Sie sind auf Seite 1von 72

HAMA DAN PENYAKIT JAGUNG MANIS (Zea mays

saccharata Sturt.) DI DESA BENTENG, CIBANTENG DAN


NAGROG, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR,
JAWA BARAT

FIFIT FITRIANI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ABSTRAK

FIFIT FITRIANI. Hama dan Penyakit Jagung Manis (Zea mays saccharata
Sturt.) di Desa Benteng, Cibanteng dan Nagrog, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh ABDUL MUIN ADNAN dan PUDJIANTO.

Penelitian dilaksanakan pada lahan petani di Desa Benteng, Cibanteng dan


Nagrog, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan di Laboratorium
Nematologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2008
hingga Februari 2009 bertujuan untuk mengetahui jenis hama dan penyakit serta
intensitas kerusakan yang ditimbulkan dan kaitannya dengan pola tanam jagung
manis secara umum yang dilakukan petani. Pada setiap desa diamati lima lahan
tanaman dan pada setiap lahan dilakukan tiga kali pengamatan. Selain itu,
dilakukan juga pengamatan mingguan pada satu lahan di Desa Benteng. Pada
setiap lahan diamati lima petak contoh dengan metode diagonal dan pada masing-
masing petak diamati 10 tanaman contoh. Pengamatan dilakukan terhadap jenis
hama dan patogen beserta persentase serangan dan intensitas kerusakan yang
ditimbulkannya. Perbedaan serangan hama dan intensitas penyakit di setiap desa
baik dengan pola monokultur maupun tumpangsari dihitung dengan menggunakan
program MINITAB 14 dengan statistik uji-t pada taraf kepercayaan 5%. Hama
yang ditemukan pada tanaman jagung manis adalah Ostrinia furnacalis Guenee.
(Lepidoptera: Pyralidae), Helicoverpa armigera Hubner. (Lepidoptera:
Noctuidae), Rhopalosiphum maidis Fitch. (Homoptera: Aphididae) dan Oxya sp.
(Orthophtera: Acrididae), sedang penyakit yang ditemukan adalah hawar daun
(Helminthosporium turcicum Pass.), penyakit karat (Puccinia sorghi Schwein.),
penyakit bulai (Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw.), penyakit hawar
Curvularia sp. serta penyakit hawar pelepah Rhizoctonia solani Kuhn. Penyakit
yang sangat berpengaruh terhadap produksi jagung manis adalah penyakit bulai
yang dapat menurunkan hasil panen hingga 90% lebih. Budidaya jagung manis
dengan pola tumpangsari tidak berpengaruh terhadap intensitas penyakit dan
serangan hama, tetapi lebih berpengaruh terhadap tingkat keuntungan ekonomi.
Pola tumpangsari lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola monokultur.
Usahatani jagung manis di Desa Benteng, Desa Cibanteng dan Desa Nagrog
termasuk efisien.
HAMA DAN PENYAKIT JAGUNG MANIS (Zea mays
saccharata Sturt.) DI DESA BENTENG, CIBANTENG DAN
NAGROG, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR,
JAWA BARAT

FIFIT FITRIANI
A34052600

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian
Pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul skripsi : Hama dan Penyakit Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.) di
Desa Benteng, Cibanteng dan Nagrog, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Nama : Fifit Fitriani
NRP : A34052600

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS Dr. Ir. Pudjianto, MS


NIP. 19521111 198003 1006 NIP. 19580825 198503 1002

Mengetahui,
Ketua Departemen

Dr. Ir. Dadang, M.Sc


NIP. 196402041990021002

Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, tanggal 27 November 1987 sebagai anak


keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Kosim dan Ibu Ratnaningsih.
Penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMU Bina Bangsa
Sejahtera, Bogor dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis
diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jaringan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama di IPB penulis ikut serta dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan
yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA),
magang di Laboratorium Nematologi Departemen Proteksi Tanaman tahun 2007
serta menjadi pengurus HIMASITA periode 2008-2009. Selain itu, penulis
pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Ilmu Penyakit Tanaman Dasar
tahun 2009.
PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT. atas rahmat-Nya penulis dapat


menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi yang berjudul Hama dan
Penyakit Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.) di Desa Benteng, Cibanteng
dan Nagrog, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang
dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 hingga bulan Februari 2009, di lahan
jagung manis milik petani dan Laboratorium Nematologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Dr Ir Abdul Muin Adnan, MS dan Dr. Ir. Pudjianto, MS atas bimbingan
dan nasehatnya dalam menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi.
2. Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo selaku dosen penguji tamu dalam
sidang skripsi atas saran dan kritik yang diberikan untuk kesempurnaan
laporan akhir ini.
3. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing dan memberikan pengarahan dan nasehat selama
menjadi mahasiswa di Departemen Proteksi Tanaman.
4. Kedua orang tua beserta keluarga yang telah memberikan dukungan baik
secara moril maupun materi.
5. Seluruh Laboran Departemen Proteksi Tanaman, terutama Bapak Gatot
sebagai Laboran di Laboratorium Nematologi yang telah membantu
pelaksanaan penelitian.
6. Pak Ajik sebagai petani yang telah membantu di lahan penelitian dan
kepada seluruh petani contoh dengan memberikan izin kepada penulis
untuk melakukan penelitian ini hingga selesai.
7. Rd.Rio Prawira Kusuma yang telah memberikan dukungan baik secara
moril maupun materi.
8. Pegawai perpustakaan Faperta, khususnya Bapak Mulyadi yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian.
9. Nia Azizah, Siti Fitriani, Putri Syahierah yang selalu memberikan
dukungannya selama penulis menimba ilmu di Departemen Proteksi
Tanaman, IPB.
10. Apri, Lulu, Yusnita, Rohim, Ibu Meda, Bontor, Amri, yoki, Abizar dan
teman-teman angkatan 42 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang
telah membantu penelitian ini hingga penelitian ini selesai.

Bogor, Juli 2009

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ..................................................................................... viii


DAFTAR GAMBAR ................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. x
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................... 1
Tujuan Penelitian ........................................................................... 2
Manfaat Penelitian ......................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
Botani Tanaman Jagung Manis ....................................................... 3
Budidaya Jagung Manis .................................................................. 4
Hama Tanaman Jagung Manis ........................................................ 6
Penggerek Batang Jagung, Ostrinia furnacalis Guenee.
(Lepidoptera: Pyralidae) ........................................................ 6
Ulat Tongkol, Helicoverpa armigera Hubner.
(Lepidoptera: Noctuidae) ..................................................... 7
Kutu Daun, Rhopalosiphum maidis Fitch.
(Homoptera: Aphididae) ...................................................... 9
Belalang, Oxya spp. (Orthophtera: Acrididae) ..................... 10
Tikus, Rattus argentiventer .................................................. 11
Penyakit Tanaman Jagung Manis ................................................... 12
Bulai (Peronosclespora maydis (Rac.)) Shaw. ...................... 12
Karat (Puccinia sorghi Schwein.) ........................................ 13
Hawar daun (Helminthosporium turcicum Pass.) ................ 14
Hawar Daun (Curvularia sp.) .............................................. 16
Hawar Upih Daun (Rhizoctonia solani Kuhn.) ..................... 16
BAHAN DAN METODE ........................................................................ 18
Tempat dan Waktu ......................................................................... 18
Metode Penelitian ............................................................................ 18
Wawancara dengan Petani .................................................... 18
Penentuan Lahan Pengamatan dan Petak Contoh ............... 18
Pengamatan Hama dan Penyakit ......................................... 19
Analisis Usahatani ............................................................... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 22
Kondisi Umum Lahan Pertanaman Jagung Manis ........................ 22
Hama .............................................................................................. 23
Penggerek Batang jagung (O. furnacalis) ............................ 24
Ulat Tongkol (H. armigera) ................................................. 27
Belalang (Oxya sp.) ............................................................. 28
Kutu Daun (R. maidis) ........................................................ 29
Tikus (Rattus argentiventer) ............................................... 30
Penyakit ......................................................................................... 30
Penyakit Hawar Daun (H. turcicum) ..................................... 31
Penyakit Karat (P. sorghi) ................................................... 32
Penyakit Bulai (P. maydis) .................................................. 33
Hawar Daun (Curvularia sp.) ............................................. 35
Hawar Daun (R. solani) ....................................................... 35
Analisis Usahatani ............................................................... 36
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 39
Kesimpulan ..................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 40
LAMPIRAN ............................................................................................ 42
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan gizi jagung manis .......................................................... 4


2. Perkembangan serangan O. furnacalis dan H. armigera pada lahan
pengamatan mingguan ........................................................................ 23
3. Persentase serangan O. furnacalis dan H. armigera di sembilan
lahan pengamatan ............................................................................... 24
4. Perkembangan intensitas penyakit hawar, karat dan bulai pada lahan
mingguan ............................................................................................ 31
5. Analisis usahatani dengan pola tumpangsari .................................... 37
6. Analisis usahatani dengan pola monokultur ..................................... 37
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar larva O. furnacalis pada batang jagung


dan gejala serangan ............................................................................ 25
2. Gambar larva H. armigera dan gejala serangannya ......................... 27
3. Gambar belalang (Oxya sp.) .............................................................. 29
4. Gambar kutu daun (R. maidis) dan gejalanya .................................. 29
5. Gambar gejala serangan tikus ........................................................... 30
6. Gambar H. turcicum dan gejalanya .................................................... 32
7. Gambar P. sorghi dan gejalanya ........................................................ 33
8. Gambar gejala bulai (P. maydis) ....................................................... 33
9. Gambar Curvularia sp. dan gejalanya .............................................. 35
10. Gambar gejala R. solani ................................................................... 36
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar pertanyaan praktek budidaya, sikap dan tindakan


pengendalian hama dan penyakit tanaman jagung manis ................. 43
2. Intensitas penyakit hawar, karat, dan bulai pada pertanaman jagung
manis di sembilan lahan pengamatan ............................................... 44
3. Uji-t rataan intensitas penyakit karat dan hawar pada tanaman
jagung manis di tiga desa pengamatan ............................................. 45
4. Uji-t serangan O. furnacalis dan H. armigera di tiga desa
pengamatan ........................................................................................ 46
5. Analisis usahatani jagung manis dengan pola monokultur dan
tumpangsari di tiga desa pengamatan ............................................... 47
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jagung manis atau sweet corn (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan
salah satu jenis jagung yang mempunyai kandungan gula tinggi. Biji jagung
manis mengandung pati dan gula bebas sehingga memiliki rasa manis ketika baru
dipanen. Rasa manis ini dapat bertahan selama dua hari dalam suhu ruang karena
gula yang terbentuk belum berubah menjadi pati. Banyak kultivar jagung manis
yang memiliki kandungan provitamin A (kriptosantin) yang tinggi, suatu pigmen
karotenoid (Rubatzky dan Yamaguchi 1995). Beberapa dasawarsa terakhir ini
jagung manis sangat digemari oleh masyarakat luas, baik masyarakat pedesaan
maupun masyarakat perkotaan, sebagai menu tambahan karena mempunyai rasa
manis yang khas.
Jagung manis memiliki daya adaptasi yang baik sehingga dapat ditanam di
berbagai elevasi, dengan syarat kesuburan tanah cukup mendukung (Thompson
dan Kelly 1957). Tanaman ini dapat dipanen ketika berumur 18-24 hari setelah
penyerbukan (Rubatzky dan Yamaguchi 1995), yang memungkinkan frekuensi
penanamannya lebih sering dibandingkan dengan jagung biasa. Keuntungan lain
dari jagung manis adalah sisa brangkasan yang masih hijau dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak.
Jagung manis dapat dibudidayakan baik secara monokultur, tumpangsari,
tumpang gilir maupun campuran. Budidaya tumpangsari dapat meningkatkan
pendapatan persatuan luas lahan karena adanya efisiensi lahan, waktu, dan biaya
terutama biaya pengolahan tanah dan pupuk. Selain itu, pola tumpangsari dapat
menekan populasi hama. Keanekaragaman dan kelimpahan artropoda pada
pertanaman tumpangsari cenderung lebih tinggi, karena menyediakan relung lebih
banyak dibandingkan pertanaman monokultur (Russell 1989). Keanekaragaman
artropoda yang tinggi mendorong terjadinya kestabilan populasi, sehingga
serangan hama cenderung akan lebih rendah (Price 1984). Peningkatan
pendapatan petani dengan pola tumpangsari dapat diketahui dengan melakukan
analisis usahatani.
2

Faktor pembatas utama dalam budidaya jagung manis adalah gangguan


organisme pengganggu tanaman (OPT), karena jagung manis merupakan salah
satu jenis tanaman yang rentan terhadap serangan berbagai jenis hama dan
patogen tanaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa faktor lain yang
mempunyai kontribusi sebagai penyebab rendahnya tingkat produktivitas jagung
manis adalah rendahnya tingkat kesuburan tanah serta rendahnya kualitas benih.
Informasi mengenai hama dan penyakit perlu diketahui dalam budidaya
tanaman apapun termasuk jagung manis. Dengan demikian pengelolaan hama dan
penyakit tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama dan penyakit serta
intensitas kerusakan yang ditimbulkan dan kaitannya dengan pola tanam jagung
manis secara umum yang dilakukan petani. Selain itu, dilakukan juga analisis
usahatani jagung manis dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari.

Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
berbagai jenis hama dan patogen yang menyerang tanaman jagung manis dan
kaitannya dengan pola tanam yang dilakukan oleh petani serta analisis usahatani
dengan pola monokultur dan tumpangsari.
TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Jagung Manis

Jagung manis atau sweet corn (Zea mays saccharata Sturt.) termasuk ke
dalam famili Gramineae subfamili Panicoidae (Thompson dan Kelly 1957).
Berdasarkan tipe pembungaannya jagung manis termasuk tanaman monoecius
yaitu memiliki bunga jantan dan betina pada satu tanaman. Bunga jantan tumbuh
di bagian puncak tanaman berupa karangan bunga (inflorescence), sedangkan
bunga betina tersusun dalam tongkol yang terbungkus oleh cangkang yang umum
disebat ”kelobot” dengan rambut jagung yang sebenarnya merupakan tangkai
putik.
Secara fisik maupun morfologi tanaman jagung manis sulit dibedakan
dengan jagung biasa. Perbedaan biasanya terletak pada warna bunga jantan dan
rambut bunga betina. Bunga jantan pada jagung manis berwarna putih sedangkan
pada jagung biasa berwarna kuning kecoklatan. Rambut pada jagung manis
berwarna putih sampai kuning keemasan sedangkan pada jagung biasa berwarna
kemerahan. Selain itu, jagung manis memiliki dua atau tiga daun yang tumbuh di
ujung kelobot terluar dan umurnya lebih genjah dibandingkan dengan jagung
biasa (Anonim 1999).
Jagung manis pada awalnya berkembang dari jagung tipe dent dan flint.
Jagung tipe dent (Zea mays identata) mempunyai lekukan di puncak bijinya
karena adanya zat pati keras pada bagian pinggir dan pati lembek pada bagian
puncak biji. Jagung tipe flint (Zea mays indurata) berbentuk agak bulat, bagian
luarnya keras dan licin. Dari kedua tipe jagung inilah jagung manis berkembang
kemudian terjadi mutasi menjadi tipe gula yang resesif (Subandi et al. 1988).
Jagung manis merupakan salah satu jenis jagung yang digolongkan
berdasarkan sifat endospermanya. Endospermanya mempunyai kadar gula yang
lebih tinggi dibandingkan kadar pati, tampak transparan dan keriput pada saat
kering. Kadar gula dan pati pada endosperma selain dipengaruhi oleh faktor
genetik juga dipengaruhi oleh tingkat kemasakan. Kandungan sukrosa pada
endosperma jagung manis terus meningkat dari hari ke-5 sampai hari ke-15
setelah munculnya rambut tongkol dan kemudian menurun.
4

Jagung manis memiliki kandungan gizi yang sangat lengkap, yaitu terdiri
dari kalori, protein, berbagai macam mineral, vitamin dan lainnya yang diperlukan
oleh tubuh manusia (Tabel 1).
Tabel 1 Kandungan gizi jagung manis *)
Komposisi gizi Kandungan dalam 100 g

Kalori 355 Kkal


Protein 9,20 g
Lemak 4,60 g
Karbohidrat 69,3 g
Gentian 2,00 g
Abu 1,40 g
Kalsium 45,0 mg
Fosfor 224 mg
Kalium 75 mg
Besi 2,90 mg
Natrium 11 mg
Karotin 256 μg
Vitamin B1 0,22 mg
Vitamin B2 0,12 mg
Niacin 1,70 mg
Vitamin C 8,80 mg
*)
Departemenf of Agricultural Malaysia

Budidaya Jagung Manis


Jagung di Indonesia kebanyakan ditanam di dataran rendah baik sawah
tadah hujan maupun sawah irigasi. Sebagian terdapat juga di daerah pegunungan
pada ketinggian 1000-1800 m di atas permukaan laut (dpl). Kondisi tanah yang
gembur dan subur paling sesuai, karena tanaman jagung memerlukan aerasi yang
baik. Jagung dapat tumbuh baik pada berbagai macam tanah. Tanah lempung
berdebu adalah yang paling baik. Jagung manis masih dapat ditanam di tanah-
tanah berat, tentunya dengan penggemburan tanah harus dilakukan lebih sering
selama pertumbuhan tanaman, sehingga aerasi tanah dalam kondisi baik (Subandi
5

et al. 1988). Kemasaman tanah (pH) yang terbaik untuk jagung adalah sekitar
5,5-7,0. Tanah dengan kemiringan tidak lebih dari 8% masih dapat ditanami
jagung dengan arah barisan tegak lurus terhadap kemiringan tanah, dengan
maksud untuk mencegah erosi yang terjadi pada waktu hujan lebat.
Jagung manis mempunyai daerah adaptasi terhadap iklim yang luas
(Thompson dan Kelly 1957). Namun, menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1995)
jagung manis tidak beradaptasi dengan baik pada kondisi tropika basah. Faktor-
faktor iklim yang sangat penting bagi pertumbuhan jagung manis adalah jumlah
dan pembagian sinar matahari, curah hujan, suhu, kelembaban dan angin. Tempat
penanaman jagung harus mendapatkan sinar matahari cukup dan jangan
terlindung oleh pepohonan atau bangunan. Bila tidak terdapat penyinaran yang
cukup, hasil produksi tanaman akan berkurang. Jagung manis mempunyai
keragaman daya adaptasi terhadap perbedaan iklim bergantung pada varietasnya.
Menurut Thompson dan Kelly (1957) suhu yang hangat merupakan kondisi yang
baik untuk perkembangan jagung manis, namun cukup banyak jagung manis yang
ditanam pada daerah yang dingin. Suhu optimum untuk pertumbuhan jagung
adalah antara 23-27o C.
Tanaman jagung manis tidak akan memberikan hasil maksimal jika unsur
hara yang diperlukan tidak cukup tersedia. Pemupukan dapat meningkatkan
kuantitas maupun kualitas hasil panen. Pemupukan yang perlu diperhatikan
adalah takaran (dosis) dan waktu yang tepat selama pertumbuhan jagung dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk (Subandi et al. 1988). Dosis pupuk
yang diperlukan berbeda-beda, tergantung dari pada tingkat kesuburan dan jenis
tanah. Hara yang ditambahkan ini harus dalam jumlah yang tepat karena
kelebihan dan kekurangan dapat mengurangi efisiensi lainnya. Jumlah pupuk
yang diberikan untuk mendapatkan hasil jagung yang tinggi tergantung pada
besarnya kandungan hara N, P, dan K di dalam tanah. Nitrogen adalah unsur hara
esensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang besar dan pada tanah
pertanian yang tidak dipupuk, tanaman sering menimbulkan gejala defisiensi, oleh
karena itu pemupukan N sangat diperlukan untuk mendapatkan produksi tanaman
yang optimal (Wawan et al. 2007). Pemupukan N meningkatkan populasi
Nitrosomonas dan respirasi tanah, sedangkan terhadap populasi total
6

mikroorganisme termasuk total fungi, pengaruh pemupukan N kurang jelas


(Tampubolon 2004).
Keseimbangan pemberian N, P, K nampaknya lebih penting dibandingkan
penambahan N dan K tanpa P. Penambahan dosis pupuk N, P, dan K secara nyata
mempengaruhi hasil tongkol berkelobot per plot (Sanjaya 1995). Hasil tongkol
lebih dipengaruhi oleh unsur N dibanding unsur P dan K (Sanjaya 1995).
Sedangkan penambahan P pada keadaan N dan K berlebih mampu memperbaiki
tinggi tanaman. Sementara secara umum dapat dianjurkan, pemakaian pupuk urea
400 kg/ha, TSP 300 kg/ha, dan KCL 250 kg/ha (Bilman 2001).

Hama Tanaman Jagung Manis

Penggerek Batang Jagung, O. furnacalis (Lepidoptera:Pyralidae)


O. furnacalis termasuk ke dalam ordo Lepodoptera dan famili Pyralidae.
Hama ini tersebar luas di Asia dan Australia dan dapat menyerang tanaman
jagung baik pada fase vegetatif maupun fase generatif. Kerusakan tanaman terjadi
karena larva menggerek bagian batang tanaman untuk mendapatkan makanan.
Beberapa peneliti mengemukakaan bahwa gerekan O. furnacalis pada batang
tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan hasil tanaman jagung (Nafus dan
Schreiner 1991).
Imago O. furnacalis dapat meletakkan telur 300-500 butir dan umumnya
meletakkan telur secara berkelompok di permukaan bawah daun pada tanaman
yang berumur 2 minggu terutama pada daun muda yaitu tiga daun teratas
(Kalshoven 1981). Jumlah telur tiap kelompok sangat beragam antara 30-50 butir
atau bahkan dapat lebih dari 90 butir. Puncak peletakan telur terjadi pada stadia
pembentukan malai sampai keluarnya bunga jantan. Kelompok telur yang
diletakkan selama fase pembentukan bunga jantan sampai rambut tongkol
berwarna coklat, larvanya memberi kontribusi terbesar terhadap kerusakan
tanaman (Subandi et al. 1988).
Larva instar pertama langsung berpencar segera sesudah menetas ke bagian
tanaman yang lain. Pada stadia pembentukan malai larva instar I hingga instar III
akan makan daun muda yang masih menggulung dan pada permukaan daun yang
terlindung dari daun yang telah membuka. Sekitar 67-100% dari larva instar I dan
7

II berada pada bunga jantan. Larva instar III masih sebagian besar berada pada
bunga jantan meskipun sudah ada pada bagian tanaman yang lain. Instar IV
hingga VI mulai menggerek pada bagian buku dan masuk ke dalam batang. Larva
masuk ke dalam batang dan menggerek ke bagian atas. Dalam satu lubang dapat
ditemukan lebih dari satu larva. Gejala visual serangan O. furnacalis pada batang
adalah adanya lubang gerek pada batang serta terdapatnya kotoran larva di dekat
lubang tersebut. Apabila batang dibelah akan tampak liang gerek larva di dalam
batang (Malijan dan Sanchez, 1986 dalam Subandi et al. 1988). Menurut Culy
(2001), gerekan larva pada batang menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh
sehingga menggangu proses transportasi air dan unsur hara dan mengakibatkan
pertumbuhan terhambat yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil tanaman.
Selain itu, sering ditemukan juga larva instar I-III makan pada pucuk tongkol dan
rambut tongkol. Instar berikutnya makan pada tongkol dan biji.
Larva yang akan membentuk pupa membuat lubang keluar yang ditutup
dengan lapisan epidermis. Sebagian stadia larva ditemukan makan pada sorgum,
Panicum viride, Amaranthus dan berbagai jenis tumbuhan lain apabila tanaman
jagung sudah dipanen.
Pengendalian O. furnacalis dapat dilakukan secara kultur teknis, hayati
maupun kimiawi. Kultur teknis yaitu dengan tumpangsari jagung dengan kedelai
atan kacang tanah, pemotongan sebagian bunga jantan (4 dari 6 baris tanaman),
dan waktu tanam yang tepat. Pengendalian hayati yaitu dengan pemanfaatan
musuh alami seperti parasitoid Trichogramma spp., predator Euborellia annulata
memangsa larva dan pupa O. furnacalis, bakteri Bacillus thuringiensis Kurstaki
mengendalikan larva O. furnacalis, cendawan sebagai entomopatogenik adalah
Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae mengendalikan larva O.
furnacalis. Pengendalian kimiawi yaitu penggunaan insektisida yang berbahan
aktif monokrotofos, triazofos, diklhrofos, dan karbofuran efektif untuk menekan
serangan penggerek batang jagung.

Ulat tongkol, Helicoverpa armigera Hubner. (Lepidoptera: Noctuidae)


Salah satu hama utama yang menyerang jagung di setiap daerah sentra
maupun pengembangan adalah ulat penggerek tongkol Helicoverpa armigera
Hubner. (Lepidoptera: Noctuidae) (Baco dan Tandiabang 1988 dalam Anonim
8

2000). Beberapa inang yang diserang ulat penggerek tongkol jagung antara lain
tomat, kedelai, kapas, tembakau, dan sorgum (Kalshoven 1981). Di Indonesia
serangga ini dijumpai pada ketinggian 2000 m dpl. Serangga ini merupakan hama
penting pada kapas di Indonesia dan Filipina. Imago meletakkan telur pada
malam hari dan sering dijumpai pada rambut tongkol jagung. Telur diletakkan
satu per satu di atas rambut jagung. Setelah menetas larva berpindah ke bagian
tongkol jagung yang masih muda dan memakan langsung biji-biji jagung. Seekor
betina dapat meletakkan telur hingga 1000 butir. Stadium telur 2-5 hari. Larva
yang baru menetas akan makan pada rambut tongkol dan kemudian membuat
lubang masuk ke tongkol. Ketika larva makan akan meninggalkan kotoran dan
tercipta iklim mikro yang cocok untuk pertumbuhan cendawan yang
menghasilkan mikotoksin sehingga tongkol rusak.
Larva H. armigera memiliki kebiasaan makan secara berpindah dari satu
buah ke buah lainnya, sehingga jumlah buah yang dirusak selalu lebih banyak
daripada jumlah larva yang ada pada tanaman (Daha et al. 1998). Penggerek ini
juga dapat menyerang tanaman muda terutama pada pucuk atau malai yang dapat
mengakibatkan tidak terbentuknya bunga jantan, berkurangnya hasil dan bahkan
tanaman dapat mati (Subandi et al. 1988).
Larva muda berwarna putih kekuning-kuningan dengan toraks berwarna
hitam. Stadium larva terdiri dari 6 instar dan berjumlah antara 17-24 dalam satu
tongkol. Larva instar terakhir akan meninggalkan tongkol dan membentuk pupa
dalam tanah. Stadium pupa berkisar antara 12-14 hari. Dari telur hingga stadia
dewasa berupa kupu-kupu kecil berkisar 35 hari dan terbang mengisap madu dari
bunga (Kalshoven 1981).
Gejala serangan ulat penggerek tongkol dimulai pada saat pembentukan
kuncup bunga dan buah muda. Menurut Daha et al. (1998), tanaman tomat
atraktif terhadap peneluran H. armigera selama berlangsung fase pembungaan.
Larva H. armigera masuk ke dalam buah muda, memakan biji-biji jagung karena
larva hidup di dalam buah, biasanya serangan serangga ini sulit diketahui dan sulit
dikendalikan dengan insektisida (Sarwono 2003). Aplikasi insektisida tidak
berpengaruh terhadap peletakan telur (Daha et al. 1998). Pengendalian ketika
larva berukuran besar dapat berakibat kurang menguntungkan karena kerusakan
9

buah mungkin sudah terjadi. Antara tingkat serangan ulat penggerek tongkol
dengan produksi didapatkan hubungan yang mempunyai korelasi positif nyata r =
0,80 dengan persamaan penduga Y = 2,88 – 0,058 x. Dari persamaan ini dapat
diduga bahwa dalam setiap peningkatan 1% serangan ulat penggerek
mengakibatkan penurunan produksi jagung sebesar 0,058% (Sarwono 2003).
Oleh karena itu, upaya pengendalian sebaliknya dilaksanakan pada saat larva
masih kecil sebelum menimbulkan banyak kerusakan pada tongkol (Daha et al.
1998).
Pengendalian H. armigera dapat dilakukan dengan cara hayati, kultur teknis,
dan kimiawi. Pengendalian hayati yaitu menggunakan parasitoid Trichogramma
spp. yang merupakan parasit telur dan Eriborus argentiopilosa (Ichneumonidae)
parasit pada larva muda, cendawan Metarhizium anisopliae menginfeksi larva,
bakteri Bacillus thuringensis dan virus Helicoverpa armigera Nuclear
Polyhedrosis Virus (HaNPV) menginfeksi larva. Pengendalian kultur teknis yaitu
pengelolaan tanah yang baik akan merusak pupa yang terbentuk dalam tanah dan
dapat mengurangi populasi H. armigera berikutnya. Pengendalian kimiawi yaitu
dengan penyemprotan insektisida Decis dilakukan setelah terbentuknya rambut
jagung pada tongkol dan diteruskan (1-2) hari hingga rambut jagung berwarna
coklat.

Kutu Daun, Rhopalosiphum maidis Fitch. (Homoptera: Aphididae)


Kutu daun termasuk ke dalam ordo Homoptera dan famili Aphididae. Kutu
daun biasanya membentuk koloni yang besar pada daun. Betina bereproduksi
secara partenogenesis (tanpa kawin). Umumnya, stadia nimfa terdiri atas empat
instar (Kalshoven 1981). Stadium nimfa terjadi selama 16 hari pada suhu 150 C,
sembilan hari pada suhu 200 C, dan lima hari pada suhu 300 C. Seekor betina yang
tidak bersayap mampu melahirkan rata-rata 68,2 ekor nimfa, sementara betina
bersayap melahirkan 49 nimfa. Lama hidup imago adalah 4-12 hari. Ketiadaan
fase telur di luar tubuh R. maidis betina karena proses inkubasi dan penetasan
terjadi dalam alat reproduksi betina dan diduga telur tidak mampu bertahan pada
semua kondisi lingkungan. Serangga ini lebih menyukai suhu yang hangat.
Imago lebih aktif di lapangan pada suhu 170 C dan 270 C. Gejala Serangan R.
maidis dalam kelompok yang besar mengisap cairan daun dan batang, akibatnya
10

warna dan bentuk daun tidak normal yang pada akhirnya tanaman mengering
Kutu daun R. maidis menghasilkan embun madu yang dikeluarkan melalui
sersinya, sehingga membentuk embun jelaga berwarna hitam yang menutupi daun
sehingga menghalangi proses fotosintesis. Pengendalian hama ini dapat
menggunakan musuh alami yaitu dengan parasitoid Lysiphlebus mirzai (Famili:
Braconidae). Coccinella sp. dan Micraspis sp. juga dapat dimanfaatkan sebagai
predator. Selain itu, pengendalian dengan kultur teknis juga dapat dilakukan yaitu
dengan penanaman jagung secara polikultur karena akan meningkatkan predasi
dari predator kutu daun dibandingkan dengan penanaman secara monokultur.

Belalang, Oxya spp. (Orthophtera: Acrididae)


Genus Oxya spp. (Orthophtera: Acrididae) pada umumnya terdapat di
dataran rendah pada pertanaman padi dan padang rumput tetapi dapat pula
dijumpai di dataran tinggi. Spesies Oxya sp. merupakan hama yang cukup
penting pada beberapa tanaman pangan. Oxya sp. memiliki kisaran inang yang
cukup luas, diantaranya jagung, kacang-kacangan, padi, kapas dan gandum
(Kalshoven 1981). Oxya sp. tergolong dalam famili Acrididae, ordo Orthoptera.
Species Oxya sp. yang telah diketahui di dunia berjumlah 18 species yang tersebar
diberbagai tempat. Di Cina dilaporkan bahwa belalang ini merupakan hama
penting yang menyerang tanaman padi dan rumput-rumputan (CPC 2000).
Imago betina Oxya sp. meletakkan telur secara berkelompok dan ditutupi
dengan zat yang menyerupai busa. Telur-telur tersebut diletakkan di dalam tanah
atau jaringan tanaman padi. Telur Oxya sp. berwarna coklat kekuningan
berbentuk silinder menyerupai butiran gabah. Satu kelompok telur rata-rata berisi
sembilan butir dan umumnya kelompok telur tersebut akan menetas pada pagi hari
empat minggu setelah peletakkan (Kalshoven 1981).
Nimfa terdiri dari lima instar yang masing-masing dapat dibedakan dari
ukuran dan warna. Nimfa instar I berukuran 7 mm, berwarna hitam mengkilap
kehijauan dengan mata majemuk abu-abu keperakan. Nimfa instar 2 berukuran 6-
11 mm, dengan warna hitam memudar. Nimfa instar 3 berukuran 9-14 mm,
berwarna coklat kehijauan dan sudah terbentuk bakal sayap. Nimfa instar 4
berukuran 12-17 mm, berwarna hijau kecoklatan dengan bakal sayap mencapai
11

mesotoraks dan metatoraks. Nimfa instar 5 berukuran 16-22 mm, bakal sayap
mencapai abdomen ruas ketiga. Lama stadium nimfa berkisar antara 51- 73 hari.
Imago jantan umumnya berukuran 18-27 mm, sedangkan imago betina
antara 24-43,5 mm. Imago berwarna hijau kekuningan atau kuning kecoklatan
dan tampak mengkilat. Imago jantan mempunyai sepasang garis terang dikepala
dan bagian dorsal sedangkan pada imago betina terdapat garis gelap dibagian mata
hingga pangkal sayap (CPC 2000).
Beberapa musuh alami berupa parasitoid dan predator telah dilaporkan
dapat mengendalikan populasi Oxya sp. musuh alami tersebut diantaranya adalah
larva Systoechus sp. (Diptera: Bombyliidae). Selain itu, burung dan laba-laba
dapat menurunkan populasi Oxya sp. (CPC 2000). Musuh alami Oxya sp. dari
golongan patogen serangga adalah Metarhizium anisopliae. Dalam penelitian
yang telah dilakukan, patogen ini digunakan sebagai biopestisida yang mampu
mengendalikan 70-90% belalang selama kurun waktu 14-20 hari (Pabbage et al.
2007).

Tikus, Rattus argentiventer


Tanaman jagung manis yang diserang tikus biasanya adalah jagung manis
yang ditanam pada lahan sawah setelah padi. Tikus tersebut adalah dari spesies
Rattus argentiventer. Tikus memiliki kemampuan indera yang sangat menunjang
setiap aktivitas kehidupannya. Di antara kelima organ inderanya, hanya
penglihatan yang kurang baik, namun kekurangan ini ditutupi oleh indera lainnya
yang berfungsi dengan baik.
Tikus mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap cahaya. Meski indera
penglihatannya kurang berfungsi dengan baik. Indera penciuman tikus berfungsi
dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas tikus menggerak-gerakkan kepala
dan mengendus pada saat mencium bau pakan, tikus lain, dan musuhnya. Indera
pendengarannya juga berfungsi dengan sempurna karena mampu mendengar suara
pada frekwensi audibel (40 kHz), dan frekwensi ultrasonik (100 kHz). Dengan
indera perasa, tikus mampu mendeteksi zat yang pahit, beracun, atau tidak enak.
Tikus termasuk pemakan menyukai hampir semua makanan yang dimakan
manusia. Dalam kondisi cukup makanan, tikus beraktivitas sejauh rata-rata 30 m
dan tidak pernah lebih dari 200 m. Jika kondisi tidak menguntungkan, jarak
12

tempuh tikus dapat mencapai 700 m atau lebih. Populasi tikus dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor abiotik yang sangat
berpengaruh terhadap dinamika populasi tikus adalah air dan sarang, sementara
faktor biotik adalah tanaman dan hewan kecil sebagai sumber pakan, patogen,
predator, tikus lain sebagai pesaing, dan manusia.
Tikus biasanya menyerang tanaman jagung pada fase generatif atau fase
pengisian tongkol. Tongkol yang sedang matang susu dimakan oleh tikus
sehingga tongkol menjadi rusak. Umumnya tikus makan biji pada tongkol mulai
dari ujung tongkol sampai pertengahan tongkol.

Penyakit Tanaman Jagung Manis

Bulai (Peronosclespora maydis (Rac.)) Shaw.


Penyakit yang sering terjadi pada tanaman jagung adalah penyakit bulai atau
downy mildew yang disebabkan oleh Peronosclespora maydis (Rac.) Shaw. yang
sejak lama telah menimbulkan kerugian yang cukup besar, sehingga penyakit ini
banyak dikenal petani. Penyakit bulai merupakan penyakit epidemik yang
menyerang hampir disetiap musim terutama pada tanaman jagung yang ditanam di
luar musim tanam atau terlambat tanam (Sudana et al. 2002). P. maydis
merupakan patogen yang cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan
hasil hingga 100% atau puso seperti yang pernah terjadi di Lampung pada tahun
1996 (Subandi et al.1996).
Gejala akibat patogen ini pada permukaan daun terdapat garis-garis
berwarna putih sampai kuning diikuti dengan garis-garis klorotik sampai coklat
Tanaman yang terinfeksi pada waktu masih sangat muda biasanya tidak
membentuk buah. Bila infeksi terjadi pada tanaman yang sudah tua, tanaman
dapat tumbuh terus dan membentuk buah (Semangun 2004). Buah sering
mempunyai tangkai yang panjang dengan kelobot yang tidak menutup pada
ujungnya dan hanya membentuk sedikit biji (tongkol tidak sempurna). Patogen
berkembang secara sistemik sehingga bila patogen mencapai titik tumbuh, maka
seluruh daun muda yang muncul kemudian mengalami klorotik, sedang daun
pertama sampai keempat masih terlihat sebagian hijau. Ini merupaka ciri-ciri dari
infeksi patogen melalui udara tetapi bila biji jagung sudah terinfeksi maka bibit
13

muda yang tumbuh meperlihatkan gejala klorotik pada seluruh daun dan tanaman
cepat mati (Subandi et al. 1988). Bila patogen dalam daun yang terinfeksi
pertama kali tidak dapat mencapai titik tumbuh, gejala hanya terdapat pada daun-
daun yang bersangkutan sebagai garis-garis klorotik, yang disebut juga sebagai
gejala lokal (Semangun 1968). Di permukaan bawah daun yang terinfeksi,
banyak terbentuk tepung putih yang merupakan spora patogen tersebut.
Patogen membentuk dua tipe hifa di dalam jaringan daun yaitu hifa kurang
bercabang dan hifa banyak bercabang, dan berkelompok. Patogen membentuk
haustoria dalam sel-sel inang untuk menyerap makanan.
Patogen dapat bertahan hidup sebagai miselium dalam embrio biji yang
terinfeksi. Bila biji ini ditanam, patogen ikut berkembang dan menginfeksi bibit.
Selanjutnya, dapat menjadi sumber inokulum (penyakit). Infeksi terjadi melalui
stomata daun jagung muda (di bawah umur satu bulan). Jamur berkembang
secara lokal atau sistemik. Sporangia dan sporangiospora dihasilkan pada
permukaan daun yang basah dalam gelap. Sporangia berperan sebagai inokulum
sekunder.
Pengendalian penyakit bulai dapat dilakukan dengan penggunaan varietas
tahan, pemusnahan tanaman terinfeksi, pencegahan dengan fungisida berbahan
aktif metalaksil, pengaturan waktu tanam agar serempak, dan pergiliran tanaman.

Karat (Puccinia sorghi Schwein.)


Penyakit karat pada jagung di Indonesia baru menarik perhatian pada tahun
1950-an. Penyakit karat disebabkan oleh Puccinia sorghi Schwein. P. sorghi
lebih banyak terdapat di pegunungan beriklim tropik dan di daerah beriklim
sedang. Gejala yang tampak pada tanaman adalah pada permukaan daun atas dan
bawah terdapat bercak-bercak kecil bulat sampai oval, berwarna coklat sampai
merah orange karena cendawan ini membentuk urediosorus panjang atau bulat
panjang pada daun. Epidermis pecah sebagian dan massa spora dibebaskan
menyebabkan urediosorus berwarna coklat atau coklat tua. Urediosorus yang
masak berubah menjadi hitam bila teliospora terbentuk (Semangun 2004).
P. sorghi mempunyai uredospora berwarna coklat, berbentuk bulat sampai
elip, dengan ukuran 21-30 x 24-33 μm. Tebal dinding spora 1,5-2 μm. Tiap sel
mempunyai dua inti. Teliospora yang menggantikan uredospora di dalam pustul
14

berwarna coklat keemasan, halus, berbentuk bulat sampai elip, dua sel, ukuran 14-
25 x 28-46 μm (White 1999).
Pada P. sorghi, teliospora berkecambah membentuk basidia yang
memproduksi basiodiospora kecil, berdinding tipis, hialin, haploid. Basidiospora
berkecambah dan mengadakan penetrasi pada daun Oxalis spp. membentuk
spermagonia dengan spermatia kecil pada permukaan atas daun. Spermatia
mengadakan fusi dengan hipa lentur untuk memasuki stadia aecia di permukaan
bawah daun Oxalis spp., selanjutnya terbentuk aeciospora. Aeciospora berinti dua
dan mudah diterbangkan oleh angin sampai jatuh pada daun jagung dan
menginfeksinya. Pada daun jagung uredospora terbentuk (Subandi et al. 1988).
P. sorghi berkembang baik pada suhu 16-230 C dan kelembaban udara
tinggi. Patogen ini dapat mempertahankan diri pada tanaman jagung yang hidup
dan dapat disebarkan melalui penyebaran angin dan menginfeksi tanaman jagung
lainnya (Semangun 2004). Selain pada jagung, cendawan ini telah diketahui
membentuk uredium dan telium pada Euclaena mexicana, Tripsacum sp., dan
Erianthus sp (Subandi et al. 1988).
Cendawan ini tidak dapat hidup sebagai saprofit, sehingga tidak dapat
mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman jagung. Tidak terdapat bukti-bukti
bahwa cendawan ini mempertahankan diri dalam biji yang dihasilkan oleh
tanaman sakit (Holliday 1980 dalam Semangun 2004).
Pengendalian penyakit karat dapat dilakukan dengan cara menanam varietas
tahan, menjaga sanitasi lingkungan di pertanaman tanaman jagung manis, aplikasi
pestisida pada saat mulai tampak bisul karat pada daun.

Hawar daun (Helminthosporium turcicum Pass.)


Penyakit hawar daun disebabkan oleh Helminthosporium turcicum Pass.
Patogen ini menyerang bagian daun tanaman dengan gejala mula-mula terlihat
bercak kecil berbentuk oval kemudian bercak berkembang menjadi hawar
berwarna hijau keabu-abuan atau coklat, dengan panjang hawar 2,5-15 cm.
Bercak-bercak ini pertama kali terdapat pada daun-daun bawah (tua) kemudian
berkembang menuju daun-daun atas (muda). Bila infeksi cukup berat, tanaman
cepat mati, dengan hawar berwarna abu-abu seperti terbakar atau mengering.
Tongkol tidak terinfeksi walaupun hawar dapat terjadi pada kelobot. Biasanya
15

gejala ini akan cepat menyebar dengan cepat pada cuaca yang lembab. Penyakit
ini dapat berkembang dengan bantuan curah hujan yang tinggi, suhu yang relatif
rendah dan intensitas penyinaran matahari yang kurang (Sudjono 1989 dalam
Subandi et al. 1988). Produktivitas tanaman jagung manis secara signifikan
dipengaruhi tingkat kerusakan tanaman oleh penyakit hawar. Pada musim hujan
umumnya serangan terjadi sangat berat, bisa mencapai 50-70% atau lebih
terutama ditempat dengan elevasi yang tinggi lebih dari 500 m dpl (Adnan 2008)
H. turcicum bertahan hidup sampai satu tahun berupa miselium dorman pada
tanaman jagung hidup yang selalu terdapat di daerah tropik, pada rumput-
rumputan termasuk sorgum, pada sisa-sisa tanaman sakit, dan pada biji jagung
(Semangun 2004). Diantara konidia yang tua dapat berubah menjadi
klamidiospora yang berdinding tebal sehingga dapat bertahan lama. Cendawan
tersebut dapat dipencarkan oleh angin. Di udara konidium terbanyak terdapat
pada saat menjelang tengah hari. Konidium menginfeksi tanaman melalui stomata
atau dengan mengadakan penetrasi secara langsung yang didahului dengan
pembentukkan apresorium. Cendawan ini dapat menginfeksi tanaman dengan dua
cara, infeksi pertama konidia dapat disebarkan jauh oleh angin atau percikan air
hujan sampai pada tanaman jagung. Infeksi kedua terjadi diantara tanaman
jagung disekitarnya karena adanya bercak-bercak yang terbentuk pada daun. Pada
keadaan yang baik siklus lengkap penyakit berlangsung selama 3-4 hari. Biji
jagung yang terinfeksi berperan sebagai sumber inokulum pertama dalam
penyebaran penyakit ini. Biji yang terinfeksi tidak meracuni hewan ternak yang
memakannya. Penyakit ini sudah tersebar di seluruh dunia (bersifat kosmopolitan)
dan sangat penting di daerah yang bersuhu hangat antara 20-32o C dan lembab
(White 1999).
Hingga saat ini telah diketahui beberapa cara pengendalian penyakit hawar
daun yang efektif yaitu dengan penggunaan varietas tahan,sanitasi lingkungan,
pengelolaan tanah yang baik dan penyiangan yang sempurna dapat menekan atau
mengurangi sumber inokulum awal, pengaturan jarak tanam, dan fungisida jika
diperlukan (Pabbage et al. 2007).
16

Hawar Daun (Curvularia sp.)


Penyakit hawar daun disebabkan oleh Curvularia sp. Patogen ini
menyerang bagian daun tanaman dengan gejala mula-mula terlihat bercak daun
yang tidak teratur pada ujung daun, pusat bercak berwarna coklat keputih-putihan
dan tepinya berwarna coklat tua, kemudian akan meluas ke arah pangkal daun
sehingga seluruh daun mengering.
Biasanya gejala ini akan cepat menyebar dengan cepat pada cuaca yang
lembab dan curah hujan yang tinggi. Penyakit ini dapat berkembang dengan
bantuan curah hujan yang tinggi, suhu yang relatif rendah dan intensitas
penyinaran matahari yang kurang (Sudjono 1989 dalam Subandi et al. 1988).
Cendawan ini dapat menginfeksi tanaman dengan dua cara, infeksi pertama
konidia dapat disebarkan jauh oleh angin atau percikan air hujan sampai pada
tanaman jagung. Infeksi kedua terjadi diantara tanaman jagung disekitarnya
karena adanya bercak-bercak yang terbentuk pada daun.
Hingga saat ini telah diketahui beberapa cara pengendalian penyakit hawar
daun yang disebabkan oleh Curvularia sp. yaitu dengan penggunaan varietas
tahan, perbaikan drainase tanah, sanitasi kebun dan memusnahkan tanaman atau
bagian tanaman yang terserang berat, dan fungisida jika diperlukan (Pabbage et al.
2007).

Hawar Upih (Rhizoctonia solani Kuhn.)


Penyebaran penyakit ini meliputi daerah tropika dan subtropika. Gejala
penyakit busuk pelepah pada tanaman jagung umumnya terjadi pada pelepah
daun, bercak berwarna agak kemerahan kemudian berubah menjadi abu-abu,
bercak meluas dan seringkali diikuti pembentukan sklerotium dengan bentuk yang
tidak beraturan mula-mula berwarna putih kemudian berubah menjadi cokelat.
Gejala hawar dimulai dari bagian tanaman yang paling dekat dengan permukaan
tanah dan menjalar kebagian atas, pada varietas yang rentan serangan jamur dapat
mencapai pucuk atau tongkol. Cendawan ini bertahan hidup sebagai miselium dan
sklerotium pada biji, di tanah dan pada sisa-sisa tanaman di lapang. Keadaan
tanah yang basah, lembab dan drainase yang kurang baik akan merangsang
pertumbuhan miselium dan sklerotia, sehingga merupakan sumber inokulum
utama (Wakman dan Burhanuddin 2007). Penyebab penyakit hawar upih adalah
17

cendawan R. solani. Cendawan R. solani membentuk struktur bertahan yang


dapat bertahan hidup lama dalam keadaan kering. Sklerotia mudah lepas dari
permukaan tanaman inang dan hanyut terbawa air bila terjadi hujan atau
pengairan. Apabila menempel pada tanaman inangnya, maka cendawan akan
tumbuh dan menginfeksi ke jaringan tanaman. Selain bertahan hidup dalam
bentuk sklerotia, cendawan ini juga dapat bertahan dalam biji terinfeksi atau sisa-
sisa tanaman di lapang (Subandi et al. 1988). R. solani mempunyai banyak
tanaman inang, selain dari famili rumput-rumputan juga dari famili kacang-
kacangan.
Penyakit hawar upih dapat dikendalikan dengan penanaman varietas tahan
pada musim hujan, penanaman jagung sebaiknya pada musim kemarau,
penanaman varietas yang letak tongkolnya tinggi, membuang (merompes) daun
yang berada di bawah tongkol yang pelepahnya telah tertular hawar upih, sanitasi
kebun dengan membersihkan dari gulma dan memotong bagian tanaman yang
terserang dan dimusnahkan, drainase yang baik, dan pergiliran tanaman (Subandi
et al. 1988).
BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada lahan petani di Desa Benteng, Desa Cibanteng
dan Desa Nagrog, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Identifikasi serangga dan identifikasi patogen dilakukan di Laboratorium
Nematologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2008
sampai Februari 2009.

Metode Penelitian

Wawancara dengan Petani


Wawancara dilakukan terhadap petani responden bertujuan untuk
mengetahui berbagai informasi penting tentang tanaman jagung manis, antara lain
yaitu cara budidaya secara umum, organisme pengganggu tanaman (OPT) pada
berbagai umur tanaman berserta cara pengendaliannya, dan biaya produksi.
Wawancara dilakukan di rumah atau di lahan petani contoh dengan menggunakan
daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya (Lampiran 1).

Penentuan Lahan Pengamatan dan Petak Contoh


Penelitian dilaksanakan dengan melakukan pengamatan pada lahan petani di
Desa Benteng, Cibanteng dan Nagrog, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat. Pada setiap desa diamati 4-5 lahan tanaman jagung manis, untuk
Desa Benteng 4 lahan, yaitu Benteng 1, Benteng 2, Benteng 3 dan Benteng 4;
untuk Desa Cibanteng 5 lahan, yaitu Cibanteng 1, Cibanteng 2, Cibanteng 3,
Cibanteng 4 dan Cibanteng 5; dan untuk Desa Nagrog 5 lahan, yaitu Nagrog 1,
Nagrog 2, Nagrog 3, Nagrog 4 dan Nagrog 5. Setiap lahan diamati tiga kali.
Selain itu, untuk mengetahui perkembangan hama dan penyakit dilakukan juga
pengamatan mingguan pada satu lahan di Desa Benteng (Benteng 5). Pada setiap
lahan diamati lima petak contoh, satu terletak di perpotongan garis diagonal
petakan dan empat lainnya terletak pada garis-garis diagonal sekitar satu meter
dari sudut petakan. Masing-masing petakan terdiri dari 10 tanaman contoh.
Dengan demikian pada setiap lahan diamati 50 tanaman contoh.
19

Pengamatan Hama dan Penyakit

Pengamatan hama dan penyakit dilakukan secara langsung pada setiap


tanaman contoh dengan mengidentifikasi jenis hama dan penyebab penyakit.
Hama yang tidak dapat diidentifikasi di lapangan dimasukkan ke dalam alkohol
70% dan untuk tanaman yang bergejala penyakit dibawa ke laboratorium untuk
diidentifikasi.
Pengamatan dilakukan terhadap tanaman contoh yang dihitung berdasarkan
persentase tanaman terserang hama dan intensitas penyakit. Persentase tanaman
yang terserang hama dihitung menggunakan rumus:

n
Persentase serangan = ⎯ X 100%
N
n = jumlah tanaman yang terserang
N = jumlah tanaman contoh yang diamati

Penyakit bulai umumnya terjadi pada tanaman stadium muda dan


menyebabkan kematian, oleh karena itu intensitas penyakit ini dihitung
berdasarkan proporsi tanaman yang terserang terhadap jumlah tanaman yang
diamati yang dinyatakan dalam persen.
Intensitas penyakit hawar daun dan karat masing-masing dihitung
berdasarkan proporsi luasan daun yang menunjukkan gejala (hawar/karat)
terhadap seluruh luasan daun yang diamati.
Perbedaan serangan hama dan intensitas penyakit di setiap desa dianalisis
dengan statistik uji-t pada taraf kepercayaan 5% dengan menggunakan program
MINITAB 14.

Analisis Usahatani

Analisis usahatani menggunakan metode Soekartawi (1995).


1. Analisis Penerimaan Usahatani
Penerimaan usahatani dapat dihitung dengan rumus:

Penerimaan = jumlah produksi X harga jual persatuan

Analisis penerimaan usahatani merupakan analisis penerimaan yang


20

diperoleh petani sebelum dikurangi biaya-biaya. Jangka waktu penerimaan


usaha tani jagung dinyatakan dalam kurun waktu satu musim tanam.
2. Analisis Biaya Usahatani
Biaya merupakan komponen penting dalam melakukan kegiatan usahatani.
Biaya usahatani dapat berbentuk biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya
tunai adalah biaya yang dibayar dengan uang, komponen biaya tunai seperti
biaya benih (kg), pupuk (karung/kg), pestisida (kaleng/ml), dan tenaga kerja.
Biaya diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya
pendapatan kerja petani dan modal. Komponen biaya diperhitungkan seperti
sewa lahan dan penyusutan peralatan.
3. Analisis Pendapatan Usahatani
Analisis pendapatan usahatani bertujuan untuk mengetahui besar keuntungan
yang diperoleh dari usaha yang dilakukan. Untuk menghitung pendapatan
usahatani digunakan rumus:

Pendapatan = TR – TC
Pendapatan = (PxQ) – (Biaya Tunai + Biaya Diperhitungkan)
TR = Total Penerimaan
TC = Total Biaya
4. Analisis Efisiensi Usahatani
Return Cost Ratio (R/C) atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara
penerimaan dan biaya. Analisis R/C ratio bertujuan untuk menguji sejauh
mana hasil yang diperoleh dari usahatani tertentu. R/C meliputi R/C tunai dan
R/C total, R/C tunai merupakan perbandingan penerimaan dengan biaya tunai
sedangkan R/C total merupakan perbandingan penerimaan dengan total biaya
yang dikeluarkan. Apabila nilai R/C ratio > 1, berarti penerimaan yang
diperoleh lebih besar daripada tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh penerimaan tersebut, apabila nilai R/C ratio < 1 maka tiap unit
yang dikeluarkan akan lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh,
sedangkan untuk kegiatan usaha yang memiliki R/C ratio = 1, berarti kegiatan
usaha berada pada keuntungan normal (normal profit).
21

Rumus yang digunakan :


Penerimaan Total QxP
R/C ratio = =
Biaya Total BT + BD

Q = Total Produksi (Kg)


P = Harga Jual Produk (Rp)
B = Biaya Tunai (Rp)
BD = Biaya Diperhitungkan (Rp)
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lahan Pertanaman Jagung Manis


Tiga desa pengamatan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor. Desa Benteng dan Desa Cibanteng terletak pada ketinggian
250 m di atas permukaan laut (dpl) dengan curah hujan 1000-1500 mm/tahun dan
suhu udara rata-rata 260 C, sedangkan Desa Nagrog terletak pada ketinggian 500
m dpl dengan curah hujan sekitar 4000 mm/tahun dan suhu rata-rata 230 C. Pada
umumnya lahan pertanian di Desa Benteng dan Desa Cibanteng ditanami jagung
manis, ubi jalar, ubi kayu dan padi sawah, sedangkan di Desa Nagrog ditanami
jagung manis dan sayuran seperti caisin, terong, bawang daun dan padi sawah.
Mata pencaharian penduduk di tiga desa tersebut umumnya sebagai petani,
buruh/jasa, dan pegawai/karyawan. Umur petani responden berkisar antara 22-45
tahun, pendidikan minimal sampai tingkat dasar (SD) dan maksimal sampai
SLTP, pengalaman berusahatani jagung manis berkisar 5-15 tahun.
Jagung manis yang umum ditanam oleh petani adalah varietas hawai
(varietas hibrida), yang benihnya diperoleh dari kios pertanian atau penakar benih.
Luas lahan yang ditanami jagung manis berkisar antara 200-4000 m2. Umumnya
petani memiliki lahan sendiri, sebagai pemilik dan penggarap. Petani
menggunakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran kambing atau kotoran
ayam serta pupuk buatan seperti urea, TSP, dan KCL sebagai pupuk dasar.
Seluruh petani contoh tidak melakukan pengendalian hama dan penyakit
secara kimiawi dengan pestisida, karena dianggap biaya pengendalian ini cukup
mahal. Selain itu, hama dan penyakit dianggap tidak merugikan dan tidak perlu
dikendalikan dengan pestisida. Satu petani contoh, yaitu di lahan Benteng 4 tidak
melakukan pengendalian gulma.
Petani biasanya melakukan rotasi tanaman jagung manis dengan tanaman
lain seperti padi, ubi jalar dan ubi kayu. Pola tanam yang dilakukan petani yang
lahannya diamati adalah monokultur dan tumpangsari dengan ubi jalar. Jagung
manis umumnya dipanen muda, yaitu pada umur 60-75 hari. Hasil panen dapat
langsung dijual di kebun, di pasar atau dijual kepada pedagang pengumpul.
23

Sistem pola tumpangsari yang dilakukan sebagian petani bertujuan untuk


meminimalisir resiko jika terjadi penurunan harga jagung manis dan untuk
kesinambungan pendapatan dari tanaman yang ditumpangsarikan dengan jagung.

Hama
Hama yang ditemukan di lahan pengamatan adalah penggerek batang
(Ostrinia furnacalis Guenee.), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera
Hubner.), belalang (Oxya spp.), kutu daun (Rhopalosiphum maidis Fitch.), dan
ditemukan juga gejala serangan tikus.
Berdasarkan hasil pengamatan mingguan yang dilakukan sejak 2 MST di
lahan Benteng 5, serangan O. furnacalis ditemukan pada pengamatan kelima saat
tanaman berumur 6 MST sedangkan serangan H. armigera ditemukan pada
tongkol jagung pada pengamatan keenam (7 MST) (Tabel 2). Serangan O.
furnacalis mulai ditemukan dengan persentase serangan sebesar 8% dan terus
meningkat hingga mencapai 14.0% pada 9 dan 10 MST. Serangan H. armigera
mulai ditemukan dengan persentase serangan sebesar 2.0% dan terus meningkat
pada pengamatan selanjutnya hingga 6.0%. Tingkat serangan kedua hama ini
sangat rendah karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain yaitu
tingginya curah hujan sehingga kelembaban lingkungan menjadi tinggi. Kondisi
seperti ini tidak sesuai bagi perkembangan kedua hama ini. Menurut Kalshoven
(1981) kelembaban lingkungan yang rendah dan suhu yang hangat merupakan
kondisi yang ideal bagi perkembangan kedua hama ini.

Tabel 2 Perkembangan serangan O. furnacalis dan H. armigera pada lahan


pengamatan mingguan
Umur tanaman *) O. furnacalis (%) H. armigera (%)
2 MST 0.0 0.0
3 MST 0.0 0.0
4 MST 0.0 0.0
5 MST 0.0 0.0
6 MST 8.0 0.0
7 MST 10.0 2.0
8 MST 10.0 6.0
9 MST 14.0 6.0
10 MST 14.0 6.0
*) minggu setelah tanam
24

Hasil pengamatan pada 9 lahan dengan dua macam pola tanam, yaitu
monokultur dan tumpang sari yang dilakukan ketika tanaman berumur 7, 8 dan 9
MST, menunjukkan bahwa serangan O. furnacalis dan H. armigera sangat
beragam menurut lahan dan waktu pengamatan (Tabel 3).

Tabel 3 Persentase serangan O. furnacalis dan H. armigera di sembilan lahan


pengamatan
Lahan O. furnacalis (%) H. armigera (%)
Pola Tanam
pengamatan 7 8 9 7 8 9
MST *) MST MST MST MST MST
Benteng 1 Monokultur 6.0 14.0 18.0 8.0 8.0 8.0
Benteng 2 Monokultur 2.0 6.0 8.0 4.0 4.0 8.0
Benteng 3 Monokultur 0.0 0.0 0.0 2.0 2.0 4.0
Benteng 4 Monokultur 2.0 2.0 4.0 6.0 10.0 12.0
Benteng 5 Monokultur 10.0 10.0 14.0 2.0 6.0 6.0
rata-rata 4.0 6.4 8.8 4.4 6.0 7.6
Cibanteng 1 Tumpangsari 10.0 18.0 24.0 6.0 6.0 10.0
Cibanteng 2 Tumpangsari 10.0 14.0 16.0 4.0 4.0 6.0
Cibanteng 3 Tumpangsari 6.0 10.0 14.0 4.0 6.0 8.0
Cibanteng 4 Tumpangsari 4.0 6.0 8.0 6.0 6.0 8.0
Cibanteng 5 Tumpangsari 6.0 8.0 8.0 6.0 8.0 8.0
rata-rata 7.2 11.2 14.0 5.2 6.0 8.0
Nagrog 1 Tumpangsari 14.0 18.0 20.0 12.0 14.0 14.0
Nagrog 2 Tumpangsari 2.0 8.0 12.0 8.0 8.0 10.0
Nagrog 3 Tumpangsari 10.0 16.0 22.0 10.0 12.0 14.0
Nagrog 4 Tumpangsari 4.0 8.0 12.0 6.0 8.0 8.0
Nagrog 5 Tumpangsari 6.0 10.0 12.0 4.0 6.0 6.0
rata-rata 7.2 12.0 15.6 8.0 9.6 10.4

*) minggu setelah tanam

Penggerek Batang Jagung (O. furnacalis)


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata serangan O. furnacalis
cukup beragam menurut tempat dan waktu pengamatan. Gejala serangan hama ini
ditemukan pada daun-daun teratas sehingga daun menjadi berlubang (Gambar 1d).
25

Selanjutnya gejala serangan hama ini ditemukan pada bagian batang tanaman
berupa lubang gerek yang disertai kotoran di sekitar lubang (Gambar 1b). Hasil
identifikasi, larva yang ditemukan pada batang jagung manis berwarna kuning
kecoklatan dengan kepala berwarna hitam (Gambar 1a dan 1c).

a b

c d
Gambar 1 (a) larva pada batang jagung (b) gejala gerekan pada batang
(c) larva O. furnacalis (d) gejala pada daun

Menurut Subandi et al. (1988) pada stadia pertumbuhan malai larva instar I
dan III akan makan daun muda yang masih menggulung dan pada permukaan
daun yang terlindung dari daun yang telah membuka sedangkan larva instar IV
dan VI mulai menggerek pada bagian buku dan masuk ke dalam lubang.
Serangan O. furnacalis di tiga desa baik monokultur maupun tumpangsari
sudah ditemukan pada pengamatan pertama (7 MST). Serangan O. furnacalis
berkisar antara 0 hingga 24.0% (Tabel 3). Di setiap desa pengamatan serangan
hama ini makin meningkat dengan makin bertambahnya umur tanaman. Di Desa
Benteng (monokultur) rata-rata serangan hama ini pada setiap pengamatan (7, 8, 9
MST) berturut-turut sekitar 4.0%, 6.4% dan 8.8%. Di Desa Cibanteng
26

(tumpangsari) rata-rata serangan berturut-turut sekitar 7.2%, 11.2% dan 14.0%.


Di Desa Nagrog (tumpangsari) berturut-turut sekitar 7.2%, 12.0% dan 15.6%.
Rata-rata serangan hama tertinggi terdapat di Desa Nagrog (tumpangsari)
sedangkan terendah terdapat di Desa Benteng (monokultur). Pada lahan
pengamatan Benteng 3 serangan hama ini tidak ditemukan pada tanaman contoh
karena 52.0% tanaman jagung manis terkena penyakit bulai saat tanaman masih
muda sehingga imago penggerek batang ini tidak dapat meletakkan telur pada
tanaman jagung manis. Menurut Kalshoven (1981) puncak peletakan telur
penggerek batang terjadi pada stadia pembentukan malai sampai keluarnya bunga
jantan.
Di Desa Nagrog (tumpangsari) rata-rata serangan O. furnacalis tinggi
karena curah hujan lebih rendah dibandingkan saat pengamatan di Desa Benteng
(curah hujan tinggi), tanaman jagung memperoleh lebih banyak cahaya matahari
sehingga suhu menjadi hangat dan kelembaban lingkungan pertanaman lebih
rendah. Tanaman jagung manis tumbuh dengan baik sehingga penggerek batang
ini dapat meletakkan telur pada malai atau bunga jantan. Menurut Subandi et al.
(1988) kelompok telur yang diletakkan selama fase pembentukan bunga jantan
sampai rambut tongkol berwarna coklat, larvanya memberi kontribusi terbesar
terhadap kerusakan tanaman.
Penggerek batang ini sulit dikendalikan karena larvanya berada di dalam
batang. Petani beraggapan bahwa pengendalian tidak perlu dilakukan karena
populasi hama ini dianggap rendah dan tidak terlalu berpengaruh terhadap
produksi tongkol. Selain itu, biaya penggunaan pestisida dianggap terlalu mahal,
tidak sepadan dengan peningkatan hasil yang didapatkan. Menurut Pabbage et al.
(2007) aplikasi insektisida dianjurkan apabila telah ditemukan satu kelompok telur
per 30 tanaman. Menurut Kalshoven (1981) ambang batas pengendalian O.
furnacalis adalah jika pada satu tanaman terdapat 5-6 larva. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa jumlah larva yang ditemukan dalam satu tanaman terserang
tidak lebih dari satu larva (satu liang gerek). Kehilangan hasil jagung selain
dipengaruhi oleh padatnya populasi larva O. furnacalis juga ditentukan oleh umur
tanaman saat terserang. Kehilangan hasil terbesar dapat terjadi ketika serangan
tinggi pada fase reproduktif. Keberadaan hama pada lahan pengamatan tidak
27

berpengaruh terhadap hasil produksi tongkol jagung manis karena jagung manis
ditanam pada musim hujan. Menurut Pabbage et al. (2007) waktu tanam yang
baik untuk menghindari serangan penggerek batang adalah pada awal musim
hujan dan paling lambat empat minggu sejak mulai musim hujan. Penggerek
batang jagung ini mempunyai lebih dari satu generasi dalam setahun karena
didukung oleh curah hujan yang memberikan pengaruh penting pada aktivitas
ngengat dan oviposisinya.
Serangan hama ini di setiap desa pada umur 7, 8, dan 9 MST baik pada
monokultur maupun tumpangsari tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Hal ini
sesuai dengan yang di kemukakan oleh Nafus dan Schreiner (1991) bahwa
gerekan O. furnacalis pada batang tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan
hasil tanaman jagung.
Ulat Tongkol (H. armigera)
Hasil pengamatan pada tanaman jagung manis di tiga desa baik monokultur
maupun tumpangsari larva H. armigera ditemukan pada pengamatan pertama (7
MST). Larva H. armigera ditemukan pada rambut tongkol. Kerusakan yang
ditimbulkan akibat keberadaan hama ini yaitu tongkol jagung manis menjadi
rusak. Menurut Kalshoven (1981), larva instar 1 akan makan rambut tongkol dan
kemudian membuat lubang masuk ke tongkol (Gambar 2a). Menurut La Daha et
al. (1993) larva H. armigera memiliki kebiasaan makan secara berpindah dari satu
buah ke buah lainnya, sehingga jumlah buah yang dirusak selalu lebih banyak
daripada jumlah larva yang ada pada tanaman. Hasil identifikasi larva H.
armigera berwarna hijau dengan garis pada bagian dorsal berwarna hitam
(Gambar 2b).

a b
Gambar 2 (a) gejala penggerek tongkol (b) larva H. armigera
28

Tingkat serangan hama H. armigera pada tiga desa pengamatan cukup


beragam menurut tempat dan waktu pengamatan. Tingkat serangan H. armigera
di tiga desa pengamatan makin tinggi dengan makin bertambahnya umur tanaman.
Desa Benteng (monokultur) merupakan desa yang paling rendah tingkat serangan
H. armigera nya yaitu berkisar antara 2.0-12.0% (Tabel 3). Tingkat serangan
tertinggi terdapat di Desa Nagrog (tumpangsari) berkisar antara 4.0-14.0%.
Tingginya serangan hama ini di Desa Nagrog (tumpangsari) dibandingkan dengan
di Desa Benteng (monokultur) disebabkan karena pada saat pengamatan (7, 8, 9
MST) curah hujan di Desa Nagrog lebih rendah, tanaman jagung mendapatkan
cahaya matahari dibandingkan dengan di Desa Benteng (curah hujan tinggi)
sehingga suhunya lebih hangat dan kelembabannya lebih rendah. Menurut
Kalshoven (1981) kelembaban lingkungan yang rendah dan suhu yang hangat
merupakan kondisi yang ideal bagi perkembangan larva H. armigera dan Sarwono
(2003) juga mengatakan periode perkembangan larva H. armigera sangat
bergantung pada suhu dan makannya.
Keberadaan hama ini di pertanaman jagung manis tidak dikendalikan oleh
petani karena tidak mempengaruhi produksi jagung manis. Menurut La Daha et
al. (1993) ambang tindakan pengendalian hama H. armigera adalah 0,1 ekor per
tanaman. Tindakan petani dengan tidak melakukan pengendalian dengan pestisida
merupakan keputusan yang benar, karena pada lahan pengamatan hama yang
ditemukan kurang dari 0,1 ekor per tanaman.
Berdasarkan uji-t (Lampiran 2) serangan H. armigera tidak menunjukan
adanya perbedaan nyata pada taraf kepercayaan 5% di semua desa baik yang
dibudidayakan secara monokultur maupun tumpangsari.

Belalang (Oxya sp.)


Belalang ini hanya ditemukan di lahan Benteng 1, tubuhnya berwarna hijau,
antenanya pendek, ujung abdomennya tumpul, mempunyai timpanum pada ruas
abdomen pertama, dan bagian dorsal tubuh belalang berwarna hitam (Gambar 3).
Berdasarkan ciri-ciri tersebut belalang ini diidentifikasi sebagai Oxya sp.
(Orthophtera : Acrididae). Belalang ini baik nimfa maupun imagonya memakan
daun jagung manis. Gejala yang ditimbulkan yaitu gerigitan pada bagian tepi
daun.
29

Gambar 3 Belalang Oxya sp.

Kutu daun (R. maidis)


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada umumnya koloni kutu daun
terdapat pada kelobot jagung (Gambar 4a). Hama ini ditemukan pada lahan
Benteng 4 dan bukan pada tanaman contoh. Berdasarkan warna dan
morfologinya, kutu daun yang ditemukan adalah R. maidis (Gambar 4b). Menurut
Kalshoven (1981) R. maidis muncul setelah 4-5 minggu setelah musim hujan dan
membentuk koloni yang besar pada daun namun setelah 2 bulan populasi kutu
daun ini menurun. Serangga ini lebih cocok pada kondisi suhu yang hangat dan
kelembaban yang rendah.
Keberadaan hama ini mungkin berhubungan dengan banyaknya gulma yang
tidak dikendalikan. Gejala akibat serangan kutu daun ini berupa bercak-bercak
kecil pada kelobot. Kutu daun menghasilkan embun madu yang dikeluarkan
melalui sersinya yang merupakan nutrisi bagi cendawan penyebab penyakit
embun jelaga. Gejala yang ditimbulkan tidak berpengaruh terhadap produksi
tongkol walaupun hampir menutupi sebagian kelobot jagung karena hanya
menyerang beberapa lapis kelobot saja.

a b

Gambar 4 Gejala pada kelobot jagung (a) R. maidis (b)


30

Tikus (Rattus argentiventer)


Gejala serangan tikus ditemukan di lahan Benteng 4. Tikus menyerang
tanaman jagung manis pada fase generatif atau fase pengisian tongkol, sehingga
tongkol mengalami kerusakan (Gambar 5). Tikus memakan biji jagung mulai dari
ujung sampai bagian tengah tongkol. Gejala serangan tikus ini ditemukan hanya
pada satu tanaman dan bukan pada tanaman contoh. Keberadaan hama tikus di
lahan ini disebabkan banyaknya gulma yang tidak dikendalikan.

Gambar 5 Gejala serangan tikus pada tongkol jagung

Penyakit
Penyakit yang ditemukan selama penelitian didominasi oleh penyakit hawar
daun (Helminthosporium turcicum Pass.), penyakit karat (Puccinia sorghi
Schwein.) dan penyakit bulai (Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw.). Selain
itu, ditemukan juga penyakit lain seperti hawar yang disebabkan Curvularia sp.
dan Rhizoctonia solani Kuhn. pada satu lahan pengamatan di Desa Benteng.
Berdasarkan hasil pengamatan mingguan yang dilakukan sejak 2 MST di
lahan Benteng 5, awal kemunculan penyakit bulai, hawar daun dan karat tidak
menunjukkan adanya perbedaan, semuanya mulai muncul pada 3 MST, kemudian
terus meningkat dengan laju yang relatif berbeda antar jenis penyakit (Tabel 4).
Penyakit bulai mulai tampak dengan intensitas 10.0% dan tidak mengalami
peningkatan lagi. Penyakit karat mulai muncul dengan intesitas yang sangat
rendah (1.0%) kemudian meningkat terus hingga 9 MST yang mencapai intensitas
10.4%. Sementara itu penyakit hawar daun mulai muncul dengan intensitas yang
31

juga sangat rendah (0.6%) kemudian meningkat hingga pada 9 MST dengan
intesitas mencapai 7.5%.

Tabel 4 Perkembangan intensitas penyakit hawar, karat dan bulai pada lahan
mingguan
Umur Hawar Karat Bulai
Tanaman *) Intensitas (%) Intensitas (%) Iintensitas (%)
2 MST 0.0 0.0 0.0
3 MST 0.6 1.0 10.0
4 MST 1.1 1.9 10.0
5 MST 1.7 3.0 10.0
6 MST 2.1 3.1 10.0
7 MST 3.1 6.2 10.0
8 MST 4.9 9.0 10.0
9 MST 7.5 10.4 10.0
10 MST 7.5 10.4 10.0
*) minggu setelah tanam

Hasil pengamatan pada 9 lahan dengan dua macam pola tanam yaitu
monokultur dan tumpangsari yang dilakukan ketika tanaman berumur 7, 8 dan 9
MST, menunjukkan bahwa baik intensitas penyakit hawar daun, penyakit karat
maupun penyakit bulai dapat dikatakan sangat beragam menurut lahan dan waktu
pengamatan (Lampiran 3). Namun, berdasarkan hasil uji–t, antar desa atau antar
pola tanam yang berbeda tidak menunjukkan adanya perbedaan kecuali pada Desa
Cibanteng dan Nagrog pada umur tanaman 7 MST intensitas penyakit karat
berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5% (Lampiran 4). Intensitas kumulatif tiga
jenis penyakit ini cukup tinggi karena jagung manis ditanam ketika musim hujan.
Sangat diyakini peran ketiga jenis penyakit ini dalam penurunan produksi tongkol
cukup signifikan.

Penyakit hawar daun (H. turcicum)


Penyakit hawar daun ditemukan di semua lahan pengamatan berupa bercak
nekrotik kering yang meluas (hawar) berwarna coklat (Gambar 6a). Penyakit
hawar daun ini disebabkan oleh H. turcicum yang mempunyai konidium lurus
atau agak melengkung, jorong atau berbentuk gada terbalik, pucat atau berwarna
coklat jerami, dan mempunyai 4-9 sekat (Gambar 6b).
Penyakit hawar terlihat sejak tanaman berumur 7 MST. Intensitas penyakit
hawar daun berkisar antara 5.2 hingga 42.8%. Intensitas penyakit hawar yang
32

ekstrim tinggi (42.8%) yang terjadi pada lahan Benteng 4 diduga berkaitan erat
dengan kondisi sanitasi gulma yang tidak dilakukan sehingga mengakibatkan
kelembaban mikro menjadi sangat tinggi dan cocok bagi perkembangan penyakit
hawar daun ini. Intensitas penyakit setinggi ini memiliki kontribusi yang sangat
tinggi dalam penurunan produksi tongkol. Bersama-sama dua jenis penyakit
lainnya yaitu penyakit bulai dan karat di lahan Benteng 4 serta sanitasi dan
kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan ketiga penyakit tersebut
kehilangan hasil panen mencapai 40.0%. Walaupun tidak setinggi pada lahan
Benteng 4, pada lahan-lahan lainnya intensitas penyakit ini relatif tinggi yaitu
berkisar antara 8.0 hingga 19.6%, dan diduga mempunyai kontribusi dalam
rendahnya tingkat produksi tongkol jagung manis. Relatif tingginya intensitas
penyakit hawar daun ini berkaitan dengan musim tanam yang jatuh pada musim
hujan. Penyakit hawar daun pada jagung berkembang baik dalam kondisi curah
hujan yang tinggi, suhu yang relatif rendah dan intensitas penyinaran matahari
yang kurang (Sudjono 1989 dalam Subandi et al. 1988). Produktivitas tanaman
jagung manis secara signifikan dipengaruhi tingkat kerusakan tanaman oleh
penyakit hawar. Pada musim hujan umumnya serangan terjadi sangat berat, bisa
mencapai 50-70% atau lebih terutama ditempat dengan elevasi yang tinggi lebih
dari 500 m dpl (Adnan 2008).

a b
Gambar 6 Gejala hawar daun (a) H. turcicum (b)

Penyakit Karat (P. sorghi)


Gejala penyakit karat ditemukan pada semua lahan yang diamati, yaitu
berupa bintik-bintik karat kecil berwarna merah kecoklatan yang tampak jelas
baik dari permukaan atas maupun permukaan bawah daun (Gambar 7a). Penyakit
33

karat yang ditemukan disebabkan oleh P. sorghi yang mempunyai urediospora


berbentuk bulat atau agak lonjong berwarna coklat (Gambar 7b).
Gejala penyakit ini mulai terlihat pada 7 MST dengan intensitas berkisar
antara 9.2 hingga 22.0% kemudian terus meningkat pada 9 MST dengan intensitas
berkisar antara 12.3 hingga 29.6%. Seperti halnya pada penyakit hawar daun,
penyakit karat tertinggi pada lahan Benteng 4, disebabkan oleh kurangnya sanitasi
gulma di lahan tersebut yang mengakibatkan kondisi lingkungan terutama
kelembaban mikro sangat cocok bagi perkembangan penyakit karat, sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Subandi et al. (1988) bahwa penyakit karat berkembang
baik jika suhu udara rendah dan kelembaban lingkungan tinggi. Walaupun
menurut Semangun (2004) penyakit karat pada tanaman jagung dirasa kurang
merugikan dan sampai sekarang belum ada usaha yang khusus untuk
pengendaliannya. Namun bersama-sama dengan penyakit lainnya, diduga
memiliki kontribusi dalam penurunan produktivitas tanaman jagung.

a b
Gambar 7 Gejala pada permukaan daun (a) P. sorghi (b)

Penyakit Bulai (P. maydis)


Penyakit bulai ditemukan di semua lahan pengamatan dengan gejala khas
pada daun tanaman jagung manis yang masih muda, yaitu daun berwarna kuning
keputih-putihan disebut bulai (Gambar 8a). Selain itu, pada daun yang agak tua
terdapat bercak klorotik membentuk jalur yang sejajar dengan tulang daun
(Gambar 8b) .
34

a b
Gambar 8 Gejala bulai pada tanaman muda (a) gejala pada daun tua (b)

Penyakit ini ditemukan sejak pengamatan pertama (7 MST) namun tidak


mengalami peningkatan hingga pengamatan terakhir (9 MST). Intensitas penyakit
ini cukup bervariasi antar lahan yang diamati, yaitu berkisar antara 8.0 hingga
52.0% (Lampiran 3). Ekstrim tertinggi (52.0%) terjadi hanya di lahan Benteng 3
diduga berkaitan erat dengan varietas yang ditanam di lahan itu, yaitu varietas
hawai kulit lunak yang menurut kebanyakan petani varietas tersebut tergolong
sangat rentan terhadap penyakit bulai. Penyakit bulai yang terdapat pada lahan
pengamatan di Desa Benteng sebagian besar terjadi pada tanaman stadium muda,
yang mengakibatkan tanaman tidak berkembang dan tidak menghasilkan tongkol.
Menurut Semangun (2004), tanaman yang terinfeksi pada waktu masih muda
biasanya tidak membentuk buah. Gejala penyakit bulai pada tanaman muda dapat
terjadi secara sistemik pada seluruh bagian tanaman dan pada tanaman yang agak
tua dapat berupa bercak-bercak klorotik lokal (White 1999).
Pengendalian yang dilakukan oleh petani hanya sebatas pencabutan tanaman
yang terserang. Menurut petani, kehilangan hasil akibat penyakit bulai dapat
mencapai 90% lebih bila terjadi sejak tanaman masih muda. Tanpa adanya
penyakit bulai hasil panen jagung manis, biasanya mencapai 10 ton/ha tetapi
dengan intensitas penyakit bulai yang tinggi, petani hanya memperoleh hasil
panen sebesar 400 kg/ha, 4% dari produksi optimal atau menurun 96%. Menurut
Semangun (2004) kerugian akibat penyakit bulai dapat mencapai 100%.
Pada umumnya petani menanam jagung pada bulan September dan Oktober
bertepatan dengan musim penghujan. Menurut Van Hail (1919 dalam Subandi et
al. 1988) penyakit lebih banyak terdapat pada tanaman jagung ketika musim
hujan. Menurut White (1999) air gutasi sangat membantu perkecambahan spora
35

dan infeksi hanya terjadi jika ada air bebas, baik air embun, air hujan maupun air
gutasi. Selain itu, penyakit bulai lebih banyak terdapat pada tanaman jagung
manis yang tumbuh di tanah berat. Jagung manis yang tumbuh di tanah banyak
mengandung bahan organik akan tumbuh dengan baik dan kurang mendapat
gangguan penyakit bulai.

Penyakit Hawar (Curvularia sp.)


Gejala serangan cendawan ini ditemukan pada lahan pengamatan Benteng 4,
yaitu adanya hawar daun berwarna coklat tidak beraturan yang menyebabkan
seluruh helai daun terserang menjadi kering. Gejala serangan cendawan ini mula-
mula berupa bercak tidak beraturan pada tepi daun yang lama-kelamaan akan
meluas kebagian pangkal daun dengan pusat bercak berwarna keputih-keputihan
dan bagian tepinya berwarna coklat tua (Gambar 10a), hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh White (1999) .

a b
Gambar 10 Gejala hawar pada daun (a) Curvularia sp. (b)

Penyakit ini disebabkan oleh Curvularia sp. Cendawan ini membentuk


konidia berwarna coklat jerami fusiform atau agak melengkung dan memiliki tiga
sampai lima septa, dengan salah satu pusat sel yang lebih besar dan gelap
(Gambar 10b). Hawar yang disebabkan oleh Curvularia sp. dengan hawar yang
disebabkan H. turcicum sulit dibedakan karena gejala keduanya seringkali
menyatu. Gejala ini ditemukan bukan pada tanaman contoh yang diamati.

Penyakit Hawar (R. solani)


Berdasarkan hasil pengamatan penyakit hawar yang disebabkan R. solani
hanya ditemukan di lahan pengamatan Benteng 4. Cendawan ini ditemukan
menyerang pelepah daun (Gambar 11a), dan kelobot (Gambar 11c). Patogen ini
36

memiliki miselium hialin tidak membentuk spora aseksual atau konidia (Bernett
1999). Ciri khusus cendawan ini adalah membentuk miselium dengan
percabangan yang tegak lurus (Gambar 1b). Gejala lebih lanjut pada kelobot
dapat menyebabkan tongkol busuk sehingga jika serangan patogen ini tinggi dapat
mempengaruhi kualitas tongkol (Gambar 11d).

a b

c d
Gambar 11 Gejala hawar pada pelepah daun (a) miselium R. solani (b) gejala
pada tongkol jagung (c dan d)

Analisis Usaha Tani


Sistem pola tanam yang dilakukan petani di tiga desa tersebut adalah
monokultur dan tumpangsari. Jagung manis ditumpangsarikan dengan ubi jalar.
Hal itu dilakukan karena tanaman tumpangsari seperti ubi jalar memiliki nilai jual
yang cukup tinggi berkisar Rp 1.500,00 sampai Rp 2.000,00 per kg. Harga jual
jagung manis ditingkat petani responden di sawah berkisar Rp 1.000,00 sampai
Rp 2.000,00 per kg jauh berbeda dengan harga jual pedagang pengecer di pasar
tradisional sebesar Rp 4.000,00 sampai Rp 4.500,00 per kg. Meskipun demikian
para petani tetap mendapatkan keuntungan walaupun sedikit. Masalah petani di
ketiga desa tersebut pada umumnya mengenai fluktuasi harga jual petani yang
37

sangat jauh. Fluktuasi harga jual jagung manis ditingkat petani menyebabkan
pendapatan yang diterima para petani menjadi rendah dan tidak stabil.
Pada tabel 5 dan 6 dapat dilihat R/C rasio pada pola tumpangsari lebih besar
dibandingkan dengan pola monokultur. R/C rasio pada pola tumpangsari antara
3,15-6,47. R/C rasio tertinggi terdapat pada lahan pengamatan Cibanteng 5
sebesar 6,47 yang artinya untuk setiap rupiah biaya total yang dikeluarkan maka
petani tersebut akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 6,47. R/C rasio pada
pola monokultur antara 0,13-3,52. R/C rasio tertinggi terdapat pada lahan
pengamatan Benteng 5 sebesar 3,52 yang artinya untuk setiap rupiah biaya total
yang dikeluarkan maka petani tersebut akan memperoleh penerimaan sebesar Rp
3,52.

Tabel 5 Analisis usahatani dengan pola tumpangsari


Lahan Cara Penerimaan Biaya total Pendapatan R/C
pengamatan budidaya (Rp) (Rp) (Rp) ratio
Cibanteng 1 Tumpangsari 720.000 230.500 489.500 3.12
Cibanteng 2 Tumpangsari 1.170.000 241.500 928.500 4.84
Cibanteng 3 Tumpangsari 2.350.000 651.000 1.699.000 3.60
Cibanteng 4 Tumpangsari 1.700.000 338.000 1.362.000 5.02
Cibanteng 5 Tumpangsari 1.500.000 231.500 1.268.500 6.47
Nagrog 1 Tumpangsari 4.100.000 796.000 3.304.000 5.15
Nagrog 2 Tumpangsari 835.000 241.500 593.500 3.45
Nagrog 3 Tumpangsari 1.735.000 462.000 1.273.000 3.75
Nagrog 4 Tumpangsari 5.545.000 1.299.000 4.246.000 4.26
Nagrog 5 Tumpangsari 1.075.000 244.000 831.000 4.40

Tabel 6 Analisis usahatani dengan pola monokultur


Lahan Cara Penerimaan Biaya total Pendapatan R/C
pengamatan budidaya (Rp) (Rp) (Rp) ratio
Benteng 1 Monokultur 1.220.000 750.000 470.000 1.62
Benteng 2 Monokultur 1.815.000 1.320.000 495.000 1.38
Benteng 3 Monokultur 225.000 1.657.000 -1.432.000 0.13
Benteng 4 Monokultur 1.200.000 670.000 530.000 1.79
Benteng 5 *) Monokultur 5.200.000 1.475.000 3.725.000 3.52

*) lahan pengamatan mingguan


38

Besarnya nilai R/C rasio pada pola tumpangsari disebabkan oleh


banyaknya jumlah produksi dan tingginya harga jual tanaman tumpangsari (ubi
jalar) yang dihasilkan petani. Selain itu, penggunaan biaya produksi yang tidak
terlalu besar menyebabkan nilai R/C rasio yang diterima petani cukup besar.
petani tidak membeli bibit ubi jalar karena biasanya petani mendapatkan bibit ubi
jalar dari petani lain atau biasanya mendapatkan dari pedagang pengumpul dengan
syarat petani harus menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul tersebut.
Petani tidak mengeluarkan biaya pemupukan. pengolahan tanah dan biaya
pestisida pada saat menanam ubi jalar. Menurut Gomez (1983 dalam Nugroho
1986) sistem pola tanam tumpangsari merupakan salah satu budidaya yang tidak
hanya menguntungkan petani dari segi pendapatan total tetapi dapat pula
memberikan jaminan produksi terhadap pengaruh iklim yang kurang
menguntungkan.
KESIMPULAN

Kesimpulan

Pada tanaman jagung manis di Desa Benteng, Cibanteng dan Nagrog yang
diteliti terdapat beberapa jenis hama dan penyakit yang beberapa di antaranya
berpotensi menurunkan produktivitas tanaman. Hama didominasi oleh O.
furnacalis dan H. armigera sedangkan penyakit didominasi oleh penyakit bulai
(Peronosclerospora maydis), karat (Puccinia sorghi), dan hawar daun
(Helminthosporium turcicum). Keberadaan hama pada lahan penelitian oleh
petani dianggap tidak berpengaruh terhadap produksi tanaman. Sementara itu,
penyakit yang berperan dalam penurunan produksi adalah penyakit bulai yang
dapat menurunkan hasil panen hingga 90% lebih. Budidaya jagung manis
dengan pola tumpangsari lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola
monokultur.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan AM. 2008. Pengaruh penyakit hawar daun (Helminthosporium turcicum


Pass.) terhadap kehilangan hasil tanaman jagung manis. Tidak
dipublikasikan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, IPB.
Agrios GN. 1997. Plant pathology. Edisi ke-4. New York: Academic Press.
Anonim. 1999. Sweet Corn-baby Corn. Bogor: Penebar Swadaya.
Bernett HL, Hunter BB. 1999. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. 4th edition.
Minesota: APS Press.
Bilman WS. 2001. Analisis pertumbuhan tanaman jagung manis (Zea mays
saccarata Sturt.), pergeseran komposisi gulma pada beberapa jarak tanam.
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 3(1): 25-30.
[CPC] Crop Protection Compendium. 2000. 2nd edition. Commenwealth
Agricultural Bureaux [CAB].
Daha L, Rauf A, Sosromarsono S, Kartosuwondo U, Manuwoto S. 1998.
Ekologi Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) di
pertanaman tomat. Buletin Hama dan penyakit Tumbuhan 10(2): 10-16.
Direktorat Gizi, Depkes RI. 1979. Komposisi Buah Jagung Manis. Jakarta:
Indonesia.
Hill D. 1983. Agricultural Insect Pests of the Tropics and Their Control. 2nd
edition. Cambridge: Cambridge University Press.
http://en.forkus.com/d/gejala hama dan penyakit tanaman
jagung.balitsereal.litbag.go.id.hta [20 Juni 2009].
http://en.forkus.com/d/gejala hama dan penyakit tanaman
jagung.balitsereal.litbag.go.id.htm [20 Juni 2009].
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan van der,
penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen
van de Cultuurgewassen in Indonesie.
M.S. Pabbage, A.M. Adnan, N. Nonci. 2007. Pengelolaan hama prapanen jagung.
Maros: Balai Penelitian Tanaman Jagung Maros.
Nafus DM dan Schreiner IH. 1991. Review of biology and control of the Asian
Corn Borer, Ostrinia furnacalis (Lepidoptera:Pyralidae). Trop Pest Manag
37: 41-56.
Nugroho HW. 1986. Stabilitas Produksi di dalam Budidaya Ubi Jalar dan Jagung
Secara Tumpangsari. Laporan Proyek, Fakultas Pertanian. Malang:
Universitas Brawijaya.
Price PW. 1984. Insect Ecology. New York: J Wiley.
Rubatzky WK dan Yamaguchi M. 1995. Sayuran Dunia. Bandung: ITB.
Russell EP. 1989. Enemies hyphotesis. A review of the effect of vegetational
diversity on predatory insect and parasitoids. Environ Entomol 18: 590-599.
41

Sanjaya L. 1995. Kombinasi pemupukan urea, TSP, dan KCL, terhadap


pertumbuhan dan produksi jagung manis SD II. Horticultura 5(2): 74-78.
Sarwono B, Pikukuh R, E Korlina dan Jumadi. 2003. Serangan ulat penggerek
tongkol Helicoverpa armigera pada beberapa galur jagung. Agrosian 5(2).
Semangun H. 1968. Penyakit Bulai (Sclerospora maydis) pada Jagung,
Khususnya Mengenai Cara Bertahannya Cendawan. Yogyakarta: UGM
Press.
Semangun H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia.
Yogyakarta: UGM Press.
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: UI-Press.
Subandi, Syam M, Widjono A. 1988. Jagung. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
Sudana W, Swastika DKS, Soerachman. 2002. Profitabilitas dan peluang
pengembangan jagung di Provinsi Lampung. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian 5: 40-53.
Suwarto, Setiawan A, Septariasari D. 2006. Pertumbuhan dan hasil dua klon
ubijalar dalam tumpangsari dengan jagung. Buletin Agronomi 34(2): 87-92.
Tampubolon BH. 2004. Pertumbuhan dan hasil tanaman jagung yang
ditumpangsarikan dengan Calopogonium caeruleum Hemsl. disertai
pemupukan nitrogen. Buletin Agronomi 32(1): 13-19.
Thompson HC dan Kelly WC. 1957. Vegetable Crops. 5th edition. New York:
McGraw-Hill Book Company, Inc.
Wawan, Sabiham S, Idris K, Djajakirana G, Anwar S. 2007. Keselarasan
penyediaan nitrogen dari pupuk hijau dan urea dengan pertumbuhan jagung
pada inceptisol Darmaga. Buletin Agronomi 35(3): 161-167.
White DG. 1999. Compendium of Corn Diseases. 3th ed. USA: APS Press.
W. Wakman dan Burhanuddin. 2005. Pengelolaan penyakit prapanen jagung.
Maros: Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Lampiran
43

Lampiran 1 Daftar pertanyaan praktek budidaya. sikap dan tindakan


pengendalian hama dan penyakit tanaman jagung manis
No. Daftar pertanyaan
1 Karakteristik petani
Nama
Umur
Pendidikan tertinggi
Pekerjaan utama
Pengalaman berusahatani jagung manis
Luas lahan jagung manis yang diusahakan
Status kepemilikan lahan
2 Budidaya jagung manis
Varietas jagung manis yang ditanam
Asal bibit
Jarak tanam jagung manis
Pola tanam
Rotasi tanaman
Penggunaan pupuk kandang. dosis/ha
Penggunaan pupuk anorganik. dosisi/ha
Pengendalian OPT
Hama dan penyakit yang biasa ditemukan

Pemanenan
3
Umur panen
Hasil panen
Pemasaran hasil panen
Kesulitan pemasaran
Biaya produksi
Penerimaan petani
Pendapatan petani
44

Lampiran 2 Uji-t serangan O. furnacalis dan H. armigera di tiga desa pengamatan


O. furnacalis H. armigera
Umur tanaman*) Lahan pengamatan Pola tanam
Rataan ± Stdev P-value Rataan ± Stdev P-value
Desa Benteng Monolultur 4,00 ± 4,00 4,40 ± 2,61
0,18 0,55
Desa Cibanteng Tumpangsari 7,20 ± 2,68 5,00 ± 1,10
Desa Benteng Monokultur 4,00 ± 4,00 4,40 ± 2,61
7 MST 0,29 0,09
Desa nagrog Tumpangsari 7,20 ± 4,82 8,00 ± 2,83
Desa Cibanteng Tumpangsari 7,20 ± 2,68 5,20 ± 1,10
1,00 0,06
Desa Nagrog Tumpangsari 7,20 ± 4,82 8,00 ± 2,83
Desa Benteng Monolultur 6,40 ± 5,73 6,00 ± 3,16
0,19 1,00
Desa Cibanteng Tumpngsari 11,20 ± 4,82 6,00 ± 1,41
Desa Benteng Monokultur 6,40 ± 5,73 6,00 ± 3,16
8 MST 0,13 0,12
Desa nagrog Tumpangsari 12,00 ± 4,69 9,60 ± 3,29
Desa Cibanteng Tumpangsari 11,20 ± 4,82 6,00 ± 1,41
0,79 0,07
Desa Nagrog Tumpangsari 12,00 ± 4,69 9,60 ± 3,29
Desa Benteng Monolultur 8,80 ± 7,29 7,60 ± 2,97
0,27 0,79
Desa Cibanteng Tumpngsari 14,00 ± 6,63 8,00 ± 3,58
Desa Benteng Monokultur 8,80 ± 7,29 7,60 ± 2,97
9 MST 0,12 0,22
Desa nagrog Tumpangsari 15,60 ± 4,98 10,40 ± 3,58
Desa Cibanteng Tumpangsari 14,00 ± 6,,63 8,00 ± 1,41
0,67 0,22
Desa Nagrog Tumpangsari 15,00 ± 4,98 10,40 ± 3,58

*) minggu setelah tanam


45

Lampiran 3 Intensitas penyakit hawar, karat, dan bulai pada pertanaman jagung manis di tiga desa pengamatan
Lahan Intensitas Intensitas Intensitas
Pola Tanam penyakit hawar (%) penyakit karat (%) Penyakit bulai (%)
pengamatan
7 MST 8 MST 9 MST 7 MST 8 MST 9 MST 7 MST *) 8 MST 9 MST
Benteng 1 Monokultur 5.2 6 8 9.2 11.2 13.2 14 14 14
Benteng 2 Monokultur 7.6 10.4 10.8 11.2 12 14.4 8 8 8
Benteng 3 Monokultur 5.2 6 8.8 9.2 11.6 15.2 52 52 52
Benteng 4 Monokultur 28 27.6 42.8 22 27 29.6 12 12 12
Benteng 5 Monokultur 3.1 4.95 7.5 6.2 9.0 10.4 10 10 10
rata-rata 11.5 12.5 17.6 12.9 15.45 18.1 21.5 21.5 21.5
Cibanteng 1 Tumpangsari 10.8 12.8 15.2 16.8 17.6 21.6 14 14 14
Cibanteng 2 Tumpangsari 14 16.8 19.6 14.8 16.4 18.4 10 10 10
Cibanteng 3 Tumpangsari 10.8 12.4 13.6 12.8 14.8 16.4 16 16 16
Cibanteng 4 Tumpangsari 9.6 11.2 12.8 14 15.6 16.4 8 8 8
Cibanteng 5 Tumpangsari 12.4 15.6 18 11.2 12.4 14.4 14 14 14
rata-rata 11.52 13.76 15.84 13.92 15.36 17.44 12.4 12.4 12.4
Nagrog 1 Tumpangsari 13.2 15.5 16.4 10.8 11.6 13.2 18 18 18
Nagrog 2 Tumpangsari 13.2 14.8 16 10.4 12 12.8 10 10 10
Nagrog 3 Tumpangsari 10.4 12.4 12.8 9.2 10.8 11.6 12 12 12
Nagrog 4 Tumpangsari 13.6 16.8 17.2 11.6 14 14.4 16 16 16
Nagrog 5 Tumpangsari 15.2 15.6 16.8 10.8 12.8 13.2 12 12 12
rata-rata 13.12 15.02 15.84 10.56 12.24 13.04 13.6 13.6 13.6

*) minggu setelah ditanam


46

Lampiran 4 Uji-t rataan intensitas penyakit karat dan hawar pada tanaman jagung manis di tiga desa pengamatan
Intensitas Intensitas Intensitas
Umur Lahan
Pola tanam Penyakit hawar penyakit karat penyakit bulai (%)
Tanaman *) pengamatan
Rataan ± Stdev P-value Rataan ± Stdev P-value Rataan ± Stdev P-value
Desa Benteng Monolultur 9.80±10.30 11.56 ± 6.10 19.20 ± 18.50
0.73 0.46 0.46
Desa Cibanteng Tumpngsari 11.52±1.71 13.92 ± 2.11 12.40 ± 3.29
Desa Benteng Monokultur 9.80±10.30 11.56 ± 6.10 19.20 ± 18.50
7 MST 0.51 0.73 0.51
Desa nagrog Tumpangsari 13.12 ± 1.73 10.56 ± 0.87 13.60 ± 3.29
Desa Cibanteng Tumpangsari 11.52±1.71 13.92 ± 2.11 12.40± 3.29
0.10 0.02 0.58
Desa Nagrog Tumpangsari 13.12 ± 1.73 10.56 ± 0.87 13.60 ± 3.29
Desa Benteng Monolultur 10.99±9.52 14.16 ± 7.27 19.20 ± 18.50
0.56 0.74 0.46
Desa Cibanteng Tumpngsari 13.76±2.34 15.36 ± 1.95 12.40 ± 3.29
Desa Benteng Monokultur 10.99±9.52 14.16 ± 7.27 19.20 ± 18.50
8 MST 0.40 0.66 0.51
Desa Nagrog Tumpangsari 15.02 ± 4.24 12.24 ± 1.22 13.60 ± 3.29
Desa Cibanteng Tumpangsari 13.76±2.34 15.36 ± 1.95 12.40± 3.29
0.39 0.59 0.58
Desa Nagrog Tumpangsari 16.02±1.63 12.24 ± 1.22 13.60 ± 3.29
Desa Benteng Monolultur 15.60±15.30 16.56 ± 7.51 19.20 ± 18.50
0.97 0.81 0.46
Desa Cibanteng Tumpngsari 15.84±2.89 17.44 ± 2.72 12.40 ± 3.29
Desa Benteng Monokultur 15.60±15.30 16.56 ± 7.51 19.20 ± 18.50
9 MST 0.97 0.35 0.51
Desa nagrog Tumpangsari 15.84±1.76 13.04 ± 1.00 13.60 ± 3.29
Desa Cibanteng Tumpangsari 15.84±11.10 17.44 ± 2.72 12.40± 3.29
0.62 0.19 0.58
Desa Nagrog Tumpangsari 15.84±4.24 13.04 ± 1.00 13.60 ± 3.29

*) minggu setelah ditanam


47

Lampiran 5 Analisis usahatani jagung manis dengan pola monokultur dan


tumpangsari di tiga desa pengamatan

Lahan pengamatan C1 (300 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 295 kg 1.000 295.000
Ubi jalar 425 kg 1.000 850.000
Total 1.145.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 0.25 kg 50.000 12.500
Benih ubi jalar - 0 0
Pupuk kandang 7 karung 5.000 35.000
Pupuk TSP 3 kg 2.000 6.000
Pupuk KCL 1.5 kg 2.000 3.000
Pupuk Urea 6 kg 2.000 12.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 2 orang 25.000 50.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan ubi 1 orang 12.000 12.000
Tanam jagung 2 orang 25.000 50.000
Pemupukan
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 230.500
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 230.500
5. Pendapatan atas 914.500
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 914.500
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 4.96
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 4.96
total (1: 4)
48

Lahan pengamatan C2 (300 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 320 kg 1.000 320.000
Ubi jalar 425 kg 2000 850.000
Total 1.170.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 0.25 kg 50.000 12.500
Benih ubi jalar - 0 0
Pupuk kandang 6 karung 5.000 30.000
Pupuk TSP 3 kg 2.000 6.000
Pupuk KCL 1.5 kg 2.000 3.000
Pupuk Urea 6 kg 2.000 12.000
Pestisida 0.25 20.000 5.000
Upah tenaga kerja
Pengolahan 2 orang 25.000 50.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan ubi 2 orang 12.000 24.000
Tanam jagung 1 orang 25.000 25.000
Pemupukan 2 orang 12.000 24.000
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 241.500
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 241.500
5. Pendapatan atas 928.500
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 928.500
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 4.84
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 4.84
total (1: 4)
49

Lahan pengamatan C3 (1000 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 1.050 kg 1.000 1.050.000
Ubi jalar 1.300 kg 1.000 1.300.000
Total 2.350.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 1 kg 50.000 50.000
Benih ubi jalar - 0 0
Pupuk kandang 20 karung 5.000 100.000
Pupuk TSP 15 kg 2.000 30.000
Pupuk KCL 7.5 kg 2.000 15.000
Pupuk Urea 30 kg 2.000 60.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 3 orang x 2 hari 25.000 150.000
tanah 3 orang 25.000 75.000
Penyiangan ubi 4 orang 12.000 48.000
Tanam jagung 3 orang 25.000 75.000
Pemupukan 4 orang 12.000 48.000
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 651.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 651.000
5. Pendapatan atas 1.699.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 1.699.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 3.60
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 3.60
total (1: 4)
50

Lahan pengamatan C4 (500 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 500 kg 1.000 500.000
Ubi jalar 600 kg 2.000 1.200.000
Total 1.700.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 0.5 kg 50.000 25.000
Benih Ubi jalar - 0 0
Pupuk kandang 10 karung 5.000 50.000
Pupuk TSP 5 kg 2.000 10.000
Pupuk KCL 2.5 kg 2.000 5.000
Pupuk Urea 10 kg 2.000 20.000
Pestisida 0.25 kg 5.000 5.000
Upah tenaga kerja
Pengolahan 2 orang x 2 hari 25.000 100.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan ubi 2 orang 12.000 24.000
Tanam jagung 1 orang 25.000 25.000
Pemupukan 2 orang 12.000 24.000
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 338.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 338.000
5. Pendapatan atas 1.362.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 1.362.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 5.02
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 5.02
total (1: 4)
51

Lahan pengamatan C5 (400 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 400 kg 1.000 400.000
Ubi jalar 550 kg 2.000 1.100.000
Total 1.500.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 0.5 kg 50.000 25.000
Benih ubi jalar - 0 0
Pupuk kandang 10 karung 5.000 50.000
Pupuk TSP 5 kg 2.000 10.000
Pupuk KCL 2.5 kg 2.000 5.000
Pupuk Urea 10 kg 2.000 20.000
Pestisida 0.25 kg 5.000 5.000
Upah tenaga kerja
Pengolahan 1 orang x 2 hari 25.000 50.000
tanah 1 orang 25.000 25.000
Penyiangan ubi 1 orang 12.000 12.000
Tanam jagung 1 orang x ½ hari 17.500 17.500
Pemupukan 1 orang 12.000 12.000
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 231.500
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 231.500
5. Pendapatan atas 1.268.500
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 1.268.500
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 6.47
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 6.47
total (1: 4)
52

Lahan pengamatan B1 (1800 m2)


Uraian Jumlah Harga Jumlah
(satuan) (Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 1.160 kg 1.000 1.160.000
(Tengkulak) 1.500 60.000
40 kg (eceran)
Total 1.220.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 1 kg 50.000 50.000
Pupuk kandang 30 karung 5.000 150.000
Pupuk TSP 20 kg 2.000 40.000
Pupuk KCL 10 kg 2.000 20.000
Pupuk Urea 40 kg 2.000 80.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 3 orang x 2 hari 25.000 150.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan 5 orang 12.000 60.000
Penanaman 2 orang 25.000 50.000
Pemupukan
Total biaya tunai 650.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan 0.18 ha - 100.000
Total 100.000
4. Total biaya (2+3) 750.000
5. Pendapatan atas 570.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 470.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 1.87
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 1.62
total (1: 4)
53

Lahan pengamatan B2 (2500 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah (Rp)
(Rp/satuan)
1. Penerimaan
Jagung manis 1.770 kg 1.000 1.770.000
(tengkulak) 1.500 45.000
30 kg (eceran)
Total 1.815.000
2. Biaya tunai
Benih 1.5 kg 50.000 75.000
Pupuk kandang 50 karung 5.000 250.000
Pupuk TSP 30 kg 2.000 60.000
Pupuk KCL 15 kg 2.000 30.000
Pupuk Urea 60 kg 2.000 120.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 4 orang x 5 hari 25.000 500.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan 5 orang 12.000 60.000
Penanaman 2 orang 25.000 50.000
Pemupukan
Total biaya tunai 1.195.000
3. Biaya tidak tunai 0.25 ha - 125.000
Sewa lahan
Total 125.000
4. Total biaya (2+3) 1.320.000
5. Pendapatan atas 620.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 495.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 1.52
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 1.38
total (1: 4)
54

Lahan pengamatan B3 (4000 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah (Rp)
(Rp/satuan)
1. Penerimaan
Jagung manis 160 kg (tengkulak) - 225.000

Total 225.000
2. Biaya tunai
Benih 4 kg 50.000 200.000
Pupuk kandang - - 0
Pupuk TSP 90 kg 2.000 180.000
Pupuk KCL 45 kg 2.000 90.000
Pupuk Urea 120 kg 2.000 240.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 3 orang x 10 hari 25.000 750.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan 6 orang 12.000 72.000
Penanaman 3 orang 25.000 75.000
Pemupukan
Total biaya tunai 1.657.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 1.657.000
5. Pendapatan atas -1.432.00
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas -1.432.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 0.13
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 0.13
total (1: 4)
55

Lahan pengamatan B4 (2500 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah (Rp)
(Rp/satuan)
1. Penerimaan
Jagung manis 1.200 kg 1.000 1.200.000
Total 1.200.000
2. Biaya tunai
Benih 2 kg 50.000 100.000
Pupuk kandang 50 karung 5.000 250.000
Pupuk TSP 30 kg 2.000 60.000
Pupuk KCL 15 kg 2.000 30.000
Pupuk Urea 60 kg 2.000 120.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan - - 0
tanah - - 0
Penyiangan 5 orang 12.000 60.000
Penanaman 2 orang 25.000 50.000
Pemupukan
Total biaya tunai 670.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 670.000
5. Pendapatan atas 530.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 530.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 1.79
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 1.79
total (1: 4)
56

Lahan pengamatan B5 (2675 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah (Rp)
(Rp/satuan)
1. Penerimaan
Jagung manis 2.600 kg 2.000 5.200.000
Total 5.200.000
2. Biaya tunai
Benih 2.5 kg 50.000 125.000
Pupuk kandang 50 karung 5.000 250.000
Pupuk TSP 50 kg 2.000 100.000
Pupuk KCL 25 kg 2.000 50.000
Pupuk Urea 100 kg 2.000 200.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 5 orang x 4 hari 25.000 500.000
tanah 3 orang 25.000 75.000
Penyiangan 5 orang 12.000 125.000
Penanaman 2 orang 25000 50.000
Pemupukan
Total biaya tunai 1.475.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 1.475.000
5. Pendapatan atas 3.725.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 3.725.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 3.52
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 3.52
total (1: 4)
57

Lahan pengamatan N1 (1000 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 1.100 kg 1.000 1.100.000
Ubi jalar 1.500 kg 2.000 3.000.000
Total 4.100.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 1 kg 50.000 50.000
Benih ubi jalar 9 pikul 5.000 45.000
Pupuk kandang 20 karung 5.000 100.000
Pupuk TSP 15 kg 2.000 30.000
Pupuk KCL 8 kg 2.000 16.000
Pupuk Urea 30 kg 2.000 60.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 4 orang x 2 hari 25.000 200.000
tanah 4 orang 25.000 100.000
Penyiangan ubi 5 orang 12.000 60.000
Tanam jagung 3 orang 25.000 75.000
Pemupukan 5 orang 12.000 60.000
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 796.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 796.000
5. Pendapatan atas 3.304.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 3.304.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 5.15
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 5.15
total (1: 4)
58

Lahan pengamatan N2 (200 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 190 kg (tengkulak) 1.000 190.000
30 kg (eceran) 1.500 45.000
Ubi jalar 300 kg 2.000 600.000
Total 835.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 0.25 kg 50.000 12.500
Benih ubi jalar 2 pikul 5.000 10.000
Pupuk kandang 5 karung 5.000 25.000
Pupuk TSP 3 kg 2.000 6.000
Pupuk KCL 1.5 kg 2.000 3.000
Pupuk Urea 6 kg 2.000 12.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 2 orang 25.000 50.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan ubi 2 orang 12.000 24.000
Tanam jagung 1 orang 25.000 25.000
Pemupukan 2 orang 12.000 24.000
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 241.500
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 241.500
5. Pendapatan atas 593.500
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 593.500
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 3.45
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 3.45
total (1: 4)
59

Lahan pengamatan N3 (500 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 450 kg (tengkulak) 1.000 450.000
30 kg (eceran) 1.500 45.000
Ubi jalar 620 kg 2.000 1.240.000
Total 1.735.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 0.5 kg 50.000 25.000
Benih ubi jalar 5 pikul 5.000 25.000
Pupuk kandang 10 karung 5.000 50.000
Pupuk TSP 5 kg 2.000 10.000
Pupuk KCL 2.5 kg 2.000 5.000
Pupuk Urea 10 kg 2.000 20.000
Pestisida 0.25 kg 5.000 5.000
Upah tenaga kerja
Pengolahan 3 orang x 2 hari 25.000 150.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan ubi 3 orang 12.000 36.000
Tanam jagung 2 orang 25.000 50.000
Pemupukan 3 orang 12.000 36.000
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 462.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 462.000
5. Pendapatan atas 1.273.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 1.273.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 3.75
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 3.75
total (1: 4)
60

Lahan pengamatan N4 (1500 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 1.500 kg 1.000 1.500.000
(tengkulak) 1.500 45.000
Ubi jalar 30 kg (eceran) 2.000 4.000.000
2000 kg
Total 5.545.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 1.5 kg 50.000 75.000
Benih ubi jalar 13 pikul 5.000 65.000
Pupuk kandang 30 karung 5.000 150.000
Pupuk TSP 20 kg 2.000 40.000
Pupuk KCL 10 kg 2.000 20.000
Pupuk Urea 40 kg 2.000 80.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 5 orang x 3 hari 25.000 375.000
tanah 5 orang 25.000 125.000
Penyiangan ubi 6 orang 12.000 72.000
Tanam jagung 4 orang 25.000 100.000
Pemupukan 6 orang 12.000 72.000
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 1.174.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan 0.15 - 125.000
Total 125.000
4. Total biaya (2+3) 1.299.000
5. Pendapatan atas 4.371.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 4.246.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 4.72
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 4.26
total (1: 4)
61

Lahan pengamatan N5 (250 m2)


Uraian Jumlah (satuan) Harga Jumlah
(Rp/satuan) (Rp)
1. Penerimaan
Jagung manis 200 kg (tengkulak) 1.000 200.000
50 kg (eceran) 1.500 75.000
Ubi jalar 400 kg 2.000 800.000
Total 1.075.000
2. Biaya tunai
Benih jagung 0.25 kg 50.000 12.500
Benih ubi jalar 2.5 pikul 5.000 12.500
Pupuk kandang 5 karung 5.000 25.000
Pupuk TSP 3 kg 2.000 6.000
Pupuk KCL 1.5 kg 2.000 3.000
Pupuk Urea 6 kg 2.000 12.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 2 orang 25.000 50.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan ubi 2orang 12.000 24.000
Tanam jagung 1 orang 25.000 25.000
Pemupukan 2 orang 12.000 24.000
Tanam ubi jalar
Total biaya tunai 244.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 244.000
5. Pendapatan atas 831.000
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas 831.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 4.40
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 4.40
total (1: 4)

Das könnte Ihnen auch gefallen