Sie sind auf Seite 1von 8

Trauma-focused Cognitive Behavioral Therapy (TF-CBT) merupakan sebuah model

terapi berdasarkan komponen (components-based) untuk anak-anak yang mengalami trauma dan
untuk pengasuh/orangtua yang tidak terlibat dalam kekerasan seksual anak-anak tersebut
(nonoffending caregiver). TF-CBT melibatkan sesi CBT bersama anak secara individu, pengasuh
secara individu, serta anak dan pengasuh secara bersamaan (conjoint sessions). Terapi ini
dimulai dari pengenalan dan pengetahuan terhadap trauma yang dialami, keterampilan belajar
untuk coping terhadap hal-hal yang mengingatkan terhadap trauma dan stressor lain, dan pada
akhirnya mengambil makna dari trauma yang dialami. TF-CBT terdiri dari 3 fase yaitu:
(1)stabilisasi dan pengembangan keterampilan (skill); (2)narasi dan penyelesaian (processing)
trauma; dan (3)integrasi dan konsolidasi makna trauma yang dapat diambil.

Komponen TF-CBT dapat disingkat menjadi “PRACTICE” yang terdiri dari:


Parenting and psychoeducation,
Relaxation,
Affect expression and modulation,
Cognitive coping,
Trauma narration and processing,
In vivo mastery,
Conjoint sessions, dan
Enhancing safety and future development.

Tergantung tingkat kompleksitas dari suatu trauma seorang anak, biasanya TF-CBT ini
dilaksanakan 8-20 sesi. TF-CBT cocok dilakukan untuk anak usia 3-18 tahun dengan memori
trauma. Untuk dapat berpartisipasi pada TF-CBT, anak harus bisa mengemukakan trauma yang
pernah dialami dan mendemonstrasikan kemampuan untuk bercerita tentang sebuah pengalaman
netral dengan detail.
1. Parenting
Pengasuh utama anak adalah yang menentukan apakah anak dapat menerima
terapi dengan baik dan lengkap. Maka dari itu, penting bagi pengasuh untuk memahami
dasar terapi dan dan cara-cara spesifik dimana pengasuh dapat berpartisipasi membantu
anak untuk mengembangkan kemampuan mereka untuk mengatur emosi dan cara mereka
untuk menanggung trauma.
Untuk memastikan jadwal CBT yang konsisten, penting bagi terapis untuk
membantu memecahkan masalah yang akan dihadapi ketika anak diasuh selama
pengasuh menjalani terapi. Contoh mungkin anak bisa dititipkan ke childcare atau ketika
anak ke sekolah.
Jika pengasuh tidak menunjukkan gangguan perilaku, terapis harus menjelaskan
keterampilan-keterampilan mengasuh anak untuk dapat mengurangi kecenderungan
masalah/gangguan perilaku di masa depan, serta membantu pengasuh untuk menciptakan
lingkungan rumah yang lebih terstruktur dan lebih nyaman. Pengasuh harus memiliki
kemampuan pengasuhan anak yang positif, karena hal ini penting untuk membantu anak
coping secara efektif. Memuji anak, memberikan perhatian positif, dan reward jika
melakukan sesuatu yang positif adalah hal yang efektif dilakukan pengasuh kepada anak
sampai jangka panjang.
2. Psikoedukasi
Emosi dan perilaku anak setelah trauma dapat menyebabkan kecemasan bagi
pengasuh. Para pengasuh biasanya juga tidak terlalu paham mengenai perkembangan
anak yang mengakibatkan mereka bisa bereaksi berlebihan terhadap perilaku tidak patuh
dan rasa takut anak yang normal. Perilaku takut yang normal pada anak seperti takut pada
monster, perilaku seksual (memegang bagian vital), perilaku tidak patuh, itu semua biasa
terjadi pada anak-anak. Pengasuh juga rentan menginterpretasikan perilaku baru sebagai
reaksi trauma anak. Contoh, perilaku seksual anak setelah mengalami kekerasan seksual
bisa salah diinterpretasikan sebagai refleksi dari trauma. Perhatian yang tidak semestinya
dilakukan terhadap perilaku seksual anak yang normal dapat menyebabkan hal tersebut
meningkat secara intensitas, frekuensi, dan durasi sehingga meningkatkan potensi
perilaku tersebut menjadi bermasalah. Oleh karena itu, penting bagi terapis untuk
mengedukasi pengasuh tentang reaksi terhadap trauma serta perilaku, emosi, dan
perkembangan seksual yang normal pada anak sehingga pengasuh dapat merespon secara
efektif.
Psikoedukasi untuk anak sifatnya penting dan harus disampaikan sesuai pada
tahap perkembangannya. Terapis harus memperhatikan jumlah kata-kata yang anak
gunakan dalam komunikasi verbal mereka. Meskipun sulit, hal ini dapat membantu
terapis untuk berkomunikasi dengan anak dengan kalimat berjumlah 4-6 kata yang
sederhana agar dapat dimengerti oleh anak. Terapis juga harus menyadari bahwa anak-
anak rentan meniru ekspresi/kata-kata tanpa memahami maknanya secara penuh. Jadi
terapis harus memastikan bahwa kata-kata yang digunakan dapat dipahami oleh anak.
Contohnya seperti bertanya pada anak “siapa yang melakukan kekerasan?” (dengan
bahasa yang lebih sederhana) merupakan cara yang lebih baik untuk mengawali
percakapan agar anak merasa bertanggungjawab akan dirinya. Membantu anak membuat
daftar hal-hal dimana anak tidak bertanggung jawab atas perilaku orang dewasa dapat
membuat konsep tanggungjawab menjadi lebih konkrit. Untuk menilai apakah anak dapat
menyimpan informasi yang telah diberikan terapis, terapis dapat menanyakannya dengan
open-ended questions, dan menggunakan teknik reflective listening agar terapis dapat
menguatkan apa yang anak ekspresikan.
3. Relaksasi
Anak dan pengasuhnya dapat memanfaatkan stratergi belajar relaksasi.
Pernafasan fokus (focused breathing) dapat dipelajari oleh anak-anak, contohnya melalui
video musik yang dikembangkan oleh Sesame Street untuk mengajarkan anak-anak
prasekolah untuk mengatur perasaan negatif dengan belly breathing
(https://nj.pbslearningmedia.org/resource/sesame-belly-breathe/belly-breathe-sesame-
street/#.WZjsLCiGN9M). Selain itu, anak juga dapat menggunakan imajinasi mereka
untuk menurukan rasa stres dan tekanan yang dialaminya. Terapis dapat membantu anak
untuk memvisualisasikan gambaran yang bersifat rileks seperti menggambar dan/atau
menjelaskan gambar yang membuat anak nyaman ketika anak merasa cemas contohnya
seperti pantai. Terapis juga perlu membantu anak untuk memiliki kendali atas sensasi
tubuh anak, karena biasanya pasca mengalmai kekerasan seksual, pengalaman traumatis
tersebut dapat membuat anak merasa tidak bisa mengontrol banyak akses ke tubuh
mereka. Terapis juga perlu mengkomunikasikan pada pengasuh agar dapat mengarahkan
anak untuk menurunkan tekanan pada anak dengan cara yang positif dan sesuai usia
seperti memeluk boneka beruang, dan tidak menganjurkan dengan cara memukul-mukul
bantal atau barang lainnya.
4. Ekspresi dan modulasi afek
Ketika mengajari keterampilan pada anak-anak, contoh konkrit dan aktivitas yang
menarik dapat membantu anak untuk lebih paham. Untuk ekspresi afek, anak-anak dapat
mereview gambar-gambar orang dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda atau
menggambar ekspresi wajah. Terapis bisa juga bermain tebak-tebakan ekspresi emosi
bersama anak.
Jika terapis berhadapan dengan anak yang sudah memahami kosakata-kosakata
mengenai emosi, lebih baik anak ini mengekspresikan perasaan mereka menggunakan
kata-kata dibanding memperagakannya secara langsung. Pengasuh juga diminta untuk
memuji usaha anak dalam mengekspresikan perasaannya selama sesi berlangsung. Fokus
dalam komponen ini secara umum tidak berhubungan dengan trauma, namun
dimaksudkan untuk pajanan secara gradual agar perlahan terapis dapat bertanya kepada
anak bagaimana perasaan anak ketika mengalami trauma.
Aktivitas positif seperti mendengarkan musik dapat digunakan untuk
meningkatkan mood anak. Pengasuh dapat membantu anak untuk memperdengarkan
musik dengan lirik-lirik yang positif dan menginspirasi ketika mereka merasa sedih atau
marah. Para pengasuh juga dianjurkan untuk berbagi perasaan (yang tepat) dengan anak-
anak contohnya seperti frustasi di tempat kerja (hal yang wajar) dan mendukung anak
untuk dapat berbagi mengenai perasaannya juga, serta memuji anak ketika mereka
mengungkapkannya. Pengasuh diharapkan menggunakan teknik reflective listening
karena hal tersebut akan membuat anak merasa didengarkan.
5. Cognitive coping
Cognitive coping diajarkan kepada anak menggunakan pikiran non-trauma.
Pertama-tama anak diajarkan untuk membedakan antara pikiran, perasaan, dan perilaku.
Untuk anak-anak yang lebih muda, memberikan contoh konkrit adalah hal yang paling
efektif. Pertanyaan seperti “apa yang otakmu katakan?” atau “apa yang kamu katakan
kepada dirimu sendiri?” lebih dapat dipahami anak prasekolah dibanding pertanyaan “apa
yang kamu pikirkan?”. Untuk membantu anak belajar mengenai perilakunya, gambar-
gambar orang yang sedang melakukan berbagai aktivitas dapat digunakan.
Jika anak sudah paham mengenai pikiran, perasaan, dan perilaku, anak kemudian diajari
tentang hubungan antara 3 komponen tersebut. Biasanya anak-anak usia sekolah sudah
bisa mengerti, namun untuk anak yang lebih muda hal tersebut merupakan sesuatu yang
kompleks. Maka dari itu anak-anak usia muda perlu dijelaskan dengan menggunakan
“coping arrows” yang mendemonstrasikan bagaimana pikirannya (apa yang otakmu
katakan) dapat mempengaruhi bagaimana perasaan anak dan bagaimana pikiran anak
mempengaruhi perilakunya. Anak dapat melakukan aktivitas seperti menggambar
berbagai macam bentuk, dan pikiran terhadap aktivitas tersebut dapat muncul di otak
anak sehingga terapis dapat mendiskusikan aktivitas yang berhubungan dengan perasaan
dan perilaku anak.
6. Narasi trauma dan processing
Sebelum masuk ke mengawali narasi, terapis biasanya membacakan buku tentang
trauma (sesuai usia perkembangan) yang dialami oleh anak (contoh: untuk kekerasan
seksual buku “Please Tell”, Jessie, 1991) dapat membantu anak untuk membayangkan
buku yang akan dibuat oleh anak. Biasanya bab awal diawali dengan informasi anak
seperti nama, usia, hobi, dan alasan mengapa datang untuk terapi (contoh, pamanku
menyentuhku di bagian yang “tidak boleh”). Dengan anak usia dini, posisi terapis adalah
menjadi penulis ketika anak mendikte trauma narasi. Terapis harus memperhatikan
jumlah kata yang digunakan. Jika dalam satu kalimat kata-kata yang digunakan umumnya
2-4 kata, ada kemungkinan anak menghindar dalam sesi ini. terapis disini dapat
menawarkan kepada anak, “bagian mana yang mau diceritakan?”, serta memberi dua
pilihan bagian agar anak tidak bingung. Terapis juga sebaiknya memperhatikan
kesenangan anak terhadap warna, agar buku dapat dicetak sesuai warna kesukaannya. Hal
ini dapat meningkatkan ketertarikan dan mood anak. Jika anak senang menggambar,
berilah kesempatan pada anak juga untuk menggambar. Inti dari narasi ini adalah
bertujuan untuk mendemonstrasikan dan menarasikan apa yang sebenarnya terjadi.
Menggunakan media seperti lagu, puisi, gambar, serta boneka juga bisa dilakukan.
Terapis menunggu sampai anak selesai mengutarakan pikiran-pikirannya baru merespon
terhadap apa yang anak ceritakan. Hal ini penting karena anak-anak sensitif terhadap
respon orang dewasa dan mereka akan menyensor pikiran mereka untuk mencocokkan
apa yang mereka pikir terapis ingin dengar dari mereka.
Pola pikir anak mengenai kekerasan yang mereka alami akan berkembang.
Dengan komponen processing, anak akan mengutarakan pikiran-pikirannya, dan disini
terapis harus menandai pola pikir mana yang salah kemudian mengkoreksinya setelah
anak selesai bercerita. Dalam narasi dan processing ini, anak akan membuat bab akhir
dari narasi. Dalam posisi ini, terapis dapat membimbing mereka dengan pertanyaan ini
(disesuaikan dengan usia perkembangan):
a. Mengapa kamu datang ke terapi?
b. Apa yang kamu pelajari tentang kamu? Tentang orang lain? Tentang dunia?
c. Bagaimana cara pengasuhmu menolongmu?
d. Apa yang membuat kamu merasa lebih baik?
e. Apa yang akan kamu sampaikan kepada anak-anak lain?
f. Ketika besar nanti, kamu mau menjadi apa?

7. In vivo mastery
In vivo mastery berupa upaya untuk menurunkan perilaku menghindar pada anak-
anak dari pengingat trauma yang bersifat tidak berbahaya. Contohnya, jika anak
mengalami kekerasan seksual di rumah teman dan kemudian anak menjadi menghindari
pergi ke semua rumah teman-temannya, rencana in vivo dapat diciptakan untuk
mengurangi perilaku menghindar yang tidak perlu. Meskipun begitu, reaksi anak-anak
tidak selalu mengembangkan rasa takut yang berlebihan atau ada juga anak-anak yang
sudah dapat mengatasi rasa takut selama narasi trauma dan processing. Oleh karena itu
komponen ini mungkin tidak diperlukan.
Namun jika anak mengalami rasa takut yang berlebihan pada situasi yang tidak
berbahaya seperti tidur sendiri dsb., pengasuh dapat mengurangi rasa takut anak dengan
rencana in vivo, caranya berupa menunjukkan kepada anak hal-hal yang dia takuti (dalam
situasi yang aman). Pengasuh merupakan kunci utama dari rencana ini karena komponen
ini biasanya dilakukan diluar sesi.

8. Conjoint session (Sesi Bersama)


Sesi bersama antara anak dan pengasuh dapat membantu untuk memperkuat
pengembangan kemmampuan dan memperbaiki komunikasi antara anak dan pengasuh
saat fase awal terapi. Anak dapat mengajarkan keterampilannya pada pengasuhnya
seperti focused breathing, dan pengasuhpun dapat melatih parenting skillsnya seperti
memuji dan reflective listening saat sesi bersama.
Jika sudah menuju akhir terapi, narasi trauma sebaiknya dilakukan bersama antara anak
dan pengasuh. Sebelumnya, pengasuh harus sudah mempersiapkan diri dengan membaca
narasi dan sudah melaksanakan trauma processing sendiri terlebih dahulu. Narasi anak
usia dini berupa buku biasanya dibacakan oleh terapis saat sesi ini jika anak belum bisa
atau tidak suka membaca. Namun jika anak senang membaca dan ingin membacakannya
kepada pengasuh, anak boleh diberikan waktu untuk membaca bagian awal dan akhir,
sementara terapis dan pengasuh bergantian membacakan bagian yang lain.

9. Enhancing safety and future development (Peningkatan keamanan dan perkembangan


masa depan)
Selama komponen terapi ini, anak diajarkan berbagai keterampilan yang
berhubungan dengan ketegasan dan keamanan diri. Komponen ini dapat diawali dengan
memuji respon anak sebelumnya terhadap trauma, sebagai tujuan untuk membangun
keterampilan keamanan yang sudah anak ketahui dan tidak membuat anak merasa mereka
tidak berusaha secara maksimal dalam emrespon trauma sebelumnya. Fokus komponen
ini beragam tergantung jenis trauma yang dialami.
Salah satu keterampilan yang diajari adalah bahasa tubuh yang tegas. Hal ini
dicoba dengan terapis yang berjalan dengan gestur yang tidak tegas dan lesu seperti
wajah menunduk dan bahu yang turun, kemudian anak mengoreksi dan menyarankan
gestur-gestur yang dapat membuat terapis tampak lebih tegas dan percaya diri. Antara
terapis dan anak bergantian peran.
Anak yang mengalami kekerasan seksual diajari nama-nama alat vital (dengan
izin pengasuh). Meskipun biasanya hal ini diajarkan di awal terapi, namun hal ini dapat
membantu untuk me-review kembali yang telah diajarkan di awal. Bagian tubuh mana
yang boleh dipegang dan tidak boleh dipegang harus direview kembali pada komponen
ini. Cara mereview bisa dengan media buku, video, dan lagu yang nanti dapat
dinyanyikan bersama-sama.
Anak-anak usia dini biasanya tidak paham mana yang “mengancam”
keamanannya sehingga konsep “trik” dapat diajarkan kepada anak untuk melihat
bagimana suatu situasi disebut aman dan berbahaya. Perlu diajarkan juga kepada anak-
anak ini perbedaan antara rahasia (sesuatu yang anak tidak boleh ceritakan kepada orang
lain) dan kejutan (sesuatu yang anak tidak boleh ceritakan dalam beberapa waktu namun
boleh dibagikan pada saat yang tepat).
Mengajari anak keterampilan keamanan diri melalui role play juga dapat membantu,
sehingga mereka dapat berlatih merespon terhadap berbagai macam situasi. Frasa
sederhana seperti “Tidak”, “pergi”, “cerita” dapat membantu anak mengingat keamanan
tubuhnya sendiri. Anak diajarkan untuk berkata “tidak” dan “pergi” meninggalkan situasi
yang tidak nyaman, membingungkan, atau situasi kasar, kemudian “cerita” pada orang
dewasa. Semua langkah-langkah benar-benar diperagakan dengan terapis dan pengasuh,
bisa pada sesi bersama).
Selain itu, anak-anak dianjurkan untuk membuat daftar orang dewasa yang dapat
dipercaya seperti pengasuh/orangtua, keluarga dekat, polisi, dan guru. Perlu
diberitahukan juga kepada anak agar terus meminta tolong kepada orang dewasa sampai
orang dewasa memberikan bantuan. Hal ini dapat dilatih dalam sesi dengan cara anak
menunjukkan kepada terapis contoh orang dewasa mana yang merespon dengan baik dan
mana yang tidak.

Referensi:
Deblinger E dan Pollio E. “Trauma-focused cognitive behavioural therapy for young children:
clinical considerations”. European Journal of Psychotraumatology. Vol. 8. 2017.

Das könnte Ihnen auch gefallen