Sie sind auf Seite 1von 54

ISSN 2088-673X

e-ISSN 2597-8667

Diterbitkan oleh:
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LPPM)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN
Jl. Raya Cilegon Km 06, Pelamunan, Kramatwatu, Serang, Banten.
Telp/Fax : (0254) 232729 Email : lppm.stikesfa@gmail.com
www.lppm-stikesfa.ac.id
“Faletehan Health Journal” merupakan jurnal ilmiah yang memuat artikel yang relevan dengan isu-isu kesehatan
masyarakat, keperawatan, kebidanan, kesehatan klinis dan sosial baik berupa artikel hasil penelitian, artikel review
literature, atau artikel laporan lapangan (research report, literature review, field report).
Terbit empat bulan sekali pada bulan Juli, Nopember dan Maret.

Susunan Dewan Redaksi


FALETEHAN Health Journal

Ketua Dewan Redaksi :


Ahmad Jubaedi, SKM., MKM

Pelaksana Redaksi :
Wiwik Eko Pertiwi, SKM., MKM

Anggota Redaksi :
Ns. Ani Hariyani, S.Kep., M.Kep.
(Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan, Serang, Indonesia)
Ns. Delly Arffa Syukrowardi, S.Kep., MNS
(Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan, Serang, Indonesia)
Irsanti Collein, Ns. Sp. Kep. MB
(Politeknik Kesehatan Kemenkes RI, Palu, Indonesia )
Ns. Muhammad Zulfatul A’la, S.Kep., M. Kep.
(Universitas Jember, Indonesia)

Staf Redaksi:
Tika Yuliani, SKM

Alamat Redaksi FHJ :


Sekretariat LPPM STIKes Faletehan
Jl. Raya Cilegon Km 06, Pelamunan, Kramatwatu, Serang, Banten.
Telp/Fax : (0254) 232729 Email : FHJonlinejournal@gmail.com
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018)
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Ucapan Terima Kasih

Dewan Redaksi Faletehan Health Journal menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada para Mitra Bestari atas partisipasi dan penilaian terhadap artikel pada
Faletehan Health Journal Volume 5 Nomor 2, Juli 2018:

1. Ayu Prawesti, S.Kep., Ners, M.Kep. (Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia)


2. Etika Emiliyawati, M.Kep. (Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia)
3. Fauzul Hayat, SKM., MKM (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan, Serang, Indonesia)
4. Indah Wulandari, M.Kep. Ns. Sp.Kep.MB. (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan,
Serang, Indonesia)
5. M.G. Catur Yuantari, M.Kes., DR. (Universitas Dian Nuswantoro, Semarang, Indonesia)
6. Dini Rachmaniah, M.Kep., Ns. Sp.Kep.An. (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan,
Serang, Indonesia)

iii
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018)
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Daftar Isi

Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Anak Autisme


Ervon Veriza, Hendry Boy ……………………………………………………………………………………………………. 55-60

Case Study: Mengatasi Anemia pada Remaja Putri di Keluarga dengan Model
HEMA Coach (Health Education, Modifikasi PerilAku, dan Coaching)
Teti Rahmawati ……………………………………………………………………………………………………………………. 61-68

The Effectiveness of High Fidelity Simulation Towards Knowledge


and Skills in Health Education: Literature Review
Chiyar Edison S. …………………………………………………………………………………………………………………….. 69-76

Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Caring Perawat di Rumah Sakit
Sri Rahayu, Sulistiawati ………………………………………………………………………………………………………… 77-83

Hubungan Pengetahuan HIV/AIDs, Terapi Antiretroviral, dan Infeksi Oportunistik


Terhadap Kepatuhan ODHA dalam Menjalani Terapi Antiretroviral
Dikha Ayu Kurnia, Umi Solekhah …………………………………………………………………………………………. 84-89

Studi Kasus: Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial Pasca Pasung
Muhammad Fadly, Giur Hargiana ………………………………………………………………………………………… 90-98

v
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut


pada Anak Autisme

Ervon Veriza1*, Hendry Boy1

¹Prodi DIV Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes RI Jambi, Indonesia


*Corresponding Author: ervonveriza@gmail.com

Abstrak

Salah satu anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak autis, merupakan salah satu sumber daya bangsa Indonesia
yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek pembangunan tetapi juga sebagai
subyek pembangunan. Anak berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan yang bersifat khusus, seperti pelayanan
medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan
ketergantungan akibat kelainan yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mendalam tentang perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut di Sekolah Khusus Harapan Mulia Jambi Selatan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif menggunakan
indepth interview dengan triangulasi sumber yaitu orang tua/pengasuh, guru-guru dan psikolog yang membina di SLB
Harapan Mulia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada
anak autis tergantung pada ibu atau pengasuhnya. Berdasarkan faktor pendukung dalam perilaku pemeliharaan
kesehatan gigi yaitu ketersediaan sarana pelayanan kesehatan gigi dan mulut masih kurang. Sebagian besar informan
mencari pelayanan kesehatan gigi/dokter gigi yang sudah dikenal atau dipercaya, tidak ramai, tidak terlalu lama
antri/menunggu. Faktor pendorong/penguat perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada anak autis di
rumah adalah ibunya atau pengasuhnya, sedangkan di sekolah adalah guru pendampingnya.
Kata Kunci: Autisme, Kesehatan gigi dan mulut, Perilaku pemeliharaan

Abstract

Children with special needs is one of Indonesia's human resources whose quality must be improved in order to play a
role, not only as the object of development but also as the subject of development. Children with special needs need to
be identified and identified from the group of children in general, because they require special services, such as medical
services, special education and specific exercises aimed at reducing the limitations and dependence of the disorder
suffered, and foster self-reliance in the community. The purpose of this study was to obtain in-depth information about
dental and oral health care behavior in children with autism in Harapan Mulia Special School in South Jambi.
Qualitative research method using indepth interview with triangulation of source that is parent or caregiver, teachers
and psychologist who build in SLB Harapan Mulia. The results show that the behavior of maintaining good oral hygiene
in children with autism depending on the mother or caregiver. Supporting factors include the availability of dental and
oral health facilities are still lacking, most of the informants looking for dental services or dentists who are known or
trusted, not crowded so that children can also be comfortable and children not too long waiting. Reinforcing factor the
behavior of maintaining good oral hygiene in children with autism at home is his mother or caregiver, while in school is
a teacher companion.
Keywords: Autism, Health behaviour , Maintenance of oral and dental health.

55
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Pendahuluan anak normal. Anak berkebutuhan khusus tidak bisa


Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, menjalankan aktifitas kehidupan sehari-hari secara
2013) menyebutkan bahwa angka permasalahan normal sehingga perlu bantuan orang lain
gigi dan mulut di Indonesia mencapai 25,9 % atau disekitarnya. Hal ini sejalan dengan hasil
mengalami peningkatan 2,5 % dari Riskedas tahun penelitian Putri (2014), yang menyatakan bahwa
2007. Hal ini disebabkan banyak faktor tingkat kebersihan gigi dan mulut pada siswa-siswi
diantaranya adalah perilaku pemeliharaan SLB-A bertambah baik sesudah mendapat
kesehatan gigi dan mulut yang masih belum bimbingan penyikatan gigi disertai pembimbingan
konsisten/menetap sebagai perilaku yang langgeng. secara lisan pada setiap kunjungan pendidikan.
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut Menurut penelitian Indahwati, Vivie dkk, anak
diperlukan oleh semua elemen masyarakat, mulai berkebutuhan khusus merupakan anak yang
dari anak-anak sampai lansia, baik manusia dalam memiliki keterbatasan mental, fisik dan emosi
kondisi normal maupun yang berkebutuhan yang berbeda dengan anak normal, sehingga
khusus. Menurut WHO jumlah anak berkebutuhan mereka memerlukan bantuan dalam menjaga
khusus di Indonesia sekitar 7-10 % dari total kebersihan gigi dan mulutnya (Vivie, 2015).
jumlah anak. Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ) Menurut teori Lawrence Green, kesehatan
yaitu anak dengan keterbatasan fisik dan mental individu / masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor
yang memiliki keterbatasan kondisi fisik pokok yaitu faktor perilaku dan faktor diluar
perkembangan, tingkah laku atau emosi. perilaku (non-perilaku). Faktor perilaku ditentukan
Masalah sosial pada anak berkebutuhan oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi, faktor
khusus mempengaruhi kebutuhan pendidikan anak- pendukung dan faktor pendorong. Faktor
anak tersebut diantaranya adalah ABK memiliki pendukung bagi anak berkebutuhan khusus
pengetahuan yang masih kurang khususnya diantaranya yaitu penyediaan pelayanan kesehatan.
pengetahuan di bidang kesehatan gigi dan mulut. Ketersediaan pelayanan kesehatan bagi anak
Pengetahuan tentang cara memelihara kesehatan berkebutuhan khusus harus sesuai dengan
gigi yang rendah mendukung tingginya angka peraturan Kemenkes 2010 yang menyebutkan
karies pada anak berkebutuhan khusus. Hal ini bahwa pelayanan kesehatan bagi seluruh
berarti bahwa anak-anak berkebutuhan khusus masyarakat tanpa diskriminasi (non-diskriminasi),
memerlukan jenis pelayanan kesehatan lebih dari begitu pula dengan faktor pendorong pelayanan
yang dibutuhkan oleh anak normal secara umum. kesehatan seperti petugas kesehatan, orang tua,
(Tugalow dkk, 2015). Terkait dengan guru atau pengasuhnya juga memegang peran
permasalahan gigi dan mulut pada anak penting bagi perubahan perilaku bagi anak-anak
berkebutuhan khusus, Tugalow dkk, (2015) juga berkebutuhan khusus.
menyatakan bahwa status karies gigi pada anak Sekolah Khusus Harapan Mulia adalah
berkebutuhan khusus di SLB YPAC Manado sekolah swasta yang mendidik anak-anak
dengan Indeks DMF-T sebesar 4,4 termasuk berkebutuhan khusus terutama anak autisme. Pada
kategori sedang. Kesehatan gigi dan mulut pada sekolah ini terdapat psikologi klinik khusus yang
anak berkebutuhan khusus lebih rendah ikut membantu mendidik perkembangan anak-anak
dibandingkan dengan anak normal, hal tersebut di sekolah tersebut. Sekolah tersebut memiliki
dikarenakan kesulitan yang dialami oleh anak siswa sebanyak 130 orang. Pada survei awal
berkebutuhan khusus yaitu rendahnya kemampuan pemeriksaan gigi pada anak autisme di Sekolah
motorik serta kognitifnya (Supriyani, Ririn; Khusus Harapan Mulia, dari 5 anak yang diperiksa
Anggraini, 2014). ditemukan 3 orang anak mengalami karies, yang
Dalam jurnal” Tooth brushing intervention kemungkinan disebabkan karena pemeliharaan
Programe Among Children with mental kesehatan gigi dan mulut yang masih kurang.
Handicap” cit Tugalow,2015 menyebutkan bahwa Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kebersihan gigi dan mulut serta penyakit secara mendalam faktor pendukung (ketersediaan
periodontal merupakan masalah terbesar yang sumber daya kesehatan) dan faktor pendorong
dialami penyandang cacat. Anak berkebutuhan (sikap dan perilaku orang tua/pendamping) dalam
khusus memiliki tingkat kesehatan dan kebersihan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada anak
mulut yang lebih rendah jika dibandingkan dengan autis di Sekolah Khusus Harapan Mulia.

56
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Metode Penelitian “Dulu pernah umur 7 tahun pada saat gigi


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif depannya berlubang dibawa ke puskesmas,
dengan wawancara mendalam pada orang tua pada saat dibawa ke puskesmas untuk
murid, guru-guru, kepala sekolah dan pemilik membersihkan giginya yang berlubang tetapi
Yayasan. Triangulasi sumber pada penelitian ini ditolak orang puskesmas karena anaknya
dilakukan kepada informan yaitu orang tua anak berkebutuhan khusus”
berkebutuhan khusus dan pengasuhnya, sedangkan
informan kunci adalah guru, dan psikolog yang Hasil wawancara mendalam tentang apakah
membina ABK di SLB Harapan Mulia. Informan jauh tempat pelayanan kesehatan/ dokter gigi dari
yang bersedia diwawancarai sebanyak 14 orang ibu tempat tinggal ? sebagian besar anak autis dibawa
yang mempunyai anak autis. Wawancara dilakukan ke pelayanan kesehatan/dokter gigi yang sudah
oleh 2 orang peneliti dan dibantu dengan pembantu kenal dengan keluarga walaupun jauh. Hal ini
lapangan untuk mencatat dan merekam hasil dapat dilihat dari hasil cuplikan wawancara
wawancara. Informan kunci diwawancarai setelah mendalam pada beberapa ibu anak autis sebagai
peneliti selesai mewawancarai semua informan. berikut:

Hasil dan Pembahasan “agak jauh dari tempat tinggal, karena


pelayanan kesehatan yang dikunjungi
Faktor pemungkin/pendukung (enabling factor) memang udah biasa karena percaya”
Enabling factor yaitu tersedianya pelayanan
kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Faktor pemungkin mencakup berbagai
Pada hasil wawancara mendalam untuk keterampilan dan sumber daya yang perlu untuk
mengetahui dimana anak autis memeriksakan melakukan perilaku kesehatan. Sumber daya
giginya atau berobat jika sakit gigi menunjukkan meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, dan
bahwa hampir semua anak autis jarang melakukan keterjangkauan/kemudahan memperoleh sumber
pemeriksaan gigi ke pelayanan kesehatan atau daya/sarana tersebut seperti biaya, jarak,
dokter gigi karena sebagian besar anak tidak ada ketersediaan transportasi, jam buka dan
keluhan tentang kesehatan gigi dan mulut. Jika ada keterampilan petugas kesehatan. Dari hasil
keluhan, ibu biasanya pergi ke dokter gigi yang wawancara dengan informan hampir semua anak
tidak ramai karena takut anaknya lama menunggu autis jarang melakukan pemeriksaan gigi ke
dan mengganggu pasien lainnya. Hal ini dapat pelayanan kesehatan atau dokter gigi karena
dilihat dari cuplikan hasil wawancara mendalam sebagian besar anak tidak ada keluhan tentang
dengan ibu dari anak autis : kesehatan gigi dan mulut, jika ada keluhan ibu
biasanya pergi ke dokter gigi yang tidak ramai
“Pergi ke dokter gigi yang tidak ramai karena takut anaknya lama menunggu dan
pasiennya supaya anak tidak lama menunggu mengganggu pasien lainnya. Beberapa informan
antri dan anak tidak mengganggu pasien lain” mengatakan anaknya agak sulit untuk
dipegang/diperiksa oleh orang lain apalagi anak
Hasil wawancara mendalam tentang apakah belum mengenalnya, maka anak tidak mau
mudah mendapatkan pelayanan kesehatan gigi dan dilakukan pemeriksaan, biasanya anak autis harus
mulut atau dokter gigi yang mau merawat anak didampingi oleh ibunya atau orang terdekatnya
autis? Sebagian besar orang tua tidak seperti guru atau terapisnya. Hal ini sesuai dengan
memberitahukan ke dokter giginya bahwa anaknya hasil penelitian Sengkey, dkk (2015) Anak –anak
autis karena malu, ada seorang ibu yang autis biasanya kurang merasakan kontak sosial dan
mengatakan kepada petugas kesehatan bahwa mereka cenderung menyendiri dan menghindari
anaknya autis, lalu tidak menerima anaknya untuk kontak dengan orang lain (Sengkey, dkk, 2015).
berobat di pelayanan kesehatan lagi karena anak Fasilitas pelayanan kesehatan gigi bagi anak
ketakutan ketika duduk di kursi gigi dengan lampu autis belum tersedia dengan kemudahan
dan suara mesin giginya membuat anak berteriak- memperolehnya dan keterampilan petugas
teriak. seperti terlihat dalam cuplikan sebagai kesehatan gigi dalam memberikan pelayanan
berikut : kesehatan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan
khusus. Salah seorang informan mengatakan

57
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

bahwa anaknya yang autis pernah berobat ke dulu disikat” (103)


puskesmas lalu disaat anak duduk di kursi gigi dan “ bisa melakukan sikat gigi sendiri tetapi
mesin dihidupkan anaknya berteriak ketakutan lalu harus dibimbing karena berkumur belum bisa
petugas kesehatan tidak mampu menanganinya dan (sikat gigi belum sempurna) ibu yang selalu
menolak untuk dilakukan perawatan. Hal ini sama membantu membersihkan gigi anaknya” (104)
dengan yang diteliti Megawati (2013) kesulitan
yang dialami para tenaga kesehatan gigi pada saat Sebagian besar anak autis mau diperiksa
menangani anak berkebutuhan khusus, kendala giginya bila didampingi oleh orang terdekatnya
yang dihadapi di ruang praktek, karena pada seperti ibunya, suster atau guru pendampingnya di
umumnya penyandang autis sulit beradaptasi pada Sekolah Harapan Mulia. Hal ini terlihat pada
lingkungan baru. Klinik perawatan gigi dianggap cuplikan hasil wawancara mendalam pada ibu anak
sebagai tempat baru sehingga mereka sulit autis sebagai berikut:
beradaptasi, sehingga menyebabkan mereka
ketakutan atau menunjukkan reaksi lainnya saat “ anak kalau mau diperiksa dokter gigi harus
berada di ruang perawatan gigi. Oleh karena itu membawa guru pendampingnya, namanya bu
menurut Megawati (2013) anak autis Intan karena michael lebih mendengarkan
membutuhkan penanganan komprehensif yang gurunya” (101)
melibatkan berbagai ahli di sejumlah bidang yaitu “ anak mau diperiksa kalau pergi bersama ibu
pakar kedokteran, pakar kedokteran gigi, psikolog dan bapaknya, anak mau diperiksa bila tidak
serta pendidik. Teknik perawatan pada anak autis dipaksa” (104)
adalah TSD (Tell-Show-Do) yaitu dengan “ bersama ibu karena anak lebih dekat dengan
kunjungan yang berulang dan pengenalan terhadap ibu, anak mau dilakukan pemeriksaan gigi bila
peralatan kedokteran gigi, dapat membuat anak disuruh dan ditemani dengan ibunya” (106)
familiar terhadap lingkungan ruang praktik, hindari
tindakan yang dapat menimbulkan rasa sakit pada Faktor penguat adalah faktor yang
penderita, menghindari suara bor atau handpiece menentukan apakah tindakan kesehatan gigi anak
karena anak autis sensitivitas tinggi terhadap suara, autis memperoleh dukungan atau tidak. Sumber
cahaya, bau dan warna menghendaki perhatian penguat pada anak autis adalah orang tua terutama
yang khusus untuk mengurangi ataupun ibu/pengasuhnya, guru dan psikolog nya. Hampir
menghindarkan stimulasi sensoris. semua informan mengatakan bahwa anaknya
belum sempurna dalam menjaga kebersihan gigi
Faktor pendorong/penguat (reinforcing factor) dan mulutnya, harus selalu di dampingi oleh ibu
Faktor penguat adalah faktor yang atau pengasuhnya dalam membersihkan giginya
menentukan apakah tindakan kesehatan setiap hari. Menurut Anisyah, Ika (2014) peranan
memperoleh dukungan atau tidak. Sebagian besar orang tua sangat penting baik di rumah maupun di
informan yang diwawancarai mengatakan rumah sakit, ketika perawatan gigi di rumah, orang
kebersihan gigi dan mulut anak dijaga oleh tua bisa mengajarkan anak dengan memberikan
ibu/pengasuhnya yaitu menyuruh dan contoh di depan cermin yang besar agar anak bisa
mengingatkan untuk menyikat gigi setiap hari. Hal langsung melihat dengan jelas apa yang dilakukan
ini dapat dilihat dari beberapa cuplikan hasil orang tuanya, setelah itu bimbinglah anak
wawancara dengan ibu anak autis sebagai berikut: melakukan apa yang dilakukan orang tuanya mulai
dari memegang sikat gigi, menggunakan pasta gigi
“ anak sudah bisa menyikat gigi sendiri sejak dan gerakan menyikat giginya.oleh karena itu
masuk sekolah harapan mulia, tetapi Suster sikap dan praktik orang tua terutama ibu sangatlah
Dewi selalu membantu membersihkan gigi berperan dalam mempengaruhi status kesehatan
agar bersih karena michael menyikat gigi gigi anak-anak mereka (Green, terjemah Mamdy,
hanya yang mau dia sikat saja”(102) dkk, 2007).
“ anak menyikat gigi sendiri tetapi disikat Penguatan lain dalam meningkatkan perilaku,
ulang dengan ibu karena kurang bersih” seperti dalam buku Kent and Blinkhorn (2005)
“ bisa menyikat gigi sendiri, tetapi caranya penguatan (reinforcement) diberikan kepada anak
asal-asalan maka ibu menyikat ulang gigi yang menurut dan dapat bekerjasama dalam
anak dan sesuai keinginan anak mana yang perawatan gigi seperti memberi pujian atau hadiah

58
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

kecil berupa gambar tempel atau makanan yang sehari pagi, siang dan sore. Pantangannya
disukainya. Hal ini sejalan dengan apa yang yaitu susu, keju, gandum, jagung, kalau salah
dikatakan informan kunci (psikolog) bahwa untuk makan anak akan langsung terjadi perubahan
kepatuhan anak autis caranya dengan pemberian jadi eror, marah-marah, ketawa-ketawa
reward setiap yang dilakukan anak sesuai dengan sendiri, hentak-hentak kaki” (103)
perintah, rewardnya pada anak-anak dengan
makanan kalau sudah besar bisa dengan pujian. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan oleh informan kunci yaitu gurunya, kepala
mulut pada anak berkebutuhan khusus sekolahnya dan psikolog. Terlihat dari hasil
(autisme) cuplikan wawancara sebagai berikut:
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut adalah tindakan untuk memelihara kesehatan “ Disekolah anak-anak autis yang baru masuk
gigi dan mulut yaitu berapa kali menyikat gigi maka dibantu dalam menyikat giginya tetapi
sehari, kapan waktunya, dan mengkonsumsi setelah beberapa bulan anak akan mandiri,
makanan yang dapat menyehatkan gigi dan mulut, maka anak menyikat gigi sendiri tetapi tetap
mengurangi makanan yang merusak gigi. Dari harus diingatkan, pada anak autis teratur
hasil wawancara mendalam sebagian besar anak kegiatannya karena sudah rutinitas dan anak
menyikat gigi setiap hari ada yang 2 kali sehari, autis sangat konsisten dan terkonsep kepatuhan
ada yang 3 kali sehari dan ada juga yang hanya 1 anak autis memiliki pantangan dalam makanan
kali sehari, dengan waktu yang bervariasi terlihat yang dikonsumsi” (guru neni)
dari hasil cuplikan wawancara sebagai berikut: “ Metode terapi anak autis menggunakan
metode ABA yaitu applied behavior analyze
“ menyikat gigi 3 x sehari, pagi waktu mandi, yaitu bagaimana meminimalkan perilaku
siang setelah makan disekolah dna malam negatif dan memaksimalkan perilaku positif
sebelum tidur” (101) dengan metode reward dan efek jera sehingga
“ menyikat gigi 3 x sehari yaitu pagi setelah anak menjadi patuh untuk kemudian baru bisa
bangun tidur, pagi setelah sarapan dan malam memasukkan program apa pada anak. Anak
sebelum tidur” (103) autis pantangannya yaitu diet CF (Casein
“ 1 x sehari pagi saja karena jam tidur anak Free), GF (Glutein Free) SF (Sugar Free) dan
terlalu sore bangunnya, dan waktu mandi elektronik” (kepala sekolah)
terburu-buru jadi menyikat gigi kadang tidak “ Menggunakan metode behavior dari Lovaz
terlaksana” (104) yaitu ABA (applied behavior analyze) yaitu
membantu anak lebih rileks, lebih fokus dan
Untuk konsumsi makanan yang menyehatkan lebih baik kontak matanya.” (psikolog)
dan merusak gigi, hampir semua informan
mengatakan anak mereka diet, yaitu tidak boleh Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
makan yang manis-manis, susu,gandum dan mulut adalah tindakan untuk memelihara kesehatan
penyedap rasa. Sedangkan anak-anak setiap hari gigi dan mulut yaitu berapa kali menyikat gigi
diberi buah-buahan yang dianjurkan agar terapinya sehari, kapan waktunya, dan mengkonsumsi
berjalan dengan baik. Hal ini bisa terlihat dari hasil makanan yang dapat menyehatkan gigi dan mulut,
cuplikan wawancara mendalam sebagai berikut: mengurangi makanan yang merusak gigi, serta
pemeriksaan gigi rutin. Dari hasil wawancara pada
“ anak diet makanan yang dilarang untuk informan sebagian besar anak autis menyikat gigi
mereka seperti makanan yang manis-manis, frekuensinya sudah tepat yaitu minimal 2 kali
chiki atau yang ada penyedap ras, jadi sehari tetapi ada yang lebih, hanya saja waktunya
makanan dibuat sendiri di rumah, dan makan menyikat gigi masih banyak yang kurang tepat
buah-buahan setiap hari” (101) yaitu pada saat mandi pagi dan mandi sore. Hal
“ Makanan dimasak sendiri, makan 4 x sehari, tersebut dalam analisis tingkah laku bahwa
makanan manis adalah pantangan anak, anak menyikat gigi sering dikaitkan dengan mandi,
makan buah rutin tiap hari seperti semangka, bahwa setiap orang mandi pasti akan menyikat
pir, melon, buah naga dan lain lain” (102) gigi. Pemacu tingkah laku tergantung pada dampak
“ Makanan dibuat sendiri oleh ibu, makan 3 x dari tingkah laku tersebut, contohnya bila

59
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

seseorang melakukan suatu tindakan dan Daftar Pustaka


pengaruhnya dirasakan menguntungkan orang
tersebut pasti akan mengulangi tindakan tersebut. Anisyah, I. (2014). Perawatan gigi anak” Spesial”
(Kent and Blinkhorn, 2005) Media clipping.
Pada konsumsi makanan yang menyehatkan Green, L et. al (2007)” Perencanaan pendidikan
gigi dan mengurangi makanan yang merusak gigi kesehatan sebuah pendekatan diagnostik”
dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa diterjemahkan oleh Mamdy, Zulazmy ; Tafal,
semua informan mengatakan anaknya selalu Zarfiel ; Kresno, Sudarti. Departemen
makan buah-buahan yang dianjurkan dokter atau Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jakarta.
terapisnya, sedangkan makanan yang merusak gigi Putri, M. H. (2014)” Pengaruh pendidikan
seperti makanan yang manis dan melekat tidak penyikatan gigi dengan Menggunakan model
dikonsumsi oleh anak autis karena makanan rahang dibandingkan dengan metode
tersebut adalah makanan pantangan/makanan yang pendampingan terhadap tingkat kebersihan
tidak boleh dikonsumsi anak autis. Karena gigi dan mulut siswa-siswi tunanetra SLB-A
pantangan makanan tersebut maka sebagian besar Bandung” Majalah Kedokteran Bandung,
anak autis yang di teliti di sekolah khusus harapan volume 46 no. 3 September 2014.
mulia giginya bagus tanpa karies, karena salah satu Kemenkes RI. (2010). Pedoman pelayanan
faktor terjadi karies yaitu makanan terutama kesehatan anak di sekolah luar biasa (SLB)
karbohidrat yang manis dan melekat, makanan bagi petugas kesehatan” Jakarta : Dirjen Bina
tersebut tidak dikonsumsi oleh anak autis. kesmas Kemenkes, 2010
Pada pemeriksaan rutin gigi anak autis ke Kemenkes RI. ( 2013). Riset kesehatan dasar tahun
pelayanan kesehatan atau dokter gigi, semua 2013.
informan mengatakan belum pernah memeriksakan Kent,G.G., & Blinkhorn, A.S. (2005). Pengelolaan
gigi anaknya kecuali ada keluhan, menurut tingkah laku pasien pada praktik dokter gigi.
Anisyah (2014) kebanyakan orang tua tidak Jakarta : EGC
mengetahui apa yang sedang terjadi pada gigi anak Kresno, S. dkk (2000). Aplikasi metode kualitatif
berkebutuhan khusus karena anak tersebut tidak dalam penelitian kesehatan . Depok.
mengatakan kepada orang tuanya jika terjadi gigi Mahfoedz & Zein (2005). Pemeliharaan kesehatan
yang goyang, ada gigi yang tumbuh dan lainnya gigi dan mulut pada balita dan ibu hamil.
kecuali jika orang tuanya yang memeriksanya. Megawati, J. (2013). Perawatan gigi anak autis.
Oleh karena itu peranan orang tua dalam http ://joglosemar.co
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut sangat Notoatmodjo, S. (2010). Promosi kesehatan : teori
besar mengingat keterbatasan dari anak dan aplikasi . Edisi revisi. Yogyakarta :
berkebutuhan khusus tersebut. Rineka Cipta.
Sengkey, M. dkk. (2015). Status kebersihan gigi
Simpulan dan mulut pada anak autis di kota Manado.
Jurnal E-Gigi vol. 3 Nomor 2, Juli –
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan Desember 2015
mulut pada anak autis tergantung dari ibu atau Tugalow, dkk. (2016). Gambaran status karies
pengasuhnya ketika berada di rumah sedangkan di pada anak berkebutuhan khusus di SLB
sekolah perilaku pemeliharaan kesehatan gigi YPAC Manado. Jurnal E-Gigi Vol. 3, Nomor
dibantu oleh guru pendamping. Keluarga mencari 2 Juli-Desember 2015.
sarana pelayanan kesehatan gigi dan mulut ke
klinik gigi/dokter gigi yang sudah dikenal,
dipercaya dan tidak ramai agar anak tidak terlalu
lama antri/menunggu.

60
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Case Study: Mengatasi Anemia


pada Remaja Putri di Keluarga dengan Model HEMA Coach
(Health Education, Modifikasi PerilAku, dan Coaching)

Teti Rahmawati1*

1Departemen Keperawatan Komunitas, STIKes Jayakarta, PKP DKI Jakarta, Indonesia


*Corresponding Author: tetirahmawati97@gmail.com

Abstrak

Remaja merupakan salah satu kelompok yang berisiko mengalami anemia yang disebabkan kurangnya zat besi di
dalam tubuh dengan berbagai faktor pencetus. Salah satu intervensi yang dilakukan diberi nama HEMA Coach terdiri
dari health education, modifikasi perilaku, dan coaching. Tujuan intervensi ini adalah terjadinya penurunan prevalensi
anemia di keluarga. Desain penelitian adalah studi kasus menggunakan pendekatan asuhan keperawatan keluarga
terhadap 10 keluarga yang diambil dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan terjadi
peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan keluarga dalam mengatasi masalah anemia pada remaja putri.
Rekomendasi penelitian adalah kebijakan pemerintah dalam pemberian promosi kesehatan dan monitoring terhadap
perubahan perilaku remaja putri yang dilakukan secara berkelanjutan.
Kata Kunci: Anemia, HEMA Coach, Remaja putri

Abstract

Adolescents are among the groups at risk for anemia caused by a lack of iron in the body with various precipitating
factors. One of the interventions carried out named HEMA Coach consists of health education, behavior modification,
and coaching. The purpose of this intervention is the decreasing prevalence of anemia in the family. The research
design is case studies using family nursing approach to 10 families taken with purposive sampling technique. The
results showed an increase in knowledge, attitude, and family skills in overcoming anemia problems in young women.
Research recommendation is government policy on giving health promotion and monitoring to change of behavior of
adolescent girl which do continuously.
Key words: Adolescents, Anemia, HEMA Coach

61
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Pendahuluan Ketidakseimbangan antara asupan dan


kebutuhan apabila tidak ditangani dapat
Remaja didefinisikan sebagai periode transisi mengakibatkan menurunnya kemampuan dan
perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa konsentrasi belajar, mengganggu pertumbuhan
dewasa, yang mencakup aspek biologi, kognitif, dan perkembangan remaja, dan menurunkan
dan perubahan sosial yang berlangsung antara kemampuan fisik dan kebugaran (Neri, 2009).
usia 10-19 tahun (Santrock, 2007). Perubahan- Penelitian yang dilakukan oleh Bagni, Yokoo, &
perubahan yang terjadi pada masa transisi ini Veiga (2014) menyatakan terdapat hubungan
cenderung membuat remaja berusaha antara asupan nutrisi dengan kejadian anemia;
mengeksplorasi diri, mengaktualisasikan peran anemia pada remaja terjadi karena kurangnya
yang dapat mengarahkan remaja kepada gaya asupan makanan yang mengandung zat besi.
hidup yang negatif (Stanhope & Lancaster, 2016), Menurut Hayati (2010), akibat jangka
seperti mengonsumsi makanan rendah zat besi, panjang anemia pada remaja putri adalah apabila
tidak suka mengonsumsi sayuran hijau, dan remaja putri nantinya hamil, maka ia tidak akan
istirahat kurang yang dapat menimbulkan mampu memenuhi zat-zat gizi bagi dirinya dan
berbagai masalah kesehatan diantaranya anemia juga janin dalam kandungannya serta pada masa
pada remaja (Miller, 2012). kehamilannya anemia ini dapat meningkatkan
WHO (2014) menyatakan 1,65 miliar orang frekuensi komplikasi, resiko kematian maternal,
mengalami anemia. Terdapat 9 dari 10 orang di angka prematuritas, BBLR, dan angka kematian
negara berkembang mengalami anemia. Menurut perinatal. Selain itu, anemia pada remaja dapat
Kemenkes RI (2013) wanita berisiko mengalami menyebabkan keterlambatan pertumbuhan fisik,
anemia paling tinggi terutama pada remaja putri. gangguan perilaku serta emosional. Hal ini dapat
Berdasarkan Riskesdaas tahun 2013 diperoleh memengaruhi proses pertumbuhan dan
data bahwa prevalensi anemia di Indonesia pada perkembangan sel otak sehingga dapat
remaja putri adalah sebesar 25% dan anemia pada menimbulkan daya tahan tubuh menurun, mudah
remaja sebesar 17-18% (Depkes RI, 2014). lemas dan lapar, konsentrasi belajar terganggu,
Iskandar (2009), menyebutkan bahwa anemia gizi prestasi belajar menurun serta dapat
pada remaja putri disebabkan oleh kurang mengakibatkan produktifitas kerja yang rendah
pengetahuan, sikap, dan keterampilan remaja (Sayogo, 2006). Sehingga diperlukan berbagai
akibat kurangnya informasi, kurang kepedulian intervensi untuk mengatasi dampak yang dialami,
orang tua, masyarakat, dan pemerintah terhadap salah satunya dengan merubah perilaku remaja.
kesehatan remaja serta belum optimalnya Perilaku, salah satunya perilaku sehat,
pelayanan kesehatan remaja. dipengaruhi oleh pengetahuan motivasi, serta
Terjadinya anemia pada remaja putri keterampilan. Intervensi keperawatan yang
berfokus pada pola perilaku yang tidak sehat, dilakukan untuk merubah perilaku sehat diawali
seperti: remaja cenderung tidak suka dengan memberikan health education, sebagai
mengonsumsi sayuran, adanya keinginan untuk salah satu cara untuk mendapatkan pengetahuan
tetap langsing atau kurus, diet tidak seimbang, yang menjadi pemicu awal terjadinya perubahan
ketidakseimbangan asupan nutrisi dengan perilaku. Intervensi lain yang dilakukan adalah
aktivitas (Linda, Michelle, & Laura, 2013; modifikasi perilaku (Green, Lawreance, &
Mesias, Seiquer, & Navarro, 2012; Anand, Rahi, Kreuter.,2005; Notoatmojo, 2010). Menurut
Sharma, & Ingle, 2013), yang dapat menimbulkan Saifah (2012) anak yang susah melakukan
berbagai dampak. Menurut Linda, Michelle, & perilaku makan sehat perlu diberikan motivasi
Laura (2013) keinginan remaja untuk tetap salah satunya dengan memodifikasi perilaku dan
langsing atau kurus sehingga berdiet dan untuk meningkatkan keterampilan hidup sehat
mengurangi makan sering menyebabkan dapat dilakukan melalui intervensi coaching
kekurangan zat besi pada remaja putri. Diet yang dengan cara melatih individu agar memiliki
tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh kemampuan dalam perawatan kesehatan dan
akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi mempertahankan perilaku yang diharapkan
yang penting seperti besi (Arisman, 2007). menjadi kebiasaan yang konsisten dilakukan
secara berkelajutan (Sari, 2016). Hal ini menjadi

62
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

dasar intervensi yang dilakukan untuk merubah Pola makan remaja putri tidak teratur, tetapi
perilaku remaja putri. rata-rata frekuensi makan 1-2 kali setiap hari. 4
Intervensi yang digunakan dalam penelitian remaja putri malas makan karena takut gemuk. 4
ini diberi nama hema coach yaitu terdiri dari tidak pernah sarapan dengan alasan takut sakit
pemberian health eduation, modifikasi perilaku, perut di sekolah, 5 lainnya sarapan dengan menu
dan coaching. Intervensi ini dilakukan selama 12 nasi uduk ditambah bakwan, dan 1 sarapan
minggu yang diberikan pada remaja putri dan dengan energen dan gorengan. Rata-rata konsumsi
keluarga terutama ibu. Menurut Taylor (2006) air putih 2-4 gelas dan teh gelas 2 -3 gelas. 6
seseorang yang memiliki dukungan keluarga remaja putri hampir setiap hari makan mie instan
tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan tanpa tambahan sayur dan lauk seperti telur atau
mengatasi masalahnya dibanding dengan yang sayur sawi, 5 tidak menyukai sayuran, 4 menyukai
tidak memiliki dukungan. Untuk itu, peran serta sayuran tertentu saja seperti sayur soup. Remaja
keluarga terutama ibu sangat berpengaruh dalam putri tidak setiap hari mengonsumsi buah-buahan
merubah perilaku remaja untuk mengatasi dengan alasan jarang tersedia di rumah. Kebiasaan
masalah anemia yang dialaminya. Tujuan tidur larut malam setelah jam 22.00 WIB
penelitian ini adalah remaja putri dan keluarga dilakukan 7 remaja putri. Aktifitas fisik yang
memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan dilakukan berangkat sekolah dengan berjalan kaki
yang baik tercermin dari perilaku dalam dan mengikuti beberapa ekskul di sekolah.
mengatasi anemia, salah satunya ditandai dengan Keluarga tidak mengetahui terdapat anggota
peningkatan nilai Hb dan IMT. Selain itu, keluarga yang mengalami anemia karena remaja
terjadinya peningkatan tingkat kemandirian putri masih tetap beraktifitas seperti biasa
keluarga dari tingkat I – II ke tingkat III – IV. meskipun sering terdapat keluhan capek, ngantuk,
Adapun metode yang digunakan adalah studi atau lemas. Keluarga menganggap keluhan yang
kasus melalui kunjungan rumah. Pemilihan kasus dirasakan adalah hal yang biasa terjadi pada
dilakukan dengan metode purposive sampling remaja, sehingga tidak membawanya ke
yaitu memilih 10 keluarga yang menjadi keluarga pelayanan kesehatan. Keluarga jarang masak
binaan dengan kriteria inklusi keluarga dengan makanan sendiri sebanyak 5 keluarga, tidak
anak remaja putri yang teridentifikasi mengalami memiliki kebiasaan sarapan pagi sebanyak 4
anemia. keluarga tetapi kadang-kadang jika anaknya minta
sarapan baru disediakan.
Deskripsi Kasus Data yang telah terkumpul dilakukan analisis
data dan prioritas masalah (skoring) sehingga
Proses pelaksanaan penelitian diaplikasikan diperoleh masalah keperawatan dalam keluarga.
dalam bentuk asuhan keperawatan keluarga yang Kedua adalah merumuskan diagnosa keperawatan
dilakukan kepada 10 keluarga dengan anak remaja dengan menggunakan NANDA (2015-2017).
putri yang mengalami anemia di wilayah Ketiga menyusun rencana keperawatan yang
Kelurahan Curug Cimanggis Kota Depok. Data mengacu pada NIC dan indikator pencapaian
yang diperoleh dari hasil pengkajian ke-10 tujuan berdasarkan NOC. Intervensi yang
keluarga binaan adalah 9 keluarga merupakan dilakukan diberi nama hema coach yang terdiri
keluarga inti, 8 KK berpendidikan <SMA, 8 KK dari health education, modifikasi perilaku, dan
bekerja sebagai buruh dan 2 keluarga pedagang coaching. Ke empat melakukan implementasi
makanan, pendidikan ibu <SMA dimiliki oleh 9 berdasarkan rencana keperawatan yang sudah
keluarga, hasil pengukuran berat badan dan tinggi disusun. Ke lima melakukan evaluasi berdasarkan
badan pertama menunjukkan 7 remaja putri hasil implementasi yang sudah dilakukan.
termasuk kategori kurus (IMT<17 Kg/m2) dan 3 Pelaksanaan intervensi (Implementasi)
remaja putri termasuk kategori normal (IMT 17- dilakukan terhadap 10 keluarga binaan dalam
23Kg/m2). Tanda dan gejala yang dirasakan waktu yang sama yaitu 12 minggu, dengan tahap-
remaja putri adalah lemas, lelah, sering tahap sebagai berikut: melakukan health
mengantuk, cepat capek, sulit konsentrasi untuk education dengan cara penyuluhan mengenai
belajar, kadang cepat marah, konjungtiva anemis, proses penyakit anemia dan mengajarkan cara
pengisian kapiler refil lebih dari 3 detik, telapak melakukan pemeriksaan tanda dan gejala anemia.
tangan dan ujung jari tampak pucat. Kemudian pada kunjungan berikutnya dilakukan

63
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

health education mengenai manajeman nutrisi Hasil pengukuran IMT diperoleh 7 remaja putri
serta mengajarkan cara menyusun menu terutama termasuk dalam kategori kurus (< 18,5). Selain
untuk remaja yang mengalami anemia. itu, 10 keluarga mengalami peningkatan tingkat
Mendiskusikan cara melakukan modifikasi kemandirian, di mana sebelum intervensi
perilaku yang akan dilakukan terkait asupan kemandirian keluarga berada pada tahap mandiri I
nutrisi (pengaturan frekuensi dan waktu makan, dan II sedangkan setelah intervensi meningkat
jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah porsi menjadi mandiri III dan IV.
makan, dan kebiasaan makan), aktifitas fisik, dan
istirahat tidur. Semua bentuk modifikas perilaku Pembahasan
dicatat dalam buku kerja remaja anemia dan
dievaluasi setiap kunjungan keluarga. Hasil intervensi keperawatan menunjukkan
Intervensi lain yang dilakukan adalah terjadinya peningkatan pengetahuan setelah
coaching dengan cara membimbing dan dilakukan intervensi terkait masalah anemia.
mengajarkan cara memilih, mengolah, dan Peningkatan pengetahuan diperoleh karena
menyajikan makanan yang dilakukan sebanyak 3 adanya informasi yang diberikan melalui
sesi (sesi satu dilakukan tahap 1-3 selama 30 – 45 intervensi health education yang dilakukan
menit, sesi dua dilakukan tahap 4-5 selama 60 – dengan menggunakan metode ceramah, diskusi,
90 menit, dan sesi 3 dilakukan tahap 6 selama 30 tanya jawab, demonstrasi, re-demonstrasi,
menit), dievaluasi setelah 2 minggu melalui buku pembimbingan, permainan, dan praktek.
kerja ibu dan kunjungan langsung secara tiba-tiba. Didukung dengan media lembar balik, leaflet,
Setelah semua rencana keperawatan di food models, buku kerja ibu dan remaja anemia,
implementasikan makan di akhir pelaksanaan serta alat peraga lain berupa bahan makanan. Hal
asuhan keperawatan dilakukan evaluasi sumatif ini dilakukan karena setiap metode dan media
untuk mengevaluasi seluruh proses yang telah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
dilakukan. masing sehingga untuk memaksimalkan
Hasil intervensi keperawatan, menunjukkan pencapaian tujuan dibutuhkan modifikasi dengan
terjadinya peningkatan pengetahuan sebelum dan menggabungkan beberapa metoda dan media
setelah dilakukan intervensi terkait masalah sesuai dengan sasaran pembelajaran dan tujuan
anemia yaitu dari tidak ada keluarga yang yang ingin dicapai.
memiliki pengetahuan baik menjadi 8 keluarga Peningkatan pengetahuan dapat menjadi
memiliki pengetahuan baik. Pengetahuan langkah awal keluarga untuk merubah perilaku
manajeman nutrisi meningkat dari tidak ada yang tidak sehat menjadi sehat termasuk merubah
keluarga yang memiliki pengetahuan baik menjadi kebiasaan dalam mengonsumsi makanan yang
9 keluarga memiliki pengetahuan baik. Respon kaya zat besi, memenuhi kebutuhan istirahat tidur,
yang ditunjukkan keluarga saat melakukan maupun aktifitas fisik sesuai dengan kemampuan.
intervensi adalah aktif dan antusias. Terjadinya Didalam keluarga pengetahuan ibu mengenai
peningkatan sikap dari 10 keluarga, yaitu dari 3 masalah kesehatan sangat berperan dalam
menjadi 8 keluarga yang memiliki sikap baik. merubah perilaku keluarga (Notoatmojo, 2010),
Sedangkan sikap keluarga dalam memenuhi karena peran ibu sangat besar dalam menentukan
kebutuhan nutrisi meningkat dari 2 menjadi 8 kondisi kesehatan anggota keluarga termasuk
keluarga yang memiliki sikap baik. dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi keluarga
Hasil intervensi juga menunjukkan (Friedman, Bowden, & Jones, 2010). Dengan
peningkatan keterampilan sebelum dan setelah adanya pengetahuan, ibu menjadi memahami
dilakukan intervensi dari tidak ada menjadi 9 nutrisi yang dibutuhkan oleh remaja, jenis
keluarga yang terampil melakukan pemeriksaan makanan yang harus disajikan, kebiasaan makan
tanda dan gejala anemia. Keterampilan dalam yang diterapkan, maupun pola hidup yang harus
menyusun menu meningkat dari tidak ada menjadi diterapkan dalam keluarga sehingga anemia pada
8 keluarga yang terampil. Keterampilan dalam remaja dapat diatasi.
memilih, mengolah, dan menyajikan makanan Hasil intervensi menunjukkan terjadinya
juga meningkat dari tidak ada menjadi 9 keluarga peningkatan sikap yang baik dalam mengatasi
yang terampil. Hasil Screening Hb menunjukkan anemia. Peningkatan sikap yang terjadi dalam
10 remaja putri mengalami peningkatan nilai Hb. keluarga merupakan salah satu dampak dari

64
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

peningkatan pengetahuan yang dialami. Sehingga lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak
dengan adanya pengetahuan, keluarga akan didasari pengetahuan. Pendidikan kesehatan
memberikan respon berupa sikap untuk mengatasi memotifasi seseorang untuk menerima informasi
masalah yang dihadapinya, seperti adanya kesehatan dan berbuat sesuai dengan informasi
perhatian dalam menyediakan menu makan tersebut agar mereka menjadi lebih tahu dan lebih
berdasarkan keinginan remaja putri sehingga sehat. Didukung pernyataan Pender, Murdaugh,
remaja termotivasi untuk makan. dan Parsons (2015) mengatakan perilaku orang
Keterampilan keluarga dalam melakukan tua memiliki pengaruh yang besar dalam
pemeriksaan tanda dan gejala anemia, menyusun memengaruhi perilaku anak.
menu, memilih, mengolah, dan menyajikan Hasil Screening Hb menunjukkan
makanan juga mengalami peningkatan. peningkatan kadar Hb. Hal ini terjadi karena
Keterampilan ibu tentunya sangat penting dalam asupan makanan remaja meningkat tidak hanya
melakukan perubahan perilaku di dalam keluarga. dari jumlah tapi juga dari kualitas makanan yang
Intervensi yang dilakukan untuk mempelajari dikonsumsi. Sesuai hasil penelitian Marfuah,
keterampilan baru adalah coaching. Coaching Pertiwi, & Kusudaryati (2016), pendidikan
dilakukan untuk memberikan pemahaman dan kesehatan dan peningkatan asupan nutrisi dapat
keterampilan baru dengan cara memberikan mengatasi anemia. Mekipun 10 keluarga
bimbingan langsung (Lubis, 2012). Efektifitas mengalami peningkatan nilai Hb, tetapi 1 remaja
coaching dalam mempelajari keterampilan putri masih dikategorikan mengalami anemia
didukung hasil penelitian Croffoot, Bray Krust, yaitu memiliki nilai Hb 10,5 gr/dl dari nilai 8,5
Black Marsha, dan Kurber (2010) coaching gr/dl. Menurut analisis penulis, hal ini terjadi
efektif dilakukan untuk mengajarkan cara karena remaja putri berasal dari tipe keluarga
melakukan kebersihan gigi pada anak usia single family, keluarga (ibu) memiliki tingkat
sekolah. pendidikan rendah (< SMA) dan penghasilan
Coaching di keluarga dilakukan terhadap ibu keluarga di bawah UMR Kota Depok (Rp.
dan remaja putri. Coaching pada remaja bertujuan 3.046.180,-) jumlah saudara 3 (2 orang masih
untuk memberikan keterampilan dalam memilih sekolah).
makanan sehat dan menentukan menu makanan Kondisi ekonomi yang kurang menyebabkan
yang akan di konsumsi sehingga remaja daya beli keluarga menurun sehingga mengalami
memahami cara melakukan perilaku hidup sehat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarga
serta berkomitmen untuk melakukan pola hidup termasuk kebutuhan nutrisi pada remaja yang
sehat secara konsisten. Sedangkan coaching yang mengalami anemia. Iskandar (2009)
dilakukan pada ibu bertujuan untuk memberikan mengungkapkan bahwa semakin besar jumlah
keterampilan mengenai cara menyusun menu dan anak dalam keluarga beban hidup yang
manfaat makanan dari mulai memilih, mengolah, ditanggung akan semakin besar, termasuk
dan menyajikannya sehingga remaja putri tertarik perhatian terhadap konsumsi makan anak akan
untuk makan. Peran serta ibu dalam coaching berkurang. Besar keluarga berpengaruh pada
menunjukkan tingginya dukungan dan peran serta pembelanjaan dan konsumsi pangan keluarga
keluarga dalam mengatasi masalah anemia yang terutama dalam mengonsumsi jenis makanan
dialami remaja putri. Seseorang yang memiliki hewani. Status ekonomi juga turut memberikan
dukungan keluarga tinggi akan lebih berhasil pengaruh terhadap kemampuan daya beli dan
menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding konsumsi makanan yang mengandung zat besi
dengan yang tidak memiliki dukungan (Taylor, dan vitamin C lebih banyak. Status sosial
2006). ekonomi keluarga merupakan faktor yang
Peningkatan pengetahuan, sikap, dan mempengaruhi angka kejadian anemia pada
keterampilan yang dimiliki keluarga (ibu) dapat remaja putri (Kim, 2014; Marwan, Amin, &
mempermudah ibu menjalankan perannya sebagai Yehia, 2013).
penjaga kesehatan seluruh anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
Peran tersebut dapat dijalankan ibu dengan benar pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap
karena perilaku yang ditunjukkan ibu didasari kemampuan dalam menyusun menu dan
oleh pengetahuan. Sesuai penyataan Notoatmojo menyediakan makanan sesuai dengan kebutuhan
(2010) perilaku yang didasari pengetahuan akan remaja putri yang mengalami anemia. Hasil

65
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

penelitian ini memperkuat pernyataan Murray anggota keluarga. Selain itu, anak-anak di dalam
(2010) yang menyatakan bahwa kemampuan keluarga belum ada yang bisa diberikan tanggung
keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi jawab untuk menggantikan peran ibu dalam
anggota keluarga salah satunya dipengaruhi oleh menyediakan makanan karena semua anak sejak
tingkat pendidikan ibu. kecil tidak dibiasakan untuk membantu pekerjaan
Hasil pengukuran IMT diperoleh 7 remaja rumah, kegiatan anak di fokuskan hanya untuk
putri termasuk dalam kategori kurus (< 18,5) hal belajar dan semua kebutuhan serta pekerjaan
ini tidak selalu mengindikasikan bahwa seseorang rumah dilakukan oleh ibu.
yang kurus pasti akan mengalami anemia. Sesuai Kondisi di atas menyebabkan ibu tidak
dengan hasil penelitian Gupta, Parashar, Thakur, memiliki waktu untuk melakukan tindakan
dan Sharma (2012) menyatakan IMT dan usia pencegahan terhadap masalah anemia yang
onset menarche tidak berhubungan secara dialami remaja putri seperti setiap hari
signifikan dengan Anemia. Hasil penelitian Kaur, menyediakan makanan sehat dan melakukan
Deshmukh, dan Garg (2006) berdasarkan hasil modifikasi perilaku sesuai dengan komitmen
Analisis univariat menunjukkan IMT tidak keluarga karena sampai di rumah ibu sudah
berkontribusi secara signifikan dengan anemia. kelelahan. Ibu lebih sering memenuhi kebutuhan
Nilai IMT bukan merupakan salah satu penyebab nutrisi anggota keluarga dengan membeli
terjadinya anemia tetapi merupakan salah satu makanan di warung karena ibu hanya memiliki
indikator status nutrisi. Meskipun ke 7 remaja waktu untuk memasak makanan sendiri ketika
putri memiliki IMT < 18,5 (kurus) tetapi dilihat libur bekerja yang dilakukan satu minggu sekali.
dari hasil penimbangan berat badan mengalami Ditengah kesibukan ibu masih menyempatkan
kenaikan. Rata-rata kenaikan berat badan 2 – 4 Kg untuk menyediakan makanan sendiri berupa telur
selama 4 bulan. Hal ini menunjukkan asupan goreng, tempe goreng dan sayur bening. Buah-
nutrisi remaja putri mengalami peningkatan baik buahan jarang tersedia di rumah, tetapi keluarga
secara kualitas maupun kuantitas. Peningkatan sudah mulai membiasakan sarapan pagi.
berat badan yang dalami remaja putri sesuai Kebiasaan dalam keluarga tersebut menyebabkan
dengan pernyataan Arisman (2010) pertumbuhan kebutuhan nutrisi remaja putri terutama yang
pesat pada remaja ditandai dengan pertambahan mengandung zat besi belum terpenuhi.
berat badan pada remaja putri 16 gram/hari dan
laki-laki 19 gram/hari sedangkan pertambahan
tinggi badan pada remaja putri dan putra dapat
mencapai 15 cm dalam setahun. Tabel 1. Tingkat Kemandirian Keluarga
Hasil lain yang diperoleh adalah peningkatan Sebelum dan Setelah dilakukan
tingkat kemandirian keluarga dari tingkat I – II ke Intervensi HEMA Coach (n= 10)
tingkat III – IV. Tingkat kemandirian keluarga
dapat dilihat pada tabel 1. Tingkat Kemandirian
Tabel 1. menunjukkan bahwa 10 keluarga Keluarga Keluarga
mengalami peningkatan tingkat kemandirian, di Sebelum Setelah
mana sebelum intervensi kemandirian keluarga Keluarga 1 I III
berada pada tahap mandiri I dan II sedangkan Keluarga 2 II IV
setelah intervensi meningkat menjadi mandiri III Keluarga 3 II IV
dan IV. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi Keluarga 4 I II
HEMA Coach mampu meningkatkan tingkat Keluarga 5 II IV
kemandirian keluarga. Meskipun terdapat 1 Keluarga 6 II IV
keluarga berada pada tingkat kemandirian III dan Keluarga 7 II IV
1 keluarga masih berada pada tingkat kemandirian Keluarga 8 II IV
II karena keluarga belum mampu melakukan Keluarga 9 II IV
tindakan pencegahan secara aktif. Berdasarkan
Keluarga
hasil intervensi, keluarga termasuk tipe single II IV
10
family dan pencari nafkah hanya ibu sebagai
kepala keluarga. Ibu sibuk bekerja dari pagi
sampai malam untuk memenuhi kebutuhan semua

66
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Continue care yang dapat dilakukan perawat adolescents in urban slum. Indian Journal of
komunitas untuk mengatasi masalah anemia pada Public Health Research & Development.
remaja putri diantaranya melaporkan kondisi Hayati, R.M. (2010). Pegetahuan dan Sikap
keluarga setelah dilakukan intervensi HEMA Anemia Defesiensi Besi dan Dampaknya
Coach dan melakukan advokasi kepada pihak terhadap Kesehatan Reproduksi di MAL
puskesmas untuk melanjutkan pemberian asuhan IAIN Medan Tahun 2009/2010. Medan:
keperawatan, melakukan monitoring terhadap Universitas Sumatera Utara
kondisi kesehatan remaja putri, dan Iskandar, A. (2009). Hubungan faktor Internal
merekomendasikan keluarga untuk mendapat dan Eksternal Keluarga terhadap Kejadian
bantuan dari pemerintah sehingga kebutuhan Anemia Gizi Besi pada Aggregat Remaja
nutrisi remaja putri dapat terpenuhi sehingga Putri di SMP Negeri 1 Cimalaka Kabupaten
masalah anemia dapat teratasi. Sumedang. Tesis. FIK UI.
Kaur, S., Deshmukh, P.R., & Garg, B.S. (2006).
Simpulan Epidemiological Correlates of Nutritional
Anaemia in Adolescent Girls of Rural
Terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap, Wardha. Indian Community Med Journal.
dan keterampilan keluarga dalam mengatasi 2006;31:255‑8.
anemia pada remaja putri. Terjadinya peningkatan KemenKes RI. (2013). Profil Kesehatan
nilai Hb dan IMT. Terjadinya peningkatan tingkat Indonesia 2012. Jakarta: Kementerian
kemandirian keluarga dari I-II menjadi III-IV. Kesehatan
Terjadinya penurunan kejadian anemia dari 10 Kim, J. Y., Shin, S., Han, K., Lee, K ., Kim, J., &
menjadi 1 remaja putri. Choi, Y. S. (2014). Relationship between
socioeconomic status and anemia
Referensi prevalence in adolescent girls based on the
Anand, T., Rahi, M., Sharma, P., & Ingle, G.K. fourth and fifth koreaa national health and
(2013). Issue in Prevention of Iron nutrition examination surveys. European
Deficiency Anemia in India. Diunduh dari Journal of Clinical Nutrition, 68(2), 253-8.
www.nutritionjrni.com Doi:http?dx.doi.org/10.1038/ejen.2013.24
Arisman. (2010). Gizi dalam Daur Kehidupan. Linda, P., Grooms, N.C., Michelle, & Laura, E.
Jakarta: EGC M., (2013). Treatment of Anemia in the
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Adolescent Female. Fediatric Annals.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset January 2013. Volume 42. Issue 1:36-39.
kesehatan dasar: Riskesdas 2013. Jakarta: Diunduh dari http://www.healio.com.
Kemenkes RI Lubis, N.R. (2012) Membantu Karyawan dengan
Bagni, U.V., Yokoo, E.M., & Veiga, G.V. (2014). Coaching & Counseling.
Association between nutrient intake and (http://www.lptui.com)
anemia in Brazilian adolescents. Diunduh Marfuah, D., Pertiwi, D., & Kusudaryati D.
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov (2016). Efektifitas edukasi gizi terhadap
DepKes RI. (2014). Menteri Kesehatan Buka perbaikan asupan gizi besi pada remaja
Konferensi Nasional Persatuan Ahli Gizi putri. Diundug dari
Indonesia tahun 2014. Diunduh dari https://www.researchgate.net.
http://www.depkes.go.id. Marwan, O.J., Amien, H., & Yehia, A. (2013).
Friedman, M., Bowden, V., Jones, E. (2010). Anemia and risk factors among female
Family Nursing Research. Theory & secondary students inthe Gaza Strip.
Practice. New Jersey: Pearson Education Diunduh dari https://www.researchgate.net
Green, L. W. & Keuter, M. W. (2005). Health Mesias, M., Seiquer, I., & Navarro, M.P. (2012).
Program Planning an Educational and Iron Nutrition in Adolescence. Di unduh
Ecological Approach. Fourth Edition, New dari http://search.proquest.com
York: The McGraw-Hill Companies, Inc Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older
Gupta, D., Pant, B., & Kumari, R. (2014). Socio- adult: theory and practice (6th ed.).
demographic correlates of anaemia among Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

67
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Murray, A. (2010). Community Health and Santrock, J.W. (2007). Adolescence. Eleventh
Wellness: A Sociological Approach. edition. USA: The McGraw-Hill Companies.
Philadelphia: Mosby Sari, Yunita. (2016). Pengaruh coaching terhadap
Neri, A. (2009). Faktor-Faktor yang stigma diri dan kualitas hidup klein TB Paru.
Mempengaruhi Kejadian Anemia Gizi Tesis. Pascasarjana Keperawatan.
Remaja Putri SMP 133 di Pulau Pramuka Universitas Indonesia.
Kepulauan Seribu. Tesis FKM UI Sayogo, S. (2006). Gizi Remaja Putri. Jakarta:
Notoatmojo, S. (2010). Promosi Kesehatan, EGC.
Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta Stanhope, M., & Lancaster, J. (2016). Public
Pender, N.J., Murdaugh, CL. & Parsons, M.A. Health Nursing. 9th ed. St. Louis, MO:
(2015). Health Promotion in Nursing Mosby-Elsevier.
Practice. (5th.ed). Upper Saddie River, NJ: Tayor, R.B. (2006). Family Medicine: Principles
Prentice Hall and Practice. Sixth edition. New York:
Saifah. (2012). Model Perkasa Sebagai Model Springer-Verlag.
Intervensi Penanggulangan Gizi Lebih Pada World Health Organization. (2014). WHO,
Anak Usia Sekolah Di Kelurahan Pasir UNICEP, UNFPA, The World Bank Trends
gunung Selatan Kecamatan Cimanggis Kota in Maternal Mortality: 1990 to 2013.
Depok. Universitas Indonesia Geneva: World Health Organization

68
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

The Effectiveness of High Fidelity Simulation Towards Knowledge and


Skills in Health Education: Literature Review

Chiyar Edison S. 1*

1Faculty of Nursing,Universitas Indonesia, Depok , Indonesia


*Corresponding Author: chiyar.edison@gmail.com

Abstract

High Fidelity Simulation (HFS) has been recently deemed an effective approach to resemble the real clinical situation
so that the improvement of knowledge and skill of student are much more significant. However, there has been much
debate in recent times whether this method is much more effective than conventional simulation. This literature
review aimed to present the evidence supporting of the effectiveness of HFS especially in enhancing knowledge and
skill of health care student. Search terms including “high fidelity simulation”, “knowledge” and “skill” were processed
into CINAHL, PubMed and Bristish Nursing Index. All papers that published after 2005 and primary research were
included. There were totally 9 papers included in this review, as a result of back chaining method involved in searching
strategy. This review suggests that HFS is able to improve skill and knowledge of student effectively.
Keywords: High Fidelity Simulation, knowledge, skill

69
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Introduction clinical judgment (Hoffman et al. 2007; Howard,


Preparing advanced knowledge and skills in 2007; Lasaster, 2007; Brannan et al. 2007;
healthcare is currently one of the main challenges Campbell et al, 2008; Gordon and Buckley, 2009).
for health education. This leads to the demand of However, a few studies also find that HFS has no
appropriate teaching strategies to promote profound effects toward either knowledge
student’s clinical competence and critical thinking acquisition or skill performance (Cherry et al
skills (Decker et al, 2008). Simulation is one of 2006; Jones et al 2011). It is worth noted that in
the approaches that could lead healthcare students all those literatures, there are various methods and
to construct their knowledge and skills measurement techniques adopted. Therefore, a
comprehensively within complex clinical discussion of several examples from literatures to
situations. This educational tool offers some deeper analyse HFS study is necessary, in
benefits, such as minimum risk of being harmful particular its effects toward both knowledge
for patients and learners, high variation of clinical acquisition and skill performance.
situations, student’s clinical experience that can This literature review aims to determine the
be undergone in non-clinical area, and large effectiveness, if any, of HFS towards knowledge
opportunities for participants to deepen their acquisition and skill performance of healthcare
knowledge and improve psychomotor skills in a students. The primary terminology that will be
safe environment (Gaba 2004; Gordon and used in this literature review is High Fidelity
Buckley 2009). Several types of simulations Simulation (HFS).High Fidelity Simulation refers
(static manikins, case studies, role-playing, and to a simulation experience gained from a
task trainers) have been utilized over decades to simulator or a manikin that can be accessed and
conduct nursing training and education (Smith and manipulated with computer system to produce a
Roehrs, 2009). realistic way in student intervention and control
However, these conventional simulations outward appearance (Seropianet al. 2003;
often only provide students with a limited insight Laschinger et al. 2008). Additionally, there will be
into real clinical experience (Seropian et al, 2003). two main terms to be discussed, knowledge
Therefore, in recent years High Fidelity acquisition and skill performance.
Simulation (HFS) has been popularly included in
education programme in order to resemble clinical Methodology/Searching Strategy
practice within educational settings (Leonard et al. Literature seacrhing was undertaken in
2010). Seropian et al (2003) explicates that HFS December 2013. This literature review began
does not only provide a realistic appearance but from searching references on Cumulative Index to
also a realistic reaction so that students can Nursing and Allied Health Literature (CINAHL),
perform their intervention closer to what they Medline and British Nursing Index (BNI) using
might actually face in the actual practice. In the search terms “High Fidelity Simulation” and
addition, HFS utilization offers participants the “Knowledge” and “Skill”. The inclusion
opportunity to be involved in clinical decision criteriaincludes article published after 2005 and
making, practice their skills and observe the primary research. This strategy yielded a total of
outcomes from clinical decisions (Brannan et al. 61 articles (Table1). However, subsequent effort
2008). Yet, as the advanced technology costs by identifying the title and abstract based on
billions of dollars, cost is expected to be the main inclusion criteria resulted in a fewer number of
consideration to use it (Hanberg et al, 2005). relevant literatures. Therefore, back chaining
Although there are some cost-related issues method was adopted to support the searching
in using HFS within academic settings, its strategy, which produced more appropriate
essential impacts toward the effectiveness of articles.
learning process has led the use of this HFS in
health education to increase. Several studies have Result and Discussion
been carried out to prove that elucidated HFS In this back chaining process, article
improves responding time intervention, searching by Google Scholar and recommendation
confidence, cognitive and psychomotor skills as articles by Science Direct contributed to find
well as promotes the development of student’s additional articles. Ultimately, there are 9 eligible

70
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

articles to be discussed in this literature method with data collected from 29 senior
review(Table 2) baccalaureate nursing students. It must be
acknowledged that the sample size is too small for
Knowledge acquisition this type of study. Consequently, it may influence
Knowledge is an essential learning outcome significantly to data generalisability.
within health education. This element ought to be Hoffmann et al (2007) conducted pre and
possessed in every health care provider as the post tests using Basic Knowledge Assessment
main component of competence. The use of high Tool-6 (BKAT-6), which is often utilized to
fidelity simulation is one teaching method that has assess the basic knowledge in critical areas for
the capability to enhance the knowledge gaining registered nurse prior entering critical care setting.
in students. However, Hoffmann et al (2007) applied different
In one study, Brannan et al (2007) conducted approaches to evaluate the knowledgeattainment
quasi-experimental study involving 107 junior within students, particularly in terms of the post
nursing students. This research aimed to compare test timing. BKAT-6 was administered to students
the effects of traditional methods and high-fidelity three months after the base line, whereas Brannan
human-patient simulator in teaching Acute et al (2007) carried out the post test immediately
Myocard Infarct (AMI), towards cognitive skill following the simulation.
and confidence level. The content of AMI Hoffmann et al, (2007) seemingly aimed to
included diagnostic evaluation, pathogenesis and see not only the effectiveness HFS in enhancing
prevention, nursing care during the acute phase as knowledge gaining, but also how far the students
well as nursing care during recovery. According can maintain the knowledge in three months after
to the objective, Randomised Controlled Trial participating in the simulation. However, the post
(RCT) could have been the most appropriate test ought to be conducted promptly after
design. However, in this study, the students were simulation in order to anticipate some external
not feasible to be assigned randomly due to the factors, which may affect the knowledge
academic setting matter. Therefore, quasi attainment (Howard, 2007).Regarding this
experiment study was opted to be an alternative confusion, Hoffmann et al (2007) should present a
design (Parahoo, 2011, pp.227). clear operational definition in order to distinguish
Brannan et al (2007) used Acute Myocardial various terms, such as knowledge acquisition,
Infarction Questionnaire (AMIQ) as the knowledge retention, short term knowledge and
measuring tool to assess knowledge acquisition in long term knowledge so that the readers can
pre and post test. In the following activity which specifically identify which particulate that would
included a traditional lecture (control group) for be measured.
two hours and human-patient simulator with a Experimental design is not the only way to
scenario (experimental group), students were answer the inquiry of HFS’s effectiveness in
given the same AMIQ to be completed. The result health pedagogy. Student as an HFS user is an
indicated that HFS produced some improvement alternative source by obtaining their experience
in the AMI knowledge among students. when they are exposed by a simulation. Hence
However, Brannan et al (2007) did not qualitative study, which enables us to understand
provide detailed information regarding the content perceptions and actions of the participants, is an
of vignette that was involved in human-patient alternative approach (Parohoo 2006, pp. 63).
simulator. This study case should have been
written to link up with the features of simulator Table.1 Results of refined literature research
and AMIQ, in order to optimise the measuring of
Data Term used Results
the effectiveness of human-patient simulator as an
base
effective teaching method (Cherry et al, 2007).
Therefore, despite educator and cardiology expert BNI High fidelity simulation 10
has been involved and pilot study has been AND knowledge AND skill
conducted to assess AMIQ, the realibility and the Pubmed High fidelity simulation 30
validity of this study is still arguable. AND knowledge AND skill
The same result was also found by Hoffmann CINAHL High fidelity simulation 21
et al (2007), who studied quasi experiment AND knowledge AND skill

71
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Lasaster (2007) used phenomenology prompts to guide a discussion. However, focus


qualitative study to explore student’s experience group may not be suitable for an interview method
of using HFS and the effects of experience with the aim of the research. Focus group is
towards students’ development clinical adopted where individuals and interpretations are
judgement. This method is one of the most not of the primary concerns (Rees 2011, pp. 137).
popular qualitative studies that focuses on Therefore, individual interview is deemed as the
depicting phenomena of individual experiences most appropriate technique for the study.
(Parohoo 2006, pp. 68).She involved 48 junior Moreover, in focus group the researcher may only
students who were enrolled in a course that had an gain some general information rather than the
HFS experience in their learning programme. In personal one. This could yield less in-depth
collecting the data, the focus group was activated interviews, which would cause the rigour of the
to explore student’s experience with several study to be debatable.
predetermined questions, which were delivered as

Table 2. Studies investigating the effectiveness of high fidelity simulation


Author & Patient Sample Research Data Findings
Year Group size Approach collection
tool
Morgan, P. Undergraduate 299 quantitative MCQ The was a significant in skill
J et al students performance
2006
Morgan, P. Anesthethic 74 RCT Global There was a improvement in skill
J et al Rating performance
2009 Scale
(GRS)
Gordon & Graduate 50 RCT Questionna perceivedtechnical and
Buckley medical- ire (pre-test nontechnical skills during
2009 surgical and post- patientclinical emergencies are
student test) enhanced
Croft 2006 Doctors and 132 RCT Videotaped Training with HFS associated with
midwives higer deliverr rates.
Cherry First year 44 RCT MCQ Not significant on psychometric
2006 resident testing but advantage on decision
making skill

Brannan et Undergraduate 114 Quasie Questionna Positive on ability of answering


al 2007 nursing experimental ire question, but noy confidence
student
Lasaster Undergraduate 39 qualitative Focus potential to support clinical
2005 nursing group judgment
student
Hofmann, Undergraduate 29 Quasi Questionna a significant improvement of
R.L et al nursing experiment ire (MCQ) knowledge gaining
2007 students
Jones, T. Third year 84 Quasi Questionna no significant different knowledge
L, et al nursing experiment ire (MCQ) score between medium fidelity
2011 students simulation and HFS.

72
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

students who were exposed medium fidelity


Lasaster (2007) reported a finding in which simulation and HFS. This result led to a suspicion
most students commented that HFS was able to that the effectiveness of medium fidelity
provide integration learning by combining simulation was actually equal to HFS.
theoretical basis from their class and books, as However, Jones et al (2011) contended that
well clinical skills from laboratory teaching and the result was simply a consequence of using
clinical practice. This advantage led students to MCQ as an assessment method to measure the
critically think in responding to the scenario effectiveness of simulation experience, which was
given. Although the improvement in gaining not appropriate. Measuring tool was
knowledge was not mentioned by students, it may acknowledged as a common problem since
be concluded that HFS provided opportunities for sometimes they were not sensitive enough to see
students to enhance their clinical judgment the small difference between experimental and
development. control group (Parohoo 2006, pp.301).Hence, a
Apart from the finding mentioned previously, further study about the effectiveness of MCQ as a
a few studies show noticeably different results tool to measure the effects of simulation may be
about the effects of HFS. In RCT design, Cherry necessary.
et al (2006) randomized 44 resident students who Even though all these studies do not yield the
were enrolled in Advanced Trauma Life Support same agreement regarding the effects of HFS in
(ATLS) course into control group (traditional knowledge gaining, there are two points that can
teaching) and experimental group (HFS). By be drawn and worth to be noted. Firstly, to see the
using MCQ as the assessment to evaluate the effectiveness of HFS to enhance learning
influence of HFS to cognitive skill, the result outcomes and knowledge retention is another
indicated that there was no significantly score concern that needs to be more valued. Knowledge
difference between students in control group and acquisition tends to be more related to short-term
experimental group, either in terms of pre and knowledge while knowledge retention is more
post MCQ tests or the changes in scores. inclined to long-term knowledge. This issue will
However, this research has a small sample size determine when the most appropriate time is to
number, which may limit its generalisability. This carry out the post test following the simulation
weakness can also bring a failure to measure the experience of the students. Furthermore, the
effectiveness of intervention group (Parahoo measuring tool is an essential aspect to decide
2006, pp. 221). Therefore, Cherry et al (2006) how far HFS can give impacts to the knowledge
pointed out that the results would not able to level. There should be an alternative tool to
demonstrate the practical or essential relevance to measure higher complex knowledge besides
be implemented in assessing the whole clinical MCQ, which is likely often used because of its
performance. convenience. Therefore, the adoption of a more
By using quasi experiment method, Jones et appropriate approach is expected to able to
al (2011) measured knowledge acquisition within measure the effects of using HFS accurately.
84 third year nursing students who were exposed
by medium fidelity simulation and HFS patient Skill acquisition
manikin. The researchers collected data in three Good skill peformance is a crucial element in
phases, prior to the simulation, immediately heathcare providers, in which represent the
following and two weeks after simulation. The competency and knowledge to meet patients’
data were analysed by using an independent t test need. Simulation is one of approaches that can
and Analysis and Covariance (ANCOVA). The provide opportunity for students’ in improvinf
function of the independent t test in quasi their skill (Gaba, 2004; Gordon and Buckley,
experiment study is to compare the means of two 2009).
different groups (Rees, 2011). ANCOVA was Morgan et al (2006) conducted a quantitative
carried out by Jones et al (2011) to identify study to evaluate 229 undergraduate medical
whether the knowledge score changes appeared students who were exposed by HFS experience, to
while a score improvement was observed. Both see whether the experience improved skill
test analysis approaches found that there was no performance. This simulation was assessed by
significant different knowledge score between using a performance checklist and a global rating

73
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

scale that had been used by the previous research (inclusion) and biased in the group (exclusion)
(Morgan et al. 2004). After the simulation had (Rees 2011, pp.26)
completed, the facilitator carried out a discussion These two literatures have found an evidence
to provide feedbacks by utilising videotaped that skill attainment can be enhanced by involving
performances as the template. This was followed HFS as a learning tool despite the fact that some
by conducting a post test by using the same MCQ limitations must be acknowledged. However, they
and scenario with pre test. To assess the merely showed the effectiveness of HFS by
simulation performance, repeated measured measuring immediately after simulation was
analysis of variance (ANOVA) was used, which completed.
resulted in the improvement score (p<0.0001) for Croft et al (2006) examined the effectiveness
both checklist performance and global rating of HFS compared to low fidelity simulation (LFS)
scale. in the training of shoulder dystocia management.
As the result showed that there was a This RCT study involved 140 participants
statistical improvement in the written test and comprised of 45 doctors and 95 midwives. This
performance, Morgan et al (2006) pointed out that sample derived from six hospitals, which had
HFS could provide students with a worthwhile delivery rate ranging from 2,500 to 4600 per
learning experience and enable them to make a annum. Every selected hospital provided the list
link between theory and practice. However, of eligible staff, which was stratified by staff
control group was not adopted in their study groups and experiences. Stratified random
method. This control study group should have sampling is one of the sampling methods
been used as a comparison that would assure that commonly applied in experimental study when the
the outcomes were only affected by intervention sample frame consists of units with varied
(Parahoo 2006, pp. 221) variables (Parahoo 2006, pp.262).
Similar finding was also found in a All participants were randomly assigned to
descriptive study that aimed to examine the control group and experiment group, in which to
effects of HFS towards skill performance of 50 attend practical workshop in management of
medical surgical nursing students in dealing with shoulder dystocia by using either LFS (control
emergency cases (Gordon and Buckley, 2009). group) or HFS (experiment group). After three
The participants attended the theoretical course weeks, post training assessment was carried out to
for 14 hours to deepen their pre-knowledge evaluate the effectiveness HFS and LFS. All
related to clinical emergencies. Following this activities during training were recorded by video
stage, they were engaged to run simulation with tape recorder. The reviewers had been blinded to
one of the scenarios by using HFS. Data were pre or post test and the training intervention prior
collected by questionnaires, which were to viewing the video of simulation. This technique
completed by students prior to and following the is called single blinding, which means either the
simulation. The data analysis indicated that there researchers or the subjects are not notified about
was a high confidence level of ability in order to the group allocation (Parahoo 2006, pp.235).
respond patients with clinical emergencies. According to the result, the training with
However, the validity and reliability of the HFS produced greater successful delivery rate
questionnaires was questionable due to the than the one using LFS, 94% successful
absence of detailed explanations about tool participants compared to72%. This result shows a
assessment. Though validity is more challenging significant evidence that HFS can improve
to ratify, but at least, reliability can be confirmed psychomotor skills needed by midwives and
by conducting a pilot study prior to carrying out doctors to perform management of shoulder
the research (Rees 2011, pp. 26). Furthermore, dystocia. However, the participants consisting of
bias within the sample was seemingly not midwives and doctors were generally divided into
controlled properly since the previous trainings two categories: seniors and juniors according to
and experiences of all participants were ignored. their experiences. The difference of professional
Predetermined inclusion and exclusion criteria educational background may influence the
should have been introduced, as to what learning ability of each participant, a variable
characteristics were typical to study group which is difficult to be controlled (Parahoo 2006,
pp.237).

74
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

In another study, Morgan et al (2009) carried The clear positive evidence that has been found,
our RCT study to determine whether HFS however, cannot be ignored.
exposure enhanced the performance of practising As a result, the use of HFS in heath education
anaesthetists in managing a particular clinical cannot replace the conventional teaching method.
scenario. After participants signed up consent HFS indeed has the capability to enhance
forms, 74 anaesthetists were randomly allocated knowledge and skill acquisition, yet health
to group A (simulation debriefing), group B educators would need to pay scrupulous attention
(home study) and group C (no intervention). to matching the teaching tools with the objectives
Beside the part of ethical consideration, in RCT, of learning.
consent form is aimed to ensure participants Despite several studies that have been carried
would be well informed that they cannot choose out to reveal the effectiveness of HFS on students’
which group they want (Parahoo 2006, 245). The knowledge and skill acquisition, health pedagogy
participants ran their assigned scenario to perform may require further works to gain more various
a simulation of anaesthetist management. This approaches. One occurrence that should be
pre-test was assessed by dichotomously scored list remarked is the use of MCQ as a tool to measure
and global rating scale (GRS) that had been used knowledge acquisition. MCQ is indeed a well-
in the previous study (Morgan et al, 2007). After known tool assessment because of its convenience
six to nine months, participants returned to to be utilised. However, higher-level knowledge
complete the post test by performing the exact such as clinical decision-making skill would
same scenario in simulating the case management. require an alternative variety of tools to be able to
The result indicated that HFS improved skill measure more accurately and reduce the risk of
attainment and retention. However, in this study, biased results. Hence, MCQ ought not to be
there was no effort from researchers to control the considered as the only type of knowledge
participant from another factor that can influence assessor.
the impact of HFS during six to nine months prior Furthermore,most studies have been carried
to the post test. This limitation reflected the issue out in quantitative approach rather than
of internal validity in RCT, which is refer to the qualitative. Students’ experience should be more
ability of research to ensure only the indepedent explored to obtain different angles about the
variable that has influenced to dependent variable effects of HFS. In other words, the number of
changing (Parahoo 2006, pp.236 ; Rees 2011, pp. qualitative study is proposed to be enhanced.
233)
To sum up, all studies have found the Reference
evidence that HFS has the capability to improve Brannan, J. D., White, A., &Bezanson, J. L.
skill performance, either in short term or long (2008).Simulator effects on cognitive skills
term. However, the main challenge of researchers and confidence levels.Journal of Nursing
is how to guarantee that HFS is the only impact Education, 47(11), 495-500.
contributor to improve the skill performance. Campbell, D. M. et al. (2009). High Fidelity
Moreover, the type of tool assessment to measure Simulation In Neonatal Resuscitation.
skill is also an issue that has to be explored in Pediatric Child Health, 14, pp. 19-23.
further Cherry, R. A., Williams, J., George, J., & Ali, J.
(2007). The effectiveness of a human patient
Conclusion simulator in the ATLS shock skills station.
This literature review shows that the Journal of Surgical Research, 139(2), 229-
engagement of HFS in learning process can 235
generally promote the improvement of knowledge Crofts, J. F., Bartlett, C., Ellis, D., Hunt, L. P.,
and skill acquisition. However, several studies as Fox, R., & Draycott, T. J. (2006). Training
mentioned above found that the use of HFS did for shoulder dystocia: a trial of simulation
not bring the expected impacts to the learning using low-fidelity and high-fidelity
outcomes. There are still some considerations that mannequins. Obstetrics & Gynecology,
this technology would not be the most appropriate 108(6), 1477-1485.
teaching tool as their cost causes an issue as well. Decker, S., Sportsman, S., Puetz, L., & Billings,
L. (2008). The evolution of simulation and its

75
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

contribution to competency. The Journal of Laschinger, S., Medves, J., Pulling, C., McGraw,
Continuing Education in Nursing, 39(2), 74- D. R., Waytuck, B., Harrison, M. B., &
80.Linda, O. (2011). Huungan Peendidikan Gambeta, K. (2008). Effectiveness of
dan Pekerjaan Orang Tua Serta Pola Asuh simulation on health profession students'
Dengan Status Gizi Balita Di Kota dan knowledge, skills, confidence and
Kabupaten Tangerang, Banten. 137. satisfaction. International Journal of
Gaba, D. M. (2004). The future vision of Evidence‐Based Healthcare, 6(3), 278-302.
simulation in health care. BMJ Quality & Leonard, B., Shuhaibar, E. L., & Chen, R. (2010).
Safety, 13(suppl 1), i2-i10 Nursing student perceptions of
Gordon, C. J., & Buckley, T. (2009). The effect of intraprofessional team education using high-
high-fidelity simulation training on medical- fidelity simulation. Journal of Nursing
surgical graduate nurses’ perceived ability to Education, 49(11), 628-631.
respond to patient clinical emergencies. The Morgan, P. J. et al. (2006). Applying Theory To
Journal of Continuing Education in Nursing, Practice in Undergraduate Education Using
40(11), 491-498. High Fidelity Simulation. Medical Teacher,
Hanberg, A., Brown, S. C., Hoadley, T., Smith, 28 (1), e10-e15
S., & Courtney, B. (2007). Finding funding: Morgan, P. J. et al. (2009). Efficacy Of High
The nurses' guide to simulation success. Fidelity Simulation Debriefing On The
Clinical Simulation in Nursing, 3(1), e5-e9. Performance Of Practicing Anaesthetist In
Hoffmann, R. L., O'donnell, J. M., & Kim, Y. Simulated Scenarios.British Journal Of
(2007). The effects of human patient Anaesthesia, 103(4), 531-537.
simulators on basic knowledge in critical care Parahoo, K. (2014). Nursing research: principles,
nursing with undergraduate senior process and issues. Macmillan International
baccalaureate nursing students. Simulation in Higher Education
Healthcare, 2(2), 110-114. Rees, C. (2011). Introduction To Research For
Howard, V. M. (2007). A comparison of Midwives. UK : Elsevier Ltd.
educational strategies for the acquisition of Seropian, M. A., et al. (2004). Simulation: Not
medical-surgical nursing knowledge and just a manikin. Journal of Nursing
critical thinking skills: Human patient Education, 43(4), 164-169.
simulator vs. the interactive case study Smith, S. J., & Roehrs, C. J. (2009). High-fidelity
approach (Doctoral dissertation, University simulation: Factors correlated with nursing
of Pittsburgh). student satisfaction and self-confidence.
Levett-Jones, T., Lapkin, S., Hoffman, K., Arthur, Nursing Education Perspectives, 30(2), 74-
C., & Roche, J. (2011). Examining the 78.
impact of high and medium fidelity
simulation experiences on nursing students’
knowledge acquisition. Nurse education in
practice, 11(6), 380-383.

76
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Hubungan Pengetahuan dan Sikap


dengan Perilaku Caring Perawat di Rumah Sakit

Sri Rahayu1*, Sulistiawati1

1Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Faletehan Serang, Banten, Indonesia


*Corresponding Author: s_rahayu_13@yahoo.co.id

Abstrak

Caring merupakan tindakan keperawatan yang mengedepankan kepedulian perawat terhadap klien. Selain itu, caring
menjadi inti dari asuhan keperawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku caring perawat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional.
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit dr.Dradjat Prawiranegara Serang dengan jumlah sampel 51 responden. Hasil
penelitian menunjukan tidak ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku caring perawat (p value =0,264).
Sedangkan pengetahuan dan sikap perawat memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku caring (p value <0,001).
Perilaku caring yang baik dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap perawat yang baik tentang caring. Perawat
yang memiliki pengetahuan dan sikap yang baik menjadikan perilaku caring perawat menjadi baik pula.
Kata Kunci: Pengetahuan, Perawat, Perilaku Caring, Sikap

Abstract

Caring is a nursing action that puts the nurse caring towards the clien. In addition, caring to be the core of nursing care.
This study aimed to determine factors associated with caring behavior of nurses. This study design was quantitative with
cross sectional. This study was conducted at dr.Dradjat Prawiranegara Serang Hospital with 51 respondents. The
statistical test showed that education level of nruse was not significant associated with caring behavior (p value 0.264),
while knowledge and attitude of caring were significantly associated (p value <0,001). Caring behaviour can be affected
by knowledge and attitude of nurse. Nurses who have good knowledge and attitude made good caring behaviours too.
Keywords: Attitude, Caring Behaviors, Knowledge, Nurse

77
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Pendahuluan Rendahnya perilaku caring tersebut


Mutu pelayanan keperawatan sangat disebabkan oleh beberapa faktor. Gibson (1987)
mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan dalam (Faizin & Winarsih, 2008) mengatakan ada
bahkan menjadi salah satu faktor penentu citra tiga faktor yang dapat mempengaruhi perilaku
institusi pelayanan kesehatan salah satunya di caring perawat yaitu faktor individu yang terdiri
rumah sakit. Peningkatan mutu pelayanan dari pengetahuan dan keterampilan, latar belakang
keperawatan ini didukung oleh pengembangan pendidikan, dan demografis. Faktor psikologi yang
teori-teori keperawatan, salah satunya adalah teori terdiri dari sikap, kepribadian, belajar dan
caring, yang didukung oleh Deklarasi Perawat motivasi. Faktor organisasi yang terdiri dari
Indonesia yang menyatakan bahwa kunci dalam sumber daya, pelatihan dan pengembangan,
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan imbalan atau penghargaan, pembuat keputusan,
adalah dengan menekankan perilaku caring pengambilan risiko dan kerja sama. Pendidikan
(Kemenkes RI, 2018). termasuk salah satu faktor individu yang
Caring merupakan tindakan perawat yang mempengaruhi perawat dalam berperilaku caring.
menunjukan kasih sayang, empati serta ikhlas Pendidikan sangat penting bagi perawat untuk
dalam merawat pasien. Perilaku caring perawat ini membangun perilaku caring.
bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan Selain pendidikan, yang termasuk dalam
melalui suatu pendekatan yang berorientasi pada faktor individu selanjutnya adalah pengetahuan.
kepedulian perawat terhadap klien, dimana Pengetahuan merupakan hal yang mendasari
perilaku caring perawat ini sesuai dengan tuntutan perawat dalam mengaplikasikan perilaku caring.
masyarakat yang mengharapkan pelayanan Semakin tinggi pengetahuan perawat terhadap
kesehatan yang baik dan berkualitas. Sehingga jika caring maka harapannya perawat akan semakin
perilaku caring ini diterapkan dengan baik maka tahu sikap yang seperti apa yang bisa menunjukkan
klien akan merasa puas dan akan berdampak pada dirinya untuk berperilaku caring terhadap klien.
peningkatan mutu pelayanan keperawatan Asumsi ini didasarkan karena perawat yang
(Watson, 2008). memiliki tingkat kognitif tentang caring yang baik
Di Indonesia, caring menjadi salah satu mempunyai landasan teori yang cukup untuk
penilaian penting bagi masyarakat dalam dirinya dalam mempraktekan caring. Hasil
memanfaatkan pelayanan kesehatan, namun penelitian di RSU dr.H Koesnadi Bondowoso
sayangnya di Indonesia perilaku caring tersebut menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan
masih terbilang rendah. Hasil penelitian yang antara tingkat kognitif perawat tentang caring
dilakukan oleh Usman yang dilakukan di lima kota dengan aplikasi praktek caring (Bondowoso,
besar Indonesia, ditemukan 9 poin permasalahan, Prabowo, Ardiana, & Wijaya, 2014).
salah satunya adalah sebanyak sebagian besar Sikap perawat dalam menyikapi caring juga
pasien mengeluh terhadap sikap perawat yang memberikan pengaruh terhadap perilaku caring
kurang ramah, kurang simpatik dan jarang perawat. Hal ini didasari oleh perawat yang
tersenyum (Apriyanti, 2009). Penelitian lain menyikapi caring secara positif akan mendukung
Mailani & Fitri (2017) di RSUD dr.Rasidin Padang semua kegiatan yang berkaitan dengan caring dan
yang menunjukkan sebagian besar pasien merasa akan mudah dalam menerapkan perilaku caring,
tidak puas terhadap pelayanan keperawatan yang begitu pula sebaliknya. Hasil penelitian yang
diberikan dikarenakan perilaku caring perawat dilakukan di ruang rawat inap kelas III bangsal
yang kurang. Hal ini serupa dengan penelitian yang barokah dan inayah RS PKU Muhammadiyah
dilakukan di Ruang Kelas III Rumah Sakit Gombong menunjukkan terdapat hubungan antara
Immanuel Bandung yang menunjukkan sebesar sikap perawat tentang caring dengan perilaku
21,3% klien yang merasa tidak puas terhadap caring perawat (Ramadhan, 2017).
pelayanan keperawatan yang disebabkan oleh Caring secara umum diartikan sebagai suatu
perilaku caring perawat yang rendah (Hutapea, kemampuan seseorang dalam berdedikasi kepada
Dedi & Elias ,2013). Penelitian diatas orang lain, memberikan perhatian, ikut merasakan
menunjukkan bahwa perilaku caring perawat di apa yang orang lain rasakan dan berbagi cinta serta
Indonesia masih terbilang rendah. kasih sayang kepada orang lain. Caring
mempengaruhi cara berpikir, perasaan dan

78
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

perbuatan seseorang, selain itu caring juga pernyataan dalam kuesioner telah dilakukan uji
mempelajari berbagai macam filosofi dan etis validitas dan reliabilitas. Analisis data
perspektif (Perry &Potter, 2005). menggunakan analisis univariat dan bivariat
Perilaku caring perawat diruang kelas III dengan uji statistic chi square dengan batas
cenderung kurang maksimal, dikarenakan jumlah kemaknaan α = 0,05.
pasien yang tidak seimbang dengan jumlah
perawat. Hal ini dibuktikan oleh hasil studi Hasil dan Pembahasan
pendahuluan yang dilakukan peneliti di Rumah Hasil penelitian tentang pendidikan,
Sakit dr.Dradjat Prawiranegara yang menunjukkan pengetahuan, sikap dan perilaku caring perawat di
tingginya jumlah pasien yang dirawat ruang penyakit dalam dan bedah kelas III Rumah
dibandingkan dengan kapasitas. Kapasitas ruang sakit dr. Dradjat Prawiranegara Serang
rawat inap penyakit dalam dan bedah kelas III digambarkan pada table 1.
adalah 102 tempat tidur dengan rata-rata jumlah Tabel.1 menunjukkan bahwa sebagian besar
pasien perbulan dalam 3 bulan terakhir adalah 502 perawat berpendidikan Diploma (76,5%), memiliki
pasien. Survey kepuasan menurut persepsi pasien pengetahuan baik (52,9%), dan memiliki sikap
dan keluarga adalah sebesar 65%. Hasil wawancara positif (58,8%). Dalam hal perilaku caring,
dari 10 orang pasien dan keluarga pasien perawat rumah sakit dr.dradjat Prawiranegara juga
didapatkan sebanyak 4 orang merasa puas dengan memiliki perilaku caring yang baik (56,9%).
pelayanan keperawatan, sementara sebanyak 6 Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
orang mengatakan belum puas terhadap pelayanan responden memiliki perilaku caring yang baik. Hal
keperawatan yang diberikan dikarenakan sikap ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
perawat yang kurang ramah, kurang cepat tanggap Armilah (2016) yang menunjukan perilaku caring
disaat pasien memerlukan bantuan dan jarang diruang penyakit dalam dan bedah kelas III
tersenyum. sebagian besar responden yang diteliti memiliki
Hasil observasi yang dilakukan peneliti perilaku caring yang baik (71,8%) responden.
mengenai perilaku caring perawat menunjukkan Perilaku merupakan suatu respon seseorang
masih kurang maksimal. Hasil observasi yang ditunjukan karena adanya suatu stimulus atau
didapatkan perawat masih lebih banyak berfokus rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2010).
pada penyembuhan penyakit pasien, sedangkan Perilaku merupakan respon terbuka dari seseorang
kebutuhan psikologis dan spiritual pasien masih dalam bentuk tindakan yang nyata sehingga dapat
belum menjadi perhatian. Selain itu, hasil diamati (Fitriani, 2011). Berdasarkan hasil
observasi juga menemukan sikap perawat yang observasi menunjukan bahwa perawat
kurang ramah dengan pasien dan keluarga pasien memperlakukan pasien dengan baik dan sopan,
serta perawat yang kurang cepat dalam memberikan kesempatan kepada pasien untuk
memberikan pelayanan terhadap pasien. Hasil bertanya, dan menjawab pertanyaan pasien dengan
wawancara dengan 10 orang perawat sebanyak 4 jelas.
perawat mampu mengetahui dan memahami Tabel 1 :Distribusi frekuensi pendidikan,
caring, sedangkan 6 perawat belum mampu pengetahuan, sikap dan perilaku caring
mengetahui caring. perawat (n=51)
Variabel F %
Metode Penelitian
Pendidikan
Penelitian ini menggunakan metode
D3 keperawatan 39 76.5
kuantitatif dengan desain cross sectional.
S1 Keperawatan 12 23,5
Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni di Ruang
Rawat Inap Penyakit Dalam dan Bedah kelas III Pengetahuan
Rumah Sakit dr. Drajat Prawiranegara Serang Baik 27 52,9
tahun 2018. Populasi pada penelitian ini adalah Kurang Baik 24 47,1
perawat pelaksana sejumlah 51 orang dengan Sikap
teknik pengambilan sampel menggunakan total Positif 30 58,8
sampling. Pengumpulan data penelitian dilakukan Negatif 21 41,2
dengan menggunakan kuesioner pengetahuan, Perilaku Caring
sikap dan perilaku caring. Semua pertanyaan dan Caring baik 29 56,9
Caring kurang baik 22 43,1

79
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

keperawatan memiliki perilaku caring yang baik


Perawat selalu memeriksa kembali nama sebanyak 9 orang (75,0%) dan sebanyak 3 orang
pasien serta meminta izin dan menjelaskan (25,0%) memiliki perilaku caring yang kurang.
tindakan keperawatan yang akan dilakukan. Hasil uji statistik chi square dengan tingkat
Perawat memperhatikan prinsip keamanan dalam kepercayaan 95% diperoleh nilai p value sebesar
melakukan tindakan keperawatan, serta 0,264 (p> α) yang berarti tidak terdapat hubungan
memberikan pendidikan kesehatan mengenai antara pendidikan dengan perilaku caring perawat
penyakit pasien. Hal ini senada dengan hasil pelaksana.
penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan (2017) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
yang menunjukan bahwa sebagaian besar bahwa sebagian besar responden yang diteliti
responden yang diteliti memiliki perilaku caring berpendidikan terakhir D3 keperawatan. Hasil
yang baik. analisis juga menunjukan bahwa sebagian besar
dari mereka memiliki perilaku caring baik lebih
Hubungan Pendidikan Dengan Perilaku Caring banyak. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat
Perawat hubungan antara pendidikan dengan perilaku
Hubungan pendidikan dengan perilaku caring caring perawat. Hal ini menunjukan bahwa tingkat
perawat di ruang rawat inap penyakit dalam dan pendidikan perawat tidak mempengaruhi perilaku
bedah kelas III rumah sakit dr. Dradjat caring perawat pelaksana diruang penyakit dalam
Prawiranegara Serang tahun 2018 digambarkan dan bedah kelas III. Hasil penelitian ini sejalan
dalam tabel 2. dengan penelitian (Murtianingrum, 2015) yang
Berdasarkan tabel 2 diperoleh hasil bahwa menunjukkan bahwa sebagian besar responden
dari 39 responden yang berpendidikan D3 memiliki pendidikan terakhir D3 keperawatan dan
keperawatan yang memiliki perilaku caring baik memiliki perilaku caring yang baik. Hasil analisis
sebanyak 20 orang (51,3%) dan perilaku caring juga menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan
kurang sebanyak 19 orang (48,7%). Sedangkan antara pendidikan dengan perilaku caring perawat.
dari 12 responden yang berpendidikan S1

Tabel. 2: Hubungan pendidikan dengan perilaku caring Perawat (n=51)

Pendidikan Perilaku caring


Caring Baik Caring Kurang Total P Value
F % F % F %
D3 keperawatan 20 51,3 19 48,7 39 100,0 0,264
S1 keperawatan 9 75,0 3 25,0 12 100,0
Total 29 56,9 22 43,1 51 100,0

Tabel. 3: Hubungan pengetahuan dengan perilaku caring perawat (n=51)

Pengetahuan Perilaku caring


Caring Baik Caring Kurang Total P Value
F % F % F % OR
Baik 25 92,5 2 7,4 27 100,0 0,000 62,5
Kurang 4 16,7 20 83,3 24 100,0
Total 29 56,9 22 43,1 51 100,0

Tabel. 4: Hubungan Sikap Dengan Perilaku Caring Perawat (n=51)

Sikap Perilaku caring


Caring Baik Caring Kurang Total P Value OR
F % F % F %
Positif 22 71,0 9 16,4 30 100,0 0,000 28,0
Negatif 2 10.0 18 90,0 21 100,0
Total 24 47,1 27 52,9 51 100,0

80
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Pendidikan merupakan sarana untuk sejalan dengan penelitian Pratiwi (2017) yang
mengubah sikap dan perilaku seseorang melalui menunjukan bahwa sebesar 54,4% perawat
belajar, diskusi, pelatihan dan lain sebagainya. memiliki pengetahuan yang baik mengenai caring
Pendidikan sangat penting untuk mengubah pola dan hasil analisis didapatkan bahwa terdapat
pikir dan perilaku seseorang, jenjang pendidikan hubungan antara pengetahuan tentang caring
perawat mempengaruhi kualitas kinerja perawat itu terhadap aplikasi hubungan interpersonal perawat
sendiri karena semakin tinggi pendidikan perawat dengan pasien yang dimana hubungan
maka semakin luas pengetahuan dan wawasan interpersonal perawat pasien ini termasuk dalam
seorang perawat sehingga nantinya akan point perilaku caring perawat.
berdampak pada perilaku perawat termasuk untuk Hal ini menandakan bahwa pengetahuan
beperilaku caring. Untuk membangun pribadi merupakan faktor yang mempengaruhi responden
perawat yang berjiwa caring harus ditanamkan untuk berperilaku caring. Sesuai dengan teori yang
mulai sejak dini, dalam penyusunan kurikulum dikemukakan oleh Gibson (1987) dalam (Faizin &
pendidikan keperawatan harus selalu memasukan Winarsih, 2008) yang mengatakan bahwa faktor
unsur caring sehingga nantinya perawat sudah yang mempengaruhi perilaku caring perawat salah
terbiasa berperilaku caring sejak dini (Watson, satunya yaitu pengetahuan. Pengetahuan
2008). merupakan hasil tahu seseorang yang didapatkan
melalui belajar, pengalaman dan lain-lain.
Hubungan Pengetahuan Dengan Perilaku Pengetahuan perawat sangat mempengaruhi
Caring Perawat perilaku caring perawat karena perawat yang
Hubungan pengetahuan dengan perilaku mempunyai pengetahuan tentang caring yang baik
caring perawat di ruang rawat inap penyakit dalam mempunyai landasan teori yang cukup untuk
dan bedah kelas III rumah sakit dr.Dradjat dirinya dalam mempraktikkan caring. Dengan
Prawiranegara Serang tahun 2018 ditunjukkan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin baik
dalam table. 3. tingkat pengetahuan perawat terhadap caring,
Berdasarkan tabel 3 diperoleh hasil bahwa maka akan semakin baik juga perilaku caring
dari 27 responden yang berpengetahuan tentang perawat tersebut.
caring yang baik memiliki perilaku caring yang Dengan demikian, untuk menghasilkan
baik sebanyak 25 orang (92,5%) dan sebanyak 2 pribadi perawat yang berjiwa caring pengetahuan
orang (7,4%) yang memiliki perilaku caring yang menjadi faktor yang penting. Hasil penelitian ini
kurang. Hasil uji statistik chi square dengan tingkat juga sejalan dengan hasil penelitian Ramadhan
kepercayaan 95% diperoleh nilai p value sebesar (2017) yang menunjukkan bahwa pelatihan caring
0,000 (p< α) yang berarti terdapat hubungan yang perawat mampu meningkatkan kemampuan dan
signifikan antara pengetahuan dengan perilaku keterampilan perawat untuk menerapkan caring,
caring perawat pelaksana. Nilai Odd Ratio(OR) perawat yang memiliki kemampuan komunikasi
sebesar 62,5 yang artinya bahwa perawat dengan yang baik dapat memberikan perilaku caring yang
pengetahuan tentang caring yang baik memiliki baik, pengalaman perawat dalam menghadapi
peluang 62,5 kali lebih besar mempunyai perilaku pasien juga membuat perawat lebih terlatih dan
caring yang baik dibanding perawat yang memiliki terbiasa untuk berperilaku caring dan penghargaan
pengetahuan tentang caring yang kurang. atau reward dapat meningkatkan motivasi perawat
Hasil analisis hubungan antara pengetahuan untuk berperilaku caring.
dengan perilaku caring perawat menunjukan
bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan Hubungan Sikap dengan Perilaku Caring
dengan perilaku caring perawat. Hal ini sejalan Perawat
dengan peneliti Bondowoso dkk. (2014) yang Hubungan sikap dengan perilaku caring
menunjukan bahwa sebagian besar perawat perawat di ruang rawat inap penyakit dalam dan
memiliki tingkat kognitif tentang caring yang baik. bedah kelas III rumah sakir dr.Dradjat
Hasil analisis pada peneilitian tersebut juga Prawiranegara Serang tahun 2018 ditunjukkan
menunjukan terdapat hubungan antara tingkat dalam tabel.4.
pengetahuan dengan perilaku caring perawat di RS Berdasarkan tabel. 4 diperoleh hasil bahwa
Koeswandi Bondowoso. Hasil penelitian ini juga dari 30 responden yang memiliki sikap caring

81
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

yang positif menunjukan perilaku caring yang baik sikap seseorang terhadap suatu objek akan
sebanyak 22 orang (71,0%) dan sebanyak 9 orang mempengaruhi perilaku seseorang terhadap objek
(16,4%) yang memiliki perilaku caring yang tersebut.Sikap caring perawat yang positif selain
kurang. Sedangkan dari 21 responden yang terbentuk dari pengetahuan yang baik dan juga
memiliki sikap caring yang negatif menunjukan didapatkan dari kebudayaan, lingkungan kerja dan
perilaku caring yang kurang sebanyak 18 orang lembaga pendidikan yang telah ditempuh perawat
(90,0%) dan sebanyak 2 orang (10,0%) yang (Ramadhan, 2017).
mempunyai perilaku caring baik. Hasil uji uji Pada penelitian ini dapat menunjukan bahwa
statistik chi square dengan tingkat kepercayaan sikap merupakan faktor yang mendukung perawat
95% diperoleh nilai p value sebesar 0,000 (p<α) untuk berperilaku caring. Sesuai dengan teori yang
yang berarti terdapat hubungan yang signifikan dikemukakan oleh Gibson (1987) dalam (Faizin &
antara sikap dengan perilaku caring perawat, Winarsih, 2008) yang mengatakan bahwa sikap
dengan nilai Odd Ratio sebesar 28 yang artinya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
bahwa perawat dengan sikap caring yang positif perilaku caring perawat. Sikap merupakan
memiliki peluang 28 kali lebih besar mempunyai tanggapan seseorang terhadap suatu objek. Dari
perilaku caring yang baik dibanding perawat yang hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian
memiliki sikap yang negatif. besar responden bersikap positif terhadap caring
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data yang artinya sebagian besar responden
bahwa sebagian besar responden yang diteliti menganggap caring adalah suatu hal yang baik.
diketahui sebagian besar memiliki sikap caring Perawat diruang penyakit dalam dan bedah kelas
yang positif. Hasil penelitian ini sejalan dengan III Rumah Sakit dr.Dradjat Prawiranegara
penelitian yang dilakukan di Ruang Rawat Inap memiliki sikap caring yang positif sehingga
Kelas III Bangsal Barokah dan Inayah RS PKU menghasilkan perilaku caring yang baik. Dapat
Muhammadiyah Gombong yang menunjukan disimpulkan bahwa semakin positif sikap perawat
bahwa sebagian besar responden yang diteliti mengenai caring maka akan semakin baik pula
memiliki sikap yang positif terhadap caring perilaku caring perawat.
(Ramadhan, 2017). Hasil analisis juga menunjukan
bahwa sebagian besar perawat yang memiliki Simpulan
perilaku caring yang baik terjadi pada perawat Perawat di Ruang Penyakit Dalam dan Bedah
yang memiliki sikap yang positif terhadap caring, Kelas III Rumah Sakit dr.Dradjat Prawiranegara
sedangkan dari perawat yang memiliki sikap Kabupaten Serang memiliki perilaku caring yang
caring yang positif hanya sebagian kecil yang baik, hal ini didukung oleh pengetahuan dan sikap
memiliki perilaku caring yang kurang. yang baik pula dari perawat. Hasil penelitian
Hasil analisis menunjukkan terdapat menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan
hubungan antara sikap dengan perilaku caring dan sikap perawat dengan perilaku caring perawat,
perawat pelaksana serupa dengan penelitian sedangkan pendidikan tidak ada hubungan yang
Ramadhan (2017) yang mengatakan bahwa sebesar signifikan antara pendidikan dengan perilaku
63,3% memiliki sikap yang positif terhadap caring caring perawat.
dan dari hasil analisis didapatkan hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara sikap Referensi
dengan perilaku caring perawat. Apriyanti M. (2009). Faktor-faktor Yang
Sikap merupakan suatu reaksi perasaan Berhubungan Dengan Perilaku Caring
seseorang terhadap suatu objek, reaksi tersebut bisa Perawat Di Ruang Perawatan Interna.
berupa perasaan mendukung atau tidak Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
mendukung. Sikap perawat dalam menyikapi Sriwijaya.
caring memberikan pengaruh terhadap perilaku Ardiana, A. Sahar, J. Gayatri, D. (2010). Hubungan
caring perawat, hal ini didasari oleh perawat yang Kecerdasan Emossional Perawat Dengan
menyikapi caring secara positif akan mendukung Perilaku Caring Perawat Pelaksana Menurut
semua kegiatan yang berkaitan dengan caring dan Persepsi Paien.Jurnal Keperawatan
akan mudah dalam menerapkan perilaku caring, Indonesia.Vol 13, No. 3.
begitu pula sebaliknya. Gibson (1987) dalam http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20
(Faizin & Winarsih, 2008) mengatakan bahwa 282484T%20Anisah%20Ardiana.pdf.

82
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Armilah, S. (2015). Hubungan Stress Kerja 203–208. https://doi.org/:


Dengan Perilaku Caring Di Ruang Rawat Inap http://dx.org/10.22216/jen.v2i2.1882.
Kelas III RSUD dr.Dradjat Prawiranegara Murtianingrum, B. (2015). Hubungan Tingkat
Kabupaten Serang. Skripsi tidak Pendidikan Perawat Dengan Perilaku Caring
dipublikasikan. Perawat Di Rumah Sakit Umum Daerah
Bondowoso, K., Prabowo, B. S., Ardiana, A., & Panembanan Senopati Bantul. Skripsi Ilmu
Wijaya, D. (2014). Hubungan Tingkat Keperawatan.
Kognitif Perawat tentang Caring dengan https://www.google.com/search?q=hubungan
Aplikasi Praktek Caring di Ruang Rawat Inap tingkatpendidikandenganprilakucaring.69i57.
RSU dr . H . Koesnadi Bondowoso ( The 10959j0j4&.pdf
Correlation between Nurses Cognitive Level Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan
on Caring with Caring Practice Application in Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
the Inpatient Unit RSU dr . E-Jurnal Pustaka Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian
Kesehatan, 2(1), 148–153. Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta : Rineka
Faizin, A., & Winarsih. (2008). Hubungan Tingkat Cipta Perry A.G & Potter P.A. (2005).
Pendidikan dan Lama Kerja Perawat dengan Fundamental Keperawatan Konsep, Proses
Kinerja Perawat di RSU Pandan Arang dan Praktik, Edisi 4, Volume 1. Jakarta : EGC.
Kabupaten Boyolali. Berita Ilmu Pratiwi, L (2017). Hubungan Tingkat Pengetahuan
Keperawatan, 1(3), 137–142. Perawat Tentang Caring Terhadap
Fitriani, S. (2011). Promosi Kesehatan. Cetakan 1. Pencapaian Hubungan Interpersonal
Yogyakarta: Graha Ilmu. Perawat-Pasien Di Ruang Rawat Inap RS
Hutapea. A. K, Dedi Blacius, Elias Yuliana. DKT Jember. Skripsi.
(2013). Hubungan Perilaku Caring Perawat http://repository.unej.ac.id/handle/123456789
Dengan Tingkat Kepuasan Pasien Yang /84849.
Dirawat di Ruangan Kelas III Rumah Sakit Ramadhan, N,1 (2017). Hubungan Pengetahuan
Immanuel Bandung. Jurnal Ilmu Kesehatan. Dan Sikap Caring Dengan Perilaku Caring
8, 383–392. Perawat Pada Pasien. Skripsi Ilmu
Kementerian Kesehatan RI. (2009). Undang- Keperawatan.
Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/709/1/IS
2009 Tentang Rumah Sakit, 1. NAENI%20NUR%20RAMADHAN%20NI
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324. M.%20A11300970.pdf.
004Tinggi, S., & Kesehatan, I. (2017). Watson, J. (2008). Core concepts of Jean Watson 's
Hubungan pengetahuan dan sikap caring theory of human caring/caring science. Textto
dengan perilaku caring perawat pada pasien. Contexto Enferm, Florianόpolis, 2008.
Mailani, F., & Fitri, N. (2017). Hubungan Perilaku
Caring Perawat Dengan Tingkat Kepuasan
Pasien BPJS Di RSUD DR. Rasidin
Padang.Journal Endurance 2(2), 2(June),

83
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Hubungan Pengetahuan HIV/AIDs, Terapi Antiretroviral,


dan Infeksi Oportunistik Terhadap Kepatuhan ODHA
dalam Menjalani Terapi Antiretroviral

Dikha Ayu Kurnia1*, Umi Solekhah1

1 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI


*Corresponding Author: dikha.ayukurnia@gmail.com

Abstrak

Peningkatan pravelensi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dari tahun ke tahun merupakan masalah kesehatan global
yang serius. Antiretroviral (ARV) merupakan satu-satunya terapi bagi ODHA yang harus dikonsumsi seumur hidup
dengan kepatuhan tinggi (95%) guna mencapai efektifitas obat. Tetapi, masalah kepatuhan menjadi masalah utama
bagi ODHA. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mendukung tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan HIV/AIDS, terapi ARV dan infeksi
oportunistik dengan tingkat kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi antiretroviral. Penelitian menggunakan metode
cross sectional dengan jumlah sampel 50 responden yang dipilih menggunakan teknik total sampling. Hasil penelitian
menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan ODHA dalam
menjalani terapi ARV (p value = 0.107 > 0.05). Hasil tersebut kontradiktif hasil penelitian sebelumnya yang
menyatakan terdapat hubungan pengetahuan terapi ARV dengan tingkat kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi
ARV di rumah Sakit Padang.
Kata Kunci: HIV/AIDS, Infeksi Oportunistik, Kepatuhan, Pengetahuan, Terapi ARV

Abstract

Increasing the number of People Living with HIV / AIDS (PLWHA) is one of the serious global health problems.
Antiretroviral (ARV) is the only available therapeutic for PLWHA to be consumed for a lifetime with high adherence
(95%) in order to achieve drug effectiveness. However, compliance issues are still a major problem for PLWHA.
Knowledge is one of many factors that can support adherence in therapy. This study aims to determine the correlation
between the level of knowledge about HIV / AIDS, ARV therapy and opportunistic infections and the level of adherence
of PLWHA in antiretroviral therapy. This study used a cross sectional total sampling method with a total sample of 50
respondents. The results of this study showed no significant relationship between the level of knowledge with the level
of obedience of PLWHA in ARV therapy (p value = 0.107 > 0.05). These results contrast with the previous study who
stated that there was a relationship between knowledge of ARV therapy and the level of obedience of PLWHA in
undergoing ARV therapy in Padang Hospital.
Keywords: Adherence, ARV therapy, knowledge, HIV / AIDS, opportunistic, infections

84
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Pendahuluan tidak bekerja membunuh virus, melainkan hanya


Human Immunodeficiency Virus/ Acquired bekerja menekan replikasi virus (World Health
Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) masih Organization [WHO], 2003; Tusiime, 2008).
menjadi masalah kesehatan utama di dunia Efektifitas dan keberhasilan terapi ARV
termasuk Indonesia (InfoDATIN, 2014). sangat dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan ODHA
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh dalam menjalani terapi. Dibutuhkan tingkat
UNAIDS, pravelensi kasus HIV/AIDS di dunia kepatuhan minimal 95% agar dapat menekan viral
selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. load dalam tubuh (O’Donnell, 2015). Sayangnya,
Jumlah penduduk dunia yang terinfeksi HIV pada banyak ODHA yang menjalani terapi ARV
tahun 2010 sebanyak 33.3 juta jiwa. Pada tahun memiliki tingkat kepatuhan kurang adekuat.
2015 jumlahnya meningkat menjadi 36.7 juta Menurut hasil penelitian dengan metode meta-
jiwa. Kasus HIV/AIDS di Indonesia juga analisis yang dilakukan pada tahun 2011 tersebut,
cenderung mengalami peningkatan. Angka kasus dari 33.199 ODHA dewasa yang diteliti dalam 84
HIV yang dilaporkan pada tahun 2012 sebanyak observational studies, hanya 62% yang memiliki
21.511 kasus. Kemudian meningkat menjadi tingkat kepatuhan minimal 90% (Ortego, 2011).
29.037 kasus pada tahun 2013 (Ditjen PP& PL, Pengetahuan dan pemahaman pasien tentang
2014) dan kembali meningkat menjadi 32.711 penyakit dan pengobatan yang dijalaninya
kasus pada tahun 2016 (Ditjen PP&PL, 2016). merupakan salah faktor yang dapat mendorong
Kasus AIDS di Indonesia juga terus mengalami motivasi pasien untuk patuh (WHO, 2003).
peningkatan. Pada tahun 2011 jumlah kasus AIDS Semakin tinggi tingkat pegetahuan yang dimiliki
yang dilaporkan mencapai 7.312 kasus. Pada ODHA, semakin tinggi pula pemahaman mereka
tahun 2012 terjadi peningkatan menjadi 8.747 terhadap manfaat kepatuhan terapi yang dapat
kasus. Sementara, pada tahun 2016 jumlahnya memperlambat perburukan penyakit dan
mencapai 7.664 kasus (Ditjen PP&PL, 2016). meningkatkan kualitas hidup mereka, baik secara
Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi fisik, psikologis, maupun sosial, sehingga
dengan pravelensi HIV/AIDS tertinggi di kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi ARV
Indonesia. Pada tahun 2014 jumlah kasus HIV di juga semakin meningkat (Yuniar, Rini & Ni
Jawa Barat menempati peringkat ke-4 tertinggi di Ketut, 2012). Hal tersebut selaras dengan
Indonesia dengan jumlah kasus sebanyak 13.507 penelitian yang dilakukan Kasumu dan Balogum
kasus. (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014). (2014) tentang pengetahuan dan sikap terhadap
Adapun kasus HIV/AIDS di tingkat kota Depok terapi ARV dan tingkat kepatuhan pasien HIV di
dilaporkan jumlahnya mencapai 724 kasus pada bagian barat daya Nigeria. Penelitian ini
Bulan September 2016 (Dinkes, 2016). Oleh menunjukkan hasil 83.1% dari 361 pasien yang
sebab itu, HIV/AIDS menjadi masalah kesehatan dipilih secara sistematik sampling memiliki
prioritas di kota Depok karena dampak HIV/AIDS tingkat pengetahuan yang tinggi tentang terapi
bagi kesehatan dapat menyebabkan penurunan ARV, dan sebanyak 78.4% responden memiliki
daya tahan tubuh, infeksi oportunistik, dan tingkat kepatuhan tinggi. Namun, dua penelitian
menyebabkan kematian. yang dilakukan di Indonesia tentang hubungan
Walaupun dampak HIV/AIDS bagi kesehatan antara tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS
sangat besar namun saat ini masih belum dan terapi Antiretroviral justru menunjukkan tidak
ditemukan obat yang dapat mematikan HIV yang ada hubungan dengan kepatuhan dalam menjalani
telah menyebar di dalam tubuh (Tussime, 2008). terapi ARV (Dinia, 2005; Febriyanti, 2009).
Terapi atau pengobatan HIV/AIDS yang ada Oleh karena itu perlu dikembangkan
sekarang hanya berfungsi untuk mengurangi penelitian lain yang lebih komprehensif terkait
risiko penularan HIV, menghambat perburukan pengetahuan yang mencakup pengetahuan tentang
infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup HIV/AIDS dan terapi ARV, dengan ditambah
ODHA, dan menurunkan jumlah virus (viral load) pengetahuan tentang infeksi oportunistik yang
dalam darah sampai tidak terdeteksi (Permenkes merupakan penyebab kematian utama pada
RI, 2014). Terapi bagi ODHA tersebut dikenal ODHA dan kemunculannya sangat dipengaruhi
sebagai Terapi Anti Retroviral (ARV) harus oleh kepatuhan terapi ARV. Dengan cakupan
dijalani oleh ODHA seumur hidup karena ARV yang lebih menyeluruh, diharapkan hasil

85
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

penelitian yang didapat akan menunjukkan Hasil dan Pembahasan


hubungan yang bermakna antara tingkat Berdasarkan tabel 1, tampak bahwa tidak ada
pengetahuan dengan tingkat kepatuhan. Oleh responden yang berusia di atas 45 tahun. Hamper
karena itu, tujuan penelitian ini adalah mengetahui setengahnya 24 (48%) responden berada pada
hubungan antara tingkat pengetahuan tentang rentang usia 25 – 34 tahun. Jumlah responden
HIV/AIDS, terapi ARV dan infeksi oportunistik laki-laki lebih banyak dibanding responden
dengan tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi perempuan, yaitu 28 (56%) responden. Hamper
ARV pada ODHA. Hal ini dikarenakan apabila setengahnya responden berpendidikan menengah,
pengetahuan tentang HIV/AIDS, terapi ARV, dan yaitu 23 (46%) responden. Karyawan atau
infeksi oportunistik diketahui secara lengkap dan pegawai negeri swasta merupakan jenis pekerjaan
menyeluruh akan meningkatkan kepatuhan dalam mayoritas responden, yaitu 15 (30%) responden.
meminum obat ARV. Hamper setengahnya responden telah menjalani
terapi antiretroviral pada rentang waktu antara 6 –
Metode Penelitian 12 bulan, yaitu 22 (44%) respoden. Hasil
Penelitian ini menggunakan desain cross pemeriksaan CD4 terakhir responden sebagian
sectional dengan teknik total sampling. Teknik besar berada pada rentang dibawah nilai normal
total sampling adalah cara pengambilan sampel antara >200 – 500 sel/mm3, yaitu 32 (64%)
yang dilakukan dengan memilih sampel yang responden.
memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu
tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi dan Tabel 1. Karakteristik Demografi Responden
jumlah sampel sama dengan populasi (Sugiyono, Variabel F %
2011). Alasan mengambil total sampling karena Usia (tahun)
jumlah populasi yang kurang dari 100, sehingga 15 – 24 7 14
seluruh populasi dijadikan sampel penelitian 25 – 34 24 48
semuanya. Responden dalam penelitian ODHA 35 – 44 19 38
anggota Kuldesak Depok yang merupakan salah Jenis kelamin
satu komunitas bagi ODHA untuk saling Perempuan 28 56
mendukung. Penelitian ini dilakukan dari Bulan Laki-laki 22 44
Desember 2016 hingga Bulan Desember 2017. Pendidikan
Instrumen penelitian yang digunakan dalam Rendah 7 14
penelitian ini yaitu kuisioner tingkat pengetahuan Menengah 23 46
tentang HIV/AIDS, terapi ARV, dan infeksi Tinggi 20 40
oportunistik yang dikembangkan sendiri oleh Pekejaan
peneliti dan telah melalui uji validitas dan Tidak bekerja 8 16
reliabilitas. Serta kuisioner tingkat kepatuhan Pelajar 4 8
Morisky Medical Adherence Scale (MMAS) 8 Karyawan/ PNS 15 30
pertanyaan. Kuisioner ini sudah dilakukan uji Wiraswasta/pedagang 8 16
validitas dan reliabilitas dan dinyatakan valid dan Pekerja musiman 1 2
reliabel dalam 80 versi bahasa (American Medical Lainnya 14 28
Association, 2010). Proses pengambilan data Lama menjalani terapi ARV
dilakukan secara langsung di komunitas, maupun ≥ 6 – 12 bulan 22 44
di tempat layanan kesehatan dengan didampingi > 1 - 3 tahun 21 42
anggota komunitas. Sebelum melakukan > 3 – 5 tahun 4 8
pengambilan data, peneliti terlebih melakukan > 5 – 7 tahun 1 2
inform concerned dengan menjelaskan tujuan > 7 – 9 tahun 1 2
penelitian, manfaat penelitian dan cara pengisian > 9 tahun 1 2
kuisioner serta pada responden. Data yang telah Jumlah CD4 (sel/mm3)
terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data < 200 9 18
menggunakan aplikasi didalam komputer. 200 - < 500 32 64
≥ 500 9 18

86
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Pada tabel 2, dapat dilihat bahwa sebagian memiliki tingkat kepatuhan rendah sebanyak 20
besar responden, yaitu 56% memilik tingkat (40%) responden, disusul dengan tingkat
pengetahuan baik, kemudian disusul responden kepatuhan sedang sebanyak 19 (38%) responden,
dengan tingkat pengetahuan cukup sebanyak 30%, dan tingkat kepatuhan tinggi sebanyak 11 (22%)
dan responden dengan tingkat pengetahuan responden. Tingkat kepatuhan yang rendah dapat
kurang sebanyak 14%. Tingginya tingkat disebabkan karen tingginya jumlah responden
pengetahuan disebabkan karena adanya program yang bekerja sebagai karyawan sebanyak 30%.
study club yang menghadirkan dokter maupun Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh
nara sumber terpercaya yang disampaikan kepada Notoatmodjo (2007) bahwa pasien yang bekerja
ODHA di komunitas tersebut. cenderung memiliki waktu lebih sedikit untuk
Hal ini sesuai dengan teori Notoatmodjo melakukan pengobatan. Hal ini menjadi temuan
(2003) bahwa sumber informasi dapat berasal dari bahwa dengan tingkat kepatuhan yang rendah,
media massa maupun orang lain melalui kegiatan dapat menyebabkan ODHA menjadi gagal terapi
belajar formal maupun informal. Selain itu, hasil ARV, dimana kriteria gagal terapi ditentukan
pengetahuan yang tinggi dari pengetahuan berdasarkan tiga kriteria yaitu kriteria klinis,
responden adalah mengenai pengetahuan imunologis, dan virologis (Kemenkes RI, 2011).
HIV/AIDS, dimana seluruh responden menjawab
benar sebanyak 100% mengenai pertanyaan Tabel 2. Pengetahuan tentang HIV/AIDS, Terapi
bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit yang Antiretroviral dan Infeksi Oportunistik
menyerang daya tahan tubuh. Sedangkan jenis-
jenis infeksi oportunistik merupakan pertanyaan Pegetahuan F %
yang paling sedikit dijawab benar oleh responden Kurang 7 14
yang menjawab benar, yaitu sebesar 12%. Cukup 15 30
Pertanyaan tersebut adalah bahwa TB Paru, diare Baik 28 56
berat, demam lebih dari satu bulan, pneumonia, Total 50 100
meningitis, malaria, kandidiasis oral, dan hepatitis
merupakan contoh penyakit infeksi oportunistik. Tabel 3. Kepatuhan dalam Menjalani Terapi
Hal tersebut mendukung dengan sudah semakin Antiretroviral
meluasnya pendidikan kesehatan mengenai
HIV/AIDS namun pendidikan kesehatan Kepatuhan F %
mengenai infeksi oportunistik masih minim. Hal Rendah 20 40
ini menjadi perhatian bahwa karena tingkat Sedang 19 38
kepatuhan rendah dapat berdampak pada Tinggi 11 22
resistensi obat dan menimbulkan ko-infeksi
Total 50 100
(pengulangan infeksi oprtunistik) serta kegagalan
dalam menekan viral load.
Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa hamper
sebagian besar responden dalam penelitian ini

Tabel 4. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS, Terapi ARV dan Infeksi Oportunistik dengan
Tingkat Kepatuhan dalam Menjalani Terapi ARV

Kepatuhan Menjalani Terapi ARV


Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi Total P Value

Kurang 6 (12%) 1 (2%) 0 (0%) 7 (14%)


Cukup 4 (8%) 7 (14%) 4 (8%) 15 (30%) 0.107
Baik 10 (20%) 11 (22%) 7 (14%) 28 (56%)
Total 20 (40%) 19 (38%) 11 (22%) 50 (100%)

87
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Kepatuhan dalam menjalani terapi sangat tersebut kontras dengan hasil penelitian Wildra
menentukan kesuksesan suatu pengobatan. (2013) yang menyatakan bahwa terdapat
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi medis hubungan antara pengetahuana tetang terapi ARV
berdampak terhadap perburukan kondisi penyakit, dengan tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi
kematian, membuang-buang obat, menurunkan ARV pada ODHA di poliklinik khusus rawat jalan
kualitas hidup, meningkatkan penggunaan bagian penyakit dalam RSUP dr. M. Djamil
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, ataupun Padang.
nursing home, serta meningkatkan biaya Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perawatan (Jimmy, 2011). Dengan demikian, sebagian kecil responden yang memiliki tingkat
kepatuhan menjadi hal yang penting untuk pengetahuan kurang memiliki tingkat kepatuhan
diperhatikan karena dampak dari ketidakpatuhan rendah. Sedangkan sebagian kecil lainnya
akan berimbas terhadap berbagai aspek, tidak responden yang memiliki tingkat pengetahuan
hanya berpengaruh terhadap kondisi pasien cukup memiliki tingkat kepatuhan sedang. Selain
namun juga terhadap pelayanan kesehatan. itu, sebagian kecil responden yang memiliki
tingkat pengetahuan baik juga memiliki tingkat
Analisis Bivariat kepatuhan sedang. Temuan tersebut diindikasikan
Berdasarkan tabel 4, dapat disimpulkan yang menjadi penyebab dalam penelitian ini tidak
bahwa sebagian terdapat responden yang memiliki ditemukan adanya hubungan antara pengetahuan
tingkat pengetahuan kurang ang memiliki tingkat tentang HIV/AIDS, terapi ARV dan infeksi
kepatuhan rendah, yaitu sebanyak 6 (12%) oportunistik dengan tingkat kepatuhan dalam
responden. Responden yang memiliki tingkat menjalani terapi ARV. Hasil penelitian ini
pengetahuan cukup juga memiliki tingkat menunjukkan ketidaksesuaian dengan kajian
kepatuhan sedang sebanyak (14%). Sementara, Notoatmodjo (2011) yang mengungkapkan
responden dengan pengetahuan baik lebih banyak bahwa seseorang menunjukkan bahwa orang
yang memiliki tingkat kepatuhan sedang 7 (22%) tersebut telah mengetahui, mengerti dan
responden. Hasil uji chi square untuk penelitian memahami kondisi penyakit dan tujuan
ini memiliki nilai p value sebesar 0.107 dengan pengobatan yang sedang dijalaninya maka
nilai α < 0.05. Sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi pula kepatuhan dalam menjalani
tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat terapi atau pengobatan. Hal tersebut
pengetahuan tentang HIV/AIDS, terapi membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
antiretroviral (ARV), dan infeksi oportunistik mengetahui faktor yang mempengaruhi
dengan tingkat kepatuhan menjalani terapi ARV. ketidakpatuhan responden walaupun responden
Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang telah memiliki pengetahuan yang baik.
pasien memiliki pengaruh terhadap tingkat
kepatuhannya dalam menjalani terapi atau Simpulan
pengobatan (Notoatmodjo, 2011). Tidak adanya Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara tingkat pengetahuan dan tingkat tingkat pengetahuan HIV/AIDS, terapi ARV dan
kepatuhan dalam penelitian ini dapat disebabkan infeksi oportunistik tidak berhubungan dengan
oleh berbagai faktor lain yang dapat tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi ARV.
mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
menjalani terapi ARV yang tidak diteliti dalam acuan bagi penelitian selanjutnya dan dapat terus
penelitian ini. Faktor tersebut diantaranya adalah dikembangkan dalam wilayah yang lebih luas
stigma, diskriminasi, permasalahan ekonomi, dan dengan jumlah responden yang lebih besar.
dukungan dari keluarga. Stigma dan diskrimasi
(Reidpath, 2005; Paxton, 2007), permasalahan Referensi
ekonomi (Wasti., et al, 2012), kurangnya American Medical Association. (2010).
dukungan dari keluarga (Shah, 2007), hingga Medication adherence. Nursing Standard.
kekhawatiran statusnya akan diketahui oleh orang Vol 24 (36): 59.
lain (Weaver, 2014) merupakan faktor-faktor yang Dinia, N (2005). Hubungan antara Tingkat
terbukti berhubungan dengan tingkat kepatuhan Pengetahuan tentang Terapi Antiretroviral
dalam menjalani terapi ARV. Namun, hasil dengan Kepatuhan dalam Menjalani Terapi

88
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Antiretroviral pada ODHA di Klinik Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor


Pokdisus Jakarta. Depok: Fakultas 87.
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Reidpath, D.D., Brijnath, B., & Chan, K.Y.
Universitas Indonesia. (2005). An Asia Pacific six-country study on
Dinkes Kota Depok. (2016). Kota Depok Miliki HIV-related discrimination: Introduction.
19 Pelayanan HIV/AIDS. (2016). diakses dari AIDS Care, 17, 117–127.
http://dinkes.depok.go.id/?p=2000. Shah, B., Walshe L., Saple, D., Mehta, S.,
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI. (2014). Statistik Ramnani, J., et al. (2007). Adherence to
kasus HIV/ AIDS di Indonesia. Jakarta: Antiretrovial Therapy and Virologic
Kemenkes RI. Supression Among HIV-Infected Persons
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI. (2016). Statistik Receving Care In Private Clinics In
kasus HIV/ AIDS di Indonesia. Jakarta: Mumbai, India. Clinical Infectious Diseases,
Kemenkes RI. 44, 1235–1244.
Febriyanti, T.R. (2009). Hubungan Tingkat Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif,
Pengetahuan kien tentang HIV/AIDS dengan kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Kepatuhan Klien dalam Menjalani Terapi Tusiime, J.B., Orrell, C., & Bangberg, D. (2008).
ARV di POSDISUS RSUPN Cipto Adherence to HIV Antiretroviral Therapy in
Manunkusomo tahun 2009. Depok: Fakultas Resource-limited. Global HIV/AIDS
Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. Medicine, 7, 207-213 UNAIDS. (2016).
InfoDATIN. (2014). Jakarta: Pusat Data dan Global AIDS Update 2016. Geneva: Joint
Informasi Kementerian Kesehatan RI. United Nations Programme on HIV/AIDS.
Morisky, D.E., Ang, A., Krousel-Woos, M.A. & Wasti, S., Teijlingen, E., Simkhada, P., Randall,
Ward, H. (2008). Predictive Validity of a J., & Baxter, S., et al. (2012). Factors
Medication Adherence Measure in an influencing adherence to antiretroviral
Outpatient Setting, The Journal of Clinical treatment in Asian developing countries: a
Hypertension, 10, 348-354. systematic review. Tropical Medicine and
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan International Health, 17, 71–81.
Ilmu Perilaku. Jakarta: Penerbit Rineka Weaver, E.R.N., Masdalina, P., Toni, W., Cicilia,
Cipta. W. Herlina., & Gina, S. (2014). Factors that
Notoatmodjo S. (2011) Kesehatan Masyarakat Influence Adherence to Antiretroviral
Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Treatment in an Urban Population, Jakarta,
O’Donnell, R., Allison, W., Lise, W., Robert, H., Indonesia. Plos One Journal, 9 (9), 1-7.
& Nesri, P. (2015). Adherence in the Wildra, M., Aelmi, A., & Raveina. (2013).
treatment of patients with extensively drug- Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
resistant tuberculosis and HIV in South pasien hiv/aids di poliklinik rawat khusus
Africa: A prospective cohort study. jalan bagian penyakit dalam rsup dr. M
Journal Acquired Immune Deficiency Djamil Padang periode Desember 2011 –
Syndrome, 67(1), 22-29. Maret 2012. Jurnal Farmasi Andalas. 1(1):
Ortego, C., Huedo, M.T.B., Llorica, J., Sevilla, L., 48 - 52.
Santos, P., Rodriguez, E., Warren, M.R., World Health Organization (WHO). Adherence
Vejo, J. (2011). Adherence to highly active To Long-Term Therapies: Evidence For
antiretroviral therapy (HAART): a meta- Action. (2003). Geneva: WHO.
analysis. AIDS Behaviour, 15(7), 1381-1396. Yuniar, Y., Rini, S.H., & Ni Ketut, A. (2012).
Paxton, S., & Stephens, D. (2007). Challenges to Faktor-faktor pendukung kepatuhan Orang
the meaningful involvement of HIV positive dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam minum
people in the response to HIV/AIDS in obat antiretroviral di Komunitas Kuldesak
Cambodia, India and Indonesia. Asia-Pacific Depok. Buletin Penelitian Kesehatan, 41 (2),
Journal of Public Health, 19, 8–13. 72-83
Permenkes RI. (2014). Pedoman Pengobatan
Antiretroviral. Peraturan Menteri Kesehatan

89
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Studi Kasus: Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial Pasca Pasung

Muhammad Fadly1, Giur Hargiana1*

1Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI


*Corresponding Author: giurhargiana@ui. ac. id

Abstrak

Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Tujuanstudi kasus ini adalah untuk menganalisis tentang asuhan
keperawatan isolasi sosial pasca pasung pada Tn. P dengan skizofrenia paranoid. Proses asuhan keperawatan dilakukan
berdasarkan standar asuhan keperawatan generalis selama enam hari rawat pada tanggal 7-12 Mei 2018 pada Tn. P
dengan usia 32 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Hasil didapatkan masalah keperawatan utama adalah isolasi sosial.
Implementasi keperawatan berfokus pada kemampuan klien membina hubungan saling percaya dan meningkatkan
kemampuan klien berinteraksi secara bertahap. Intervensi keperawatan memberikan dampak yang positif kepada klien
dilihat dengan penurunan tanda dan gejala isolasi sosial pada aspek kognitif, afektif, fisiologis dan sosial, namun belum
tampak penurunan pada aspek perilaku. Faktor yang menyebabkan klien sulit membina hubungan dengan perawat yaitu
faktor internal dimana klien memiliki penilaian negatif terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan dan faktor
eksternal dimana klien menganggap perawat sebagai stressor yang membahayakan. Rencana tindak lanjut pelayanan
keperawatan diharapkan dapat dimaksimalkan baik secara individu, keluarga, kelompok dan komunitas.
Kata Kunci: isolasi sosial, skizofrenia paranoid, standar asuhan keperawatan

Abstract

Social isolation is characterized by decline or loss inability to interact with others. This paper aimed to analyze the nursing
care of social isolation on Mr. P with schizophrenia paranoid. The nursing care process is based on the standard of
generalist nursing care which provided for six days from May 7th throughout 12th 2018 on Mr. P aged 32 years male.
Main nursing problem was social isolation. Nursing intervention was emphasized on client’s ability to establish mutual
relationship and improve client’s communication skills gradually. Nursing interventions affected client positively as
manifested gy decreased signs and symptoms of social isolation on the cognitive, affective, physiological and social
aspects, but there had not been a decline in behavioral aspects. Client’s barriers in establishing relationship with nurses
were internal factors in which clients had negative judgments about themselves, others and the environment and
external factors where clients considered the nurse as a threatening stressor. Nursing care follow-up plans are expected
to be maximized for individually, family, group and community.
Keywords: schizophrenia paranoid, social isolation, standard of nursing care

90
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Pendahuluan dilakukan untuk mengatasi masalah isolasi sosial


Gangguan jiwa (psikosis) merupakan suatu dengan memberikan berbagai intervensi
keadaan jiwa yang tidak mempunyai hubungan keperawatan yaitu Social Affiliation Enhancement
dengan realitas, dimana selama periode gangguan Tasks,SocializationEnhancement, Social Network
jiwa, individu tersebut tidak menyadari apa yang Intervention, Behavior Modification: socialskills,
dialami orang lain tentang hal yang sama dan orang e-Intervention, Terapi Aktivitas Kelompok
lain tidak mempunyai respons dengan cara yang Sosialisai (TAKS), Strategies Against Stigma and
sama ( Stuart, Keliat & Pasaribu, 2016). Gangguan Discrimination (SASD), Psychoeducation Social
jiwa yang banyak dirawat di rumah sakit adalah Skills Training (SST), dan Cognitive Behavioral
skizofrenia dengan angka prevalensi skizofrenia di Therapy (CBT) (Kopelowicz & Liberman, 2003;
dunia cukup tinggi yaitu sekitar 24 juta orang, Li, et al, 2010; Gomes & Miguel, 2012; Tarzian, et
sedangkan di Indonesia berdasarkan laporan Riset al, 2013; Bulechek,Bulechek, et al, 2013;
Kesehatan Dasar 2013 berjumlah 1,7 permil atau McCarthy, et al, 2017; Chipps, Jarvis & Ramlall,
dapat dikatakan bahwa terdapat satu sampai dua 2017).
orang yang mengalami gangguan jiwa dalam Penulis menemukan dari 20 klien yang ada di
seribu penduduk Indonesia (Kemenkes, 2013; ruang Subadra RSMM Bogor dan dirawat oleh
WHO, 2011). mahasiswa praktik profesi Ners didapatkan
Isolasi sosial adalah salah satu diagnosis sebanyak 12 orang atau 60% mengalami isolasi
keperawatan berdasarkan tanda negatif dari klien sosial. Penulis melakukan pengelolaan asuhan
skzofrenia. Isolasi sosial terjadi dipengaruhi oleh keperawatan pada klien Tn. P dengan diagnosis
berbagai faktor yaitu usia, gender, pendidikan, keperawatan isolasi sosial selama enam hari
pekerjaan, latar belakang budaya, keyakinan religi, perawatan. Tanda dan gejala yang didapatkan pada
politik, kemiskinan, penghasilan rendah, tinggal Tn. P yaitu klien menghindari pembicaraan dengan
sendirian, penyakit kronis, tidak mempunyai anak, cara pergi secara tiba-tiba saat diajak interaksi,
tidak ada kontak dengan keluarga dan kesulitan pembicaraan seadanya, pelan dan sulit didengar,
akses transportasi (Massom, 2016; DeVylder & senang menyendiri di kamar dan tampak takut
Hilimire, 2015; Junardi, Daulima & Wardani, bertemu dengan orang lain. Klien mengatakan
2015; Wakhid, Hamid & Helena, 2013). Perbedaan tidak mau berhubungan dengan orang lain karena
jenis kelamin juga dapat menjadi faktor terjadinya merasa takut ketika berhadapan dengan orang lain.
isolasi sosial yaitu jenis kelamin laki-laki lebih Upaya untuk mengatasi masalah isolasi sosial
banyak dibandingkan wanita (Penaloza, pada Tn. P adalah dengan meningkatkan hubungan
Fuentealba & Gallardo, 2017). Berbagai faktor- saling percaya kepada klien secara bertahap,
faktor di atas sangat penting untuk diperbaiki agar memenuhi kebutuhan aktivitas harian klien, dan
tidak menimbulkan dampak isolasi sosial yang meningkatkan kemampuan yang dimiliki klien
semakin luas. yaitu selalu mengajak klien interaksi, berbincang-
Isolasi sosial telah dikenal mempunyai bincang dan mulai melakukan berkenalan secara
dampak yaitu sebagai faktor risiko terjadinya bertahap dengan beberapa orang klien dan perawat
morbiditas dan mortalitas (Cacioppo et al, 2015). yang ada di Ruang Subadra. Berdasarkan latar
Individu yang mengalami isolasi sosial yang belakang yang telah diuraikan di atas mendasari
berkepanjangan dapat menyebabkan munculnya penulis untuk melakukan analisis lebih lanjut
masalah lain yaitu menarik diri, halusinasi, defisit mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan
perawatan diri dan risiko perilaku kekerasan masalah keperawatan isolasi sosial di ruang
(Trimelia, 2011). Perawat sangat dibutuhkan untuk Subadra Rumah Sakit dr. Marzoeki Mahdi Bogor.
berperan dalam mengurangi dan mencegah akibat
yang lebih lanjut yang dapat memperburuk klien. Gambaran Kasus
Tindakan keperawatan klien isolasi sosial Klien Tn. P, usia 32 tahun, jenis kelamin laki-
yaitu dengan cara membantu klien laki, belum menikah, pekerjaan swasta, masuk ke
mengidentifikasi penyebab, manfaat mempunyai RSMM tanggal 16 April 2018 dengan diagnosis
teman,kerugian tidak mempunyai teman, latihan medis skizofrenia paranoid. Klien dibawa ke
berkenalan dengan orang lain secara bertahap rumah sakit karena mengamuk di rumah,
(Keliat & Akemat, 2010). Beberapa studi telah meresahkan keluarga dan masyarakat, berperilaku

91
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

aneh, sering marah-marah dan bicara sendiri. Klien dirawat klien bekerja sebagai supir angkutan kota.
mengalami gejala berperilaku aneh sejak 13 tahun Klien mengatakan sekolah hanya sampai SMP.
yang lalu mulai berobat secara tradisional namun Ketika ditanya apakah klien merasa puas dirinya
penyakit bertambah parah dan akhirnya dibawa ke sebagai laki-laki klien menjawab puas. Klien
rumah sakit. Sebelum masuk rumah sakit klien berperan sebagai anak ketika di ruamah dan
sempat dipasung dengan cara dikurung di kamar sebagai supir di kelompok angkutan kota. Klien
dan tangan diikat. mampu melaksanakan peran sebagai supir dan
Saat dilakukan pengkajian tanggal 7 Mei 2018 menyetir mobil dengan baik. Ketika ditanya
klien tampak mondar-mandir tanpa tujuan yang harapan klien menjawab ingin sembuh dan cepat
jelas, pakaian tidak rapi, celana miring, rambut pulang, ingin segera bekerja kembali, ingin
panjang dan tidak rapi, gigi kotor, kuku panjang menikah dan berkeluarga. Ketika sakit klien sering
dan kotor, kontak mata kurang, sering menatap ke mondar mandir di rumah, tidak mempunyai teman
satu arah dalam waktu yang lama, mulut berkomat dan tidak mau keluar rumah. Keluarga mengatakan
kamit dengan suara yang pelan, tubuh tampak klien mempunyai sifat pemalu dan betah tinggal di
membungkuk, gerakan kaki berulang-ulang seperti rumah.
orang yang sedang berjalan di tempat. Pembicaraan Berdasarkan hasil pengkajian dan analisis data
baik namun suara pelan dan klien tidak mampu didapatkan diagnosis keperawatan yaitu risiko
berinteraksi dalam waktu yang lama, tidak mampu perilaku kekerasan, isolasi sosial, defisit perawatan
berkonsentrasi, kehilangan rasa tertarik pada diri, gangguan sensori persepsi halusinasi
kegiatan sosial, klien tidak mampu memulai pendengaran, dan harga diri rendah kronis.
pembicaraan, menjawab pertanyaan seadanya, Diagnosis keperawatan utama yang diangkat
klien merasa tidak aman di dekat orang lain, dan berdasarkan prioritas adalah isolasi sosial. Data
cenderung menghindari pembicaraan dengan cara subjektif didapatkan klien mengatakan takut
pergi meninggalkan perawat tanpa sebab. Ketika bertemu orang lain. Data objektif yang ditemukan
ditanya bagaimana perasaannya klien menjawab yaitu klien bicara pelan, kontak mata kurang,
tidak nyaman dan takut bertemu orang lain. Klien mudah beralih, menghindari pembicaraan dan
mengatakan belum mandi, sikat gigi dan potong suara pelan, tidak mampu berinteraksi dalam waktu
kuku. Ketika ditanya apakah mendengan atau yang lama, klien tidak mampu memulai
melihat sesuatu yang tidak nyata klien mengatakan pembicaraan, klien menjawab pertanyaan
tidak ada, namun baru pada hari ke 5 klien seadanya, menghindari pembicaraan dengan pergi
mengatakan mendengar suara harimau. meninggalkan perawat.
Klien belum pernah masuk rumah sakit Rencana tindakan keperawatan pada klien:
gangguan jiwa pada masa lalu dan belum pernah Tujuan tindakan keperawatan untuk klien yaitu: 1)
mendapat pengobatan sebelumnya, namun klien membina hubungan saling percaya; 2) menyadari
pernah dibawa ke puskesmas dan mendapat penyebab isolasi sosial; dan 3) berinteraksi dengan
pengobatan di puskesmas namun kurang berhasil. orang lain. Tindakan keperawatan yang dapat
Klien mempunyai riwayat melakukan kekerasan diberikan yaitu: 1) membina hubungan saling
fisik yaitu dengan merusak kaca rumah dan percaya; 2) membantu klien mengenal penyebab
mengamuk tanpa sebab yang jelas. Sebelum sakit isolasi sosial; 3) membantu klien mengenali
klien bekerja sebagai supir angkutan kota dan keuntungan dari membina hubungan dengan orang
dikenal dengan orang yang rajin bekerja, namun lain; 4) membantu klien mengenal kerugian dari
klien menjadi berubah dan menjadi berperilaku tidak membina hubungan; 5) membantu klien
aneh tanpa sebab atau mempunyai suatu masalah untuk berinteraksi dengan orang lain secara
yang jelas. Riwayat anggota keluarga yang bertahap (Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni,
mengalami gangguan jiwa tidak ada, namun klien 2011).
ketika ditanya pengalaman tidak menyenangkan Implementasi keperawatan pada hari pertama
klien mengatakan pernah dikurung di kamar. didapatkan data subjektif klien mengatakan ingin
Klien mengatakan dirinya biasa saja, ketika pulang dan klien mengatakan tidak mengatakan
ditanya bagian tubuh yang tidak disukai klien tidak mengenal siapapun di sini. Data objektif yang
menunjukkan kaki kanannya dan ketika ditanya ditemukan yaitu mondar- mandir di kamar, kontak
bagian tubuh yang disukai klien tidak menunjuk mata kurang, gerakan kaki berulang-ulang, klien
bagian tubuh manapun. Klien mengatakan sebelum menghindari pembicaraan. Diagnosis keperawatan

92
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

yaitu isolasi sosial. Implementasi keperawatan Rencana tindak lanjut yaitu ulangi latihan
yang dilakukan yaitu membina hubungan saling mengenal isolasi sosial dan cara berkenalan dan
percaya, mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, latih klien berkenalan dengan 1-2 orang
memasukkan kegiatan ke dalam jadwal harian. perawat/klien. Evaluasi subjektif didapatkan klien
Rencana tindak lanjut latih mengenal isolasi sosial mengatakan ingin ke kamar. Evaluasi objektif yaitu
dan cara berkenalan. Evaluasi subjektif yaitu klien mau berjabat tangan, menjawab salam,
mengatakan ingin kembali ke kamar. Evaluasi menyebutkan nama, klien mulai mampu mengingat
objektif yang mau berjabat tangan, mau menjawab nama perawat, klien pergi meninggalkan perawat
salam, menyebutkan nama, belum mampu padahal kontrak belum selesai, kontak mata
mengingat nama perawat, kontak mata kurang, kurang, klien menghindari pembicaraan, klien
klien menghindari pembicaraan dengan pergi tanpa belum mampu mengenal isolasi sosial dan klien
sebab, klien belum mampu mengenal isolasi social belum mampu mempraktekkan cara berkenalan.
dan klien belum mampu mempraktekkan cara Analisis yaitu masalah isolasi sosial belum teratasi.
berkenalan. Analisis masalah isolasi sosial belum Planning pasien yaitu latih mengenal isolasi sosial.
teratasi. Planning bagi klien yaitu latih mengenal Implementasi keperawatan pada hari keempat
isolasi sosial. didapatkan data subjektif yaitu klien mengatakan
Implementasi keperawatan pada hari ke-dua ingin masuk ke kamar dan klien mengatakan tidak
didapatkan data subjektif klien mengatakan ingin mau berkenalan dengan temannya. Data objektif
pulang dan klien mengatakan belum mempunyai yaitu mondar-mandir, kontak mata kurang, gerakan
teman. Data objektif yaitu mondar-mandir di kaki berulang-ulang, klien menghindari
kamar, kontak mata kurang, gerakan kaki pembicaraan dan klien mulai merangkul perawat.
berulang-ulang dan klien menghindari Diagnosis keperawatan yaitu isolasi sosial.
pembicaraan. Diagnosis keperawatan yaitu isolasi Implementasi keperawatan yaitu mengevaluasi
sosial. Implementasi keperawatan yang dilakukan kegiatan harian klien, mengidentifikasi isolasi
yaitu membina hubungan saling percaya, social, melatih klien berkenalan dengan 1 orang
mengevaluasi kegiatan klien, mengidentifikasi klien dan memasukkan kegiatan ke dalam jadwal
penyebab isolasi sosial, keuntungan berteman dan harian. Rencana tindak lanjut yaitu optimalkan
kerugian tidak berteman dan memasukkan kegiatan latihan mengenal isolasi sosial dan cara
ke dalam jadwal harian. Rencana tindak lanjut berkenalan, latih berkenalan dengan 1-2 orang
yaitu ulangi latihan mengenal isolasi sosial dan klien/perawat dan latih mengikuti aktivitas ruangan
cara berkenalan. Evaluasi subjektif didapatkan sambil berinteraksi dengan orang lain.
klien mengatakan belum mempunyai teman dan Evaluasi subjektif didapatkan yaitu klien
belum mau belajar cara berkenalan. Evaluasi mengatakan “mau kemana Pak?” dan klien
objektif yaitu mau berjabat tangan, menjawab mengatakan senang ikut jalan-jalan tadi pagi.
salam, menyebutkan nama, belum mampu Evaluasi objektif yaitu klien mulai mau menyapa
mengingat nama perawat, kontak mata kurang, perawat, klien mampu berinteraksi dengan perawat
klien menghindari pembicaraan dengan pergi tanpa dengan waktu yang singkat (5 menit), kontak mata
sebab, klien belum mampu mengenal isolasi sosial kurang, klien berusaha menghindari pembicaraan,
dan klien belum mampu mempraktekkan cara klien belum mampu mengenal isolasi sosial dan
berkenalan. Analisis yaitu masalah isolasi sosial klien mempraktekkan cara berkenalan dengan 1
belum teratasi. Planning untuk pasien yaitu latih orang klien dengan bantuan perawat. Analisis yaitu
mengenal isolasi sosial. masalah isolasi sosial belum teratasi. Planning
Implementasi keperawatan pada hari ke-tiga yaitu latih mengenal isolasi sosial dan latih
didapatkan data subjektif yaitu klien mengatakan berkenalan dengan 1 orang satu kali sehari.
ingin masuk ke kamar. Data objektif didapatkan Implementasi keperawatan pada hari ke-lima
mondar-mandir, kontak mata kurang, gerakan kaki didapatkan data subjektif klien mengatakan senang
berulang-ulang dan klien menghindari sendirian di kamar. Data objektif didapatkan klien
pembicaraan. Diagnosis keperawatan isolasi sosial. mondar-mandir di kamar, kontak mata kurang,
Implementasi keperawatan yaitu membina gerakan kaki berulang- ulang, klien menghindari
hubungan saling percaya, mengevaluasi kegiatan pembicaraan dan tidur malam cukup namun tidur
harian klien, mengidentifikasi isolasi sosial dan siang kurang. Diagnosis keperawatan yaitu isolasi
memasukkan kegiatan ke dalam jadwal harian. sosial. Implementasi yang dilakukan yaitu

93
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

mengevaluasi kegiatan harian klien, melatih intervensi keperawatan yang akandirencanakan.


mengikuti kegiatan yang ada di ruangan, melatih Model stres adaptasi Stuart cukup efektif untuk
berkenalan dengan 1 orang klien dan memasukkan menggambarkan kondisi klinis klien dan
kegiatan ke dalam jadwal harian. Rencana tindak menggambarkan proses terjadinya isolasi sosial
lanjut yaitu latih mengenal isolasi sosial dan cara pada klien (Junardi, et al, 2015).
berkenalan, latih berkenalan dengan 1 orang Faktor predisposisi yang didapatkan yaitu
perawat dan optimalkan mengikuti kegiatan di usia, jenis kelamin, pekerjaan, status pernikahan
ruangan. Evaluasi subjektif didapatkan klien dan tingkat pendidikan. Usia 32 tahun yang
mengatakan senang jalan-jalan di luar dan klien merupakan usia dewasa awal dan berjenis kelamin
mengatakan ingin pulang. Evaluasi objektif yaitu laki-laki mempunyai tingkat stres yang tinggi dan
klien tampak ingin keluar terus, kontak mata dapat memicu gangguan jiwa dimana menurut
kurang, klien mampu berinteraksi dengan perawat penelitian usia rata-rata klien dengan masalah
dalam waktu yang lebih lama (30 menit) dan klien isolasi sosial yaitu 31 tahun (Halter, 2014; Wakhid,
mempraktekkan cara berkenalan dengan 1 orang el al, 2015; Junardi, et al 2015; Stuart, et al, 2016).
klien dengan bantuan perawat. Analisis yaitu Pekerjaan dengan penghasilan yang rendah
masalah isolasi sosial belum teratasi. Planning membuat klien sulit memenuhi kebutuhannya
yaitu latih mengenal isolasi sosial, latih berkenalan sehingga kurang mendapatkan penghargaan dari
1 x sehari dan latih kegiatan jalan santai setiap pagi. orang lain dan klien merasa adanya
Implementasi keperawatan pada hari keenam ketidaksesuaian antara keinginan dan kenyataan
didapatkan data subjektif klien mengatakan ingin yang ada, merasa gagal dan tidak berguna (Yosep
sendiri di kamar dan klien mengatakan sudah & Sutini, 2014; Junardi, et al, 2015). Klien yang
mandi pagi. Data objektif didapatkan yaitu belum menikah dapat menjadi faktor terjadinya
mondar-mandir, kontak mata kurang, gerakan kaki isolasi sosial karena klien gagal menemukan
berulang-ulang dan klien mampu berinteraksi pasangan hidup, tidak mempunyai pertahanan yang
dengan perawat dengan waktu yang singkat. kuat dan stresor yang semakin menumpuk
Diagnosis keperawatan isolasi sosial. mengakibatkan klien malu untuk bersosialisasi
Implementasi yang dilakukan yaitu mengevaluasi (Cacioppo, et al, 2015; Wakhid, et al, 2013;
kegiatan harian klien, mengidentifikasi isolasi Junardi, et al, 2015; Napolion, et al, 2012).
sosial dan berkenalan dengan 1 orang dan Penelitian juga menunjukkan bahwa klien isolasi
memasukkan kegiatan ke dalam jadwal harian. sosial sebagian besar memiliki latar belakang
Rencana tindak lanjut yaitu latih mengenal isolasi pendidikan menengah dimana sangat
sosial dan cara berkenalan dan optimalkan memengaruhi klien dalam berperilaku, membuat
mengikuti kegiatan di ruangan. Evaluasi subjektif keputusan, cara menilai stresor dan menyelesaikan
didapatkan yaitu klien mengatakan ingin jalan- masalahnya (Napolion, et al, 2012; Wakhid, et al,
jalan keluar dan ingin pulang. Data objektif 2013).
didapatkan kontak mata kurang, klien mampu Faktor presipitasi klien isolasi sosial pada Tn.
berinteraksi dengan perawat dalam waktu yang P yaitu putus obat. Keluarga klien mengatakan
singkat, klien belum mampu mengenal isolasi klien pernah dibawa ke puskesmas dan mendapat
social dan klien mempraktekkan cara berkenalan pengobatan namun hasilnya kurang memuaskan
dengan 1 orang klien dengan bantuan perawat. dan akhirnya keluarga memutuskan untuk dibawa
Analisis yaitu masalah isolasi sosial belumm ke rumah sakit. Selain putus obat, kondisi penyakit
teratasi. Planning yaitu latih mengenal isolasi klien yang sudah lama yaitu 13 tahun,
sosial, latih berkenalan 1 kali sehari dan latih menunjukkan klien mengalami keterlambatan
mengikuti kegiatan jalan santai setiap pagi. dalam penanganan sehingga kondisi gangguan jiwa
sudah menjadi kronis. Masalah yang dihadapi klien
Pembahasan dalam kurun waktu yang cukup lama membuat
Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan stresor yang dihadapi klien menjadi menumpuk.
beberapa faktor predisposisi, faktor presipitasi dan Jumlah stresor yang banyak, baik dari stresor
respons terhadap stresor. Tanda gejala isolasi sosial internal maupun stresor eksternal, akan
dianalisis berdasarkan batasan karakeristik membutuhkan penyelesaian dalam bentuk koping
penegakan diagnosis keperawatan dan kondisi yang semakin banyak pula. Koping yang
klien. Diagnosis keperawatan menentukan dibutuhkan mesti adekuat dan bervariasi agar

94
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

mampu mengatasi stresornya (Stuart, Keliat & hubungan yang signifikan antara kemampuan
Pasaribu, 2016). perawat pelaksana yang memiliki kemampuan
Kondisi klien saat dilakukan pengkajian yaitu membina hubungan saling percaya dengan tanda
didapatkan tanda gejala aspek kognitif merasa dan gejala isolasi sosial dimana perawat yang
tidak aman di dekat orang lain, tidak mampu memiliki kemampuan yang tinggi dapat membantu
berkonsentrasi dan kehilangan rasa tertarik pada menurunkan tanda dan gejala klien isolasi sosial
kegiatan sosial, aspek afektif yaitu merasa tidak (Syafrini, Keliat & Putri, 2015). Pemberi asuhan
nyaman dengan orang lain, afek tumpul dan takut hendaknya meningkatkan hubungan perawat dan
berada dekat orang lain, aspek fisiologis yaitu sulit klien dengan cara hubungan yang alami sehingga
tidur dan wajah murung, aspek perilaku yaitu tidak klien lebih nyaman dan percaya dalam menerima
ada kontak mata, berdiam diri di kamar, banyak perawat (Harwood, et al, 2007).
melamun, aspek sosial yaitu menarik diri, sulit Teknik komunikasi yang dilakukan dalam
berinteraksi dengan orang lain dan curiga terhadap intervensi klien isolasi sosial yang digunakan yaitu
orang lain. Data tersebut masuk dalam batasan menghadirkan diri (presence) yaitu perawat berada
karakteristik diagnosis keperawatan isolasi sosial bersama klien baik secara fisik maupun psikologis
dari NANDA yaitu klien ingin sendiri, menarik pada saat klien membutuhkan kehadiran orang lain
diri, merasa tidak aman di tempat umum, tidak ada (Bulechek, et al, 2013). Perawat melakukan
kontak mata dan adanya tindakan berulang menghadirkan diri agar terjadi fondasi yang baik
(Herdman & Kamitsuru, 2015). Townsend (2011) untuk menunjukkan adanya caring dari perawat.
juga menjelaskan batasan karakteristik isolasi Penelitian menunjukkan bahwa kehadiran perawat
sosial yaitu menyendiri di kamar, tidak dapat meningkatkan keefektifan manajemen
komunikatif, menarik diri, tidak ada kontak mata, keperawatan dan meningkatkan caring oleh
sedih, tidur dengan posisi fetal, mengungkapkan perawat (Gomes & Miguel, 2012). Saat melakukan
rasa penolakan atau kesepian, aktivitas yang tidak teknik kehadiran ini, respons yang diberikan Tn P
bermakna, dan menolak interaksi. yaitu menghindar dan meninggalkan perawat tanpa
Penelitian menunjukkan bahwa klien dengan sebab sehingga kontak sosial menjadi kurang.
isolasi sosial sulit untuk mencapai hubungan saling Penulis melakukan strategi dengan melakukan
percaya karena beberapa faktor yaitu faktor kontak sosial yang singkat namun sering dalam
internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu proses membina hubungan saling percaya.
bahwa klien dengan isolasi sosial memiliki Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang
penilaian negatif terhadap diri sendiri, orang lain signifikan antara frekuensi kontak sosial terhadap
dan lingkungan sehingga menimbulkan perilaku gejala negatif, fungsi psikososial dan kalitas hidup
negatif yaitu menarik diri. Faktor eksternal yang klien dengan skizofrenia dimana semakin tinggi
dapat dirasakan oleh klien yaitu pemberi asuhan kontak sosial klien akan menurunkan gejala negatif
keperawatan itu sendiri. Penelitian menunjukkan skizofrenia dan meningkatkan fungsi sosial secara
bahwa klien isolasi sosial biasanya menilai bahwa bersamaan (Siegrist,et al, 2015).
proses pemberian asuhan keperawatan dianggap Klien Tn. P juga memiliki diagnosis
sebagai suatu stressor yang dapat menimbulkan keperawatan defisit perawatan diri. Hal ini
bahaya bagi klien, yang menyebabkan klien membuat strategi penulis untuk membina
menolak interaksi kepada perawat (Syafrini, et al, hubungan saling percaya dan meningkatkan
2015; Stuar, et al, 2016). interaksi dengan klien. Intervensi NIC memberikan
Hubungan saling percaya dilakukan oleh pilihan intervensi keperawatan pada klien isolasi
penulis agar klien lebih nyaman dan percaya dalam sosial yaitu bantuan perawatan diri (Bulechek, et
menerima perawat yang dibuktikan dengan klien , al, 2013). Hal ini bertujuan meningkatkan kontak
mau berjabat tangan, mau menjawab salam, mau dengan klien yaitu dengan memenuhi kebutuhan
menyebutkan nama dan mau berkenalan (Syafrini, harian klien seperti mandi, berhias, makan, dan
et al, 2015; Jumaini, Keliat & Hastono, 2010). eliminasi. Namun demikian diperlukan juga
Namun klien belum mampu menerima kehadiran strategi lain yaitu dengan memperhatikan jarak
perawat yaitu pada saat interaksi klien menghindari ketika interaksi dengan klien pada area yang
pembicaraan dengan cara memutus interaksi dan ditoleransi oleh klien agar mengurangi kecemasan
pergi meninggalkan perawat tanpa alasan yang klien. Mencari tempat berinteraksi yang sepi dan
jelas. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat kondusif dan berada di luar dari wilayah teritori

95
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

klien agar klien merasa tidak terancam teritorinya. maka akan semakin cepat dan bermakna perubahan
Strategi posisi tubuh juga penting dimana ketika pada respons yang ditampilkan klien.
klien merasa terancam dengan bertatap muka maka Hambatan yang lain yaitu klien mendapat
posisi diubah menjadi posisi duduk menyamping terapi pengobatan yang dapat mempengaruhi tanda
dan perawat dapat memberikan sentuhan pada saat dan gejala isolasi sosial klien. Penelitian
yang tepat dan dilakukan dengan hati-hati (Stuart, menunjukkan bahwa pemberian terapi
Keliat & Pasaribu, 2016). psikofarmaka dapat menyebabkan tidak adanya
Tanda dan gejala isolasi sosial dapat hubungan yang signifikan antara pemberian asuhan
berkurang dengan diberikan tindakan keperawatan keperawatan dengan pendekatan manajemen,
sesuai rencana asuhan keperawatan yang telah kompensasi dan penghargaan serta hubungan
ditetapkan. Penelitian menunjukkan bahwa tanda profesional dengan tanda dan gejala klien isolasi
dan gejala isolasi sosial dapat berkurang setelah sosial (Syafrini, Keliat & Putri, 2015). Proses
klien mendapat asuhan keperawatan isolasi sosial asuhan keperawatan pada klien berakhir karena
secara berkesinambungan (Komala, Mustikasari & masa rawat inap klien sudah mencapai batas
Wardani, 2017). Penelitian lain juga menemukan maksimal hari rawat menurut kebijakan rumah
bahwa terjadi penurunan tanda dan gejala isolasi sakit dan jaminan kesehatan. Klien pulang
sosial yang ada pada klien pada aspek kognitif, dijemput keluarga yang bekerjasama dengan
afektif, fisiologis, perilaku dan sosial pemerintah kabupaten Tasikmalaya. Walaupun
(Rachmawati, Keliat & Wardani 2015). Respons kondisi klien belum maksimal, proses pemulangan
kognitif terjadi penurunan yaitu klien mulai merasa tetap harus dilakukan. Pemberian asuhan
aman dekat dengan orang lain dan mulai keperawatan diakhiri di rumah sakit dan akan
mempunyai ketertarikan pada kegiatan sosial yang dilanjutkan di rumah. Oleh karena itu perlunya
ada di ruangan (Rachmawati, et al, 2015; pendidikan kesehatan bagi keluarga agar keluarga
Renidayati, et al, 2008). mampu merawat klien ketika di rumah berupa
Respons afektif terjadi penurunan ditunjukkan psikoedukasi keluarga (Rachmawati, et al, 2015).
dengan klien mulai merasa aman dan nyaman Beberapa studi telah dilakukan sebagai
dengan perawat dan tidak takut berada didekat alternatif untuk mengatasi masalah isolasi sosial
perawat (Rachmawati, et al, 2015; Wakhid, et al, dengan memberikan berbagai intervensi
2013; Townsend, 2014). Perubahan pada aspek keperawatan yaitu Social Affiliation Enhancement
fisiologis yaitu dari hari pertama perawatan klien Tasks,SocializationEnhancement, Social Network
sulit tidur namun pada hari ke enam klien mulai Intervention, Behavior Modification:social skills,
mudah tidur (Rachmawati, et al, 2015; Wakhid, et e-Intervention, Strategies Against Stigma and
al, 2013; Stuart, et al, 2016). Respons sosial klien Discrimination (SASD), Psycho-education Social
setelah diberikan intervensi yaitu klien menjadi Skills Training (SST), dan Cognitive Behavioral
mau berinteraksi dan berkomunikasi dengan Therapy (CBT) (Kopelowicz & Liberman, 2003;
perawat dan mampu berpartisipasi dalam kegiatan Li, et al, 2010; Gomes & Miguel, 2012; Tarzian, et
sosial di ruangan seperti jalan santai dan senam al, 2013; Bulechek, et al, 2013; McCarthy, et al,
pagi (Rachmawati, et al, 2015; Keliat, et al, 1999). 2017; Chipps, Jarvis & Ramlall, 2017).
Respons perilaku klien Tn. P secara umum belum
terjadi penurunan tanda dan gejala isolasi sosial Simpulan
yaitu klien masih berdiam diri di kamar, tidak ada Masalah keperawatan utama yang ditemukan
kontak mata dan sering melamun sendirian. pada klien kelolaan Tn. P yaitu masalah isolasi
Hambatan dalam proses pemberian asuhan sosial. Proses pemberian asuhan keperawatan pada
keperawatan kepada klien yaitu lama perawatan, masalah isolasi sosial berfokus pada kemampuan
terapi psikofarmaka dan kesinambungan proses klien membina hubungan saling percaya dan
perawatan. Brady (2004) dalam Syafrini, Keliat meningkatkan kemampuan klien berinteraksi
dan Putri (2015) menyebutkan bahwa jarak antara secara bertahap. Faktor yang memengaruhi klien
munculnya gejala dengan perawatan dan sulit mendapatkan hubungan saling percaya antara
pengobatan pertama akan mempengaruhi perawat dan klien yaitu faktor internal berupa klien
kecepatan dan kualitas respons pengobatan dan memiliki penilaian negatif terhadap diri sendiri,
gejala negatif yang muncul, dimana semakin cepat orang lain serta lingkungan. Factor selanjutnya
klien mendapat pengobatan setelah terdiagnosis adalah faktor eksternal, klien menganggap perawat

96
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

sebagai stressor eksternal yang mengancam rasa empowerment-part I. CANNT Journal, 17(1):
aman dan nyamannya. 22
Intervensi keperawatanmemberikan manfaat Herdman, T . H. , & Kamitsuru, S. (2015).
bagi klien, hal ini ditandai dengan adanya Diagnosis KeperawatanDefinisi &
penurunan tanda dan gejala isolasi sosial pada Klasifikasi2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
klien. Pemberian asuhan keperawatan memerlukan Jumaini, Keliat, B. A. & Hastono, S. P. (2010).
waktu untuk memberikan perubahan pada klien, Pengaruh cognitive behavioral social skills
namun karena keterbatasan waktu dalam masa training (CBSST) terhadap kemampuan
perawatan maka diperlukan langkah lain berupa bersosialisasi klien isolasi sosial di BLU RS
edukasi kepada keluarga agar keluarga mampu DR. H. Marzoeki Mahdi. Tesis. Depok: UI
meneruskan perawatan pada klien selama di ANA.
rumah. Rencana tindak lanjut terhadap kondisi Junardi, Daulima, N. H. C. & Wardani, I. Y.
klien yang belum maksimal dapat dilakukan (2015). Asuhan keperawatan spesialis j iwa
dengan memberikan intervensi-intervensi terbaru pada klien dengan isolasi sosial melalui
yang mempunyai evidence based practice dan pendekatan teori stres adaptasi Stuart di ruang
melakukan rujukan kepada perawat spesialis jiwa Antareja Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi
yang memiliki kompetensi yang lebih mumpuni. Bogor. Karya Ilmiah Akhir. Depok: UI ANA.
Keliat, B. A. , & Akemat. (2010). Model praktik
Referensi keperawatan profesional jiwa. Jakarta:
Bulechek, G. M. , Butcher, H. K. , Dochterman, J. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
M. , & Wagner, C. M. (Eds) (2013). Nursing Keliat, B. A, Akemat, Helena, N. , dan Nurhaeni,
intervention classification (NIC). 6th Ed. St, H. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Louis Missouri: Mosby Elsevier. Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta:
Cacioppo, J. T. , Cacioppo, S. , Capitanio, J. P. & EGC.
Cole, S. W. (2015). The neuroendocrinology Keliat, B. A. , & Pawirowiyono. (2015).
of social isolation. The Annual Review of Keperawatan jiwa: terapi aktivitas
Psychology, 66(9), 1-9. kelompok(2nd ed. ). Jakarta: Penerbit Buku
Chipps, J. , Jarvis. , M. A. , & Ramlall, S. (2017). Kedokteran EGC.
The effectiveness of e-Interventions on Keliat, B. A. , Panjaitan, R. U. , Mustikasari, &
reducing social isolation in older persons: A Helena, N. (1999). Pengaruh model terapi
systematic review of systematic reviews. aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS)
Journal of Telemedicine and Telecare. terhadap kemempuan komunikasi verbal dan
sagepub. co. uk/journalsPermissions. nav. non verbal pada klien menarik diri di rumah
DOI:10. 1177/1357633X17733773 sakit jiwa. Jurnal Keperawatan Indonesia. 2
DeVylder, J. E. , & Hilimire, M. R. (2015). Suicide (8).
Risk, Stress Sensitivity, and Self-Esteem Kemenkes RI. (2013). Riset kesehatan dasar
among Young Adults Reporting Auditory (RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional 2013.
Hallucinations. Health and SocialWork, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
40(3), 175-182. http://doi. org Kesehatan Kementrtian Kesehatan RI.
Gomes, L. M. & Miguel, L. (2012). Nursing http://doi. org
presence as a nursing care: study of Komala, E. P. E. , Mustikasari & Wardani, I. Y.
development of nursing presence in (2017). Perubahan tanda gejala dan
psychiatric context. Thesis. Research Gate: kemampuan klien isolasi social setelah
tersedia dalam https://www. researchgate. net dinerikan latihan keterampilan social dan
Halter, M. J. (2014). Varcarolis’ foundation of psiedukasi keluarga. Karya Ilmiah Akhir.
psychiatric mental health nursing (7th ed. ). Depok: UIANA.
St. Louis: Saunders Elsevier Kopelowicz, A. & Liberman, R. (2003).
Harwood, L. , et al. (2007). Nurses’ perceptions of Integrating treatment with rehabilitation for
the impact of a renal nursing professional persons with major mental illnesses.
practice model on nursing outcomes, Psychiatric Services, 54 (11): 25-32.
characteristics of a practice environments and Li, J. , Huang, Y. G. , Ran, M. S. , Fan, Y. , Chen,
W. , Lacko, S. E. , & Thornicroft, G. (2010).

97
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667

Community-based comprehensive psychosocial funtioning and quality of life in


intervention for people with schizophrenia in patient with schizophrenia. Psychiatry
Guangzhou, China: effects on clinical Research. 230(15): 860866
symptoms, social functioning, internalized Stuart, G. W, Keliat,B. A. , Pasaribu,J. (2016)
stigma and discrimination. Asian Journal of Prinsip dan praktik keperawatan kesehatan
Psychiatry. https://doi. org/10. 1016 jiwa Stuart, Edisi Indonesia. Jakarta: Elsevier
Massom, M. R. (2016). Social isolation of the Syafrini, R. O. , Keliat, B. A. , & Putri, Y. S. E.
stateless and the destitute: A study on the (2015). Efektifitas implementasi asuhan
Refuge-Camp and the Sullied Slum of Dhaka keperawatan isolasi sosial dalam MPKP jiwa
City. terhadap kemampuan klien. JurnalNers.
McCarthy, J. M. , Bradshaw, K. R. , Catalano, L. 10(1): 175-182
T. , Garcia, C. P. , Malik, A. , Bennett, M. E. Tarzian, E. , Tognoni, G. , Bracco, R. , Ruggieri, E.
& Blanchard, J. J. (2017). Negative symptoms D. , Ficociello, R. A. , Mezzina, R. , & Pillo,
and the formation of social affiliative bonds in G. (2013). Social Network Intervention in
schizophrenia. Schizophrenia research. patients with schizophrenia and marked social
http://dx. doi. org withdrawal: A randomized controlled study.
Napolion, K. , Keliat, B. A. , & Mustikasari. Psychiatry. 58(11): 622-631
(2012). Penerapan terapi spesialis Townsend, M. C. (2014). Psychiatric nursing:
keperawatan jiwa social skills training dan Assessment, care plans, and medications (9th
cognitive behavior therapy pada klien isolasi ed. ). Philadelphia: F. A. Davis Company.
sosial dengan pendekatan model hubungan Townsend, M. C. (2011). Nursing diagnoses in
interpersonal H. E. Peplau di RS Marzoeki psychiatric nursing: Care plans and
Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir Spesialis. psychotropic medications. 8th Ed.
Depok: UI ANA. Philadelphia: F. A. Davis Company.
Penaloza, M. R. , Fuentealba, P. G. & Gallardo, P. Trimelia. (2011). Asuhan keperawatan klien
C. (2017). Sex differences and the influence halusinasi. Jakarta: CV Trans Info Media.
of social factors in a Chilean urban psychiatric Wakhid, A. , Hamid, A. Y. S. , & Helena, N.
hospital population. International Journal of (2013). Penerapan terapi latihan keterampilan
Social Psychiatry, 17. 1-14. sosial pada klien isolasi sosial dan harga diri
Rachmawati, U. , Keliat, B. A. , & Wardani, I. Y. rendah dengan pendekatan model hubungan
(2015). Tindakan keperawatan pada klien, interpersonal Peplau di RS Dr Marzoeki
keluarga dan kader kesehatan jiwa dengan Mahdi Bogor. Jurnal Keperawatan Jiwa.
diagnosa keperawatan isolasi sosial di (1)1: 34-48.
komunitas. Jurnal Keperawatan Jiwa. 3 (2): WHO. (2011). Improving health system and
97-106. services for mental health (Mental health
Renidayati. ,Keliat,B. A. , & Sabri, L (2008) policy and service guidance package).
Pengaruh social skills training pada klien Geneva: WHO Press.
isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Prof HB Yosep, I. , & Sutini, T. (2014). Buku ajar
Saanin Padang Sumatera Barat. Tesis. Depok: keperawatan jiwa. Bandung: PT Refika
UIANA. Aditama.
Siegrist, K. , Millier, A. , Amri, I. , Aballea, S. , &
Toumi, M. (2015). Association between social
contact frequency and negative symptoms,

98
Panduan Penulisan Naskah Publikasi pada Faletehan Health Journal

1. Faletehan Health Journal memuat artikel yang relevan dengan isu-isu kesehatan masyarakat,
keperawatan, kebidanan, kesehatan klinis dan sosial baik berupa artikel hasil penelitian, artikel review
literature, atau artikel laporan lapangan.

2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep yang ditujukan kepada Faletehan Health Journal, belum
pernah dipublikasi di tempat lain.

3. Naskah yang dikirim harus disertai surat persetujuan publikasi dan ditanda tangani oleh penulis.

4. Komponen Naskah :

 Judul; Judul naskah ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf dan spasi.

 Identitas Penulis; Identitas ditulis di bawah judul sesuai dengan ketentuan pada template.

 Abstrak; Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata, dalam satu
alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5 kata kunci. Abstrak merupakan
ikhtisar suatu tugas akhir yang memuat permasalahan, tujuan, metode penelitian, hasil, dan
kesimpulan.Abstrak dibuat untuk memudahkan pembaca mengerti secara cepat isi tugas akhir untuk
memutuskan apakah perlu membaca lebih lanjut atau tidak

 Pendahuluan; Bagian pendahuluan ditullis tanpa sub judul, berisi latar belakang, tinjauan pustaka
utama penelitian dan tujuan penelitian. Latar Belakang Masalah meliputi justifikasi mengapa
penelitian ini dilakukan, seberapa besar masalah penelitian, alasan-alasan mengapa masalah
tersebut bisa muncul. Pada pendahuluan disertakan beberapa teori atau konsep kunci yang
menunjang penelitian. Pendahuluan diakhiri dengan rumusan tujuan Penelitian.

 Metode Penelitian; Metode penelitian menjelaskan Jenis dan desain penelitian yang digunakan,
lokasi dan waktu penelitian. Dalam metode penelitian menjelaskan populasi penelitian, besar sampel
dan dan metode pengambilan sampel. Pada metode penelitian juga harus menjelaskan cara dan alat
pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat pengambilan data serta Pengolahan dan analisis
data.

Pada penelitian kualitatif metode penelitian menguraikan Paradigma penelitian, berupa penjelasan
tentang cara peneliti memandang realitas/fenomena (aspek ontologis dan epistemologis), metode
penelitian dalam arti sempit yaitu berisi penjelasan tentang macam studi yang (akan) dilaksanakan,
emilihan sumber data yang berisi uraian tentang cara menentukan sumber data atau informan,
lokasi, dan waktu pelaksanaan. Tata cara atau teknik pengumpulan data diuraikan dengan jelas
apakah menggunakan teknik wawancara, observasi, telaah dokumen, dsb. Metode juga menjelaskan
rencana analisis data dan uraian tentang bagaimana menjaga validitas/otentitas data.

 Hasil dan Pembahasan; Bagian ini menguraikan hasil penelitian secara objektif. Hasil disajikan secara
berurutan dari univariat, bivariat dan multivariat. Data dapat disajikan menggunakan tabel, grafik,
gambar dll. Sesuai dengan kebutuhan. Pada penelitian, analisis data dilakukan dengan menuliskan
hasil penemuan lapangan secara sistematis topik demi topik. Pembuktian bahwa hasil dari lapangan
tersebut didapat dari wawancara, observasi dari penelitian lapangan sangat perlu ditekankan.

Data hasil penelitian dibahas dengan menguraikan kesenjangan antara hasil penelitian teori dan hasil
penelitian terdahulu. Penekanan pada mekanisme compare (apa yang sama) dan contrast (apa yang
berbeda) diperlukan, disertai dengan mengutarakan bagaimana pendapat peneliti tentang masalah
tersebut, setelah melakukan perbandingan antara apa yang ditemukannya dilapangan dengan teori
dalam hasil penelitian sebelumnya.

 Simpulan; Memuat kesimpulan hasil penelitian secara sistematis yang berkaitan dengan upaya
menjawab hipotesa dan atau tujuan dari penelitian.

 Daftar Referensi; Sumber informasi yang dicantumkan dalam daftar itu adalah yang dikutip dalam
uraian/teks dan yang mendukung atau dipakai sebagai acuan. Informasi tentang sumber yang
digunakan harus ditulis secara benar,lengkap dan konsisten dengan menggunakan format American
Psychological Association (APA Format 6th Ed). Delapan puluh persen (80%) referensi merupakan
acuan primer. Delapan puluh persen (80%) referensi merupakan periode publikasi 10 tahun terakhir.

5. Tabel Dan Gambar; Tergolong gambar adalah gambar, grafik, dan diagram. Tabel, gambar, grafik, dan
diagram diberi nomor dan nama tabel. Penulisan nama tabel, gambar, dan lainnya menggunakan
Capitalize each words. Tulisan pada table dibuat dengan tipe Times New Roman 11 pt dalam spasi
tunggal (line spacing = single). Tabel dan gambar selalu simetris di tengah (center) terhadap halaman.
Pembuatan tabel hanya menggunakan garis horizontal, dan tanpa garis vertikal.

Nomor tabel dan gambar diurutkan berdasarkan urutan kemunculan di dalam teks. Penulisan judul tabel
dan gambar ditulis di atas tabel, rata kiri atau simetris di tengah (center) dengan spasi tunggal (1 spasi)
dan berjarak 1,5 spasi terhadap tabel yang bersangkutan. Judul tabel ditulis langsung mengikuti nomor
tabelnya. Sedangkan judul gambar/skema ditulis di bawah gambar berjarak 1,5 spasi dari gambar,
simetris (center) terhadap gambar yang bersangkutan dengan spasi tunggal (1 spasi). Judul gambar
ditulis langsung mengikuti nomor gambarnya.

Penulisan sumber gambar dan tabel ditulis di bagian bawah tabel, berjarak 1,5 spasi dari tabel, huruf
tegak tipe Times New Roman 10 pt. Sumber yang sudah diolah lebih lanjut perlu diberi catatan telah
diolah kembali. Peletakan tabel atau gambar, berjarak tiga spasi setelah teks. Penulisan teks setelah
tabel atau gambar dilanjutkan dengan jarak 1,5 spasi dari baris terakhir judul gambar.

6. Penomoran Halaman; Penomoran halaman tidak diberi imbuhan apa pun, diletakkan di bagian kanan
bawah.

7. Naskah maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word.

8. Naskah dikirim dalam bentuk soft file dengan disertai surat pengantar dari penulis dan akan dikembalikan
jika ada permintaan tertulis. Naskah dikirim kepada : Redaksi Faletehan Health Journal – Sekretariat
LPPM STIKes Faletehan Jl. Raya Cilegon KM 06, Pelamunan, Kramatwatu, Serang, Banten. Telp/Fax :
(0254) 232729, Email: FaletehanHealthJournal@gmail.com
Templete Naskah Faletehan Health Journal

Judul Artikel dalam Bahasa Indonesia, Capitalize Each words, Calibri 16


Spasi 1 Maksimal 150 Karakter Termasuk Huruf dan Spasi

(empat spasi Calibri 16)

Penulis*1, Penulis 2, Penulis 3(Calibri 12pt)

1
Institusi, Alamat lengkap institusi penulis sampai dengan negara; (Callibri 10pt)
2
Institusi, Alamat lengkap institusi penulis sampai dengan negara; (Callibri 10pt)
3
Institusi, Alamat lengkap institusi penulis sampai dengan negara; (Callibri 10pt)
* E-mail korespondensi
(Empat spasi Calibri 11PT)

Abstrak (Calibri 11pt, cetak tebal)


(satu spasi calibri 11pt)
Abstrak ditulis dengan menggunakan bahasa innggris dan bahasa indonesia. Menggunakan huruf Calibri 11
pt dengan spasi tunggal, rata kiri dan kanan. Abstrak ditulis dalam satu alinea dengan jumlah kata maksimal
200 kata, mencakup masalah, tujuan, metode, hasil dan rekomendasi atau implikasi. Metode penelitian
harus memuat desain penelitian, besar sampel dan teknik pengambilan sampel, metoda dan alat
pengumpulan data serta analisis data. Tidak ada kutipan dan singkatan.

(satu spasi calibri 11pt)

Kata Kunci: maksimal 5 kata, diurutkan berdasarkan abjad, dipisahkan dengan menggunakan koma.

Abstract (Calibri 11pt, bold, italics)


(One blank single space line, 11 pt)
Abstract should be written using Calibri font, size 11pt, italics, one paragraph with single spacing, align text
to both the left and right margin maximal 200 words. The abstract should state the problem, the purposes of
the study or investigation, method, result or main finding and recomendation or implication. Research
methode included research design, selection and size of study subjects, methode and collecting data
instrument and data analysis. No refferences and equations.
(One blank single space line)
Keywords: up to 5 words, alphabetically order, give commas between words.
Pendahuluan (times new roman 11, cetak tebal)
(satu setengah spasi)
Ditulis dalam satu kolom rata kiri dan kanan, menggunakan 1,5 spasi tanpa sub judul. Pendahuluan berisi latar
belakang penelitian, sedikit tinjauan pustaka dan diakhiri dengan tujuan penelitian.
(tiga spasi)

Metode Penelitian
(satu setengah spasi)
Menjelaskan desain penelitian, populasi dan sampel penelitian dengan penjelasan besar sampel dan teknik
sampling. Waktu dan tempat penelitian dituliskan secara jelas. Teknik dan alat pengumpulan data dijelaskan
secara rinci. Penelitian yang bersifat eksperimen harus mencantumkan prosedur, alat dan bahan secara jelas.
(tiga spasi)

Hasil dan Pembahasan


(satu setengah spasi)
Data hasil penelitian dapat disajikan dengan menggunakan tabel/grafik/gambar. Tabel menggunakan garis
horizontal tanpa garis vertikal, dengan judul tabel diletakkan diatas tabel. Judul tabel/grafik/gambar dirujuk
didalam tulisan. Judul gambar diletakkan dibagian bawah gambar. Tabel diberi nomor urut sesuai urutan
penampilan, begitu pula gambar. Tabel dibatasi maksimal 6 tabel. Tabel hanya menggunakan garis horizontal
tanpa menggunakan garis vertikal. Tabel ditulis dengan menggunakan huruf Times New Roman 11pt,satu
spasi.
(tiga spasi)
Pembahasan mengurai secara tepat dan argumentatif hasil penelitian, temuan dengan teori yang relevan,
bahasa dialog yang logis, sistematik dan mengnalir. Bahasan harus disertai dukungan pustaka yang terkait.
(tiga spasi)

Simpulan
(satu setengah spasi)
Simpulan menjawab masalah penelitian, tidak melampaui kapasitas temuan,
(tiga spasi)

Referensi
(satu setengah spasi)
Referensi menggunakan American Psychological Association (APA Format 6th Ed). Delapan puluh persen
(80%) referensi merupakan acuan primer. Delapan puluh persen (80%) referensi merupakan periode publikasi
10 tahun terakhir.

Das könnte Ihnen auch gefallen