Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
FIFIT FITRIANI
FIFIT FITRIANI. Hama dan Penyakit Jagung Manis (Zea mays saccharata
Sturt.) di Desa Benteng, Cibanteng dan Nagrog, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh ABDUL MUIN ADNAN dan PUDJIANTO.
FIFIT FITRIANI
A34052600
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian
Pada
Departemen Proteksi Tanaman
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Ketua Departemen
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman
Halaman
Halaman
Latar Belakang
Jagung manis atau sweet corn (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan
salah satu jenis jagung yang mempunyai kandungan gula tinggi. Biji jagung
manis mengandung pati dan gula bebas sehingga memiliki rasa manis ketika baru
dipanen. Rasa manis ini dapat bertahan selama dua hari dalam suhu ruang karena
gula yang terbentuk belum berubah menjadi pati. Banyak kultivar jagung manis
yang memiliki kandungan provitamin A (kriptosantin) yang tinggi, suatu pigmen
karotenoid (Rubatzky dan Yamaguchi 1995). Beberapa dasawarsa terakhir ini
jagung manis sangat digemari oleh masyarakat luas, baik masyarakat pedesaan
maupun masyarakat perkotaan, sebagai menu tambahan karena mempunyai rasa
manis yang khas.
Jagung manis memiliki daya adaptasi yang baik sehingga dapat ditanam di
berbagai elevasi, dengan syarat kesuburan tanah cukup mendukung (Thompson
dan Kelly 1957). Tanaman ini dapat dipanen ketika berumur 18-24 hari setelah
penyerbukan (Rubatzky dan Yamaguchi 1995), yang memungkinkan frekuensi
penanamannya lebih sering dibandingkan dengan jagung biasa. Keuntungan lain
dari jagung manis adalah sisa brangkasan yang masih hijau dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak.
Jagung manis dapat dibudidayakan baik secara monokultur, tumpangsari,
tumpang gilir maupun campuran. Budidaya tumpangsari dapat meningkatkan
pendapatan persatuan luas lahan karena adanya efisiensi lahan, waktu, dan biaya
terutama biaya pengolahan tanah dan pupuk. Selain itu, pola tumpangsari dapat
menekan populasi hama. Keanekaragaman dan kelimpahan artropoda pada
pertanaman tumpangsari cenderung lebih tinggi, karena menyediakan relung lebih
banyak dibandingkan pertanaman monokultur (Russell 1989). Keanekaragaman
artropoda yang tinggi mendorong terjadinya kestabilan populasi, sehingga
serangan hama cenderung akan lebih rendah (Price 1984). Peningkatan
pendapatan petani dengan pola tumpangsari dapat diketahui dengan melakukan
analisis usahatani.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis hama dan penyakit serta
intensitas kerusakan yang ditimbulkan dan kaitannya dengan pola tanam jagung
manis secara umum yang dilakukan petani. Selain itu, dilakukan juga analisis
usahatani jagung manis dengan pola tanam monokultur dan tumpangsari.
Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
berbagai jenis hama dan patogen yang menyerang tanaman jagung manis dan
kaitannya dengan pola tanam yang dilakukan oleh petani serta analisis usahatani
dengan pola monokultur dan tumpangsari.
TINJAUAN PUSTAKA
Jagung manis atau sweet corn (Zea mays saccharata Sturt.) termasuk ke
dalam famili Gramineae subfamili Panicoidae (Thompson dan Kelly 1957).
Berdasarkan tipe pembungaannya jagung manis termasuk tanaman monoecius
yaitu memiliki bunga jantan dan betina pada satu tanaman. Bunga jantan tumbuh
di bagian puncak tanaman berupa karangan bunga (inflorescence), sedangkan
bunga betina tersusun dalam tongkol yang terbungkus oleh cangkang yang umum
disebat ”kelobot” dengan rambut jagung yang sebenarnya merupakan tangkai
putik.
Secara fisik maupun morfologi tanaman jagung manis sulit dibedakan
dengan jagung biasa. Perbedaan biasanya terletak pada warna bunga jantan dan
rambut bunga betina. Bunga jantan pada jagung manis berwarna putih sedangkan
pada jagung biasa berwarna kuning kecoklatan. Rambut pada jagung manis
berwarna putih sampai kuning keemasan sedangkan pada jagung biasa berwarna
kemerahan. Selain itu, jagung manis memiliki dua atau tiga daun yang tumbuh di
ujung kelobot terluar dan umurnya lebih genjah dibandingkan dengan jagung
biasa (Anonim 1999).
Jagung manis pada awalnya berkembang dari jagung tipe dent dan flint.
Jagung tipe dent (Zea mays identata) mempunyai lekukan di puncak bijinya
karena adanya zat pati keras pada bagian pinggir dan pati lembek pada bagian
puncak biji. Jagung tipe flint (Zea mays indurata) berbentuk agak bulat, bagian
luarnya keras dan licin. Dari kedua tipe jagung inilah jagung manis berkembang
kemudian terjadi mutasi menjadi tipe gula yang resesif (Subandi et al. 1988).
Jagung manis merupakan salah satu jenis jagung yang digolongkan
berdasarkan sifat endospermanya. Endospermanya mempunyai kadar gula yang
lebih tinggi dibandingkan kadar pati, tampak transparan dan keriput pada saat
kering. Kadar gula dan pati pada endosperma selain dipengaruhi oleh faktor
genetik juga dipengaruhi oleh tingkat kemasakan. Kandungan sukrosa pada
endosperma jagung manis terus meningkat dari hari ke-5 sampai hari ke-15
setelah munculnya rambut tongkol dan kemudian menurun.
4
Jagung manis memiliki kandungan gizi yang sangat lengkap, yaitu terdiri
dari kalori, protein, berbagai macam mineral, vitamin dan lainnya yang diperlukan
oleh tubuh manusia (Tabel 1).
Tabel 1 Kandungan gizi jagung manis *)
Komposisi gizi Kandungan dalam 100 g
et al. 1988). Kemasaman tanah (pH) yang terbaik untuk jagung adalah sekitar
5,5-7,0. Tanah dengan kemiringan tidak lebih dari 8% masih dapat ditanami
jagung dengan arah barisan tegak lurus terhadap kemiringan tanah, dengan
maksud untuk mencegah erosi yang terjadi pada waktu hujan lebat.
Jagung manis mempunyai daerah adaptasi terhadap iklim yang luas
(Thompson dan Kelly 1957). Namun, menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1995)
jagung manis tidak beradaptasi dengan baik pada kondisi tropika basah. Faktor-
faktor iklim yang sangat penting bagi pertumbuhan jagung manis adalah jumlah
dan pembagian sinar matahari, curah hujan, suhu, kelembaban dan angin. Tempat
penanaman jagung harus mendapatkan sinar matahari cukup dan jangan
terlindung oleh pepohonan atau bangunan. Bila tidak terdapat penyinaran yang
cukup, hasil produksi tanaman akan berkurang. Jagung manis mempunyai
keragaman daya adaptasi terhadap perbedaan iklim bergantung pada varietasnya.
Menurut Thompson dan Kelly (1957) suhu yang hangat merupakan kondisi yang
baik untuk perkembangan jagung manis, namun cukup banyak jagung manis yang
ditanam pada daerah yang dingin. Suhu optimum untuk pertumbuhan jagung
adalah antara 23-27o C.
Tanaman jagung manis tidak akan memberikan hasil maksimal jika unsur
hara yang diperlukan tidak cukup tersedia. Pemupukan dapat meningkatkan
kuantitas maupun kualitas hasil panen. Pemupukan yang perlu diperhatikan
adalah takaran (dosis) dan waktu yang tepat selama pertumbuhan jagung dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk (Subandi et al. 1988). Dosis pupuk
yang diperlukan berbeda-beda, tergantung dari pada tingkat kesuburan dan jenis
tanah. Hara yang ditambahkan ini harus dalam jumlah yang tepat karena
kelebihan dan kekurangan dapat mengurangi efisiensi lainnya. Jumlah pupuk
yang diberikan untuk mendapatkan hasil jagung yang tinggi tergantung pada
besarnya kandungan hara N, P, dan K di dalam tanah. Nitrogen adalah unsur hara
esensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang besar dan pada tanah
pertanian yang tidak dipupuk, tanaman sering menimbulkan gejala defisiensi, oleh
karena itu pemupukan N sangat diperlukan untuk mendapatkan produksi tanaman
yang optimal (Wawan et al. 2007). Pemupukan N meningkatkan populasi
Nitrosomonas dan respirasi tanah, sedangkan terhadap populasi total
6
II berada pada bunga jantan. Larva instar III masih sebagian besar berada pada
bunga jantan meskipun sudah ada pada bagian tanaman yang lain. Instar IV
hingga VI mulai menggerek pada bagian buku dan masuk ke dalam batang. Larva
masuk ke dalam batang dan menggerek ke bagian atas. Dalam satu lubang dapat
ditemukan lebih dari satu larva. Gejala visual serangan O. furnacalis pada batang
adalah adanya lubang gerek pada batang serta terdapatnya kotoran larva di dekat
lubang tersebut. Apabila batang dibelah akan tampak liang gerek larva di dalam
batang (Malijan dan Sanchez, 1986 dalam Subandi et al. 1988). Menurut Culy
(2001), gerekan larva pada batang menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh
sehingga menggangu proses transportasi air dan unsur hara dan mengakibatkan
pertumbuhan terhambat yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil tanaman.
Selain itu, sering ditemukan juga larva instar I-III makan pada pucuk tongkol dan
rambut tongkol. Instar berikutnya makan pada tongkol dan biji.
Larva yang akan membentuk pupa membuat lubang keluar yang ditutup
dengan lapisan epidermis. Sebagian stadia larva ditemukan makan pada sorgum,
Panicum viride, Amaranthus dan berbagai jenis tumbuhan lain apabila tanaman
jagung sudah dipanen.
Pengendalian O. furnacalis dapat dilakukan secara kultur teknis, hayati
maupun kimiawi. Kultur teknis yaitu dengan tumpangsari jagung dengan kedelai
atan kacang tanah, pemotongan sebagian bunga jantan (4 dari 6 baris tanaman),
dan waktu tanam yang tepat. Pengendalian hayati yaitu dengan pemanfaatan
musuh alami seperti parasitoid Trichogramma spp., predator Euborellia annulata
memangsa larva dan pupa O. furnacalis, bakteri Bacillus thuringiensis Kurstaki
mengendalikan larva O. furnacalis, cendawan sebagai entomopatogenik adalah
Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae mengendalikan larva O.
furnacalis. Pengendalian kimiawi yaitu penggunaan insektisida yang berbahan
aktif monokrotofos, triazofos, diklhrofos, dan karbofuran efektif untuk menekan
serangan penggerek batang jagung.
2000). Beberapa inang yang diserang ulat penggerek tongkol jagung antara lain
tomat, kedelai, kapas, tembakau, dan sorgum (Kalshoven 1981). Di Indonesia
serangga ini dijumpai pada ketinggian 2000 m dpl. Serangga ini merupakan hama
penting pada kapas di Indonesia dan Filipina. Imago meletakkan telur pada
malam hari dan sering dijumpai pada rambut tongkol jagung. Telur diletakkan
satu per satu di atas rambut jagung. Setelah menetas larva berpindah ke bagian
tongkol jagung yang masih muda dan memakan langsung biji-biji jagung. Seekor
betina dapat meletakkan telur hingga 1000 butir. Stadium telur 2-5 hari. Larva
yang baru menetas akan makan pada rambut tongkol dan kemudian membuat
lubang masuk ke tongkol. Ketika larva makan akan meninggalkan kotoran dan
tercipta iklim mikro yang cocok untuk pertumbuhan cendawan yang
menghasilkan mikotoksin sehingga tongkol rusak.
Larva H. armigera memiliki kebiasaan makan secara berpindah dari satu
buah ke buah lainnya, sehingga jumlah buah yang dirusak selalu lebih banyak
daripada jumlah larva yang ada pada tanaman (Daha et al. 1998). Penggerek ini
juga dapat menyerang tanaman muda terutama pada pucuk atau malai yang dapat
mengakibatkan tidak terbentuknya bunga jantan, berkurangnya hasil dan bahkan
tanaman dapat mati (Subandi et al. 1988).
Larva muda berwarna putih kekuning-kuningan dengan toraks berwarna
hitam. Stadium larva terdiri dari 6 instar dan berjumlah antara 17-24 dalam satu
tongkol. Larva instar terakhir akan meninggalkan tongkol dan membentuk pupa
dalam tanah. Stadium pupa berkisar antara 12-14 hari. Dari telur hingga stadia
dewasa berupa kupu-kupu kecil berkisar 35 hari dan terbang mengisap madu dari
bunga (Kalshoven 1981).
Gejala serangan ulat penggerek tongkol dimulai pada saat pembentukan
kuncup bunga dan buah muda. Menurut Daha et al. (1998), tanaman tomat
atraktif terhadap peneluran H. armigera selama berlangsung fase pembungaan.
Larva H. armigera masuk ke dalam buah muda, memakan biji-biji jagung karena
larva hidup di dalam buah, biasanya serangan serangga ini sulit diketahui dan sulit
dikendalikan dengan insektisida (Sarwono 2003). Aplikasi insektisida tidak
berpengaruh terhadap peletakan telur (Daha et al. 1998). Pengendalian ketika
larva berukuran besar dapat berakibat kurang menguntungkan karena kerusakan
9
buah mungkin sudah terjadi. Antara tingkat serangan ulat penggerek tongkol
dengan produksi didapatkan hubungan yang mempunyai korelasi positif nyata r =
0,80 dengan persamaan penduga Y = 2,88 – 0,058 x. Dari persamaan ini dapat
diduga bahwa dalam setiap peningkatan 1% serangan ulat penggerek
mengakibatkan penurunan produksi jagung sebesar 0,058% (Sarwono 2003).
Oleh karena itu, upaya pengendalian sebaliknya dilaksanakan pada saat larva
masih kecil sebelum menimbulkan banyak kerusakan pada tongkol (Daha et al.
1998).
Pengendalian H. armigera dapat dilakukan dengan cara hayati, kultur teknis,
dan kimiawi. Pengendalian hayati yaitu menggunakan parasitoid Trichogramma
spp. yang merupakan parasit telur dan Eriborus argentiopilosa (Ichneumonidae)
parasit pada larva muda, cendawan Metarhizium anisopliae menginfeksi larva,
bakteri Bacillus thuringensis dan virus Helicoverpa armigera Nuclear
Polyhedrosis Virus (HaNPV) menginfeksi larva. Pengendalian kultur teknis yaitu
pengelolaan tanah yang baik akan merusak pupa yang terbentuk dalam tanah dan
dapat mengurangi populasi H. armigera berikutnya. Pengendalian kimiawi yaitu
dengan penyemprotan insektisida Decis dilakukan setelah terbentuknya rambut
jagung pada tongkol dan diteruskan (1-2) hari hingga rambut jagung berwarna
coklat.
warna dan bentuk daun tidak normal yang pada akhirnya tanaman mengering
Kutu daun R. maidis menghasilkan embun madu yang dikeluarkan melalui
sersinya, sehingga membentuk embun jelaga berwarna hitam yang menutupi daun
sehingga menghalangi proses fotosintesis. Pengendalian hama ini dapat
menggunakan musuh alami yaitu dengan parasitoid Lysiphlebus mirzai (Famili:
Braconidae). Coccinella sp. dan Micraspis sp. juga dapat dimanfaatkan sebagai
predator. Selain itu, pengendalian dengan kultur teknis juga dapat dilakukan yaitu
dengan penanaman jagung secara polikultur karena akan meningkatkan predasi
dari predator kutu daun dibandingkan dengan penanaman secara monokultur.
mesotoraks dan metatoraks. Nimfa instar 5 berukuran 16-22 mm, bakal sayap
mencapai abdomen ruas ketiga. Lama stadium nimfa berkisar antara 51- 73 hari.
Imago jantan umumnya berukuran 18-27 mm, sedangkan imago betina
antara 24-43,5 mm. Imago berwarna hijau kekuningan atau kuning kecoklatan
dan tampak mengkilat. Imago jantan mempunyai sepasang garis terang dikepala
dan bagian dorsal sedangkan pada imago betina terdapat garis gelap dibagian mata
hingga pangkal sayap (CPC 2000).
Beberapa musuh alami berupa parasitoid dan predator telah dilaporkan
dapat mengendalikan populasi Oxya sp. musuh alami tersebut diantaranya adalah
larva Systoechus sp. (Diptera: Bombyliidae). Selain itu, burung dan laba-laba
dapat menurunkan populasi Oxya sp. (CPC 2000). Musuh alami Oxya sp. dari
golongan patogen serangga adalah Metarhizium anisopliae. Dalam penelitian
yang telah dilakukan, patogen ini digunakan sebagai biopestisida yang mampu
mengendalikan 70-90% belalang selama kurun waktu 14-20 hari (Pabbage et al.
2007).
tempuh tikus dapat mencapai 700 m atau lebih. Populasi tikus dipengaruhi oleh
faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor abiotik yang sangat
berpengaruh terhadap dinamika populasi tikus adalah air dan sarang, sementara
faktor biotik adalah tanaman dan hewan kecil sebagai sumber pakan, patogen,
predator, tikus lain sebagai pesaing, dan manusia.
Tikus biasanya menyerang tanaman jagung pada fase generatif atau fase
pengisian tongkol. Tongkol yang sedang matang susu dimakan oleh tikus
sehingga tongkol menjadi rusak. Umumnya tikus makan biji pada tongkol mulai
dari ujung tongkol sampai pertengahan tongkol.
muda yang tumbuh meperlihatkan gejala klorotik pada seluruh daun dan tanaman
cepat mati (Subandi et al. 1988). Bila patogen dalam daun yang terinfeksi
pertama kali tidak dapat mencapai titik tumbuh, gejala hanya terdapat pada daun-
daun yang bersangkutan sebagai garis-garis klorotik, yang disebut juga sebagai
gejala lokal (Semangun 1968). Di permukaan bawah daun yang terinfeksi,
banyak terbentuk tepung putih yang merupakan spora patogen tersebut.
Patogen membentuk dua tipe hifa di dalam jaringan daun yaitu hifa kurang
bercabang dan hifa banyak bercabang, dan berkelompok. Patogen membentuk
haustoria dalam sel-sel inang untuk menyerap makanan.
Patogen dapat bertahan hidup sebagai miselium dalam embrio biji yang
terinfeksi. Bila biji ini ditanam, patogen ikut berkembang dan menginfeksi bibit.
Selanjutnya, dapat menjadi sumber inokulum (penyakit). Infeksi terjadi melalui
stomata daun jagung muda (di bawah umur satu bulan). Jamur berkembang
secara lokal atau sistemik. Sporangia dan sporangiospora dihasilkan pada
permukaan daun yang basah dalam gelap. Sporangia berperan sebagai inokulum
sekunder.
Pengendalian penyakit bulai dapat dilakukan dengan penggunaan varietas
tahan, pemusnahan tanaman terinfeksi, pencegahan dengan fungisida berbahan
aktif metalaksil, pengaturan waktu tanam agar serempak, dan pergiliran tanaman.
berwarna coklat keemasan, halus, berbentuk bulat sampai elip, dua sel, ukuran 14-
25 x 28-46 μm (White 1999).
Pada P. sorghi, teliospora berkecambah membentuk basidia yang
memproduksi basiodiospora kecil, berdinding tipis, hialin, haploid. Basidiospora
berkecambah dan mengadakan penetrasi pada daun Oxalis spp. membentuk
spermagonia dengan spermatia kecil pada permukaan atas daun. Spermatia
mengadakan fusi dengan hipa lentur untuk memasuki stadia aecia di permukaan
bawah daun Oxalis spp., selanjutnya terbentuk aeciospora. Aeciospora berinti dua
dan mudah diterbangkan oleh angin sampai jatuh pada daun jagung dan
menginfeksinya. Pada daun jagung uredospora terbentuk (Subandi et al. 1988).
P. sorghi berkembang baik pada suhu 16-230 C dan kelembaban udara
tinggi. Patogen ini dapat mempertahankan diri pada tanaman jagung yang hidup
dan dapat disebarkan melalui penyebaran angin dan menginfeksi tanaman jagung
lainnya (Semangun 2004). Selain pada jagung, cendawan ini telah diketahui
membentuk uredium dan telium pada Euclaena mexicana, Tripsacum sp., dan
Erianthus sp (Subandi et al. 1988).
Cendawan ini tidak dapat hidup sebagai saprofit, sehingga tidak dapat
mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman jagung. Tidak terdapat bukti-bukti
bahwa cendawan ini mempertahankan diri dalam biji yang dihasilkan oleh
tanaman sakit (Holliday 1980 dalam Semangun 2004).
Pengendalian penyakit karat dapat dilakukan dengan cara menanam varietas
tahan, menjaga sanitasi lingkungan di pertanaman tanaman jagung manis, aplikasi
pestisida pada saat mulai tampak bisul karat pada daun.
gejala ini akan cepat menyebar dengan cepat pada cuaca yang lembab. Penyakit
ini dapat berkembang dengan bantuan curah hujan yang tinggi, suhu yang relatif
rendah dan intensitas penyinaran matahari yang kurang (Sudjono 1989 dalam
Subandi et al. 1988). Produktivitas tanaman jagung manis secara signifikan
dipengaruhi tingkat kerusakan tanaman oleh penyakit hawar. Pada musim hujan
umumnya serangan terjadi sangat berat, bisa mencapai 50-70% atau lebih
terutama ditempat dengan elevasi yang tinggi lebih dari 500 m dpl (Adnan 2008)
H. turcicum bertahan hidup sampai satu tahun berupa miselium dorman pada
tanaman jagung hidup yang selalu terdapat di daerah tropik, pada rumput-
rumputan termasuk sorgum, pada sisa-sisa tanaman sakit, dan pada biji jagung
(Semangun 2004). Diantara konidia yang tua dapat berubah menjadi
klamidiospora yang berdinding tebal sehingga dapat bertahan lama. Cendawan
tersebut dapat dipencarkan oleh angin. Di udara konidium terbanyak terdapat
pada saat menjelang tengah hari. Konidium menginfeksi tanaman melalui stomata
atau dengan mengadakan penetrasi secara langsung yang didahului dengan
pembentukkan apresorium. Cendawan ini dapat menginfeksi tanaman dengan dua
cara, infeksi pertama konidia dapat disebarkan jauh oleh angin atau percikan air
hujan sampai pada tanaman jagung. Infeksi kedua terjadi diantara tanaman
jagung disekitarnya karena adanya bercak-bercak yang terbentuk pada daun. Pada
keadaan yang baik siklus lengkap penyakit berlangsung selama 3-4 hari. Biji
jagung yang terinfeksi berperan sebagai sumber inokulum pertama dalam
penyebaran penyakit ini. Biji yang terinfeksi tidak meracuni hewan ternak yang
memakannya. Penyakit ini sudah tersebar di seluruh dunia (bersifat kosmopolitan)
dan sangat penting di daerah yang bersuhu hangat antara 20-32o C dan lembab
(White 1999).
Hingga saat ini telah diketahui beberapa cara pengendalian penyakit hawar
daun yang efektif yaitu dengan penggunaan varietas tahan,sanitasi lingkungan,
pengelolaan tanah yang baik dan penyiangan yang sempurna dapat menekan atau
mengurangi sumber inokulum awal, pengaturan jarak tanam, dan fungisida jika
diperlukan (Pabbage et al. 2007).
16
Metode Penelitian
n
Persentase serangan = ⎯ X 100%
N
n = jumlah tanaman yang terserang
N = jumlah tanaman contoh yang diamati
Analisis Usahatani
Pendapatan = TR – TC
Pendapatan = (PxQ) – (Biaya Tunai + Biaya Diperhitungkan)
TR = Total Penerimaan
TC = Total Biaya
4. Analisis Efisiensi Usahatani
Return Cost Ratio (R/C) atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara
penerimaan dan biaya. Analisis R/C ratio bertujuan untuk menguji sejauh
mana hasil yang diperoleh dari usahatani tertentu. R/C meliputi R/C tunai dan
R/C total, R/C tunai merupakan perbandingan penerimaan dengan biaya tunai
sedangkan R/C total merupakan perbandingan penerimaan dengan total biaya
yang dikeluarkan. Apabila nilai R/C ratio > 1, berarti penerimaan yang
diperoleh lebih besar daripada tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh penerimaan tersebut, apabila nilai R/C ratio < 1 maka tiap unit
yang dikeluarkan akan lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh,
sedangkan untuk kegiatan usaha yang memiliki R/C ratio = 1, berarti kegiatan
usaha berada pada keuntungan normal (normal profit).
21
Hama
Hama yang ditemukan di lahan pengamatan adalah penggerek batang
(Ostrinia furnacalis Guenee.), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera
Hubner.), belalang (Oxya spp.), kutu daun (Rhopalosiphum maidis Fitch.), dan
ditemukan juga gejala serangan tikus.
Berdasarkan hasil pengamatan mingguan yang dilakukan sejak 2 MST di
lahan Benteng 5, serangan O. furnacalis ditemukan pada pengamatan kelima saat
tanaman berumur 6 MST sedangkan serangan H. armigera ditemukan pada
tongkol jagung pada pengamatan keenam (7 MST) (Tabel 2). Serangan O.
furnacalis mulai ditemukan dengan persentase serangan sebesar 8% dan terus
meningkat hingga mencapai 14.0% pada 9 dan 10 MST. Serangan H. armigera
mulai ditemukan dengan persentase serangan sebesar 2.0% dan terus meningkat
pada pengamatan selanjutnya hingga 6.0%. Tingkat serangan kedua hama ini
sangat rendah karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain yaitu
tingginya curah hujan sehingga kelembaban lingkungan menjadi tinggi. Kondisi
seperti ini tidak sesuai bagi perkembangan kedua hama ini. Menurut Kalshoven
(1981) kelembaban lingkungan yang rendah dan suhu yang hangat merupakan
kondisi yang ideal bagi perkembangan kedua hama ini.
Hasil pengamatan pada 9 lahan dengan dua macam pola tanam, yaitu
monokultur dan tumpang sari yang dilakukan ketika tanaman berumur 7, 8 dan 9
MST, menunjukkan bahwa serangan O. furnacalis dan H. armigera sangat
beragam menurut lahan dan waktu pengamatan (Tabel 3).
Selanjutnya gejala serangan hama ini ditemukan pada bagian batang tanaman
berupa lubang gerek yang disertai kotoran di sekitar lubang (Gambar 1b). Hasil
identifikasi, larva yang ditemukan pada batang jagung manis berwarna kuning
kecoklatan dengan kepala berwarna hitam (Gambar 1a dan 1c).
a b
c d
Gambar 1 (a) larva pada batang jagung (b) gejala gerekan pada batang
(c) larva O. furnacalis (d) gejala pada daun
Menurut Subandi et al. (1988) pada stadia pertumbuhan malai larva instar I
dan III akan makan daun muda yang masih menggulung dan pada permukaan
daun yang terlindung dari daun yang telah membuka sedangkan larva instar IV
dan VI mulai menggerek pada bagian buku dan masuk ke dalam lubang.
Serangan O. furnacalis di tiga desa baik monokultur maupun tumpangsari
sudah ditemukan pada pengamatan pertama (7 MST). Serangan O. furnacalis
berkisar antara 0 hingga 24.0% (Tabel 3). Di setiap desa pengamatan serangan
hama ini makin meningkat dengan makin bertambahnya umur tanaman. Di Desa
Benteng (monokultur) rata-rata serangan hama ini pada setiap pengamatan (7, 8, 9
MST) berturut-turut sekitar 4.0%, 6.4% dan 8.8%. Di Desa Cibanteng
26
berpengaruh terhadap hasil produksi tongkol jagung manis karena jagung manis
ditanam pada musim hujan. Menurut Pabbage et al. (2007) waktu tanam yang
baik untuk menghindari serangan penggerek batang adalah pada awal musim
hujan dan paling lambat empat minggu sejak mulai musim hujan. Penggerek
batang jagung ini mempunyai lebih dari satu generasi dalam setahun karena
didukung oleh curah hujan yang memberikan pengaruh penting pada aktivitas
ngengat dan oviposisinya.
Serangan hama ini di setiap desa pada umur 7, 8, dan 9 MST baik pada
monokultur maupun tumpangsari tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Hal ini
sesuai dengan yang di kemukakan oleh Nafus dan Schreiner (1991) bahwa
gerekan O. furnacalis pada batang tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan
hasil tanaman jagung.
Ulat Tongkol (H. armigera)
Hasil pengamatan pada tanaman jagung manis di tiga desa baik monokultur
maupun tumpangsari larva H. armigera ditemukan pada pengamatan pertama (7
MST). Larva H. armigera ditemukan pada rambut tongkol. Kerusakan yang
ditimbulkan akibat keberadaan hama ini yaitu tongkol jagung manis menjadi
rusak. Menurut Kalshoven (1981), larva instar 1 akan makan rambut tongkol dan
kemudian membuat lubang masuk ke tongkol (Gambar 2a). Menurut La Daha et
al. (1993) larva H. armigera memiliki kebiasaan makan secara berpindah dari satu
buah ke buah lainnya, sehingga jumlah buah yang dirusak selalu lebih banyak
daripada jumlah larva yang ada pada tanaman. Hasil identifikasi larva H.
armigera berwarna hijau dengan garis pada bagian dorsal berwarna hitam
(Gambar 2b).
a b
Gambar 2 (a) gejala penggerek tongkol (b) larva H. armigera
28
a b
Penyakit
Penyakit yang ditemukan selama penelitian didominasi oleh penyakit hawar
daun (Helminthosporium turcicum Pass.), penyakit karat (Puccinia sorghi
Schwein.) dan penyakit bulai (Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw.). Selain
itu, ditemukan juga penyakit lain seperti hawar yang disebabkan Curvularia sp.
dan Rhizoctonia solani Kuhn. pada satu lahan pengamatan di Desa Benteng.
Berdasarkan hasil pengamatan mingguan yang dilakukan sejak 2 MST di
lahan Benteng 5, awal kemunculan penyakit bulai, hawar daun dan karat tidak
menunjukkan adanya perbedaan, semuanya mulai muncul pada 3 MST, kemudian
terus meningkat dengan laju yang relatif berbeda antar jenis penyakit (Tabel 4).
Penyakit bulai mulai tampak dengan intensitas 10.0% dan tidak mengalami
peningkatan lagi. Penyakit karat mulai muncul dengan intesitas yang sangat
rendah (1.0%) kemudian meningkat terus hingga 9 MST yang mencapai intensitas
10.4%. Sementara itu penyakit hawar daun mulai muncul dengan intensitas yang
31
juga sangat rendah (0.6%) kemudian meningkat hingga pada 9 MST dengan
intesitas mencapai 7.5%.
Tabel 4 Perkembangan intensitas penyakit hawar, karat dan bulai pada lahan
mingguan
Umur Hawar Karat Bulai
Tanaman *) Intensitas (%) Intensitas (%) Iintensitas (%)
2 MST 0.0 0.0 0.0
3 MST 0.6 1.0 10.0
4 MST 1.1 1.9 10.0
5 MST 1.7 3.0 10.0
6 MST 2.1 3.1 10.0
7 MST 3.1 6.2 10.0
8 MST 4.9 9.0 10.0
9 MST 7.5 10.4 10.0
10 MST 7.5 10.4 10.0
*) minggu setelah tanam
Hasil pengamatan pada 9 lahan dengan dua macam pola tanam yaitu
monokultur dan tumpangsari yang dilakukan ketika tanaman berumur 7, 8 dan 9
MST, menunjukkan bahwa baik intensitas penyakit hawar daun, penyakit karat
maupun penyakit bulai dapat dikatakan sangat beragam menurut lahan dan waktu
pengamatan (Lampiran 3). Namun, berdasarkan hasil uji–t, antar desa atau antar
pola tanam yang berbeda tidak menunjukkan adanya perbedaan kecuali pada Desa
Cibanteng dan Nagrog pada umur tanaman 7 MST intensitas penyakit karat
berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5% (Lampiran 4). Intensitas kumulatif tiga
jenis penyakit ini cukup tinggi karena jagung manis ditanam ketika musim hujan.
Sangat diyakini peran ketiga jenis penyakit ini dalam penurunan produksi tongkol
cukup signifikan.
ekstrim tinggi (42.8%) yang terjadi pada lahan Benteng 4 diduga berkaitan erat
dengan kondisi sanitasi gulma yang tidak dilakukan sehingga mengakibatkan
kelembaban mikro menjadi sangat tinggi dan cocok bagi perkembangan penyakit
hawar daun ini. Intensitas penyakit setinggi ini memiliki kontribusi yang sangat
tinggi dalam penurunan produksi tongkol. Bersama-sama dua jenis penyakit
lainnya yaitu penyakit bulai dan karat di lahan Benteng 4 serta sanitasi dan
kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan ketiga penyakit tersebut
kehilangan hasil panen mencapai 40.0%. Walaupun tidak setinggi pada lahan
Benteng 4, pada lahan-lahan lainnya intensitas penyakit ini relatif tinggi yaitu
berkisar antara 8.0 hingga 19.6%, dan diduga mempunyai kontribusi dalam
rendahnya tingkat produksi tongkol jagung manis. Relatif tingginya intensitas
penyakit hawar daun ini berkaitan dengan musim tanam yang jatuh pada musim
hujan. Penyakit hawar daun pada jagung berkembang baik dalam kondisi curah
hujan yang tinggi, suhu yang relatif rendah dan intensitas penyinaran matahari
yang kurang (Sudjono 1989 dalam Subandi et al. 1988). Produktivitas tanaman
jagung manis secara signifikan dipengaruhi tingkat kerusakan tanaman oleh
penyakit hawar. Pada musim hujan umumnya serangan terjadi sangat berat, bisa
mencapai 50-70% atau lebih terutama ditempat dengan elevasi yang tinggi lebih
dari 500 m dpl (Adnan 2008).
a b
Gambar 6 Gejala hawar daun (a) H. turcicum (b)
a b
Gambar 7 Gejala pada permukaan daun (a) P. sorghi (b)
a b
Gambar 8 Gejala bulai pada tanaman muda (a) gejala pada daun tua (b)
dan infeksi hanya terjadi jika ada air bebas, baik air embun, air hujan maupun air
gutasi. Selain itu, penyakit bulai lebih banyak terdapat pada tanaman jagung
manis yang tumbuh di tanah berat. Jagung manis yang tumbuh di tanah banyak
mengandung bahan organik akan tumbuh dengan baik dan kurang mendapat
gangguan penyakit bulai.
a b
Gambar 10 Gejala hawar pada daun (a) Curvularia sp. (b)
memiliki miselium hialin tidak membentuk spora aseksual atau konidia (Bernett
1999). Ciri khusus cendawan ini adalah membentuk miselium dengan
percabangan yang tegak lurus (Gambar 1b). Gejala lebih lanjut pada kelobot
dapat menyebabkan tongkol busuk sehingga jika serangan patogen ini tinggi dapat
mempengaruhi kualitas tongkol (Gambar 11d).
a b
c d
Gambar 11 Gejala hawar pada pelepah daun (a) miselium R. solani (b) gejala
pada tongkol jagung (c dan d)
sangat jauh. Fluktuasi harga jual jagung manis ditingkat petani menyebabkan
pendapatan yang diterima para petani menjadi rendah dan tidak stabil.
Pada tabel 5 dan 6 dapat dilihat R/C rasio pada pola tumpangsari lebih besar
dibandingkan dengan pola monokultur. R/C rasio pada pola tumpangsari antara
3,15-6,47. R/C rasio tertinggi terdapat pada lahan pengamatan Cibanteng 5
sebesar 6,47 yang artinya untuk setiap rupiah biaya total yang dikeluarkan maka
petani tersebut akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 6,47. R/C rasio pada
pola monokultur antara 0,13-3,52. R/C rasio tertinggi terdapat pada lahan
pengamatan Benteng 5 sebesar 3,52 yang artinya untuk setiap rupiah biaya total
yang dikeluarkan maka petani tersebut akan memperoleh penerimaan sebesar Rp
3,52.
Kesimpulan
Pada tanaman jagung manis di Desa Benteng, Cibanteng dan Nagrog yang
diteliti terdapat beberapa jenis hama dan penyakit yang beberapa di antaranya
berpotensi menurunkan produktivitas tanaman. Hama didominasi oleh O.
furnacalis dan H. armigera sedangkan penyakit didominasi oleh penyakit bulai
(Peronosclerospora maydis), karat (Puccinia sorghi), dan hawar daun
(Helminthosporium turcicum). Keberadaan hama pada lahan penelitian oleh
petani dianggap tidak berpengaruh terhadap produksi tanaman. Sementara itu,
penyakit yang berperan dalam penurunan produksi adalah penyakit bulai yang
dapat menurunkan hasil panen hingga 90% lebih. Budidaya jagung manis
dengan pola tumpangsari lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola
monokultur.
DAFTAR PUSTAKA
Pemanenan
3
Umur panen
Hasil panen
Pemasaran hasil panen
Kesulitan pemasaran
Biaya produksi
Penerimaan petani
Pendapatan petani
44
Lampiran 3 Intensitas penyakit hawar, karat, dan bulai pada pertanaman jagung manis di tiga desa pengamatan
Lahan Intensitas Intensitas Intensitas
Pola Tanam penyakit hawar (%) penyakit karat (%) Penyakit bulai (%)
pengamatan
7 MST 8 MST 9 MST 7 MST 8 MST 9 MST 7 MST *) 8 MST 9 MST
Benteng 1 Monokultur 5.2 6 8 9.2 11.2 13.2 14 14 14
Benteng 2 Monokultur 7.6 10.4 10.8 11.2 12 14.4 8 8 8
Benteng 3 Monokultur 5.2 6 8.8 9.2 11.6 15.2 52 52 52
Benteng 4 Monokultur 28 27.6 42.8 22 27 29.6 12 12 12
Benteng 5 Monokultur 3.1 4.95 7.5 6.2 9.0 10.4 10 10 10
rata-rata 11.5 12.5 17.6 12.9 15.45 18.1 21.5 21.5 21.5
Cibanteng 1 Tumpangsari 10.8 12.8 15.2 16.8 17.6 21.6 14 14 14
Cibanteng 2 Tumpangsari 14 16.8 19.6 14.8 16.4 18.4 10 10 10
Cibanteng 3 Tumpangsari 10.8 12.4 13.6 12.8 14.8 16.4 16 16 16
Cibanteng 4 Tumpangsari 9.6 11.2 12.8 14 15.6 16.4 8 8 8
Cibanteng 5 Tumpangsari 12.4 15.6 18 11.2 12.4 14.4 14 14 14
rata-rata 11.52 13.76 15.84 13.92 15.36 17.44 12.4 12.4 12.4
Nagrog 1 Tumpangsari 13.2 15.5 16.4 10.8 11.6 13.2 18 18 18
Nagrog 2 Tumpangsari 13.2 14.8 16 10.4 12 12.8 10 10 10
Nagrog 3 Tumpangsari 10.4 12.4 12.8 9.2 10.8 11.6 12 12 12
Nagrog 4 Tumpangsari 13.6 16.8 17.2 11.6 14 14.4 16 16 16
Nagrog 5 Tumpangsari 15.2 15.6 16.8 10.8 12.8 13.2 12 12 12
rata-rata 13.12 15.02 15.84 10.56 12.24 13.04 13.6 13.6 13.6
Lampiran 4 Uji-t rataan intensitas penyakit karat dan hawar pada tanaman jagung manis di tiga desa pengamatan
Intensitas Intensitas Intensitas
Umur Lahan
Pola tanam Penyakit hawar penyakit karat penyakit bulai (%)
Tanaman *) pengamatan
Rataan ± Stdev P-value Rataan ± Stdev P-value Rataan ± Stdev P-value
Desa Benteng Monolultur 9.80±10.30 11.56 ± 6.10 19.20 ± 18.50
0.73 0.46 0.46
Desa Cibanteng Tumpngsari 11.52±1.71 13.92 ± 2.11 12.40 ± 3.29
Desa Benteng Monokultur 9.80±10.30 11.56 ± 6.10 19.20 ± 18.50
7 MST 0.51 0.73 0.51
Desa nagrog Tumpangsari 13.12 ± 1.73 10.56 ± 0.87 13.60 ± 3.29
Desa Cibanteng Tumpangsari 11.52±1.71 13.92 ± 2.11 12.40± 3.29
0.10 0.02 0.58
Desa Nagrog Tumpangsari 13.12 ± 1.73 10.56 ± 0.87 13.60 ± 3.29
Desa Benteng Monolultur 10.99±9.52 14.16 ± 7.27 19.20 ± 18.50
0.56 0.74 0.46
Desa Cibanteng Tumpngsari 13.76±2.34 15.36 ± 1.95 12.40 ± 3.29
Desa Benteng Monokultur 10.99±9.52 14.16 ± 7.27 19.20 ± 18.50
8 MST 0.40 0.66 0.51
Desa Nagrog Tumpangsari 15.02 ± 4.24 12.24 ± 1.22 13.60 ± 3.29
Desa Cibanteng Tumpangsari 13.76±2.34 15.36 ± 1.95 12.40± 3.29
0.39 0.59 0.58
Desa Nagrog Tumpangsari 16.02±1.63 12.24 ± 1.22 13.60 ± 3.29
Desa Benteng Monolultur 15.60±15.30 16.56 ± 7.51 19.20 ± 18.50
0.97 0.81 0.46
Desa Cibanteng Tumpngsari 15.84±2.89 17.44 ± 2.72 12.40 ± 3.29
Desa Benteng Monokultur 15.60±15.30 16.56 ± 7.51 19.20 ± 18.50
9 MST 0.97 0.35 0.51
Desa nagrog Tumpangsari 15.84±1.76 13.04 ± 1.00 13.60 ± 3.29
Desa Cibanteng Tumpangsari 15.84±11.10 17.44 ± 2.72 12.40± 3.29
0.62 0.19 0.58
Desa Nagrog Tumpangsari 15.84±4.24 13.04 ± 1.00 13.60 ± 3.29
Total 225.000
2. Biaya tunai
Benih 4 kg 50.000 200.000
Pupuk kandang - - 0
Pupuk TSP 90 kg 2.000 180.000
Pupuk KCL 45 kg 2.000 90.000
Pupuk Urea 120 kg 2.000 240.000
Pestisida - - 0
Upah tenaga kerja
Pengolahan 3 orang x 10 hari 25.000 750.000
tanah 2 orang 25.000 50.000
Penyiangan 6 orang 12.000 72.000
Penanaman 3 orang 25.000 75.000
Pemupukan
Total biaya tunai 1.657.000
3. Biaya tidak tunai
Sewa lahan - - 0
Total 0
4. Total biaya (2+3) 1.657.000
5. Pendapatan atas -1.432.00
biaya tunai (1-2)
6. Pendapatan atas -1.432.000
biaya total (1-4)
7. R/C atas biaya 0.13
tunai (1: 2)
8. R/C atas biaya 0.13
total (1: 4)
55