Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PERILAKU KEKERASAN
OLEH:
NI NYOMAN LAKSMINI
A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1998).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain (Yosep, 2007).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan (Townsend, 1998).
Resiko perilaku kekerasan adalah adanya kemungkinan seseorang
melakukan tindakan yang dapat mencederai orang lain dan lingkungan akibat
ketidakmampuan mengendalikan marah secara konstruktif (CMHN, 2006).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai
marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan
masih terkontol (Yosep, 2007).
D. Penyebab
1. Faktor predisposisi:
a. Biologis
Respon biologis timbul karena kegiatan system syaraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin, sehingga tekanan darah meningkat,
takhikardi, wajah merah, pupil melebar dan frekuensi pengeluaran urine
meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup,
tangan dikepal, tubuh kaku dan reflek cepat. Hal ini disebabkan energi
yang dikeluarkan saat marah bertambah
b. Psikologis
Teori frustasi: kegagalan yang dialami akan menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk
Teori tumbang: masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan seperti
perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau saksi penganiayaan
c. Perilaku
Reinforcement yang diterima saat melakuakn kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan didalam atau diluar rumah, semua aspek
menstimuli individu menghadapi perilaku kekerasan.
d. Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol
sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan
seolah-olah perilaku kekerasan dapat diterima (pasmisive).
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi ungkapan marah individu.
Aspek tersebut mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan.
Hal ini bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan
kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak
berdosa. Individu yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, selalu
meminta kebutuhan dan bimbingan kepadanya.
2. Faktor presipitasi
Bersumber dari individu sendiri, lingkungan dan interaksi dengan orang
lain:
a. Internal stressor: kelemahan fisik, kehilangan anggota badan,
keputusasaan, ketidakberdayaan, merasa gagal, percaya diri kurang
b. External stressor: kehilangan keluarga, mendapat kekerasan, kritikan
dari orang lain, interaksi sosial yang profokatif dan konflik
F. Akibat
Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Seseorang
dapat mengalami perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain dapat
menunjukan perilaku (Kartikasari, 2015: hal 140) :
1. Data Subyektif :
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam
b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
2. Data Obyektif :
a. Wajah tegang merah
b. Mondar mandir
c. Mata melotot, rahang mengatup
d. Tangan mengepal
e. Keluar banyak keringat
f. Mata merah
g. Tatapan mata tajam
G. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi
diri antara lain:
1. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat
untuk suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara
normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas adona kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya(Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 103).
3. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan
dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia
dapat melupakanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012:
hal 103).
5. Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja
mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar didinding
kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temanya (Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 104).
H. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai
dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk
mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis
efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka
dapat digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika,
tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang,anti
cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam
terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan
seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media yang penting
setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi
tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ni
merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu
keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu 11 mengenal
masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi
perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang
sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang
mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan dapat mencegah perilaku
maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif
(pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke
perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan
keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
4. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi
yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan
melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi
adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal 146).
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari
sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014: hal 146).
I. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Perilaku kekerasan
(Core Problem)
A. Pengkajian
1. Pengkajian umum meliputi:
a. Faktor penyebab:
1) Organobiologis
a) Riwayat trauma di kepala
b) Riwayat penyakit infeksi
c) Epilepsi, cancer, dll
2) Psikoedukatif
a) Pola asuh
b) Hubungan antar orang tua
c) Hubungan pasien dengan anggota keluarga yang lain
d) Kejadian tidak menyenangkan saat kecil
3) Sosiokultural
a) Sigma masyarakat terhadap klien dan keluarga
b) Pertolongan pertama saat terjadi perubahan perilaku
b. Faktor pencetus:
1) Keadaan keluarga
2) Perceraian
3) Permusuhan
4) Penganiayaan
5) Dll
c. Konsep diri
1) Gambaran diri
2) Identitas diri
3) Ideal diri
4) Peran diri
5) Harga diri
d. Mekanisme koping individu
e. Mekanisme koping keluarga
2. Pengkajian khusus meliputi:
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan dg faktor resiko
Perilaku Kekerasan/amuk
1) Data Subyektif :
a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2) Data Objektif :
a) Mata merah, wajah agak merah.
b) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
c) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
d) Merusak dan melempar barang-barang.
b. Perilaku kekerasan / amuk
1) Data Subyektif :
a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2) Data Obyektif
a) Mata merah, wajah agak merah.
b) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
c) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
d) Merusak dan melempar barang-barang.
c. Harga diri rendah
1) Data subyektif: Klien mengkritik diri, perasaan tidak mampu, klien
merasa bersalah, klien merasa tidak berguna, klien merasa malu,
pandangan hidup yang pesimis, penolakkan terhadap kemampuan
diri.
2) Data objektif: Selera makan kurang, tidak berani menatap lawan
bicara, lebih banyak menunduk, bicara lambat dan nada suara
lemah.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan/amuk.
2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga
diri rendah.
C. Rencana Tindakan
1. Diagnosa 1: Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
berhubungan dengan perilaku kekerasan/ amuk
Tujuan Umum : Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya
a. TUK 1: Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria evaluasi
1) Klien mau membalas salam
2) Klien mau berjabat tangan
3) Klien mau menyebutkan nama
4) Klien mau kontak mata
5) Klien mau mengetahui nama perawat
6) Klien mau menyediakan waktu untuk kontak
Tindakan:
1) Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
2) Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
3) Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
4) Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
5) Beri rasa aman dan sikap empati.
6) Lakukan kontak singkat tapi sering
b. TUK 2: Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
Kriteria evaluasi
1) Klien dapat mengungkapkan perasaannya
2) Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/kesal (dari
diri sendiri, orang lain dan lingkungan)
Tindakan:
1) Beri kesempatan mengungkapkan perasaan
2) Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal
3) Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap tenang.
c. TUK 3: Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
Kriteria evaluasi
1) Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah atau jengkel
2) Klien dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami
Tindakan:
1) Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal
2) Observasi tanda perilaku kekerasan
3) Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami
klien.
d. TUK 4: Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
Kriteria evaluasi
1) Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang dilakukan
2) Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang
dilakukan
3) Klien dapat mengetahui cara yang biasa dapat menyelesaikan
masalah atau tidak
Tindakan:
1) Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
2) Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
3) Tanyakan “apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya
selesai?”
e. TUK 5: Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Kriteria evaluasi
Klien dapat mengungkapkan akibat dari cara yang dilakukan klien
Tindakan:
1) Bicarakan akibat kerugian dari cara yang dilakukan
2) Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
3) Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
f. TUK 6: Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan
Kriteria evaluasi
Klien dapat melakukan cara berespon terhadap kemarahan secara
konstruktif
Tindakan:
1) Tanyakan kepada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat
2) Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat
3) Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat
a) Secara fisik: tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolahraga,
memukul bantal/kasur atau pekerjaan yang memerlukan
tenaga.
b) Secara verbal: katakana bahwa anda sedang marah atau
kesal/tersinggung
c) Secara sosial: lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang
sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.
d) Secara spiritual: berdo’a, sembahyang, memohon kepada
Tuhan untuk kesabaran.
g. TUK 7: Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku
kekerasan
Kriteria hasil
1) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan
a) Fisik : olahraga dan menyiram tanaman
b) Verbal : mengatakan secara langsung dan tidak menyakiti
c) Spiritual : sembahyang, berdoa/ibdah yang lain
Tindakan:
1) Bantu memilih cara yang paling tepat
2) Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih
3) Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih
4) Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam
simulasi
5) Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat marah/jengkel.
h. TUK 8: Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol
perilaku kekerasan
Kriteria evaluasi
1) Keluarga klien dapat menyebutkan cara merawat klien yang
berperikalu kekerasan
2) Keluarga klien merasa puas dalam merawat klien
Tindakan:
1) Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap apa
yang telah dilakukan keluargaselama ini
2) Jelaskan peran keluarga dalam merawat klien
3) Jelaskan cara-cara merawat klien
a) Cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif
b) Sikap tenang, bicara tenang, dan jelas.
c) Membantu klien mengenal penyebab ia marah
4) Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien
5) Bantu keluarga mengungkapkan perasaanya setelah melakukan
demonstrasi.
i. TUK 9: Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program)
Kriteria evaluasi
1) Klien dapat meyebutkan obat-batan yang diminum dan
kegunaannya
2) Klien dapat minum obat sesuai dengan program pengobatan
Tindakan:
1) Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien pada klien dan
keluarga
2) Diskusikan manfaat obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa
seizing dokter
3) Jelaskan prinsip 5 benar minum obat(nama klien, obat, dosis, cara,
dan waktu)
4) Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan
5) Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan
efek yang tidak menyenangkan
6) Beri pujian jika klien minum obat dengan benar
2. Diagnosa 2: perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan konsep diri
harga diri rendah
Tujuan umum: klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
a. TUK 1: Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan:
1) Bina hubugan saling percaya: sala terapeutik, dan perkenalkan diri,
tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai,
jelaskan tujuan pertemuan, ciptakan lingkungan yang tenag, buat
kontrak yang jelas (waktu, tempat, dan topic pembicaraan)
2) Beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya
3) Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
4) Katakana kepada klien bahwa ia adalah seseorang yang berharga
dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri.
b. TUK 2: Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki
Tindakan:
1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
2) Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negative
3) Utamakan memberi pujian yang realistis
c. TUK 3: Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Tindakan:
1) Diskusikan bersama klien kemampuan yang masih dapat digunakan
selama sakit
2) Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang
ke rumah
d. TUK 4: Klien dapat menetapkan/merencanakan kegiatan sesuai
kemampuan yang dimiliki
Tindakan:
1) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan (mandiri, bantuan sebagian, bantuan
total)
2) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
3) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
e. TUK 5: Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan
kemampuannya
Tindakan:
1) Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan
2) Beri pujian atas keberhasilan klien
3) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
f. TUK 6: Klien dapat memanfaatkan system pendukung yang ada
Tindakan:
1) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat
klien dengan harga diri rendah
2) Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
3) Beri reinforcement positif atau keterlibatan keluarga.
file:///C:/Users/user/Documents/NERS/JURNAL/NANDA%20NIC%20NOC%2
0PERILAKU%20KEKERASAN.html
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-muslikha-5364-2-
babiik-k.pdf
https://id.scribd.com/document/340567349/Nanda-Nic-Noc-Perilaku-Kekerasan
https://samoke2012.files.wordpress.com/2017/03/lpsp-pk-b.pdf
Keliat Budi Ana.(1999).Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta :
EGC.