Sie sind auf Seite 1von 2

Love for Cultures Love for Motherland

We all know that some time ago that our and all of the Indonesian people’s moods
were not in good condition because of the cultures we have. It’s because of the heritages of
our ancestors belonged to us were unashamedly claimed as Malaysian’s. It is just an obvious
snatching since the fact is that the world has known that those cultures they claimed were
ours, Indonesian’s. To recall this incident, let us evaluate ourselves whether we have already
loved our cultures. Today there are lots of Indonesian children and youngsters who know the
best the names of foreign singers and celebrities. This is one of many globalization effects
that have spread to the entire nation. House music are known better by our youngsters than
traditional dances that are supposed to be perpetuated and developed. So, who is wrong?
(The heritages of our ancestor = Warisan Leluluhur, Unashamedly = tanpa rasa malu, An
obvious snatching = Pencurian secara terang-terangan, To recall this incident = Mengingat
kembali kejadian ini, Have spread to the entire nation = telah menyebar ke seluruh pelosok
negeri, are supposed to be perpetuated = yang harusnya dilestarikan)

Why did our cultures become marginalized by foreign cultures? In the educational
point of view, it is surely related strongly. The most ironical thing from our nation’s behavior
towards our own arts and cultures is the tendency of putting them into the lowest concern
from “early on”. There are activities outside of academics which are known best as
extracurricular activities. What really saddens me is regarding why the total of extracurricular
choices related to art and culture of Indonesia are highly a few even no choices at all. Most of
extracurricular activities are related to modern arts from foreign countries, such as modern
dances like disco, samba, salsa, anisa, and many others. There are no choices of
extracurricular activity like gamelan, jaipong dance, and other kinds of art and culture.
(Marginalised = Termarjinalkan, Point of view = Pandangan, toward = terhadap, The
tendency of = Kecenderungan, early on = sejak dini, Sadden me = membuat ku sedih, No
choices at all = tidak ada sama sekali, Related to = terkait pada,

This really is pitiful and endangers our generation in the future time. The Department
of Education is supposed to make some kind of deal with the Department of Tourism and
Culture in keeping the values of art and culture. It could be a must of every school to have
some extracurricular activities related to art and cultures from. Don’t make our arts and
cultures “meet the extinction” because of the “contribution” in educational fields that don’t
“educate” the children to love for their own art and cultures. For me, the most serious issue is
because this “habit” has been going on for years even tens of years. Don’t be regretful due to
our arts and culture that were finally “acquisitioned” by other nations. This could be
happening, why not? Where do we have to start? Of course we should start from our own
selves. If it’s not us who love our own cultures then who else would? We must feel proud in
showing our self-esteems through our cultures. Start from our selves, our families, and our
surroundings. Introduce our cultures to our little children. Our cultures are our nation’s self-
esteem, our self-esteem as people of nation. (Pitiful and endangers = Menyedihkan dan
membahayakan, The department of education = Dinas Pendidikan, A Must = Sebuah
keharusan, Meet the extinct = Mengalami kepunahan, The most serious issue = Masalah
yang paling serius, Who else = Siapa lagi? , Feel proud in showing = merasa bangga
menunjukkan, Self-esteem = Jati diri, Through = Melalui, Our surroundings = Orang-
orang di sekitar kita)
Cinta Budaya Cinta Ibu Pertiwi.

Kita semua tahu beberapa waktu kebelakang suasana hati kita dan seluruh masyarakat
Indonesia merasa sakit karena budaya yang kita miliki, warisan leluhur yang kita punyai
ternyata dengan tanpa rasa malu di klaim sebagai milik Malaysia.
Ini merupakan salah satu cara pencaplokan yang terang-terangan padahal seluruh
dunia tahu bahwa budaya yang mereka klaim adalah milik kita, milik bangsa Indonesia.
Mengingat kejadian ini, marilah kita evaluasi diri apakah kita sudah benar-benar mencintai
budaya kita. Saat ini banyak anak dan remaja Indonesia yang lebih hapal nama-nama
penyanyi dan selebriti asing. Ini salah satu dampak globalisasi yang menyebar ke semua
penjuru negeri. House music lebih dikenal ABG kita ketimbang tarian daerah, yang
seharusnya dilestarikan dan dikembangkan. Siapa yang salah?

Kenapa seni-budaya kita menjadi termarginalkan oleh budaya asing. Dari sudut
pandang pendidikan tentu saja seni-budaya ini terkait erat. Dan yang paling ironis dari sikap
bangsa kita terhadap seni-budaya sendiri adalah adanya kecendrungan
menganak-tirikan seni budaya sendiri sejak ‘dini’. Kegiatan luar sekolah (ekstrakurikuler)
yang populer disebut ekskul. Yang sangat menyedihkan bagi saya adalah kenapa minimnya
bahkan tidak ada pilihan ekskul tentang seni-budaya Indonesia. Tapi kebanyakan jenis ekskul
terkait dengan seni modern dari negara luar. Seperti tari modern bernuansa disko, samba,
salsa, anisa, dan lainnya. Tidak ada pilihan ekskul gamelan, tari jaipong, dan jenis seni
budaya lainnya.

Ini sangat menyedihkan dan membahayakan generasi kita pada masa mendatang.
Seharusnya pihak Dinas Pendidikan membuat semacam kesepakatan bersama dengan Dinas
Pariwisata dan Budaya dalam menjaga nilai-nilai seni dan budaya. Bentuknya berupa
keharusan semua sekolah mengadakan ekskul bernuansa seni-budaya. Jangan sampai seni-
budaya kita ‘punah’ gara-gara ‘kontribusi’ bidang pendidikan yang justru tidak ‘mendidik’
anak-anaknya agar mencintai seni-budaya nya sendiri. Bagi saya ini permasalahan yang amat
serius karena jika ‘kebiasaan’ ini berlangsung tahunan bahkan puluhan tahun jangan
kemudian kita menyesal karena seni-budaya kita sendiri akhirnya ‘diakuisisi’ oleh bangsa
lain. Ini bis aterjadi, kenapa tidak? Dari mana harus memulai? Tentu kita harus memulai dari
diri kita sendiri. Siapa lagi kalau bukan kita yang mencintai kebudayaan kita sendiri. Kita
harus bangga menunjukkan jati diri kita melalui budaya kita. Mulailah dari diri kita, keluarga
kita, lingkungan kita.Kenalkan budaya kita kepada anak-anak kita yang masih kecil. Budaya
kita adalah harga diri bangsa, harga diri kita sebagai warganya.

Das könnte Ihnen auch gefallen