Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
ABSTRACT
Background: Tubercullosis (TB) Lung as a public health problem that is very important and serious
worldwide and is a disease that causes global emergencies. Indonesia is the country with the fourth highest
prevalence. Pulmonary TB incidence is influenced by host factors (Host) and the environment. Kertapati
Public health Centre with highest number of cases in 2013. Numbers of cases from October 2013 to
December 2014 amounted to 89 cases. The purpose of this study was to determine the risk factors of
pulmonary TB in the region Puskesmas Kertapati Palembang.
Method: This study used case control design. The number of subjects was 66 consisting of 33 cases and 33
controls. Data is collected using medical records of patients at the health center program Kertapati P2TB in
Palembang in 2015, using questionnaires to measure variables residential neighborhood, with consecutive
sampling techniques. Data was analyzed by univariate and bivariate
Result: Results of the study found that the incidence of pulmonary TB associated with age (OR=0.3; 95% CI
0.12-0.89), the last of education (OR=3.9: 95% CI 1.34-11.6), the type of floor (OR=16.7; 95% CI 4.63-
60.1), ventilation (OR=27.12; 95% CI 5.49-133.84), residential density (OR=4.3; 95% CI 1,39-12.95), the
contact with TB (OR=4.7; CI 95% 1,44-15,075), nutritional status (OR=16.7; 95% CI 4.96-56.4).
Conclusion: The incidence of pulmonary tuberculosis in Puskesmas Kertapati were age, level of education,
nutritional status. Environmental factors include the density of residential housing, ventilation, types of
flooring, as well as contacts with pulmonary TB patients. Suggestions for relevant agencies in order to
prioritize efforts to promotive and preventive efforts to increase public knowledge about pulmonary TB.
Keywords: Tubercullosis (TB) lung, environmental housing, risk factors
ABSTRAK
Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) Paru sebagai suatu problema kesehatan masyarakat yang sangat penting
dan serius di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global
Emergency). Indonesia merupakan negara dengan prevalensi tertinggi keempat. Kejadian TB Paru sangat
dipengaruhi oleh faktor penjamu (Host) dan lingkungan. Puskesmas dengan angka jumlah kasus tertinggi
tahun 2013 adalah Puskesmas Kertapati. Data kasus dari Oktober tahun 2013 sampai Desember 2014 sebesar
89 kasus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko kejadian TB Paru di wilayah
Kerja Puskesmas Kertapati Palembang.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol. Jumlah subjek adalah 66 yang terdiri dari 33
kasus dan 33 kontrol. Pengumpulan data dilakukan menggunakan data rekam medis pasien di bagian
program P2TB di Puskesmas Kertapati Palembang Tahun 2015, menggunakan kuesioner untuk mengukur
variabel lingkungan perumahan, dengan teknik consecutive sampling. Data dianalisis secara univariat dan
bivariat.
Hasil Penelitian: Kejadian TB Paru berhubungan dengan umur (OR=0,3; CI 95% 0,12-0,89 ), pendidikan
terakhir (OR=3,9: CI 95% 1,34-11,6 ), jenis lantai (OR=16,7; CI 95% 4,63-60,1 ), luas ventilasi (OR=27,12;
CI 95% 5,49-133,84), kepadatan hunian (OR=4,3; CI 95% 1,39-12,95), kontak penderita TB (OR=4,7; CI
95% 1,44- 15,075 ), status gizi (OR=16,7; CI 95% 4,96-56,4 ).
Kesimpulan: Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas
Kertapati adalah umur, tingkat pendidikan, dan status gizi. Faktor lingkungan perumahan meliputi kepadatan
hunian, luas ventilasi, jenis lantai, serta kontak dengan penderita TB Paru. Saran bagi instansi terkait agar
dapat lebih mengutamakan upaya pelayanan promotif dan preventif dalam upaya peningkatan pengetahuan
masyarakat tentang TB Paru.
Alamat Koresponding: Surakhmi Oktavia, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya. Jl. Palembang Prabumulih KM. 32,
Indralaya Indah Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Email : rahmi_300@yahoo.com
Ogan Ilir (65,16%), OKU (61,56%), dan Consecutive Sampling. Setiap pasien yang
Palembang (60,85%). Namun dari ketiga memenuhi kriteria penelitian dimasukan
daerah tersebut semuanya belum mencapai dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu.
target penemuan kasus yang telah ditetapkan Kasus TB Paru diambil dari seluruh penderita
secara nasional yaitu 70%.5 TB paru pada orang dewasa ≥15 tahun yang
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota tercatat dalam rekam medik (Form TB 01)
Palembang adapun jumlah kasus TB Paru di dan register puskesmas di wilayah kerja
kota palembang tahun 2013 berjumlah 1.474 Puskesmas Kertapati Kota Palembang
kasus terjadi peningkatan dari tahun Oktober 2013 sampai Desember tahun 2014
sebelumnya pada tahun 2012 berjumlah 1.329 yang berjumlah 33 orang BTA (+). Sampel
kasus. Pada tahun 2013 Case detection Rate kontrol dalam penelitian ini adalah pasien
(CDR) angka penemuan kasus TB paru masih yang berkunjung ke Puskesmas Kertapati
dibawah target nasional yaitu 60,85%, Palembang yang didiagnosis negatif
sedangkan target nasional adalah 70%. Tiga menderita TB Paru berdasarkan hasil
Puskesmas dengan kasus TB Paru tertinggi pemeriksaan BTA pada bulan Oktober 2013
adalah Puskesmas Kertapati sebesar 89 kasus, sampai Desember 2014.
Puskesmas 4 Ulu sebanyak 76 kasus, dan Data diolah dengan menggunakan
Puskesmas Makrayu sebesar 74 kasus.6 software statistik dan untuk analisis hasil
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penelitiannya dilakukan secara univariat, dan
faktor risiko kejadian TB Paru di wilayah bivariat menggunakan chi-square dan
kerja Puskesmas Kertapati. perhitungan odds ratio. Penelitian ini
menggunakan desain kasus-kontrol dimana
METODE variabel dependennya (kejadian TB Paru)
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan sedangkan variabel independenya (umur, jenis
Kertapati wilayah kerja Puskesmas Kertapati kelamin, pendapatan, pendidikan terakhir,
Palembang tahun 2015. Data diambil dari pekerjaan, pengetahuan, kontak penderita TB
seluruh penderita TB Paru BTA (+) pada Paru, penyakit penyerta, status merokok,
orang dewasa usia ≥ 15 tahun yang tercatat status imunisasi, riwayat minum alkohol, luas
dalam register Puskesmas Kertapati dari bulan ventilasi, kepadatan hunian, jenis lantai, status
Oktober 2013 sampai dengan Desember 2014, gizi).
kemudian dilakukan observasi keadaan
lingkungan rumah. Responden merupakan HASIL PENELITIAN
orang dewasa berusia diatas 15 tahun yang Umur pada kelompok kasus didominasi
hasil pemeriksaannya dinyatakan positif BTA oleh kelompok muda (< 42 tahun). Proporsi
yang memenuhi syarat kriteria inklusi sampel responden yang bekerja lebih banyak dari
dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Adapun yang tidak bekerja. Responden dengan
kriteria inklusi kasus menderita TB Paru BTA pendidikan rendah lebih banyak dibandingkan
(+),tinggal di wilayah kerja Puskesmas responden yang berpendidikan tinggi.
Kertapati, berusia 15-65 tahun. Jumlah kasus Kategori pendidikan rendah adalah responden
sebanyak 33 responden untuk kontrol yang tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD
sebanyak 33 responden. dan tamat SMP (yang hanya menyelesaikan
Teknik pengambilan sampel untuk pendidikan dasar 9 tahun), sedangkan kategori
kasus dan kontrol menggunakan teknik no tinggi bila responden menyelesaikan
probability sampling yaitu consecutive pendidikan. Responden dengan penghasilan
sampling. Pengambilan data kasus bersumber keluarga rendah lebih banyak.
dari fasilitas kesehatan Puskesmas Kertapati
(Hospital based) dengan teknik sampling
Tabel 1.
Distribusi Kasus dan Kontrol Kejadian TB Paru pada Orang Dewasa
Kepadatan Hunian
Tidak Memenuhi Syarat 27 81,8 17 51,5 4,23 1,38 12,95 0,02
Memenuhi Syarat 6 18,2 16 48,5
Luas ventilasi
TMS 31 93,9 12 36,4 27,12 5,49 133,83 0,001
Memenuhi Syarat 2 6,1 21 63,6
Jenis lantai
MS 29 87,9 10 30,3 16,67 4,62 60,10 0,001
Memenuhi Syarat 4 12,1 23 69,7
Analisis ini digunakan untuk 1,5 kali dibandingkan dengan orang yang
mengetahui hubungan antara variabel tidak bekerja. Tidak ada hubungan yang
dependennya (kejadian tb paru) dengan bermakna secara statistik antara pekerjaan
variabel independenya (umur, jenis kelamin, dengan kejadian TB paru (p-value 0,62)
pendapatan, pendidikan terakhir, pekerjaan, Proporsi responden dengan tingkat
pengetahuan, kontak penderita TB Paru, pendidikan yang rendah pada kelompok kasus
penyakit penyerta, status merokok, status sebesar 39,4% sedangkan pada kelompok
imunisasi, riwayat minum alkohol, luas kontrol 24,2%. Nilai OR diperoleh 3,94 (CI
ventilasi, kepadatan hunian, jenis lantai, status 95% 1,34- 11,6). Responden dengan tingkat
gizi). pendidikan yang rendah dapat meningkatkan
Berdasarkan analisis bivariat pada risiko terkena TB Paru sebesar 3,94 kali
Tabel 1. diketahui bahwa responden yang dibandingkan dengan orang yang
umurnya tergolong tua pada kelompok kasus berpendidikan tinggi. Ada hubungan yang
sebesar 36,4% sedangkan pada kelompok bermakna secara statistik antara tingkat
kontrol ada 63,6%. Nilai OR diperoleh 0,33 pendidikan dengan kejadian TB paru (p-value
(CI 95% 0,120-0,9). Responden dengan umur 0,02 .
yang tua lebih sedikit terkena TB Paru, Proporsi responden dengan penghasilan
sebesar 0,33 kali atau 67% lebih rendah kapita keluarga rendah pada kelompok kasus
dibandingkan dengan orang yang berumur sebesar 63,6%, dan pada kelompok kontrol
muda. Ada hubungan yang bermakna secara sebesar 48,5%. Nilai OR diperoleh 1,85 (CI
statistik antara umur dengan kejadian TB paru 95% 0,7- 5,0), Orang yang berpenghasilan
(p-value 0,04). kapita keluarga rendah meningkatkan risiko
Proporsi jenis kelamin laki-laki pada terkena TB Paru sebesar 1,85 kali. Tidak ada
kasus sebesar 51,5% sedangkan pada kontrol hubungan yang bermakna secara statistik
sebesar 57,6%. Nilai OR diperoleh 0,783 (CI antara tingkat penghasilan keluarga kapita
95% 0,3-2,06). Responden dengan jenis dengan kejadian TB paru (p-value 0,32).
kelamin laki-laki dapat menurunkan risiko Proporsi pada kelompok kasus, status
terkena TB Paru sebesar 0,79 kali (21%) responden yang tidak di imunisasi sebesar
dibandingkan dengan orang yang berjenis 30,3%, dan pada kelompok kontrol yang tidak
kelamin perempuan. Tidak ada hubungan di imunisasi ada 60,6%. Nilai OR diperoleh
yang bermakna secara statistik antara Jenis 0,6 (CI 95% 0,20- 1,62), hal ini menunjukkan
kelamin dengan kejadian TB paru (p-value bahwa Responden yang di imunisasi dapat
0,80). menurunkan risiko terkena TB paru sebesar
Proporsi responden dengan pekerjaan 0,6 kali (40%) dibandingkan orang yang tidak
pada kelompok kasus sebesar 30,3%, di imunisasi BCG. Tidak ada hubungan yang
sedangkan pada kelompok kontrol sebesar bermakna secara statistik antara status
30,3%. Nilai OR diperoleh 1,48 (CI 95% imunisasi dengan kejadian TB paru (p-value
0,55- 3,84). Responden yang bekerja dapat 0,43).
meningkatkan risiko terkena TB Paru sebesar
yang tidak memenuhi syarat berisiko 17 kali Hubungan antara Jenis Kelamin dengan
untuk menyebarkan kejadian TB paru Kejadian Tb Paru
dibandingkan dengan lantai yang memenuhi Dalam penelitian ini didapatkan bahwa
syarat (kedap air). Ada hubungan yang hasil uji statistik menyatakan nilai OR
bermakna secara statistik antara Luas ventilasi diperoleh 0,78 (CI 95% 0,3-2,06). Orang
rumah dengan kejadian TB paru (p-value dengan jenis kelamin laki-laki dapat
0,001). menurunkan risiko terkena TB Paru sebesar
Responden dengan pengetahuan rendah 0,78 kali (21%) dibandingkan dengan orang
pada kelompok kasus sebesar 54,5%, yang berjenis kelamin perempuan. Di
sedangkan pada kelompok kontrol sebesar populasi dengan tingkat kepercayaan 95%,
45,5%. Nilai OR diperoleh 1,448 (CI 95% Orang yang berjenis kelamin laki-laki
0,55-3,8), hal ini menunjukkan bahwa menurunkan risiko terkena TB Paru sebesar
responden yang berpengetahuan rendah 0,3 kali hingga 2,06 kali (70% hingga
berisiko sebesar 1,4 kali terkena TB Paru 200,94%). Kesimpulannya dengan p-value
dibandingkan dengan responden yang 0,80 > α 0,05, artinya tidak ada hubungan
berpengetahuan tinggi. Tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara Jenis
yang bermakna secara statistik antara tingkat kelamin dengan kejadian TB paru.
pengetahuan dengan kejadian TB paru (p- Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
value 0,62). faktor risiko jenis kelamin tidak berhubungan
dengan kejadian TB paru di wilayah kerja
PEMBAHASAN puskesmas Kertapati. Dari hasil wawancara
Hubungan antara umur dengan kejadian jumlah responden yang terkena TB paru
TB paru antara jenis kelamin sama besarnya antara
Pada penelitian ini faktor risiko umur kelompok kasus (54%) dan kelompok kontrol
berhubungan dengan kejadian penyakit TB (45,5%) tidak menunjukkan perbedaan yang
Paru. Secara teori menyatakan bahwa umur signifikan antar keduanya hal ini disebabkan
yang lebih tua dapat meningkatkan terjadinya karena penyakit TB paru merupakan penyakit
TB Paru, sedangkan hasil penelitian Infeksi paru-paru yang disebabkan oleh
menyatakan hal yang sama. Hal ini dapat kontaminasi udara oleh bakteri
terjadi karena terjadi karenanya faktor adanya Mycobacterium tuberculosis yang setiap jenis
agent, penjamu dan faktor lingkungan kelamin memiliki kesempatan yang sama
perumahan yang tidak sehat. Faktor penjamu terhadap infeksi TB paru. TB Paru adalah
meliputi daya tahan tubuh. Seseorang dapat penyakit infeksi dan menyerang paru-paru
terinfeksi penyakit TB Paru ini apabila adanya seseorang dengan kondisi mallnutrisi, rumah
agent (Mycobacterium tubercullosis) yang yang tak sehat tanpa memandang jenis
mengkontaminasi udara kemudian terhirup kelamin.7
oleh orang yang sehat dengan jumlah bakteri
yang banyak, lama pajanan yang lama dan Hubungan antar Pekerjaan dengan
tentunya imunitas seseorang yang rendah.7 Kejadian Tb Paru
Oleh sebab itu diharapkan pada semua Pada penelitian ini menyatakan bahwa
golongan umur agar tetap menjaga daya tahan nilai OR diperoleh 1,48 (CI 95% 0,55- 3,84),
tubuhnya dengan cara memakan makanan Orang yang bekerja dapat meningkatkan
dengan gizi seimbang, menjaga kebersihan risiko terkena TB Paru sebesar 1,5 kali
diri dan kebersihan sanitasi lingkungan (150%) dibandingkan dengan orang yang
perumahan. tidak bekerja. Di populasi dengan tingkat
kepercayaan 95%, Orang yang bekerja
menyatakan bahwa pengetahuan responden yang bermakna secara statistik antara Status
mayoritas belum mengetahui tentang cara gizi dengan kejadian TB paru.
pencegahan TB paru dengan imunisasi Berdasarkan hasil wawancara yang
(55,8%) serta pencegahan dengan telah dilakukan didapatkan bahwa rata-rata
pencahayaan sinar matahari. Manfaat sinar responden pada kelompok kasus memiliki
matahari/pencahayaan ialah dapat membunuh status gizi yang kurang sebesar 81,8%,
kuman hanya sebesar (51,5%). Jumlah sebagaimana dengan Keadaan status gizi yang
responden yang menjawab benar tidak kurang berhubungan erat dengan penyakit
berbeda nyata dengan yang menjawab salah infeksi TB paru. penurunan gizi atau kurang
untuk pertanyaan tentang penyebab, gejala- gizi akan memiliki daya tahan tubuh yang
gejala serta cara menghindarinya. Hal ini bisa rendah dan sangat rentan terhadap penyakit
disebabkan karena kurangnya pengetahuan sehingga reaksi imunitas terhadap penyakit
responden tentang hal tersebut. Terutama infeksi menurun.9 Peningkatan taraf ekonomi
tentang pencegahan terhadap penyakit TB sosial, dan peningkatan daya tahan tubuh
Paru tidak langsung dapat memungkinkan dengan makan makanan gizi seimbang dapat
adanya kemunculan kasus TB Paru yang baru, meningkatkan ststus gizi seseorang sehingga
karena apabila seseorang mengetahui cara terhindar dari serangan Tb Paru
pencegahan terhadap suatu penyakit maka
mereka akan lebih waspada dan peduli tentang Hubungan antara Status Imunisasi dengan
bahayanya penyakit TB tersebut. Oleh sebab TB paru
itu, sebaiknya kegiatan program pencegahan
Penelitian ini didapatkan nilai OR
dan penanggulangan penyakit TB (P2TB)
diperoleh 0,6 ( CI 95% 0,20- 1,62), hal ini
memberikan suatu informasi yang jelas
menunjukkan bahwa orang yang diimunisasi
kepada masyarakat sekitar tentang TB paru,
dapat menurunkan risiko terkena TB paru
serta lingkungan perumahan yang sehat. Hal
sebesar 0,6 kali (40%) dibandingkan orang
ini dapat diwujudkan dengan pembuatan
yang tidak diimunisasi BCG. Pada populasi
selembaran/ leaflet/ poster tentang penyakit
dengan tingkat kepercayaan 95%, orang yang
TB sehingga responden akan mengetahui
diimunisasi dapat menurunkan risiko terkena
tentang penyakit tersebut sehingga mereka
TB paru sebesar 0,2 kali hingga 1,62 kali
akan mengetahui bagaimana cara dalam
(80% hingga 162%) dibandingkan dengan
pencegahannya sehingga penularan dan kasus
orang yang tidak diimunisasi. Kesimpulannya
baru TB Paru bisa ditekan.
dengan p-value 0,43>α 0,05, artinya tidak
Hubungan antara status gizi dengan ada hubungan yang bermakna secara statistik
kejadian TB Paru antara status imunisasi dengan kejadian TB
paru.
Penelitian ini menunjukkan bahwa
Penelitian ini menyatakan bahwa
dengan nilai OR 16,7 (CI 95% 4,95 - 56,39).
riwayat imunisasi tidak berhubungan dengan
Responden dengan status gizi kurang
kejadian TB paru. Hasil wawancara yang
meningkatkan risiko 16,7 kali terkena TB
telah dilakukan pada responden didapatkan
paru dibandingkan responden dengan status
bahwa banyak responden yang tidak
gizi normal/berlebih. Di populasi dengan
terimunisasi dengan BCG. Hal ini dikarenakan
tingkat kepercayaan 95%, Orang dengan
imunisasi nasional itu baru ada pada tahun
status gizi kurang meningkatkan risiko 4,95
1970 sedangkan responden kebanyakan lahir
kali hingga 56,39 kali terkena TB paru
pada tahun sebelumnya sehingga imunisasi
dibandingan responden dengan status gizi
tidak terjangkau oleh mereka, selain itu untuk
normal/berlebih. Kesimpulannya dengan p-
usia muda yang lahir setelah tahun 1970 ada
value 0,001< α 0,05, artinya ada hubungan
yang tidak melakukan imunisasi karena yang minum <500 ml/hari (OR=13,91 CI
disebabkan akses kesehatan pada saat mereka 95%:1,89-102,36 p-value<0,0001). Budaya
masih kecil susah untuk dijangkau /fasilitas masyarakat timur kebiasaan minum alkohol
layanan kesehatan sangat jauh karena tidak dilakukan oleh kebanyakan orang
sebelumnya mereka kebanyakan tinggal di sehingga riwayat minum alkohol tidak terlalu
desa sewaktu kecil. Hubungan kekebalan menyumbangkan hasil penelitian yang sama
(status imunisasi) dengan kejadian seperti sebelumnya. Sehingga tidak adanya
tubercullosis berdasarkan penelitian Soysal et hubungan sangatlah memungkinkan dan juga
all tahun 2005 menyatakan bahwa anak yang keterbatasan jumlah sampel. Uji statistik
di vaksinasi BCG memiliki protektif 0,6 kali menyatakan p-value dan OR tidak
untuk terhadap kejadian TB paru menunjukkan adanya suatu hubungan yang
dibandingkan dengan anak yang tidak di signifikan.
vaksinasi.12 Hal yang sama dipertegas oleh
Setiarini tahun 2008 bahwa walaupun Hubungan antara Diagnosis Penyakit DM
imunisasi BCG tidak mencegah infeksi dengan Kejadian TB paru
tubercullosis namun dapat menurunkan risiko
Hasil uji Chi-square didapatkan
tubercullosis berat seperti meningitis
Dengan nilai OR 1,50 (CI 95% 0,54 - 4,14).
tuberculosa dan tubercullosis miller.10
Hal ini menyatakan bahwa responden yang
memiliki penyakit DM meningkatkan risiko
Hubungan antara Status Merokok dengan
Kejadian TB paru sebesar 1,5 kali terkena penyakit TB Paru
dibandingkan dengan responden yang tidak
Penelitian ini menyatakan bahwa nilai memiliki penyakit DM. Di populasi dengan
OR diperoleh 0,60 (CI 95% 0,23-1,62). Orang tingkat kepercayaan 95%, orang dengan
yang merokok dapat menurunkan risiko penyakit DM meningkatkan risiko sebesar 0,5
terkena TB paru sebesar 0,6 kali (40%) kali hingga 4,14 kali terkena penyakit TB
dibandingkan orang yang merokok. Di Paru dibandingkan dengan responden yang
populasi dengan tingkat kepercayaan 95%, tidak sakit DM. kesimpulannya dengan p-
orang yang merokok dapat menurunkan value 0,605 > α 0,05, artinya tidak ada
kejadian TB paru sebesar 0,23 kali hingga hubungan yang bermakna secara statistik
1,62 kali (77% hingga 162%) kejadian TB antara penyakit DM dengan kejadian TB paru
paru. Kesimpulannya dengan p-value (0,460 > Penelitian ini menunjukkan tidak ada
α 0,05 artinya tidak ada hubungan yang hubungan antara penyakit Diabetes mellitus.
bermakna antara riwayat merokok dengan Hal ini tidak sejalan dengan penelitian-
kejadian TB paru penelitian sebelumnya hal ini dikarenakan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa proporsi yang sakit pada kelompok kasus dan
tidak ada hubungan yang bermakna antara kontrol terlalu sedikit, data untuk variabel
konsumsi alkohol dengan kejadian TB paru. diagnosa penyakit Diabetes mellitus ini
hal ini disebabkan bahwa dari hasil didapat dari hasil wawancara dan berdasarkan
wawancara didapatkan persentase responden pengakuan dari responden. Diabetes mellitus
yang memiliki riwayat minum alkohol sebagai faktor risiko apabila terjadi sebelum
sangatlah kecil/sedikit 15,15% serta jumlah TB Paru terjadi sehingga sangat terlihat sekali
minuman alkohol/hari kurang dari 1 botol bahwa Diabetes mellitus merupakan penyakit
(<500 ml) sehingga efeknya terhadap TB Paru penyerta yang memperparah infeksi TB.
tidak terlihat. Orang yang mengkonsumsi Meningkatnya risiko TB pada pasien DM
alkohol >500 ml/hari berisiko terkena TB paru diperkirakan disebabkan oleh defek pada
sebesar 13,91 kali dibandingkan dengan orang makrofag alveolar atau limfosit T. Wang et all
kenyataannya ada yang tidak mempunyai kelembaban, pada musim panas lantai menjadi
ventilasi, serta ada jendela yang jarang kering sehingga dapat menimbulkan debu
terbuka. Hal itulah yang menyebabkan yang berbahaya bagi penghuninya.12 Perlunya
kurangnya pertukaran udara yang ada di peningkatan taraf ekonomi dan penyuluhan
dalam rumah memungkinkan kelembaban tentang lingkungan perumahan yang sehat
juga ikut tinggi, dan pengap. Kelembaban agar masyarakat dapat terhindar dari faktor
dalam rumah dapat menjadi tempat risiko jenis lantai yang tidak memenuhi syarat
perkembangbiakan Mycobacterium kesehatan terhadap kejadian TB paru.
tuberculosis tinggi.10
Hubungan antara Kontak dengan
Hubungan antara Jenis Lantai dengan Penderita Tb dengan Kejadian TB Paru
Kejadian TB Paru
Hasil uji statistik didapatkan Nilai OR
Hasil uji statistik Nilai OR diperoleh 4,667 (CI 95% 1,44- 15,07). Orang yang
16,675 (CI 95% 4,26 -60,10), menunjukkan pernah kontak dengan penderita TB paru
bahwa jenis lantai rumah yang tidak berisiko sebesar 4,7 kali lebih besar terkena
memenuhi syarat berisiko 17 kali untuk TB paru dibandingkan dengan responden
menyebarkan kejadian TB paru dibandingkan yang tidak pernah kontak dengan penderita
dengan lantai yang memenuhi syarat (kedap TB paru. Pada populasi dengan tingkat
air). menunjukkan bahwa jenis lantai rumah kepercayaan 95%, orang yang pernah kontak
yang tidak memenuhi syarat berisiko 17 kali dengan penderita TB paru berisiko sebesar
untuk menyebarkan kejadian TB paru 1,44 kali hingga 15,07 kali lebih besar
dibandingkan dengan lantai yang memenuhi terkena TB paru dibandingkan dengan
syarat (kedap air). Pada populasi dengan responden yang tidak pernah kontak dengan
tingkat kepercayaan 95%, jenis lantai rumah penderita TB paru. Kesimpulannya dengan
yang tidak memenuhi syarat berisiko 4,26 kali p-value 0,02 < α 0,05, artinya ada hubungan
hingga 60 kali meningkatkan risiko kejadian yang bermakna secara statistik antara kontak
TB paru dibandingkan dengan lantai yang dengan pasien TB paru dengan kejadian TB
memenuhi syarat (kedap air). Kesimpulan paru.
dengan p-value 0,001 < α 0,05, artinya ada Hasil penelitian ini menunjukkan
hubungan yang bermakna secara statistik bahwa ada hubungan yang signifikan antara
antara luas ventilasi rumah dengan kejadian kontak dengan penderita TB paru berisiko
TB paru. sebesar 4,7 kali lebih besar terkena TB Paru
Hasil wawancara dan observasi, jenis dibandingkan dengan yang tidak kontak
lantai yang banyak digunakan oleh responden dengan penderita TB paru. Hal ini disebabkan
adalah jenis lantai kayu, semen retak, dan oleh adanya host yang positif BTA
ubin banyak yang tidak memenuhi syarat menularkan infeksi TB paru kepada orang
tidak kedap air baik pada kasus maupun yang sehat melalui droplet (percikan ludah)
kontrol sehingga pada uji statistik yang mengandung RIBUAN bakteri
menunjukkan adanya suatu hubungan yang Mycobacterium tuberculosis, dan apabila
signifikan antara jenis lantai dengan kejadian kondisi seseorang tersebut imunitas sedang
TB paru. Komponen yang harus dipenuhi lemah maka sangat mudah terserang penyakit
rumah sehat memiliki lantai kedap air dan TB paru. Faktor utama yang mempengaruhi
tidak lembap. Jenis lantai tanah memiliki terjadinya adanya infeksi adalah sumber
peran terhadap proses kejadian tuberkulosis infeksi. Dalam hal ini adalah orang yang
paru, melalui kelembaban dalam ruangan. terkena penyakit tubercullosis (Host). Adanya
Lantai tanah cenderung menimbulkan host yang positif BTA menularkan infeksi TB
paru kepada orang yang sehat melalui droplet 0,32<α 0,05, artinya tidak ada hubungan yang
(percikan ludah) yang mengandung ribuan bermakna secara statistik antara tingkat
bakteri Mycobacterium tubercullosis.14 penghasilan keluarga kapita dengan kejadian
Sumber penularan adalah penderita TB Paru TB paru.
BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, Penelitian ini menunjukkan tingkat
penderita menyebarkan kuman ke udara pendapatan keluarga perkapita tidak
dalam bentuk droplet (percikan dahak). berhubungan dengan kejadian TB paru. Hal
Droplet yang mengandung kuman dapat ini terjadi karena tingkat pendapatan yang
bertahan di udara pada suhu kamar selama mendominasi penghasilan keluarga perkapita
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau rendah sebesar 56,1%, sehingga secara
droplet tersebut terhirup kedalam saluran statistik tidak menyatakan adanya suatu
pernafasan, kuman TB Paru tersebut dapat hubungan yang signifikan antara kelompok
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, kasus dan kontrol akan tetapi secara teori
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran pendapatan keluarga perkapita ini memiliki
limfe, saluran napas, atau penyebaran hubungan secara tidak langsung. Pendapatan
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.2 perkapita rendah ini menyebabkan
Daya penularan dari seorang keterbatasan keluarga dalam membeli
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman, makanan yang berefek langsung pada status
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi gizi seseorang yang berfungsi sebagai
derajat positif hasil pemeriksaan dahak negatif imunitas menjadi melemah sehingga penyakit
(tidak terlihat kuman), maka penderita infeksi dapat menyerang tubuh seseorang
tersebut dianggap tidak menular. dengan mudah. Peningkatan taraf ekonomi
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru merupakan salah satu cara penekanan
ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam terhadap jumlah kasus TB Paru di wilayah
udara dan lamanya menghirup udara tersebut. kerja Kertapati.
Kontak yang berlebihan dengan
Mycobacterium tubercullosis adalah kontak KESIMPULAN DAN SARAN
yang berlangsung terus menerus selama 3 Variabel umur, tingkat pendidikan,
bulan atau lebih. Terutama dilihat dari Status gizi, kepadatan hunian, luas ventilasi,
kebiasaan penderita yang kurang baik dalam jenis lantai, serta kontak dengan penderita TB
pengelolaan sekret (ludah), kepadatan hunian, Paru, memiliki hubungan dengan kejadian TB
dan kondisi perumahan rakyat yang pada paru di wilayah kerja Puskesmas Kertapati
umumnya kurang memenuhi syarat Palembang.
17
kesehatan. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka
saran yang dapat peneliti berikan yaitu
Hubungan antara Penghasilan Keluarga sebagai berikut :
Perkapita dengan Kejadian TB Paru
1. Perlu dilakukan peningkatan pelayanan
Berdasarkan hasil uji Chi-square nilai promotif dengan cara penyebarluasan
OR diperoleh 1,85 (CI 95% 0,7- 5,0), orang informasi tentang TB paru dan rumah yang
yang berpenghasilan kapita keluarga rendah memenuhi syarat kesehatan melalui brosur,
meningkatkan risiko terkena TB Paru sebesar leaflet, dan media lainnya yang bisa
1,85 kali. Di populasi dengan tingkat dijangkau oleh masyarakat, dan serta usaha
kepercayaan 95%, orang dengan penghasilan preventif melalui imunisasi terutama BCG
kelurga kapita rendah meningkatkan risiko dalam rangka pencegahan terutama bagi
terkena TB Paru sebesar 0,7 kali (30%) daerah-daerah potensial TB paru, terkait
hingga 5 kali. Kesimpulannya dengan p-value masih ditemukannya kasus TB baru.