Sie sind auf Seite 1von 15

PSYCHOSOCIAL IMPACTS ON UNDERAGE CHILDREN VICTIMS OF

SEXUAL ABUSE

ABSTRACT

Foreword: Sexual abuse on children is defined as physical and non physical sexual behavior by
people who are older or have superior power over the victim and aim to satisfy the doer’s sexual
desires. The psychological impact that can be suffered by the victims include mental trauma, fear,
shame, anxiety, and even desired or attempted suicide. In addition, the social impacts that may be
experienced are cynical treatments from the surrounding communities, fear of involvement in
society, isolation, and so on.
Case Report: A mother, CF, found her 5-year-old daughter, RS, was wringing her own breasts in
October 2014. Intially, CF had no suspicious thoughts, but after another similar incident repeated
and CF found some unnatural white spots on her daughter’s underwear panties, CF immediately
asked RS about it and demanded a story from her. RS then explained that at her grandmother's house,
IF, her vagina was touched by her uncle with the initials FR. Through the explanations of RS, in
carrying out his actions, FR was assisted by her other uncle, namely FD. After receiving an
explanation from RS, CF reported the case to the East Jakarta District Police.
Discussion: From existing case reports and literature reviews, it can be explained that many cases
of sexual abuse on children were carried out by the closest entities to the victims, in this case the
uncles of the victim. Lack of supervision and educational informations from parents can be two of
the factors that strengthen the occurrence of sexual abuse in children. In the case of RS, her
biological mother, CF, did not live with her so that the supervision and educational informations
from her parents were very minimal and inadequate. Through an examination with a psychologist,
it is explained that RS experiences anxiety, fear, trust issues in people, emotional instability, and the
need for security. These things can be an obstacle for RS in socializing both now and in the future.
Conclusion: Sexual abuse that occurs in children can cause psychosocial effects that are large and
can hamper the child's ability to socialize. The role of parents and the closest environment is very
influential for children who are victims in undergoing their recovery after experiencing sexual
violence.

Keyword: domestic violence, child sexual abuse.

1
DAMPAK PSIKOSOSIAL KORBAN ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT
KEKERASAN SEKSUAL

ABSTRAK

Pendahuluan: Kekerasan seksual pada anak didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik
maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap korban dan bertujuan
untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Dampak psikologi yang dapat diderita korban meliputi
trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri. Selain itu,
dampak sosial yang mungkin dialami yaitu perlakuan sinis dari masyarakat di sekelilingnya,
ketakutan terlibat dalam pergaulan, terkucilkan, dan sebagainya.
Laporan Kasus: Seorang ibu berinisial CF mendapati anaknya RS yang berusia 5 tahun sedang
meremas-remas payudaranya sendiri pada bulan Oktober 2014. Pada awalnya, CF tidak mencurigai
apapun, tetapi setelah kejadian yang sama terulang dan CF menemukan bercak putih tidak wajar
pada celana dalam RS, CF segera menanyakan hal tersebut pada RS dan memintanya bercerita. RS
pun menjelaskan bahwa di rumah neneknya, IF, vaginanya disentuh oleh pamannya yang berinisial
FR. Melalui penjelasan RS, dalam melakukan tindakannya, FR dibantu oleh paman RS yang lain,
yaitu FD. Setelah menerima penjelasan dari RS, CF melaporkan kasus tersebut ke Polres Jakarta
Timur.
Diskusi: Dari laporan kasus yang ada dan tinjauan pustaka yang dilakukan, dapat dijelaskan bahwa
kasus kekerasan seksual terhadap anak banyak dilakukan oleh orang terdekat korban, dalam kasus
ini yaitu paman dari korban. Kurangnya pengawasan dan edukasi dari orang tua bisa menjadi salah
satu faktor yang memperkuat terjadinya kekerasan seksual pada anak. Dalam kasus RS, ibu
kandungnya, CF, tidak tinggal bersama RS sehingga pengawasan dan edukasi orang tua terbilang
sangat minim. Melalui pemeriksaan dengan psikolog, dijelaskan bahwa RS mengalami kecemasan,
ketakutan, krisis kepercayaan terhadap orang, emosi labil, dan kebutuhan rasa aman. Hal-hal
tersebut dapat menjadi penghambat RS dalam bersosialisasi baik di masa sekarang maupun di masa
mendatang.
Kesimpulan: Kekerasan seksual yang terjadi pada anak dapat menimbulkan dampak psikososial
yang besar dan dapat menghambat kemampuan anak tersebut dalam bersosialisasi. Peran orang tua
dan lingkungan terdekat sangat berpengaruh bagi anak yang menjadi korban dalam menjalani masa
pemulihannya setelah mengalami kekerasan seksual.

Keyword: domestic violence, child sexual abuse.

2
PENDAHULUAN

Kekerasan seksual pada anak didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik
maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap
korban dan bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Kekerasan
seksual pada anak merupakan tingkat kekerasan yang paling tinggi dibandingkan
dengan kekerasan fisik dan psikologis. Kekerasan pada anak di Indonesia sampai
dengan September 2006 telah terjadi 861 kasus, 60% diantaranya adalah kasus
kekerasan seksual pada anak. Indonesia disorot sebagai negara yang memiliki
perlindungan yang sangat lemah terhadap anak (Komnas Perlindungan Anak,
2006). Anak perempuan dan laki‐laki memungkinkan menjadi korban kekerasan
seksual. Anak perempuan maupun laki‐laki korban kekerasan seksual mengalami
sejumlah masalah yang sama antara lain trauma fisik dan psikologis yang
berkepanjangan, kehilangan semangat hidup, membenci lawan jenis dan memiliki
keinginan untuk balas dendam. Laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak
(Komnas PA) menyatakan 80% anak yang mengalami tindak kekerasan berusia di
bawah 15 tahun. Bentuk perlakuan salah terhadap anak‐ anak Indonesia meliputi
fisik, emosional, sosial dan seksual. Pelaku kekerasan seksual pada anak ini
umumnya adalah orang yang dikenal anak (66%) termasuk orangtuanya sendiri
(7,2%).

Dampak kekerasan seksual pada anak dapat berupa fisik, psikologis, maupun sosial.
Dampak secara fisik dapat berupa luka atau robek pada selaput dara. Dampak
psikologi meliputi trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan
atau percobaan bunuh diri. Dampak sosial misalnya perlakuan sinis dari masyarakat
di sekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan, terkucilkan, dan sebagainya.

LAPORAN KASUS

Seorang Ibu berinisial CF (ibu korban) mendapati anaknya yang berinisial RS


(korban) berumur 5 tahun meremas-remas payudaranya sendiri saat sedang

3
menonton TV pada bulan Oktober 2014 dan pada saat itu, CF tidak curiga dan
mengira RS hanya mengalami gatal biasa. Namun, pada tanggal 25 Januari 2015
CF, saat berlibur ke rumah orang tuanya yang berinisal IF (nenek korban), CF
melihat RS meremas-remas payudaranya kembali. Saat ditanya, RS kaget dan diam
saja. Kemudian, pada keesokan harinya, CF menemukan bercak putih tidak wajar
pada celana dalam RS. CF menanyakan kepada korban, “Pernah ada yang nakalin
popo/vagina RS gak?” lalu RS menjawab, “Ya, popo aku dipegang-pegang Om FR
(paman korban)”.

Setelah mendapat jawaban dari anaknya, CF meminta RS untuk menceritakan


kejadian tersebut. Kejadian ini terjadi pada sekitar bulan September sampai
November 2014 saat ibu korban menitipkan anaknya RS untuk tinggal bersama
neneknya IF di mana ada dua pamannya yaitu FD dan FR di rumah yang sama. RS
dititipkan kepada IF karena CF bercerai dan sibuk bekerja. Pada satu malam, RS
sedang menonton TV bersama neneknya yang sudah teridur. Kemudian RS
dipanggil FR (paman korban) untuk naik ke kamarnya. RS menuruti pamannya dan
di kamar FR, ternyata sudah ada terdakwa FD (paman korban). FR lalu
memperlihatkan ‘film pacaran/ porno’ kepada RS dan setelah itu, FR membuka
celana korban sambil mengancam, “Awas teriak nanti Om kekap.”. Terdakwa FD
ikut memegangi kaki RS dan FR memegang vagina korban, lalu memasukkan
jarinya kelubang vagina RS. RS diam dan ketakutan karena diancam akan ditabok
dipukul dan disentil bila mengadu ke neneknya, IF.

Keesokan paginya, RS dipanggil kembali oleh FR ke kamarnya dan RS disuruh


berbaring lalu celananya dibuka oleh FR. Setelah itu, FR membuka celananya dan
tidur disebelah RS, selanjutnya FR memegang dan memasukan jari ke lubang
vagina RS. Kemudian, terdakwa FD memberi bantuan kepada FR dengan
memegang kaki RS. Saat itu, FR berkata, “Mampus lu.” dan FD berkata, “Rasain
lu.” kepada RS. Atas kejadian ini, CF dan GG (ayah tiri korban) melaporkan
terdakwa ke Polres Jakarta Timur.

4
Setelah dilakukan visum et repertum pada RS di Rumah Sakit Bhayangkara pada
Februari 2015, ditemukan pada pemeriksaan fisik khusus alat kelamin yaitu robek
lama selaput dara arah jam tiga sampai dasar akibat kekerasan tumpul. Pada
pemeriksaan ke psikolog, didapatkan hasil kecemasan, ketakutan, krisis
kepercayaan terhadap orang, emosi labil, dan kebutuhan rasa aman.

Menurut beberapa saksi keluarga dan kerabat, FR, FD, dan CF memang tidak
harmonis dan kerap kali terlibat cekcok. CF dulu pernah dipukuli oleh FR dan FD
karena menagih hutang kepada FD dan FR. GG pun memukul balik FR dan FD
karena tidak terima akan perlakuan terhadap istrinya. Kejadian ini sudah dilaporkan
ke polisi, tetapi keluarga memutuskan untuk tidak melanjutkan ke jalur hukum.

DISKUSI

1. Kekerasan Seksual pada Anak

Menurut The National Center on Child Abuse and Neglect (1985, dikutip oleh
Tower, 2002), kekerasan seksual pada anak didefinisikan sebagai perilaku seksual
secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan
terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban
mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap
dirinya. Mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan
perasaan lain yang tidak menyenangkan.

Kekerasan seksual pada anak tidak terbatas pada tindak perkosaan (child rape).
Bentuk penganiayaan seksual secara fisik, antara lain sebagai berikut:
a. Menyentuh area intim atau kemaluan anak untuk memenuhi gairah pelaku.
b. Membuat anak menyentuh bagian privat atau kemaluan pelaku.
c. Membuat anak ikut bermain dalam permainan seksualnya.
d. Memasukkan sesuatu ke dalam kemaluan atau anus anak.

5
Sedangkan penganiayaan non fisik di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Menunjukkan hal-hal yang bersifat pornografi pada anak, baik video, foto,
atau gambar.
b. Menyuruh anak berpose tidak wajar.
c. Menyuruh anak untuk menonton berbagai hal yang berhubungan dengan
seks.
d. Mengintip atau menontoni anak yang sedang mandi atau sedang berada di
dalam toilet (voyeurism).

Tower (2002) membedakan jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya.


Pertama adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga.
Kemungkinan pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah dengan korban.
Perbuatan ini dikenal sebagai incest; hal inilah yang terjadi pada kasus RS di mana
sejatinya anak berada pada tempat yang aman yaitu lingkungan keluarga sendiri.
Kedua, kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga.
Sebagian besar pelaku adalah pria dan merupakan orang yang cukup dikenal oleh
korban, misalnya tetangga, guru, sopir, dan pengasuh.

Menurut Hertinjung (2009), ada beberapa alasan mengapa anak sering kali menjadi
target kekerasan seksual yaitu; anak selalu berada pada posisi yang lebih lemah dan
tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang
rendah, kontrol dan kesadaran orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan
pada anak yang rendah, seperti yang terjadi pada kasus RS di mana RS tidak tinggal
bersama orang tua kandungnya sehingga pengawasan yang efektif tidak dapat
terlaksana.

Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu
saja, melainkan melalui beberapa tahapan. Pada tahap awal, pelaku akan membuat
korban merasa nyaman. Ia meyakinkan korban bahwa apa yang dilakukannya ‘tidak
salah’ secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kebutuhan anak akan kasih
sayang dan perhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya

6
dengan permainan dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku
dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.

Tahap kedua adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa
mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memaksa anak untuk
melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban
agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.

Tahap berikutnya adalah tahapan di mana korban mau menceritakan


pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai ia berusia dewasa atau menceritakan kepada orang yang
mempunyai kedekatan emosional dengannya sehingga ia merasa aman.

2. Dampak Psikososial pada Anak Korban Kekerasan Seksual

Dampak dari kekerasan seksual sangat bervariasi, salah satunya seperti yang
dikemukakan Alter-Reid dkk (1986). Dari penelitiannya tentang dampak pelecehan
seksual pada psikososial anak, akan mengakibatkan dampak negatif seperti
perasaan bersalah, rasa takut, depresi, self-esteem yang cenderung rendah,
kemampuan yang rendah dalam bersosialisasi, dan lain-lain. Psikososial yang
dimaksud di sini adalah suatu dampak dari hubungan yang dinamis dan saling
mempengaruhi, yaitu faktor psikologis dan faktor sosial. Kemudian, Kendall-
Tackett dkk (1993) juga mengemukakan bahwa anak yang mengalami kekerasan
seksual cenderung memiliki masalah dengan kecemasan, stress pasca-traumatis
(PTSD), depresi, self-esteem yang rendah, keluhan yang bersifat somatis, agresi,
perilaku seksual, dan perilaku yang cenderung merusak diri. Faktor psikososial
yang dapat terpengaruh oleh peristiwa kekerasan seksual dilihat dari dimensi afeksi,
kognisi, psikomotor, dan sosial.

Dari pemeriksaan psikologi pada korban RS, disimpulkan bahwa korban


mengalami kecemasan, ketakutan, krisis kepercayaan terhadap orang, emosi labil,

7
dan kebutuhan rasa aman. Hasil pemeriksaan yang ada menunjukkan bahwa
kejadian yang dialami korban dapat berpengaruh cukup buruk terhadap hubungan
korban dengan lingkungan sekitarnya baik di masa sekarang maupun di masa yang
akan datang. Jika tidak ditangani dengan baik, emosinya yang labil dan krisis
kepercayaannya terhadap orang dapat membuat korban sulit berbaur dengan
lingkungan sosial.

Korban kekerasan seksual yang berasal dari keluarga dengan status sosial rendah
biasanya kesulitan untuk mempertahankan batas-batas ruang personalnya. Tempat-
tempat yang seharusnya aman dan memfasilitasi tumbuh kembang anak menjadi
area yang mengancam dan membahayakan. Kepadatan dalam rumah, penggunaan
ruang secara bersama dan ketidaktersediaan ruang pribadi, tidak saja membuat anak
kehilangan kontrol atas dirinya sendiri tapi juga membuat batas-batas ruang
personal yang sebenarnya mereka miliki menjadi tidak berarti lagi. Anak mau tidak
mau harus menerima keberadaan orang lain di luar dirinya pada kondisi apapun.
Kondisi ini tentu menyulitkan individu untuk dapat menyeleksi siapa yang diijinkan
dan tidak diizinkan memasuki ruang personalnya. Selain itu, tidak adanya batas
pada ruang personal anak juga menyulitkan untuk mendeteksi atau mengetahui
motif dan orientasi orang lain terhadap dirinya karena jarak interpersonal tidak bisa
dibedakan.

Seperti pada kasus RS, pelaku kekerasan yang umumnya adalah orang yang telah
dikenal baik oleh korban maupun keluarga, membuat korban tidak sepenuhnya
menyadari bahaya yang mengancamnya. Sebelumnya, pada para pelaku ini anak
memilik jarak personal yang dekat. Namun, kedekatan jarak personal ini justru
digunakan oleh pelaku untuk melancarkan maksud buruknya. Akibatnya, anak
kehilangan keyakinan terhadap ruang personal yang dimiliki. Hal ini dapat
menimbulkan efek yang lebih buruk karena anak menjadi kehilangan kemampuan
untuk menentukan batas-batas ruang personalnya. Anak mungkin menjadi takut
untuk memiliki jarak intim atau jarak personal dengan orang lain hingga waktu
yang sulit ditentukan, yang dapat muncul dalam bentuk perilaku sosial yang kurang

8
sehat seperti kehilangan kepercayaan pada orang lain, menarik diri, merasa
kesepian, bahkan dapat mengarah pada gangguan perilaku dan emosi yang lebih
berat seperti kecemasan dan depresi (Hertinjung, 2009).

3. Pencegahan Terjadinya Kekerasan Seksual pada Anak

Salah satu cara untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak adalah
dengan membuka pengetahuan anak mengenai seksualitas. Anak perlu mengenali
tubuhnya sendiri dan mengetahui batasan bagian tubuh mana yang boleh disentuh
oleh dirinya, orang yang dekat dengannya, atau orang lain. Orang tua diharapkan
dapat menyampaikan pengetahuan ini agar anak memiliki kewaspadaan terhadap
dirinya sendiri. Selain itu, anak perlu dibiasakan untuk bersikap terbuka terhadap
orang tua. Keterbukaan ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan hasil dari
kualitas hubungan yang baik antara orang tua dan anak.

4. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia

Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi


anak dan hak-hak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi
secara optimal serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pelecehan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat
akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan anak mengalami
trauma yang berkepanjangan. Upaya perlindungan anak harus dimulai sedini
mungkin. Di Indonesia, kekerasan seksual pada anak dapat dihukum seperti dalam
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang termuat dalam Bab XII
yaitu mulai Pasal 77 sampai dengan Pasal 90 serta UU No. 39 tahun 1999 tentang
HAM Pasal 65 mengatur tentang adanya hak anak untuk mendapatkan
perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

9
Dalam UU No.23 tahun 2002 Pasal 88 mengatur adanya ketentuan pidana bagi
setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi ataupun seksual anak dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).

Pada kasus RS, pelaku yang merupakan pamannya sendiri dijatuhi dakwaan
sebagaimana diatur dalam UU RI no. 35 tahun 2014 Pasal 82 (1) pengganti UU RI
no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 56 ke-1 KUHP, yang
berbunyi: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).”

Mengacu pada pasal tersebut, dapat ditelaah ke pasal sebelumnya, yaitu UU RI no.
35 tahun 2014 Pasal 76E yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul.”

Kasus kekerasan seksual pada anak merupakan salah satu jenis kasus yang masuk
Berita Acara Persidangan (BAP); hasil putusan dari Mahkamah Agung tentang
kasus-kasus kasasi. Dalam BAP, berisikan tentang kasus-kasus yang telah naik
banding di pengadilan dan telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Dalam BAP,
banyak dijelaskan tentang bagaimana kasus itu terjadi, di mana kejadiannya, siapa
pelakunya, alasan melakukan perbuatan tersebut, dan hukuman yang diberikan
sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.

5. Konsep Perlindungan Anak terhadap Kekerasan Seksual dalam Islam

Anak merupakan mahluk ciptaan Allah SWT yang berhak dilindungi dari segala
bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak anak dari kekerasan baik

10
itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Kekerasan menurut hukum Islam ini
sulit dideteksi karena umumnya kekerasan tersebut tidak hanya mencakup pada
aspek fisik saja, melainkan juga non fisik; dan hal tersebut sudah dianggap sebagai
hal yang biasa terjadi.

Di dalam Al-Qur’an, sejumlah dalil Allah SWT mengajarkan bagaimana Islam


memandang kedudukan anak, yaitu:

1. Sebagai perhiasan dunia

Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi sholeh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan. (Q.S. Al Kahfi [18]: 46)

2. Sebagai pelengkap kehidupan

Artinya: dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada
Kami isteri-isteri Kami dan keturunananya Kami sebagai penyenang hati (Kami),
dan jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al Furqan [25]:
74)

3. Sebagai bentuk anugerah

11
Artinya: Maka aku katakan kepada mereka: Mohonlah ampun kepada Tuhanmu,
sesungguhannya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu
sungai-sungai. (Q.S. Nuh [71]: 10-12)

Berdasarkan beberapa ayat di atas, jelas bahwa kehadiran seorang anak seharusnya
menjadi sebuah anugerah dari Allah SWT. Sehingga orang tua selaku pemangku
berkewajiban untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Orang tua harus
mampu memberi rasa aman terhadap anak agar seorang anak bisa merasa nyaman
didalam lingkunga keluarganya sendiri.

Al-Qur’an dan hadist sebagai sumber hukum Islam (Fiqh) memang tidak mencakup
seluruh persoalan kekerasan, namun banyaknya ayat yang berbicara kedudukan
anak sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam sangat memberi perhatian terhadap
anak terutama pada kekerasan yang terjadi pada anak-anak.

Secara jelas, hukum perlindungan anak dalam Islam dapat dilihat dari hadist yang
artinya “Cukup berdosa seorang yang mengabaikan orang yang menjadi
tanggungannya.” (HR. Abu Daud Nasa’I dan Hakim). Hadist ini menjelaskan
tentang penelantaran terhadap anak, dengan demikian Islam melarang penelantaran
termasuk kekerasan terhadap anak. Korban tindak kekerasan seksual memiliki hak-
hak yang wajib ditegakkan. Rasa sakit hati, penderitaan, ketakutan, dan berbagai
macam dampak buruk yang menimpa dirinya setelah tindak kekerasan

12
mendapatkan perhatian yang serius dari hukum Islam. Tidak hanya larangan
penelantaran, korban juga tidak boleh diabaikan sendirian memperjuangkan nasib
yang menimpanya, namun wajib dijembatani oleh penegak hukum dalam
memperjuangkan haknya. Selain itu, Islam pun melarang umatnya untuk
mengucilkan korban kekerasan seksual dan tetap menerimanya di lingkungan
sosial.

KESIMPULAN

Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur tidak terbatas pada kekerasan fisik
saja, tetapi juga meliputi kekerasan non-fisik. Kebanyakan kasus kekerasan seksual
terhadap anak dilakukan oleh orang terdekat yang seharusnya dapat dipercaya oleh
anak tersebut. Selain dampak fisik, kekerasan seksual terhadap anak pun
meninggalkan dampak psikis dan dampak psikososial, diantaranya anak dapat
mengalami kecemasan, ketakutan, trauma, tidak percaya terhadap orang lain, emosi
tidak stabil, kepercayaan diri yang menjadi rendah, dan sebagainya. Secara umum,
pencegahan kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan dengan edukasi dini
dan pengawasan yang baik dari orang tua. Untuk mencegah terjadinya kekerasan
seksual dan untuk mencegah dampak yang lebih buruk, Islam telah memberi aturan
berupa perlindungan anak yang jelas dan larangan penelantaran bagi anak secara
keseluruhan maupun anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

SARAN

Peran keluarga, terutama orang tua, dan lingkungan sekitar memberi pengaruh
besar dalam perkembangan dan keseharian korban setelah kasus kekerasan seksual
terjadi. Orang tua dari anak korban pelecehan seksual sebaiknya lebih
mendampingi dan mengawasi anaknya. Anak juga sebaiknya diberi konseling agar
dapat kembali bersosialisasi dengan optimal di lingkungannya. Selain itu, keluarga
dan lingkungan sekitar seharusnya tidak mengucilkan korban dan memperlakukan
korban seperti anak seusianya tanpa ada stigma atau pandangan buruk tertentu.

13
UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur saya panjatkan pada Allah SWT karena dengan rahmat dan
ridha-Nya, saya dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas laporan kasus ini
dengan baik. Ucapan terima kasih saya berikan pada dr. Syukrini Bahri, Sp.PK
selaku tutor yang telah memberi bimbingan dan waktunya untuk kelompok agar
dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Terima kasih juga saya ucapkan kepada dr.
Ferryal Basbeth Sp.F DFM selaku pengampu, dr. Hj. R.W. Susilowati, M.Kes dan
DR. Drh. Hj. Titiek Djannatun sebagai koordinator blok elektif. Terima kasih
kepada LBH APIK yang telah memberikan kesempatan berkunjung,
mengumpulkan data, serta membahas data untuk laporan ini. Tak lupa, saya
ucapkan terima kasih kepada semua anggota kelompok 4 domestic violence atas
kerja sama dan dukungan dalam mengerjakan tugas laporan kasus ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Herdiana I dan Sakalasastra PP. 2012. Dampak Psikososial pada Anak Jalanan
Korban Pelecehan Seksual yang Tinggal di Liponsos Anak Surabaya.
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial Universitas Airlangga Surabaya,
1(02), Juni 2012.
Hertinjung, W.S. 2009. The Dynamic of Causes of Child Sexual Abuse Based On
Availability of Personal Space and Privacy. Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Humaira B, Diesmy, dkk. 2015. Kekerasan Seksual pada Anak: Telaah Relasi
Pelaku Korban dan Kerentanan pada Anak. Jurnal Psikoislamika
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 12(2).
Limyati, Maria Herlina. 2008. Kekerasan Seksual pada Anak: Fakta dan
Pencegahannya. Universitas Kristen Krida Wacana.
Noviana, Ivo. 2015. Kekerasan Seksual terhadap Anak: Dampak dan
Penanganannya. Jakarta: Kementerian Sosial RI.
Nurfatimah, Triana. 2016. Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan
Seksual dalam Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Skripsi pada Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pramasti I, Priyanto MA, Supriyati. 2010. Early Prevention Toward Sexual Abuse
on Children. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada, 37(1), Juni 2010:
1-12.
Tower, Cynthia Crosson. 2002. Understanding Child Abuse and Neglect 5th
edition. Boston: Allyn & Bacon.

15

Das könnte Ihnen auch gefallen