Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Ketentuan Umum
Pasal 1
Syarat keadaan dan Bangunan
2. Apabila oleh karena keadaan, syarat tersebut tidak terpenuhi, maka meskipun tidak
akan segera ada kereta api lewat. Bagi para masinis harus dipasang semboyan-
semboyan yang jelas disertai tidakan-tindakan lain yang dapat lebih dahulu
menjamin keamanan lalulintas kereta api (Pasal 57 dan 111 S.V.)
Cara pemasangan semboyan lihat R.13 jilid I.
1. Yang disebut pegawai Jalan dan Bangunan dalam reglemen ini, tidak termasuk
pegawai bagian Signal dan Telekomunikasi maupun pegawai yang melaksanakan
pekerjaan perluasan yang tidak dipekerjakaan Sk.
3. Pekerjaan pada jalan kereta api dan sepur-sepur dalam ekspolitasi yang
bersangkutpaut dengan pekerjaan yang diselenggarakan pegawai lain, hanya boleh
dilakukan atas tanggung jawab Sk dan pimpinan olehnya atau seorang bawahan yang
ditunjuk olehnya untuk pekerjaan itu.
Pelaksanaan pekerjaan tersebut diatas oleh pegawai bagian Signal dan
Telekomunikasi dan pegawai bagian Kontruksi dan Jembatan telah diatur dalam R. 30
dan R.13 jilid I.
Apabila penjaga tersebut pegawai Jalan dan Bangunan, maka disamping tugas
tersebut diatas, oleh Ikd ia dapat pula ditugaskan memelihara sebagian jalan kereta api
yang berdekataan.
Tentang penjagaan jalan lintas, penjagaan jalan silang dan penjagaan wesel lihat
R.12
Untuk perbaikan yang tidak dapat dikerjakaan oleh pegawai tetap sperti longsoran,
kerusakan pada bangunan- bangunan, maupun pembaharuan dan perluasan, dapat
dipekerjakan pekerja-pekerja sementara yang diperlukan atau diborongkan.
Pasal 3
Pelaksanaan pekerjaan
1. Pada pelaksanaan pekerjaan tersebut bahwa selalu harus digunakan tata cara kerja
yang menjamin perbaikan yang bersifat tetap.
Daya upaya sementara hanya diperbolehkan, apabila hanya dengan cara demikian
ketertiban lalulintas kereta api terjamin atau kerusakan yang lebih besar terhindar. Daya
upaya tersebut harus segera diusul dengan tindakan-tindakan kearah perbaikan yang
bersifat tetap.
3. Tiap Ikd menyusun rencana kerja pemeliaraan bagi inspeksinya sedemikian rupa,
sehingga pekerjaan dapat diselenggarakan dengan teratur, hemat, dan dalam batas kredit
yang tersedia.
Berbagi pekerjaan pemeliharaan berkala harus diselenggarakan pada waktu yang
paling tepat dalam tahun yang bersangkutan.
Tanpa perundingan dengan dan ijin dari Ks. Kepala depo atau kepala balaikarya,
yang bersangkutan dilarang.
menyelenggarakan pekerjaan di stasiun, tempat perhentian, dipo-lokomotif atau balai
kerja, mengakibatkan tidak dapat atau kurang aman dilaluinya sepur atau wesel
meskipun hanya untuk waktu pendek, tidak dapat bekerja perlengkapan pengamanan
atau terputusnya hubungan wesel dengan sinyal atau sinyal dengan sinyal.
4. Sebelum sesuatu perkerjaan dilaksanakan, maka harus dibuatkan rencana biaya
yang harus disetujui oleh karena hal-hal yang berwenang mengeluarkan kredit. Apabila
karena hal-hal yang memdesak pelaksanaan harus segera dimulai, maka rencana
biayanya harus selekasnya diusulkan. Pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan
harus dijaga dengan cermat dan jelas.
Peraturan tentang hal tersebut diatas tercantum dalam R. 13 jilid II.
5. Pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan oleh pegawai tetap, dapat diborongkan
secara lelang atau dibawah tangan.
Pelaksanaan dengan upah harian hanya diperkenankan, apabila cara demikian itu
dapat dihindarkan untuk mengadakan tindakan cepat dalam menjamin keamanan
perusahaan.
Pekerjaan yang memakan waktu agak lama, meskipun telah dimulai dengan upah
harian, harus selekasnya dilanjutkan secara borongan.
Pekerjaan pemeliaharaan berkala untuk pemeliharaan bangunan hikmat, gedung
dsb. Seperi mengapur, menter dan mencat, apabila tidak diborongkan secara lelang, harus
diborongkan dibawah tangan baik lelang menurut taip meter persegi, maupun menurut
tiap bangunanhikmat atau bangunan, dengan atau tanpa penyerahan bahan-bahan yang
diperlukan.
Peraturan tentang pelaksanaan berbagai macam pekerjaan tercantum dalam R. 13
jilid I
Pasal 4
Bahan dan alat-alat
2. Bahan-bahan atau keperluan lain yang dapat diperoleh dari gudang persediaan,
menurut peraturan tidak boleh dibeli dari luar.
Pembuatan setempat atau pemborongan pekerjaan kayu atau besi, baru dapat dilakukan
setelah diselidiki apakah pekerjaan itu juga dapat dibuat di balaikaya.
4. Pembelian untuk persediaan harus dibatasi dan dilakukan hanya atas persetujuan
Ikd.
Banyaknya persediaan balas di depo balas, ditentukan oleh Ikd.
5. Bahan untuk pemakaian segera, tidak boleh dibeli lebih daripada jumlah yang
betul-betul diperlukan.
Pasal 5
Tanah lapang yang dikuasai PNKA harus diawasi oleh pegawai jalan dan bangunan
yang ditugaskan untuk itu guna menghindarkan penggunan tidak sah oleh pihak lain.
Peraturan tentang pengawasan tanah yang diperoleh PNKA tercantum dalam R.
13 jilid I
Dalam R. 13 jilid III tercantum peraturan tentangTanah lapang dibawah
pengawasan PNKA
Pasal 6
Bab II
Inti Jalan Kereta Api
Penggolongan kelas
1. Penggolongan lintas kereta api dalam jalan kereta api kelas I dan II, yang masing-
masing dibagi lagi dalam berapa tingkatan menurut letak, pengamanan dan penutupan,
dilakukan oleh Mentri.
Kecepatan puncak yang diperkenankan pada tiap lintas, ditentukan oleh Direksi
menurut penggolongan kelas yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan
memperhatikan ayat 2 dan 3 pasal ini.
1. Penggolongan lintas kereta api dalam jalan kereta api kelas I dan II, yang masing-
masing dibagi lagi dalam berapa tingkatan menurut letak, pengamanan dan penutupan,
dilakukan oleh Mentri.
Kecepatan puncak yang diperkenankan pada tiap lintas, ditentukan oleh Direksi
menurut penggolongan kelas yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan
memperhatikan ayat 2 dan 3 pasal ini.
Dalam daftar 1 pada halaman 19 hal tersebut tercantum untuk lintas bebas dan
sepurlangsung di emplasmen.
Daftar 2/ Table 2.
780 120
650 110
540 100
490 95
440 90
390 85
350 80
300 75
270 70
230 65
195 60
165 55
135 50
110 45
Pasal 7
Batas-batas ruang bebas
1. Untuk seluruh jalan kereta api harus terjamin adanya batas-batas ruang bebas yang
berlaku untuk tiap-tiap sepur (gambar 1a dan 1b).
Gambar 1c berlaku untuk lintas-lintas yang dielektrifikasikan ; gambar 1d harus
digunakan pada lintas-lintas yang dilalui kereta-kereta panjang 18 ½ sampai 21 m dan
jalan kereta api baru kelas 1 maupun kelas 2.
2. Didalam batas ruang bebas tidak boleh ditempatkan benda-benda tetap, terkecuali
mal-muatan dan pintu-pintu gudang. Benda-benda yang berada dalam batas ruang bebas
harus selekasnya dipindahkan.
Sepanjang persimpangan, yang hanya dimasuki gerobak-gerobak boleh
ditempatkan benda-benda tetap dalam batas runag bebas dengan persetujuan Mentri
(pasal 10 dan 21 S.V.)
Dalam R. 13 jilid I tercantum peraturan tentang jarak antara sepur dengan sepur,
ukuran-ukuran peron, tempat-muat yang ditinggikan dan alur untuk belebas roda.
Pasal 8
Jarak penempatan benda tetap dari sumbu sepur
Dalam hal pembuatan bangunan baru dan perubahan bangunan yang telah ada,
maka benda-benda tetap, seperti tiang telegrap, tiang temberang, kawat temberang dll.
Yang berada di jalan bebas dan sepanjang sepur-sepur emplasemen dimana kereta api
berjalan langsung, harus ditempatkan sedemikian rupa, sehingga pada tinggi 1 m sampai
2,90 m diatas kepala rel tidak ada sesuatu bagian dari benda tetap tsb. Berada dalam jarak
2,35 m dari sumbu sepur. Di emplasemen penempatan tiang signal dapat diadakan
penyimpangan dari peraturan tsb. Bagian konstruksi dari jembatan baru pad tinggi 1 m
sampai 2,90 m diatas kepala rel tidak boleh berada dalam jarak 2,05 m dari sumbu sepur.
Jika keadaan memungkinkan, ukuran 2,35 m tsb. Hendaknya diperbesar sampai 2,53m.
Di emplasemen sepanjang sepur-sepur kereta api lain, yang tidak dilalui kereta api
langsung pad bangunan-bangunan baru dan pada perubahan bangunan harus sedapat
mungkin untuk benda tetap diperkenankan jarak bebas paling sedikit 2,35 m dari sumbu
sepur. Paling kecil harus 1,95 m, dengan memperhatikan pengecualian tercantum dalam
pasal 7.
Tiang listrik untuk lintas yang dielektrifikasikan pada lintas bebas danemplasemen
ditempatkan pada jarak sedemikian sehingga pada tinggi 1 m sampai 2,90 m diatas kepala
rel masih ada kelonggaran paling sedikit 0,40 m dari bangunan ruang bebas.
Pada busur-busur harus diperhatikan juga kedudukan miring bangunan ruang bebas
dan perlebaran sepur.
Pasal 9
Busur
1. Busur pada sepur dibentuk oleh busur lingkaran yang dihubungkan pada sepur
dengan atau tanpa busur peralihan.
Dengan permulaan dan akhir busur, juga pada penggunaan busur peralihan, selalu
dimaksudkan tempat-tempat dimana budur perliahan dengan jari-jari tertentu
menyambung pada sepur lurus. Tempat-tempat tsb. pada lintas bebas dan pada sepur-spur
emplasemen yang dilalui dengan kecepatan lebih daripada 45 km/jam diberikan tanda
dengan papan busur.
Pada Daftar 3
Busur dengan jari-jari yang berukuran antara dua jari-jari yang tercantum dalam
daftar diberikan perlebaran manurut jari-jari berikutnya
Daftar 4
4. Pertinggian dan perlebaran yang telah ditetapkan harus ada sepanjang busur
lingkaran dan di atur secara berangsur sepanjang busur peralihan.
Dimana tidak ada busur peralihan, perbedaan tinggi antara rel dalam dan rel luar
diadakan secara berangsur pada bagian rel lurus yang menyambung busur sepanjang
jarak menurut daftar berikut.
Daftar 5
Pertinggian yang ada dapat diprtahankan, sampai kedudukan sepur harus ditinjau
kembali karena sesuatu hal.
6. Antara busur-busur yang arahnya saling berlawanan (busur S) harus ada bagian lurus
tanpa pertinggian sepanjang paling sdikit 20 m. Jika dipergunakan busur peralihan, antara
ujung-ujung busur peralihan harus ada bagian lurus paling sedikit 20 m
Jika antara dua busur yang arahnya bersamaan tidak terdapat atau hanya ada bagian
lurus demikian pendek, sehingga pada pengguanan busur peralihan yang telah ditetapkan
tidak ada sisa sepanjang 20 m yang tanpa pertinggian,maka peralihannya ditentukan
tersendiri oleh KE.
7. Pada busur kecepatan dibatasi seperti tercantum pada pasal 6 ayat 3 daftar 2.
Apabila kecepatan puncak yang diijinkan untuk suatu busur pada lintas tertentu
lebih rendah daripada kecepatan puncak yang diijinkan untuk lintas itu, maka pad
permulaan dan akhir busur harus dipasang pengurangan kecepatan yang menyatakan
kecepatan puncak bagi busur termasuksud.
8. Busur dengan jari-jari kurang daripada 150 m tidak dipergunakan di lintas bebas dan
di sepur kereta api pada emplasemen.
Di sepursimpang, di emplasemen dan di sepur industri, sepur perdagangan dan
sepur pelabuhan, sebagai pengecualian dapat digunakan busur dengan jari-jari lebih kecil
daripada 150 m tetapi tidak boleh kurang daripada 80 m
Busur yang demikian tidak boleh dilalui jenis lokomotif tertentu. Lihat R. 16
9. Supaya pada busur kedudukan renggang sambungan dari kedua bsepur dapt bersiku-
siku satu sama lain, maka berhadap-hadapan dengan menjumlah batang rel luar
berukuran panjang normal di pasng rel dalam yang lebih pendek dalam jumlah yang
sama.
Peraturan untuk memeriksa kedudukan busur dan penggunaan rel pendek tercantum
dalam R. 13 jilid I.
Pasal 10
Busur peralihan pad perubahan arah.
1. Diseluruh lintas bebas dan pada sepuring di emplasemen dimana sepur lurus beralih
ke busur, maka arah sumbu sepur, lebar sepur dan pertinggian rel luar harus bertubuh
secara berangsur ; bagian yang merupakan peralihan disebut busur peralihan.
2. Pertinggian dan perlebaran pada busur peraliahan diatur secara berangsur dari nol
pada bagian lurus sampai sebesar pertinggian dan perlebaran yang telah ditetapkan untuk
busur lingkaran.
3. Jari-jari lingkaran pada busur peraliahan mengurang secara berangsur dari besar-tak-
terhingga pada bagian lurus sampai sebesar jari-jari busur pada akhir busur peralihan.
Gambar 2, melukiskan busur lingkaran dengan busur peralihannya AH dan A’H
adalah garis singgung semula, AMA’ busur lingkaran semula dan titik-titik A dan A’
adalah permulaan dan akhir busur
Antara bagian lurus TA dan busur lingkaran AMA’ dan antara TA’ dan busur lingkaran
AMA’ dipasang busur peralihan CD dan C’D’.
Untuk dapat memasang busur peraliahan adalah perlu untuk menggeser seluruh sumbu
busur AMA’ semula sedikit kearah titikpusat, sehingga sumbu tsb. jatuh ditempat
BDD’B’.
Dengan demikian jari-jari busur menjadi lebih kecil; tetapi pada jari-jari busur dan
sudut kecil ; tetapi pada jari-jari busur dan sudut kecil hal ini dapat diabaikan.
Busur peralihan terletak antara setengah dimuka dan setengah dibelakang titik garis
singgung
Perggeseran yang harus dialami oleh sumbu busur semula adalah ¼ ordinat y (pada
gambar 2, AB = ¼ ED) dari akhir busur peralihan.
5. Panjang normal busur peralihan (L dalam m) tergantung dari kecepatan puncak yang
ditetapkan (V dalam km/jam) dan dari jari-jari (R dalam m) dari busur, dan diperoleh
V3
menurut rumus L= 60
R
Dalam pekerjaan baru dan apabila karena suatu hal diperlukan perubahan pada
sepur yang telah ada, busur dibuat menurut ketentuan dalam daftar 6 pasal ini.
6. Dalam daftar 7 berikut tercantum jari-jari busur terkecil, di mana pada kecepatan
puncak tertentu tidak diperlukan busur peralihan.
Daftar 7
7. Jika sudut pust kecil, maka jari-jari busur peralihan harus dipilih sedemikian,
sehingga tersedia cukup ruangan untuk menempatkan busur peralihan tanpa ada
kemungkinan busur peralihan tsb. akan saling bertumpangan sebagian atau seluruhnya.
Pasal 11
Landai
1. Dimana sepur dari bagian datar beralih ke landai atau dari suatu landai ke lain landai,
maka untuk maendapatkan peralihan berangsur harus digunakan busur peralihan
berbentuk lingkaran.
Daftar 6
Tabel 8
3. Jika suatu penurunan beralih ke pendakian, panjang bagian mendatar diluar landai
peralihan paling sedikit harus 200 m untuk lintas dengan kecepatan puncak 60 km/jam
atau lebih, 100 m untuk lintas dengan kecepatan puncak 49 km/jam dan 30 m untuk lintas
dengan kecepatan puncak 45 km/jam.
Antara titik-titik potong dari landai tsb. sebaiknya diadakan bagian mendatar sepanjang
rangkaian kereta api yang terpanjang pada lintas itu.
Pada perbedaan landai 20 o/oo dan lebih harus diadakan bagian mendatar, apabila
penurunan menyambung pendakian.
Bagian datar diluar landai peralihan panjangnya harus 100 m untuk lintas dengan
kecepatan puncak 60 km/jam dan lebih, 50 m untuk lintas dengan kecepatan puncak 59
km/jam dan 50 m untuk lintas dengan kecepatan puncak 45 km/jam.
4. Dalam busur, landai puncak yang ditetapkan untuk sesuatu lintas harus dikurangi
375
dengan jumlah dalm mm untuk tiap-tiap m, menurut rumus : , dimana R
R 50
dimaksudkan jari-jari busur dalam meter.
5. Emplasemen biasanya dibuat datar. Bila perlu dapat diberi landai paling besar 2,5 o/oo.
Landai yang lebih curam hanya dapat diijinkan dalam keadaan yang luar biasa dan atas
persetujuan mentri.
6. Di titik potong dari landai di pasang tanda pada permulaan landai peraliahan bila
mana penurunan yang bersambung lebih besar dari 2,5 o/oo.
Di jalan bebas tidak dipasang penunjuk landai, bilamana perbedaan tinggi antara
permulaan dan akhir landai tidak lebih daripada 3 m, atau jika landainya tidak lebih
daripada 2,5 o/oo untuk jalan kereta api kelas I dan 5 o/oo untuk jalan kereta api kelas 2.
1. Pada gb. 3 tertera bentuk umum penampang tubuh jalan kereta api pada timbunan dan
gb. 4 pada galian.
3. Lebar bidang atas ditentukan menurut bg. 5a s/d 5c untuk sepur tunggal dan menurut
bg. 6 untuk sepur kembar.
4. Pada penggunaan balas pasir dengan bangket tanah, pada jarak kurang lebih 3 m
disebelah kiri dan kanan sepur secara berseling dipasang pelulusan air lebar 0,40 m
memotong bangket, sedalam sampai sedikit dibawah bidang atas tubuh jalan kereta api,
dilapis dengan injuk dan diisi dengan kerikil kasar, batupecah, batukali atau batu belah.
Pelulusan air tsb. Dapat ditiadakan kalau tubuh jalan kereta api terdiri daripada pasir
atau bahan yang dapat meluaskan air.
5. Antara galian dan timbunan harus ada jaluran tepi yang lebarnya ditetapkan oleh Ikd,
berdasarkan daya pikul alas tanah dan dalamnya galian. Lebar jalur tepi kurang dari 1 m
harus dihidarkan. Pada galian jarak antara tepi tanah buangan dan kepala-lereng paling
sedikit 1 m dapat diperbesar hingga 5 m tergantung daripada macam tanah, dalamnya
galian dan tinggi tanah buangan, dan pada sebelah jalan kereta api harus dimiringkan
menurut lereng alam.
6. Selokan tepi harus berlandai paling sedikit 2 o/oo pada tanah biasa. Selokan tepi
pada galian yang mendatar dibuat miring kearah pembuangan air dan di peroleh bukan
dengan membuat lereng selokan tsb. Lebih tegak dari yang tertera dalam gb. 4, tetapi
harus dengan cara mengundurkan lereng-galian, atau demi penghematan dengan
mengurangi lebar jalur-tepi.
Pada perjalanan lintas baru harus dihindarkan galian mendatar yang panjang dengan cara
menggunakan landai 2‰ memakai bagian mendatar ditengah-tengah sepanjang paling
besar 200 m.
7. Semua lereng dan jalur tepi tubuh jalan kereta api, galian, lereng tanah buangan
pada sebelah jalan kereta api, kecuali pada melindungi lereng dan jalur tepi tsb. Agar
pada waktu hujan lebat jangan samapai tergerus air dan untuk pada musim kering yang
panjang dapat sebanyak mungkin mengurangi terjadinya retak-retak pada tanah.
8. Tubuh jalan kereta api pada timbunan dibuat sedemikian, sehingga sesudah
pemadatan tercapai tinggi dan lebar kepala tubuh jalan kereta api yang disyaratkan.
Lihat R 13 jilid I.
Alas tanah harus dibersihkan dari tumbuh-tumbuhan.
Tanah yang akan dipakai untuk timbunan harus dihaluskan dahulu dan manimbunnya
harus dalam lapisan –lapisan dari ± 0,40 m dan bilamana perlu harus ditumbuk. Terutama
timbunan yang bersambungan dengan bangunan hikmat- bangunan hikmat, harus
dikerjakan dengan sungguh-sungguh, agar pemadatan tubuh jalan kereta api disebelah
menyebelah bangunan hikmat tsb, dapat dibatasi hingga sekecil-kecilnya.
9. Semua unsur yang mungkin mengakibatkan perembesan banyak air kedalam tubuh
jalan kereta api atau kedalam tepi atas lereng dari galian harus dihindarkan pada
pembuatan lintas baru dan dihilangkan pada pemeliharaan.
Lihat R. 13 jilid I.
10. Bilamana terjadi perubahan bentuk pada tubuh jalan kereta api atau pada lereng
galian, harus segera diselidiki sebab-sebabnya dan ditentukkan usaha-usaha perbaikan
berdasarkan hasil penyelidikan tsb.
11. Selokan pembuangan dan penelusuran air harus selalu dipelihara sehingga mudah
mengalirkan air.
12. Rumput pada lereng-lereng dan jalur-tepi harus dipotong pendek dan pohon-pohon
serta tumbuh-tumbuhan yang lain yang timbul harus segera dicabut.
Pasal 13
Balas dan alasbalas
1. Balas harus terdiri atas bahan yang berukuran kecil (paling besar 5 cm), keras,
tahan terhadap perubahan hawa dan mudah meluruskan air, sehingga yang memenuhi
syarat-syarat tsb. Hanyalah batu pecah, kerikil yang cukup keras dan pasir kasar, bila
mungkin pasir campur kerikil.
Dalam R. 13 jilid I tercantum syarat-syarat untuk pasirbalas, kerikil dan batupecah.
2. Dibawah wesel dan jalan silang harus dipergunakan batu pecah atau kerikil; pada
sepurlangsir dan sepursimpang dapat dipergunakan pasir, dimana perlu diberi lapis-
penutup kerikil halus supaya jangan tertiup. Pasir sedapat mungkin jangan dipergunakan
bersama dengan bantalan baja.
Pada jalan baru dan pebaharuan balas, sebagi lapis terbawah untuk alasbalas dari
kerikil atau batu pecah sedapat mungkin dipasang lapis pasir setebal 10 sampai 20 cm.
Antara lapis pasir dan bidang bawah dari bantalan harus ada batupecah atau kerikil
setebal paling sedikit 15 cm.
Pada alas tanah yang jelek paling baik digunakan balas pasir dari pada batu pecah
atau kerikil; dalam hal demikian kadang-kadang perlu untuk membuat bagian atas tubuh
jalan kereta api dari pasir.
Supaya jangan tertuip balas pasir ditutup dengan lapis kerikil. Ini harus selalu
dikerjakan pada lintas yang dilalui kereta api dengan kecepatan lebih dari pada 45
km/jam.
3. Penampang alas tanah terlihat pada gb. 5a s/d 5c ; sebelah kiri untuk jalan KA kelas
1 dan kelas 2 dengan kecepatan puncak 59 km/jam, sebelah kanan untuk jalan kreta api
kelas 2 dengan kecepatan puncak 45 km/jam.
Untuk tanah biasa tebal d untuk jalan kereta api kelas 1 dan jalan kereta api kelas 2
dengan kecepatan puncak 59 km/jam ditentukan berturut-turut 0,30 m dan 0,20 m ; untuk
jalan kereta api kelas 2 dengan kecepatan puncak 45 km/jam dianggap 0,15 m telah
cukup.
Pada tanah batu dan cadas keras sebagai alas tanh, tebal tsb. Menjadi berturut-turut
0,25 m dan 0,15 m dan tidak perlu dipasang lapis pasir. Pada alas bawah yang jelek
sedapat mungkin dipakai alas balas dengan tebal yang sedang, tetapi bagian tubuh jalan
kereta api dibuat dari pasir sampai sedalam bantalan, paling sedikit sama dengan jarak
bebas antara dua bantalan.
Lapis pasir pada tubuh jalan kereta api dapat juga ditiadakan, tetapi tebal alas balas
dibawah bantalan dibuat sama dengan jarak bebas antara dua bantalan.
Pada jalan kereta api kelas I bagian atas alas balas sampai setebal 15 cm dibawah
bantalan dibuat dari kerikil atau batu pecah ; pada jalan kereta api yang lain bila perlu
cukup dengan lapisan kerikil sebagai penutup balas.
4. Pada pembaruan alas balas, tebal dan tajam balas untuk masing-masing lintas
ditentukan KE, dengan memperhatikan hal-hal yang tersebut diatas.
5. Pada tubuh jalan kereta api yang sempit jika balas terdiri dari batu pecah atau
kerikil maka tepi-tepi alas balas harus dibuat dari batu belah, batu kapur atau batu-karang
yang tersusun sehingga merupakan ,,dinding penahan balas” dan dinamakan ,,bangket
batu”. Pada tubuh kereta api yang cukup lebar hal tsb tidak perlu, tetapi dapat juga
diadakan untuk menambanh indahnya pandangan, asal biayayanya tidak menjadi terlalu
tinggi
(gb. 5a).
Pada jalan baru yang masih akan memadat dan apada bagian-bagian jalan yang
tanahnya selalu bergerak, tepi balas dibuat miring tanpa menggunakan banket (gb.5c).
Balas pasir diapit oleh bangket tanah dan diberi pelulusan air seperti tsb.Pada pasal 12
(gb.5b). Bangket batu yang dilapis induk dapat juga dipergunakan. Pelulusan air
semacam itu dibuat pada bagian atas tubuh jalan kereta api yang dibuat dari pasir.
7. Pengeringan kantong balas harus dilakukan dengan membuat peluasan air sepanjang
paling sedikit sampai sumbu jalan kereta api.
8. Balas yang sudah sangat kotor sehingga daya serapnya telah hilang sama sekali, harus
seluruhnya atau hanya sebagian diantara bantalan-bantalan dikeluarkan dan diganti
dengan balas baru.
9. Pada pembaruan seluruhnya, maka bentuk kepala tubuh jalan kereta api harus
diperbaiki pula.
Bila Lumpur dari tubuh jalan kereta api karena tekanan timbul keluar melalui balas,
maka alas balas harus diperbarui sekaligus dengan penggantian bagian atas tubuh jalan
kereta api dengan pasir. Tebal lapis pasir ditentukan KE menurut keadaan setempat.
Pasal 14
Bangunan hikmat.
1. Sesudah banjir dan selanjutnya satu kali tiap tahun dalam musim kemarau bangunan
hikmat harus diperiksa dan jika terdapat penggerusan dasar sungai, dalamnya dasar
sampai yang baru harus dibandingkan dengan dalamnya fundasi.
Penggerusan harus segera dilaporkan kepada Ikd disamping harrus diusahakan daya
upaya untuk menjamin keamanan bangunan hikmat yang bersangkutan.
Lihat R 13 jilid I.
2. Juga perubahan-perubahan lain dalam keadaan sungai disekitar dekat pada jalan
kereta api dan bangunan hikmat harus dilaporkan kepada Ikd.
4. Keadaan tembok pada batu andas dan andasnya sendiri harus sering diamat-amati
dan kekuranganya dilaporkan kepada Ikd. Serta diperbaiki seperlunya.
5. Jembatan dan pelat beton bertulang serta urung-urung harus diperiksa secara teliti
satu kali tiap tahun dan retak-retak atau kekurangan-kekurangan lain yang terdapat
dilaporkan kepada Ikd.
6. Bidang-bidang tembok dari pangkal jembatan, pilar, dinding tegak dan lengkungan
dibersihkan dari tumbuh-tumbuhan, lumut dsb.
Plesteran dan setripan batu muka tiap tahun dalam musim kemarau diperbaiki,
dilabur kembali, teran diter kembali.
7. Pembagian tugas antara pegawai Jalan dan Bangunan dan Bagian Konstruksi dan
Jembatan selanjutnya diatur dalam R. 13 jilid I
Pasal 15
Bahan-bahan bangun atas dan susunan bangun bawah
1. Berbagai susunan bangunan atas yang dipergunakan tertera pada gambar 10 s/d 15
b. Rel
2. Penampang rel no. 2,
no. 3 dan no. 14 yang banyak terpakai pada PNKA tertera pada gambar 7, 8 dan 9, dan
penampang rel modern, rel no. 14A, tercantum dalam gambar 9A. Sedang dalam daftar
12 pada akhir pasal ini tercantum ukur-ukuran dan ketentuan-ketentuan lain dari rel-rel
tsb.
Tentang pemakain rel pendek untuk busur lihat R. 13 jilid I
4. Menggergaji atau memotong rel hanya boleh dilakukan dalam keadaan dingin ;
memotong dengan gergaji lebih diutamakan.
5 Rel untuk busur harus dilengkungkan lebih dulu dengan mesin pelengkung.
Rel No. 2, jika jari-jari busur kurang daripada 400 m untuk rel panjang 10,20 m dan
kurang daripada 500 m untuk rel panjang 60,80m ;
Rel No. 14, jika jari-jari busur kurang daripada 600 m rel harus dilengkungkan dalam
keadaan dingin.
7. Pada pemasangan rel baru, tanda pabrik ditempatkan disebelah dalam sepur.
Daftar 12
Daftar 9
Harus diperhatikan jangan sampai renggang menjadi terlalu kecil pada waktu
menempatkan rel-rel berikunya.
c. Sambungan rel.
pelat penyanbung rata dan pelat penyambung sudut (tidak dipesan / dibuat lagi);
pelat penyambung sayap dalam dan luar (bentuk 1911 dan 1926) panjang 526 mm
dengan 4 buah baut penyambung (gb. 10 dan 11).
pelat penyambung sayap dalam dan luar bentuk 1909 dan 1910 (pada gb. 12 dan 13
tertanda LN 1909 dan LT 1909) Panjang 659 mm dengan 4 buah baut penyambung ;
pelat penyambung sangga dalam dan luar cara Haarman bentuk 19 1915 (pada gb. 14
tanda LIH 1915 dan LUH 1915) panjang 920 mm dengan6 buah baut penyambung
dimana 2 buah tidak dipasang.
Pelat penyambung sangga dalam dan luar cara Haarman bentuk 1920 (pada gb. 15
tanda LIH 1920 dan LUH 1920) panjang 920 mm dengan 6 buah baut penjambung
dimana 2 buah tidak dipasang.
11. Pada pelat penyambung dalam terdapat lubang bulat dan pada pelat penyabung
l u a r l u b a n g b u l a t p a n j a n g .
Dibawah kepala baut penyambung terdapat penebalan berbentuk bulat panjang
yang masuk tepat pada lubang pelat penyambung luar, sehingga baut tertahan untuk turut
b e r p u t a r .
12. Untuk mencegah jangan sampai terlepas karena getaran, Bahan-bahan bangun
atas dan susunan bangun bawah
1. Berbagai susunan bangunan atas yang dipergunakan tertera pada gambar 10 s/d 15
b. Rel
4. Menggergaji atau memotong rel hanya boleh dilakukan dalam keadaan dingin ;
memotong dengan gergaji lebih diutamakan.
5 Rel untuk busur harus dilengkungkan lebih dulu dengan mesin pelengkung.
Rel No. 2, jika jari-jari busur kurang daripada 400 m untuk rel panjang 10,20 m dan
kurang daripada 500 m untuk rel panjang 60,80m ;
Rel No. 14, jika jari-jari busur kurang daripada 600 m rel harus dilengkungkan dalam
keadaan dingin.
7. Pada pemasangan rel baru, tanda pabrik ditempatkan disebelah dalam sepur.
Daftar 12
9. Rel dipasang satu sama lain dengan renggang, yang didapat dengan cara
menempatkan rel berikunya.
Untuk berbagai suhu dan berbagai panjang rel dipakai pelatrenggang seperti
berikut.
Daftar 9
Harus diperhatikan jangan sampai renggang menjadi terlalu kecil pada waktu
menempatkan rel-rel berikunya.
c. Sambungan rel.
10. Untuk rel no. 2 dipergunakan :
pelat penyanbung rata dan pelat penyambung sudut (tidak dipesan / dibuat lagi);
pelat penyambung sayap dalam dan luar (bentuk 1911 dan 1926) panjang 526 mm
dengan 4 buah baut penyambung (gb. 10 dan 11).
pelat penyambung sayap dalam dan luar bentuk 1909 dan 1910 (pada gb. 12 dan 13
tertanda LN 1909 dan LT 1909) Panjang 659 mm dengan 4 buah baut penyambung ;
pelat penyambung sangga dalam dan luar cara Haarman bentuk 19 1915 (pada gb. 14
tanda LIH 1915 dan LUH 1915) panjang 920 mm dengan 6 buah baut penyambung
dimana 2 buah tidak dipasang.
Pelat penyambung sangga dalam dan luar cara Haarman bentuk 1920 (pada gb. 15
tanda LIH 1920 dan LUH 1920) panjang 920 mm dengan 6 buah baut penjambung
dimana 2 buah tidak dipasang.
11. Pada pelat penyambung dalam terdapat lubang bulat dan pada pelat penyabung luar
lubang bulat panjang.
Dibawah kaepala baut penyambung terdapat penebalan berbentuk bulat panjang
yang masuk tepat pada lubang pelat penyambung luar, sehingga baut tertahan untuk turut
berputar.
12. Untuk mencegah jangan sampai terlepas karena getaran, maka pada baut penyambung
dipasang mur besar.
13. Pada pelat penaymbung Haarman baut-baut diatas pelat landas tidak dipasang,
mur-mur tidak bileh dipasang terlalu keras, karena pemuaian rel akan sangat terganggu.
Lihat R. 13 jilid I
14. Dimana rel-rel dengan bentuk berkaitan bersambungaan satu sama lain, harus
dipasang sambungan peralihan. Pada penggunaan pelat penyambung peralihan rata dari
rel no. 3 pada rel 2, maka kedua rel tsb. Diletakkan diatas sebuah pelat landas yang
ditempatkan pada sebuah bantalan kayu yang lebar.
Pada penggunaan pelat penyambung peralihan Haarman dari rel 14 pada rel 3, dari
rel 14 pada rel 2 dan rel 3 pada rel 2, kedua rel tidak terletak pada sebuak pelat landas,
tetepi terangkat oleh sambungan peralihan Haarman, seperti pada sambungan-sambunagn
Haarman biasa.
Harus diperhatikan agar sedapat mungkin bidang atas dan dalam dari kepala-kepala
rel rata satu sama lain.
Peralihan bentuk rel berat ke rel ringan pada suku-silang dengan sudut kecil, harus
diadakan pada jarak paling sedikit satu panjang rel dari tempat tsb.
Menurut konstruksi baru wesel dengan bentuk rel ringan dapat bersambungan segera
dibelakang jarum wesel dengan bentuk rel berat.
Untuk ini lihat gambar A. B. No. 128, 129, 142, dan 151.
d. Pelat landas
Bidang atas, sebesar duduknya rel, miring dengan sudut 1 : 20 terhadap bidang
bawah.
16. Berbagai macam pelat landas tercantum pada daftar 13, sedang penggunaannya
tertera pada daftar 14.
17. Untuk mendapatkan perlebaran sepur pada busur, maka pelat landas OR 1926 −
OE 1910 untuk bantalan baja, berturut-turut untuk rel 2 dan rel3, masing-masing terdiri
atas bentuk no. 1, 2 dan 3. No. 1 dipakai pada lebar sepur 1,067 m. Dengan pelat landas
No. 3 diperoleh perlebaran sebesar 15 mm.
Tiga macam pelat landas OR 1920 dan OE 1910 mempunyai panjang dan lebar
yang sama.
e. Tirepon
Daftar 10
Pasal 16
Pemeliharan bangunan atas
1. Rel harus utuh dan tidak menunjukkan retak-retak. Rel yang patah atau retak harus
segera diganti. Jika belum sempat segera dikerjakan, maka rel segera harus disangga pada
tempat yang patah dengan menempatkan bantalan dibawahnya dan bila perlu dengan
penggeseran bantalan-bantalan di sebelahnya.
2. Pencegahan aus yang berat pada rel dalm busur harus dilakukan dengan memasang
rel paksa pada isi rel dalam.
3. Didalam terowongan badan dan kaki rel hendaknya dicat dengan parafin. Begitu pula
rel di emplasemen yang berada dibawah atap di antara peron-peron atau didalam
perkerasan jalan lintas dan pada tempat-tempat dimana dapat timbul karat yang
berat.
4. Sisi dalam dan atas dari kepala rel dari dua rel yang bersambungan harus rata satu
sama lain.
Menyesuaikan bentuk dengan mengikir hnaya diperkenankan, jika tiada cara lain.
5. Renggang antara ujung rel selalu harus ada. Renggangnya pada rel pendek tidak
melampaui 9 mm dan tidak bileh kurang daripada 1 mm. Renggang yang wajar
ditentukan dalam pasal 15 ayat 9 (daftar B). Jika renggang rel tidak cukup hingga rel
tidak dapat memuai karena panas matahari, atau jika ujung rel tsb. menjadi tertekan rapat
kerna rel bergerak memanjang, keadaannya harus diperbaiki dengan menderek relnya
kejurusan sambungan-sambungan yang terlalu renggang, sehingga semua renggang
sesuai dengan yang ditentukan.
6. Pelat penyambung harus menjepit rel dengan baik dan tidak boleh terlalu aus. Setelah
ausnya menjadi demikian besar, sehingga dengan mengencangkan baut penyambung-
baut penyambung pelat penyambung tetap tidak menjepit rel dengan cukup, maka hal
yang demikian di laporkan kepada Ikd. Pelat penyambung yang bengkok dan retak harus
diganti.
8. Jika rel tidak dapat cukup memuai, maka ada bahaya bahwa jalan k.a. akan cepat
(membengkok mendatar) dan harus diusahakan dengan sedikit mengendurkan baut
penyambung-baut penyambung dan melumas bidang-bidang jepitan antara pelat
penyambung dan rel dengan minyak lumas, supaya rel dapat bergerak dengan bebas.
Terlebih-lebih pelat penyambung Haarman menghendaki pengamatan perihal ini ;
membersihkan dan melumas bidang-bidang jepitan perlu sekali pada waktu penyetelan
dikerjakan.
Panjang gagang dari kunci baut penyambung adalah 45 cm seperti tertera dalam
lembar 18 dan 19 dari album untuk penambat-penambat baja. Perpanjangan dilarang.
9. Dalam keadaan biasa letak sambungan kedua belah sepur harus siku-siku satu sama
lain. Penyimpangan paling besar tidak boleh lebih daripada 20 mm untuk rel 6.80 m, 30
mm untuk rel panjang 10.20 m, 35 mm untuk rel panjang 11.9m dan 40 mm untuk rel
panjang 13.60 m.
Untuk memperbaiki letak sambungan-sambungan pada suhu rata-rata, renggang ujung rel
dapat diperbesar sampai 8 mm atau diperkecil sampai 4 mm untuk rel dari 6.80 m dan
diperkecil sampai 5 mm untuk rel dari 10.20 m − 11.90 m dan 13.60 m.
Sambungan rel pada jalan lintas sedapatnya dihindarkan.
10. Pelat landas harus seluruhnya terletak diatas bantalan, yang bila perlu harus diratakan
setempat.
11. Paku rel dan tirepon harus berkedudukan teguh. Pada waktu meneguhkan pakurel
yang lepas, bantalan harus ditekan rapat pada kaki rel.
Tirepon boleh dipukul dengan palu.
15. Jika penambat baru harus dipasang pada bantalan yang telah dipakai, maka bekas
lubang harus ditutup dulu dengan pasak jati yang terlebih dulu diter.
Sedapatnya pemakuan baru dilakukan pada tempat lain pada bantalan yang tak
bekas lubang. Pasak demikian juga dipergunakan pada alat penambat yang longgar dan
tidak dapat diteguhkan lagi, meskipun bantalanya masih agak baik.
16. Bantalan-bantalan kayu dan baja harus duduk pada balas dan terdandang sepanjang
bantalan. Pendandangan yang paling keras dilakukan dibawah rel. Terlebih-lebih pada
tempat-tempat yang menyambung bangunan hikmat-bangunan hikmat dsb., dimana sepur
tanpa perantaraan balas disangga oleh besi kayu atau batu, pendandangan dari bantalan-
bantalan harus sangat diperhatikan.
17. Lebarsepur harus diperiksa secara teratur dengan mal sepur yang telah diperiksa
ukuranya dan ditera.
Penyimpangan-penyimpangan kurang daripada 2 mm dibawah dan 5 mm diatas
lebar yang ditentukan tidak perlu segera dibetulkan.
18. Penyimpangan dalam miringnya rel, yang dapat diketahui dari meloncatnaya bidang
jalan roda berkilat pada kepala rel, harus dibetulkan dengan memperbaiki bidang
bantalan.
Perubahan bidang bantalan harus dibatasi sekecil-kecilnya.
Busur, terutama yang berjari-jari kecil, harus secara berkala diukur anak panahnya
antara dua jarak tertentu (umumnya 2 x 10 m) dan diperbaiki (untuk ini lihat R.13 jilid I).
Ikd menetapkan, bilamana busur harus ditetapkan kembali dengan teodolit.
20. Pengakatan sepur yang sedang dalam pemakaian tidak boleh lebih daripada 10 cm
sekaligus tiap kali, dan harus diadakan landai peralihan sekurang-kurangnya 20 m yang
terdandang baik. Kedua belah sepur harus diangkat bersama-sama dan kemudian seluruh
panjang bantalan didandang sekaligus.
Pada sepur lurus kedua belah sepur harus diangkat sampai kedudukan tinggi yang
sama ; pada busur harus dipertahankan selisih tinggi antara rel dalam dan rel luar, yang
telah ditetapkan.
Jika rel yang sebelah diangkat lebih tinggi daripada yang lain, sehingga selisih
tinggi yang ditetapkan sementara belum tercapi, maka sebelum kereta api lewat, pada rel
yang terletak paling tinggi harus diberikan landai peralihan sepanjang paling sedikit 600
kali selisih tinggi antara kedua rel.
12. Di bagian lurus kepala rel dari kedua belah sepur harus sama tinggi bilamana
diukur siku-siku terhadap sumbu sepur. Dalam busur pertinggian rel yang ditetapkan
harus ada. Petinggian ini harus teratur sepanjang busur peralihan, dan bila tanpa busur
peralihan, harus teratur sepanjang bagian lurus yang menyambung.
Pada jalan k.a. yang terpelihara baik, tidak boleh ada kesalahan letak tinggi rel lebih
daripada 5 mm, Pada 3 titik dalam bidang abcd (lihat skets dibawah):
Skets
Titik keempat tidak boleh menyimpang dari bidang rata tsb. Lebih dari pada 7 mm untuk
petak jalan yang boleh dilalui dengan kecepatan lebih daripada 45 km/jam dan 10 mm
untuk petak jalan yang dilalui dengan kecepatan kurang daripada 45 km/jam.
Jika angka 7 naik sampai 15 mm atau lebih, maka petak jalan dianggap
membahayakan perjalanan kereta api dan harus diusahakan pengurangan kecepatan dan
segera dilakukan perbaikan. Hal ini berlaku pula untuk kenaikan angka dari 10 sampai 15
mm atau lebih.
Penyimpangan titik keempat dari bidang rata yang melalui a, b, dan c didapatkan dengan
15 mm pada jarak 3 m adalah sama dengan satu lain. Penyimpangan 15mm pad jarak 3 m
adalh sama dengan satu landai 1/200 dari rel kanan terhadap rel kiri atau sebaiknya, yang
dianggap membahayakan.
22. Baik tidaknya kedudukan sepur harus dinilai terutama dari tiada atau adanya kejutan
dan goyangan pada waktu dilalui kereta api tercepat yang melewati petak jalan tsb. Dan
berdasarkan hal tsb. Dilakukan perbaikan.
Ikd kemudian menetapkan lebih lanjut untuk petak-petak jalan mana kedudukan
tinggi rel tiap 3m harus diukur dengan alat penjipat datar.
Wesel
a. Wesel dengan sudut 1: 10 berlidah putar untuk rel no.2, gambar terhadap A no. 135.
b. Wesel dengan sudut 1:10 berlidahpegas dan penampang berbentuk topi untuk rel no.
2.
c. Wesel dengan sudut 1:10 berlidah pegas untuk rel no. 2, no. 3 dan no. 14, gambar
masing-masing tertanda AB no. 62, A no. 213 dan A no. 82.
d. Wesel dengan sudut 1 : 8 berlidah pegas untuk rel no. 2 dan no. 3 gambar masing-
masing tertanda AB no. 6, A no. 218a
e. Weseldengan sudut 1 : 12 berlidah pegas untuk rel no. 14, gambar tertanda AB no.
80.
f. Wesel keluar dengan sudut 1 : 14 berlidah pegas untuk rel no. 3, gambar tertanda A
no. 224.
g. Wesel sisip 1 : 10 terdiri dari wesel kanan dan kiri disusun demikian rupa sehingga
gerak lidah dari yang satu berada sedekat mungkin pada gerak lidah yang lain untuk
rel no. 2 dan no. 3, gambar masing-masing tertanda A no. 7 dan A no.214
h. Wesel Inggris untuk sudut 1 : 10 berlidah pegas untuk rel no. 2 dan rel no. 3,
gambar tertanda A no. 185 dan A no. 225.
2. Di tiap kantor Ikd harus tersedia gambar-gambar lengkap dari semua macam wesel
yang terpasng di daerah inspeksinya.
3. Pemeliharan wesel.
Balas, terutama pada bantalan baja, harus bermutu baik, pendandangan bantalan harus
dilakukan dengan perhatian khusus. Semua penambat harus berputar kencang atau
terpukul sehingga teguh. Lidah harus melekat tepat pada rel lantak. Perlengkapan
pengunci lidah harus dapat memegang erat lidah pada rel lantak. Piringan-piringan
dibawah harus berkedudukan teguh dan lidah-lidah berkedudukan baik pada piringan tsb.
Poros putar dari lidah putar harus diputar erat dan diminyaki, pengunci dipasang
tepat dan pengikat dibengkokkan terbuka. Sisi dalam dari lidah dan rel yang
bersambungan dengannya pada akarlidah harus membentuk satu garis lurus, yang satu
tidak boleh menonjol daripada yang lain. Ujung lidah putar pada akarlidah tidak boleh
dapat digeser. Pembalik wesel harus duduk teguh semua titik putaran dan bagian-bagian
yang lain bergerak diminyaki.
Pada wesel yang terlajan pusat diantara bantalan dibawah lidah dipasang lantai dari
lapisan batu lapis untuk mencegah adanya pasir atau kerikil diatas piringan-piringan.
Gagang sinyal, jika ada, harus tegak lurus, tebeng arah dan bidang-bidang lentera
harus sejajar atau siku-siku terhadap sepur.
Bantalan dibawah pembalik weel kearah memanjang tidak boleh miring dan
sepanjangnya harus terdandang baik.
Nomor wesel harus tampak dengan jelas. Perubahan nomor weel sedapatnya harus
dicegah dan tidak boleh terjadi, keculali atas perintah atau atas persetujuan KE.
Jarum wesel harus terlambat kuat dan tidak boleh demikian ausnya, sehingga terasa
goncangan bila dilalui kereta api. Okd menempatkan bilamana jarum wesel harus dibalik
atau diganti. Jarum- jarum wesel bekas sepur kereta api sering masih dapat dipergunakan
disepur-sepur lain pada emplasemen.
Penambatan yang kokoh dari rep paksa dan kedudukannya yang tepat tehadap jarum
wesel harus diamati dengan seksama. Keseluruhan wesel harus dilistring baik. Hal ini
dapat diketahui, pada keadaan wesel disetel kearah sepur lurus, dengan merentangkan
benang dan diteliti apakah bagian dari rel lantak yang tertekuk, rel penghubung jarum dan
rel belakang jarum merupakan satu garis lurus.
Wesel harus terletak pada bidang datar atau jika jalan kereta api berlandai, harus
berada dibidang landai tersebut. Lidah wesel tidak boleh diletakkan dalam landai
peralihan.
Pertinggian sepur ditiadakan pada busur dalam wesel. Jika suku-suku wesel harus
diperbaharui maka Ikd dan Iks menetapkan apakah suku-suku lain yang berhubungan
juga harus diganti, atau dipandang cukup dengan sedikit perubahan pada suku-suku yang
baru untuk menjamin keserasian hubungan.
Pada pergantian lidah, rel lantak yang bersangkutan biasanya juga diganti.
4. Untuk menjamin kedudukan wesel, dapat dipasang berbagi macam kunci wesel (kunci
jamin dan clauss) sper, grende, penunjuk arah wesel, sekat dst.
5. Untuk memperteguh kedudukan lidah wesel, dapat dipasang berbagai macam kunci
lidah wesel (pengunci kuku atau pengunci siku, pengunci Schnabel & Hennig), sehingga
terjamin tidak akan berubahnya kedudukan lidah terhadap rel lantak.
Lihat R. 13 jilid I
6. Lebar sepur, jarak jarum wesel ke relpaksa dan lebar macam-macam alur harus
diperiksa secara teratur dan harus dibuat laporan menurut bentuk-bentuk yang telah
ditetapkan untuk maksud tsb. Tiap tiga bulan sekali semua wesel di spur yang dilewati
kereta api harus mendapat giliran periksaan.
Penyimpangan ukuran lebih besar daripada yang diperkenankan harus diperbaiki,
jika perlu dengan bantuan bagian sinyal, jika dipergunakan wesel yang bersangkutan
dalam pemeliharaan bagian sinyal. Terutama harus diperhatikan, supaya jarak yang
ditetapkan antara jarum dan sisi dalam rel paksa selalu terpelihara.
Wesel yang baru dipasang atau dipindahkan tidak boleh dilalui, sebelum Dk
mengukurnya dan sebelum ukuran-ukurannya sesuai dengan yang ditentukan. Dari
pengukuran ini harus dibuat dan dikirim laporan.
7. Wesel yang menyambung tepat pada belakang jarum wesel jurusan sepur bengkok
dari suatu wesel, ujung-ujungnya mendapat lebar sepur yang sesuai, tergantung dari
konstruksi wesel yang berada didepanya.
Bab III
Bangunan-Bangunan lain
Pasal 18
Jalan lintas
1. Lebar jalan lintas dalam keadaan pintu terbuka, atau tanpa pintu, harus kira-kira
sama dengan lebar perkerasan jalan dari yang bersangkutan. Didalam kota masing-
masing keadaan ditinjau tersendiri.
4. Untuk jalan lintas yang boleh dilalui kendaraan tetepi tidak dijaga harus dijamin
adanya pemandangan bebas. Pemnadangan bebas dianggap cukup, jika dari semua tempat
pada jalan umum dalam jarak 30m atau kurang dari jalan silang dengan jalan kereta api,
dapat dilihat bebas kedua jurusan jalan kereta api
sejauh :
500 m untuk jalan kereta api kelas I;
400 m untuk jalan kereta api kelas II dengan kecepatan paling tinggi 59 km/jam.
Untuk jalan kereta api kelas II dengan kecepatan puncak 45 km/jam jarak-jarak
tsb. Masing-masing 25 dan 300 m, dan untuk kecepatan puncak 30 km/jam masin-masing
20 m dan 200 m.
Dalam gambar 16, jarak-jarak tsb. dilukiskan. Oleh mentri dalam keadaan luar biasa
dapat ditetapkan jarak-jarak lain. Sepanjang jalan lintas tidak boleh dipasang pagar dari
tumbu-tumbuhan
5. Pada jalan lintas umum yang tidak dijaga dan boleh dilalui kendaran, sebelah kanan
dari masinis yang akan melewati, harus ditempatkan tebeng dengan tulisan ,,semboyan
35”.
Penempatannya, dari jalan silang, dengan jarak :
500 m untuk kecepatan kereta api lebih daripada 30 km/jam dan, 150 m untuk kecepatan
paling tinggi.
8. Pada jalan lintas yang tidak dijaga dan boleh dilalui kendaraan, harus pula
ditempatkan papan peringatan.
Jalan lintas
1. Lebar jalan lintas dalam keadaan pintu terbuka, atau tanpa pintu, harus kira-kira
sama dengan lebar perkerasan jalan dari yang bersangkutan. Didalam kota masing-
masing keadaan ditinjau tersendiri.
4. Untuk jalan lintas yang boleh dilalui kendaraan tetepi tidak dijaga harus dijamin
adanya pemandangan bebas. Pemnadangan bebas dianggap cukup, jika dari semua tempat
pada jalan umum dalam jarak 30m atau kurang dari jalan silang dengan jalan kereta api,
dapat dilihat bebas kedua jurusan jalan kereta api
sejauh :
500 m untuk jalan kereta api kelas I;
400 m untuk jalan kereta api kelas II dengan kecepatan paling tinggi 59 km/jam.
Untuk jalan kereta api kelas II dengan kecepatan puncak 45 km/jam jarak-jarak tsb.
Masing-masing 25 dan 300 m, dan untuk kecepatan puncak 30 km/jam masin-masing 20
m dan 200 m.
Dalam gambar 16, jarak-jarak tsb. dilukiskan. Oleh mentri dalam keadaan luar biasa
dapat ditetapkan jarak-jarak lain. Sepanjang jalan lintas tidak boleh dipasang pagar dari
tumbu-tumbuhan
5. Pada jalan lintas umum yang tidak dijaga dan boleh dilalui kendaran, sebelah kanan
dari masinis yang akan melewati, harus ditempatkan tebeng dengan tulisan ,,semboyan
35”.
Penempatannya, dari jalan silang, dengan jarak :
500 m untuk kecepatan kereta api lebih daripada 30 km/jam dan, 150 m untuk kecepatan
paling tinggi.
6. Pada jalan lintas yang tidak dijaga dan boleh dilalui kendaraan, harus pula
ditempatkan papan peringatan pada sebelah kanan jalan umum kearah jalan lintas sejauh
25 m dari sumbu sepur.
Papan peringatan ini didahului denga papan peringatan pendahuluan yang juga
ditempatkan sebelah kanan jalan, sejauh 150 m dari jalan lintas (pasal 9 dan 30 dari S.V.)
Lihat gambar 17.
Lihat R. 13 jilid I, dan album ,,tanda-tanda”.
7. Lebar jalan lintas yang tak terjaga, kecuali yang hanya diperuntukkan lalulintas
orang, di lintas-lintas yang dipagar, harus dibatasi dengan memasang perintang ternak
yang menghubungkan pagar sebelah kanan dan kiri jalan kereta api.
9. Pada jalan lintas yang dijaga, jalan umum yang terletak dalam jarak 2.50 m dari
sumbu sepur, pemeliharaannya dilakukan olek PNKA.
Pasal 19
Jalan dan halaman
1. Jalan masuk ke halaman stasiun dan tempat perhentian, yang telah selesai dibuat
oleh PNKA, pengurusanya diserahkan kepada Daerah tingkat I, Daerah tingkat II,
Kotapraja atau Daerah tinggat III.
Pada batas jalan masuk dan halaman dipasang papan yang menunjukkan batas
pemerliharaan. Halaman sampai batas tsb. dipelihara dan dibiayai PNKA.
Dalam keadaan tertentu pemeliharaan. Halamanpun menjadi tugas Kotapraja.
2. Gedung dan rumah dinas harus selalu dalam keadaan terpelihara baik, juga mengenai
pandangan luarnya (pasal 57 dan 111 dari S.V.). Satu kali tiap tahun Dk harus
mengadakan perikasaan keadaan konstruksi kayu yang tidak tampak dari luar dan
kemuadian mengirimkan laporan.
Mengenai pemeliharaan rumah dinas dan kewajiban para penghuni diuraikan dalam
R. 24 jilid III. Dalam R. 13 jilid I dicantumkan mengenai peraturan pemeliharaan
gedung-gedung.
Pasal 21
Berbagai kelengkapan stasiun
1. Alat pemutar
Poros alat pemutar dan rel pengantar roda harus berpondamen yang kuat. Rel
pengantar harus betul-betul mendatar. Lantai alat pemutar harus tahan air. Kolam alat
pemutar harus dapt membuang air dengan baik.
2. Jembatan timbang
Pemeliharaan dan pemeriksaan berkala jembatan timbang dilakukan oleh kepala
depo dan jika perlu dapat meminta bantuan kepala Sk.
Perawatan saluran pembuangan air, tembok bak dan rumah timbang diselenggarakan
oleh pegawai Jalan dan Bangunan.
Sepur-sepur yang bersambungan harus didandang dengan baik dan harus berada
pada tinggi yang seharusnya.
Lihat juga I.6 jilid I bab XXI.
3. Persedian air.
Ketel-uap, pompa dan motor untuk keperluan persedian air dilayani dan dipelihara
pegawai Traksi.
Pemeliharaan baik untuk air, saringan, pipa-pipa dengan alat-alat penutupnya dan
kerat-kerat air dilakukan pegawai Jalan dan Bangunan.
Pasal 22
Saluran atas telekomunikasi
3. Bilamana diterima telegram gangguan atau lerlihatnya semboyan 28 atau 29, maka
Dk dan pegawainya berkewajiban segera mengambil tindakan untuk pembetulan menurut
pedoman-pedoman teknis yang tercantum dalm R. 13 jilid I (lihat pad R. 20).
Bab IV
Berlakunya peraturan
Pasal 26
Berlakunya peraturan