Sie sind auf Seite 1von 5

ANTROPOLOGI HUKUM

Oleh :
Nama : Ni Made Gunarini
NIM : 1604551234
Kelas : C

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
1. Contoh Kasus :
Perkara pelanggaran terhadap Hukum Adat dan Hukum Positif (Negara) yang pernah
ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas adalah kasus memitra (perzinahan) yang
terjadi di Banjar Biya, antara WL (48 tahun) seorang PNS yang telah bersuami dari Banjar Desa
Keramas, dengan seniman MJ (60 tahun) yang berasal dari Desa Sukawati. Dalam Paruman Alit
Prajuru Desa Pakraman, yang terdiri dari Bendesa Keramas, Kelian Banjar, dan Perbekel.
Paruman Alit yang dipimpin oleh Bendesa Keramas ini kemudian memutuskan bahwa
WL dan MJ dinyatakan terbukti bersalah (sisip) sehingga katiwakan pamidanda (dijatuhi sanksi).
Perkara ini dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum campuran, karena disatu sisi
merupakan pelanggaran terhadap Hukum Adat dan Hukum Positif (Negara) yang tertera dalam
KUHP.

2. Analisis Kasus
Berdasarkan kasus diatas, terdapat perbandingan proses hukum dan sanksi yang di
jatuhkan menurut Hukum Positif (Negara) dengan Hukum Adat yaitu :
a. Hukum Negara
Jika kita melihat kasus yang terjadi di Banjar Biya adalah kasus perzinahan yang terjadi,
antara WL (48 tahun) seorang yang telah bersuami dari Banjar Desa Keramas, dengan seniman
MJ (60 tahun) yang berasal dari Desa Sukawati dari segi hukum positif (Negara) maka perbuatan
tersebut dapat dipidana. Dalam KUHP kita diatur bila dalam suatu perkawinan terjadi sebuah
perselingkuhan yang dapat dijerat dengan delik pidana mukah (perzinahan), jika terdapat
pengaduan yang resmi dari salah satu atau kedua belah pihak. Delik mukah (zina) dapat dilihat di
pasal 284 KUHP.

b. Hukum Adat
Jika kita melihat kasus yang terjadi di Banjar Biya adalah kasus memitra (perzinahan)
yang terjadi, antara WL (48 tahun) seorang yang telah bersuami dari Banjar Desa Keramas,
dengan seniman MJ (60 tahun) yang berasal dari Desa Sukawati dari segi Hukum Adat sebagai
norma hukum yang menjadi pedoman bertingkah laku bagi anggota masyarakat adat di mana
hukum adat itu berlaku maka perbuatan tersebut telah melanggar hukum adat yaitu hukum drati
krama atau perzinaan. Dimana dalam Paruman Alit yang dipimpin oleh Bendesa Keramas
bersama Prajuru Desa Pakraman yang terdiri dari Kelian Banjar dan Perbekel kemudian
memutuskan bahwa WL dan MJ dinyatakan terbukti bersalah (sisip) sehingga katiwakan
pamidanda (dijatuhi sanksi).

Jenis-jenis delik adat yang masih hidup dalam hukum adat Bali, I Made Widnyana
mengklasifikasikan jenis-jenisnya sebagai berikut:
a) Delik adat yang menyangkut kesususilaan, contohnya: lokika sangraha (persetubuhan atas
dasar cinta antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama masih bujang), drati
krama (berzina), , gamia gamana (hubungan seksual antara orang-orang yang berhubungan
darah sangat dekat); dan salah krama (berhubungan kelamin dengan binatang),

Menurut Soepomo tindakan atau upaya pertahanan adat atau adat reaksi yang diperlukan
mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai pelunasan hutang atau
sebagai pengganti kerugian. Namun menurut Pendechten van Het Adatrecht bagian X yang
mengumpulkan bahan-bahan mengenai hukum adat delik (adatstrafrecht) dan yang diterbitkan
pada tahun 1936 menyebutkan beberapa reaksi dan koreksi adat sebagai berikut :
1. Pengganti kerugian (immateril) dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang
telah dicemarkan.
2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian rohani.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
4. Penutup malu, permintaan maaf.
5. Berbagai hukuman badan hingga hukuman mati.Pengasingan dari masyarakat serta
meletekkan orang diluar tata hukum.

3. Cara Penyelesaian Kasus :


Dari kasus yang terjadi di Banjar Biya adalah kasus memitra (perzinahan) yang terjadi,
antara WL (48 tahun) seorang yang telah bersuami dari Banjar Desa Keramas, dengan seniman
MJ (60 tahun) yang berasal dari Desa Sukawati, bahwa kejadian yang melibatkan kedua
pasangan yang terlibat perselingkuh tersebut di antara pelakunya sudah berkeluarga yakni si
pelaku wanita yang berprofesi sebagai PNS yang berinisial WL, kasus ini merupakan
perseligkuhan yang dapat di jatuhkan sanksi melalui 2 hukum yaitu:
a. Hukum Negara berupa hukuman dalam KUHP
Pelanggaran yang di lakukan jika dilihat menggunakan hukum positif maka dapat di
jatuhkan pasal 284 KUHP mengenai tindak kejahatan kesusilaan, yang dapat di jatuhi hukuman
penjara atau kurugan maksimal sembilan bulan.

b. Hukum Adat
Namun, jika di lihat dari hukum adat pada masyarakat bali maka dapat di jatuhkan sanksi
menggunakan awig-awig hukum adat di Bali dalam pasal 64 (Pawos 64) yang berisi mengenai
hukum drati krama atau perzinaan maka dapat di kenakan hukumannya membiayai prosesi
upacara yaitu, upacara :
1. Upacara Tawur Kesanga ( Tawur Bhuta Yadnya ) kamargiang ring Desa Adat miwah
ring soang paumahan Krama, nganutin sastra Agama majalaran Pasuara sakeng Parisada
Hindu Dharma Indonesia.
2. Upacara Kamariang ring tileming Kasanga kalaning sandyakala, kalanturang ngrupuk
rawuh ka pakubon soang-soang.

Selain itu pelakunya di jatuhi juga konsekuensi tambahan di adat seperti :


1. Hubungan perzinahan mereka dihentikan;
2. Kedua pihak wajib melaksanakan prayascita (pensucian) desa dan prayascita
(pensucian) raga.

4. Kesimpulan
Perbandingan yang dapat di lihat dari berlakunya kedua hukum tersebut adalah melalui
perbedaan hukuman dan akibat yang ditimbulkan jika di berlakukannya hukuman tersebut
kepada pelaku . Dalam hukum Negara (KUHP) hukuman berupa kurungan dan denda yang
berakibat moril dan psikis yang di timbulkan terhadap para pelaku yang terjerat hukum dan
sanksi. Dimana hukuman kurungan dan denda tersebut di harapkan memberikan efek jera
terhadap para pelaku yang melakukan pelanggaran.
Sementara itu, dalam delik hukum adat yang menggunakan awig-awig sebagai pasal yang
digunakan untuk menjatuhi hukuman kepada para pelaku. Didalam hukum delik adat hukaman
yang di timbulkan berakibat dikucilkannya atau menjadi gunjingan bagi para pelaku yang
melakukan pelanggaran tersebut. konsep hukum adat dan disinkronisasi dengan
hukum positif di indone

Das könnte Ihnen auch gefallen