Sie sind auf Seite 1von 6

Cara menanamkan Aqidah

Inilah yang pertama harus dilakukan oleh Orang Tua terhadap anaknya; yaitu menanamkan

keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan memiliki sifat-sifat yang mulia (Asmaul Husna).

Beriktu ini langkah langkah praktis atau contoh-contoh ketika mananamkan Tauhid dan Aqidah

terhadap Anak:

a. Menanamkan Tauhid ini bisa dimulai sejak anak dalam kandungan, yaitu dengan membiasakan

anak (bayi) mendengarkan alunan Ayat-ayat suci Al-Qur’an, ceramah-ceramah agama kalimah-

kalimah thoibiyah dan ucapan-ucapan yang sopan, santun serta lemah lembut.

b. Setelah anak bisa bicara atau bercakap, ajarkanlah ia untuk bisa mengucapkan kata-kata Allah

Bismillah, Alhamdulillah, Astagfirullah, dan sebagainya.

c. Tegurlah dan berilah peringatan dengan segera apabila anak mengucapa kata-kata yang tidak

baik.

d. Jelaskan bahwa diri kita tumbuhan, hewan dan semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan serta

kepunyaan Allah yang Maha kuasa.

e. Sampaikanlah kisah-kisah para nabi, rasul dan prang-orang yang saleh; baik secara lisan, atau

bisa juga berupa buku-buku kisah yang bergambar (banyak tersedia di toko-toko buku), atau

berupa VCD, jelaskanlah hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dari tiap kisah tersebut.

f. Hindarkanlah anak dari cerita-cerita dan tontonan (film/sinetron) takhayul, khufarat dan bid’ah,

misalnya cerita-cerita mengenai hantu, mistik, kesakitan, zodiac atau ramalan binatang, dan

sebagainnya.

g. Bawalah anak-anak ke tempat-tempat yang bisa memperkuat aqidah dan tauhid; misalnya ke

masjid, madrasah, atau tempat-tempat rekreasi yang kondusif seperti taman, pegunungan, pantai,

peneropongan bintang, museum, dan sejenisnnya. Beriah penjelasan kepada anak misalnnya
betapa kuasannya Allah menciptakan tumbuhan-tumbuhan, binatang, gunung, lautan, bintang,

matahari, bulan, dan sebagainnya.

Sumber : https://rickyrinaldi120.blogspot.com/2016/11/pengertian-penanaman-
aqidah.html

Makna Tauhid

Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah memaparkan bahwa kata “tauhid”, secara bahasa, adalah kata
benda (nomina) yang berasal dari perubahan kata kerja wahhada–yuwahhidu, yang bermakna
‘menunggalkan sesuatu’. Sedangkan berdasarkan pengertian syariat, “tauhid” bermakna
mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi
perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. (Al-Qaul Al-Mufid, 1:5)

Hamad bin ‘Atiq menerangkan bahwa agama Islam disebut sebagai agama tauhid disebabkan
agama ini dibangun di atas pondasi pengakuan bahwa Allah adalah Esa dan tiada sekutu bagi-
Nya, baik dalam hal kekuasaan maupun tindakan-tindakan. Allah Maha Esa dalam hal Dzat dan
sifat-sifat-Nya, tiada sesuatu pun yang menyerupai diri-Nya. Allah Maha Esa dalam urusan
peribadahan, tidak ada yang berhak dijadikan sekutu dan tandingan bagi-Nya. Tauhid yang
diserukan oleh para nabi dan rasul telah mencakup ketiga macam tauhid ini (rububiyah,
uluhiyah, dan asma’ wa shifat). Setiap jenis tauhid adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari
jenis tauhid yang lainnya. Oleh karena itu, barang siapa yang mewujudkan salah satu jenis tauhid
saja tanpa disertai dengan jenis tauhid lainnya maka hal itu tidak lain terjadi karena dia tidak
melaksanakan tauhid dengan sempurna sebagaimana yang dituntut oleh agama. (Ibthal At-
Tandid, hlm. 5–6)

Muhammad bin Abdullah Al-Habdan menjelaskan bahwa tauhid itu hanya akan terwujud dengan
memadukan antara kedua pilar ajaran tauhid, yaitu penolakan (nafi) dan penetapan (itsbat). “La
ilaha” adalah penafian/penolakan, maksudnya: kita menolak segala sesembahan selain Allah.
Sedangkan “illallah” adalah itsbat/penetapan, maksudnya: kita menetapkan bahwa Allah saja
yang berhak disembah. (At-Taudhihat Al-Kasyifat, hlm. 49)

Macam-macam Tauhid

Tauhid terbagi menjadi tiga macam:

Pertama: Tauhid rububiyah.

Artinya, mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal perbuatan-Nya, seperti: mencipta,
memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, mendatangkan bahaya, memberi manfaat, dan
perbuatan lain yang merupakan perbuatan-perbuatan khusus Allah subhanahu wa ta’ala.
Seorang muslim haruslah meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak memiliki sekutu
dalam rububiyah-Nya.
Kedua: Tauhid uluhiyah.

Artinya, mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam jenis-jenis peribadahan yang telah
disyariatkan, seperti: salat, puasa, zakat, haji, doa, nazar, menyembelih, rasa harap, cemas, takut,
dan jenis ibadah lainnya. Mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal-hal tersebut
dinamakan “tauhid uluhiyah”.

Tauhid jenis inilah yang dituntut oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dari hamba-hamba-Nya, karena
terhadap tauhid jenis pertama, yaitu tauhid rububiyah, setiap orang (termasuk jin) pun
mengakuinya, sekalipun dia orang musyrik yang menjadi musuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, yang artinya,
“Dan sungguh, jika kamu bertanya kepada mereka (tentang) siapakah yang menciptakan
mereka, niscaya mereka menjawab, ‘Allah.’ Maka, bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf:87)

Juga firman Allah, yang artinya, “Katakanlah, ‘Siapakah yang mempunyai tujuh langit dan
mempunyai ‘arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah,
‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’” (QS. Al-Mukminun:86–87)

Masih banyak ayat yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik meyakini tauhid rububiyah.
Akan tetapi, sebenarnya yang dituntut dari mereka adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah.
Jika mereka mengikrarkan tauhid rububiyah maka seharusnya mereka juga mengakui tauhid
uluhiyah (ibadah).

Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (diutus untuk) menyeru mereka agar
meyakini tauhid uluhiyah. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya subhanahu wa ta’ala, yang
artinya, “Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul kepada tiap umat (untuk menyerukan),
‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut!” Lalu, di antara umat itu ada orang-orang yang
diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah dipastikan sesat. Oleh karena
itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan (para rasul).” (QS. An-Nahl:36)

Setiap rasul menyeru manusia agar meyakini tauhid uluhiyah. Adapun tentang tauhid rububiyah,
karena itu merupakan fitrah, maka belumlah cukup jika seseorang hanya meyakini tauhid
rububiyah saja.

Ketiga: Tauhid asma’ wa shifat

Yaitu, menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk Allah subhanahu wa ta’ala, sesuai dengan
yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya maupun yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meniadakan kekurangan-kekurangan dan aib-aib yang
ditiadakan oleh Allah terhadap diri-Nya, dan segala yang ditiadakan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (terhadap diri Allah).

Tiga jenis tauhid inilah yang wajib diketahui oleh seorang muslim, lalu hendaklah dia secara
bersungguh-sungguh mengamalkannya. (Al-Qaul Al-Mufid)
Ada juga ulama yang membagi tauhid menjadi dua macam. Namun, hakikat pembagiannya sama
dengan pembagian menjadi tiga. Menurut ulama yang membagi tauhid menjadi dua, tauhid
diperinci menjadi:

Pertama: Tauhid al-ilmi al-khabari

Artinya, mengesakan Allah dalam nama, sifat, dan semua perbuatan Allah, yang Dia beritakan
melalui Alquran dan Sunah. Karena itu, tauhid ini disebut “tauhid al-ilmi al-khabari” karena
tauhid ini ditetapkan melalui jalur ilmu dan khabar (berita).

Kedua: Tauhid al-iradi ath-thalabi

Artinya, tauhid yang berisi perintah untuk mengesakan Allah dalam peribadahan dan
meninggalkan segala kesyirikan.

Jika dikaitkan dengan tiga jenis tauhid di atas maka tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat
masuk dalam jenis tauhid al-ilmi al-khabari. Sedangkan, tauhid uluhiyah sama dengan tauhid al-
iradi ath-thalabi.

Tauhid dan iman kepada Allah

Dr. Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa hakikat iman kepada Allah
adalah tauhid itu sendiri, sehingga iman kepada Allah itu mencakup ketiga macam tauhid, yaitu
tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. (Al-Irsyad ila Shahih Al-I’tiqad, hlm. 29)

Di samping itu, keimanan seseorang kepada Allah tidak akan dianggap benar kalau hanya terkait
dengan tauhid rububiyah saja dan tidak menyertakan tauhid uluhiyah. Hal ini sebagaimana yang
terjadi pada kaum musyrikin dahulu yang juga mengakui tauhid rububiyah. Meskipun demikian,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi dan mengajak mereka untuk
bertauhid. Hal itu dikarenakan mereka tidak mau melaksanakan tauhid uluhiyah.

Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan Allah kepada setiap
hamba-Nya. Namun, sangat disayangkan, kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini
tidak mengerti hakikat dan kedudukan tauhid. Padahal, tauhid inilah yang merupakan dasar
agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu, sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin untuk
mengerti hakikat dan kedudukan tauhid. Hakikat tauhid adalah mengesakan Allah. Bentuk
pengesaan ini terbagi menjadi tiga, berikut ini penjelasannya.

Mengesakan Allah dalam rububiyah-Nya

Maksudnya adalah kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang hanya dapat
dilakukan oleh Allah, seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya,
memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudarat, dan lainnya, yang merupakan
kekhususan bagi Allah. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun
yang mengingkarinya.
Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum ateis, pada kenyataannya menampakkan
keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka,
mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan
mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana
firman Allah, yang artinya, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang
menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak
meyakini (apa yang mereka katakan).” (QS. Ath-Thur:35–36)

Meskipun demikian, pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah ini tidaklah menjadikan
seseorang beragama Islam, karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy, yang diperangi
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengakui dan meyakini jenis tauhid ini.
Sebagaimana firman Allah, yang artinya, “Katakanlah, ‘Siapakah yang memiliki langit yang
tujuh dan yang memiliki ‘arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’
Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya
berada kekuasaan atas segala sesuatu, dalam keadaan Dia melindungi tetapi tidak ada yang
dapat dilindungi dari-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’
Katakanlah, ‘Maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (QS. Al-Mukminun:86–89)

Yang amat sangat menyedihkan adalah kebanyakan kaum muslimin di zaman sekarang
menganggap bahwa seseorang sudah dikatakan beragama Islam jika telah memiliki keyakinan
bahwa Allahlah satu-satunya Sang Pencipta, Pemberi rezeki, serta Pemilik dan Pengatur alam
semesta.

Mengesakan Allah dalam uluhiyah-Nya

Maksudnya adalah kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan, seperti
salat, doa, nazar, menyembelih, tawakal, taubat, harap, cinta, takut, dan berbagai macam ibadah
lainnya. Kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah semata.
Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh
kaum musyrikin Quraisy.

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu, yang artinya,
“Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sesembahan yang satu saja?
Sesungguhnya, ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shad:5)

Dalam ayat ini, kaum musyrikin Quraisy mengingkari bahwa tujuan dari berbagai macam ibadah
hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan
oleh Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya
Pencipta alam semesta.

Mengesakan Allah dalam nama dan sifat-Nya

Maksudnya adalah kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam
Alquran dan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga meyakini bahwa hanya
Allahlah yang pantas untuk memiliki nama-nama terindah yang disebutkan di Alquran dan hadits
tersebut (yang dikenal dengan “asmaul husna”), sebagaimana firman-Nya, yang artinya,
“Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa. Hanya bagi Dialah
‘asmaul husna’.” (QS. Al-Hasyr:24)

Seseorang baru dapat dikatakan sebagai muslim yang tulen jika dia telah mengesakan Allah dan
tidak berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut di atas. Barangsiapa yang menyekutukan Allah
(berbuat syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim tulen
tetapi dia adalah seorang musyrik.

Kedudukan tauhid

Tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama ini. Oleh karena itu, hal ini
penting untuk dibahas, mengingat banyak sekali pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang
yang mengaku sebagai muslim. Padahal, pada kenyataannya, mereka menujukan sebagian
bentuk ibadah mereka kepada selain Allah, baik itu kepada wali, orang saleh, nabi, malaikat, jin,
dan sebagainya.

Sumber : yufidia.com

Das könnte Ihnen auch gefallen