Sie sind auf Seite 1von 11

How are STIs spread?

You can get a STD from vaginal, anal, or oral sex. You can also be infected with trichomoniasis through
contact with damp or moist objects such as towels, wet clothing, or toilet seats, although it is more
commonly spread by sexual contact.
Many STIs are spread through contact with infected body fluids such as blood, vaginal fluids, or semen.
They can also be spread through contact with infected skin or mucous membranes, such as sores in the
mouth. You may be exposed to infected body fluids and skin through vaginal, anal or oral sex. Anal sex is
very risky because it usually causes bleeding. Sharing needles or syringes for drug use, ear piercing,
tattooing, etc. can also expose you to infected fluids. Most STIs are only spread through direct sexual
contact with an infected person. However, pubic lice and scabies can be spread through close personal
contact with an infected person, or with infested clothes, sheets, or towels.
If you do decide to have sex, you should:
Use condoms 100% of the time. You need to make sure that you use a new latex condom (or dental
dam) correctly every time you have oral, anal, or vaginal sex. If you are allergic to latex, use a
polyurethane male or female condom.
Use a water-base lubricant with condoms. The lubricant will keep the condom from breaking. Never use
lubricants that contain oil or fat, such as petroleum jelly or cooking oil. These products weaken “latex”
and can cause the condom to break.

What Is a Skin Scraping?


In dermatology, a potassium hydroxide (KOH) skin scraping is a common procedure used to obtain the
superficial dead layers of the skin. This procedure is most often used to diagnose fungal skin infections,
as athlete's foot or tinea infections of the body. In some cases, a mineral oil scraping, instead of a KOH
skin scraping, is used to diagnose parasitic skin infections such as scabies.
How Does a Skin Scraping Work?
The KOH or mineral oil based skin scraping allows the dermatologist to obtain a sample of skin in order
to check for parasites or fungus under the microscope. It is a quick, simple, and relatively inexpensive
test that allows the dermatologist to look for certain infections. Potassium hydroxide (KOH) is often
applied to the specimen on the microscope slide, which dissolves skin cells (keratinocytes), mucus, and
other debris, and makes the organisms easier to see.[1] Mineral oil is often applied to immobilize any
parasites like scabies so that they are more easily seen under the microscope.

What Conditions Are Skin Scrapings Used For?


Skin scrapings are used to diagnose several conditions including:
1. Fungal Infections, Tinea pedis (athlete's foot: fungal infection of the feet) , Tinea corporis (fungal
infections of the body)
2. Yeast Infections, Candida, Tinea versicolor (caused by the yeast Malassezia furfur)
3. Parasitic Infections Scabies Lice
How Are Skin Scrapings Done?
If a dermatologist suspects a parasitic or fungal infection of the skin, they may choose to use skin
scrapings of affected sites in order to obtain a sample of tissue.
Selecting where to scrape: skin scrapes are usually done in areas with visual signs of infestation.
Depending on the sample site, a small window of hair may first have to be shaved away. If the infection
is suspected under the fingernails or toenails, the nails will first be trimmed back. After which, the area
will be sterilized with alcohol.
Mineral oil may be first applied to the skin to help with ease of scraping and collection, especially if
looking for scabies.
The dermatologist will use a scalpel blade to scrape perpendicularly across the skin, often in a 1-2 inch
area. In the case of oral infection, a tongue blade may be used to scrape a specimen onto a slide.
To prepare the glass slide, a few drops of KOH will be added to the skin sample, and then a coverslip will
be placed over the top.
The dermatologist will then view the slide starting at low light and magnification. If hyphae or
pseudohyphae are visualized, there is a strong likelihood of a dermatophyte (fungal) or yeast infection,
respectfully.
If the KOH preparation turns out negative, there may still be a need for a fungal or yeast culture to
confirm the diagnosis.

Lymphogranuloma venereum (LGV) adalah infeksi menular seksual yang diakibatkan oleh infeksi bakteri
Chlamydia trachomatis jenis tertentu. Penyakit ini merupakan penyakit endemik di daerah tropis,
khususnya di Asia Tenggara, Afrika, India, Amerika Selatan, dan Karibia. LGV seringkali terjadi pada
pasangan homoseksual, terutama sesama pria. Penyakit ini seringkali ditandai dengan pembengkakan
kelenjar getah bening di daerah lipat paha dan luka (ulkus) pada daerah genital atau kelamin yang
sembuh dengan sendirinya.
LGV dapat muncul bersamaan dengan infeksi menular seksual lainnya, contohnya pada penderita HIV.
Munculnya LGV dapat ditandai dengan diare yang diakibatkan oleh peradangan, luka, dan penyempitan
di daerah anus atau dubur, dan ujung usus besar atau rektum. Seringkali kondisi tersebut muncul pada
penerima hubungan seks anal pada pasangan sesama pria dan ditandai dengan munculnya nyeri pada
daerah anus serta keluarnya nanah dan darah, sehingga menyerupai infeksi saluran pencernaan.

Tanpa penanganan yang baik, LGV dapat menyebabkan ulkus yang membekas, pembesaran organ
genital, dan penyumbatan sistem pembuluh getah bening.

Gejala Lymphogranuloma Venereum


Gejala lymphogranuloma venereum (LGV) yang muncul pada seseorang dapat dibagi menjadi 3 tahap.
Tahap 1 terjadi sektar 3 hari hingga 3 minggu setelah seseorang terkena infeksi Chlamydia trachomatis.
Gejala LGV tahap 1 biasanya ditandai dengan:
Munculnya ulkus dangkal atau papul yang tidak terasa sakit pada organ genital luar.
Timbul lesi yang mirip dengan lesi akibat herpes.
Munculnya gejala peradangan uretra atau saluran kemih.
Timbul pembesaran kelenjar getah bening di daerah lipat paha yang dapat pecah serta membentuk
rongga.
LGV tahap 2 dapat terjadi sekitar 10-30 hari setelah terkena bakteri Chlamydia trachomatis, namun
gejala LGV stadium 2 dapat berkembang selama berbulan-bulan. Gejala LGV stadium 2, antara lain
adalah:

Munculnya gejala infeksi sistemik seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, lemas dan nyeri sendi.
Munculnya pembesaran kelenjar getah bening yang tidak hanya di lipat paha, namun di daerah panggul
dan dalam perut. Pembesaran ini terasa nyeri dan sekelilingnya terlihat kemerahan. Jika LGV terjadi
pada daerah mulut akibat seks oral, pembesaran kelenjar getah bening dapat terjadi di leher.
Pembesaran kelenjar getah bening dapat pecah membentuk rongga (sinus) atau saluran abnormal
(fistula).
Kulit menjadi kemerahan.
Lymphogranuloma venereum tahap 3 dapat muncul hingga 20 tahun pasca infeksi terjadi. LGV tahap 3
seringkali terjadi pada wanita akibat tidak teridentifikasinya LGV stadium 1 dan 2. Secara umum, gejala-
gejala lymphogranuloma venereum tahap 3 adalah:

Munculnya proktokolitis, yaitu infeksi anus, rektum, dan usus besar.


Gatal-gatal pada anus.
Keluarnya darah dan nanah dari anus.
Nyeri daerah anus dan tenesmus, yaitu rasa tidak puas setelah buang air besar dan ingin buang air besar
walaupun setelah dilakukan.
Konstipasi dan berat badan turun.
Pembengkakan dan kemerahan di daerah rektum seperti hemoroid akibat penyumbatan pembuluh
getah bening.
Dinding anus terasa kasar saat pemeriksaan colok dubur.
Dapat terjadi penyempitan pada rektum serta pembengkakan pada genital
Pada wanita, LGV stadium 3 dapat ditandai dengan pembesaran, penebalan dan luka yang terjadi pada
labia. Kondisi ini disebutSelain itu, LGV stadium 3 pada wanita dapat menyebabkan gejala sistemik
seperti:
Demam. Nyeri. Gatal-gatal. Nyeri pada saat buang air kecil.Diare yang mengandung darah atau nanah.
Beberapa metode diagnosis LGV, antara lain adalah:

Kultur Chlamydia trachomatis. Metode ini dapat dilakukan dengan mengambil sampel cairan yang
diambil dari pembesaran kelenjar getah bening dengan aspirasi jarum atau dari cairan yang keluar dari
ulkus dan jaringan rektum. Meskipun cukup akurat, metode ini hanya memiliki tingkat keberhasilan
kultur sekitar 30%, serta cukup mahal dan sulit dilakukan.
CT scan. CT scan dapat berguna untuk mendeteksi jangkauan dan banyaknya limfadenopati yang terjadi.
Selain itu, CT scan dapat menunjukkan kemungkinan penyebab lain dari limfadenopati.
Kolonoskopi dan sigmoidoskopi. Metode ini dapat mengidentifikasi penyebab gejala anorektal yang
muncul pada terduga penderita LGV. Metode kolonoskopi dan sigmoidosopi dapat dikombinasikan
dengan biopsi jaringan rektum dan anus untuk memberikan hasil lebih akurat terkait kondisi anus
penderita.
Pengobatan Lymphogranuloma Venereum
Metode pengobatan LGV melibatkan pemberian antibiotik dan pembedahan. Pemberian antibiotik
bertujuan untuk membunuh bakteri yang menyebabkan terjadinya LGV. Antibiotik yang dapat diberikan,
antara lain adalah:
Doxycycline. Obat ini dapat diberikan kepada penderita LGV baik yang positif terkena HIV maupun yang
tidak terkena HIV. Doxycycline merupakan antibiotik primer yang harus diberikan kepada penderita LGV,
Erythromycin. Erythromycin memiliki kategori B pada kehamilan, yang artinya studi pada binatang
percobaan tidak memperlihatkan adanya risiko terhadap janin, namun belum ada studi terkontrol pada
wanita hamil.
Pengobatan LGV dengan antibiotik dapat dikombinasikan dengan pembedahan untuk mengalirkan
nanah keluar atau untuk mengangkat kelenjar getah bening yang membesar.
SIFILIS
Nama lain: Lues venerea/ raja singa
Sifilis adalah IMS yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan
dapat mengenai seluruh organ tubuh. Gambaran klinisnya dapat menyerupai penyakit lain (the great
imitator). Pada bayi ditularkan in utero atau karena kontak dengan lesi ibu pada waktu persalinan.
Selama perjalanan penyakitnya terdapat masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh.
KLASIFIKASI
Sifilis akuisita (klasifikasi epidemiologis)
Sifilis dini (sifilis yang terjadi dalam 1 tahun setelah terinfeksi)
i. Sifilis primer (S I)
ii. Sifilis sekunder (S II)
iii. Sifilis laten dini (early latent syphilis)
Sifilis lanjut (sifilis yang terjadi lebih dari 1 tahun setelah infeksi)
i. Sifilis laten lanjut (late latent syphilis)
ii. Sifilis tersier (S III)
GAMBARAN KLINIS
Sifilis primer
Sifilis ditularkan melalui kontak langsung dari lesi infeksius. Treponema masuk melalui selaput lendir
yang utuh atau kulit yang mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian masuk ke pembuluh
darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Pada saat ini tanda-tanda klinis dan serologis belum jelas.
Tanda klinis yang pertama kali muncul adalah timbul lesi primer berupa ulkus di tempat inokulasi, 3
minggu (10-90 hari) setelah “coitus suspectus” (hubungan seksual yang dicurigai sebagai penyebab
infeksi). Ulkus ini disebut ulkus durum atau chancre (syphilitic ulcer), dapat di genital maupun ekstra
genital.
Gambaran karakteristik ulkus durum:
Biasanya soliter, tidak nyeri (indolen), bagian tepi lesi meninggi dan keras (indurasi), dasar bersih, tanpa
eksudat, ukuran bervariasi dari beberapa mm sampai 1-2 cm.
Terdapat limfadenopati inguinal medial unilateral/bilateral, tidak terdapat gejala konstitusi
Adanya ulkus disertai pembesaran kelenjar getah bening disebut kompleks primer
Bila tidak diobati, ulkus akan menetap selama 2-6 minggu, lalu sembuh spontan.
Pada ulkus dapat ditemukan gerakan T. pallidum.
Tes serologis untuk sifilis: non reaktif, namun makin lama lesi terjadi kemungkinan tes menjadi reaktif ( >
4 minggu)
Sifilis sekunder
Timbul 6 minggu sampai 6 bulan kemudian berupa ruam pada kulit, mukosa dan organ tubuh, dapat
disertai gejala konstitusi seperti demam, malaise, sakit kepala, atralgia dan anoreksia.
Pada stadium ini ulkus masih dapat ditemukan.
Kelainan antara lain:
– Manifestasi kulit pada sifilis sekunder (sifilid):
Sangat bervariasi, biasanya simetris, dapat berupa makula, papula, folikulitis, papulaskuamosa
(psoriasiform) dan pustul.
Ditemukan pada 75% kasus
Ruam kulit dapat sembuh spontan
– Papul basah pada daerah intertriginosa yang lembab disebut kondiloma lata
– Limfadenopati generalisata ( > 50% kasus)
– Hepatomegali
– Splenomegali
– Pada kasus yang tidak diobati dapat terjadi relaps 1-2 tahun setelah infeksi, lesi sering unilateral,
berbentuk arsiner.

Sifilis sekunder:
– Pitiriasis rosea– Tinea versikolor– Psoriasis– Skabies– Drug eruption
– Eksantema virus

Sifilis laten

Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa manifestasi klinis, dapat berlangsung bertahun-tahun atau
seumur hidup.
Masa laten ini terbagi dua yaitu:
– Laten dini, kurang dari 1 tahun, masih bisa menular
– Laten lanjut, lebih dari 1 tahun, jarang menular, kecuali pada wanita hamil dapat menularkan
sifilis pada bayi yang dikandungnya
Diagnosis hanya berdasarkan pada tes serologis. Pada laten dini titer tinggi, namun setelah diberi
pengobatan akan rendah atau non reaktif, sedangkan laten lanjut selalu dengan titer rendah dan sedikit
perubahan setelah diberikan pengobatan.

Sifilis lanjut
Lesi sifilis lanjut berupa endarteritis obliterans pada bagian ujung arteriol dan pembuluh darah kecil
yang menyebabkan peradangan dan nekrosis. Bila tidak diobati kerusakan akan semakin hebat pada
salah satu organ tubuh
Yang paling sering terjadi pada sifilis lanjut adalah: latensi, simtomatik neurosifilis, sifilis benigna lanjut
dan sifilis kardiovaskuler.
Tes serologis umumnya reaktif

PEMERIKSAAN LABORATORIUM:

Pemeriksaan langsung : bahan pemeriksaan dari ulkus (Reitz serum)


— Dark field examination
— PCR
Pemeriksaan tidak langsung: tes serologis untuk sifilis (TSS) /Serologic Test for Syphilis (STS)

1 Tes Treponema : TPI (T. pallidum Immobilization), FTA-ABS (Fluorescent Antibody Absoption Test),
TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay)
2 Tes non Treponema : VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory), RPR (Rapid Plasma Reagin)
VDRL: sensitivitas tinggi à skrining
TPHA: spesifisitas tinggi à konfirmasi diagnosis

PENGOBATAN

Sifilis dini (primer, sekunder, laten dini)


– Benzatin benzilpenisilin G 2,4 juta IU intra muskuler, dosis tunggal atau
– Prokain benzilpenisilin 0,6 juta IU/ hari, intramuskuler selama 10 hari berturut-turut.

Sifilis lanjut (sifilis > 2 tahun, laten yang tidak diketahui lama infeksi, kardiovaskular, syphilis late benign
kecuali neurosifilis)
– Benzatin benzilpenisilin G 2,4 juta IU/ minggu, intramuskuler, selama 3 minggu berturut-turut,
atau

– Prokain benzilpenisilin 0,6 juta IU/ hari, intramuskuler selama 3 minggu berturut-turut.

– Untuk penderita yang alergi penisilin:


i. Doksisiklin 2 x 100 mg/ hari selama 30 hari atau lebih
Evaluasi Hasil Pengobatan
Pada penderita sifilis stadium dini yang telah dilakukan pengobatan dengan cara dan dosis yang adekuat,
harus dievaluasi kembali secara klinis dan serologis (dengan VDRL) sesudah 3 bulan pengobatan.
Evaluasi kedua dilakukan sesudah 6 bulan, dan bila ada indikasi berdasarkan hasil pemeriksaan pada
bulan ke-6 tersebut, dapat dievaluasi kembali sesudah bulan ke-12.
ULKUS MOLE

Ulkus mole atau Chancroid atau soft chancre adalah IMS yang disebabkan oleh Haemophilus ducreyi,
dengan masa inkubasi 4-10 hari. Pada wanita sukar ditentukan masa inkubasinya karena sering
ditemukan kasus asimtomatis
Karakteristik:
– Ulkus multipel, nyeri pada > 50% kasus, tepi tidak rata, indurasi (-).
– Dasar ulkus kotor, mudah berdarah dan nekrotik, kulit sekitar ulkus kemerahan

– Terdapat limfadenopati inguinal uni/bilateral yang terasa nyeri pada 50% kasus à terjadi
supurasi à perforasi à fistula à ulkus
– Dapat terjadi autoinokulasi
– Lokasi lesi: sering pada daerah vulva, serviks, prepuce, sulkus koronarius, dan anal; oral pada
oral sexual contac; bagian tubuh lain (jarang) karena autoinokulasi

Pemeriksaan laboratorium:
Pewarnaan Gram dari ulkus (sensitivitas 40-60%)
è Basil kecil Gram negatif, yang berderet berpasangan seperti kumpulan ikan (school of swimming fish)

Kultur
PCR

PENGOBATAN
Siprofloksasin 2 x 500 mg/ hari per oral, selama 3 hari
Eritromisin base 4 x 500 mg/hari,per oral selama 7 hari
Azitromisin 1 gram per oral, dosis tunggal
Seftriakson 250 mg intramuskular, dosis tunggal
HERPES GENITALIS

Herpes genitalis adalah IMS yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) tipe 1 dan 2 (90% kasus
herpes genitalis disebabkan oleh HSV tipe 2), dengan gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan
dasar eritema dan bersifat rekuren.
Infeksi herpes genitalis ditularkan melalui kontak langsung dari lesi atau sekret genital yang infeksius.
Transmisi terjadi pada saat viral shedding. Gejala yang timbul dapat berat, tetapi dapat pula
asimtomatis. Pada penelitian retrospektif 50-70% infeksi HSV tipe 2 adalah asimtomatis.
Pada penderita dengan imunodefisiensi, gejala akan lebih berat, lebih lama, rekurensi lebih sering
dengan penyembuhan yang lebih lama.

Manifestasi klinis

Episode pertama – primer


Episode pertama – bukan primer
Episode rekuren
Asimtomatik

Episode pertama primer

Merupakan infeksi primer sejati, mengenai seseorang yang belum pernah terpajan HSV sebelumnya
(seronegatif terhadap antibodi HSV)
Masa inkubasi 1 minggu (2-12 hari) setelah coitus suspectus
Pada episode ini gejala lebih berat, seringkali disertai gejala sistemik dan dapat mengenai banyak
tempat.
Kelenjar limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan.
Vesikel berkelompok pada dasar eritem, yang terasa nyeri à pustula à erosi à ulkus à krusta keabu-abuan
Lesi baru masih muncul sampai hari ke-10, reepitelisasi terjadi setelah 15-20 hari
Lokasi:
Wanita: introitus, meatus, labia, serviks (70%)
Laki-laki: Glans, sulkus koronarius, uretra, penile shaft, perineal region
Jarang: perineum, bokong, paha, perianal, skrotum, mons area
Komplikasi:
Neurologis (13-35%) : aseptic meningitis, transverse meningitis, sacral radiculitis (retensi urin)
Pada kehamilan: abortus, malformasi kongenital, lahir mati.
Episode pertama bukan primer
Pada orang yang pertama kali timbul gejala klinis, namun telah seropositif terhadap antibodi HSV
Gejala lebih ringan dari episode primer, tetapi lebih berat dari episode rekuren
Episode Rekuren

Gejala yang timbul biasanya lebih ringan, dapat diawali gejala prodromal seperti gatal, rasa terbakar,
disuria
Faktor pencetus : trauma, stress emosi, kelelahan, koitus yang berlebihan, demam, menstruasi, obat-
obatan (imunosupresif, kortikosteroid), alkohol.
Reepitelisasi + 10 hari
Rekurensi HSV-2 lebih sering dibandingkan HSV-1
DIAGNOSIS BANDING

– Chancroid

– Sifilis dengan infeksi sekunder

– Ulkus genital karena trauma

– Dermatitis kontak

LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium sederhana dengan apus Tzanck yang diwarnai dengan Giemsa atau Wright
akan tampak sel raksasa berinti banyak, namun pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang rendah.
PCR
Serologi
PENGOBATAN

Episode pertama primer:


Asiklovir 5 x 200 mg/ hari, per oral, selama 7 hari, atau
Valasiklovir 2 x 500 mg/ hari, per oral, selama 7 hari
Episode kambuhan:
Asiklovir 5 x 200 mg/ hari, per oral, selama 5 hari, atau
Valasiklovir 2 x 500 mg/ hari, per oral, selama 5 hari
Bila ringan cukup diberikan krim asiklovir
Pengobatan supresif (kekambuhan > 6 kali/ tahun)
Asiklovir 2 x 400 mg/ hari, per oral, secara terus-menerus, atau
Valasiklovir 1 x 500 mg/ hari

Das könnte Ihnen auch gefallen