat tidak
berpengalaman.
b. Melaksanakan intervensi keperawatan mandidri atau yang di Delegasi.Dalam
melaksanakan intervensi keperawatan, perawat memperhatikan beberapa
prekausi (Ermawati, 2015) :
1) Ketahuai pembagian tugas ( Job Deskription) mereka.
2) Ikuti kebijakan dan prosedur yang diterapkan ditempat kerja.
3) Selalu identifikasi pasien, terutama sebelum melaksanakan intervensi
utama .
4) Pastikan bahwa obat yang benar diberikan dengan dosis, rute, waktu, dan
pasien yang benar.
5) Lakukan setiap prosedur secara tepat.
6) Catat semua pengkajian dan perawatan yang diberikan dengan tepat dan
akurat.
7) Catat semua kecelakaan yang mengenai pasien.
8) Jalin dan pertahankan hubungan saling percaya yang baik(raport) dengan
pasien.
9) Pertahankan kompetisi praktik keperawatan
10) Mengetahui kekuatan dan kelemahan perawat.
11) Sewaktu mendelegasikan tanggungjawab keperawatan, pastikan bahwa
orang yang diberikan delegasi tugas mengetahui apa yang harus dikerjakan

5
dan orang tersebut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan.
12) Selalu waspada saat melakukan intervensi keperawatan dan secara penuh
setiap tugas yang dilaksanakan.
c. Berbagai aspek legal dalam keperawatan
Fungsi hukum dalam praktik keperawatan yaitu (Ermawati, 2015) :
1) Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan
mana yang sesuai dengan hukum.
2) Membedakan tanggungjawab perawat dengan tanggung jawab profesi
yang lain
3) Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan
mandiri
4) Membantu dalam mempertahankan standar praktik-praktik keperawatan
dengan posisi perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum(Kozier,
Erb)
d. Perlindungan legal untuk perawat
Untuk menjalankan praktik secara hukum perawatan harus dilindungi
dari tuntutan malpraktik dan kelahiran pada keadaan darurat. Contoh
(Ermawati, 2015) :
1) UU di AS yang bernama Good Samaritan Acts yang memberikan
perlindungan tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan pada
keadaan darurat.
2) Di kanada terdapat UU lalu lintas yang memperbolehkan setiap untuk
menolong korban pada setiap situasi kecelakaan yang bernama Traffic
Acrt.
3) Di indonesia UU kesehatan No.23 tahun 1992.
Menurut curtin (1978) yang dikutuip oleh Stuart Sundeen dalam Principles
and Pratice of Psychiatrtic Nursing Care (1995), membuat suatu model untuk
pengambilan keputusan suatu etik yaitu sebagai berikut (Direja, 2011) :

6
1. Meliputi pengumpulan informasi untuk mengklarifikasi latar belakang isu
tersebut.
2. Mengidentifikasi komponen etik atau atau keadaan dilema yang terjadi,
seperti adakah faktor ancamannya (dilihat dari sudut hak untuk dapat menolak
pelayanan).
3. Mengklarifikasi hak dan tanggung jawab yang ada pada seluruh pihak,
meliputi klien, perawat, dan pihak lain seperti kuluarga klien, dokter, lembaga
perawatan kesehatan,ulama/pendeta, pekrja sosial, dan mungkin juga hakim.
Terdapat empat pendekatan yang digunakan perawat untuk
melakukan pendekatan dalam pemberian asuhan keperawatan yaitu sebagai
berikut.
a. Utilitarianism: tindakan yang dilakukan oleh perawat yang dapat
menimbulkan kebahagian.
b. Egoism: semua tindakan diarahkan kepada diri pasien.
c. Formalism: mengutamakann segala sesuatu secara formal.
d. Fairness: sikap yang mengutamakan keadilan dan kejujuran dalam
kehidupan, tidak mendiskriminasikan pasien.
4. Yang terakhir adalah solusi yang diimplementasikan ke dalam tindakan .
dalam konteks memenuhi harapan sosial dan sesuai dengan hukum yang
berlaku, perawat memutuskan kedalam tujuan dan metode implementasi.
Terdapat dua penerimaan klien dirumah sakit jiwa yaitu kesepakatan yang
disadari dan kesepakatan yang tidak disadari, meliputi isu mengenai hukum
dan aspek etik, serta legal dan aspek propesional. Perawat psikiartri
mempunyai peran dalam tugas propesional dan tugas pribadi yaitu sebagai
berikut (Direja, 2011) :
1. Pemberian pelayanan
2. Pekerjaan dari rumah sakit
3. Sebagai warga negara pribadi
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah
yang sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah

7
tersebut dapat dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar
pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional maupun global (Direja,
2011).
Ada beberapa trend penting yang rnenjadi perhatian dalam Keperawatan
Jiwa di antaranya adalah masalah berikut (Direja, 2011) :
1. Kesehatan jiwa dimutai masa konsepsi Dahulu bila berbicara masalah
kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset terjadinya sampai klien
mengalami gejala-gejala
2. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa Masalah jiwa akan meningkat di
era globalisasi
3. Kecenderungan Faktor Penyebab Gangguan Jiwa
4. Kecenderungan situasi di Era Globalisasi. Era globalisasi adalah suatu era
dimana tidak ada lagi pembatas antar Negara-negara khususnya di bidang
informasi, ekonomi, dan politik.
5. Globalisasi dan Perubahan Orientasi Sehat Globalisasi atau era pasar bebas
disadari atau tidak telah berdampak pada pelayanan kesehatan.
6. Kecenderungan Penyakit
 Meningkatnya post traumatic syndrome disorder
 Meningkatnya masalah psikososial
 Trend bunuh diri pada anak dan remaja
 Masalah Napza dan HlV/AIDS
7. Issue Seputar Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri
 Pelayanan keperawatan mental psikiatri yang ada kurang bisa
dipertanggung jawabkan secara ilmiah hal ini karena masih kurangnya
hasil-hasit riset keperawatan tentang keperawatan jiwa klinik.
 Perawat psikiatri yang ada kurang siap menghadapi pasar bebas karena
pendidikan yang rendah dan belum adanya lisensi untuk praktek yang bisa
diakui secara internasional.
 Pembedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman
seringkai tidak jelas dalam “Position Description", job responsibility dan

8
system reward di dalam pelayanan keperawatan dimana mereka bekerja
(Stuart Sudeen,1998).
 Menjadi perawat psikiatri bukanlah pilihan bagi peserta didik (mahasiswa
keperawatan)
D. Prinsip etik dalam keperawatan jiwa
Etika adalah kode perilaku yang memperlihatkan perbuatan yang baik bagi
kelompok tertentu. Etika juga merupakan peraturan dan prinsip perbuatan
yang bisa disebut benar. Etika berhubungan dengan peraturan atas
perbuatan atau tindakan yang mempunyai prinsip benar atau salah serta
prinsip moralitas karena etika bertanggung jawab secara moral (Wulan,
2011).
Prinsip etika mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku yang
beretika dan dalam pengambilan keputusan etis. Prinsip etika berfungsi
untuk membuat secara spesifik apakah suatu tindakan dilarang,
diperlukanatau diizinkan dalam suatu keadaarL Menurut Beuchamp dan
Childress (Fowler, 1989; Potter & Perry, 1992) prinsip etika dapat
digunakan untuk memperkirakan issu etika dan membuat keputusan etis
yang terdiri dari atas(Wulan, 2011) :
Prinsip-prinsip keperawatan adalah:
1. Otonomi (Otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan itu individu mampu
berpikir logis danmemutuskan. Orang dewasa dianggap
Bersaing dan memiliki berkuasa membuatkeputusan sendiri,
memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihanyang
Memerintahkan. Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek
terhadap seseorang,juga dimakan sebagai persetujuan tidak
statis dan bertindak secararasional.Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yangmenuntut pembedaan
diri. Praktek profesioanal merefleksikan otonomi saat

9
perawatmenghargai hak hak pasien dalam membuat keputusan
tentang perawatan dirinya.
2. Beneficience (Berbuat Baik)
Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik.
Kebaikan also memerlukan pencegahan dari kesalahan atau
kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan baik oleh diri dan orang lain. Kadang-kadang
dalam situasi pelayanan kesehatan baik menjadi konflik dengan
otonomi.
3. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil
terhadap orang lain yangmenjunjung prinsip-prinsip moral,
hukum dan manusia. Nilai ini direfleksikandalam praktek
profesional kompilasi perawat bekerja untuk terapi yang
benarsesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang
benaruntuk memperoleh kualitaspelayanan kesehatan
4. Non Maleficience (tidak merugiakan)
Prinsip ini berarti segala tindakan yang dilakukan pada klien
tidak menimbulkan bahaya/ trauma secara fisik dan psikologik
5. Kejujuran(veracity)
Prinsip kebenaran berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini
diperlukan oleh pemberilayanan kesehatan untuk terima
kebenaran pada setiap pasien danuntuk meyakinkan itu pasien
sangat mengerti.Prinsip kebenaran Berhubungandengan
kemampuanseseorang untuk meng atakankebenaran.
6. Kesetiaan (fidelity)
Prinsip kesetiaan dibutuhkan individu untuk menghargai janji
dan komitmennya terhadaporang lain. Perawat setia pada
pasien, Ketaatan, kesetiaan adalah kewajiban seseorang untuk
mempertahankan komitmen yang dibuat.Kesetiaanitu

10
mengagambarkan kesusahan perawat terhadap kode etik yang
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan
kesehatan dan ringkas penderitaan.
7. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dan prinsip kerahasiaan adalah menjaga privasi pasien,
semua semua informasi tentang pasien.
8. Tanggung jawab (accountability)
Prinsip ini berhunungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa
tanggung jawab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan
untuk menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan standart
pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai
dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

E. Dilema etik dan proses pengambilan keputusan etik dalam


keperawatan jiwa
a. Definisi Dilema Etik
Dilema etik adalah realitas sehari hari dalam praktek keperawatan.
Dilema etik selalu ada bersama dengan manusia termasuk perawatan, tetapi
sifat alami mereka dalam seting keperawatan kesehatan dapat berubah
secara radikal sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Aroskar, 1980). Dilema etik dapat terjadi pada saat perawat-
pasien berinteraksi dirumah sakit, keluarga, dan masyarakat. Untuk
mengetahui berbagai dilema etik yang dihadapi oleh perawat, pemahaman
yang menyeluruh mengenai sifat dari dilema etik termasuk definisi dari
dilema etik dan dilema eik dalam praktik asuhan keperawatan merupakan
hal penting (Purba, 2009).
Sebuah dilema dapat didefinisikan sebagai suatu masalah sulit yang
kelihatannya tidak dapat diatasi yang melibatkan pilihan yang sama-sama
tidak memuaskan, yang sering terjadi dalam praktek keperawatan (Aroskar,
Liaschencko, dan Drought, 1997). Dilema etik adalah situasi ketika

11
seseorang dipaksa untuk memilih satu dari dua pilihan yang sama-sama
tidak memuaskan (Han dan Ahn,2000). Dilema etik adalah situasi yang
melibatkan tuntutan konflik moral dan akan memunculkan pertanyaan
seperti “apa yang seharsnya dilakukan ?” atau “keputusan atau tindakan
apa yang berbahaya dan yang memberikan manfaat?”. Cassels dan
Redman (1998) menguraikan dilema etik sebagai suatu situasi ketika ada
dua pilihan yang sama baik yang diinginkan maupun yang tidak di
inginkan dan masing-masing pilihan di antara pilihan tersebut dapat
dibenarkan dengan aturan atau prinsip moral yang mendasar. Suatu dilema
etik terjadi ketika (1) seseorang harus memilih diantara pilihan yang tidak
dapat diterima dengan cara yang sama, (2) pilihan yang diinginkan
mengarahkan pada hasil yang tidak diinginkan, (3) ketika pilihan membuat
seseorang tidak tahu apa yang benar untuk dilakukan (Ellis dan Hartley,
2001; Rushton [1988] yang dikutip oleh reigle [1996]; sletteboe, 1997) dan
sebuah dilema etik ada ketika terjadi tuntutan konflik moral dengan orang
lain (redman dan hill, 1997 dalam Purba, 2009).
Menurut Canadian Nurses Association (2002) dilema etik adalah
situasi yang timbul ketika secara bersamaan terjadi pemaksaan tindakan
keperawatan yang bertentangan dengan pemahaman etika tertentu
sedangkan tindakan tersebut harus dilakukan, misalnya ketika seseorang
perawat terpaksa melakukan suatu tindakan perawatan tertentu walaupun
tindakan tersebut menimbulkan resiko bagi dirinya (Purba, 2009).
Thompson dan Thompson (1985, dalam Kozier, Erb, dan Bufalino
[1989]) menggambarkan beberapa kriteria untuk menjelaskan dilema etik
dalam praktik klinik, yaitu (Purba, 2009) :
1) Kesadaran pada perbedaan pilihan. Individu harus sadar pada pilihan
yang berbeda secara terbuka baik berupa kognitif (mengetahui bahwa
sesuatu salah) maupun berupa efektif (perasaan bahwa sesuatu salah)

12
2) Sifat moral dilema, apa dilema perawat yang muncul dalam menghadapi
isu moral? Tidak semua situasi yang terlihat membingungkan bagi
perawat adalah dilema etik.
3) Dua atau lebih pilihan dengan pilihan yang tepat; untuk situasi yang
menjadi dilema moral, salah satunya harus memilih dua atau lebih
tindakan
b. Klasifikasi Dilema Etik
Beberapa penelitian telah mengeksplorasi pengalaman perawat dan
mahasiswa perawat ketika berhadapan dengan dilema etik (Cassells &
Redmann, 1989; Chaowalit et aL, 2002; Dinc & Gorgulu, 2002; Pujiastuti,
2004; Tabak 8: Reches, 1996). Dilema etik yang dihadapi perawat dalam
praktik keperawatan terjadi pada situasi yang berbeda-beda. Dimensi etika
dalam praktik keperawatan berorientasi pada tindakan, bukan pada
perasaan dan keyakinan dengan mempertimbangkan pilihan yang
merefleksikan prinsip etik (Post, 1996 dalam Purba, 2009).
Setiawan (2005) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa ada lima
dilema etik yang dialami oleh perawat yang bekerja di ruang intensive care
unit (ICU) di Medan, yaitu(Purba, 2009):
1) Meneruskan atau menghentikan pengobatan.
2) Siapa yang seharusnya diberi ventilator.
3) Perawat ingin bertindak tetapi tindakannya melebihi wewenang.
4) Mengatakan atau tidak mengatakan yang sebenarnya.
5) Bertindak sebagai penasehat bagi pasien vs. membedakan hubungan
dengan tim kesehatan yang lain.
Gold, Chambers, dan Dvorak (1995) mengemukakan dilema etik
terbesar yang dialami oleh 12 perawat yang bekerja untuk penyakit akut,
jangka panjang, dan perawatan rumah dalam empat kategori (Purba, 2009)
:
1) Menyimpan informasi dan memberikan perhatian (veracity, kebulatan
tekad diri).

13
2) Keadilan dalam memberi perawatan (justice).
3) Perbedaan antara bisnis dan nilai profesional (beneficence, justice).
4) Aturan yang rusak dan pelaporan aturan yang rusak (veracity, kebulatan
tekad diri).
Berdasarkan studi terdahulu, dilema etik mahasiswa perawat dalam
praktik klinik terdiri dari (Pujiastuti, 2004 dalam Purba, 2009):
1) Kewajiban profesional vs. proteksi terhadap bahaya
Dilema etik yang berhubungan dengan konflik antara kewajiban
profesional dengan perlindungan diri dari kecelakaan yang sering
dihadapi dalam praktik keperawatan. Kewajiban tugas, hak, dan
tanggung jawab sering diaplikasikan dalam setiap aspek kehidupan
(Beuchamp & Childres, 2001: Catalano, 2003). Konflik dalam
kewajiban profesional dan tugas sering muncul dalam diri sendiri saat
perawat dan mahasiswa perawat bekerja dalam kondisi yang berbahaya
bagi mereka (Burkhardt & Nathaniel, 2001; Catalano, 2003).
Kurangnya sumber-sumber seperti keterbatasan peralatan, lingkungan
yang tidak aman, pakaian pelindung yang tidak layak dipakai,
semuanya berisiko terhadap perawat saat memberikan asuhan
keperawatan pada pasien (Purba, 2009).
Sebuah studi yang dilakukan oleh Ahn dan Han (2000) menemukan
bahwa mahasiswa perawat sering menghadapi dilema yang
berhubungan dengan risiko perawat seperti proses keperawatan yang
menyimpang dari prinsip, tidak menjaga sterilitas teknik dengan benar,
dan kurangnya staf keperawatan. Bagaimanapun juga, semua tindakan
perawat harus berdasarkan standar keperawatan dan dalam mengkaji
pasien, perawat dapat mengalami perubahan emosional (Purba, 2009).
Kesimpulannya, kewajiban profesional vs. perlindungan diri
terhadap kecelakaan sering terjadi dalam praktik keperawatan. Dalam
melakukan kewajiban profesional mahasiswa perawat kadang-kadang
akan berhadapan dengan beberapa risiko (Purba, 2009).

14
2) Kerahasiaan pasien vs. peringatan lainnya terhadap bahaya
Menurut Cassells dan Redman (1989), mempersiapkan perawat
menjadi agens moral dalam praktik klinik dibutuhkan karena sebagai
perawat mereka akan memainkan peran dalam menjamin data pasien
atau mempertahankan kerahasiaan. Setiap kode etik perawat
menekankan bahwa perawat mempunyai kewajiban untuk melindungi
dan menggunakan informasi yang diterima dari pasien secara tepat.
Juga, mempertahankan kerahasiaan dan privacy sebagai prinsip atau
standar tanggung jawab praktisioner perawatan kesehatan adalah untuk
melindungi pasien dari interaksi yang tidak menyenangkan (Botes &
Otto [2003] dalam Davis, Aroskar, Liaschencko, 8: Drought [1997]
dalam Purba, 2009).
Snider dan Hood (2001), memberikan dua argumen untuk
membenarkan ketidakmampuan perawat memegang prinsip
konfidensial. Pertama, prinsip risiko yang menyatakan ketika
seseorang tidak dapat menyimpan informasi yang dapat melindungi
ketidaktahuan pihak ketiga tentang sesuatu yang merugikan dapat
terjadi tanpa alasan yang jelas. Sebagai contoh, perintah untuk
melahirkan prematur pada penderita sifilis adalah untuk mencegah
penyakit menular yang serius. Kedua, prinsip risiko menyarankan
bahwa ada tanggung jawab yang lebih besar untuk melindungi dirinya
sendiri dari sesuatu yang merugikan. Contohnya, perawat mempunyai
tanggung jawab untuk melaporkan perilaku kekerasan pada anak
(Purba, 2009).
Praktisi perawatan kesehatan mempunyai hak untuk memutuskan
kerahasiaan pada beberapa institusi, seperti menginformasikan pihak
ketiga tentang sesuatu yang merugikan dapat terjadi, mencegah bahaya
dari individu, atau ketika ketertarikan pada publik melebihi dari
ketertarikan pada individu (Beauchamb & Chilldress, 2001; Purtillo,
1999). Pelanggaran terhadap prinsip konfidensial biasanya akan

15
berisiko terhadap terciptanya ketidakpercayaan dalam hubungan
profesi kesehatan-pasien dan kemampuan menjaga kerahasiaan sebagai
area penuh dengan masalah dalam profesi keperawatan (Gulley, 1999
dalam Purba, 2009).
3) Mengatakan yang sebenarnya vs. tidak mengatakan yang sebenarnya
Burkhardt dan Nathaniel (2001) menjelaskan bahwa kejujuran
dapat membantu pasien mengambil keputusan pengobatan termasuk
diagnosis yang tepat dan komunikasi terbuka/jujur. Prinsip veracity
digunakan sebagai suatu kewajiban untuk mengatakan kebenaran dan
tidak berbohong atau menipu orang lain (Fry & Johnstone, 2002 dalam
Purba, 2009).
Sementara itu, Surakul (2002) menyatakan bahwa kejujuran tidak
selamanya memberikan dampak positif pada individu. Beberapa
dampak negatif dari kejujuran antara lain ketidakmampuan dalam
makan/ tidur, takut, stres, dan khawatir tentang kesembuhan. Situasi-
situasi seperti ini menyebabkan pasien tidak mampu berpartisipasi
untuk membuat keputusan atau menggunakan hak mereka dalam
memilih, dan hal ini akan memengaruhi kualitas perawatan (Purba,
2009).
Dilema etik yang berkaitan dengan kejujuran vs. tidak menyatakan
informasi yang sebenarnya dapat memengaruhi perasaan perawat.
Studi yang dilakukan Sukmak (2001) memfokuskan pada perilaku
ketidakjujuran perawat tentang kebenaran diagnosis pada penderita
kanker. Menyembunyikan kondisi klien mungkin akan menimbulkan
pengalaman dan kecemasan yang lebih besar serta depresi pada
perawat (Purba, 2009).
Kesimpulannya, masalah etika yang berkaitan dengan kejujuran
yaitu mencoba memfokuskan pada apa yang dilakukan dan kapan
seharusnya diakhiri. Tenaga kesehatan profesional percaya bahwa cara
mereka dapat melindungi pasien dari kecelakaan dengan

16
menyembunyikan kebenaran atau mengatakan hal lain an tidak
benar(Veatch & Fry, 1987 dalam Purba, 2009).
4) Advokasi pasien vs. kurangnya otoritas
Penasehat adalah seseorang yang mendukung untuk
mempertahankan atau mengatakan rencana atau tindakan publik.
Perawat berada pada posisi terbaik dalam perawatan kesehatan yang
bertindak sebagai penasehat untuk pasien, perawat harus mempunyai
pengetahuan untuk mengadvokasi dan perawat-pasien dapat menjadi
mitra dalam advokasi (Mallik, 1997; Milton, 2000; Snowball, 1996;
Pujiastuti, 2004). Profesi keperawatan mempunyai otoritas dalam
mengadvokasi pasien yang dihubungkan dengan konsep moral, etik,
otonomi, dan kekuatan pasien, menekankan penghargaan untuk
manusia, martabat mereka, kepribadian, dan harga diri. (Dinc 8:
Gorgulu, 2003; Tabak & Reches, 1996 dalam Purba, 2009).
Bagaimanapun wewenang baik staf perawat maupun mahasiswa
perawat sering tersembunyi atau samar karena beberapa alasan seperti
level staf yang rendah, pelatihan staf yang tidak adekuat, dan informasi
yang tidak efektif (Aroskar, 1993; Kelly, 1993), sehingga meteka
mengikuti otoritas senior mereka, perawat, dan dosen. Mereka merasa
bahwa mereka tidak mempunyai wewenang untuk mengambil tindakan
dalam situasi konflik etika medis di bawah hierarki birokrasi (Aroskar,
1993; Gaul, 1987). Pada kenyataannya, ada bukti yang kuat yang
mengatakan perawat sebagai kelompok yang tertindas dan kurang
otoritas (George & Grypdonck, 2002 dalam Hyland, 2002 dalam
Purba, 2009).

5) Konflik nilai dalam peran profesional


Nilai adalah ideal yang dapat dipegang individu/kelompok.
Individu berpikir, merasakan, membuat pilihan, dan melakukan suatu
nilai yang dianggap baik, yang berarti seorang individu mempunyai

17
moral (Altun, 2002; Cignacco, 2002). Konflik nilai terjadi saat
seseorang harus memilih di antara dua hal, yang kedua hal tersebut
penting untuk menekankan rasa hormat, martabat pasien dan individu
(Post, 1996; Pujiastuti, 2004 dalam Purba, 2009).
Menutut Handel dan Steinmen (2002), konflik nilai berasal dari
perbedaan ideologi atau filosofi. Konflik nilai adalah konflik internal/
interpersonal yang muncul saat nilai moral telah dilanggar dalam
beberapa situasi ketika nilai seseorang dianggap ganjil terhadap pasien,
rekan, ataupun institusi (Purba, 2009).
Dalam beberapa dilema etik, tugas perawat profesional menjadi
sangat kompleks dengan nilai yang mereka anut yang dapat
memengaruhi/ menimbulkan frustrasi dalam pekerjaan, tidak puas,
marah, perlawanan yang terus-menerus dengan nilai-nilai yang lain
seperti perbedaan nilai antara dokter dan perawat, komunikasi yang
terbatas dengan pasien, perasaan ketidakmampuan perawat, dan
otoritas dokter (Davis, Aroskar, Liaschencko, & Drought, 1997). Oleh
karena itu, perawat merasa frustrasi, kecewa, dan mengalami
ketidakmampuan karena konflik interpersonal tentang nilai dantujuan
profesional perawat terhambat (Corley, 2002; Kelly, 1993 dalam
Purba, 2009).
Kesimpulannya, konflik nilai dalam peran profesional terjadi ketika
perawat memberikan hal yang terbaik kepada pasien. Hal ini dapat
mem'mbulkan konflik dengan yang lain dan tugas profesional (Purba,
2009).
6) Keputusan untuk memperpanjang kehidupan vs. Mengakhiri
Profesi kesehatan sering berhadapan dengan isu yang berhubungan
dengan memperpanjang vs. mengakhiri kehidupan (Musgrave,
Margalith, 8r. Goldsmidt, 2001). Kemajuan teknologi dalam bidang
kesehatan telah memungkinkan untuk memulihkan/ memperpanjang
hidup pasien yang akan meninggal (Jones & Fitz-Gerald, 1998).

18
Kenyataannya, beberapa pasien yang sangat bergantung pada teknologi
seperti pemasangan ventilator tetapi pasien tidak mengharapkan
kesembuhan.Keputusan untuk memperpanjang atau mengakhiri
kehidupan menciptakan pilihan yang sulit pada beberapa pasien,
keluarga, dan penyedia kesehatan yang terlibat. Situasi ini dapat
menimbulkan dilema etik (Ferrel et al., 2000). Perawat seharusnya
mempertahankan kehidupan, tetapi perawat harus menyadari
penderitaan fisik dan emosional yang dihadapi pasien, mengurangi
penderitaan, menghargai kebebasan pasien, dan hak untuk memilih
(Baggs 8: Schimitt, 2000; Jones 8: Fitz-Gerald, 1998). Dilema etik
meningkat ketika perawat menyadari perlu untuk menghargai
kehidupan pasien dalam beberapa keadaan, seperti kematian pasien,
eutanasia, aborsi, dan pengobatan aktif pasien dengan prognosis jelek
(Han & Ahn, 2000 dalam Purba, 2009).
Kesimpulannya, perawat akan menghadapi dilema etik yang
berhubungan dengan keputusan memperpanjang dan mengakhiri
kehidupan ketika mereka seharusnya mempertahankan kehidupan
pasien, mengurangi penderitaan pasien, dan menghargai kebebasan
pasien (Purba, 2009).
c. Pengambilan Keputusan Etis
Pengambilan keputusan etis adalah suatu keterampilan kognitif,
yang membutuhkan pendidikan tentang prinsip etika dan pemahaman akan
isu etika yang spesifik dan tinjauan pustaka yang relevan. Pengambilan
keputusan etis dapat juga didefinisikan sebagai suatu proses psikodinamika
yang melibatkan personal, motivasi, persepsi, dan opini-opini (Salladay &
Haddad, 1986 dalam Purba, 2009).
Pengambilan keputusan dipengaruhi oleh banyak faktor. Terkalt
dengan Wlody (1990), faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan
etis adalah kebutuhan pasien, proses penyakit, hat pasien, keinginan/
perasaan pasien, keinginan keluarga, tujuan yang dibuat tim pengobatan,

19
dan faktor sosial. Berhadapan dengan ddemi ehk, staf perawat dan
mahasiswa perawat dapat menggunam pengambllan keputusan etis untuk
mengatasinya (Purba, 2009).
Menurut Yung (1997), pengambilan keputusan etis merupakan
proses rasional dan analitik karena aksi terbaik secara moral dalam situasi
yang melibatkan pilihan yang berbeda ditentukan. Pembuatan keputusan
etis oleh perawat merupakan proses yang panjang sehingga perawat perlu
mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan tindakan serta menentukan apa
yang hams dilakukan (Erlen & Sereika, 1997 dalam Purba, 2009).
Pengambilan keputusan etis adalah suatu penilaian katika faktafakta
dapat memberikan kontribusi tetapi keputusan akhirnya harus diambil
dengan menimbang-nimbang berbagai nilai atau metode untuk menjawab
pertanyaan tentang dilema etik dan untuk mengorganisasi pemikiran
dengan cara yang lebih logis dan sistematis (Maramis, 1990 dalam Purba,
2009).
Berbagai faktor mempunyai pengaruh terhadap seseorang dalam
membuat keputusan yang etis. Faktor tersebut antara lain faktor agama,
sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, legislasi atau keputusan yuridis,
dana/keuangan, peke’rjaan/posisi klien maupun perawat, kode etik
keperawatan, dan hak-hak pasien. Pembuatan keputusan etis memerlukan
penalaran etika yang bertanggung jawab, sistematis dan bukan berdasarkan
emosi, intuisi, fixed policy, dan lain-lain (Suhaemi, 2003). Dapat
disimpulkan bahwa pengambilan keputusan yang etis merupakan suatu
proses yang sistematis atau strategi atau metoda yang digunakan oleh staf
perawat maupun mahasiswa perawat ketika berhadapan dengan dilema etik
di praktik keperawatan berdasarkan konsep dan prinsip etika untuk
melakukan tindakan moral(Purba, 2009).
d. Teori yang melandasi Pengambilan Keputusan Etis
Etika adalah standar studi untuk perilaku profesional yang
berhubungan dengan ”kebenaran dan kesalahan" tingkah laku profesional

20
(Potter & Perry, 1992). Teori etika merupakan prinsip moral atau
serangkaian prinsip moral yang dapat digunakan untuk mengkaji apa yang
benar apa yang salah secara moral (Ellis 8: Hartley, 2001). Menurut Fry
(1991, dalam Suhaemi [2003]) teori dasar/prinsip etika merupakan
penuntun untuk membuat keputusan yang etis dalam praktik profesional.
Menurut Burkhardt dan Nathaniel, (2002), teori etika mempakan teori
utama dalam pengobatan, keperawatan, dan bioetik. Teori etika
memberikan petunjuk dasar untuk menemukan pertanyaan moral. Ada dua
dasar teori yang sering digunakan untuk menganalisis dilema etik yaitu
(Purba, 2009) :
 Teleologi
Teleologi merupakan suatu doktrin yang menjelaskan fenomena
berdasarkan akibat yang dihasilkan atau konsekuensi yang dapat
terjadi. Pendekatan ini sering disebut the end justifies themcans atau
makna suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi .
(Suhaemi, 2003). Menurut Kelly (1987, dalam Suhaemi [2003])
pencapaian hasil yang dengan kebaikan maksimal dan keburukan
sekecil mungkin bagi manusia. Teologi juga disebut the end justifies
the means and the greatest goodfor the greatest number (keputusan
moral yang dibuat berdasarkan konsekuensi tindakan dan bukan
kebenaran tindakan (Ismani, 2001 dalam Purba, 2009).
Teori teleologi atau utilitarianisme dapat dibedakan menjadi 'rule
utilitarianism dan act utilitarianism, rule utilitarianism berprinsip
bahwa manfaat atau nilai suatu tindakan bergantung pada sejauh mana
tindakan tersebut memberikan kebaikan atau kebahagiaan kepada
manusia. Act utilitarianism bersifat lebih terbatas, tidak melibatkan
aturan umum, tetapi berupaya menjelaskan pada suatu situasi tertentu
dengan pertimbangan terhadap tindakan apa yang dapat memberikan
kebaikan sebanyak-banyaknya atau keburukan sekecil-kecilnya pada
individu. Contoh penerapan teori ini misalnya bayi-bayi yang lahir

21
cacat lebih baik diizinkan meninggal daripada nantinya menjadi beban
di masyarakat (Priharjo, 1995 dalam Purba, 2009).
 Deontologi
Deontologi merupakan suatu teori atau studi tentang kewajiban
moral (Ismani, 2001). Pernyataan ini didukung juga olch Catalano
(1992) yang menjelaskan bahwa deontologi scbagai sistem pembuatan
kcputusan euka odalah prinsip dasar moral dan ttdak berubah, Menurut
Kant, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil akhir atau
konsekuensi dari suatu tindakan, melaikan oleh nilai moral. Dalam
konteks int perhatian dlfokuakan Padatindakan melakukan tanggung
awab moral yang dapat memberi penentu apakah tindakan tersebut
secara moral benar atau salah. Kant berpendapat bahwa prinsip moral
atau yang terkait dengan mgas hams bersifat universal, tindakan
kondisional dan imperatif (Ptiharjo, 1995 dalam Purba, 2009).
F. Hak-hak pasien jiwa
Hak pasien sangat bergantung pada peraturan perundangan. Menurut
Undang-Undang Kesehatan Pasal 144 mengatakan, “Menjamin setiap orang
dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan,
tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”.
Beberapa hak pasien yang telah diadopsi oleh banyak Negara Bagian di
Amerika antara lain sebagai berikut (Yusuf, 2015).
1. Hak untuk berkomunikasi dengan orang di luar rumah sakit.
Pasien bebas untuk mengunjungi dan berbicara melalui telepon
secara leluasa dan mengirim surat tertutup kepada siapapun yang dipilihnya
(Yusuf, 2015).
2. Hak terhadap barang pribadi.
Pasien berhak untuk membawa sejumlah terbatas barang pribadi
bersamanya. Namun, bukan menjadi tanggung jawab rumah sakit untuk
keamanan dan tidak membebaskan staf rumah sakit tentang jaminan
keamanan pasien (Yusuf, 2015).

22
3. Hak menjalankan keinginan.
Kemampuan seseorang untuk menyatakan keinginannya yang
dikenal sebagai “surat wasiat”. Pasien dapat membuat wasiat yang apsah
jika ia (1) mengetahui bahwa ia membuat surat wasiat, (2) mengetahui sifat
dan besar miliknya, dan (3) mengetahui siapa teman dan keluarganya serta
hubungannya dengan mereka. Tiap kriteria ini harus dipenuhi dan
didokumentasikan agar surat wasiat tersebut dapat dianggap apsah (Yusuf,
2015).
4. Hak terhadap “Habeas Corpus”.
Semua pasien mempunyai hak, yang memperkenankan pengadilan
hukum, untuk mensyaratkan pelepasan secepatnya bagi tiap individu yang
dapat menunjukkan bahwa ia sedang kehilangan kebebasannya dan ditahan
secara tidak legal (Yusuf, 2015).
5. Hak terhadap pemeriksaan psikiatrik yang mandiri
Pasien boleh menuntut suatu pemeriksaan psikiatri oleh dokter yang
dipilihnya sendiri. Jika dokter tersebut menentukan bahwa pasien tidak
menderita gangguan jiwa, maka pasien harus dilepaskan (Yusuf, 2015).
6. Hak terhadap keleluasaan pribadi.
Individu boleh merahasiakan beberapa informasi tentang dirinya
dari orang lain. “Kerahasiaan” membolehkan pemberian informasi tertentu
kepada orang lain, tetapi sangat terbatas pada orang yang diberi
kewenangan saja. “Komunikasi dengan hak istimewa” merupakan suatu
pernyataan legal yang hanya dapat digunakan dalam proses yang berkaitan
dengan pengadilan. Ini berarti bahwa pendengar tidak dapat memberikan
informasi yang diperoleh dari seseorang kecuali pembicara memberikan
izin. Komunikasi dengan hak istimewa tidak termasuk menggunakan
catatan rumah sakit, serta sebagian besar negara tidak memberikan hak
istimewa komunikasi antara perawat dan pasien. Selain itu, terapis
bertanggung jawab terhadap pelanggaran kerahasiaan hubungan untuk

23
memperingatkan individu yang potensial menjadi korban tindak kekerasan
yang disebabkan oleh pasien (Yusuf, 2015).
7. Hak persetujuan tindakan (informed consent)
Dokter harus menjelaskan tentang pengobatan kepada pasien,
termasuk potensial komplikasi, efek samping, dan risiko. Dokter harus
mendapatkan persetujuan pasien, yang harus kompeten, dipahami, dan
tanpa paksaan (Yusuf, 2015).

8. Hak pengobatan
Kriteria untuk pengobatan yang adekuat didefinisikan dalam tiga
area, yaitu (1) lingkungan fisik dan psikologis manusia, (2) staf yang
berkualitas dan jumlah anggota yang mencukupi untuk memberikan
pengobatan, serta (3) rencana pengobatan yang bersifat individual (Yusuf,
2015).
9. Hak untuk menolak pengobatan
Pasien dapat menolak pengobatan kecuali jika ia secara legal telah
ditetapkan sebagai tidak berkemampuan. “Ketidakmampuan” menunjukkan
bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat menyebabkan
ketidakmampuannya untuk memutuskan dan gangguan ini membuat ia
tidak mampu untuk mengatasi sendiri masalahnya. Ketidakmampuan hanya
dapat dipulihkan melalui sidang pengadilan lain (Yusuf, 2015).

G. Peran legal perawat dalam keperawatan jiwa


Keperawatan jiwa mulai menjadi profesi pada awal abad ke- 19 dan pada
masa tersebut berkembang menjadi spesialis dengan pera dan fungsi-funsi
yang unik. Keperawatan jiwa adalah suatu proses interpersonal dengan tujan
untuk meningkatkan dan memelihara prilaku-prilaku yang mendukung
terwujudnya suatu kesatuan yang harmonis (integrated). Kliennya dapat
berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat. Tiga wilayah
praktik keperawatan jiwa meliputi perawatan langsung, komunikasi, dan

24
menajemen. Ada empat faktor yang dapat menentuukan tingkat penampilan
perawat jiwa, yaitu aspek hukum,kualifikasi perawat, lahan praktik, dan
inisiatif dari perawat sendiri (Farida, 2012).
Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal
yaitu perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat sebagai pekerja,
dan perawat sebagai warga negara. Perawat mungkin mengalami konflik
kepentingan antara hak dan tanggung jawab ini. Penilaian keperawatan
profesional memerlukan pemeriksaan yang teliti dalam konteks asuhan
keperawatan, kemungkinan konsekuensi tindakan keperawatan, dan altematif
yang mungkin dilakukan perawat (Farida, 2012).
Malpraktik mencakup kegagalan seorang profesional untuk memberikan
jenis asuhan yang dilakukan oleh anggota profesi di masyarakat, yang
membahayakan pasien. Kebanyakan tuntutan malpraktik diarsipkan dalam
hukum tentang kesalahan karena kelalaian. Kesalahan merupakan suatu
kesalahan sipil yang di dalamnya pihak yang dirugikan memiliki hak untuk
mendapatkan kompensasi. Di bawah hukum tentang kesalahan karena
kelalaian, penggugat harus membuktikan Farida, 2012) :
a) Ada kewajiban legal untuk melakukan asuhan.
b) Perawat melakukan tugasnya dengan kelalaian.
c) Gangguan yang dialami pasien sebagai akibatnya.
d) Gangguan bersifat substansial.
Peran dan fungsi perawat jiwa saat ini telah berkembang secara kompleks
dari elemen historis aslinya (Stuart, 2002). Peran perawat jiwa sekarang
mencakup parameter kompetensi klinik, advokasi pasien, tanggung jawab
fiskal (keuangan), kolaborasi profesional, akuntabilitas (tanggung gugat)
sosial, serta kewajiban etik dan legal. Dengan demikian, dalam memberikan
asuhan keperawatan jiwa perawat dituntut melakukan aktivitas pada tiga area
utama yaitu(Farida, 2012) :
a. aktivitas asuhan langsung, seperti
b. aktivitas komunikasi

25
c. aktivitas pengelolaan/penatalaksanaan manajemen keperawatan.
H. Analisis kasus
1. Contoh soal
Tn. H usia 39 tahun, tampak menyendiri diruangan kecil, kemudian
dari hasil penglajian Tn. H tampak kaki teratai, kaki dimasukkan dalam
sebongkah kayu, badan kotor, rambut acak-acakkan tidak memakai
baju, hanya memakai celana. Dan hasil pemeriksaan fisik didapatkan
pasien sering tersenyum sendiri, berkomat-kamit, kemudian pasien
berbau selain itu didapatkan data bahwa diruang tersebut pasien sendiri.
Pasien hanya BAB dan BAK sendiri ditempat.
2. UUD Keperawatan Jiwa
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 tentang kesehatan jiwa pada Pasal 2 yaitu Upaya Kesehatan Jiwa
berasaskan:
a. keadilan;
b. perikemanusiaan;
c. manfaat;
d. transparansi;
e. akuntabilitas;
f. komprehensif;
g. pelindungan; dan
h. nondiskriminasi.
Dan pada pasal 3 menjelaskan tentang tujuan upaya kesehatan
jiwa yaitu :
a. menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang
baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat
mengganggu Kesehatan Jiwa;
b. menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai
potensi kecerdasan;

26
c. memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan
Kesehatan Jiwa bagi ODMK dan ODGJ berdasarkan hak
asasi manusia;
d. memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi,
komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi ODMK
dan ODGJ;
e. menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya
dalam Upaya Kesehatan Jiwa;
f. meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
g. memberikan kesempatan kepada ODMK dan ODGJ untuk
dapat memperoleh haknya sebagai Warga Negara Indonesia.
Pada Pasal 4 menjelaskan upaya kegiatan yang dapat dilakukan
oleh perawat .
1. Upaya Kesehatan Jiwa dilakukan melalui kegiatan:
a. promotif;
b. preventif;
c. kuratif; dan
d. rehabilitatif.
2. Upaya Kesehatan Jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
masyarakat.
3. Aspek legal
Peraturan mentri kesehatan Republic Indonesia Nomor 54 tahun
2017 tentang penanggulangan pemasungan pada orang dengan
gangguan jiwa.

27
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya.
2. Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah
orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan
yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan
perilaku yang bermakna, serta dapat. menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
3. Pemasungan adalah segala bentuk pembatasan gerak ODGJ oleh keluarga
atau masyarakat yang mengakibatkan hilangnya kebebasan ODGJ,
termasuk hilangnya hak atas pelayanan kesehatan untuk membantu
pemulihan.
4. Penanggulangan Pemasungan adalah upaya pencegahan, penanganan,
dan rehabilitasi bagi ODGJ dalam rangka penghapusan Pemasungan.
5. Rehabilitasi adalah bagian dari rangkaian proses terapi untuk pemulihan
ODGJ melalui pendekatan secara fisik, psikologis dan sosial.
6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
7. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.

28
9. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Pasal 2
Pengaturan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ
ditujukan untuk:
1. menjamin pelayanan kesehatan bagi ODGJ berdasarkan hak asasi
manusia.
2. menjamin ODGJ mencapai kualitas hidup yang sebaikbaiknya dan
menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan terhadap
Pemasungan dan tekanan akibat Pemasungan.
3. memberikan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta
pemangku kepentingan lainnya untuk menghapuskan Pemasungan pada
ODGJ.

Pasal 3
1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ secara
komprehensif dan berkesinambungan untuk mencapai penghapusan
Pemasungan.
2. Penyelenggaraan Penanggulangan Pemasungan sebagaimana dimaksud
pada ayat(1) dilakukan dengan melibatkan masyarakat.
3. Dalam penyelenggaraan Penanggulangan Pemasungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan koordinasi dan integrasi dengan lintas
program dan lintas sektor.

Pasal 4
1. Penanggulangan Pemasungan dilakukan melalui:
a. pencegahan Pemasungan
b. penanganan Pemasungan

29
c. Rehabilitasi.
2. Penanggulangan Pemasungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap ODGJ, keluarga, dan masyarakat.
3. Penanggulangan Pemasungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara bersinergi dengan lintas program melalui pendekatan
keluarga.

Pasal 5
1. Pencegahan Pemasungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan ODGJ sehingga
dapat berfungsi optimal baik bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
2. Pencegahan Pemasungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan:
a. advokasi dan sosialisasifasilitasi
b. kepesertaan jaminan kesehatan
c. penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan terjangkau
d. pemberian tata laksana untuk mengontrol gejala melalui terapi medikasi
maupun non medikasi.
e. pengembangan layanan rawat harian (day care).

Pasal 6
1. Penanganan Pemasungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf b ditujukan untuk membebaskan ODGJ dari Pemasungan dan
mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan haknya.
2. Penanganan Pemasungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:
a. advokasi dan sosialisasi.
b. fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan.
c. pemeriksaan dan tata laksana awal di komunitas.
d. rujukan ke rumah sakit umum (RSU) atau rumah sakit jiwa (RSJ).
e. kunjungan rumah (home visit) atau layanan rumah (home care).

30
f. pengembangan layanan di tempat kediaman (residensial) termasuk
layanan rawat harian (day care).
g. pengembangan kapasitas tenaga kesehatan dan kader.

Pasal 7
1. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c
ditujukan untuk mencegah terjadinya kembali praktik Pemasungan pada
ODGJ dan pemberdayaan ODGJ dalam proses reintegrasi ke masyarakat
serta peningkatan kualitas hidup.
2. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan:
a. advokasi dan edukasi.
b. fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan.
c. penyediaan akses ke layanan kesehatan termasuk jaminan keberlanjutan
terapi baik fisik maupun jiwa.
d. tata laksana untuk mengontrol gejala melalui terapi medikasi dan non
medikasi.
e. kunjungan rumah (home visit) atau layanan rumah (home care); f.
Rehabilitasi vokasional dan okupasional.
f. fasilitasi ODGJ dalam memperoleh modal usaha mandiri atau lapangan
pekerjaan.
pengembangan layanan di tempat kediaman (residensial)
termasuk layanan rawat harian (day care).
3. Aspek etik
Dari sudut pandang etika pemasungan merupakan suatu tindakan
yang merenggut HAM seserorang dengan penderita gangguan jiwa,
karena dapat merusak mental atau psikis dari pasien gangguan jiwa dan
juga dapat membatasi gerakan diri fisik pasien jiwa, pasien jiwa juga
memiliki hak yang sama sebagai warga Negara Indoneisa. jika
pemasungan dilakukan maka sama seperti mengambil Hak asasi orang

31
lain karna tindakan pemasungan tersebut bukan merupakan upaya
penyembuhan serta bukan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
berwenang.
Pada kasus diatas menunjukkan bahwa kita sebagai perawat dapat
melakukan advokasi atau membantu dalam pengambilan keputusan
yang tepat dengan memperhatiakna prinsip –prinsip etik dalam
keperawatan jiwa
a. Outonomy (hak pasien untuk memilih) dalam hal ini perawat dapat
berperan sebagai advokasi yaitu dengan membantu pengambilan
keputusan yang tepat.
Dari kasus Tn.H, setelah dilakukan analiasa data, dengan
keadaan pasien kaki terantai, kaki dimasukakan dalam sebongkah
kayu, badan kotor, rambut acak-acakkan tidak memakai baju, hanya
memakai celana. pasien berbau selain itu didapatkan data bahwa
diruang tersebut pasien sendiri. Pasien hanya BAB dan BAK sendiri
ditempat perawat bisa menawarkan berbagai tindakan keperawatan
yang sesuai untuk diberikan kepada pasien (SP deficit perawatan diri)
yaitu dengan menjelaskan pentingnya untuk menjag kebersihan diri
dengan menggunakan komunikasi yang terapeutik. Dan kemudian
perawat bias menawarkan berbagai pilihan dalam melakukan
kebersihan diri. Pasien memiliki hak untuk memilih dan perawat tidak
boleh memaksa karna pasien memiliki hak otonomy.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 tentang kesehatan jiwa pada Pasal 3a yaitu Upaya Kesehatan
Jiwa berasaskan: ”menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas
hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas
dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu
Kesehatan Jiwa”
Sesesuai dengan pasal diatas menjelaskan bahwa manusia
memiliki hak kebebasan baik termasuk dalam aspek kebebasan untu

32
memilih, Tn.H memiliki hak otonomy sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas.
b. Beneficience (berbuat baik), sebagai perawat harus bersikap baik
kepada pasien dan harus berkontribusi dalam pengobatan pasien
ODGJ ,karena pasien ODGJ memiliki hak untuk mendapatkan
pengobatan dan perawatan yang sesuai yang sudah ditetapkan oleh
UUD legal etik dalam keperawatan jiwa.
Pada kasus Tn.H, setelah dilakukn analisa data dengan keadaan
fisik pasien yang terpuruk dan kotor serta mengalami gangguan jiwa
sebagai perawat harus memperlakukannya sesuai dengan etika
keperawatan, dengan keadaan personal hygene yang buruk perawat
dapat membantu dalam melakukan perawatan diri pasien, dan pada
kondisi lain pasien mengalami sering tersenyum sendiri dan bibir
berkomat-kamit sebagai perawat harus menjaga sikap tidak boleh
sampai menyinggung perasaan pasien.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 tentang kesehatan jiwa pada Pasal 3d yaitu Upaya Kesehatan
Jiwa berdasarkan: memberikan pelayanan kesehatan secara
terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi ODMK dan ODGJ;
Pada kasus Tn.H perawat harus melakukan asuhan
keperawatan jiwa sesuai prosedur tindakan dan etik keperawatan jiwa
sehingga pasien mendapatkan perlakuan baik sesuai dengan haknya.
c. Justice (adil), sebagai perawat harus bersiap adil dalam melakukan
perawatan terhadap pasien ODGJ ,meskipun pasien dengan keadaan
yang kotor dan berbau / personal hygene yang buruk
Pada pasien Tn.H yang mengalami gangguan jiwa perawat
tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pasien, perawat harus
berlaku adil dalam segi apapun seperti halnya dalam melakukan

33
tindakan keperawatan, karna pasien dengan gangguan jiwa memiliki
hak yang sama seperti halnya orang lain pada umumnya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 tentang kesehatan jiwa pada Pasal 2a yaitu yang berbunyi
“KEADILAN”, yang mana pada kasus Tn.H perawat harus berlaku
adil kepada semua individu termasuk pada orang yang mengalami
gangguan jiwa.
d. Non mal efecience (tidak merugikan), perawat bisa merujuk pasien
ODGJ kerumah sakit jiwa, agar mendapatkan penanganan dan
pengobatan serta pelayanan kesehatan yang sesuai dengan haknya
Pada kasus Tn.H perawat tidak diperkenankan untuk
melakukan hal-hal atau tindakan yang merugikan speerti melakukam
komunikasi yang dapat menyinggung pasien sehingga pasien
mengamuk atau bahkan semakin memperburuk kondisi pasien .
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 tentang kesehatan jiwa pada Pasal 3f yaitu Upaya Kesehatan
Jiwa berdasarkan; peningkatkan mutu upaya kesehatan jiwa sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknlogi.
Pada kasus Tn.H perawat harus memberikan pelayanan
kesehatan sesuai disiplin ilmu dan perkembangan yang ada sehingga
tercapai derajat kesehatan pada pasien ODGJ sehingga tidak
menimbulkan kerugian antara kedua belah pihak.
e. Veracity (kejujuran), perawat harus memiliki kemampuan untuk
mengatakn kebenaran, sinformd consent harus dilakukan diawal agar
perawat dan psien ODGJ sama-sama saling mengutarakan kebenaran,
sehingga tercipta BHSP yang baik supaya memudahkan perawat untuk
mengidentivikasi dan mengevaluasi keadaan pasien setiap hari
Pada kasus Tn.H perawat harus berlaku jujur pada setiap
penyampaian informasi yang akan disampaikan pada pasien dan tidak
mengada-ada sehingga pasien tidak merasa dibohongi dan memiliki

34
kepercayaan kepada perawat, karena jika pasien tidak memiliki rasa
percaya pada perawat maka akan sulit dalam melakukan tindakan
keperawatan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 tentang kesehatan jiwa pada Pasal 2b tentang Transparasi, yang
bersifat keterbukaan
Pada kasus Tn.H perawat harus memiliki sifar jujur atau
terbuka dalam penyamaian suatu informasi terhadap pasien, sehingga
tidak terjadi penyampaian yang bersifat tidak jujur
f. Fidelity (kesetiaan), kesetiaan dibutuhkan agar tercipta hubungan yang
saling menghargai antara perawat dan pasien ODGJ sehingga pasien
tidak merasa dikhianati
Pada kasus Tn.H setelah dilakukan analisa data, pasien
dirungan tersebut hanya sendiri sehingga pasien akan merasakan
kesepiaan, dan pasien akan merasa bahwa dirinya di asingkan, dalam
hal tersebut sebagai perawat harus menghadirkan diri dengan
menemani pasien atau mendengarkan keluh kesah pasien sehingga
pasien dapat merasakan bahwa masih ada orang disekitar yang
menghargai nya
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 tentang kesehatan jiwa pada Pasal 3b, yaitu Upaya Kesehatan
jiwa dalam menjamin setiap orang untuk mengembangkan berbagai
potensi kecerdasan
Dalam kasus Tn.H perawat harus tertap memberikan jaminan
asuhan keperawatan terhadap pasien ODGJ sampai pasien tersebut
mencapai derajat kesehatan yang optimal.
g. Confidentiality (kerahasian), perawat harus menjaga segala rahasia
dan informasi yang di miliki pasien ODGJ
Pada kasus Tn. H perawat harus menjaga penuh terhadap
privasi dari pasien seperti menjaga privasi tentang keadaan umum

35
pasien sseperti keadaan personal hygiene yang buruk atau keadaan
yang lain seperti senyum-senyum sendiri dan berkomat kamit, karna
pasien dengan gangguan jiwa juga memiliki hak atas privasi dirinya
sendiri yang harus dijaga seperti orang lain pada umunya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 tentang kesehatan jiwa pada Pasal 2b yang berbunyi tentang
“perikemanusiaan”.
Pada kasus Tn.H perawat harus memberkan penuh hak
prikemanusiaan atau HAM pasien, perawat harus memperlakukan
pasien sesuai HAM seperti menjaga privasi Tn.H dan tidak
menceritakan kondisi pasien yang bersifat pribadi kepada orang lain
h. Accountability (tanggung jawab), perawat harus memiliki rasa
tanggung jawab yang besar terhadap setiap tindakan yang dilakukan
oleh perawat terhadap pasien ODGJ .
Pada kasus Tn. H perawat memiliki tanggung jawab terhadap
kondisi pasien, karna Tn. H sangat membutuhkan tindakan khusus,
perawat harus berhati-hati dan sesuai terhadap semua tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien, sehingga tidak
menimbulkan hal yang dapat membahayakan kondisi klien
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun
2014 tentang kesehatan jiwa pada Pasal 2c yang berbunyi
“akuntabilitas”
Dalam hal ini perawat harus memiliki peran tanggung jawab
atau akuntabilitas terhadap pasien dalam melakukan berbagi pelayanan
kesehatan, pada Tn.H perawat memiliki tanggung jawab terhadap
tindakan apa yang akan perawat berikan serta memfasilitasinya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

36
Legal etika keperawatan adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
sah menurut Undang-undang keperawatan yang berlaku dalam
melaksanakan tugasnya yang berhubungan dengan pasien, masyarakat,
teman sejawat maupun dengan organisasi profesi, serta pengaturan praktik
dalam keperawatan itu sendiri. Sehinggalegal etika keperawatan dijadikan
acuan dalam melaksanakan prakktik keperawatan, tidak terkecuali
keperawatan jiwa. Keputusan dan tindakan perawat psikiarti kepada klien
dibedakan oleh apa yang dinamakan dengan ethical manner (cara yang
sesuai dengan etik).
Salah satu prinsip etik perawat dalam menjalankan tugasnya yaitu
prinsip otonomi yang berarti hak untuk membuat keputusan sendiri.
Menghormati otonomi menyangkut penghormatan terhadap otonomi
individu untuk dengan bebas menentukan sendiri apa yang akan dilakukan.
Ini menunjukkan bahwa setiap individu tidak hanya membuat pilihan untuk
membuat keputusan sendiri, tetapi juga bebas dalam menerima setiap
konsekuensi dari keputusan yang dibuat. Namun, dalam keadaan tertentu
jika pasien jiwa mengalami depresi sampai membuat tindakan yang
membahayakan maka perawat jiwa melakukan Seklusi atau pengurungan
pasien dalam suatu ruang untuk mencegah kerusakan atau bahaya terhadap
orang lain, lingkungan, fasilitas rumah sakit serta dirinya sendiri.
B. Saran
Demikian isi makalah ini, kami sangat menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan baik dari segi
bentuk maupun materi yang kami uraikan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk
memperbaiki makalah selanjutnya.

37
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawati, Farida, dkk. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika.

Stuart, Gail. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta :


EGC.

Purba, Jenny Marlindawani, dkk. 2009. Dilema Etik dan Pengambilan Keputusan
Etik dalam Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Georgiva, Irina. 2013. Psychiatry Research : Reducing seclusion through


involuntary medication: A randomizedclinical trial. Vol. 205. England :
Elsevier.
Yusuf, Ah dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

38

Das könnte Ihnen auch gefallen