Sie sind auf Seite 1von 3

JAKARTA-Terdakwa Gubernur Jambi nonaktif Zumi Zola akan menjalani sidang

pembacaan putusan atau vonis dalam kasus suap dan gratifikasi yang akan
dilaksanakan pada Kamis (6/12) di Pengadilan Tipikor, Jakata Pusat. Zumi pun
mengaku, siap dengan vonis yang akan diterima.

Penasehat hukum Zumi Zola, Farizi mengatakan, dirinya bersama tim penasehat
hukum akan menerima dan pasrah atas segala yang menjadi putusan Majelis
Hakim. “Untuk persiapan kita menerima dengan tawakkal apapun yang diputuskan
Majelis Hakim,” ujar Farizi saat dihubungi Fajar Indonesia Network (FIN), Senin
(3/12).

Usaha maksimal telah dilakukannya bersama tim kuasa hukum. Semua langkah
berupa bukti dan kesaksian telah dilakukan. Termasuk, memohon kepada Hakim
agar kliennya bisa menjadi justice collaborator. “Sekarang, kita menunggu hasil
putusan. Setelah itu langkah-langkah yang akan diambil tergantung permintaan
klien,” kata Farizi.

Dalam perkara ini, Zumi dituntut hukuman penjara selama 8 tahun dan denda Rp 1
miliar subsider 6 bulan kurungan. Zumi dianggap jaksa terbukti menerima mobil
Alphard dari seorang pengusaha bernama Joe Fandy Yoesman alias Asiang.

Pemberian mobil dilakukan melalui perantara, Asrul dan Amidy, Kepala Perwakilan
Provinsi Jambi di Jakarta. Zumi pun mengaku telah mengembalikan mobil tersebut
ke KPK. Zumi juga dikatakan telah menerima gratifikasi senilai Rp 40,44 miliar dan
USD 177.300 dari para rekanan yang berkaitan dengan sejumlah proyek di
Pemerintah Provinsi Jambi.

Selain itu, KPK mendakwa Zumi menyuap sejumlah anggota DPRD Jambi untuk
memuluskan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jambi
2017 dan 2018.

Sumber : https://www.radarcirebon.com/jelang-sidang-pembacaan-vonis-zumi-zola-hanya-bisa-
pasrah.html

Dampaknya

Dampak kasus Zumi Zola membuat pandangan dan rasa percaya masyarakat
terhadap lembaga pemerintahan sedikit tercoreng. Selain merasa dirugikan, perkara
seperti itu seolah menjadi tanda dan anggapan pejabat di Jambi tidak serius sebagai
pemimpin daerah.

“Permainan anggaran membuat masyarakat menjerit, prihatin dan kecewa dengan


keadaan,”

Cara mengatasi :
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan ada beberapa cara
untuk mencegah gratifikasi dalam instansi pemerintah. Menurut Samad, setidaknya ada tiga
cara pencegahan. "Cara ini harus dilakukan oleh semua pegawai di segala tingkatan," kata
Samad dalam sambutan penandatanganan aturan pencegahan gratifikasi antara KPK dan
Kementerian Kelautan di Jakarta, Kamis, 27 Maret 2014.
Samad mengatakan cara pertama yakni dengan adanya pengetahuan tentang gratifikasi,
khususnya pada level pegawai lapangan. Pada umumnya, para pegawai level tersebut tak
begitu mengerti tindakan yang tergolong gratifikasi. Karena itu, "Perlu ada pendidikan
khusus tentang apa gratifikasi itu."
Cara kedua yaitu dengan meningkatkan kesadaran melaporkan gratifikasi. Sebab,
kesadaran ini sangat penting memberantas kultur "uang pelicin" yang terjadi selama ini.
Menurut Samad, setiap pemberian kepada seorang penyelenggara negara dapat tergolong
gratifikasi selama pemberian itu terkait dengan pekerjaan atau jabatan orang yang
bersangkutan. "Jangan ragu untuk laporkan gratifikasi," ujarnya.
Ketiga dengan cara meminimalkan psikologis para pelapor gratifikasi. Menurut dia, biasanya
penyelenggara negara enggan melaporkan gratifikasi yang diterima karena takut imbas di
belakangnya. "Dapat ancaman dari pemberi dan semacamnya," kata Samad. Karena itu,
ujar dia, KPK memiliki komitmen untuk menyembunyikan identitas para pelapor gratifikasi
tersebut.
KPK serta Kementerian Kelautan dan Perikanan tanda tangani aturan pencegahan
gratifikasi di lingkungan Kementerian Keluatan. Menteri Kelautan Sharif Cicip Sutardjo
mengatakan penandatanganan ini bertujuan untuk meningkatkan integritas dalam
pelayanan publik. "Untuk mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi," kata Sharif di tempat
yang sama.
Sejak tahun 2015, KPK telah melakukan kajian urgensi penyusunan peraturan
pemerintah untuk mengurai gratifikasi dari beragam aspek yakni hukum pidana, budaya,
keagamaan dan adat-istiadat masyarakat Indonesia. Kajian ini juga bertujuan
meletakkan ketentuan tentang pengendalian gratifikasi secara terintegrasi dengan
ketentuan disiplin pegawai seperti reward and punishment, sebagai salah satu
perangkat dalam menjalankan reformasi birokrasi. Kajian ini disusun dengan
pendekatan yuridis normatif melalui studi pustaka, wawancara ahli yang memiliki
kualifikasi di beberapa bidang.
Pertemuan dengan para pakar sebagai narasumber juga telah digelar, antara lain
dengan pakar hukum pidana, hukum tata negara, ilmu perundang-undangan, hukum
administrasi negara, filsafat hukum, antropologi hukum, budayawan dan pihak lain yang
terkait. Dengan adanya peraturan pemerintah tentang gratifikasi ini, nantinya diharapkan
agar pegawai negeri, penyelenggara negara, masyarakat, dan pelaku usaha dapat
memahami dan menerapkan pengendalian gratifikasi di institusi masing-masing.
Kegiatan pengendalian gratifikasi tidak hanya dilakukan bagi para penyelenggara
negara dan pegawai negeri, melainkan juga melibatkan pihak korporasi/swasta. Sebab,
keterlibatan sektor swasta pada sejumlah kasus korupsi, seolah menggambarkan
fenomena supply dan demand. Dua pihak yang melakukan korupsi tersebut berasal dari
sektor publik dan sektor swasta. Faktanya, 24 persen pelaku korupsi yang ditindak oleh
KPK pada 2015 berasal dari sektor swasta.
Statistik tersebut diamini Global Corruption Barometer Survey tahun 2013 dan juga
Global Corruption Barometer Research tahun 2016 yang menyebutkan bahwa dalam 4
tahun terakhir, 30-39.9 persen responden di Indonesia menyatakan pernah membayar
suap terkait dengan pelayanan publik. Karenanya, pihak swasta juga harus dilibatkan
dalam memberantas praktik gratifikasi.
Pada tahun 2017 lalu, upaya untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga publik harus
ditingkatkan melalui berbagai sosialisasi terhadap masyarakat mengenai gratifikasi.
Pemerintah melalui KPK dapat melakukan riset lebih lanjut untuk mengkaji model seperti
apa, strategi seperti apa, struktur seperti apa, dan sistem seperti apa yang diperlukan
oleh KPK untuk dapat secara efektif memberikan informasi yang jelas dan kredibel
tentang gratifikasi pada masyarakat, termasuk tata cara penyerahannya. Dengan
sosialisasi diharapkan berbagai pihak yang terkait dapat memberikan kontribusi secara
positif dalam menciptakan transparansi sistem pemerintahan serta pelayanan publik
yang lebih baik. Transparansi dan akuntabilitas kelembagaan inilah yang merupakan
prasyarat utama untuk mewujudkan good corporate governance.

Das könnte Ihnen auch gefallen