Analisa Pengaruh Kebijakan Desentralisasi Fiskal Terhadap Outcomes
Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera Barat
I. Pendahuluan
Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola
hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya Undang-undang (UU) nomor 22 tahun 1999 dan UU no.25 tahun 1999 yang kemudian UU tersebut disempurnakan menjadi UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 33 tahun 2004. Prinsipnya desentralisasi bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi local. Masalah sekarang adalah bagaimana mengarahkan daerah, terutama daerah-daerah yang tidak kaya untuk bisa menggunakan APBDnya secermat mungkin dan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
II. Telaah Literatur dan Pengembangan Hipotesis
Desentralisasi Menurut Rondinelli Desentralisasi merupakan transfer wewenang atau kekuasaan dalam perencanaan publik, manajemen, dan pembuatan keputusan dari level nasional ke level sub nasional atau secara umum dari level yang tinggi ke level yang lebih rendah dalam pemerintahan. Desentralisasi Fiskal Syahruddin mendefinisikan desentralisasi fiskal sebagai kewenangan (authority) dan tanggungjawab (responsibility) dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran daerah (APBD) oleh pemerintah daerah. Terdapat dua fungsi pemerintah yakni fungsi ekonomi dan fungsi non ekonomi. Fungsi ekonomi menurut Musgrave (1973) dalam Syahruddin (2006) disebut sebagai fungsi anggaran (fiscal function) yang terdiri dari fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Fungsi distribusi dalam kebijakan fiskal bertujuan untuk mengurangi perbedaan-perbedaan pendapatan antar individu dalam masyarakat. Fungsi stabilisasi dalam fungsi fiskal bertujuan untuk menciptakan kestabilan ekonomi. Pengukuran Kinerja , Outcome dan Indikator dalam bidang kesehatan Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. 1) Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. 2) Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. 3) Ketiga, ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Indikator digunakan sebagai proxy terhadap outcome kinerja. Indikator bermanfaat dalam menilai atau mengukur kinerja instansi. Di dalam rencana strategis Departemen Kesehatan 2005-2009 terkait dengan visi Menuju Indonesia Sehat 2010, membagi 3 jenis pengklasifikasian indikator dalam menilai kinerja yakni:
1) Indikator Hasil Akhir (Long-Term Outcomes) yaitu derajat kesehatan.
Indikator ini terdiri dari indikator-indikator mortalitas (kematian), yang dipengaruhi oleh indikator-indikator morbiditas (kesakitan) dan indikator-indikator status gizi.
2) Indikator Hasil Antara (Intermediate Outcomes). Indikator ini terdiri
atas indikator-indikator ketiga pilar yang mempengaruhi hasil akhir, yaitu indikator-indikator keadaan lingkungan, indikator-indikator perilaku hidup masyarakat, serta indikator-indikator akses dan mutu pelayanan kesehatan.
3) Indikator Proses dan Masukan (Initial Outcomes). Indikator ini terdiri
atas indikator-indikator pelayanan kesehatan, indikator-indikator sumber daya kesehatan, indikator-indikator manajemen, kesehatan, dan indikator-indikator kontribusi sektor terkait.