Sie sind auf Seite 1von 7

1.

Al-‘Urf (Al-‘Adah)
Pengertian ‘urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang “biasa”
dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya.
Dari takrif tersebut maka jelas ada perbedaan antara’urf dan Ijma’ yaitu:
1. ‘urf terjadi karena ada persesuaian dalam perbuatan ataupun perkataan
diantara umumnya manusia, baik pada orang biasa, orang cerdik,
cendekiawan atau para mujtahid. Sedangkan didalam Ijma’ kesepakatan
hanya terjadi di kalangan para mujtahid saja.
2. Apabila ‘urf ditentang oleh sebagian kecil manusia, maka tidaklah
membatalkan kedudukannya sebagai ‘urf. Adapun dalam Ijma’, apabila
tidak disetujui oleh seorang mujtahid saja, sudah tidak bisa dianggap
sebagai Ijma’ lagi.
3. Hukum yang dihasilkan berdasarkan Ijma’ menjadi hukum yang pasti
dalam arti tidak bisa dijadikan objek ijtihad. Adapun hukum yang
dihasilkan berdasarkan ‘urf bisa berubah dengan perubahan ‘urf itu
sendiri.1
a. Syarat-syarat ‘urf yang Bisa Diterima oleh Hukum Islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Alqur’an
atau Sunnah.
2. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah
termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan
kesulitan.
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa
dilakukan oleh beberapa orang saja.
‘Urf yang memenuhi persyaratan-persyaratan di atas digunakan oleh
para ulama. Imam Malik misalnya mendasarkan hukum kepada ‘urf ahli
Madinah. Abu Hanifah mempunyai perbedaan-perbedaan pendapat dengan
pengikut-pengikutnya karena perbedaan ‘urf. Imam Asy-Syafi’i
mempunyai qaol qodim dan qaol jadid antara lain disebabkan karena ‘urf

1
A. Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal.88-89
yang berbeda. Perbedaan pendapat di sini adalah disebabkan perbedaan
tempat dan zaman, bukan karena perbedaan argumentasi dan alasan.2
b. Pembagian ‘Urf
‘Urf ditinjau dari sisi kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya oleh
syari’ah) ada dua macam ‘urf, yaitu:
1. ‘urf yang fasid atau ‘urf yang batal. Yaitu ‘urf yang bertentangan
dengan syari’ah. Seperti ada kebiasaan menghalalkan minuman-
minuman yang memabukkan, menghalalkan riba, adat kebiasaan
memboroskan harta, dan lain sebagainya.
2. ‘urg yang shahih atau al-‘Adah Ashahihah yaitu ‘urf yang tidak
bertentangan dengan syari’ah. Seperti memesan dibuatkan pakaian
kepada penjahit. Bahkan cara pemesanan itu pada masa sekarang sudah
berlaku untuk barang-barang yang lebih besar lagi, seperti memesan
mobil, bangunan-bangunan, dan sebagainya.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, adat kebiasaan bisa kita bagi
menjadi:
a) Adat atau ‘urf yang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku
untuk semua orang di semua negeri. Misalnya membayar bis kota dengan
tidak mengadakan ijab qobul atau juga contoh pesanan di atas.
b) Adat atau ‘urf yang khusus, yaitu hanya berlaku di suatu tempat tertentu
atau negeri tertentu saja. Misalnya adat gono-gini di Jawa.
Disamping itu adat juga bisa berupa:
a) Perkataan, seperti di Arab menyebut walad hanya untuk anak laki-laki
saja. Atau di Indonesia menyebut bapak kepada orang (lelaki) yang lebih
tinggi, baik umurnya, jabatannya, atau ilmunya.
b) Perbuatan, seperti cara berpakaian yang sopan dalam menghadiri majelis
pengajian.3

2
Ibid, hal. 90
3
Ibid, hal. 91
2.. Syari’at Ummat Sebelum Kita (Syar’un Man Qoblana)
Sesungguhnya syariat samawi pada asalnya adalah satu, sesuai dengan
Firman Allah:

Artinya :
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu terpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama
itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syura: 13)
Oleh karena yang menurunkan syari’at samawi itu satu yaitu Allah SWT.
Maka syari’at tersebut pada dasarnya/intinya adalah satu, meskipun kemudian
Allah SWT telah mengharamkan beberapa hal kepada beberapa kaum seperti
kepada Yahudi diharamkan binatang-binatang yang berkuku, sapi, dan kambing.4

4
Ibid, hal 94
Artinya :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang
berkuku, dan dari sapi dan domba; Kami haramkan atas mereka lemak dari
kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang
diperut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang”. (QS. Al-An’am :
146).
Dalam menanggapi berlakunya syari’at umat sebelum kita ini ada
beberapa hal yang disepakati oleh ulama. Pertama: Hukum-hukum syara yang
ditetapkan bagi umat sebelum kita tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-
sumber hukum Islam, karena di kalangan umat Islam nilai sesuatu hukum
didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam. Kedua: segala sesuatu hukum
yang dihapuskan dengan syari’ah Islamiyah, otomatis hukum tersebut tidak
berlaku bagi kita. Demikian pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk umat
tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam seperti keharaman beberapa
makanan/daging bagi bani israil. Ketiga: segala yang ditetapkan dengan nash,
nash yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama-agama samawi
yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu
tadi bukan karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu, seperti:

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-
Baqarah : 183).5

Secara Ringkas tentang Syari’ah umat sebelum kita ini, maka gambaran Syar’un
man Qablana ada dua macam, yaitu:

5
Ibid, hal. 96
1. Ada yang telah dihapuskan oleh Syari’ah Islam.
2. Yang tidak dihapuskan oleh Syari’ah Islam. Yang tidak dihapuskan ini
terbagi dua, yaitu:
a. Yang ditetapkan oleh Syari’ah Islam dengan tegas.
b. Yang tidak ditetapkan oleh Syari’ah Islam dengan tegas. Dan terbagi
menjadi dua, yaitu:
1) Yang diceritakan kepada kita baik melalui Alqur’an atau Hadits.
2) Yang tidak disebut-sebut sama sekali di dalam Alqur’an atau
hadits.

3. Sadd al-Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah


Sadd al-Dzari’ah banyak disebut dalam kitab-kitab Malikiyah dan
Hanabilah walaupun pemikiran secara praktis dapat kita dapatkan pula dalam
fiqih Hanafi dan Syafi’i.
Dzari’ah artinya washilah (jalan), yang menyampaikan kepada tujuan.
Yang dimaksud dengan dzari’ah disini ialah jalan untuk sampai kepada yang
haram atau kepada yang halal. Maka jalan/cara yang menyampaikan kepada
haram hukumnya pun haram, dan cara menyampaikan kepada halal
hukumnya pun halal pula, dan apa yang menyampaikan kita kepada wajib
hukumnya adalah wajib pula. Contohnya : Zina itu adalah haram, maka
melihat aurat wanita yang membawa kepada perzinahan adalah haram juga.
Shalat jum’at adalah wajib, maka meninggalkan jual beli pada waktu
shalat jum’at demi untuk melaksanakan shalat Jum’at adalah wajib pula.
Haji adalah wajib, maka usaha yang menuju kepada terlaksananya ibadah
haji adalah wajib pula.
Atas dasar ini maka hukum dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Tujuan/maqashid yaitu maqashid al-syari’ah yang berupa kemashlahatan
dan
2. Wasaail/cara yaitu jalan yang menuju kepada tercapainya tujuan.
Dengan demikian yang dilihat dalam dzari’ah ini adalah perbuatan-perbuatan
yang menyampaikan kita kepada terlaksananya yang wajib atau mengakibatkan
kepada terjadinya yang haram; Allah telah melarang menghina berhala, meskipun
berhala adalah sesuatu yang bathil. Karena menghina berhala mengakibatkan
dihinanya Allah oleh orang-orang penyembah berhala.
Firman Allah :

Artinya :
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melewati batas tanpa
pengetahuan....”. (QS. Al-An’am : 108)
Dari ayat diatas, sadz al-dzari’ah mempunyai dasar dari Alqur’an,
sedangkan dasar-dasara sadz al-dzari’ah dari sunnah adalah :
1. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik
bisa menyebabkan Nabi dituduh membunuh sahabat-sahabatnya.
2. Nabi melarang kepada kreditor mengambil/menerima hadiah dari debitur,
karena cara demikian bisa berakibat jatuh kepada riba.
3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan
ditangguhkan sampai selesainya perang, karena memotong tangan pencuri
pada waktu perang membawa akibat tentara-tentara lari menggabungkan diri
dengan musuh,
4. Nabi melarang penimbunan, karena penimbunan itu menjadi dzari’ah kepada
kesempitan/kesulitan manusia.
Masih banyak lagi Sunnah Nabi yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬menggunakan sadz al-dzari’ah ini dari contoh-contoh itu jelas bahwa ada
dzari’ah untuk menolak mafsadat dan juga ada dzari’ah yang digunakan untuk
mencapai mashlahat.
Diantara Fath al-Dzari’ah adalah menyerahkan harta tebusan bagi
tahanan/tawanan yang beragama Islam. Pada asalnya memberikan harta kepada
musuh adalah haram, karena bisa memberi kekuatan kepada mereka dan ini
berarti membawa kemudharatan kepada kaum Muslimin. Tetapi dalam hal ini
dibolehkan karena di belakang tebusan tersebut ada kebebasan bagi segolongan
kaum Muslimin dan menguatkan persaudaraan Muslim.
Perlu diperhatikan bahwa penggunaan dzari’ah janganlah berlebih-lebihan,
karena penggunaan yang berlebih-lebihan dalam saddudza-ri’ah mengakibatkan
melarang kepada yang mubah dan berlebih-lebihan dalam Fathudzdzari’ah bisa
membawa kepada membolehkan yang dilarang, seperti: Karena takut kepada
berbuat dzalim, maka orang-orang dilarang mengurus harta anak yatim atau harta-
harta wakaf.
Berkenaan sadz al-dzari’ah, ada hal-hal yang perlu di perhatikan:
1. Sadd al-dzari’ah digunakan apabila menjadi cara untuk menghindarkan dari
mafsadat yang dinashkan dan sudah tentu. Fath al-Dzari’ah digunakan apabila
menjadi cara/jalan untuk sampai kepada maslahat yang dinashkan, karena
mashlahat dan mafsadat yang dinashkan adalah qath’i maka dzari’ah dalam
hal ini berfungsi sebagai pelayan terhadap nash.
2. Tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan soal amanat (tugas-
tugas keagamaan) telah jelas bahwa kemudharatan meninggalkan amanat
lebih besar daripada pelaksanaan sesuatu perbuatan atas dasar sadd al-
dzari’ah.
Jadi tidak memelihara harta anak yatim karena takut dzalim atas dasar sadz
al-dzari’ah, jelas menyebabkan terlantarnya harta-harta anak yatim. Menolak jadi
saksi karena takut dusta jelas menyebabkan hilangnya kemashlahatan untuk
manusia, karena itu prinsip sadd al-dzari’ah tidak hanya melihat kepada niat dan
maksud perorangan, tetapi juga melihat kepada kemanfaatan umum dan menolak
kemafsadatan yang bersifat umum.
6

6
Ibid, hal. 100-101

Das könnte Ihnen auch gefallen