Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
e-ISSN 2597-8667
Diterbitkan oleh:
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LPPM)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN
Jl. Raya Cilegon Km 06, Pelamunan, Kramatwatu, Serang, Banten.
Telp/Fax : (0254) 232729 Email : lppm.stikesfa@gmail.com
www.lppm-stikesfa.ac.id
“Faletehan Health Journal” merupakan jurnal ilmiah yang memuat artikel yang relevan dengan isu-isu kesehatan
masyarakat, keperawatan, kebidanan, kesehatan klinis dan sosial baik berupa artikel hasil penelitian, artikel review
literature, atau artikel laporan lapangan (research report, literature review, field report).
Terbit empat bulan sekali pada bulan Juli, Nopember dan Maret.
Pelaksana Redaksi :
Wiwik Eko Pertiwi, SKM., MKM
Anggota Redaksi :
Ns. Ani Hariyani, S.Kep., M.Kep.
(Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan, Serang, Indonesia)
Ns. Delly Arffa Syukrowardi, S.Kep., MNS
(Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Faletehan, Serang, Indonesia)
Irsanti Collein, Ns. Sp. Kep. MB
(Politeknik Kesehatan Kemenkes RI, Palu, Indonesia )
Ns. Muhammad Zulfatul A’la, S.Kep., M. Kep.
(Universitas Jember, Indonesia)
Staf Redaksi:
Tika Yuliani, SKM
Dewan Redaksi Faletehan Health Journal menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada para Mitra Bestari atas partisipasi dan penilaian terhadap artikel pada
Faletehan Health Journal Volume 5 Nomor 2, Juli 2018:
iii
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018)
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
Daftar Isi
Case Study: Mengatasi Anemia pada Remaja Putri di Keluarga dengan Model
HEMA Coach (Health Education, Modifikasi PerilAku, dan Coaching)
Teti Rahmawati ……………………………………………………………………………………………………………………. 61-68
Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Perilaku Caring Perawat di Rumah Sakit
Sri Rahayu, Sulistiawati ………………………………………………………………………………………………………… 77-83
Studi Kasus: Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial Pasca Pasung
Muhammad Fadly, Giur Hargiana ………………………………………………………………………………………… 90-98
v
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
Abstrak
Salah satu anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak autis, merupakan salah satu sumber daya bangsa Indonesia
yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek pembangunan tetapi juga sebagai
subyek pembangunan. Anak berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan yang bersifat khusus, seperti pelayanan
medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan
ketergantungan akibat kelainan yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mendalam tentang perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut di Sekolah Khusus Harapan Mulia Jambi Selatan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif menggunakan
indepth interview dengan triangulasi sumber yaitu orang tua/pengasuh, guru-guru dan psikolog yang membina di SLB
Harapan Mulia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada
anak autis tergantung pada ibu atau pengasuhnya. Berdasarkan faktor pendukung dalam perilaku pemeliharaan
kesehatan gigi yaitu ketersediaan sarana pelayanan kesehatan gigi dan mulut masih kurang. Sebagian besar informan
mencari pelayanan kesehatan gigi/dokter gigi yang sudah dikenal atau dipercaya, tidak ramai, tidak terlalu lama
antri/menunggu. Faktor pendorong/penguat perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada anak autis di
rumah adalah ibunya atau pengasuhnya, sedangkan di sekolah adalah guru pendampingnya.
Kata Kunci: Autisme, Kesehatan gigi dan mulut, Perilaku pemeliharaan
Abstract
Children with special needs is one of Indonesia's human resources whose quality must be improved in order to play a
role, not only as the object of development but also as the subject of development. Children with special needs need to
be identified and identified from the group of children in general, because they require special services, such as medical
services, special education and specific exercises aimed at reducing the limitations and dependence of the disorder
suffered, and foster self-reliance in the community. The purpose of this study was to obtain in-depth information about
dental and oral health care behavior in children with autism in Harapan Mulia Special School in South Jambi.
Qualitative research method using indepth interview with triangulation of source that is parent or caregiver, teachers
and psychologist who build in SLB Harapan Mulia. The results show that the behavior of maintaining good oral hygiene
in children with autism depending on the mother or caregiver. Supporting factors include the availability of dental and
oral health facilities are still lacking, most of the informants looking for dental services or dentists who are known or
trusted, not crowded so that children can also be comfortable and children not too long waiting. Reinforcing factor the
behavior of maintaining good oral hygiene in children with autism at home is his mother or caregiver, while in school is
a teacher companion.
Keywords: Autism, Health behaviour , Maintenance of oral and dental health.
55
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
56
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
57
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
58
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
kecil berupa gambar tempel atau makanan yang sehari pagi, siang dan sore. Pantangannya
disukainya. Hal ini sejalan dengan apa yang yaitu susu, keju, gandum, jagung, kalau salah
dikatakan informan kunci (psikolog) bahwa untuk makan anak akan langsung terjadi perubahan
kepatuhan anak autis caranya dengan pemberian jadi eror, marah-marah, ketawa-ketawa
reward setiap yang dilakukan anak sesuai dengan sendiri, hentak-hentak kaki” (103)
perintah, rewardnya pada anak-anak dengan
makanan kalau sudah besar bisa dengan pujian. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan oleh informan kunci yaitu gurunya, kepala
mulut pada anak berkebutuhan khusus sekolahnya dan psikolog. Terlihat dari hasil
(autisme) cuplikan wawancara sebagai berikut:
Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut adalah tindakan untuk memelihara kesehatan “ Disekolah anak-anak autis yang baru masuk
gigi dan mulut yaitu berapa kali menyikat gigi maka dibantu dalam menyikat giginya tetapi
sehari, kapan waktunya, dan mengkonsumsi setelah beberapa bulan anak akan mandiri,
makanan yang dapat menyehatkan gigi dan mulut, maka anak menyikat gigi sendiri tetapi tetap
mengurangi makanan yang merusak gigi. Dari harus diingatkan, pada anak autis teratur
hasil wawancara mendalam sebagian besar anak kegiatannya karena sudah rutinitas dan anak
menyikat gigi setiap hari ada yang 2 kali sehari, autis sangat konsisten dan terkonsep kepatuhan
ada yang 3 kali sehari dan ada juga yang hanya 1 anak autis memiliki pantangan dalam makanan
kali sehari, dengan waktu yang bervariasi terlihat yang dikonsumsi” (guru neni)
dari hasil cuplikan wawancara sebagai berikut: “ Metode terapi anak autis menggunakan
metode ABA yaitu applied behavior analyze
“ menyikat gigi 3 x sehari, pagi waktu mandi, yaitu bagaimana meminimalkan perilaku
siang setelah makan disekolah dna malam negatif dan memaksimalkan perilaku positif
sebelum tidur” (101) dengan metode reward dan efek jera sehingga
“ menyikat gigi 3 x sehari yaitu pagi setelah anak menjadi patuh untuk kemudian baru bisa
bangun tidur, pagi setelah sarapan dan malam memasukkan program apa pada anak. Anak
sebelum tidur” (103) autis pantangannya yaitu diet CF (Casein
“ 1 x sehari pagi saja karena jam tidur anak Free), GF (Glutein Free) SF (Sugar Free) dan
terlalu sore bangunnya, dan waktu mandi elektronik” (kepala sekolah)
terburu-buru jadi menyikat gigi kadang tidak “ Menggunakan metode behavior dari Lovaz
terlaksana” (104) yaitu ABA (applied behavior analyze) yaitu
membantu anak lebih rileks, lebih fokus dan
Untuk konsumsi makanan yang menyehatkan lebih baik kontak matanya.” (psikolog)
dan merusak gigi, hampir semua informan
mengatakan anak mereka diet, yaitu tidak boleh Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan
makan yang manis-manis, susu,gandum dan mulut adalah tindakan untuk memelihara kesehatan
penyedap rasa. Sedangkan anak-anak setiap hari gigi dan mulut yaitu berapa kali menyikat gigi
diberi buah-buahan yang dianjurkan agar terapinya sehari, kapan waktunya, dan mengkonsumsi
berjalan dengan baik. Hal ini bisa terlihat dari hasil makanan yang dapat menyehatkan gigi dan mulut,
cuplikan wawancara mendalam sebagai berikut: mengurangi makanan yang merusak gigi, serta
pemeriksaan gigi rutin. Dari hasil wawancara pada
“ anak diet makanan yang dilarang untuk informan sebagian besar anak autis menyikat gigi
mereka seperti makanan yang manis-manis, frekuensinya sudah tepat yaitu minimal 2 kali
chiki atau yang ada penyedap ras, jadi sehari tetapi ada yang lebih, hanya saja waktunya
makanan dibuat sendiri di rumah, dan makan menyikat gigi masih banyak yang kurang tepat
buah-buahan setiap hari” (101) yaitu pada saat mandi pagi dan mandi sore. Hal
“ Makanan dimasak sendiri, makan 4 x sehari, tersebut dalam analisis tingkah laku bahwa
makanan manis adalah pantangan anak, anak menyikat gigi sering dikaitkan dengan mandi,
makan buah rutin tiap hari seperti semangka, bahwa setiap orang mandi pasti akan menyikat
pir, melon, buah naga dan lain lain” (102) gigi. Pemacu tingkah laku tergantung pada dampak
“ Makanan dibuat sendiri oleh ibu, makan 3 x dari tingkah laku tersebut, contohnya bila
59
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 55-60
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
60
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
Teti Rahmawati1*
Abstrak
Remaja merupakan salah satu kelompok yang berisiko mengalami anemia yang disebabkan kurangnya zat besi di
dalam tubuh dengan berbagai faktor pencetus. Salah satu intervensi yang dilakukan diberi nama HEMA Coach terdiri
dari health education, modifikasi perilaku, dan coaching. Tujuan intervensi ini adalah terjadinya penurunan prevalensi
anemia di keluarga. Desain penelitian adalah studi kasus menggunakan pendekatan asuhan keperawatan keluarga
terhadap 10 keluarga yang diambil dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan terjadi
peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan keluarga dalam mengatasi masalah anemia pada remaja putri.
Rekomendasi penelitian adalah kebijakan pemerintah dalam pemberian promosi kesehatan dan monitoring terhadap
perubahan perilaku remaja putri yang dilakukan secara berkelanjutan.
Kata Kunci: Anemia, HEMA Coach, Remaja putri
Abstract
Adolescents are among the groups at risk for anemia caused by a lack of iron in the body with various precipitating
factors. One of the interventions carried out named HEMA Coach consists of health education, behavior modification,
and coaching. The purpose of this intervention is the decreasing prevalence of anemia in the family. The research
design is case studies using family nursing approach to 10 families taken with purposive sampling technique. The
results showed an increase in knowledge, attitude, and family skills in overcoming anemia problems in young women.
Research recommendation is government policy on giving health promotion and monitoring to change of behavior of
adolescent girl which do continuously.
Key words: Adolescents, Anemia, HEMA Coach
61
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
62
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
dasar intervensi yang dilakukan untuk merubah Pola makan remaja putri tidak teratur, tetapi
perilaku remaja putri. rata-rata frekuensi makan 1-2 kali setiap hari. 4
Intervensi yang digunakan dalam penelitian remaja putri malas makan karena takut gemuk. 4
ini diberi nama hema coach yaitu terdiri dari tidak pernah sarapan dengan alasan takut sakit
pemberian health eduation, modifikasi perilaku, perut di sekolah, 5 lainnya sarapan dengan menu
dan coaching. Intervensi ini dilakukan selama 12 nasi uduk ditambah bakwan, dan 1 sarapan
minggu yang diberikan pada remaja putri dan dengan energen dan gorengan. Rata-rata konsumsi
keluarga terutama ibu. Menurut Taylor (2006) air putih 2-4 gelas dan teh gelas 2 -3 gelas. 6
seseorang yang memiliki dukungan keluarga remaja putri hampir setiap hari makan mie instan
tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan tanpa tambahan sayur dan lauk seperti telur atau
mengatasi masalahnya dibanding dengan yang sayur sawi, 5 tidak menyukai sayuran, 4 menyukai
tidak memiliki dukungan. Untuk itu, peran serta sayuran tertentu saja seperti sayur soup. Remaja
keluarga terutama ibu sangat berpengaruh dalam putri tidak setiap hari mengonsumsi buah-buahan
merubah perilaku remaja untuk mengatasi dengan alasan jarang tersedia di rumah. Kebiasaan
masalah anemia yang dialaminya. Tujuan tidur larut malam setelah jam 22.00 WIB
penelitian ini adalah remaja putri dan keluarga dilakukan 7 remaja putri. Aktifitas fisik yang
memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan dilakukan berangkat sekolah dengan berjalan kaki
yang baik tercermin dari perilaku dalam dan mengikuti beberapa ekskul di sekolah.
mengatasi anemia, salah satunya ditandai dengan Keluarga tidak mengetahui terdapat anggota
peningkatan nilai Hb dan IMT. Selain itu, keluarga yang mengalami anemia karena remaja
terjadinya peningkatan tingkat kemandirian putri masih tetap beraktifitas seperti biasa
keluarga dari tingkat I – II ke tingkat III – IV. meskipun sering terdapat keluhan capek, ngantuk,
Adapun metode yang digunakan adalah studi atau lemas. Keluarga menganggap keluhan yang
kasus melalui kunjungan rumah. Pemilihan kasus dirasakan adalah hal yang biasa terjadi pada
dilakukan dengan metode purposive sampling remaja, sehingga tidak membawanya ke
yaitu memilih 10 keluarga yang menjadi keluarga pelayanan kesehatan. Keluarga jarang masak
binaan dengan kriteria inklusi keluarga dengan makanan sendiri sebanyak 5 keluarga, tidak
anak remaja putri yang teridentifikasi mengalami memiliki kebiasaan sarapan pagi sebanyak 4
anemia. keluarga tetapi kadang-kadang jika anaknya minta
sarapan baru disediakan.
Deskripsi Kasus Data yang telah terkumpul dilakukan analisis
data dan prioritas masalah (skoring) sehingga
Proses pelaksanaan penelitian diaplikasikan diperoleh masalah keperawatan dalam keluarga.
dalam bentuk asuhan keperawatan keluarga yang Kedua adalah merumuskan diagnosa keperawatan
dilakukan kepada 10 keluarga dengan anak remaja dengan menggunakan NANDA (2015-2017).
putri yang mengalami anemia di wilayah Ketiga menyusun rencana keperawatan yang
Kelurahan Curug Cimanggis Kota Depok. Data mengacu pada NIC dan indikator pencapaian
yang diperoleh dari hasil pengkajian ke-10 tujuan berdasarkan NOC. Intervensi yang
keluarga binaan adalah 9 keluarga merupakan dilakukan diberi nama hema coach yang terdiri
keluarga inti, 8 KK berpendidikan <SMA, 8 KK dari health education, modifikasi perilaku, dan
bekerja sebagai buruh dan 2 keluarga pedagang coaching. Ke empat melakukan implementasi
makanan, pendidikan ibu <SMA dimiliki oleh 9 berdasarkan rencana keperawatan yang sudah
keluarga, hasil pengukuran berat badan dan tinggi disusun. Ke lima melakukan evaluasi berdasarkan
badan pertama menunjukkan 7 remaja putri hasil implementasi yang sudah dilakukan.
termasuk kategori kurus (IMT<17 Kg/m2) dan 3 Pelaksanaan intervensi (Implementasi)
remaja putri termasuk kategori normal (IMT 17- dilakukan terhadap 10 keluarga binaan dalam
23Kg/m2). Tanda dan gejala yang dirasakan waktu yang sama yaitu 12 minggu, dengan tahap-
remaja putri adalah lemas, lelah, sering tahap sebagai berikut: melakukan health
mengantuk, cepat capek, sulit konsentrasi untuk education dengan cara penyuluhan mengenai
belajar, kadang cepat marah, konjungtiva anemis, proses penyakit anemia dan mengajarkan cara
pengisian kapiler refil lebih dari 3 detik, telapak melakukan pemeriksaan tanda dan gejala anemia.
tangan dan ujung jari tampak pucat. Kemudian pada kunjungan berikutnya dilakukan
63
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
health education mengenai manajeman nutrisi Hasil pengukuran IMT diperoleh 7 remaja putri
serta mengajarkan cara menyusun menu terutama termasuk dalam kategori kurus (< 18,5). Selain
untuk remaja yang mengalami anemia. itu, 10 keluarga mengalami peningkatan tingkat
Mendiskusikan cara melakukan modifikasi kemandirian, di mana sebelum intervensi
perilaku yang akan dilakukan terkait asupan kemandirian keluarga berada pada tahap mandiri I
nutrisi (pengaturan frekuensi dan waktu makan, dan II sedangkan setelah intervensi meningkat
jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah porsi menjadi mandiri III dan IV.
makan, dan kebiasaan makan), aktifitas fisik, dan
istirahat tidur. Semua bentuk modifikas perilaku Pembahasan
dicatat dalam buku kerja remaja anemia dan
dievaluasi setiap kunjungan keluarga. Hasil intervensi keperawatan menunjukkan
Intervensi lain yang dilakukan adalah terjadinya peningkatan pengetahuan setelah
coaching dengan cara membimbing dan dilakukan intervensi terkait masalah anemia.
mengajarkan cara memilih, mengolah, dan Peningkatan pengetahuan diperoleh karena
menyajikan makanan yang dilakukan sebanyak 3 adanya informasi yang diberikan melalui
sesi (sesi satu dilakukan tahap 1-3 selama 30 – 45 intervensi health education yang dilakukan
menit, sesi dua dilakukan tahap 4-5 selama 60 – dengan menggunakan metode ceramah, diskusi,
90 menit, dan sesi 3 dilakukan tahap 6 selama 30 tanya jawab, demonstrasi, re-demonstrasi,
menit), dievaluasi setelah 2 minggu melalui buku pembimbingan, permainan, dan praktek.
kerja ibu dan kunjungan langsung secara tiba-tiba. Didukung dengan media lembar balik, leaflet,
Setelah semua rencana keperawatan di food models, buku kerja ibu dan remaja anemia,
implementasikan makan di akhir pelaksanaan serta alat peraga lain berupa bahan makanan. Hal
asuhan keperawatan dilakukan evaluasi sumatif ini dilakukan karena setiap metode dan media
untuk mengevaluasi seluruh proses yang telah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
dilakukan. masing sehingga untuk memaksimalkan
Hasil intervensi keperawatan, menunjukkan pencapaian tujuan dibutuhkan modifikasi dengan
terjadinya peningkatan pengetahuan sebelum dan menggabungkan beberapa metoda dan media
setelah dilakukan intervensi terkait masalah sesuai dengan sasaran pembelajaran dan tujuan
anemia yaitu dari tidak ada keluarga yang yang ingin dicapai.
memiliki pengetahuan baik menjadi 8 keluarga Peningkatan pengetahuan dapat menjadi
memiliki pengetahuan baik. Pengetahuan langkah awal keluarga untuk merubah perilaku
manajeman nutrisi meningkat dari tidak ada yang tidak sehat menjadi sehat termasuk merubah
keluarga yang memiliki pengetahuan baik menjadi kebiasaan dalam mengonsumsi makanan yang
9 keluarga memiliki pengetahuan baik. Respon kaya zat besi, memenuhi kebutuhan istirahat tidur,
yang ditunjukkan keluarga saat melakukan maupun aktifitas fisik sesuai dengan kemampuan.
intervensi adalah aktif dan antusias. Terjadinya Didalam keluarga pengetahuan ibu mengenai
peningkatan sikap dari 10 keluarga, yaitu dari 3 masalah kesehatan sangat berperan dalam
menjadi 8 keluarga yang memiliki sikap baik. merubah perilaku keluarga (Notoatmojo, 2010),
Sedangkan sikap keluarga dalam memenuhi karena peran ibu sangat besar dalam menentukan
kebutuhan nutrisi meningkat dari 2 menjadi 8 kondisi kesehatan anggota keluarga termasuk
keluarga yang memiliki sikap baik. dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi keluarga
Hasil intervensi juga menunjukkan (Friedman, Bowden, & Jones, 2010). Dengan
peningkatan keterampilan sebelum dan setelah adanya pengetahuan, ibu menjadi memahami
dilakukan intervensi dari tidak ada menjadi 9 nutrisi yang dibutuhkan oleh remaja, jenis
keluarga yang terampil melakukan pemeriksaan makanan yang harus disajikan, kebiasaan makan
tanda dan gejala anemia. Keterampilan dalam yang diterapkan, maupun pola hidup yang harus
menyusun menu meningkat dari tidak ada menjadi diterapkan dalam keluarga sehingga anemia pada
8 keluarga yang terampil. Keterampilan dalam remaja dapat diatasi.
memilih, mengolah, dan menyajikan makanan Hasil intervensi menunjukkan terjadinya
juga meningkat dari tidak ada menjadi 9 keluarga peningkatan sikap yang baik dalam mengatasi
yang terampil. Hasil Screening Hb menunjukkan anemia. Peningkatan sikap yang terjadi dalam
10 remaja putri mengalami peningkatan nilai Hb. keluarga merupakan salah satu dampak dari
64
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
peningkatan pengetahuan yang dialami. Sehingga lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak
dengan adanya pengetahuan, keluarga akan didasari pengetahuan. Pendidikan kesehatan
memberikan respon berupa sikap untuk mengatasi memotifasi seseorang untuk menerima informasi
masalah yang dihadapinya, seperti adanya kesehatan dan berbuat sesuai dengan informasi
perhatian dalam menyediakan menu makan tersebut agar mereka menjadi lebih tahu dan lebih
berdasarkan keinginan remaja putri sehingga sehat. Didukung pernyataan Pender, Murdaugh,
remaja termotivasi untuk makan. dan Parsons (2015) mengatakan perilaku orang
Keterampilan keluarga dalam melakukan tua memiliki pengaruh yang besar dalam
pemeriksaan tanda dan gejala anemia, menyusun memengaruhi perilaku anak.
menu, memilih, mengolah, dan menyajikan Hasil Screening Hb menunjukkan
makanan juga mengalami peningkatan. peningkatan kadar Hb. Hal ini terjadi karena
Keterampilan ibu tentunya sangat penting dalam asupan makanan remaja meningkat tidak hanya
melakukan perubahan perilaku di dalam keluarga. dari jumlah tapi juga dari kualitas makanan yang
Intervensi yang dilakukan untuk mempelajari dikonsumsi. Sesuai hasil penelitian Marfuah,
keterampilan baru adalah coaching. Coaching Pertiwi, & Kusudaryati (2016), pendidikan
dilakukan untuk memberikan pemahaman dan kesehatan dan peningkatan asupan nutrisi dapat
keterampilan baru dengan cara memberikan mengatasi anemia. Mekipun 10 keluarga
bimbingan langsung (Lubis, 2012). Efektifitas mengalami peningkatan nilai Hb, tetapi 1 remaja
coaching dalam mempelajari keterampilan putri masih dikategorikan mengalami anemia
didukung hasil penelitian Croffoot, Bray Krust, yaitu memiliki nilai Hb 10,5 gr/dl dari nilai 8,5
Black Marsha, dan Kurber (2010) coaching gr/dl. Menurut analisis penulis, hal ini terjadi
efektif dilakukan untuk mengajarkan cara karena remaja putri berasal dari tipe keluarga
melakukan kebersihan gigi pada anak usia single family, keluarga (ibu) memiliki tingkat
sekolah. pendidikan rendah (< SMA) dan penghasilan
Coaching di keluarga dilakukan terhadap ibu keluarga di bawah UMR Kota Depok (Rp.
dan remaja putri. Coaching pada remaja bertujuan 3.046.180,-) jumlah saudara 3 (2 orang masih
untuk memberikan keterampilan dalam memilih sekolah).
makanan sehat dan menentukan menu makanan Kondisi ekonomi yang kurang menyebabkan
yang akan di konsumsi sehingga remaja daya beli keluarga menurun sehingga mengalami
memahami cara melakukan perilaku hidup sehat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarga
serta berkomitmen untuk melakukan pola hidup termasuk kebutuhan nutrisi pada remaja yang
sehat secara konsisten. Sedangkan coaching yang mengalami anemia. Iskandar (2009)
dilakukan pada ibu bertujuan untuk memberikan mengungkapkan bahwa semakin besar jumlah
keterampilan mengenai cara menyusun menu dan anak dalam keluarga beban hidup yang
manfaat makanan dari mulai memilih, mengolah, ditanggung akan semakin besar, termasuk
dan menyajikannya sehingga remaja putri tertarik perhatian terhadap konsumsi makan anak akan
untuk makan. Peran serta ibu dalam coaching berkurang. Besar keluarga berpengaruh pada
menunjukkan tingginya dukungan dan peran serta pembelanjaan dan konsumsi pangan keluarga
keluarga dalam mengatasi masalah anemia yang terutama dalam mengonsumsi jenis makanan
dialami remaja putri. Seseorang yang memiliki hewani. Status ekonomi juga turut memberikan
dukungan keluarga tinggi akan lebih berhasil pengaruh terhadap kemampuan daya beli dan
menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding konsumsi makanan yang mengandung zat besi
dengan yang tidak memiliki dukungan (Taylor, dan vitamin C lebih banyak. Status sosial
2006). ekonomi keluarga merupakan faktor yang
Peningkatan pengetahuan, sikap, dan mempengaruhi angka kejadian anemia pada
keterampilan yang dimiliki keluarga (ibu) dapat remaja putri (Kim, 2014; Marwan, Amin, &
mempermudah ibu menjalankan perannya sebagai Yehia, 2013).
penjaga kesehatan seluruh anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
Peran tersebut dapat dijalankan ibu dengan benar pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap
karena perilaku yang ditunjukkan ibu didasari kemampuan dalam menyusun menu dan
oleh pengetahuan. Sesuai penyataan Notoatmojo menyediakan makanan sesuai dengan kebutuhan
(2010) perilaku yang didasari pengetahuan akan remaja putri yang mengalami anemia. Hasil
65
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
penelitian ini memperkuat pernyataan Murray anggota keluarga. Selain itu, anak-anak di dalam
(2010) yang menyatakan bahwa kemampuan keluarga belum ada yang bisa diberikan tanggung
keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi jawab untuk menggantikan peran ibu dalam
anggota keluarga salah satunya dipengaruhi oleh menyediakan makanan karena semua anak sejak
tingkat pendidikan ibu. kecil tidak dibiasakan untuk membantu pekerjaan
Hasil pengukuran IMT diperoleh 7 remaja rumah, kegiatan anak di fokuskan hanya untuk
putri termasuk dalam kategori kurus (< 18,5) hal belajar dan semua kebutuhan serta pekerjaan
ini tidak selalu mengindikasikan bahwa seseorang rumah dilakukan oleh ibu.
yang kurus pasti akan mengalami anemia. Sesuai Kondisi di atas menyebabkan ibu tidak
dengan hasil penelitian Gupta, Parashar, Thakur, memiliki waktu untuk melakukan tindakan
dan Sharma (2012) menyatakan IMT dan usia pencegahan terhadap masalah anemia yang
onset menarche tidak berhubungan secara dialami remaja putri seperti setiap hari
signifikan dengan Anemia. Hasil penelitian Kaur, menyediakan makanan sehat dan melakukan
Deshmukh, dan Garg (2006) berdasarkan hasil modifikasi perilaku sesuai dengan komitmen
Analisis univariat menunjukkan IMT tidak keluarga karena sampai di rumah ibu sudah
berkontribusi secara signifikan dengan anemia. kelelahan. Ibu lebih sering memenuhi kebutuhan
Nilai IMT bukan merupakan salah satu penyebab nutrisi anggota keluarga dengan membeli
terjadinya anemia tetapi merupakan salah satu makanan di warung karena ibu hanya memiliki
indikator status nutrisi. Meskipun ke 7 remaja waktu untuk memasak makanan sendiri ketika
putri memiliki IMT < 18,5 (kurus) tetapi dilihat libur bekerja yang dilakukan satu minggu sekali.
dari hasil penimbangan berat badan mengalami Ditengah kesibukan ibu masih menyempatkan
kenaikan. Rata-rata kenaikan berat badan 2 – 4 Kg untuk menyediakan makanan sendiri berupa telur
selama 4 bulan. Hal ini menunjukkan asupan goreng, tempe goreng dan sayur bening. Buah-
nutrisi remaja putri mengalami peningkatan baik buahan jarang tersedia di rumah, tetapi keluarga
secara kualitas maupun kuantitas. Peningkatan sudah mulai membiasakan sarapan pagi.
berat badan yang dalami remaja putri sesuai Kebiasaan dalam keluarga tersebut menyebabkan
dengan pernyataan Arisman (2010) pertumbuhan kebutuhan nutrisi remaja putri terutama yang
pesat pada remaja ditandai dengan pertambahan mengandung zat besi belum terpenuhi.
berat badan pada remaja putri 16 gram/hari dan
laki-laki 19 gram/hari sedangkan pertambahan
tinggi badan pada remaja putri dan putra dapat
mencapai 15 cm dalam setahun. Tabel 1. Tingkat Kemandirian Keluarga
Hasil lain yang diperoleh adalah peningkatan Sebelum dan Setelah dilakukan
tingkat kemandirian keluarga dari tingkat I – II ke Intervensi HEMA Coach (n= 10)
tingkat III – IV. Tingkat kemandirian keluarga
dapat dilihat pada tabel 1. Tingkat Kemandirian
Tabel 1. menunjukkan bahwa 10 keluarga Keluarga Keluarga
mengalami peningkatan tingkat kemandirian, di Sebelum Setelah
mana sebelum intervensi kemandirian keluarga Keluarga 1 I III
berada pada tahap mandiri I dan II sedangkan Keluarga 2 II IV
setelah intervensi meningkat menjadi mandiri III Keluarga 3 II IV
dan IV. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi Keluarga 4 I II
HEMA Coach mampu meningkatkan tingkat Keluarga 5 II IV
kemandirian keluarga. Meskipun terdapat 1 Keluarga 6 II IV
keluarga berada pada tingkat kemandirian III dan Keluarga 7 II IV
1 keluarga masih berada pada tingkat kemandirian Keluarga 8 II IV
II karena keluarga belum mampu melakukan Keluarga 9 II IV
tindakan pencegahan secara aktif. Berdasarkan
Keluarga
hasil intervensi, keluarga termasuk tipe single II IV
10
family dan pencari nafkah hanya ibu sebagai
kepala keluarga. Ibu sibuk bekerja dari pagi
sampai malam untuk memenuhi kebutuhan semua
66
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
Continue care yang dapat dilakukan perawat adolescents in urban slum. Indian Journal of
komunitas untuk mengatasi masalah anemia pada Public Health Research & Development.
remaja putri diantaranya melaporkan kondisi Hayati, R.M. (2010). Pegetahuan dan Sikap
keluarga setelah dilakukan intervensi HEMA Anemia Defesiensi Besi dan Dampaknya
Coach dan melakukan advokasi kepada pihak terhadap Kesehatan Reproduksi di MAL
puskesmas untuk melanjutkan pemberian asuhan IAIN Medan Tahun 2009/2010. Medan:
keperawatan, melakukan monitoring terhadap Universitas Sumatera Utara
kondisi kesehatan remaja putri, dan Iskandar, A. (2009). Hubungan faktor Internal
merekomendasikan keluarga untuk mendapat dan Eksternal Keluarga terhadap Kejadian
bantuan dari pemerintah sehingga kebutuhan Anemia Gizi Besi pada Aggregat Remaja
nutrisi remaja putri dapat terpenuhi sehingga Putri di SMP Negeri 1 Cimalaka Kabupaten
masalah anemia dapat teratasi. Sumedang. Tesis. FIK UI.
Kaur, S., Deshmukh, P.R., & Garg, B.S. (2006).
Simpulan Epidemiological Correlates of Nutritional
Anaemia in Adolescent Girls of Rural
Terjadinya peningkatan pengetahuan, sikap, Wardha. Indian Community Med Journal.
dan keterampilan keluarga dalam mengatasi 2006;31:255‑8.
anemia pada remaja putri. Terjadinya peningkatan KemenKes RI. (2013). Profil Kesehatan
nilai Hb dan IMT. Terjadinya peningkatan tingkat Indonesia 2012. Jakarta: Kementerian
kemandirian keluarga dari I-II menjadi III-IV. Kesehatan
Terjadinya penurunan kejadian anemia dari 10 Kim, J. Y., Shin, S., Han, K., Lee, K ., Kim, J., &
menjadi 1 remaja putri. Choi, Y. S. (2014). Relationship between
socioeconomic status and anemia
Referensi prevalence in adolescent girls based on the
Anand, T., Rahi, M., Sharma, P., & Ingle, G.K. fourth and fifth koreaa national health and
(2013). Issue in Prevention of Iron nutrition examination surveys. European
Deficiency Anemia in India. Diunduh dari Journal of Clinical Nutrition, 68(2), 253-8.
www.nutritionjrni.com Doi:http?dx.doi.org/10.1038/ejen.2013.24
Arisman. (2010). Gizi dalam Daur Kehidupan. Linda, P., Grooms, N.C., Michelle, & Laura, E.
Jakarta: EGC M., (2013). Treatment of Anemia in the
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Adolescent Female. Fediatric Annals.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset January 2013. Volume 42. Issue 1:36-39.
kesehatan dasar: Riskesdas 2013. Jakarta: Diunduh dari http://www.healio.com.
Kemenkes RI Lubis, N.R. (2012) Membantu Karyawan dengan
Bagni, U.V., Yokoo, E.M., & Veiga, G.V. (2014). Coaching & Counseling.
Association between nutrient intake and (http://www.lptui.com)
anemia in Brazilian adolescents. Diunduh Marfuah, D., Pertiwi, D., & Kusudaryati D.
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov (2016). Efektifitas edukasi gizi terhadap
DepKes RI. (2014). Menteri Kesehatan Buka perbaikan asupan gizi besi pada remaja
Konferensi Nasional Persatuan Ahli Gizi putri. Diundug dari
Indonesia tahun 2014. Diunduh dari https://www.researchgate.net.
http://www.depkes.go.id. Marwan, O.J., Amien, H., & Yehia, A. (2013).
Friedman, M., Bowden, V., Jones, E. (2010). Anemia and risk factors among female
Family Nursing Research. Theory & secondary students inthe Gaza Strip.
Practice. New Jersey: Pearson Education Diunduh dari https://www.researchgate.net
Green, L. W. & Keuter, M. W. (2005). Health Mesias, M., Seiquer, I., & Navarro, M.P. (2012).
Program Planning an Educational and Iron Nutrition in Adolescence. Di unduh
Ecological Approach. Fourth Edition, New dari http://search.proquest.com
York: The McGraw-Hill Companies, Inc Miller, C. A. (2012). Nursing for wellness in older
Gupta, D., Pant, B., & Kumari, R. (2014). Socio- adult: theory and practice (6th ed.).
demographic correlates of anaemia among Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
67
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 61-68
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
Murray, A. (2010). Community Health and Santrock, J.W. (2007). Adolescence. Eleventh
Wellness: A Sociological Approach. edition. USA: The McGraw-Hill Companies.
Philadelphia: Mosby Sari, Yunita. (2016). Pengaruh coaching terhadap
Neri, A. (2009). Faktor-Faktor yang stigma diri dan kualitas hidup klein TB Paru.
Mempengaruhi Kejadian Anemia Gizi Tesis. Pascasarjana Keperawatan.
Remaja Putri SMP 133 di Pulau Pramuka Universitas Indonesia.
Kepulauan Seribu. Tesis FKM UI Sayogo, S. (2006). Gizi Remaja Putri. Jakarta:
Notoatmojo, S. (2010). Promosi Kesehatan, EGC.
Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta Stanhope, M., & Lancaster, J. (2016). Public
Pender, N.J., Murdaugh, CL. & Parsons, M.A. Health Nursing. 9th ed. St. Louis, MO:
(2015). Health Promotion in Nursing Mosby-Elsevier.
Practice. (5th.ed). Upper Saddie River, NJ: Tayor, R.B. (2006). Family Medicine: Principles
Prentice Hall and Practice. Sixth edition. New York:
Saifah. (2012). Model Perkasa Sebagai Model Springer-Verlag.
Intervensi Penanggulangan Gizi Lebih Pada World Health Organization. (2014). WHO,
Anak Usia Sekolah Di Kelurahan Pasir UNICEP, UNFPA, The World Bank Trends
gunung Selatan Kecamatan Cimanggis Kota in Maternal Mortality: 1990 to 2013.
Depok. Universitas Indonesia Geneva: World Health Organization
68
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
Chiyar Edison S. 1*
Abstract
High Fidelity Simulation (HFS) has been recently deemed an effective approach to resemble the real clinical situation
so that the improvement of knowledge and skill of student are much more significant. However, there has been much
debate in recent times whether this method is much more effective than conventional simulation. This literature
review aimed to present the evidence supporting of the effectiveness of HFS especially in enhancing knowledge and
skill of health care student. Search terms including “high fidelity simulation”, “knowledge” and “skill” were processed
into CINAHL, PubMed and Bristish Nursing Index. All papers that published after 2005 and primary research were
included. There were totally 9 papers included in this review, as a result of back chaining method involved in searching
strategy. This review suggests that HFS is able to improve skill and knowledge of student effectively.
Keywords: High Fidelity Simulation, knowledge, skill
69
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
70
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
articles to be discussed in this literature method with data collected from 29 senior
review(Table 2) baccalaureate nursing students. It must be
acknowledged that the sample size is too small for
Knowledge acquisition this type of study. Consequently, it may influence
Knowledge is an essential learning outcome significantly to data generalisability.
within health education. This element ought to be Hoffmann et al (2007) conducted pre and
possessed in every health care provider as the post tests using Basic Knowledge Assessment
main component of competence. The use of high Tool-6 (BKAT-6), which is often utilized to
fidelity simulation is one teaching method that has assess the basic knowledge in critical areas for
the capability to enhance the knowledge gaining registered nurse prior entering critical care setting.
in students. However, Hoffmann et al (2007) applied different
In one study, Brannan et al (2007) conducted approaches to evaluate the knowledgeattainment
quasi-experimental study involving 107 junior within students, particularly in terms of the post
nursing students. This research aimed to compare test timing. BKAT-6 was administered to students
the effects of traditional methods and high-fidelity three months after the base line, whereas Brannan
human-patient simulator in teaching Acute et al (2007) carried out the post test immediately
Myocard Infarct (AMI), towards cognitive skill following the simulation.
and confidence level. The content of AMI Hoffmann et al, (2007) seemingly aimed to
included diagnostic evaluation, pathogenesis and see not only the effectiveness HFS in enhancing
prevention, nursing care during the acute phase as knowledge gaining, but also how far the students
well as nursing care during recovery. According can maintain the knowledge in three months after
to the objective, Randomised Controlled Trial participating in the simulation. However, the post
(RCT) could have been the most appropriate test ought to be conducted promptly after
design. However, in this study, the students were simulation in order to anticipate some external
not feasible to be assigned randomly due to the factors, which may affect the knowledge
academic setting matter. Therefore, quasi attainment (Howard, 2007).Regarding this
experiment study was opted to be an alternative confusion, Hoffmann et al (2007) should present a
design (Parahoo, 2011, pp.227). clear operational definition in order to distinguish
Brannan et al (2007) used Acute Myocardial various terms, such as knowledge acquisition,
Infarction Questionnaire (AMIQ) as the knowledge retention, short term knowledge and
measuring tool to assess knowledge acquisition in long term knowledge so that the readers can
pre and post test. In the following activity which specifically identify which particulate that would
included a traditional lecture (control group) for be measured.
two hours and human-patient simulator with a Experimental design is not the only way to
scenario (experimental group), students were answer the inquiry of HFS’s effectiveness in
given the same AMIQ to be completed. The result health pedagogy. Student as an HFS user is an
indicated that HFS produced some improvement alternative source by obtaining their experience
in the AMI knowledge among students. when they are exposed by a simulation. Hence
However, Brannan et al (2007) did not qualitative study, which enables us to understand
provide detailed information regarding the content perceptions and actions of the participants, is an
of vignette that was involved in human-patient alternative approach (Parohoo 2006, pp. 63).
simulator. This study case should have been
written to link up with the features of simulator Table.1 Results of refined literature research
and AMIQ, in order to optimise the measuring of
Data Term used Results
the effectiveness of human-patient simulator as an
base
effective teaching method (Cherry et al, 2007).
Therefore, despite educator and cardiology expert BNI High fidelity simulation 10
has been involved and pilot study has been AND knowledge AND skill
conducted to assess AMIQ, the realibility and the Pubmed High fidelity simulation 30
validity of this study is still arguable. AND knowledge AND skill
The same result was also found by Hoffmann CINAHL High fidelity simulation 21
et al (2007), who studied quasi experiment AND knowledge AND skill
71
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
72
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
73
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
scale that had been used by the previous research (inclusion) and biased in the group (exclusion)
(Morgan et al. 2004). After the simulation had (Rees 2011, pp.26)
completed, the facilitator carried out a discussion These two literatures have found an evidence
to provide feedbacks by utilising videotaped that skill attainment can be enhanced by involving
performances as the template. This was followed HFS as a learning tool despite the fact that some
by conducting a post test by using the same MCQ limitations must be acknowledged. However, they
and scenario with pre test. To assess the merely showed the effectiveness of HFS by
simulation performance, repeated measured measuring immediately after simulation was
analysis of variance (ANOVA) was used, which completed.
resulted in the improvement score (p<0.0001) for Croft et al (2006) examined the effectiveness
both checklist performance and global rating of HFS compared to low fidelity simulation (LFS)
scale. in the training of shoulder dystocia management.
As the result showed that there was a This RCT study involved 140 participants
statistical improvement in the written test and comprised of 45 doctors and 95 midwives. This
performance, Morgan et al (2006) pointed out that sample derived from six hospitals, which had
HFS could provide students with a worthwhile delivery rate ranging from 2,500 to 4600 per
learning experience and enable them to make a annum. Every selected hospital provided the list
link between theory and practice. However, of eligible staff, which was stratified by staff
control group was not adopted in their study groups and experiences. Stratified random
method. This control study group should have sampling is one of the sampling methods
been used as a comparison that would assure that commonly applied in experimental study when the
the outcomes were only affected by intervention sample frame consists of units with varied
(Parahoo 2006, pp. 221) variables (Parahoo 2006, pp.262).
Similar finding was also found in a All participants were randomly assigned to
descriptive study that aimed to examine the control group and experiment group, in which to
effects of HFS towards skill performance of 50 attend practical workshop in management of
medical surgical nursing students in dealing with shoulder dystocia by using either LFS (control
emergency cases (Gordon and Buckley, 2009). group) or HFS (experiment group). After three
The participants attended the theoretical course weeks, post training assessment was carried out to
for 14 hours to deepen their pre-knowledge evaluate the effectiveness HFS and LFS. All
related to clinical emergencies. Following this activities during training were recorded by video
stage, they were engaged to run simulation with tape recorder. The reviewers had been blinded to
one of the scenarios by using HFS. Data were pre or post test and the training intervention prior
collected by questionnaires, which were to viewing the video of simulation. This technique
completed by students prior to and following the is called single blinding, which means either the
simulation. The data analysis indicated that there researchers or the subjects are not notified about
was a high confidence level of ability in order to the group allocation (Parahoo 2006, pp.235).
respond patients with clinical emergencies. According to the result, the training with
However, the validity and reliability of the HFS produced greater successful delivery rate
questionnaires was questionable due to the than the one using LFS, 94% successful
absence of detailed explanations about tool participants compared to72%. This result shows a
assessment. Though validity is more challenging significant evidence that HFS can improve
to ratify, but at least, reliability can be confirmed psychomotor skills needed by midwives and
by conducting a pilot study prior to carrying out doctors to perform management of shoulder
the research (Rees 2011, pp. 26). Furthermore, dystocia. However, the participants consisting of
bias within the sample was seemingly not midwives and doctors were generally divided into
controlled properly since the previous trainings two categories: seniors and juniors according to
and experiences of all participants were ignored. their experiences. The difference of professional
Predetermined inclusion and exclusion criteria educational background may influence the
should have been introduced, as to what learning ability of each participant, a variable
characteristics were typical to study group which is difficult to be controlled (Parahoo 2006,
pp.237).
74
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
In another study, Morgan et al (2009) carried The clear positive evidence that has been found,
our RCT study to determine whether HFS however, cannot be ignored.
exposure enhanced the performance of practising As a result, the use of HFS in heath education
anaesthetists in managing a particular clinical cannot replace the conventional teaching method.
scenario. After participants signed up consent HFS indeed has the capability to enhance
forms, 74 anaesthetists were randomly allocated knowledge and skill acquisition, yet health
to group A (simulation debriefing), group B educators would need to pay scrupulous attention
(home study) and group C (no intervention). to matching the teaching tools with the objectives
Beside the part of ethical consideration, in RCT, of learning.
consent form is aimed to ensure participants Despite several studies that have been carried
would be well informed that they cannot choose out to reveal the effectiveness of HFS on students’
which group they want (Parahoo 2006, 245). The knowledge and skill acquisition, health pedagogy
participants ran their assigned scenario to perform may require further works to gain more various
a simulation of anaesthetist management. This approaches. One occurrence that should be
pre-test was assessed by dichotomously scored list remarked is the use of MCQ as a tool to measure
and global rating scale (GRS) that had been used knowledge acquisition. MCQ is indeed a well-
in the previous study (Morgan et al, 2007). After known tool assessment because of its convenience
six to nine months, participants returned to to be utilised. However, higher-level knowledge
complete the post test by performing the exact such as clinical decision-making skill would
same scenario in simulating the case management. require an alternative variety of tools to be able to
The result indicated that HFS improved skill measure more accurately and reduce the risk of
attainment and retention. However, in this study, biased results. Hence, MCQ ought not to be
there was no effort from researchers to control the considered as the only type of knowledge
participant from another factor that can influence assessor.
the impact of HFS during six to nine months prior Furthermore,most studies have been carried
to the post test. This limitation reflected the issue out in quantitative approach rather than
of internal validity in RCT, which is refer to the qualitative. Students’ experience should be more
ability of research to ensure only the indepedent explored to obtain different angles about the
variable that has influenced to dependent variable effects of HFS. In other words, the number of
changing (Parahoo 2006, pp.236 ; Rees 2011, pp. qualitative study is proposed to be enhanced.
233)
To sum up, all studies have found the Reference
evidence that HFS has the capability to improve Brannan, J. D., White, A., &Bezanson, J. L.
skill performance, either in short term or long (2008).Simulator effects on cognitive skills
term. However, the main challenge of researchers and confidence levels.Journal of Nursing
is how to guarantee that HFS is the only impact Education, 47(11), 495-500.
contributor to improve the skill performance. Campbell, D. M. et al. (2009). High Fidelity
Moreover, the type of tool assessment to measure Simulation In Neonatal Resuscitation.
skill is also an issue that has to be explored in Pediatric Child Health, 14, pp. 19-23.
further Cherry, R. A., Williams, J., George, J., & Ali, J.
(2007). The effectiveness of a human patient
Conclusion simulator in the ATLS shock skills station.
This literature review shows that the Journal of Surgical Research, 139(2), 229-
engagement of HFS in learning process can 235
generally promote the improvement of knowledge Crofts, J. F., Bartlett, C., Ellis, D., Hunt, L. P.,
and skill acquisition. However, several studies as Fox, R., & Draycott, T. J. (2006). Training
mentioned above found that the use of HFS did for shoulder dystocia: a trial of simulation
not bring the expected impacts to the learning using low-fidelity and high-fidelity
outcomes. There are still some considerations that mannequins. Obstetrics & Gynecology,
this technology would not be the most appropriate 108(6), 1477-1485.
teaching tool as their cost causes an issue as well. Decker, S., Sportsman, S., Puetz, L., & Billings,
L. (2008). The evolution of simulation and its
75
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 69-76
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
contribution to competency. The Journal of Laschinger, S., Medves, J., Pulling, C., McGraw,
Continuing Education in Nursing, 39(2), 74- D. R., Waytuck, B., Harrison, M. B., &
80.Linda, O. (2011). Huungan Peendidikan Gambeta, K. (2008). Effectiveness of
dan Pekerjaan Orang Tua Serta Pola Asuh simulation on health profession students'
Dengan Status Gizi Balita Di Kota dan knowledge, skills, confidence and
Kabupaten Tangerang, Banten. 137. satisfaction. International Journal of
Gaba, D. M. (2004). The future vision of Evidence‐Based Healthcare, 6(3), 278-302.
simulation in health care. BMJ Quality & Leonard, B., Shuhaibar, E. L., & Chen, R. (2010).
Safety, 13(suppl 1), i2-i10 Nursing student perceptions of
Gordon, C. J., & Buckley, T. (2009). The effect of intraprofessional team education using high-
high-fidelity simulation training on medical- fidelity simulation. Journal of Nursing
surgical graduate nurses’ perceived ability to Education, 49(11), 628-631.
respond to patient clinical emergencies. The Morgan, P. J. et al. (2006). Applying Theory To
Journal of Continuing Education in Nursing, Practice in Undergraduate Education Using
40(11), 491-498. High Fidelity Simulation. Medical Teacher,
Hanberg, A., Brown, S. C., Hoadley, T., Smith, 28 (1), e10-e15
S., & Courtney, B. (2007). Finding funding: Morgan, P. J. et al. (2009). Efficacy Of High
The nurses' guide to simulation success. Fidelity Simulation Debriefing On The
Clinical Simulation in Nursing, 3(1), e5-e9. Performance Of Practicing Anaesthetist In
Hoffmann, R. L., O'donnell, J. M., & Kim, Y. Simulated Scenarios.British Journal Of
(2007). The effects of human patient Anaesthesia, 103(4), 531-537.
simulators on basic knowledge in critical care Parahoo, K. (2014). Nursing research: principles,
nursing with undergraduate senior process and issues. Macmillan International
baccalaureate nursing students. Simulation in Higher Education
Healthcare, 2(2), 110-114. Rees, C. (2011). Introduction To Research For
Howard, V. M. (2007). A comparison of Midwives. UK : Elsevier Ltd.
educational strategies for the acquisition of Seropian, M. A., et al. (2004). Simulation: Not
medical-surgical nursing knowledge and just a manikin. Journal of Nursing
critical thinking skills: Human patient Education, 43(4), 164-169.
simulator vs. the interactive case study Smith, S. J., & Roehrs, C. J. (2009). High-fidelity
approach (Doctoral dissertation, University simulation: Factors correlated with nursing
of Pittsburgh). student satisfaction and self-confidence.
Levett-Jones, T., Lapkin, S., Hoffman, K., Arthur, Nursing Education Perspectives, 30(2), 74-
C., & Roche, J. (2011). Examining the 78.
impact of high and medium fidelity
simulation experiences on nursing students’
knowledge acquisition. Nurse education in
practice, 11(6), 380-383.
76
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
Abstrak
Caring merupakan tindakan keperawatan yang mengedepankan kepedulian perawat terhadap klien. Selain itu, caring
menjadi inti dari asuhan keperawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku caring perawat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional.
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit dr.Dradjat Prawiranegara Serang dengan jumlah sampel 51 responden. Hasil
penelitian menunjukan tidak ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku caring perawat (p value =0,264).
Sedangkan pengetahuan dan sikap perawat memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku caring (p value <0,001).
Perilaku caring yang baik dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap perawat yang baik tentang caring. Perawat
yang memiliki pengetahuan dan sikap yang baik menjadikan perilaku caring perawat menjadi baik pula.
Kata Kunci: Pengetahuan, Perawat, Perilaku Caring, Sikap
Abstract
Caring is a nursing action that puts the nurse caring towards the clien. In addition, caring to be the core of nursing care.
This study aimed to determine factors associated with caring behavior of nurses. This study design was quantitative with
cross sectional. This study was conducted at dr.Dradjat Prawiranegara Serang Hospital with 51 respondents. The
statistical test showed that education level of nruse was not significant associated with caring behavior (p value 0.264),
while knowledge and attitude of caring were significantly associated (p value <0,001). Caring behaviour can be affected
by knowledge and attitude of nurse. Nurses who have good knowledge and attitude made good caring behaviours too.
Keywords: Attitude, Caring Behaviors, Knowledge, Nurse
77
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
78
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
perbuatan seseorang, selain itu caring juga pernyataan dalam kuesioner telah dilakukan uji
mempelajari berbagai macam filosofi dan etis validitas dan reliabilitas. Analisis data
perspektif (Perry &Potter, 2005). menggunakan analisis univariat dan bivariat
Perilaku caring perawat diruang kelas III dengan uji statistic chi square dengan batas
cenderung kurang maksimal, dikarenakan jumlah kemaknaan α = 0,05.
pasien yang tidak seimbang dengan jumlah
perawat. Hal ini dibuktikan oleh hasil studi Hasil dan Pembahasan
pendahuluan yang dilakukan peneliti di Rumah Hasil penelitian tentang pendidikan,
Sakit dr.Dradjat Prawiranegara yang menunjukkan pengetahuan, sikap dan perilaku caring perawat di
tingginya jumlah pasien yang dirawat ruang penyakit dalam dan bedah kelas III Rumah
dibandingkan dengan kapasitas. Kapasitas ruang sakit dr. Dradjat Prawiranegara Serang
rawat inap penyakit dalam dan bedah kelas III digambarkan pada table 1.
adalah 102 tempat tidur dengan rata-rata jumlah Tabel.1 menunjukkan bahwa sebagian besar
pasien perbulan dalam 3 bulan terakhir adalah 502 perawat berpendidikan Diploma (76,5%), memiliki
pasien. Survey kepuasan menurut persepsi pasien pengetahuan baik (52,9%), dan memiliki sikap
dan keluarga adalah sebesar 65%. Hasil wawancara positif (58,8%). Dalam hal perilaku caring,
dari 10 orang pasien dan keluarga pasien perawat rumah sakit dr.dradjat Prawiranegara juga
didapatkan sebanyak 4 orang merasa puas dengan memiliki perilaku caring yang baik (56,9%).
pelayanan keperawatan, sementara sebanyak 6 Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
orang mengatakan belum puas terhadap pelayanan responden memiliki perilaku caring yang baik. Hal
keperawatan yang diberikan dikarenakan sikap ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
perawat yang kurang ramah, kurang cepat tanggap Armilah (2016) yang menunjukan perilaku caring
disaat pasien memerlukan bantuan dan jarang diruang penyakit dalam dan bedah kelas III
tersenyum. sebagian besar responden yang diteliti memiliki
Hasil observasi yang dilakukan peneliti perilaku caring yang baik (71,8%) responden.
mengenai perilaku caring perawat menunjukkan Perilaku merupakan suatu respon seseorang
masih kurang maksimal. Hasil observasi yang ditunjukan karena adanya suatu stimulus atau
didapatkan perawat masih lebih banyak berfokus rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2010).
pada penyembuhan penyakit pasien, sedangkan Perilaku merupakan respon terbuka dari seseorang
kebutuhan psikologis dan spiritual pasien masih dalam bentuk tindakan yang nyata sehingga dapat
belum menjadi perhatian. Selain itu, hasil diamati (Fitriani, 2011). Berdasarkan hasil
observasi juga menemukan sikap perawat yang observasi menunjukan bahwa perawat
kurang ramah dengan pasien dan keluarga pasien memperlakukan pasien dengan baik dan sopan,
serta perawat yang kurang cepat dalam memberikan kesempatan kepada pasien untuk
memberikan pelayanan terhadap pasien. Hasil bertanya, dan menjawab pertanyaan pasien dengan
wawancara dengan 10 orang perawat sebanyak 4 jelas.
perawat mampu mengetahui dan memahami Tabel 1 :Distribusi frekuensi pendidikan,
caring, sedangkan 6 perawat belum mampu pengetahuan, sikap dan perilaku caring
mengetahui caring. perawat (n=51)
Variabel F %
Metode Penelitian
Pendidikan
Penelitian ini menggunakan metode
D3 keperawatan 39 76.5
kuantitatif dengan desain cross sectional.
S1 Keperawatan 12 23,5
Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni di Ruang
Rawat Inap Penyakit Dalam dan Bedah kelas III Pengetahuan
Rumah Sakit dr. Drajat Prawiranegara Serang Baik 27 52,9
tahun 2018. Populasi pada penelitian ini adalah Kurang Baik 24 47,1
perawat pelaksana sejumlah 51 orang dengan Sikap
teknik pengambilan sampel menggunakan total Positif 30 58,8
sampling. Pengumpulan data penelitian dilakukan Negatif 21 41,2
dengan menggunakan kuesioner pengetahuan, Perilaku Caring
sikap dan perilaku caring. Semua pertanyaan dan Caring baik 29 56,9
Caring kurang baik 22 43,1
79
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
80
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
Pendidikan merupakan sarana untuk sejalan dengan penelitian Pratiwi (2017) yang
mengubah sikap dan perilaku seseorang melalui menunjukan bahwa sebesar 54,4% perawat
belajar, diskusi, pelatihan dan lain sebagainya. memiliki pengetahuan yang baik mengenai caring
Pendidikan sangat penting untuk mengubah pola dan hasil analisis didapatkan bahwa terdapat
pikir dan perilaku seseorang, jenjang pendidikan hubungan antara pengetahuan tentang caring
perawat mempengaruhi kualitas kinerja perawat itu terhadap aplikasi hubungan interpersonal perawat
sendiri karena semakin tinggi pendidikan perawat dengan pasien yang dimana hubungan
maka semakin luas pengetahuan dan wawasan interpersonal perawat pasien ini termasuk dalam
seorang perawat sehingga nantinya akan point perilaku caring perawat.
berdampak pada perilaku perawat termasuk untuk Hal ini menandakan bahwa pengetahuan
beperilaku caring. Untuk membangun pribadi merupakan faktor yang mempengaruhi responden
perawat yang berjiwa caring harus ditanamkan untuk berperilaku caring. Sesuai dengan teori yang
mulai sejak dini, dalam penyusunan kurikulum dikemukakan oleh Gibson (1987) dalam (Faizin &
pendidikan keperawatan harus selalu memasukan Winarsih, 2008) yang mengatakan bahwa faktor
unsur caring sehingga nantinya perawat sudah yang mempengaruhi perilaku caring perawat salah
terbiasa berperilaku caring sejak dini (Watson, satunya yaitu pengetahuan. Pengetahuan
2008). merupakan hasil tahu seseorang yang didapatkan
melalui belajar, pengalaman dan lain-lain.
Hubungan Pengetahuan Dengan Perilaku Pengetahuan perawat sangat mempengaruhi
Caring Perawat perilaku caring perawat karena perawat yang
Hubungan pengetahuan dengan perilaku mempunyai pengetahuan tentang caring yang baik
caring perawat di ruang rawat inap penyakit dalam mempunyai landasan teori yang cukup untuk
dan bedah kelas III rumah sakit dr.Dradjat dirinya dalam mempraktikkan caring. Dengan
Prawiranegara Serang tahun 2018 ditunjukkan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin baik
dalam table. 3. tingkat pengetahuan perawat terhadap caring,
Berdasarkan tabel 3 diperoleh hasil bahwa maka akan semakin baik juga perilaku caring
dari 27 responden yang berpengetahuan tentang perawat tersebut.
caring yang baik memiliki perilaku caring yang Dengan demikian, untuk menghasilkan
baik sebanyak 25 orang (92,5%) dan sebanyak 2 pribadi perawat yang berjiwa caring pengetahuan
orang (7,4%) yang memiliki perilaku caring yang menjadi faktor yang penting. Hasil penelitian ini
kurang. Hasil uji statistik chi square dengan tingkat juga sejalan dengan hasil penelitian Ramadhan
kepercayaan 95% diperoleh nilai p value sebesar (2017) yang menunjukkan bahwa pelatihan caring
0,000 (p< α) yang berarti terdapat hubungan yang perawat mampu meningkatkan kemampuan dan
signifikan antara pengetahuan dengan perilaku keterampilan perawat untuk menerapkan caring,
caring perawat pelaksana. Nilai Odd Ratio(OR) perawat yang memiliki kemampuan komunikasi
sebesar 62,5 yang artinya bahwa perawat dengan yang baik dapat memberikan perilaku caring yang
pengetahuan tentang caring yang baik memiliki baik, pengalaman perawat dalam menghadapi
peluang 62,5 kali lebih besar mempunyai perilaku pasien juga membuat perawat lebih terlatih dan
caring yang baik dibanding perawat yang memiliki terbiasa untuk berperilaku caring dan penghargaan
pengetahuan tentang caring yang kurang. atau reward dapat meningkatkan motivasi perawat
Hasil analisis hubungan antara pengetahuan untuk berperilaku caring.
dengan perilaku caring perawat menunjukan
bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan Hubungan Sikap dengan Perilaku Caring
dengan perilaku caring perawat. Hal ini sejalan Perawat
dengan peneliti Bondowoso dkk. (2014) yang Hubungan sikap dengan perilaku caring
menunjukan bahwa sebagian besar perawat perawat di ruang rawat inap penyakit dalam dan
memiliki tingkat kognitif tentang caring yang baik. bedah kelas III rumah sakir dr.Dradjat
Hasil analisis pada peneilitian tersebut juga Prawiranegara Serang tahun 2018 ditunjukkan
menunjukan terdapat hubungan antara tingkat dalam tabel.4.
pengetahuan dengan perilaku caring perawat di RS Berdasarkan tabel. 4 diperoleh hasil bahwa
Koeswandi Bondowoso. Hasil penelitian ini juga dari 30 responden yang memiliki sikap caring
81
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
yang positif menunjukan perilaku caring yang baik sikap seseorang terhadap suatu objek akan
sebanyak 22 orang (71,0%) dan sebanyak 9 orang mempengaruhi perilaku seseorang terhadap objek
(16,4%) yang memiliki perilaku caring yang tersebut.Sikap caring perawat yang positif selain
kurang. Sedangkan dari 21 responden yang terbentuk dari pengetahuan yang baik dan juga
memiliki sikap caring yang negatif menunjukan didapatkan dari kebudayaan, lingkungan kerja dan
perilaku caring yang kurang sebanyak 18 orang lembaga pendidikan yang telah ditempuh perawat
(90,0%) dan sebanyak 2 orang (10,0%) yang (Ramadhan, 2017).
mempunyai perilaku caring baik. Hasil uji uji Pada penelitian ini dapat menunjukan bahwa
statistik chi square dengan tingkat kepercayaan sikap merupakan faktor yang mendukung perawat
95% diperoleh nilai p value sebesar 0,000 (p<α) untuk berperilaku caring. Sesuai dengan teori yang
yang berarti terdapat hubungan yang signifikan dikemukakan oleh Gibson (1987) dalam (Faizin &
antara sikap dengan perilaku caring perawat, Winarsih, 2008) yang mengatakan bahwa sikap
dengan nilai Odd Ratio sebesar 28 yang artinya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
bahwa perawat dengan sikap caring yang positif perilaku caring perawat. Sikap merupakan
memiliki peluang 28 kali lebih besar mempunyai tanggapan seseorang terhadap suatu objek. Dari
perilaku caring yang baik dibanding perawat yang hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian
memiliki sikap yang negatif. besar responden bersikap positif terhadap caring
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data yang artinya sebagian besar responden
bahwa sebagian besar responden yang diteliti menganggap caring adalah suatu hal yang baik.
diketahui sebagian besar memiliki sikap caring Perawat diruang penyakit dalam dan bedah kelas
yang positif. Hasil penelitian ini sejalan dengan III Rumah Sakit dr.Dradjat Prawiranegara
penelitian yang dilakukan di Ruang Rawat Inap memiliki sikap caring yang positif sehingga
Kelas III Bangsal Barokah dan Inayah RS PKU menghasilkan perilaku caring yang baik. Dapat
Muhammadiyah Gombong yang menunjukan disimpulkan bahwa semakin positif sikap perawat
bahwa sebagian besar responden yang diteliti mengenai caring maka akan semakin baik pula
memiliki sikap yang positif terhadap caring perilaku caring perawat.
(Ramadhan, 2017). Hasil analisis juga menunjukan
bahwa sebagian besar perawat yang memiliki Simpulan
perilaku caring yang baik terjadi pada perawat Perawat di Ruang Penyakit Dalam dan Bedah
yang memiliki sikap yang positif terhadap caring, Kelas III Rumah Sakit dr.Dradjat Prawiranegara
sedangkan dari perawat yang memiliki sikap Kabupaten Serang memiliki perilaku caring yang
caring yang positif hanya sebagian kecil yang baik, hal ini didukung oleh pengetahuan dan sikap
memiliki perilaku caring yang kurang. yang baik pula dari perawat. Hasil penelitian
Hasil analisis menunjukkan terdapat menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan
hubungan antara sikap dengan perilaku caring dan sikap perawat dengan perilaku caring perawat,
perawat pelaksana serupa dengan penelitian sedangkan pendidikan tidak ada hubungan yang
Ramadhan (2017) yang mengatakan bahwa sebesar signifikan antara pendidikan dengan perilaku
63,3% memiliki sikap yang positif terhadap caring caring perawat.
dan dari hasil analisis didapatkan hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara sikap Referensi
dengan perilaku caring perawat. Apriyanti M. (2009). Faktor-faktor Yang
Sikap merupakan suatu reaksi perasaan Berhubungan Dengan Perilaku Caring
seseorang terhadap suatu objek, reaksi tersebut bisa Perawat Di Ruang Perawatan Interna.
berupa perasaan mendukung atau tidak Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
mendukung. Sikap perawat dalam menyikapi Sriwijaya.
caring memberikan pengaruh terhadap perilaku Ardiana, A. Sahar, J. Gayatri, D. (2010). Hubungan
caring perawat, hal ini didasari oleh perawat yang Kecerdasan Emossional Perawat Dengan
menyikapi caring secara positif akan mendukung Perilaku Caring Perawat Pelaksana Menurut
semua kegiatan yang berkaitan dengan caring dan Persepsi Paien.Jurnal Keperawatan
akan mudah dalam menerapkan perilaku caring, Indonesia.Vol 13, No. 3.
begitu pula sebaliknya. Gibson (1987) dalam http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20
(Faizin & Winarsih, 2008) mengatakan bahwa 282484T%20Anisah%20Ardiana.pdf.
82
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 77-83
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
83
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
Abstrak
Peningkatan pravelensi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dari tahun ke tahun merupakan masalah kesehatan global
yang serius. Antiretroviral (ARV) merupakan satu-satunya terapi bagi ODHA yang harus dikonsumsi seumur hidup
dengan kepatuhan tinggi (95%) guna mencapai efektifitas obat. Tetapi, masalah kepatuhan menjadi masalah utama
bagi ODHA. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mendukung tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan HIV/AIDS, terapi ARV dan infeksi
oportunistik dengan tingkat kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi antiretroviral. Penelitian menggunakan metode
cross sectional dengan jumlah sampel 50 responden yang dipilih menggunakan teknik total sampling. Hasil penelitian
menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan ODHA dalam
menjalani terapi ARV (p value = 0.107 > 0.05). Hasil tersebut kontradiktif hasil penelitian sebelumnya yang
menyatakan terdapat hubungan pengetahuan terapi ARV dengan tingkat kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi
ARV di rumah Sakit Padang.
Kata Kunci: HIV/AIDS, Infeksi Oportunistik, Kepatuhan, Pengetahuan, Terapi ARV
Abstract
Increasing the number of People Living with HIV / AIDS (PLWHA) is one of the serious global health problems.
Antiretroviral (ARV) is the only available therapeutic for PLWHA to be consumed for a lifetime with high adherence
(95%) in order to achieve drug effectiveness. However, compliance issues are still a major problem for PLWHA.
Knowledge is one of many factors that can support adherence in therapy. This study aims to determine the correlation
between the level of knowledge about HIV / AIDS, ARV therapy and opportunistic infections and the level of adherence
of PLWHA in antiretroviral therapy. This study used a cross sectional total sampling method with a total sample of 50
respondents. The results of this study showed no significant relationship between the level of knowledge with the level
of obedience of PLWHA in ARV therapy (p value = 0.107 > 0.05). These results contrast with the previous study who
stated that there was a relationship between knowledge of ARV therapy and the level of obedience of PLWHA in
undergoing ARV therapy in Padang Hospital.
Keywords: Adherence, ARV therapy, knowledge, HIV / AIDS, opportunistic, infections
84
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
85
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
86
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
Pada tabel 2, dapat dilihat bahwa sebagian memiliki tingkat kepatuhan rendah sebanyak 20
besar responden, yaitu 56% memilik tingkat (40%) responden, disusul dengan tingkat
pengetahuan baik, kemudian disusul responden kepatuhan sedang sebanyak 19 (38%) responden,
dengan tingkat pengetahuan cukup sebanyak 30%, dan tingkat kepatuhan tinggi sebanyak 11 (22%)
dan responden dengan tingkat pengetahuan responden. Tingkat kepatuhan yang rendah dapat
kurang sebanyak 14%. Tingginya tingkat disebabkan karen tingginya jumlah responden
pengetahuan disebabkan karena adanya program yang bekerja sebagai karyawan sebanyak 30%.
study club yang menghadirkan dokter maupun Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh
nara sumber terpercaya yang disampaikan kepada Notoatmodjo (2007) bahwa pasien yang bekerja
ODHA di komunitas tersebut. cenderung memiliki waktu lebih sedikit untuk
Hal ini sesuai dengan teori Notoatmodjo melakukan pengobatan. Hal ini menjadi temuan
(2003) bahwa sumber informasi dapat berasal dari bahwa dengan tingkat kepatuhan yang rendah,
media massa maupun orang lain melalui kegiatan dapat menyebabkan ODHA menjadi gagal terapi
belajar formal maupun informal. Selain itu, hasil ARV, dimana kriteria gagal terapi ditentukan
pengetahuan yang tinggi dari pengetahuan berdasarkan tiga kriteria yaitu kriteria klinis,
responden adalah mengenai pengetahuan imunologis, dan virologis (Kemenkes RI, 2011).
HIV/AIDS, dimana seluruh responden menjawab
benar sebanyak 100% mengenai pertanyaan Tabel 2. Pengetahuan tentang HIV/AIDS, Terapi
bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit yang Antiretroviral dan Infeksi Oportunistik
menyerang daya tahan tubuh. Sedangkan jenis-
jenis infeksi oportunistik merupakan pertanyaan Pegetahuan F %
yang paling sedikit dijawab benar oleh responden Kurang 7 14
yang menjawab benar, yaitu sebesar 12%. Cukup 15 30
Pertanyaan tersebut adalah bahwa TB Paru, diare Baik 28 56
berat, demam lebih dari satu bulan, pneumonia, Total 50 100
meningitis, malaria, kandidiasis oral, dan hepatitis
merupakan contoh penyakit infeksi oportunistik. Tabel 3. Kepatuhan dalam Menjalani Terapi
Hal tersebut mendukung dengan sudah semakin Antiretroviral
meluasnya pendidikan kesehatan mengenai
HIV/AIDS namun pendidikan kesehatan Kepatuhan F %
mengenai infeksi oportunistik masih minim. Hal Rendah 20 40
ini menjadi perhatian bahwa karena tingkat Sedang 19 38
kepatuhan rendah dapat berdampak pada Tinggi 11 22
resistensi obat dan menimbulkan ko-infeksi
Total 50 100
(pengulangan infeksi oprtunistik) serta kegagalan
dalam menekan viral load.
Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa hamper
sebagian besar responden dalam penelitian ini
Tabel 4. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS, Terapi ARV dan Infeksi Oportunistik dengan
Tingkat Kepatuhan dalam Menjalani Terapi ARV
87
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
Kepatuhan dalam menjalani terapi sangat tersebut kontras dengan hasil penelitian Wildra
menentukan kesuksesan suatu pengobatan. (2013) yang menyatakan bahwa terdapat
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi medis hubungan antara pengetahuana tetang terapi ARV
berdampak terhadap perburukan kondisi penyakit, dengan tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi
kematian, membuang-buang obat, menurunkan ARV pada ODHA di poliklinik khusus rawat jalan
kualitas hidup, meningkatkan penggunaan bagian penyakit dalam RSUP dr. M. Djamil
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, ataupun Padang.
nursing home, serta meningkatkan biaya Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perawatan (Jimmy, 2011). Dengan demikian, sebagian kecil responden yang memiliki tingkat
kepatuhan menjadi hal yang penting untuk pengetahuan kurang memiliki tingkat kepatuhan
diperhatikan karena dampak dari ketidakpatuhan rendah. Sedangkan sebagian kecil lainnya
akan berimbas terhadap berbagai aspek, tidak responden yang memiliki tingkat pengetahuan
hanya berpengaruh terhadap kondisi pasien cukup memiliki tingkat kepatuhan sedang. Selain
namun juga terhadap pelayanan kesehatan. itu, sebagian kecil responden yang memiliki
tingkat pengetahuan baik juga memiliki tingkat
Analisis Bivariat kepatuhan sedang. Temuan tersebut diindikasikan
Berdasarkan tabel 4, dapat disimpulkan yang menjadi penyebab dalam penelitian ini tidak
bahwa sebagian terdapat responden yang memiliki ditemukan adanya hubungan antara pengetahuan
tingkat pengetahuan kurang ang memiliki tingkat tentang HIV/AIDS, terapi ARV dan infeksi
kepatuhan rendah, yaitu sebanyak 6 (12%) oportunistik dengan tingkat kepatuhan dalam
responden. Responden yang memiliki tingkat menjalani terapi ARV. Hasil penelitian ini
pengetahuan cukup juga memiliki tingkat menunjukkan ketidaksesuaian dengan kajian
kepatuhan sedang sebanyak (14%). Sementara, Notoatmodjo (2011) yang mengungkapkan
responden dengan pengetahuan baik lebih banyak bahwa seseorang menunjukkan bahwa orang
yang memiliki tingkat kepatuhan sedang 7 (22%) tersebut telah mengetahui, mengerti dan
responden. Hasil uji chi square untuk penelitian memahami kondisi penyakit dan tujuan
ini memiliki nilai p value sebesar 0.107 dengan pengobatan yang sedang dijalaninya maka
nilai α < 0.05. Sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi pula kepatuhan dalam menjalani
tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat terapi atau pengobatan. Hal tersebut
pengetahuan tentang HIV/AIDS, terapi membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
antiretroviral (ARV), dan infeksi oportunistik mengetahui faktor yang mempengaruhi
dengan tingkat kepatuhan menjalani terapi ARV. ketidakpatuhan responden walaupun responden
Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang telah memiliki pengetahuan yang baik.
pasien memiliki pengaruh terhadap tingkat
kepatuhannya dalam menjalani terapi atau Simpulan
pengobatan (Notoatmodjo, 2011). Tidak adanya Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara tingkat pengetahuan dan tingkat tingkat pengetahuan HIV/AIDS, terapi ARV dan
kepatuhan dalam penelitian ini dapat disebabkan infeksi oportunistik tidak berhubungan dengan
oleh berbagai faktor lain yang dapat tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi ARV.
mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
menjalani terapi ARV yang tidak diteliti dalam acuan bagi penelitian selanjutnya dan dapat terus
penelitian ini. Faktor tersebut diantaranya adalah dikembangkan dalam wilayah yang lebih luas
stigma, diskriminasi, permasalahan ekonomi, dan dengan jumlah responden yang lebih besar.
dukungan dari keluarga. Stigma dan diskrimasi
(Reidpath, 2005; Paxton, 2007), permasalahan Referensi
ekonomi (Wasti., et al, 2012), kurangnya American Medical Association. (2010).
dukungan dari keluarga (Shah, 2007), hingga Medication adherence. Nursing Standard.
kekhawatiran statusnya akan diketahui oleh orang Vol 24 (36): 59.
lain (Weaver, 2014) merupakan faktor-faktor yang Dinia, N (2005). Hubungan antara Tingkat
terbukti berhubungan dengan tingkat kepatuhan Pengetahuan tentang Terapi Antiretroviral
dalam menjalani terapi ARV. Namun, hasil dengan Kepatuhan dalam Menjalani Terapi
88
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 84-89
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
89
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667
Studi Kasus: Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial Pasca Pasung
Abstrak
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Tujuanstudi kasus ini adalah untuk menganalisis tentang asuhan
keperawatan isolasi sosial pasca pasung pada Tn. P dengan skizofrenia paranoid. Proses asuhan keperawatan dilakukan
berdasarkan standar asuhan keperawatan generalis selama enam hari rawat pada tanggal 7-12 Mei 2018 pada Tn. P
dengan usia 32 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Hasil didapatkan masalah keperawatan utama adalah isolasi sosial.
Implementasi keperawatan berfokus pada kemampuan klien membina hubungan saling percaya dan meningkatkan
kemampuan klien berinteraksi secara bertahap. Intervensi keperawatan memberikan dampak yang positif kepada klien
dilihat dengan penurunan tanda dan gejala isolasi sosial pada aspek kognitif, afektif, fisiologis dan sosial, namun belum
tampak penurunan pada aspek perilaku. Faktor yang menyebabkan klien sulit membina hubungan dengan perawat yaitu
faktor internal dimana klien memiliki penilaian negatif terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan dan faktor
eksternal dimana klien menganggap perawat sebagai stressor yang membahayakan. Rencana tindak lanjut pelayanan
keperawatan diharapkan dapat dimaksimalkan baik secara individu, keluarga, kelompok dan komunitas.
Kata Kunci: isolasi sosial, skizofrenia paranoid, standar asuhan keperawatan
Abstract
Social isolation is characterized by decline or loss inability to interact with others. This paper aimed to analyze the nursing
care of social isolation on Mr. P with schizophrenia paranoid. The nursing care process is based on the standard of
generalist nursing care which provided for six days from May 7th throughout 12th 2018 on Mr. P aged 32 years male.
Main nursing problem was social isolation. Nursing intervention was emphasized on client’s ability to establish mutual
relationship and improve client’s communication skills gradually. Nursing interventions affected client positively as
manifested gy decreased signs and symptoms of social isolation on the cognitive, affective, physiological and social
aspects, but there had not been a decline in behavioral aspects. Client’s barriers in establishing relationship with nurses
were internal factors in which clients had negative judgments about themselves, others and the environment and
external factors where clients considered the nurse as a threatening stressor. Nursing care follow-up plans are expected
to be maximized for individually, family, group and community.
Keywords: schizophrenia paranoid, social isolation, standard of nursing care
90
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
91
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
aneh, sering marah-marah dan bicara sendiri. Klien dirawat klien bekerja sebagai supir angkutan kota.
mengalami gejala berperilaku aneh sejak 13 tahun Klien mengatakan sekolah hanya sampai SMP.
yang lalu mulai berobat secara tradisional namun Ketika ditanya apakah klien merasa puas dirinya
penyakit bertambah parah dan akhirnya dibawa ke sebagai laki-laki klien menjawab puas. Klien
rumah sakit. Sebelum masuk rumah sakit klien berperan sebagai anak ketika di ruamah dan
sempat dipasung dengan cara dikurung di kamar sebagai supir di kelompok angkutan kota. Klien
dan tangan diikat. mampu melaksanakan peran sebagai supir dan
Saat dilakukan pengkajian tanggal 7 Mei 2018 menyetir mobil dengan baik. Ketika ditanya
klien tampak mondar-mandir tanpa tujuan yang harapan klien menjawab ingin sembuh dan cepat
jelas, pakaian tidak rapi, celana miring, rambut pulang, ingin segera bekerja kembali, ingin
panjang dan tidak rapi, gigi kotor, kuku panjang menikah dan berkeluarga. Ketika sakit klien sering
dan kotor, kontak mata kurang, sering menatap ke mondar mandir di rumah, tidak mempunyai teman
satu arah dalam waktu yang lama, mulut berkomat dan tidak mau keluar rumah. Keluarga mengatakan
kamit dengan suara yang pelan, tubuh tampak klien mempunyai sifat pemalu dan betah tinggal di
membungkuk, gerakan kaki berulang-ulang seperti rumah.
orang yang sedang berjalan di tempat. Pembicaraan Berdasarkan hasil pengkajian dan analisis data
baik namun suara pelan dan klien tidak mampu didapatkan diagnosis keperawatan yaitu risiko
berinteraksi dalam waktu yang lama, tidak mampu perilaku kekerasan, isolasi sosial, defisit perawatan
berkonsentrasi, kehilangan rasa tertarik pada diri, gangguan sensori persepsi halusinasi
kegiatan sosial, klien tidak mampu memulai pendengaran, dan harga diri rendah kronis.
pembicaraan, menjawab pertanyaan seadanya, Diagnosis keperawatan utama yang diangkat
klien merasa tidak aman di dekat orang lain, dan berdasarkan prioritas adalah isolasi sosial. Data
cenderung menghindari pembicaraan dengan cara subjektif didapatkan klien mengatakan takut
pergi meninggalkan perawat tanpa sebab. Ketika bertemu orang lain. Data objektif yang ditemukan
ditanya bagaimana perasaannya klien menjawab yaitu klien bicara pelan, kontak mata kurang,
tidak nyaman dan takut bertemu orang lain. Klien mudah beralih, menghindari pembicaraan dan
mengatakan belum mandi, sikat gigi dan potong suara pelan, tidak mampu berinteraksi dalam waktu
kuku. Ketika ditanya apakah mendengan atau yang lama, klien tidak mampu memulai
melihat sesuatu yang tidak nyata klien mengatakan pembicaraan, klien menjawab pertanyaan
tidak ada, namun baru pada hari ke 5 klien seadanya, menghindari pembicaraan dengan pergi
mengatakan mendengar suara harimau. meninggalkan perawat.
Klien belum pernah masuk rumah sakit Rencana tindakan keperawatan pada klien:
gangguan jiwa pada masa lalu dan belum pernah Tujuan tindakan keperawatan untuk klien yaitu: 1)
mendapat pengobatan sebelumnya, namun klien membina hubungan saling percaya; 2) menyadari
pernah dibawa ke puskesmas dan mendapat penyebab isolasi sosial; dan 3) berinteraksi dengan
pengobatan di puskesmas namun kurang berhasil. orang lain. Tindakan keperawatan yang dapat
Klien mempunyai riwayat melakukan kekerasan diberikan yaitu: 1) membina hubungan saling
fisik yaitu dengan merusak kaca rumah dan percaya; 2) membantu klien mengenal penyebab
mengamuk tanpa sebab yang jelas. Sebelum sakit isolasi sosial; 3) membantu klien mengenali
klien bekerja sebagai supir angkutan kota dan keuntungan dari membina hubungan dengan orang
dikenal dengan orang yang rajin bekerja, namun lain; 4) membantu klien mengenal kerugian dari
klien menjadi berubah dan menjadi berperilaku tidak membina hubungan; 5) membantu klien
aneh tanpa sebab atau mempunyai suatu masalah untuk berinteraksi dengan orang lain secara
yang jelas. Riwayat anggota keluarga yang bertahap (Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni,
mengalami gangguan jiwa tidak ada, namun klien 2011).
ketika ditanya pengalaman tidak menyenangkan Implementasi keperawatan pada hari pertama
klien mengatakan pernah dikurung di kamar. didapatkan data subjektif klien mengatakan ingin
Klien mengatakan dirinya biasa saja, ketika pulang dan klien mengatakan tidak mengatakan
ditanya bagian tubuh yang tidak disukai klien tidak mengenal siapapun di sini. Data objektif yang
menunjukkan kaki kanannya dan ketika ditanya ditemukan yaitu mondar- mandir di kamar, kontak
bagian tubuh yang disukai klien tidak menunjuk mata kurang, gerakan kaki berulang-ulang, klien
bagian tubuh manapun. Klien mengatakan sebelum menghindari pembicaraan. Diagnosis keperawatan
92
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
yaitu isolasi sosial. Implementasi keperawatan Rencana tindak lanjut yaitu ulangi latihan
yang dilakukan yaitu membina hubungan saling mengenal isolasi sosial dan cara berkenalan dan
percaya, mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, latih klien berkenalan dengan 1-2 orang
memasukkan kegiatan ke dalam jadwal harian. perawat/klien. Evaluasi subjektif didapatkan klien
Rencana tindak lanjut latih mengenal isolasi sosial mengatakan ingin ke kamar. Evaluasi objektif yaitu
dan cara berkenalan. Evaluasi subjektif yaitu klien mau berjabat tangan, menjawab salam,
mengatakan ingin kembali ke kamar. Evaluasi menyebutkan nama, klien mulai mampu mengingat
objektif yang mau berjabat tangan, mau menjawab nama perawat, klien pergi meninggalkan perawat
salam, menyebutkan nama, belum mampu padahal kontrak belum selesai, kontak mata
mengingat nama perawat, kontak mata kurang, kurang, klien menghindari pembicaraan, klien
klien menghindari pembicaraan dengan pergi tanpa belum mampu mengenal isolasi sosial dan klien
sebab, klien belum mampu mengenal isolasi social belum mampu mempraktekkan cara berkenalan.
dan klien belum mampu mempraktekkan cara Analisis yaitu masalah isolasi sosial belum teratasi.
berkenalan. Analisis masalah isolasi sosial belum Planning pasien yaitu latih mengenal isolasi sosial.
teratasi. Planning bagi klien yaitu latih mengenal Implementasi keperawatan pada hari keempat
isolasi sosial. didapatkan data subjektif yaitu klien mengatakan
Implementasi keperawatan pada hari ke-dua ingin masuk ke kamar dan klien mengatakan tidak
didapatkan data subjektif klien mengatakan ingin mau berkenalan dengan temannya. Data objektif
pulang dan klien mengatakan belum mempunyai yaitu mondar-mandir, kontak mata kurang, gerakan
teman. Data objektif yaitu mondar-mandir di kaki berulang-ulang, klien menghindari
kamar, kontak mata kurang, gerakan kaki pembicaraan dan klien mulai merangkul perawat.
berulang-ulang dan klien menghindari Diagnosis keperawatan yaitu isolasi sosial.
pembicaraan. Diagnosis keperawatan yaitu isolasi Implementasi keperawatan yaitu mengevaluasi
sosial. Implementasi keperawatan yang dilakukan kegiatan harian klien, mengidentifikasi isolasi
yaitu membina hubungan saling percaya, social, melatih klien berkenalan dengan 1 orang
mengevaluasi kegiatan klien, mengidentifikasi klien dan memasukkan kegiatan ke dalam jadwal
penyebab isolasi sosial, keuntungan berteman dan harian. Rencana tindak lanjut yaitu optimalkan
kerugian tidak berteman dan memasukkan kegiatan latihan mengenal isolasi sosial dan cara
ke dalam jadwal harian. Rencana tindak lanjut berkenalan, latih berkenalan dengan 1-2 orang
yaitu ulangi latihan mengenal isolasi sosial dan klien/perawat dan latih mengikuti aktivitas ruangan
cara berkenalan. Evaluasi subjektif didapatkan sambil berinteraksi dengan orang lain.
klien mengatakan belum mempunyai teman dan Evaluasi subjektif didapatkan yaitu klien
belum mau belajar cara berkenalan. Evaluasi mengatakan “mau kemana Pak?” dan klien
objektif yaitu mau berjabat tangan, menjawab mengatakan senang ikut jalan-jalan tadi pagi.
salam, menyebutkan nama, belum mampu Evaluasi objektif yaitu klien mulai mau menyapa
mengingat nama perawat, kontak mata kurang, perawat, klien mampu berinteraksi dengan perawat
klien menghindari pembicaraan dengan pergi tanpa dengan waktu yang singkat (5 menit), kontak mata
sebab, klien belum mampu mengenal isolasi sosial kurang, klien berusaha menghindari pembicaraan,
dan klien belum mampu mempraktekkan cara klien belum mampu mengenal isolasi sosial dan
berkenalan. Analisis yaitu masalah isolasi sosial klien mempraktekkan cara berkenalan dengan 1
belum teratasi. Planning untuk pasien yaitu latih orang klien dengan bantuan perawat. Analisis yaitu
mengenal isolasi sosial. masalah isolasi sosial belum teratasi. Planning
Implementasi keperawatan pada hari ke-tiga yaitu latih mengenal isolasi sosial dan latih
didapatkan data subjektif yaitu klien mengatakan berkenalan dengan 1 orang satu kali sehari.
ingin masuk ke kamar. Data objektif didapatkan Implementasi keperawatan pada hari ke-lima
mondar-mandir, kontak mata kurang, gerakan kaki didapatkan data subjektif klien mengatakan senang
berulang-ulang dan klien menghindari sendirian di kamar. Data objektif didapatkan klien
pembicaraan. Diagnosis keperawatan isolasi sosial. mondar-mandir di kamar, kontak mata kurang,
Implementasi keperawatan yaitu membina gerakan kaki berulang- ulang, klien menghindari
hubungan saling percaya, mengevaluasi kegiatan pembicaraan dan tidur malam cukup namun tidur
harian klien, mengidentifikasi isolasi sosial dan siang kurang. Diagnosis keperawatan yaitu isolasi
memasukkan kegiatan ke dalam jadwal harian. sosial. Implementasi yang dilakukan yaitu
93
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
94
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
mampu mengatasi stresornya (Stuart, Keliat & hubungan yang signifikan antara kemampuan
Pasaribu, 2016). perawat pelaksana yang memiliki kemampuan
Kondisi klien saat dilakukan pengkajian yaitu membina hubungan saling percaya dengan tanda
didapatkan tanda gejala aspek kognitif merasa dan gejala isolasi sosial dimana perawat yang
tidak aman di dekat orang lain, tidak mampu memiliki kemampuan yang tinggi dapat membantu
berkonsentrasi dan kehilangan rasa tertarik pada menurunkan tanda dan gejala klien isolasi sosial
kegiatan sosial, aspek afektif yaitu merasa tidak (Syafrini, Keliat & Putri, 2015). Pemberi asuhan
nyaman dengan orang lain, afek tumpul dan takut hendaknya meningkatkan hubungan perawat dan
berada dekat orang lain, aspek fisiologis yaitu sulit klien dengan cara hubungan yang alami sehingga
tidur dan wajah murung, aspek perilaku yaitu tidak klien lebih nyaman dan percaya dalam menerima
ada kontak mata, berdiam diri di kamar, banyak perawat (Harwood, et al, 2007).
melamun, aspek sosial yaitu menarik diri, sulit Teknik komunikasi yang dilakukan dalam
berinteraksi dengan orang lain dan curiga terhadap intervensi klien isolasi sosial yang digunakan yaitu
orang lain. Data tersebut masuk dalam batasan menghadirkan diri (presence) yaitu perawat berada
karakteristik diagnosis keperawatan isolasi sosial bersama klien baik secara fisik maupun psikologis
dari NANDA yaitu klien ingin sendiri, menarik pada saat klien membutuhkan kehadiran orang lain
diri, merasa tidak aman di tempat umum, tidak ada (Bulechek, et al, 2013). Perawat melakukan
kontak mata dan adanya tindakan berulang menghadirkan diri agar terjadi fondasi yang baik
(Herdman & Kamitsuru, 2015). Townsend (2011) untuk menunjukkan adanya caring dari perawat.
juga menjelaskan batasan karakteristik isolasi Penelitian menunjukkan bahwa kehadiran perawat
sosial yaitu menyendiri di kamar, tidak dapat meningkatkan keefektifan manajemen
komunikatif, menarik diri, tidak ada kontak mata, keperawatan dan meningkatkan caring oleh
sedih, tidur dengan posisi fetal, mengungkapkan perawat (Gomes & Miguel, 2012). Saat melakukan
rasa penolakan atau kesepian, aktivitas yang tidak teknik kehadiran ini, respons yang diberikan Tn P
bermakna, dan menolak interaksi. yaitu menghindar dan meninggalkan perawat tanpa
Penelitian menunjukkan bahwa klien dengan sebab sehingga kontak sosial menjadi kurang.
isolasi sosial sulit untuk mencapai hubungan saling Penulis melakukan strategi dengan melakukan
percaya karena beberapa faktor yaitu faktor kontak sosial yang singkat namun sering dalam
internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu proses membina hubungan saling percaya.
bahwa klien dengan isolasi sosial memiliki Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang
penilaian negatif terhadap diri sendiri, orang lain signifikan antara frekuensi kontak sosial terhadap
dan lingkungan sehingga menimbulkan perilaku gejala negatif, fungsi psikososial dan kalitas hidup
negatif yaitu menarik diri. Faktor eksternal yang klien dengan skizofrenia dimana semakin tinggi
dapat dirasakan oleh klien yaitu pemberi asuhan kontak sosial klien akan menurunkan gejala negatif
keperawatan itu sendiri. Penelitian menunjukkan skizofrenia dan meningkatkan fungsi sosial secara
bahwa klien isolasi sosial biasanya menilai bahwa bersamaan (Siegrist,et al, 2015).
proses pemberian asuhan keperawatan dianggap Klien Tn. P juga memiliki diagnosis
sebagai suatu stressor yang dapat menimbulkan keperawatan defisit perawatan diri. Hal ini
bahaya bagi klien, yang menyebabkan klien membuat strategi penulis untuk membina
menolak interaksi kepada perawat (Syafrini, et al, hubungan saling percaya dan meningkatkan
2015; Stuar, et al, 2016). interaksi dengan klien. Intervensi NIC memberikan
Hubungan saling percaya dilakukan oleh pilihan intervensi keperawatan pada klien isolasi
penulis agar klien lebih nyaman dan percaya dalam sosial yaitu bantuan perawatan diri (Bulechek, et
menerima perawat yang dibuktikan dengan klien , al, 2013). Hal ini bertujuan meningkatkan kontak
mau berjabat tangan, mau menjawab salam, mau dengan klien yaitu dengan memenuhi kebutuhan
menyebutkan nama dan mau berkenalan (Syafrini, harian klien seperti mandi, berhias, makan, dan
et al, 2015; Jumaini, Keliat & Hastono, 2010). eliminasi. Namun demikian diperlukan juga
Namun klien belum mampu menerima kehadiran strategi lain yaitu dengan memperhatikan jarak
perawat yaitu pada saat interaksi klien menghindari ketika interaksi dengan klien pada area yang
pembicaraan dengan cara memutus interaksi dan ditoleransi oleh klien agar mengurangi kecemasan
pergi meninggalkan perawat tanpa alasan yang klien. Mencari tempat berinteraksi yang sepi dan
jelas. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat kondusif dan berada di luar dari wilayah teritori
95
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
klien agar klien merasa tidak terancam teritorinya. maka akan semakin cepat dan bermakna perubahan
Strategi posisi tubuh juga penting dimana ketika pada respons yang ditampilkan klien.
klien merasa terancam dengan bertatap muka maka Hambatan yang lain yaitu klien mendapat
posisi diubah menjadi posisi duduk menyamping terapi pengobatan yang dapat mempengaruhi tanda
dan perawat dapat memberikan sentuhan pada saat dan gejala isolasi sosial klien. Penelitian
yang tepat dan dilakukan dengan hati-hati (Stuart, menunjukkan bahwa pemberian terapi
Keliat & Pasaribu, 2016). psikofarmaka dapat menyebabkan tidak adanya
Tanda dan gejala isolasi sosial dapat hubungan yang signifikan antara pemberian asuhan
berkurang dengan diberikan tindakan keperawatan keperawatan dengan pendekatan manajemen,
sesuai rencana asuhan keperawatan yang telah kompensasi dan penghargaan serta hubungan
ditetapkan. Penelitian menunjukkan bahwa tanda profesional dengan tanda dan gejala klien isolasi
dan gejala isolasi sosial dapat berkurang setelah sosial (Syafrini, Keliat & Putri, 2015). Proses
klien mendapat asuhan keperawatan isolasi sosial asuhan keperawatan pada klien berakhir karena
secara berkesinambungan (Komala, Mustikasari & masa rawat inap klien sudah mencapai batas
Wardani, 2017). Penelitian lain juga menemukan maksimal hari rawat menurut kebijakan rumah
bahwa terjadi penurunan tanda dan gejala isolasi sakit dan jaminan kesehatan. Klien pulang
sosial yang ada pada klien pada aspek kognitif, dijemput keluarga yang bekerjasama dengan
afektif, fisiologis, perilaku dan sosial pemerintah kabupaten Tasikmalaya. Walaupun
(Rachmawati, Keliat & Wardani 2015). Respons kondisi klien belum maksimal, proses pemulangan
kognitif terjadi penurunan yaitu klien mulai merasa tetap harus dilakukan. Pemberian asuhan
aman dekat dengan orang lain dan mulai keperawatan diakhiri di rumah sakit dan akan
mempunyai ketertarikan pada kegiatan sosial yang dilanjutkan di rumah. Oleh karena itu perlunya
ada di ruangan (Rachmawati, et al, 2015; pendidikan kesehatan bagi keluarga agar keluarga
Renidayati, et al, 2008). mampu merawat klien ketika di rumah berupa
Respons afektif terjadi penurunan ditunjukkan psikoedukasi keluarga (Rachmawati, et al, 2015).
dengan klien mulai merasa aman dan nyaman Beberapa studi telah dilakukan sebagai
dengan perawat dan tidak takut berada didekat alternatif untuk mengatasi masalah isolasi sosial
perawat (Rachmawati, et al, 2015; Wakhid, et al, dengan memberikan berbagai intervensi
2013; Townsend, 2014). Perubahan pada aspek keperawatan yaitu Social Affiliation Enhancement
fisiologis yaitu dari hari pertama perawatan klien Tasks,SocializationEnhancement, Social Network
sulit tidur namun pada hari ke enam klien mulai Intervention, Behavior Modification:social skills,
mudah tidur (Rachmawati, et al, 2015; Wakhid, et e-Intervention, Strategies Against Stigma and
al, 2013; Stuart, et al, 2016). Respons sosial klien Discrimination (SASD), Psycho-education Social
setelah diberikan intervensi yaitu klien menjadi Skills Training (SST), dan Cognitive Behavioral
mau berinteraksi dan berkomunikasi dengan Therapy (CBT) (Kopelowicz & Liberman, 2003;
perawat dan mampu berpartisipasi dalam kegiatan Li, et al, 2010; Gomes & Miguel, 2012; Tarzian, et
sosial di ruangan seperti jalan santai dan senam al, 2013; Bulechek, et al, 2013; McCarthy, et al,
pagi (Rachmawati, et al, 2015; Keliat, et al, 1999). 2017; Chipps, Jarvis & Ramlall, 2017).
Respons perilaku klien Tn. P secara umum belum
terjadi penurunan tanda dan gejala isolasi sosial Simpulan
yaitu klien masih berdiam diri di kamar, tidak ada Masalah keperawatan utama yang ditemukan
kontak mata dan sering melamun sendirian. pada klien kelolaan Tn. P yaitu masalah isolasi
Hambatan dalam proses pemberian asuhan sosial. Proses pemberian asuhan keperawatan pada
keperawatan kepada klien yaitu lama perawatan, masalah isolasi sosial berfokus pada kemampuan
terapi psikofarmaka dan kesinambungan proses klien membina hubungan saling percaya dan
perawatan. Brady (2004) dalam Syafrini, Keliat meningkatkan kemampuan klien berinteraksi
dan Putri (2015) menyebutkan bahwa jarak antara secara bertahap. Faktor yang memengaruhi klien
munculnya gejala dengan perawatan dan sulit mendapatkan hubungan saling percaya antara
pengobatan pertama akan mempengaruhi perawat dan klien yaitu faktor internal berupa klien
kecepatan dan kualitas respons pengobatan dan memiliki penilaian negatif terhadap diri sendiri,
gejala negatif yang muncul, dimana semakin cepat orang lain serta lingkungan. Factor selanjutnya
klien mendapat pengobatan setelah terdiagnosis adalah faktor eksternal, klien menganggap perawat
96
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
sebagai stressor eksternal yang mengancam rasa empowerment-part I. CANNT Journal, 17(1):
aman dan nyamannya. 22
Intervensi keperawatanmemberikan manfaat Herdman, T . H. , & Kamitsuru, S. (2015).
bagi klien, hal ini ditandai dengan adanya Diagnosis KeperawatanDefinisi &
penurunan tanda dan gejala isolasi sosial pada Klasifikasi2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.
klien. Pemberian asuhan keperawatan memerlukan Jumaini, Keliat, B. A. & Hastono, S. P. (2010).
waktu untuk memberikan perubahan pada klien, Pengaruh cognitive behavioral social skills
namun karena keterbatasan waktu dalam masa training (CBSST) terhadap kemampuan
perawatan maka diperlukan langkah lain berupa bersosialisasi klien isolasi sosial di BLU RS
edukasi kepada keluarga agar keluarga mampu DR. H. Marzoeki Mahdi. Tesis. Depok: UI
meneruskan perawatan pada klien selama di ANA.
rumah. Rencana tindak lanjut terhadap kondisi Junardi, Daulima, N. H. C. & Wardani, I. Y.
klien yang belum maksimal dapat dilakukan (2015). Asuhan keperawatan spesialis j iwa
dengan memberikan intervensi-intervensi terbaru pada klien dengan isolasi sosial melalui
yang mempunyai evidence based practice dan pendekatan teori stres adaptasi Stuart di ruang
melakukan rujukan kepada perawat spesialis jiwa Antareja Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi
yang memiliki kompetensi yang lebih mumpuni. Bogor. Karya Ilmiah Akhir. Depok: UI ANA.
Keliat, B. A. , & Akemat. (2010). Model praktik
Referensi keperawatan profesional jiwa. Jakarta:
Bulechek, G. M. , Butcher, H. K. , Dochterman, J. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
M. , & Wagner, C. M. (Eds) (2013). Nursing Keliat, B. A, Akemat, Helena, N. , dan Nurhaeni,
intervention classification (NIC). 6th Ed. St, H. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa
Louis Missouri: Mosby Elsevier. Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta:
Cacioppo, J. T. , Cacioppo, S. , Capitanio, J. P. & EGC.
Cole, S. W. (2015). The neuroendocrinology Keliat, B. A. , & Pawirowiyono. (2015).
of social isolation. The Annual Review of Keperawatan jiwa: terapi aktivitas
Psychology, 66(9), 1-9. kelompok(2nd ed. ). Jakarta: Penerbit Buku
Chipps, J. , Jarvis. , M. A. , & Ramlall, S. (2017). Kedokteran EGC.
The effectiveness of e-Interventions on Keliat, B. A. , Panjaitan, R. U. , Mustikasari, &
reducing social isolation in older persons: A Helena, N. (1999). Pengaruh model terapi
systematic review of systematic reviews. aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS)
Journal of Telemedicine and Telecare. terhadap kemempuan komunikasi verbal dan
sagepub. co. uk/journalsPermissions. nav. non verbal pada klien menarik diri di rumah
DOI:10. 1177/1357633X17733773 sakit jiwa. Jurnal Keperawatan Indonesia. 2
DeVylder, J. E. , & Hilimire, M. R. (2015). Suicide (8).
Risk, Stress Sensitivity, and Self-Esteem Kemenkes RI. (2013). Riset kesehatan dasar
among Young Adults Reporting Auditory (RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional 2013.
Hallucinations. Health and SocialWork, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
40(3), 175-182. http://doi. org Kesehatan Kementrtian Kesehatan RI.
Gomes, L. M. & Miguel, L. (2012). Nursing http://doi. org
presence as a nursing care: study of Komala, E. P. E. , Mustikasari & Wardani, I. Y.
development of nursing presence in (2017). Perubahan tanda gejala dan
psychiatric context. Thesis. Research Gate: kemampuan klien isolasi social setelah
tersedia dalam https://www. researchgate. net dinerikan latihan keterampilan social dan
Halter, M. J. (2014). Varcarolis’ foundation of psiedukasi keluarga. Karya Ilmiah Akhir.
psychiatric mental health nursing (7th ed. ). Depok: UIANA.
St. Louis: Saunders Elsevier Kopelowicz, A. & Liberman, R. (2003).
Harwood, L. , et al. (2007). Nurses’ perceptions of Integrating treatment with rehabilitation for
the impact of a renal nursing professional persons with major mental illnesses.
practice model on nursing outcomes, Psychiatric Services, 54 (11): 25-32.
characteristics of a practice environments and Li, J. , Huang, Y. G. , Ran, M. S. , Fan, Y. , Chen,
W. , Lacko, S. E. , & Thornicroft, G. (2010).
97
Faletehan Health Journal, 5 (2) (2018) 90-98
https://journal.lppm-stikesfa.ac.id
ISSN 2088-673X | 2597-8667
98
Panduan Penulisan Naskah Publikasi pada Faletehan Health Journal
1. Faletehan Health Journal memuat artikel yang relevan dengan isu-isu kesehatan masyarakat,
keperawatan, kebidanan, kesehatan klinis dan sosial baik berupa artikel hasil penelitian, artikel review
literature, atau artikel laporan lapangan.
2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep yang ditujukan kepada Faletehan Health Journal, belum
pernah dipublikasi di tempat lain.
3. Naskah yang dikirim harus disertai surat persetujuan publikasi dan ditanda tangani oleh penulis.
4. Komponen Naskah :
Judul; Judul naskah ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf dan spasi.
Identitas Penulis; Identitas ditulis di bawah judul sesuai dengan ketentuan pada template.
Abstrak; Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata, dalam satu
alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5 kata kunci. Abstrak merupakan
ikhtisar suatu tugas akhir yang memuat permasalahan, tujuan, metode penelitian, hasil, dan
kesimpulan.Abstrak dibuat untuk memudahkan pembaca mengerti secara cepat isi tugas akhir untuk
memutuskan apakah perlu membaca lebih lanjut atau tidak
Pendahuluan; Bagian pendahuluan ditullis tanpa sub judul, berisi latar belakang, tinjauan pustaka
utama penelitian dan tujuan penelitian. Latar Belakang Masalah meliputi justifikasi mengapa
penelitian ini dilakukan, seberapa besar masalah penelitian, alasan-alasan mengapa masalah
tersebut bisa muncul. Pada pendahuluan disertakan beberapa teori atau konsep kunci yang
menunjang penelitian. Pendahuluan diakhiri dengan rumusan tujuan Penelitian.
Metode Penelitian; Metode penelitian menjelaskan Jenis dan desain penelitian yang digunakan,
lokasi dan waktu penelitian. Dalam metode penelitian menjelaskan populasi penelitian, besar sampel
dan dan metode pengambilan sampel. Pada metode penelitian juga harus menjelaskan cara dan alat
pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat pengambilan data serta Pengolahan dan analisis
data.
Pada penelitian kualitatif metode penelitian menguraikan Paradigma penelitian, berupa penjelasan
tentang cara peneliti memandang realitas/fenomena (aspek ontologis dan epistemologis), metode
penelitian dalam arti sempit yaitu berisi penjelasan tentang macam studi yang (akan) dilaksanakan,
emilihan sumber data yang berisi uraian tentang cara menentukan sumber data atau informan,
lokasi, dan waktu pelaksanaan. Tata cara atau teknik pengumpulan data diuraikan dengan jelas
apakah menggunakan teknik wawancara, observasi, telaah dokumen, dsb. Metode juga menjelaskan
rencana analisis data dan uraian tentang bagaimana menjaga validitas/otentitas data.
Hasil dan Pembahasan; Bagian ini menguraikan hasil penelitian secara objektif. Hasil disajikan secara
berurutan dari univariat, bivariat dan multivariat. Data dapat disajikan menggunakan tabel, grafik,
gambar dll. Sesuai dengan kebutuhan. Pada penelitian, analisis data dilakukan dengan menuliskan
hasil penemuan lapangan secara sistematis topik demi topik. Pembuktian bahwa hasil dari lapangan
tersebut didapat dari wawancara, observasi dari penelitian lapangan sangat perlu ditekankan.
Data hasil penelitian dibahas dengan menguraikan kesenjangan antara hasil penelitian teori dan hasil
penelitian terdahulu. Penekanan pada mekanisme compare (apa yang sama) dan contrast (apa yang
berbeda) diperlukan, disertai dengan mengutarakan bagaimana pendapat peneliti tentang masalah
tersebut, setelah melakukan perbandingan antara apa yang ditemukannya dilapangan dengan teori
dalam hasil penelitian sebelumnya.
Simpulan; Memuat kesimpulan hasil penelitian secara sistematis yang berkaitan dengan upaya
menjawab hipotesa dan atau tujuan dari penelitian.
Daftar Referensi; Sumber informasi yang dicantumkan dalam daftar itu adalah yang dikutip dalam
uraian/teks dan yang mendukung atau dipakai sebagai acuan. Informasi tentang sumber yang
digunakan harus ditulis secara benar,lengkap dan konsisten dengan menggunakan format American
Psychological Association (APA Format 6th Ed). Delapan puluh persen (80%) referensi merupakan
acuan primer. Delapan puluh persen (80%) referensi merupakan periode publikasi 10 tahun terakhir.
5. Tabel Dan Gambar; Tergolong gambar adalah gambar, grafik, dan diagram. Tabel, gambar, grafik, dan
diagram diberi nomor dan nama tabel. Penulisan nama tabel, gambar, dan lainnya menggunakan
Capitalize each words. Tulisan pada table dibuat dengan tipe Times New Roman 11 pt dalam spasi
tunggal (line spacing = single). Tabel dan gambar selalu simetris di tengah (center) terhadap halaman.
Pembuatan tabel hanya menggunakan garis horizontal, dan tanpa garis vertikal.
Nomor tabel dan gambar diurutkan berdasarkan urutan kemunculan di dalam teks. Penulisan judul tabel
dan gambar ditulis di atas tabel, rata kiri atau simetris di tengah (center) dengan spasi tunggal (1 spasi)
dan berjarak 1,5 spasi terhadap tabel yang bersangkutan. Judul tabel ditulis langsung mengikuti nomor
tabelnya. Sedangkan judul gambar/skema ditulis di bawah gambar berjarak 1,5 spasi dari gambar,
simetris (center) terhadap gambar yang bersangkutan dengan spasi tunggal (1 spasi). Judul gambar
ditulis langsung mengikuti nomor gambarnya.
Penulisan sumber gambar dan tabel ditulis di bagian bawah tabel, berjarak 1,5 spasi dari tabel, huruf
tegak tipe Times New Roman 10 pt. Sumber yang sudah diolah lebih lanjut perlu diberi catatan telah
diolah kembali. Peletakan tabel atau gambar, berjarak tiga spasi setelah teks. Penulisan teks setelah
tabel atau gambar dilanjutkan dengan jarak 1,5 spasi dari baris terakhir judul gambar.
6. Penomoran Halaman; Penomoran halaman tidak diberi imbuhan apa pun, diletakkan di bagian kanan
bawah.
7. Naskah maksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word.
8. Naskah dikirim dalam bentuk soft file dengan disertai surat pengantar dari penulis dan akan dikembalikan
jika ada permintaan tertulis. Naskah dikirim kepada : Redaksi Faletehan Health Journal – Sekretariat
LPPM STIKes Faletehan Jl. Raya Cilegon KM 06, Pelamunan, Kramatwatu, Serang, Banten. Telp/Fax :
(0254) 232729, Email: FaletehanHealthJournal@gmail.com
Templete Naskah Faletehan Health Journal
1
Institusi, Alamat lengkap institusi penulis sampai dengan negara; (Callibri 10pt)
2
Institusi, Alamat lengkap institusi penulis sampai dengan negara; (Callibri 10pt)
3
Institusi, Alamat lengkap institusi penulis sampai dengan negara; (Callibri 10pt)
* E-mail korespondensi
(Empat spasi Calibri 11PT)
Kata Kunci: maksimal 5 kata, diurutkan berdasarkan abjad, dipisahkan dengan menggunakan koma.
Metode Penelitian
(satu setengah spasi)
Menjelaskan desain penelitian, populasi dan sampel penelitian dengan penjelasan besar sampel dan teknik
sampling. Waktu dan tempat penelitian dituliskan secara jelas. Teknik dan alat pengumpulan data dijelaskan
secara rinci. Penelitian yang bersifat eksperimen harus mencantumkan prosedur, alat dan bahan secara jelas.
(tiga spasi)
Simpulan
(satu setengah spasi)
Simpulan menjawab masalah penelitian, tidak melampaui kapasitas temuan,
(tiga spasi)
Referensi
(satu setengah spasi)
Referensi menggunakan American Psychological Association (APA Format 6th Ed). Delapan puluh persen
(80%) referensi merupakan acuan primer. Delapan puluh persen (80%) referensi merupakan periode publikasi
10 tahun terakhir.