Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
cognitive and affective symptoms. Currently, the mainstay of treatment involves pharmacotherapy.
The limitations of antipsychotic treatment are that they can only control symptoms and cannot cure
the illness, and 20% of patients do not respond, thus leading to the requirement of maintenance
treatment. Patients that do respond continue to have disabling residual symptoms such as
amotivation and isolation, maladaptive behavior, and impaired social functioning.
Seventy four percent of CATIE trial participants discontinued their assigned study
medication before study completion at 18 months,1 and dropout rates were roughly equivalent
for first-(ie, typical) and second-generation (ie, atypical) antipsychotics.
Skizofrenia
Schizophrenia is a brain disorder that affects how people think, feel, and perceive.
The hallmark symptom of schizophrenia is psychosis, such as experiencing auditory
hallucinations (voices) and delusions (fixed false beliefs).
Signs and symptoms
The symptoms of schizophrenia may be divided into the following 4 domains:
Positive symptoms - Psychotic symptoms, such as hallucinations, which are
usually auditory; delusions; and disorganized speech and behavior
Negative symptoms - Decrease in emotional range, poverty of speech, and loss
of interests and drive; the person with schizophrenia has tremendous inertia
Cognitive symptoms - Neurocognitive deficits (eg, deficits in working memory
and attention and in executive functions, such as the ability to organize and
abstract); patients also find it difficult to understand nuances and subtleties of
interpersonal cues and relationships
Mood symptoms - Patients often seem cheerful or sad in a way that is difficult
to understand; they often are depressed (medscape )
Saat ini, pengobatan yang digunakan untuk skizofrenia adalah antipsikotik, dimana
obat tersebut bekerja dengan cara menekan gejala positif dari skizofrenia dan membantu
memperbaiki outcome / keluaran dari skizofrenia terutama pada fase awal dari skizofrenia.
sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Crow et al, menunjukan bahwa hanya 46 % dari
120 pasien dengan episode pertama psikotik yang diterapi rumatan dengan antipsikotik
mengalami kekambuhan gejala pada 2 tahun setelahnya dibandingkan dengan 62% pasien
yang hanya diberi plasebo. intinya adalah , peluang untuk terjadinya kekambuhan gejala pada
pasien yang diterapi dengan antipsikotik menurun secara signifikan dibandingan dengan
pasien yang tidak diterapi dengan antipsikotik. Selain itu, dimulainya terapi antipsikotik pada
stadium yang lebih awal dari penyakit tersebut dapat mencegah penurunan fungsi sosial dan
berkembangnya penyakit skizofrenia menjadi stadium kronis.
Pengobatan antipsikotik injeksi dapat menjadi opsi pada pasien yang memiliki
kompliansi yang rendah terhadap pengobatan antipsikotik. Haloperidol dekanoat ini
diinjeksikan dalam waktu 1 bulan sekali , lebih sedikit secara frekuensi dibandingkan
haloperidol oral yang harus diminum 2-3 x perhari. Hal tersebut berpengaruh positif bagi
kompliansi / tingkat ketaatan pasien dalam pengobatan. Zhornitsky et al. juga mengatakan
dalam jurnalnya bahwa pengobatan antipsikotik injeksi memiliki efikasi yang lebih baik
daripada antipsikotik oral karena kompliansi yang lebih baik dan farmakokinetik yang lebih
stabil.
A. TUJUAN
2. Mengurangi beban sosial yang ditanggung keluarga ODGJ dengan harapan pasien
yang sudah stabil dapat menjalani fungsi kehidupan sehari-hari dengan mandiri
3. Memberikan edukasi pada keluarga ODGJ, mengenai ODGJ dan pentingnya terapi
baik dengan orang- orang di sekitar pasien. Selain itu, setelah diedukasi mengenai
Dapat menjadi sumber informasi bagi Puskesmas Mlati II mengenai data pasien
ODGJ yang tidak mau menjalani pengobatan oral rutin ke puskesmas. Sehingga semua
ODGJ di wilayah cakupan Puskesmas Mlati II dapat tertangani dengan baik, dapat
khususnya dalam hal kesehatan masyarakat dengan ikut serta aktif membantu
Tinjauan pustaka
*tujuan : tujuan utama kegiatan injeksi haldol terpadu adalah memaksimalkan cakupan
pengobatan dan pemantauan rutin pada pasien dengan gangguan jiwa sehingga semua pasien
ODGJ di wilayah cakupan Puskesmas Mlati II diperlakukan sama secara medis dan tidak ada
yang merasa ditelantarkan, terutama bagi pasien yang tidak stabil dan tidak mau datang
berobat ke puskesmas. Keluaran / outcome yang diharapkan dari program ini adalah remisi
gejala psikosis pada pasien sehingga mereka dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan
mandiri secara stabil dan konsisten sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat sekitarnya. Selain bagi pasien, pihak puskesmas juga memberikan sosialisasi
mengenai penyakit skizofrenia, gejala-gejala, pentingnya pengobatan dan akibatnya jika tidak
diobati, hingga rencana pengobatan . Dengan sosialisasi tersebut diharapkan pihak keluarga
pasien jadi lebih peduli pada pasien dan selanjutnya mendukung secara penuh program
injeksi haldol yang dilaksanakan oleh Puskesmas Mlati II.
2. Injeksi haloperidol berkala yang dilaksanakan satu kali dalam sebulan. Kegiatan ini
dilaksanakan oleh dokter dan perawat puskesmas dengan cara berkunjung ke rumah pasien
ODGJ yang tidak rutin berobat. Pasien diinjeksi dengan 50 mg haloperidol dekanoat
intramuskular, setelah sebelumnya mendapat persetujuan inform consent dari keluarga
pasien. Jadwal suntik pasien dilakukan secara serentak dibagi selama dua hari di awal bulan
dan dicatat di rekam medis pasien.
3. Pemantauan efek samping obat sebulan sekali dan penanganannya. Selain diinjeksi, pasien
juga dipantau mengenai efek samping obat yang muncul seperti sindrom ekstrapiramidal.
Untuk pasien yang mengalami gejala tersebut langsung diresepkan obat antikolinergik oral
seperti trihexylphenidyl. Gejala yang timbul dan peresepannya dicatat dalam rekam medis
pasien
4. Pemantauan gejala dan progress pengobatan pada ODGJ. Sebagai parameter keberhasilan
terapi, perkembangan gejala pasien dipantau secara berkala setiap kali visite untuk injeksi.
Gejala yang dinilai progressnya adalah gejala positif, terbagi atas beberapa aspek , yaitu :
delusi, disorganisasi konseptual, halusinasi, halusinasi, semangat, curiga, dan permusuhan.
Beberapa aspek tadi dinilai perbaikannya menggunakan form penilaian PANNSS yang
membagi 7 aspek gejala positif tadi menjadi 7 tingkat keparahan sebagai berikut :
- Skizofrenia
Skizofrenia adalah kelainan pada otak yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan persepsi
manusia. Gejala khas pada skizofrenia adalah psikosis, yang ditandai dengan munculnya
halusinasi auditorik ( pasien merasa ada orang lain yang berbisik-bisik ) dan delusi (
keyakinan yang salah ). Gejala pada skizofrenia dapat dibagi menjadi 4 domain, yaitu :
Gejala positif : Gejala psikotik, seperti halusinasi ( biasanya auditorik); delusi; dan bicara
dan tingkah laku yang tidak terorganisir.
Gejala negatif : berkurangnya emosi, miskin bicara, berkurangnya inisiatif dan kesenangan/
hobi. Selain itu pasien juga memiliki penurunan aktivitas.
Gejala kognitif : defisit neurokognitif ( defisit dalam memori jangka pendek, atensi, dan
fungsi eksekutif seperti kemampuan koordinasi gerakan ), selain itu pasien juga memiliki
kesulitan dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
Gejala mood : pasien sering terlihat sangat bahagia ataupun sedih tanpa sebab yang logis;
kadang - kadang mereka tampak depresi.
-antipsikotik
Saat ini, pengobatan yang digunakan untuk skizofrenia adalah antipsikotik, dimana obat
tersebut bekerja dengan cara menekan gejala positif dari skizofrenia dan membantu
memperbaiki outcome / keluaran dari skizofrenia. Antipsikotik dibagi menjadi dua golongan ,
yaitu :
a. antipsikotik tipikal : antipsikotik ini bekerja dengan cara memblok reseptor dopamin D2 di
otak. Obat yang biasa digunakan pada golongan ini adalah haloperidol dan chlorpromazine.
obat ini memiliki efek jangka pendek sedasi ( maka dari itu diberi sebutan obat penenang
mayor ) dan efek jangka panjang menekan gejala positif dari skizofrenia. walaupun sangat
berguna pada pengobatan skizofrenia, obat ini mulai ditinggalkan dan beralih ke golongan
antipsikotik atipikal karena efek samping yang serius.
b. antipsikotik atipikal : obat ini bekerja dengan cara memblok reseptor serotonin di otak ,
khususnya 5HT2. beberapa contoh dari obat pada golongan ini adalah clozapine dan
risperidone. obat dari golongan terbaru ini terbukti memiliki efek samping yang jauh lebih
minimal dibandingkan antipsikotik pendahulunya ( tipikal ).
BAB III
Metode Pelaksanaan
A. Rancangan Pelaksanaan
Persiapan pelaksanaan program injeksi haldol terpadu dilakukan dalam beberapa
tahap kegiatan berupa :
1. Pengumpulan data sekunder, yang didapatkan dari data puskesmas mengenai masalah-
masalah puskesmas yang belum dapat diatasi, untuk menjadi dasar perlunya diadakan
program injeksi terpadu
2. persiapan, pada tahap ini dilakukan sosialisasi dengan ortu / wali ODGJ mengenai program
injeksi terpadu, persiapan materi penyuluhan, dan persiapan instrumen yang dibutuhkan
untuk injeksi ke rumah pasien
3. pelaksanaan, dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu sosialisasi kepada ortu / wali ODGJ, injeksi
haloperidol, pemantauan efek samping obat, dan pemantauan gejala psikotik secara rutin satu
bulan sekali.
C. Instrumen Pelaksanaan
Bab IV
Pelaksanaan
Sebelum diinjeksi , ortu / wali pasien diminta mengisi lembar inform consent tindakan
injeksi haloperidol intramuskular. Selain itu, tim medis juga mengulang penjelasan secara
singkat mengenai program injeksi terpadu yang sebelumnya juga telah dijelaskan pada acara
sosialisasi. Setelah itu, tim medis melakukan anamnesis singkat mengenai gejala/ keluhan
yang dialami pasien selama masa sebelum injeksi. Gejala yang dimaksud adalah gejala positif
berupa halusinasi, delusi, disorganisasi konseptual, grandiositas, dan gejala positif lainnya.
Pada bulan kedua dan ketiga, tim medis juga menambahkan pertanyaan berupa efek samping
obat antipsikotik yang muncul pada pasien, seperti resting tremor, rigiditas, akinesia,
instabilitas postural, diskinesia tardif, dan akathisia ( sindrom ekstrapiramidal ). untuk pasien
yang mengalami gejala - gejala tersebut akan langsung diresepkan antidotum berupa
antikolinergik trihexylphenidyl 2 x 2 mg untuk satu bulan.
Setelah lembar persetujuan diisi, diberikan penjelasan singkat, dan anamnesis tentang
gejala dan keluhan pasien, tim medis mulai melakukan proses injeksi . Pada prakteknya,
tidak mudah untuk menginjeksi pasien skizofrenia yang sedang muncul gejala psikotiknya.
Hambatan-hambatan yang dialami tim medis biasanya berupa amukan , ancaman, hingga
yang paling ringan adalah penolakan dari pasien secara verbal dan fisik ( pasien berontak ).
Maka dari itu , tim medis sangat membutuhkan kerjasama dari keluarga pasien dan polisi
babinsa mulai dari membujuk pasien hingga memegangi pasien agar mau diinjeksi.
3. Nilai rerata skoring PANNSS dari bulan Agustus hingga Oktober dari 7 pasien yang
diinjeksi
Skor PANNSS memiliki cakupan nilai antara 7-49. Nilai tersebut didapat dari penjumlahan 7
aspek gejala positif yang masing-masing bernilai antara 1-7.
BAB V
A. KESIMPULAN
1. Belum dilakukannya tindak lanjut terapi antipsikotik bagi ODGJ putus obat sebelum
dilaksanakannya program injeksi terpadu
2. Telah dilaksanakan penyuluhan tentang penyakit skizofrenia, terapi, dan pentingnya terapi
beserta sosialisasi program injeksi terpadu bagi orangtua / wali dari ODGJ pada tanggal 3
Agustus 2018 di Mushola Puskesmas Mlati II
4. Telah dilaksanakan pemantauan gejala psikotik dan efek samping obat secara berkala
setiap sebulan sekali, bersamaan dengan waktu injeksi pasien.
5. Gejala psikotik pasien cenderung menurun secara frekuensi dan intensitas dari waktu ke
waktu setelah dilakukannya proses injeksi, hal ini ditunjukkan dengan skoring PANNSS
rerata pasien yang mengalami perbaikan.
B. SARAN
1. Mini project ini diharapkan dapat menjadi awal dari program injeksi terpadu yang nantinya
dapat dilaksanakan rutin secara periodik
3. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi program injeksi terpadu oleh Puskesmas Mlati II
agar program dapat tetap berjalan dengan baik dan benar.