Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Nama kelompok :
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani
sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi
rahmat bagi seluruh alam.
Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi salah satu tugas
mata kuliah Keperawatan Gerontik dengan judul “Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Pasien
Dengan Osteoartritis”, Disamping itu, kami sebagai penyusun mengucapkan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata, kami memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka dari
itu kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya-karya kami di waktu yang
akan datang.
Wassalammualaikum Wr.Wb
( KELOMPOK 5)
i
DAFTAR PUSTAKA
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Tahun 2014 mencatat jumlah lansia di Indonesia berjumlah 18.781 juta jiwa dan
pada tahun 2025 jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014).Osteoartritis (OA) adalah penyakit rematik yang paling
sering mengenai lansia akibat gangguan metabolisme yang diikuti oleh beberapa
perubahan pada sistem muskuloskeletal pada lansia. Akibat dari osteoarthritis dapat
mempengaruhi lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas
sehari – hari yang dimaksud adalah seperti makan, minum, berjalan, tidur, mandi,
berpakaian, BAK, dan BAB.
Osteoartritis (OA) adalah penyakit rematik yang paling sering mengenai
lansia akibat gangguan metabolisme yang diikuti oleh beberapa perubahan pada
sistem muskuloskeletal pada lansia. Osteoathritis merupakan suatu patologi yang
dimulai dari kartilago hialin sendi lutut, dimana terjadi pembentukan osteofit pada
tulang rawan sendi dan jaringan subchondral yang menyebabkan penurunan
elastisitas dari sendi. Selain permukaan sendi (tulang rawan sendi) osteoathritis
juga mengenai daerah-daerah sekitar sendi dan tulang subchondral, capsul sendi
yang membungkus sendi dan otot-otot yang melekat berdekatan dengan sendi.
Akibat dari semua itu akan menimbulkan keluhan berupa adanya nyeri pada lutut
terutama pada bagian medial lutut, kekakuan atau keterbatasan gerak dalam pola
capsular pattern sendi lutut, gangguan stabilitas sendi dan menurunnya fungsi lutut
yaitu sebagai penerima beban tubuh dan juga fungsionalnya dalam berjalan. Akibat
dari itu maka osteoarthritis dapat mempengaruhi lansia dalam melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari. Aktivitas sehari – hari yang dimaksud adalah seperti makan,
minum, berjalan, tidur, mandi, berpakaian, BAK, dan BAB.
Menurut survey pendahuluan yang dilakukan di posyandu lansia Nedyo waras
dan Ngudi waras Kelurahan Jebres pada bulan agustus, penderita osteoarthritis yang
paling banyak terdapat pada rentang usia 60-72 tahun. Pada penderita osteoarthritis ini
1
banyak pada masuk grade 1 sebanyak 33 orang dan grade 2 sebanyak 31 orang. Tujuan
penelitian adalah Untuk mengetahui Hubungan nyeri lutut osteoarthritis dengan
aktivitas fisik pada lansia
I.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut World Health Organization (2014), proporsi penduduk di atas 60 tahun di dunia tahun
2000 sampai 2050 akan berlipat ganda dari sekitar 11% menjadi 22%, atau secara absolut
meningkat dari 605 juta menjadi 2 milyar lansia. Nazam (2013) melakukan survei tentang
kejadian pasien jatuh di AS, dimana hasil survei tersebut menunjukkan 2,3-7% per1000 lansia
mengalami jatuh dari tempat tidur setiap hari dan 29-48% lansia mengalami luka ringan dan
7,5% dengan luka-luka serius. Kongres XII PERSI (2012) melaporkan bahwa angka kejadian
pasien jatuh di Indonesia bulan Januari-September 2012 sebesar 14%, hal ini menggambarkan
presentasi angka pasien jatuh masuk ke dalam lima besar insiden medis selain medicine eror
(Komariah, 2015). Peningkatan jumlah lansia juga terjadi di negara Indonesia. Persentase
penduduk lansia tahun 2011, 2012 dan 2013 telah mencapai di atas 7% dari keseluruhan
penduduk, dengan spesifikasi 13,04% berada di Yogyakarta, 10,4% berada di Jawa Timur,
10,34% berada di Jawa Tengah, dan 9,78% berada di Bali (Susenas, 2014). Penduduk lansia
terbesar di Yogyakarta berasal dari Kabupaten Sleman, yaitu berkisar 135.644 orang atau
12,95% dari jumlah penduduk Sleman (Pemkab Sleman, 2015).
Memasuki usia tua akan mengalami kondisi kemunduran fisik yang ditandai dengan
pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, penurunan kekuatan otot
(gangguan muskuloskeletal) yang mengakibatkan gerakan lambat, dan gerakan tubuh yang
tidak proporsional. Akibat perubahan fisik lansia tersebut, mengakibatkan gangguan mobilitas
fisik yang akan membatasi kemandirian lansia dalam memenuhi aktifitas sehari-hari dan
menyebabkan terjadinya risiko jatuh pada lansia (Stanley & Beare, 2012).
3
Jatuh merupakan kegagalan manusia untuk mempertahankan keseimbangan badan
untuk berdiri. Faktor risiko jatuh pada usia lanjut dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu
faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik faktor yang berasal dari dalam tubuh
lanjut usia sendiri seperti kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, gangguan
sensorik. Sedangkan faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitar)
(Darmojo, 2009).
Di Indonesia prevalensi cidera jatuh pada penduduk diatas usia 55 tahun mencapai
49,4%, umur diatas 65 tahun keatas 67,1% (Kemenkes, RI, 2013). Insidensi jatuh setiap
tahunnya di antara lansia yang tinggal di komunitas meningkat dari 25% pada usia 70 tahun
menjadi 35% setelah berusia lebih dari 75 tahun (Stanley & Beare, 2012). Kejadian jatuh
dilaporkan terjadi pada sekitar 30% lansia berusia 65 tahun ke atas yang tinggal di rumah
(komunitas), separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Lansia yang tinggal
dirumah mengalami jatuh sekitar 50% dan memerlukan perawatan di rumah sakit sekitar 10-
25%. (Darmojo & Martono, 2009).
4
Kelebihan atau kekurangan masukan persepsi sensori.
5. Berkurangnya kemampuan kognitif
Gangguan proses kognitif, seperti demensia berat jauh.
6. Jatuh Efek fisik: cedera atau fraktur.
Efek psikologis: sindrom setelah jatuh.
7. Perubahan hubungan sosial
Faktor-faktor aktual (mis, kehilangan pasangan, pindah jauh dari keluarga atau
teman-teman), faktor-faktor persepsi (mis, perubahan pola pikir seperti
depresi).
8. Aspek psikologis
Ketidakberdayaan dalam belajar.
II.2.3 Program Terapeutik
Program penanganan medis memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas dan
kuantitas pergerakan pasien.
Faktor-faktor mekanisme mencegah atau menghambat pergerakan tubuh atau
bagian tubuh dengan penggunaan peralatan eksternal (misalnya gips dan traksi) atau
alat-alat (misalnya yang dihubungkan dengan pemberian cairan intravena,
pengisapan gaster, kateter urine, dan pemberian oksigen).
Sebagai intervensi dianjurkan istirahat dapat menurunkan kebutuhan metabolik,
kebutuhan oksigen dan beban kerja jantung. Selain itu istirahat memberikan
kesempatan pada sistem muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri,
mencegah iritasi yang berlebihan dari jaringan yang cedera, dan meminimalkan
efek gravitasi. Secara fisiologis, suplai oksigen yang tidak adekuat mengganggu
pemeliharaan fungsi sel untuk meningkatkan aktivitas. Secara psikologis, depresi
menurunkan energi yang tersedia.
II.2.4 Dampak Masalah pada Lansia
Lansia sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis dari
imobilitas, perubahan yang berhubungan dengan usia disertai dengan penyakit
kronis menjadi predisposisi bagi lansia untuk mengalami komplikasi-komplikasi
ini imobilitas mempengaruhi tubuh yang telah terpengaruh sebelumnya.
Kompetensi fisik seseorang lansia mungkin berada atau dekat dengan tingkat
ambang batas untuk aktivitas mobilitas tertentu. Perubahan lebih lanjut atau
kehilangan dari imobilitas dapat membuat seseorang menjadi tergantung. Semakin
5
besar jumlah penyebab imobilitas, semakin besar potensial untuk mengalami efek-
efek akibat imobilitas.
Keuntungan latihan secara teratur untuk lansia termasuk memperlambat proses
penuaan, memperpanjang usia. Fungsi kardiovaskular yang lebih baik dan
peningkatan perasaan sejahtera.
II.2.5 Penatalaksanaan
1. Pencegahan Primer
Sebagai suatu proses yang berlangsung sepanjang kehidupan mobilitas
dan aktivitas bergantungan pada fungsi sistem muskuloskeletal,
kardiovaskular dan pulmonal, walaupun latihan tidak akan mengubah
rangkaian proses penuaan normal, hal tersebut dapat mencegah efek imobilitas
yang merusak dan gaya hidup kurang gerak. Program latihan juga
dihubungkan dengan peningkatan mood atau tingkat ketegangan ansietas dan
depresi. Hambatan terhadap latihan : Berbagai hambatan mempengaruhi
partisipasi lansia dalam latihan secara teratur. Hambatan lingkungan termasuk
kuranganya tempat yang aman untuk latihan dan kondisi iklim yang tidak
mendukung. Sikap budaya adalah hambatan lain untuk melakukan latihan.
Model peran yang kurang gerak, gangguan citra tubuh, dan ketakutan akan
kegagalan atau ketidaksetujuan semuanya turut berperan terhadap kegagalan
lansia untuk berpartisipasi dalam latihan yang teratur.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder memfokuskan pada pemeliharaan fungsi dan
pencegahan komplikasi, disgnosa keperawatan yang dihubungkan dengan
pencegahan sekunder adalah: gangguan mobilitas fisik.
3. Pencegahan Tersier
Upaya-upaya rehabilitatif untuk memaksimalkan mobilitas bagi lansia
melibatkan upaya multidisiplin yang terdiri dari perawat, dokter, ahli
fisioterapi dan terapi okupasi seseorang ahli gizi, aktivis sosial, dan keluarga
serta teman-teman.
6
Osteoartritis yang dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau osteoartrosis
(sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan
dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas). (Smeltzer , C Suzanne,
2002 hal 1087)
Osteoartritis merupakan golongan rematik sebagai penyebab kecacatan yang
menduduki urutan pertama dan akan meningkat dengan meningkatnya usia, penyakit
ini jarang ditemui pada usia di bawah 46 tahun tetapi lebih sering dijumpai pada usia di
atas 60 tahun. Faktor umur dan jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan frekuensi
(Sunarto, 1994, Solomon, 1997).
Penyakit Sendi Degeneratif (osteoarthritis) adalah penyakit kerusakan tulang
rawan sendi yang berkembang lambat dan penyebabnya belum diketahui (Kalim,
IPD,1997). Atau gangguan pada sendi yang bergerak ( Price & Wilson,1995).
Osteoarthritis yang juga dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau
osteoarthritis (sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling
sering ditemukan dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas).
Sedangkan menurut Harry Isbagio & A. Zainal Efendi (1995) osteoartritis
merupakan kelainan sendi non inflamasi yang mengenai sendi yang dapat digerakkan,
terutama sendi penumpu badan, dengan gambaran patologis yang karakteristik berupa
buruknya tulang rawan sendi serta terbentuknya tulang-tulang baru pada sub kondrial
dan tepi-tepi tulang yang membentuk sendi, sebagai hasil akhir terjadi perubahan
biokimia, metabolisme, fisiologis dan patologis secara serentak pada jaringan hialin
rawan, jaringan subkondrial dan jaringan tulang yang membentuk persendian. (R.
Boedhi Darmojo & Martono Hadi ,1999)
Osteoartritis diklasifikasikan menjadi :
1. Tipe primer (idiopatik) tanpa kejadian atau penyakit sebelumnya yang
berhubungan dengan osteoartritis
2. Tipe sekunder seperti akibat trauma, infeksi dan pernah fraktur (Long,
C Barbara, 1996 hal 336)
8
Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan osteoartritis adalah trauma yang
menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan biomekanik sendi tersebut.
7. Kepadatan tulang dan pengausan (wear and tear)
Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak rawan sendi
melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan proses degenerasi karena bahan yang
harus dikandungnya.
8. Akibat penyakit radang sendi lain
Infeksi (artritis rematord; infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan reaksi
peradangan dan pengeluaran enzim perusak matriks rawan sendi oleh membran
sinovial dan sel-sel radang.
9. Joint Mallignment
Pada akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan, maka rawan sendi akan
membal dan menyebabkan sendi menjadi tidak stabil / seimbang sehingga
mempercepat proses degenerasi.
10. Penyakit endokrin
Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam proteglikan yang
berlebihan pada seluruh jaringan penyokong sehingga merusak sifat fisik rawan
sendi, ligamen, tendo, sinovia, dan kulit. Pada diabetes melitus, glukosa akan
menyebabkan produksi proteaglikan menurun.
11. Deposit pada rawan sendi
Hemokromatosis, penyakit Wilson, akronotis, kalsium pirofosfat dapat
mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer, asam hemogentisis, kristal
monosodium urat/pirofosfat dalam rawan sendi.
9
kartilago artikuler) serta sinovium dan menyebabkan keadaan campuran dari proses
degenerasi, inflamasi, serta perbaikan. Proses degeneratif dasar dalam sendi telah
berkembang luas hingga sudah berada diluar pandangan bahwa penyakit tersebut hanya
semata-mata proses “aus akibat pemakaian” yang berhubungan dengan penuaaan.
Faktor resiko bagi osteoarthritis mencakup usia, jenis kelamin wanita,
predisposisi genetic, obesitas, stress mekanik sendi,trauma sendi, kelainan sendi atau
tulang yang dialami sebelumnya, dan riwayat penyakit inflamasi, endokrin serta
metabolik. Unsur herediter osteoarthritis yang dikenal sebagai nodal generalized
osteoarthritis ( yang mengenal tiga atau lebih kelompoksendi) telah dikomfirmasikan.
Tipe osteoarthritis ini meliputi proses inflamasi primer. Wanita pascamenopause dalam
keluarga yang sama ternyata memiliki tipe osteoarthritis pada tangan yang ditandai
dengan timbulnya nodus pada sendi interfalang distal dan proksimal tangan.
Gangguan congenital dan perkembangan pada koksa sudah diketahui benar
sebagai predisposisi dalam diri seseorang untuk mengalami osteartritis koksa.
Gangguan ini mencakup sublokasi-dislokasi congenital sendi koksa,displasia,
asetabulum, penyakit Legg-Calve-Perthes dan pergeseran epifise kaput femoris.
Obesitas memiliki kaitan dengan osteoarthritis sendi lutut pada wanita. Meskipun
keadaan ini mungkin terjadi akibat stress mekanik tambahan, dan ketidaksejajaran
sendi lulut terhadap bagian tubuh lainnya karena diameter paha, namun obesitas dapat
memberikan efek metabolik langsung pada kartilago. Secara mekanis,obesitas
dianggap meningkatkan gaya sendi dan arena itu menyebabkan generasi kartilago.
Teori faktor metabolik yang berkaitan dengan dan menyebabkan osteoarthritis.
Obesitas akan disertai dengan peningkatan masa tulang subkondrium yang dapat
menimbulkan kekakuan pada tulang sehingga menjadi kurang lentur terhadap dampak
beban muatan yang akan mentrasmisikan lebih besar gaya pada kartilago artikuler yang
melapisi atasnya dan dengan demikian memuat tulang tersebut lebih rentan terhadap
cidera.
Faktor-faktor mekanis seperti trauma sendi, aktivitas olahraga dan pekerjaan
juga turut terlibat. Factor-faktor ini mencakup kerusakan pada ligamentum krusiatum
dan robekan menikus, aktivitas fisik yang berat dan kebiasaan sering berlutut.
Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit yang
merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga diawali oleh stress
biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan dipecahnya
polisakarida protein yang membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga
10
mengakibatkan kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi
yang harus menanggung berat badan, seperti panggul lutut dan kolumna vertebralis.
Sendi interfalanga distal dan proksimasi.
Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya gerakan.
Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan penyempitan
ruang sendi atau kurang digunakannya sendi tersebut.
Perubahan-perubahan degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-
peristiwa tertentu misalnya cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan
penyakit peradangan sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang
bersifat intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur ada ligamen atau adanya
perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan
mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi penyempitan rongga
sendi yang menyebabkan nyeri, kaki kripitasi, deformitas, adanya hipertropi atau
nodulus. ( Soeparman ,1995)
11
akan menimbulkan pembengkakan dan peregangan simpai sendi yang semua ini
akan menimbulkan rasa nyeri.
4. Mekanik
Nyeri biasanya akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas lama dan akan
berkurang pada waktu istirahat. Mungkin ada hubungannya dengan keadaan
penyakit yang telah lanjut dimana rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya
berlokasi pada sendi yang terkena tetapi dapat menjalar, misalnya pada osteoartritis
coxae nyeri dapat dirasakan di lutut, bokong sebelah lateril, dan tungkai atas. Nyeri
dapat timbul pada waktu dingin, akan tetapi hal ini belum dapat diketahui
penyebabnya.
5. Pembengkakan Sendi
Pembengkakan sendi merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan cairan
dalam ruang sendi biasanya teraba panas tanpa adanya pemerahan.
6. Deformitas
Disebabkan oleh distruksi lokal rawan sendi.
7. Gangguan Fungsi
Timbul akibat Ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi.
12
Artroskopi adalah alat kecil berupa kamera yang diletakkan dalan engsel tulang.
Dokter akan mengamati ketidaknormalan yang terjadi.
5. Foto Rontgent menunjukkan penurunan progresif massa kartilago sendi sebagai
penyempitan rongga sendi
6. Serologi dan cairan sinovial dalam batas normal
13
tongkat, alat-alat listrik yang dapat memperingan kerja sendi juga perlu diperhatikan.
Beban pada lutut berlebihan karena kakai yang tertekuk (pronatio).
3. Diet
Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang gemuk harus
menjadi program utama pengobatan osteoartritis. Penurunan berat badan seringkali
dapat mengurangi timbulnya keluhan dan peradangan.
4. Dukungan psikososial
Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh karena sifatnya yang
menahun dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya. Disatu pihak pasien ingin
menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain dia ingin orang lain turut
memikirkan penyakitnya. Pasien osteoartritis sering kali keberatan untuk memakai alat-
alat pembantu karena faktor-faktor psikologis.
5. Persoalan Seksual
Gangguan seksual dapat dijumpai pada pasien osteoartritis terutama pada tulang
belakang, paha dan lutut. Sering kali diskusi karena ini harus dimulai dari dokter karena
biasanya pasien enggan mengutarakannya.
6. Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis, yang meliputi
pemakaian panas dan dingin dan program latihan ynag tepat. Pemakaian panas yang
sedang diberikan sebelum latihan untk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan. Pada sendi
yang masih aktif sebaiknya diberi dingin dan obat-obat gosok jangan dipakai sebelum
pamanasan. Berbagai sumber panas dapat dipakai seperti Hidrokolator, bantalan
elektrik, ultrasonic, inframerah, mandi paraffin dan mandi dari pancuran panas.
Program latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi dan memperkuat otot
yang biasanya atropik pada sekitar sendi osteoartritis. Latihan isometrik lebih baik dari
pada isotonik karena mengurangi tegangan pada sendi. Atropi rawan sendi dan tulang
yang timbul pada tungkai yang lumpuh timbul karena berkurangnya beban ke sendi
oleh karena kontraksi otot. Oleh karena otot-otot periartikular memegang peran penting
terhadap perlindungan rawan senadi dari beban, maka penguatan otot-otot tersebut
adalah penting.
7. Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan kerusakan
sendi yang nyata dengan nyari yang menetap dan kelemahan fungsi. Tindakan yang
dilakukan adalah osteotomy untuk mengoreksi ketidaklurusan atau ketidaksesuaian,
14
debridement sendi untuk menghilangkan fragmen tulang rawan sendi, pebersihan
osteofit.
a. Penggantian engsel (artroplasti).
Engsel yang rusak akan diangkat dan diganti dengan alat yang terbuat dari plastik
atau metal yang disebut prostesis.
b. Pembersihan sambungan (debridemen).
Dokter bedah tulang akan mengangkat serpihan tulang rawan yang rusak dan
mengganggu pergerakan yang menyebabkan nyeri saat tulang bergerak.
c. Penataan tulang.
Opsi ini diambil untuk osteoatritis pada anak dan remaja. Penataan dilakukan agar
sambungan/engsel tidak menerima beban saat bergerak.
8. Terapi konservatif mencakup penggunaan kompres hangat, penurunan berat badan,
upaya untuk menhistirahatkan sendi serta menghindari penggunaan sendi yang
berlebihan pemakaian alat-alat ortotail. Untuk menyangga sendi yang mengalami
inflamasi ( bidai penopang) dan latihan isometric serta postural. Terapi okupasioanl dan
fisioterapi dapat membantu pasien untuk mengadopsi strategi penangan mandiri.
Seorang lansia A laki-laki (68 tahun) sudah menikah beragama islam, tinggal di Wisma
Anggrek tanpa ditemani oleh social worker/care giver. Lansia menderita osteoarthritis
sejak 2 tahun yang lalu , menderita DM dan osteoporosis. Lansia berjalan menggunakan
alat bantu crutches, lansia pernah jatuh di kamar mandi 2 bulan yang lalu. Kamar mandi
tidak ada pegangan/rail di dekat closet dan tidak terpasang karpet antislip, hasil
pengkajian Morse Fall Scale : 65. Penanggung jawab wisma mengatakan lansia sering
berjalan mondar-mandir tanpa arah, sering melihat ruangan lansia lainnya tanpa tujuan
yang jelas, terkadang lansia mengikuti PJ wisma kemanapun dia pergi. Terkadang
lansia ditemukan di luar pintu panti dan tidak tau arah kembali ke wisma.
Tanggal masuk :
15
I. IDENTITAS DIRI KLIEN
Nama : lansia A
Umur : 68 tahun
Jenis Kelamin : laki – laki
Status Perkawinan : menikah
Agama : islam
Suku : jawa
Pendidikan Terakhir : SMA
Sumber Informasi : PJ wisma
Keluarga yang dapat dihubungi : -
Diagnosis medis (bila ada) : osteoarthritis, DM, dan osteoporosis.
II. RIWAYAT KESEHATAN SAAT INI
Riwayat Kesehatan Sekarang
1. Keluhan Utama
Lansia A mengatakan nyeri
2. Kronologi keluhan
a. Faktor pencetus : sakit osteoarthritis
b. Timbulnya keluhan : ( ) mendadak ( ) bertahap
c. Lamanya :
d. Tindakan utama mengatasi :
III. RIWAYAT KESEHATAN YANG LALU
Lansia A mempunyai penyakit DM, dan osteoporosis
IV. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Riwayat keluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit keturunan
V. STATUS PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
1. Tanda-tanda vital
a. Tekanan Darah (TD) : 140/90
b. Nadi : 98
c. RR : 24
d. Suhu : 370C
e. Tinggi Badan : 170 cm
f. Berat Badan : 55 kg
2. Kepala dan Rambut
16
Kepala tidak ada luka dan rambut sudah berwarna putih
3. Mata
Penglihatan sudah mulai berkurang
4. Hidung
Lansia A Hidung bagus
5. Telinga
Lansia A pendengarannya masih baik
B. Sistem Pernafasan
Lansia A dalam pengkajian didapatkan RR normal yaitu 24 x/mnt, irama
pernafasan normal, dan bunyi nafas normal.
C. Sistem Kardiovaskuler
Lansia A irama dan denyut jantung normal dan tidak ada penyakit
keturunan terkat dengan kardiovaskuler.
D. Sistem Pencernaan
Pencernaan pada lansia A normal, karena lansia BAB sehari 1 kali dipagi
hari.
E. Sistem Perkemihan
Perkemihan pada lansia A normal, karena lansia pada saat BAK tidak
ada keluhan
F. Sistem Integumen
Kulit lansia A lembab
G. Ekstremitas
1. Ekstremitas atas
Normal
2. Ekstremitas bawah
Lansia A mengatakan sering mengalam nyeri dibagian kaki/lutut
VI. PENILAIAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL
A. Pola interaksi dengan lingkungan
Interaksi bagus tetapi lansia A terkadang lupa
B. Bahasa
Bahasa yang digunakan Bahasa Indonesia dan sesekali memakai Bahasa
jawa
C. Perhatian dengan orang lain/lawan bicara
Kurang memperhatikan
17
D. Keadaan emosi
Emosi pada lansia A stabil
E. Persepsi klien tentang kondisinya
Lansia A mengatakan sakitnya ini karena umur dan lansia A mengatakan
pernah jatuh serta sering lupa.
F. Konsep diri
1. Gambaran diri
Lansia A mengatakan dirinya sudah tidak muda lagi
2. Ideal diri
Lansia A mengatakan dirinya senang jika beliau dibutuhkan oleh
orang lain
3. Harga diri
Klien mengatakan dirinya tidak mau dibantu oleh anaknya
menggunakan uang
4. Peran diri
Lansia A mengata kan dirinya sudah berperan sebagai ayah yang
baik saat anaknya masih kecil
5. Identitas diri
Lansia mengatakan lupa dengan keluarganya
G. Spiritual
Klien beribadah yaitu solat 5 waktu
Nama : Tn.A
Umur : 68 Tahun
Tanggal : 05/05/19
18
3. Alat Bantu jalan: 15
- Bed rest/ dibantu perawat 0
- Kruk/ tongkat/ walker 15
- Berpegangan pada benda-benda di sekitar 30
(kursi, lemari, meja)
4. Terapi Intravena: apakah saat ini lansia Tidak 0 0
terpasang infus? Ya 20
6. Status Mental 15
- Lansia menyadari kondisi dirinya 0
- Lansia mengalami keterbatasan daya ingat 15
Total Nilai 70
Pemeriksa
( )
19
melihat ruangan lansia lainnya tanpa 2. Lansia menderita osteoarthritis sejak
tujuan yang jelas, terkadang lansia 2 tahun yang lalu , menderita DM dan
mengikuti PJ wisma kemanapun dia osteoporosis.
pergi. 3. Lansia berjalan menggunakan alat
2. Terkadang lansia ditemukan di luar bantu crutches, lansia pernah jatuh di
pintu panti dan tidak tau arah kembali kamar mandi 2 bulan yang lalu.
ke wisma. 4. Kamar mandi tidak ada pegangan/rail
3. lansia A mengatakan nyeria di bagian di dekat closet dan tidak terpasang
ekstremitas bawah/kaki/lutut karpet antislip,
5. hasil pengkajian Morse Fall Scale :
65.
20
- hasil pengkajian Morse Fall Scale :
65.
2. Data subjektif: (data tambahan) Nyeri kronis pada lansia A laki-laki
(68 tahun) di Wisma Anggrek
- lansia A mengatakan nyeri di bagian
ekstremitas bawah/kaki/lutut
-
Data objektif : (data tambahan)
21
II.10.5 Intervensi keperawatan
22
- Mengenali 3. Singkirkan bahan berbahaya dari
perubahan status lingkungan jika diperlukan
kesehatan 4. Modifikasi lingkungan untuk
3. Deteksi resiko (82) meminimalkan bahan berbahaya dan
- Mengidentifikasi beresiko
kemungkinan resiko 5. Sediakan alat untuk beradaptasi
kesehatan 6. Gunakan perlatan perlindungan untuk
- Melakukan skrining membatasi mobilitas fisik
sesuai waktu yang Pencegahan Jatuh (274)
dianjurkan
1. Identifikasi perilaku dan factor yang
- Manfaatkan sumber-
mempengaruhi resiko jatuh
sumber untuk
2. Kaji ulang riwayat jatuh bersama
mengetahui resiko
dengan pasien dan keluarga
kesehatan pribadi
3. Identifikasi karakteristik dari
lingkungan yang mungkin
meningkatkan potensi jatuh
4. Monitor gaya berjalan
5. Kunci kursi roda, tempat tidur atau
branker selama melakukan
pemindahan pasien
6. Letakan bendaa-benda dalam
jangkauan yang mudah bagi pasien
7. Instruksikan pasien untuk memanggil
bantuan terkait pergerakan
8. Ajarkan pasien bagaimana jika jatuh,
untuk meminimalkan cedera
23
A. Status kenyamanan fisik 2. Hindari gangguan yang tidak perlu
dan berikan untuk waktu istirahat
1. Control terhadap gejala
3. Ciptakan lingkungan yang tengan dan
2. Kesejahteraan fisik tidak
mendukung.
terganggu
4. Pertimbangkan sumber-sumber
3. Memiliki posisi yang
ketidaknyamanan, seperti balutan
nyaman
yang lembab, posisi selang, bautan
4. Perawatan pribadi dan
yang tertekan, seprei kusut, maupun
kebersihan tidak
lingkugan yang mengganggu
tergaggu
5. Sesuaikan suhu ruangan yang paling
5. Gatal-gatal tidak ada
menyamankan individu, jika
6. Nyeri otot tidak ada
memungkinka
A. Kontrol Nyeri
6. Hindari paparan dan aliran udara yang
1. Secara konsisten
tidak perlu, terlalu panas, maupun
menunjukan
terlalu dingin.
mengenali kapan
nyeri terjadi
Manajemen nyeri (1400) hal 198
2. Secara konsisten
1. Lakukan pengkajian nyeri
menunjukan
komprehensif yang meliputi lokasi,
dapat
karakteristik,onset/durasi,frekuensi,
menggambarkan
kualitas, intensitas atau beratnya nyeri
factor penyebab
dan factor pencetus
3. Secara konsisten
2. Pastikan perawatan analgesic bagi
menunjukan
pasien dilakukan dengan pemantauan
dapat
yang ketat
menggunakan
3. Gali pengetahuan dan kepercayaan
tindakan
pasien mengenai nyeri
pencegahan
4. Tentukan akibat dari pengalaman
4. Secara konsisten
nyeri terhadap repon nyeri pasien (
menunjukan
misalnya, tidur, nafsu makan,
menggunakan
pengertian, perasaan, hubungan,
sumber daya
performa kerja dan tanggung jawab
yang tersedia
peran)
24
5. Secara konsisten 5. Gali Bersama pasien factor-faktor
menunjukan yang dapat menurunkan atau
mengenali apa memperberat nyeri
yang terkait 6. Evaluasi Bersama pasien dan tim
dengan gejala kesehatan lainnya, mengenai
nyeri efektifitas tindakan pengontrolan
6. Secara konsisten nyeri yang pernah digunakan
menunjukan sebelumnya.
dapat
melaporkan nyeri
yang terkontrol
3. Konfusi akut Setelah di lakukan tindakan Stimulasi kognisi (4720) hal 423
pada Lansia keperawatan 3 x 24 jam di
1. Konsultasi dengan keluarga dalam
A wisma anggrek , dengan tujuan
rangka membangun dasar kognisi
menurunkan konfusi akutpada
klien
lansia A dengan kriteria hasil:
2. Informasikan klien mengenai beita
A. Orientasi kognitif terkini yang tidak mengancam
1. Tidak terganggu 3. Tawarkan stimulasi lingkungan
mengidentifikasi melalui kontak dengan banyak
diri sendiri personil
2. Tidak terganggu 4. Hadirkan perubahan secara berkala
mengidentifikasi 5. Orientasikan klien terhadap waktu,
orang-orang tempat dan orang
yang signifikan 6. Bicara pada klien
3. Tidak terganggu 7. Tunjukan sensitifitas terhadap respon
mengidentifikasi caregiver dengan berespon segera dan
tempat saat ini sesuai tanda tanda yang ditunjukan
4. Tidak terganggu
mengidentifikasi Manajemen delirium 6440 hal 159
hari dengan 1. Monitor status neurologi secara
benar berkala.
25
5. Tidak terganggu 2. Libatkan anggota keluarga atau tenag
mengidentifikasi a sukarela dirumah sakit untuk
peristiwa saat ini mengawasi pasien yang mengalami
yang signifikan. agitasi dari pada melakukan
B. Tingkat delirium pengekangan.
1. Disorientasi 3. Kenali perasaan dan ketakutan pasien
waktu ringan 4. Biarkan pasien melakukan kebiasaan-
2. Disorientasi kebiasaan yang bias mengurangi
tempat ringan kecemasan
3. Disorientasi 5. Berikan pasien informasi mengenai
orang ringan apa yang terjadi dan apa yang bisa
4. Gangguan terjadi dimasa mendatang
kognisi ringan 6. Dukung adanya kunjungan dari orang-
5. Gangguan orang yang penting bagi pasien, jika
memori ringan memungkinkan.
6. Kesulitan
menafsirkan
rangsangan
lingkungan
ringan.
26
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Mobilitas bukan merupakan sesuatu yang absolut dan statis dalam menentukan
kemampuan untuk berjalan, tetapi mobilitas optimal merupakan sesuatu yang
individualistis, relatif dan dinamis yang tergantung pada interaksi antara faktor-faktor
lingkungan dan sosial, afektif dan fungsi fisik. Keparahan imobilitas pada sistem
muskuloskeletal adalah penurunan tonus, kekuatan, ketahanan otot, rentang gerak sendi
dan kekuatan skeletal. Pengkajian pada pasien gangguan mobilisasi dapat ditemukan
adanya atrofi otot, mengecilnya tendon, ketidakadekuatnya sendi, nyeri pada saat
bergerak, keterbatasan gerak, penurunan kekuatan otot, paralisis, serta kifosis. Adapun
diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangguan mobilisasi adalah : Nyeri
akut/kronis berhubungkan dengan destruksi sendi, Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan penurunan kekuatan otot, dan Kurang perawatan diri berhubungan dengan nyeri
pada waktu bergerak.
27
Daftar Pustaka
R. Boedhi Darmojo & Martono Hadi (1999), Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut, Jakarta,
Balai Penerbit FK Universitas Indonesia
Smeltzer S. C. & Bare B.G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner suddart.
Ed. 8. Vol. 3. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
Soeparman (1995), Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kedua, Jakarta, Balai Penerbit FKUI
Nanda.NIC.NOC
28